Bagian 129 - Berakhir Damai

Xiang Wentian memimpin para pemikul tandu Ketua Ren.

Sementara itu, Mahabiksu Fangzheng menjawab seruan orang-orang Sekte Iblis tadi, “Ketua Perguruan Henshan Linghu Chong, ketua Perguruan Wudang Pendeta Chongxu, dan ketua Perguruan Shaolin Fangzheng, bersama-sama menantikan kunjungan Ketua Ren yang terhormat dari Sekte Matahari dan Bulan!”

Meskipun Fangzheng berkata dengan perlahan, namun suaranya berkumandang jauh hingga mencapai kaki gunung. Padahal, belasan gembong Sekte Iblis tadi berteriak sekeras-kerasnya untuk dapat mengumandangkan suara mereka ke puncak gunung. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam biksu kepala dari Biara Shaolin ini.

Linghu Chong sendiri sedang duduk bersila sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun. Matanya memandang hidung, napasnya seirama dengan detak jantung, tangan kiri memegang dada, dan tangan kanan menekan perut, sesuai petunjuk Mahabiksu Fangzheng sebelumnya.

Ilmu tenaga dalam ajaran Feng Qingyang itu baru dilatihnya beberapa hari saja. Meskipun setiap hari Mahabiksu Fangzheng mendampingi dan memberikan petunjuk secara jelas, namun latihannya masih juga belum sempurna. Untunglah kini berbagai hawa murni yang bergolak di dalam tubuhnya itu lambat-laun dapat diredam dan disalurkan ke jalur yang benar.

Linghu Chong tidak berani gegabah. Ia menyalurkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun dan teratur. Semula telinganya masih mendengar suara tetabuhan, namun pada akhirnya tidak mendengar apa-apa lagi. Rupanya ia telah memusatkan segenap pancaindranya ke dalam latihan tersebut.

Melihat ketekunan Linghu Chong ini, Mahabiksu Fangzheng tersenyum senang. Ia mendengar suara tetabuhan semakin bertambah ramai. Orang-orang Sekte Matahari dan Bulan kembali berteriak, “Ketua Sekte Matahari dan Bulan, kesatria gagah berani, pelindung rakyat jelata, Yang Mulia Ketua Suci naik ke puncak Henshan!”

Teriakan itu diikuti dengan suara tetabuhan yang semakin terdengar keras, pertanda mereka sedang berjalan menuju ke atas. Jalan menuju Puncak Jianxing memang cukup panjang. Meskipun suara para anggota Sekte Matahari dan Bulan itu terdengar keras, namun sampai cukup lama mereka belum juga mencapai puncak. Diam-diam para jagoan dari Perguruan Kunlun dan lainnya menggerutu di tempat persembunyian mereka, “Ketua Sekte Iblis tengik, kenapa tidak mati sekarang saja? Sorak-sorai anak buahnya berlebihan, masih ditambah tetabuhan musik segala. Memangnya kau mau main sandiwara, hah?”

Sejak tadi mereka sudah bersiaga untuk menghadapi musuh dengan jantung berdebar-debar. Menurut perkiraan, begitu pihak Sekte Iblis menyerbu ke atas gunung, serentak mereka akan melompat keluar dari tempat persembunyian untuk menghadapi. Apabila jumlah musuh semakin membanjir dan sukar ditahan, maka mereka pun mengundurkan diri dengan cara turun ke bawah jurang di belakang gunung menggunakan tali panjang. Tak disangka, kedatangan Ren Woxing kali ini ternyata berlagak seperti kaisar maharaja, dengan mengagungkan segala kebesarannya pula. Hal ini membuat orang-orang yang bersiaga itu malah semakin bertambah tegang.

Setelah memakan waktu cukup lama, Linghu Chong merasa hawa murni di dalam tubuhnya lambat laun dapat diatasi. Rasa sakitnya kini mulai berkurang. Tiba-tiba ia teringat bahwa musuh sudah semakin dekat. Maka, dengan seketika pemuda itu pun melonjak bangun.

“Sudah lebih baik?” tanya Fangzheng dengan tersenyum.

“Apakah pertempuran sudah dimulai?” Linghu Chong balik bertanya.

“Belum,” sahut Fangzheng.

“Bagus kalau begitu!” seru Linghu Chong, “Adik Qin, ambilkan pedang!”

Qin Juan segera meletakkan gagang pedang ke dalam genggaman Linghu Chong. Pada saat itulah Linghu Chong melihat Fangzheng, Chongxu dan yang lain ternyata tidak memegang senjata. Di sisi lain tampak Yihe, Yiqing, dan murid-murid Henshan lainnya sedang berbaris di depan Biara Wuse dalam kelompok-kelompok formasi tujuh orang, namun senjata mereka juga belum dicabut keluar. Linghu Chong pun sadar bahwa musuh belum datang. Menyadari dirinya terlalu gugup, ia menjadi geli sendiri dan buru-buru menyarungkan pedangnya sambil bergelak tawa.

Sementara itu, suara tetabuhan tadi mendadak berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara seruling dan kecapi berkumandang dengan merdu. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Ketua Ren terlalu banyak tingkah. Setelah suara tetabuhan yang menderu-deru, kini berganti suara musik halus merdu. Tentu sebentar lagi dia akan muncul.”

