Bagian 108 - Kemenangan yang Kelam

Jurus Naga Kumala Keluar Kahyangan.

Di luar dugaan, Yue Buqun ternyata tenang-tenang saja. Ia mengelak ke samping menghindari serangan tersebut, kemudian balas menusuk dengan Jurus Cemara Tua Rindang Rimbun. Sikapnya terlihat teratur, jelas tidak berusaha menyerang titik kelemahan lawan, melainkan hanya memainkan jurus-jurusnya dengan rapat tanpa celah kesalahan. Ini menunjukkan bahwa ia telah merencanakan sebuah pertarungan jangka lama dan sama sekali tidak terpancing kemarahannya oleh jurus-jurus sindiran Zuo Lengchan, yaitu Jurus Membuka Gerbang Tampak Gunung dan Jurus Membelah Gunung Huashan tadi.

Menyadari hal itu, Zuo Lengchan tidak berani gegabah lagi. Ia merasa Yue Buqun memang seorang musuh yang tangguh dan tidak bisa disepelekan begitu saja. Segera ia pun melancarkan serangan lagi dengan lebih berhati-hati, karena jika tidak, maka serangannya yang seenaknya justru akan memberi kesempatan bagi Yue Buqun untuk berada di atas angin. Kali ini yang ia mainkan adalah jurus asli Perguruan Songshan, bernama Naga Kumala Keluar Kahyangan.

Murid-murid Songshan memang sudah mempelajari jurus ini, namun tidak seorang pun yang bisa memainkannya seperti Zuo Lengchan. Melihat kehebatan sang guru besar membuat mereka sama-sama tercengang takjub. Tampak pedang Zuo Lengchan menerjang seperti naga yang meliuk-liuk, kadang lurus kadang bengkok, membuat para murid tak henti-hentinya bersorak memuji.

Sementara itu, para hadirin dari golongan lain sejak tadi banyak yang muak melihat murid-murid Perguruan Songshan yang bersorak-sorak memuji setiap perkataan Zuo Lengchan, menyalakan petasan, atau menabuh genderang, serta merendahkan pihak lain. Namun, begitu menyaksikan sorak-sorai mereka saat mengiringi pertandingan ini, banyak di antara para hadirin yang akhirnya menjadi maklum bahwa kehebatan Zuo Lengchan memang pantas untuk dipuji. Tanpa terasa mereka pun ikut bersorak-sorak seperti apa yang dilakukan murid-murid Songshan tersebut.

Jurus Naga Kumala Keluar Kahyangan di tangan Zuo Lengchan memang benar-benar tampak sempurna. Pedangnya seolah berubah menjadi seekor ular besar yang benar-benar hidup. Para hadirin baik yang bersenjata pedang ataupun senjata jenis lainnya sama-sama terkagum-kagum. Bahkan, para sesepuh dari Perguruan Taishan dan Hengshan banyak yang berpikir, “Untung yang berada di atas panggung itu Yue Buqun, bukan aku.”

Zuo Lengchan dan Yue Buqun menggunakan ilmu pedang perguruan masing-masing untuk saling menyerang. Ilmu pedang Songshan dialiri tenaga dalam yang keras dan dahsyat penuh wibawa, bagaikan ribuan prajurit bertombak menunggang kuda berpacu di padang luas. Sementara itu, ilmu pedang Huashan dialiri tenaga dalam yang lembut dan ringan, bagaikan sepasang burung walet terbang di angkasa, melayang-layang naik turun, dan menyelinap di antara ranting pohon liu. Begitu seru pertarungan mereka sehingga dalam sekejap saja keduanya seakan-akan terbungkus rapat oleh sinar pedang yang berkelebatan. Meskipun pada diri Yue Buqun tidak terlihat adanya tanda-tanda kekalahan, tapi tampak jelas bahwa ilmu pedang Songshan di tangan Zuo Lengchan lebih banyak menyerang daripada bertahan.

Yue Buqun sendiri lebih banyak berusaha menghindari serangan dahsyat Zuo Lengchan daripada menangkisnya. Sebisa-bisanya ia berusaha agar pedangnya tidak bersentuhan dengan pedang lawan. Meskipun ilmu silatnya tinggi, namun ia lebih banyak mengandalkan kelincahan untuk menghadapi kekuatan pedang Zuo Lengchan itu.

Mereka berdua sama-sama ahli silat papan atas, terutama dalam hal ilmu pedang. Maka, ketika bertanding mereka sama-sama tidak terikat aturan yang baku. Zuo Lengchan tampak menggunakan ketujuh belas rumpun ilmu pedang Songshan yang dicampur menjadi satu, sedangkan Yue Buqun menggunakan jumlah jurus yang lebih sedikit namun penuh dengan perubahan-perubahan yang rumit dan mengejutkan.