Benar juga, di tengah alunan suara seruling dan kecapi yang merdu itu, tampak dua barisan anggota Sekte Matahari dan Bulan muncul di Puncak Jianxing. Pandangan semua orang seketika terbelalak, karena setiap anggota sekte ternyata memakai jubah sulaman berwarna hijau gelap yang masih baru, serta ikat pinggang berwarna putih. Empat puluh orang dari barisan itu tampak membawa nampan dengan berlapiskan kain sutra. Entah barang apa yang berada di atas nampan mereka itu?

Keempat puluh orang ini ternyata tidak membawa senjata. Bahkan setelah naik ke puncak, masing-masing lantas berdiri tegak di kejauhan. Menyusul kemudian muncul pula di belakang mereka suatu barisan yang terdiri dari dua ratus orang peniup seruling dan pemetik kecapi. Semuanya juga berseragam jubah sulaman. Sambil berjalan mereka terus memainkan alat musik masing-masing.

Setelah itu, muncul pula para penabuh tambur, peniup terompet, penabuh simbal, dan alat-alat musik lainnya. Linghu Chong menjadi tertarik melihat bermacam-macam alat musik ini. Ia berpikir, “Sungguh menggelikan. Nanti kalau pertempuran dimulai, tentu mereka bertugas memainkan alat musik masing-masing sebagai pengiring. Bukankah ini mirip dengan pertempuran di atas panggung sandiwara?”

Di tengah suara alunan musik itu, tampak kemudian barisan-barisan anggota Sekte Matahari dan Bulan semakin berdatangan. Barisan-barisan itu sepertinya diatur menurut warna seragam mereka. Ada sekelompok yang berseragam hijau, ada pula yang berseragam kuning, biru, hitam, putih, dan semuanya serbabaru. Apa pun warna seragam yang mereka pakai, semuanya tampak mengenakan ikat pinggang berwarna putih. Jumlah yang naik ke Puncak Jianxing kali ini paling tidak mencapai tiga sampai empat ribu orang.

Dalam hati Pendeta Chongxu berpikir, “Mereka baru saja mencapai puncak dan belum teratur dengan baik. Kalau sekarang juga aku memberi perintah untuk menyerang dengan serentak, tentu pihak Sekte Iblis ini akan kocar-kacir. Rupanya mereka menggunakan siasat memancing kelengahan kami. Mula-mula bersikap halus untuk kemudian menyerang dengan kekerasan. Tapi kalau kami yang menyerang lebih dulu pada saat musuh belum bersiaga, maka ini namanya bukan perbuatan kesatria.”

Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong yang tampak tersenyum geli menertawakan tingkah laku pihak Sekte Iblis itu. Mahabiksu Fangzheng sendiri terlihat tenang-tenang saja seolah menganggap perbuatan pihak musuh itu sebagai hal yang biasa. Dalam hati Chongxu kembali berpikir, “Aku terlalu khawatir. Kalau hatiku masih saja ketakutan seperti ini, pertanda ilmu kebatinanku memang belum matang.”

Para anggota Sekte Matahari dan Bulan itu telah berbaris secara teratur sesuai kelompok masing-masing. Menyusul kemudian muncul sepuluh tetua sekte. Mereka lantas membagi diri ke dalam dua kelompok yang berdiri di kanan dan kiri, masing-masing berisikan lima orang. Begitu bunyi tetabuhan mendadak berhenti, serentak kesepuluh tetua itu berteriak bersama-sama, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang mahabijaksana, pelindung rakyat jelata, juru selamat umat manusia, Ketua Ren yang suci telah tiba!”

Sejenak kemudian muncul sebuah tandu besar yang dilapisi kain beludru berwarna biru dengan digotong oleh enam belas orang. Keenam belas orang pemikul tandu tersebut melangkah dengan cepat dan ringan, pertanda bahwa mereka semua adalah para jago pilihan.

Sewaktu Linghu Chong mengamati dengan seksama, ternyata di antara keenam belas pemikul tandu itu terdapat Zu Qianqiu, Huang Boliu, dan Ji Wushi. Andai saja badan Lao Touzi tidak terlalu pendek, tentu ia juga akan menjadi tukang pikul tandu pula. Melihat ini Linghu Chong berpikir dengan perasaan kesal, “Bagaimanapun juga Zu Qianqiu dan kawan-kawan adalah kaum kesatria semuanya, namun Ketua Ren memperlakukan mereka dengan sangat hina. Apakah hanya karena bersulang denganku, lantas mereka diperbudak seperti ini?”

Di kedua sisi tandu besar itu masing-masing tampak berjalan seseorang mengiringi. Yang mendampingi di sebelah kiri adalah Xiang Wentian, sementara di sebelah kanan adalah seorang tua yang tampaknya tidak asing lagi. Sejenak Linghu Chong tercengang. Tiba-tiba ia teringat bahwa orang tua itu adalah Luzhuweng, si Kakek Bambu Hijau yang dulu tinggal di luar Kota Luoyang. Orang tua inilah yang pertama kali mengajarkan dasar-dasar memainkan alat musik kecapi kepada Linghu Chong. Ia adalah cucu murid dari saudara seperguruan Ren Woxing, sehingga memanggil Ren Yingying dengan sebutan “bibi”. Hal inilah yang menyebabkan Linghu Chong salah paham dan mengira gadis itu sebagai seorang nenek tua. Setelah berpisah di dermaga Luoyang waktu itu, Linghu Chong tidak pernah bertemu Luzhuweng  sama sekali. Kini tahu-tahu orang tua itu sudah bergabung dengan Ren Woxing untuk menyerbu Gunung Henshan.