Setelah melewati lebih dari dua puluh jurus, Zuo Lengchan tiba-tiba mengangkat pedangnya ke atas, menyusul kemudian tangan kirinya menghantam ke depan. Pukulan telapak tangannya ini mengancam tiga puluh enam titik penting pada tubuh lawan bagian atas. Apabila Yue Buqun menghindar tentu ia akan terluka oleh pedang Zuo Lengchan di tangan kanan. Namun, Yue Buqun memilih untuk menyambut pukulan tersebut. Seketika raut mukanya mendadak berubah keungu-unguan, dan ia pun menggunakan telapak tangan kiri untuk menyambut pukulan Zuo Lengchan. Begitu kedua tangan mereka beradu, seketika terdengar suara keras membelah angkasa. Sekejap kemudian Yue Buqun melompat mundur, sementara Zuo Lengchan tetap berdiri tegak.

“Aih!” seru Linghu Chong khawatir saat menyaksikan adu pukulan tersebut. Dalam hati ia sangat mencemaskan keselamatan Sang Guru. Ia tahu pukulan Zuo Lengchan tadi dialiri tenaga dalam mahadingin yang mematikan. Tempo hari Ren Woxing yang memiliki tenaga dalam melimpah saja berhasil dipecundanginya, sehingga menyebabkan dirinya bersama tiga orang yang lain termasuk Linghu Chong berubah menjadi manusia salju. Sementara itu, meski Yue Buqun memiliki tenaga dalam bagus, namun tingkatannya masih di bawah Ren Woxing. Memang adu pukulan tadi hanya sebentar, tetapi paling tidak bisa membuatnya menggigil kedinginan.

Akan tetapi, Yue Buqun sepertinya mampu bertahan. Dengan tenang ia berseru, “Apakah pukulanmu ini adalah ilmu silat asli Perguruan Songshan?”

Zuo Lengchan menjawab, “Ini adalah ilmu ciptaanku sendiri. Kelak akan kuajarkan hanya kepada murid pilihan dalam Perguruan Lima Gunung kita.”

“Ternyata begitu. Biarlah aku minta beberapa petunjuk lebih banyak dari Saudara Zuo,” ujar Yue Buqun.

“Bagus,” jawab Zuo Lengchan. Diam-diam ia mengakui kehebatan Ilmu Awan Lembayung yang dikuasai Yue Buqun, karena ketua Perguruan Huashan itu sedikit pun tidak menggigil kedinginan, bahkan sanggup bersuara dengan tenang tanpa gemetar. Namun, ia yakin kalau Yue Buqun berani menyambut lagi beberapa Jurus Tapak Es Mahadingin miliknya, pada akhirnya pasti akan membeku kedinginan.

Segera Zuo Lengchan memutar pedangnya untuk menusuk. Yue Buqun menangkis serangan itu dengan pedangnya. Beberapa jurus berikutnya, kembali Zuo Lengchan menghantamkan tangan kirinya dan disambut dengan tangan kiri Yue Buqun pula. Kedua tangan mereka pun bertemu. Kali ini Yue Buqun tidak menghindar pergi, sebaliknya pedangnya terus menebas ke arah pinggang lawan.

Giliran Zuo Lengchan yang menangkis dengan pedangnya, bersamaan itu telapak tangan kirinya kembali menghantam. Kali ini ia memukul sekeras-kerasnya ke arah batok kepala Yue Buqun. Sungguh tidak terbayangkan betapa keras pukulan dari atas ke bawah ini. Namun, Yue Buqun kembali mengangkat tangan kiri untuk menyambutnya. Untuk ketiga kalinya kedua telapak tangan mereka beradu. Sambil merendahkan tubuh, Yue Buqun lantas melompat ke samping, sementara Zuo Lengchan tiba-tiba memaki, “Bangsat! Tidak tahu malu!”

Jelas-jelas para penonton menyaksikan Yue Buqun terdesak, karena sewaktu melompat ke samping ia tampak agak sempoyongan. Namun mereka bingung juga mengapa Zuo Lengchan memaki dengan nada gusar? Rupanya pada adu pukulan yang ketiga itu tiba-tiba Zuo Lengchan merasakan sakit pada telapak tangannya. Sesudah Yue Buqun melompat pergi, sekilas Zuo Lengchan melihat pada tangannya itu terdapat suatu titik lubang kecil yang mengeluarkan darah kehitam-hitaman.