Sesaat kemudian jantung Linghu Chong terasa berdebar-debar. Ia berpikir, “Mengapa Yingying tidak kelihatan?”

Tiba-tiba terlintas suatu pikiran dalam benaknya. Melihat setiap anggota Sekte Matahari dan Bulan memakai ikat pinggang berwarna putih seperti orang yang sedang berkabung, ia pun merenung, “Apakah Yingying telah bunuh diri karena tidak berhasil mencegah kehendak ayahnya yang ingin menyerbu dan membasmi Perguruan Henshan?”

Seketika Linghu Chong merasa darahnya mendidih. Jantungnya pun berdebar semakin kencang. Hampir saja ia melangkah maju untuk bertanya kepada Xiang Wentian mengenai keadaan Ren Yingying. Namun, begitu teringat Ren Woxing sedang duduk di dalam tandu, ia pun batal melangkah.

Meskipun ada ribuan orang berkumpul di Puncak Jianxing, suasana ternyata sunyi senyap, bahkan tidak terdengar suara kicauan burung sama sekali. Ketika tandu besar itu berhenti dan ditaruh di atas tanah, seketika semua mata memandang ke arahnya dan menantikan Ren Woxing keluar dengan jantung berdebar-debar.

Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam Biara Wuse terdengar suara gelak tawa beberapa orang. Salah satu dari mereka berseru dengan suara keras, “Lekas menyingkir, lekas menyingkir! Sekarang giliranku yang harus duduk di situ!”

“Sabar dulu, sabar dulu!” sahut seorang lagi menanggapi. “Kita harus bergiliran satu per satu, jangan berebut! Setiap orang pasti akan mencicipi betapa nyaman duduk di atas kursi sembilan naga ini!”

Seketika raut muka Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong berubah pucat. Dengan jelas mereka mendengar itu adalah suara Enam Dewa Lembah Persik yang sedang berebut duduk di atas kursi kebesaran untuk menjebak Ren Woxing tersebut. Entah sejak kapan keenam orang sinting ini berhasil menyusup masuk ke dalam Biara Wuse dan menemukan kursi berhias indah yang sangat memesona itu? Kalau mereka duduk terlalu lama, maka pesawat rahasia akan segera bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Jika ini sampai terjadi, tentu urusan akan menjadi unyam.

Maka, dengan cepat Pendeta Chongxu berlari masuk ke dalam biara dan membentak, “Hei, lekas bangun, lekas bangun! Kursi pusaka ini khusus disediakan untuk Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan! Kalian tidak boleh duduk di situ!”

“Mengapa tidak boleh duduk? Kami justru ingin duduk di sini!” sahut Enam Dewa Lembah Persik beramai-ramai.

Kembali mereka ribut sendiri tanpa memedulikan Chongxu. “Hei, kau sudah merasakannya, sekarang giliranku!”

“Wah, kursi ini sangat empuk dan mentul-mentul. Rasanya seperti duduk di atas perut seorang gendut!”

“Hei, memangnya kau pernah duduk di atas perut orang gendut?”

Linghu Chong khawatir kursi yang diperebutkan Enam Dewa Lembah Persik itu benar-benar meledak sebelum waktunya. Jika ini sampai terjadi maka semua anggota Sekte Matahari dan Bulan, serta orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang akan ikut terbunuh. Gunung Henshan sendiri akan hancur lebur pula.

Semula Linghu Chong bermaksud masuk ke dalam biara untuk mengatasi keributan tersebut. Namun entah mengapa, dalam lubuk hatinya ia berbalik seakan-akan mengharapkan bahan peledak itu benar-benar meledak secepatnya. Ia merasa Ren Yingying sudah mati, maka untuk apa dirinya hidup lebih lama lagi?

Sekilas ia menoleh dan melihat sepasang mata indah Yilin sedang menatap ke arahnya. Begitu mereka berdua beradu pandang, lekas-lekas Yilin pun berpaling ke arah lain.

Dalam hati Linghu Chong merenung, “Adik Yilin masih berusia sangat muda, tapi dia harus ikut hancur pula oleh ledakan dahsyat nanti, bukankah ini sangat kasihan? Akan tetapi, setiap manusia di dunia ini akhirnya pasti mati juga. Seandainya hari ini tidak terjadi pertempuran dan tercipta perdamaian, bukankah semua orang yang ada di sini setelah seratus tahun menjelang juga akan tinggal tulang belulang saja?”

Kembali ia mendengar suara ribut Enam Dewa Lembah Persik masih belum mereda. Bahkan kini bertambah ramai. Seseorang berseru, “Hei, kau sudah duduk dua kali, sementara aku belum duduk sama sekali!”

“Yang pertama tadi aku belum duduk dengan baik sudah ditarik turun. Maka, tidak boleh dihitung dan sekarang aku harus diberi kesempatan lagi …. Hei, apa-apaan ini?”

Rupanya sebelum duduk dengan baik ia kembali diseret turun dari atas kursi oleh saudara-saudaranya.

“Hei, aku ada akal. Begini saja, kita enam bersaudara bisa sekaligus duduk berjejal di atas kursi ini. Coba lihat, bisa muat atau tidak?”

“Bagus sekali! Akal yang sangat bagus! Marilah kita duduk bersama-sama, hahaha!”

“Kau duduk duluan, lalu aku duduk bagian atas saja!”

“Tidak, tidak! Kau saja yang duduk di bawah dan aku di atas!”

“Yang paling tua duduk di atas, yang paling muda duduk di bawah.”

“Tidak bisa, tidak bisa! Yang paling tua duduk duluan, yang paling muda duduk terakhir di atas.”

Mahabiksu Fangzheng merasa detik-detik berbahaya bisa terjadi setiap saat oleh perbuatan Enam Dewa Lembah Persik yang gila-gilaan itu. Sebaliknya, ia tidak mungkin berseru mencegah karena khawatir rahasia dalam kursi akan diketahui musuh. Terpaksa ia pun berlari ke dalam biara dan membentak, “Di luar ada tamu agung, kalian jangan bertengkar dan jangan ribut!”

Kata-kata “jangan ribut” sengaja diucapkan dengan disertai ilmu Auman Singa, salah satu ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin yang dahsyat. Enam Dewa Lembah Persik tidak tahan, lantas berjatuhan tak sadarkan diri. Bahkan Pendeta Chongxu yang berada di situ juga ikut pusing dan hampir roboh.

Dengan gembira Chongxu segera menyingkirkan keenam orang dungu itu dari kursi sembilan naga dan kemudian menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka. Keenamnya lalu didorong masuk ke bawah kolong meja persembahan Dewi Guanyin yang cukup besar di dalam biara tersebut. Setelah itu, Chongxu memasang telinga di tepi kursi, dan ternyata tidak terdengar suara apa-apa. Ini berarti sumbu bahan peledak belum menyala. Seketika Chongxu merasa lega dan bersyukur, meskipun kepalanya terasa pusing dan tubuhnya masih lemas. Andai saja Fangzheng tidak segera datang, tentu sumbu akan menyala dan hancurlah segalanya.

Fangzheng dan Chongxu lantas berjalan berdampingan keluar dari Biara Wuse. Sesampainya di tempat semula, mereka pun berseru, “Silakan Ketua Ren masuk ke dalam menikmati hidangan teh!”

Akan tetapi, tirai tandu itu tetap tertutup dan tidak terbuka sedikit pun. Ren Woxing juga tidak memberikan jawaban sama sekali.

Chongxu menjadi gusar. Ia berpikir, “Iblis tua ini sungguh tinggi hati. Padahal aku dan Mahabiksu Fangzheng, serta Adik Linghu masih terhitung sebagai tiga tokoh terkemuka di dunia persilatan zaman ini. Kami berdiri menyambut padamu, tapi kau tidak menggubris sama sekali.”

Andai saja tidak teringat pada perangkap yang telah diaturnya di dalam kursi sembilan naga, mungkin Chongxu sudah menerjang maju dengan pedangnya untuk melabrak Ren Woxing. Maka dengan menahan perasaan, pendeta tua itu kembali menyampaikan undangannya. Namun demikian, dari dalam tandu tetap saja tidak terdengar suatu jawaban.

Xiang Wentian tampak membungkuk dan menempelkan telinganya ke dinding tandu, kemudian mengangguk beberapa kali, pertanda sedang menerima perintah dari sang ketua. Setelah cukup, ia kembali berdiri tegak dan berseru, “Ketua Ren menyatakan terima kasih atas penyambutan Mahabiksu Fangzheng dari Perguruan Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Ketua kami sangat menghormati Beliau berdua. Kelak Ketua Ren akan berkunjung secara pribadi ke Gunung Shaoshi dan Gunung Wudang untuk meminta maaf.”

“Kami tidak berani,” jawab Fangzheng dan Chongxu bersama-sama. Dalam hati mereka berpikir bahwa “berkunjung secara pribadi” adalah istilah kiasan untuk menyerbu perguruan mereka masing-masing.

Xiang Wentian kembali berkata, “Ketua Ren menyampaikan bahwa kedatangan Beliau ke Gunung Henshan kali ini adalah untuk bertemu dengan Ketua Linghu secara khusus. Maka itu, Ketua Linghu diharap menemui Beliau sendirian di dalam biara.”

Usai berkata demikian, Xiang Wentian langsung memberi isyarat. Keenam belas tukang pikul lantas menggotong tandu besar itu ke dalam Biara Wuse dan meletakkannya di dekat meja persembahan Dewi Guanyin. Xiang Wentian dan Luzhuweng juga ikut masuk mendampingi. Sejenak kemudian mereka lantas keluar kembali bersama keenam belas tukang pikul tersebut. Kini di dalam biara hanya tinggal tandu besar itu saja.

Diam-diam Chongxu merasa sangsi, jangan-jangan tandu besar itu juga berisi perangkap pula. Maka itu, ia pun berpaling dan memandang Fangzheng serta Linghu Chong. Pada dasarnya Fangzheng seorang jujur dan polos. Ia tidak biasa menghadapi bermacam-macam sifat licik manusia, sehingga dengan wajah bingung ia tidak tahu harus berbuat apa.

Sementara itu, Linghu Chong menjawab, “Kalau Ketua Ren hanya ingin bicara berdua saja denganku, tolong kedua Sesepuh menunggu sebentar di sini.”

“Kau harus tetap waspada,” pesan Chongxu dengan suara lirih.

Linghu Chong mengangguk, lalu masuk ke dalam biara dengan langkah lebar.

Meskipun menjadi biara utama, namun ukuran Biara Wuse sebenarnya tidak terlalu besar. Kalau di dalam ruang sembahyang itu ada yang berbicara keras pasti akan langsung terdengar dari luar dengan jelas. Maka itu, Fangzheng dan yang lain pun mendengar Linghu Chong sedang berkata, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua Ren.”