Kontan saja Zuo Lengchan terkejut dan sangat marah. Ia menduga Yue Buqun tentu secara licik telah menusukkan jarum pada tangannya saat menangkis pukulannya yang keras itu. Dari warna darah yang kehitam-hitaman, jelas jarum Yue Buqun mengandung racun. Sungguh tak disangka, seorang tokoh yang berjuluk “Si Pedang Budiman” ternyata begitu rendah perbuatannya. Dengan cepat Zuo Lengchan menghirup napas panjang-panjang, lalu menotok tiga kali pada bahu kirinya untuk menahan menjalarnya racun. Kali ini ia tidak mau lagi memberi angin kepada Yue Buqun. Segera ia memutar pedangnya untuk melancarkan serangan dengan lebih gencar dan dahsyat demi untuk mempercepat kemenangan.

Yue Buqun segera menangkis dan balas menyerang dengan ganas pula. Keadaan saat ini sudah remang-remang karena matahari baru saja terbenam. Pertandingan kedua tokoh di atas Panggung Fengshan itu kini bukan lagi pertandingan persaudaraan, tapi sudah menjadi pertarungan mati-matian. Hal ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton.

“Amitabha, shantih, shantih,” ujar Mahabiksu Fangzheng, “mengapa kalian jadi sekasar ini?”

Setelah berlalu belasan jurus berikutnya, Zuo Lengchan melihat pertahanan lawannya sangat rapat sulit ditembus. Karena khawatir racun di tangannya menyebar, ia pun semakin kuat mengerahkan tenaga dalam untuk memainkan pedangnya menyerang musuh bagaikan badai topan.

Yue Buqun terlihat mulai kewalahan. Tiba-tiba saja ilmu pedangnya berubah. Gerak pedangnya tampak sangat aneh, sebentar menjulur sebentar mengerut. Para penonton terheran-heran melihatnya. “Ilmu pedang macam apa ini?” demikian terdengar ada yang bertanya dengan suara perlahan. Tapi yang bertanya hanya bertanya, yang menjawab sama sekali tidak ada. Masing-masing hanya menggelengkan kepala menyaksikan pemandangan itu.

Linghu Chong yang menyaksikan pertarungan tersebut sambil dengan bersandar pada bahu Ren Yingying juga sangat terkejut. Ketika melihat ilmu pedang Sang Guru mendadak berubah aneh dan cepat luar biasa, serta berbeda sama sekali dengan ilmu pedang Huashan pada umumnya, ia langsung terheran-heran. Dalam sekejap dilihatnya ilmu pedang yang dimainkan Zuo Lengchan ikut berubah pula, yaitu hampir mirip dengan yang dimainkan Yue Buqun. Keduanya menyerang dan bertahan dengan sangat cepat dan rapat. Gerak serangan masing-masing juga sangat mirip, bagaikan sepasang saudara seperguruan yang berlatih bersama. Belasan jurus kemudian, Zuo Lengchan kembali melangkah maju, sementara Yue Buqun hanya bertahan dan terdesak mundur.

Linghu Chong yang sudah terlatih dalam mengamati jurus pedang merasa khawatir dan gelisah melihat celah kelemahan Sang Guru yang semakin bertambah besar, sedangkan keadaan semakin gawat dan berbahaya. Di lain pihak, begitu melihat kemenangan Zuo Lengchan sudah tampak di depan mata, serentak murid-murid Perguruan Songshan kembali bersorak memberikan pujian.

Zuo Lengchan semakin bersemangat menyerang dengan gencar. Diam-diam ia merasa senang melihat ilmu pedang Yue Buqun mulai kacau dan tidak teratur. Segera ia pun menyerang dengan tenaga lebih kuat. Tidak lama kemudian, ketika kedua pedang mereka beradu, dan dengan gerakan mengungkit, Zuo Lengchan berhasil membuat pedang Yue Buqun terlepas dari genggaman dan melayang di udara. Serentak murid-murid Songshan semakin gembira bersorak-sorai.

Tak disangka Yue Buqun tidak menyerah, tetapi nekat menubruk maju dengan tangan kosong. Kedua tangannya bergerak melancarkan segala jenis serangan, baik itu dengan cara menotok, mencengkeram, atau gaya-gaya yang lain. Gerak tubuhnya terlihat sangat lincah dan enteng bagaikan hantu, sebentar di sini, tahu-tahu sudah berada di sana. Betapa cepat dan aneh gerakannya sungguh sukar diikuti mata.