Akan tetapi, tidak juga terdengar suara jawaban dari Ren Woxing. Justru sebaliknya, sejenak kemudian terdengar Linghu Chong berseru kaget, “Hah!”

Chongxu dan Fangzheng terkejut dan mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Hampir saja Chongxu menerjang ke dalam biara untuk membantu, namun lantas terpikir olehnya, “Ilmu pedang Adik Linghu boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini, rasanya tidak mungkin ia ditundukkan iblis tua aliran sesat itu hanya dalam sekali gebrak. Andaikan betul Adik Linghu mengalami nasib malang, maka aku akan segera berlari masuk ke sana untuk menolongnya dan ini juga belum terlambat. Semoga iblis tua bermarga Ren itu tidak mencelakai Adik Linghu, lalu dia melihat kursi mewah itu dan duduk di atasnya dengan gembira. Kalau aku menerjang ke dalam jangan-jangan malah membuat urusan menjadi runyam.”

Tapi perasaannya kemudian menjadi tidak tenteram. Ia kembali berpikir, “Kalau Ren Woxing benar-benar telah duduk di atas kursi itu, sebentar kemudian sumbu bahan peledak tentu akan mulai bekerja dan Puncak Jianxing ini pasti akan hancur lebur. Semua orang yang berada di sini sudah pasti akan menjadi korban. Kalau aku melarikan diri sekarang juga tentu akan terlihat seperti pengecut, serta menimbulkan kecurigaan Xiang Wentian. Kemudian ia pasti memberi peringatan kepada para begundalnya untuk mengundurkan diri, sehingga semua rencana yang telah kuatur menjadi gagal total. Sebaliknya, kalau gunung ini sampai meledak, sehebat apa pun ilmuku juga tidak bisa lolos dari maut. Apa yang harus kulakukan?”

Sebenarnya Chongxu sudah merencanakan segala sesuatunya dengan matang. Dalam perhitungannya mula-mula pasukan Sekte Matahari dan Bulan akan menyerbu ke puncak gunung habis-habisan. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, pihaknya pun meloloskan diri melalui tali panjang yang sudah dipasang di tepi jurang. Setelah mendapat kemenangan, tentu Ren Woxing akan duduk di atas kursi kebesaran dan ledakan dahsyat pun terjadi. Tak disangka, kedatangan pihak Sekte Iblis itu ternyata tidak langsung menyerang dengan kekerasan, tetapi diawali dengan cara sopan terlebih dulu. Bahkan Ren Woxing juga meminta bertemu muka secara khusus dengan Linghu Chong di dalam biara segala. Semua yang terjadi kali ini benar-benar di luar perhitungan Chongxu. Meskipun sangat cerdas, namun dalam keadaan seperti ini ia merasa kehilangan akal dan tidak tahu harus berbuat apa.

Mahabiksu Fangzheng juga menyadari keadaan sangat gawat, dan ia pun mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Namun, karena ilmu kebatinannya sangat dalam, perasaannya pun lebih sabar. Baginya, hidup atau mati, kalah atau menang, semua bukan hal yang luar biasa. Bagaimanapun manusia berusaha, tetap saja takdir yang menentukan hasilnya. Jika takdir sudah berbicara, siapa pun tidak bisa memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu, meskipun dalam hati Fangzheng juga merasa khawatir, namun sikapnya tetap terlihat tenang. Apabila perangkap tersebut benar-benar meledak sehingga tubuhnya ikut hancur lebur, maka ini adalah jalan baginya untuk menuju kesempurnaan. Kenapa pula harus ditakuti?

Adanya perangkap bahan peledak pada kursi sembilan naga memang sangat dirahasiakan. Selain Chongxu, Fangzheng, dan Linghu Chong, beberapa orang lainnya yang mengetahui siasat ini, yaitu Qingxu dan Chenggao serta pembantu-pembantu mereka sedang menunggu di pinggang gunung. Begitu terdengar adanya ledakan di puncak, segera mereka pun menyulut sumbu bahan peledak yang sudah ditanam di semua jalur turun gunung.

Kini tidak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi. Orang-orang Perguruan Shaolin, Wudang, dan Henshan masing-masing sedang menunggu hasil pembicaraan antara Linghu Chong dan Ren Woxing. Apabila tidak terjadi kesepakatan dalam pembicaraan itu, serentak mereka lantas mengangkat senjata menghadapi orang-orang Sekte Matahari dan Bulan.

Namun, setelah ditunggu sekian lama ternyata tidak terdengar suara apa pun dari dalam biara tersebut. Hanya pada awal-awal saja terdengar suara Linghu Chong menyapa dengan lantang, namun kemudian tidak terdengar suara lagi. Chongxu merasa khawatir. Ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk mendengarkan dengan cermat. Sayup-sayup terdengar olehnya suara Linghu Chong yang sangat lirih seperti sedang berbicara sesuatu. Seketika hati Chongxu merasa lega karena Linghu Chong ternyata tidak menderita apa-apa di dalam biara tersebut.

Karena pemusatan pikirannya sedikit terpencar, suara yang lirih itu sukar ditangkap lagi. Hal ini membuat Chongxu menjadi ragu-ragu apakah suara tadi benar-benar suara Linghu Chong atau bukan. Jangan-jangan ia salah dengar atau mungkin hanya khayalannya sendiri saja.

Untungnya tidak lama kemudian terdengar Linghu Chong berseru lantang dari dalam biara, “Kakak Xiang, silakan masuk untuk mengiringi Ketua Ren keluar dari biara!”

“Baik!” sahut Xiang Wentian. Bersama Luzhuweng, mereka pun memimpin keenam belas tukang pikul tandu tadi bergegas masuk ke dalam biara. Sejenak kemudian tandu besar itu kembali digotong keluar. Serentak semua anggota Sekte Matahari dan Bulan yang berada di luar biara membungkuk dan menyampaikan salam hormat, “Kami menyambut kembalinya Ketua Suci yang mahabijaksana.”

Sesampainya di tempat semula, para tukang pikul itu lantas berhenti melangkah dan menaruh tandu besar itu ke bawah.

Tiba-tiba Xiang Wentian berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Mahabiksu Fangzheng, kepala Biara Shaolin!”

Segera terlihat dua orang anggota sekte masing-masing membawa sebuah nampan berjalan ke hadapan Fangzheng dengan sikap sangat sopan. Keduanya lantas membungkuk dan mempersembahkan nampan masing-masing kepada biksu sepuh tersebut.

Fangzheng melihat di atas salah satu nampan terdapat seuntai tasbih berusia tua, sedangkan pada nampan yang lain terdapat sebuah kitab kuno. Pada sampul kitab itu tertulis huruf Sanskerta yang berbunyi: “Kitab Jinkang”.

Sungguh tidak terlukiskan betapa gembira perasaan hati Mahabiksu Fangzheng. Selama hidup ia banyak mempelajari kitab agama Buddha, dan salah satunya adalah Kitab Jinkang tersebut. Akan tetapi, yang biasa ia baca adalah kitab terjemahan dalam bahasa Cina peninggalan Kerajaan Jin Timur. Pernah suatu ketika ia menemukan beberapa bagian dari kitab itu yang tidak jelas dan sulit untuk dipecahkan. Tentu saja sudah lama ia berusaha mencari Kitab Jinkang dalam bahasa Sanskerta sebagai perbandingan namun belum juga menemukannya. Kini begitu melihat kitab yang menjadi idamannya itu berada di depan mata, sudah pasti ia merasa sangat bahagia.

Segera Fangzheng memberi hormat dan berkata, “Amitabha. Saya sungguh bersyukur dapat menemukan kitab suci ini. Keberuntungan saya sungguh besar dan tidak terlukiskan.”

Biksu sepuh itu menjulurkan kedua tangan untuk mengambil kitab suci tersebut, lalu mengambil tasbih kuno di atas nampan kedua dan seketika tercium bau harum semerbak. Setelah menerima kedua benda tersebut, ia kembali berkata dengan hormat, “Terima kasih banyak atas hadiah besar dari Ketua Ren ini. Entah bagaimana saya harus membalasnya?”

Xiang Wentian menjawab, “Tasbih kuno ini didapatkan leluhur agama kami dari sebuah gunung di India. Sekarang, ketua kami mempersembahkan tasbih kuno itu kepada Kepala Biara yang terhormat. Ketua kami juga mengatakan bahwa Sekte Matahari dan Bulan telah banyak berbuat kasar terhadap para kesatria. Dalam hal ini kami sungguh merasa malu. Asalkan Kepala Biara tidak marah atau menyalahkan kami, maka Sekte Matahari dan Bulan merasa sangat bersyukur dan berterima kasih.” Usai berkata demikian ia kembali berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Pendeta Chongxu, ketua Perguruan Wudang!”

Kembali dua anggota sekte maju ke muka sambil mengangkat nampan masing-masing dan menghadapkannya kepada Pendeta Chongxu dengan sikap hormat.

Dari jauh Chongxu sudah melihat di atas salah satu nampan itu terdapat sebatang pedang. Sesudah kedua orang itu mendekat, dilihatnya sarung pedang itu terbuat dari tembaga berwarna hijau loreng, dan bertuliskan nama “Zhenwu”.

Tanpa sadar Chongxu berseru kaget melihat pedang pusaka tersebut. Konon cikal bakal pendiri Perguruan Wudang, yaitu Pendeta Zhang Sanfeng, memiliki sebatang pedang pusaka yang diberi nama Pedang Zhenwu, yang selalu dipandang sebagai pusaka perguruan. Sekitar delapan puluh tahun yang lalu, pada suatu malam Gunung Wudang pernah didatangi beberapa tetua Sekte Matahari dan Bulan yang berkepandaian tinggi. Mereka berhasil mencuri Pedang Zhenwu serta sejilid kitab pusaka berjudul Kitab Taiji Quan, tulisan tangan Zhang Sanfeng sendiri.

Pencurian tersebut memang dapat diketahui dan segera terjadi pertarungan sengit saat itu juga. Dalam pihak Wudang telah tewas tiga orang tokoh papan atas, sementara pihak Sekte Matahari dan Bulan terbunuh empat orang tetua menjadi korban. Meskipun demikian, pedang dan kitab pusaka Perguruan Wudang itu tidak berhasil direbut kembali. Peristiwa ini benar-benar menjadi aib yang memalukan bagi Perguruan Wudang. Sejak kejadian itu, para ketua dari setiap angkatan selalu meninggalkan pesan agar pedang dan kitab pusaka tersebut dapat dicari dan ditemukan kembali.

Akan tetapi, Tebing Kayu Hitam selalu dijaga ketat dan sulit untuk ditembus. Beberapa kali pihak Wudang berusaha secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi untuk merebut kembali kedua benda pusaka tersebut, tapi selalu gagal dengan meninggalkan korban di atas Tebing Kayu Hitam. Sungguh tidak disangka, pedang pusaka itu kini tiba-tiba muncul di Puncak Jianxing.

Ternyata tidak hanya Pedang Zhenwu yang muncul kembali. Sewaktu Chongxu melirik nampan yang satunya, tampak sejilid kitab kuno yang warnanya sudah agak luntur tertaruh  di atasnya. Pada sampul kitab itu tertulis nama “Taiji Quan”. Selain kitab ini, Zhang Sanfeng masih meninggalkan beberapa kitab hasil tulisan tangannya sendiri. Maka, begitu melihat bentuk tulisan pada sampul kitab di atas nampan tersebut, Chongxu segera dapat mengenali bahwa kitab ini memang benar-benar Kitab Taiji Quan yang asli.

Dengan kedua tangan gemetar Chongxu memegang pedang pusaka itu. Begitu sebagian dilolos keluar secara perlahan-lahan, seketika terasa hawa dingin yang menusuk. Ia paham Zhang Sanfeng sewaktu lanjut usia telah mencapai tingkatan ilmu pedang yang sangat tinggi, sehingga jarang sekali memakai senjata. Andaikan terpaksa harus menggunakan pedang, maka yang ia gunakan tentu hanyalah pedang biasa atau pedang kayu saja. Pedang Zhenwu ini adalah senjata yang dipakai Zhang Sanfeng semasa muda untuk menumpas kejahatan di muka bumi. Pedang pusaka ini sangat tajam luar biasa dan pernah menggetarkan dunia persilatan.

Chongxu masih khawatir tertipu oleh Ren Woxing, maka ia pun membalik-balik lembaran Kitab Taiji Quan itu. Dilihatnya tulisan-tulisan pada halaman kitab tersebut memang benar-benar tulisan tangan Zhang Sanfeng. Ia lantas mengembalikan kitab tersebut ke atas nampan untuk kemudian berlutut dan menyembah di hadapan kedua pusaka itu. Setelah berdiri kembali ia berkata, “Terima kasih banyak atas kemurahan hati Ketua Ren sehingga benda pusaka peninggalan leluhur kami dapat kembali. Sekalipun tubuhku hancur lebur juga sukar membalas budi baik Ketua Ren.”

Usai berkata demikian barulah ia dapat menerima pedang dan kitab pusaka itu dengan perasaan senang. Begitu terharu perasaannya sampai-sampai kedua tangannya masih saja gemetar tanpa henti.

Xiang Wentian menjawab, “Ketua kami berkata, sejak dulu Sekte Matahari dan Bulan kami telah banyak mengganggu Perguruan Wudang, sungguh kami merasa malu. Maka itu, benda-benda pusaka ini biarlah kembali ke asalnya. Harap Perguruan Wudang sudi memberi maaf.”

“Ketua Ren terlalu merendah,” sahut Chongxu.

Xiang Wentian kembali berseru, “Sekarang, bawa kemari hadiah untuk Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!”

Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sama-sama berpikir entah hadiah macam apa yang akan dihadiahkan Ren Woxing kepada Linghu Chong, mengingat hadiah untuk mereka saja adalah benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya.

Sejenak kemudian tampak dua puluh orang laki-laki muncul sambil membawa nampan menuju ke arah Linghu Chong. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, namun benda yang mereka bawa ternyata bukan sesuatu yang istimewa. Dengan jelas dapat terlihat isi nampan itu tidak lebih hanya berupa pakaian, kopiah, sepatu, poci teh, cawan teh, serta alat-alat kebutuhan sehari-hari lainnya. Walaupun benda-benda itu serbabaru dan juga sangat indah, namun terkesan biasa saja jika dibandingkan dengan benda pusaka yang diterima Fangzheng dan Chongxu. Hanya saja, ada dua buah nampan yang sedikit aneh. Yang satu berisi sebatang seruling dan yang satunya lagi berisi sebuah kecapi kuno. Kedua benda ini tampaknya jauh lebih berharga daripada yang lain.

Linghu Chong lantas memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak.” Ia kemudian memerintahkan Yu Sao dan yang lain menerima hadiah-hadiah itu.

Xiang Wentian kembali berbicara, “Ketua kami berkata, kedatangan kami ke Gunung Henshan kali ini telah banyak menimbulkan gangguan. Maka itu, sekte kami membawakan hadiah untuk para murid Henshan dari kalangan biksuni berupa jubah dan kopiah baru, serta sebilah pedang. Sementara untuk para murid Henshan dari kalangan awam, kami bawakan hadiah berupa perhiasan dan sebilah pedang pula. Hadiah ini semoga dapat diterima. Selain itu, Sekte Matahari dan Bulan juga telah membeli sawah seluas lima hektare di kaki gunung ini untuk diberikan kepada Biara Wuse. Baiklah, sekarang juga kami mohon diri.”

Usai berkata demikian ia lantas memberi hormat kepada Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong, lalu berbalik dan melangkah pergi.

“Tuan Xiang!” sahut Chongxu memanggil.

Xiang Wentian berpaling kembali dan bertanya dengan tersenyum, “Apakah Pendeta ada pesan untukku?”

Chongxu menjawab, “Tanpa berjasa apa-apa, tiba-tiba kami menerima hadiah besar dari Ketua Ren. Sungguh kami merasa tidak enak hati. Entah … entah ….” sampai di sini ia tidak dapat meneruskan kembali. Sebenarnya ia ingin bertanya, “entah ada maksud apa di balik pemberian ini?”, namun ternyata tidak sanggup mengucapkannya.

Xiang Wentian hanya tertawa dan kembali memberi hormat sambil berkata, “Benda pusaka telah kembali ke asalnya. Hal ini sudah semestinya, kenapa Pendeta merasa tidak enak hati?”

Ia lantas memutar tubuh kembali dan berseru, “Ketua memerintahkan berangkat!”

Serentak suara tetabuhan kembali berbunyi. Kesepuluh tetua berjalan di depan sebagai pembuka jalan, sedangkan keenam belas tukang pikul lantas mengangkat tandu besar dan melangkah turun ke bawah gunung. Para penabuh tambur dan peniup terompet mengikuti di belakang. Barisan paling akhir adalah para anggota sekte yang berjalan secara rapi dan teratur sesuai warna seragam masing-masing.

Sepeninggal orang-orang Sekte Matahari dan Bulan tersebut, Fangzheng dan Chongxu sama-sama menatap Linghu Chong tanpa berkata apa pun. Dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama, “Mengapa Ketua Ren tidak jadi menghancurkan Perguruan Henshan? Seluk-beluk masalah ini hanya kau saja yang tahu.”

Namun, dari raut muka Linghu Chong sedikit pun tidak tampak suatu perubahan yang dapat memberikan jawaban bagi pertanyaan mereka ini. Yang terlihat adalah wajah pemuda itu sesekali senang dan sesekali agak berduka.

Orang-orang Sekte Matahari dan Bulan sepertinya sudah pergi jauh. Suara tetabuhan yang bergemuruh tadi sudah tidak terdengar lagi. Teriakan semboyan-semboyan mereka pun lenyap pula. Mereka datang dengan lagak gagah penuh wibawa, tapi kini pergi begitu saja tanpa terjadi apa-apa. Keadaan di Gunung Henshan telah sunyi kembali.

Chongxu tidak tahan lagi. Segera ia bertanya, “Adik Linghu, tiba-tiba saja Ketua Ren sedemikian murah hati, tentu karena dia menghargai dirimu. Entah tadi … tadi ….” Sebenarnya ia ingin bertanya “entah tadi apa yang kalian bicarakan”. Namun, teringat olehnya bahwa pembicaraan itu kalau memang boleh diceritakan tentu sudah diceritakan oleh Linghu Chong. Sebaliknya kalau memang sesuatu yang rahasia, maka pertanyaannya justru terkesan tidak pantas. Oleh karena itu, ia pun mengurungkan niat melanjutkan pertanyaan tersebut.

Tentu saja Linghu Chong dapat memahami pikiran Chongxu, sehingga ia pun menjawab, “Harap kedua Sesepuh sudi memaafkan. Masalahnya saya telah berjanji kepada Ketua Ren, sehingga seluk-beluk permasalahan ini untuk sementara tidak dapat kukatakan. Namun, dalam masalah ini sesungguhnya juga tidak ada suatu rahasia penting. Tidak lama lagi tentu kedua Sesepuh juga akan mengetahuinya.”

Fangzheng bergelak tawa lalu berkata, “Suatu bencana besar dalam sekejap telah lenyap. Ini benar-benar keuntungan untuk segenap dunia persilatan. Melihat gerak-gerik Ketua Ren tadi, tampaknya memang tidak ada tanda-tanda permusuhan dengan golongan kita. Maka itu, kita benar-benar harus bersyukur dan berbahagia karena malapetaka yang hampir menimbulkan banjir darah ini tidak sampai terjadi.”

Perasaan Chongxu seperti digelitik karena tetap tidak mengetahui teka-teki apa yang tersembunyi di balik kejadian tadi. Namun, di sisi lain ia juga membenarkan apa yang dikatakan Fangzheng. Maka, pendeta tua itu lantas berkata, “Bukan maksudku mengkhawatirkan sesuatu secara berlebihan, namun biasanya Sekte Matahari dan Bulan terkenal licik dan banyak tipu muslihat. Bagaimanapun juga kita harus waspada. Kemungkinan besar Ketua Ren telah mengetahui perangkap yang kita pasang. Bisa jadi dia takut akan bahan peledak itu, sehingga hari ini sengaja bersikap sopan kepada kita. Kelak, lain waktu jika kita lengah, mungkin dia akan menyergap kita secara mendadak. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?”

“Memang … dalamnya hati manusia sulit diukur,” ujar Fangzheng. “Untuk segala sesuatunya lebih baik kita bersikap waspada.”

Linghu Chong menggeleng dan berkata tegas, “Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi.”

“Kalau Adik Linghu yakin tidak akan terjadi demikian, maka itu sangat bagus,” kata Chongxu. Akan tetapi, hatinya masih saja ragu dan membayangkan sebaliknya.

Beberapa saat kemudian, dari kaki gunung dilaporkan bahwa pasukan Sekte Matahari dan Bulan telah melewati jalur menuju ke bawah tanpa ada tanda-tanda berbuat kerusakan. Sebaliknya, para penjaga di sekitar jalur tersebut juga tidak melakukan perlawanan atau menyulut bahan peledak karena tidak mendapatkan perintah dari atas.

Chongxu segera mengirim orang untuk memberi tahu Qingxu dan Chenggao agar sumbu-sumbu bahan peledak yang telah dipasang pada kursi sembilan naga segera dibersihkan.

Hadiah untuk Shaolin dan Wudang.

Hadiah untuk Perguruan Henshan.

(Bersambung)