Kontan saja Zuo Lengchan terperanjat luar biasa. Ia pun berteriak ngeri, “Kau … kau ….” namun untuk bicara saja tidak sempat, terpaksa ia harus bertahan sebisanya.

Begitu tegang perubahan pertarungan itu sehingga pedang Yue Buqun yang terlempar ke udara dan kemudian jatuh menancap di atas batu tiada seorang pun yang memperhatikannya.

Tiba-tiba Ren Yingying berseru dengan suara tertahan, “Dongfang Bubai! Dongfang Bubai!”

Linghu Chong terkesiap karena ia juga memikirkan hal yang sama, bahwa ilmu silat yang kini dimainkan gurunya sama persis dengan ilmu silat Dongfang Bubai ketika bertempur di Tebing Kayu Hitam tempo hari. Begitu heran rasa hatinya, sampai-sampai ia pun bangkit berdiri dan melupakan luka parah di bahunya. Untung dari samping sebuah tangan mungil menjulur dan memapahnya, namun ia masih juga tidak merasakannya. Bahkan sepasang mata jelita yang sedang memandanginya dengan penuh perhatian juga tidak dihiraukannya.

Pada saat itu, beribu-ribu pasang mata di Puncak Songshan semua tertuju ke arah Panggung Fengshan, tempat Zuo Lengchan dan Yue Buqun bertarung habis-habisan. Namun demikian, ada sepasang mata yang sejak tadi tidak pernah memerhatikan apa yang terjadi di sana, yaitu mata Yilin. Sekejap pun sorot mata biksuni muda itu tidak pernah meninggalkan pandangannya dari arah Linghu Chong. Bahkan, meski dunia kiamat sekalipun juga tak dihiraukan olehnya.

Tiba-tiba terdengar Zuo Lengchan menjerit, sementara Yue Buqun melompat mundur dan berdiri tepat di ujung panggung. Rupanya hanya satu kakinya saja yang menapak di atas panggung, sehingga badannya tampak bergoyang-goyang seperti hendak tergelincir ke bawah.

Di sisi lain, Zuo Lengchan tampak masih terus memutar dan mengayunkan pedangnya dengan sangat kencang. Yang ia mainkan adalah ilmu pedang Songshan yang paling ganas. Begitu rapat senjatanya berputar sehingga seluruh tubuhnya seperti terbungkus oleh sinar pedangnya sendiri. Para penonton menjerit ngeri melihat jurus maut itu. Anehnya, ilmu pedang yang hebat ini hanyalah gerakan bertahan saja, sama sekali bukan gerakan menyerang seperti sebelumnya. Kedua kaki Zuo Lengchan juga sama sekali tidak melangkah maju ke arah Yue Buqun yang sudah berdiri terpojok di sudut panggung. Pemandangan yang terjadi seolah-olah Zuo Lengchan sedang berlatih sendiri dengan memainkan jurus-jurus pedang yang paling hebat. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini.

Sejenak kemudian, Zuo Lengchan tiba-tiba menghentikan pedangnya dalam keadaan menusuk ke depan, lalu kepalanya terlihat agak miring seperti sedang mendengarkan sesuatu. Pada saat itulah para hadirin yang berpenglihatan tajam dapat melihat ada dua tetes aliran darah mengucur keluar dari sepasang mata Zuo Lengchan. Serentak di antara para penonton ada yang berkata, “Hei, matanya buta!”

Ucapan orang itu tidak terlalu keras, namun cukup jelas didengar oleh Zuo Lengchan. Ia menjadi gusar dan berteriak, “Aku tidak buta! Aku tidak buta! Bangsat mana yang bilang aku buta? Yue Buqun keparat, pengecut kau! Dasar bangsat! Kalau berani majulah dan bergebrak tiga ratus jurus lagi dengan majikanmu ini!” Ia berteriak semakin keras dengan nada marah, rasa sakit, serta putus asa laksana seekor binatang liar yang terluka parah sedang meronta-ronta menanti ajal.

Yue Buqun tetap berdiri di ujung panggung dengan mulut tersenyum.

Kini semua orang dapat melihat dengan jelas bahwa kedua mata Zuo Lengchan memang benar-benar telah tertusuk oleh serangan tangan Yue Buqun. Semuanya tercengang heran, kecuali Linghu Chong dan Ren Yingying yang tidak merasa aneh atas kejadian ini. Melihat jurus-jurus yang dimainkan Yue Buqun tadi, mereka langsung teringat pada ilmu silat Dongfang Bubai di Tebing Kayu Hitam tempo hari yang luar biasa dahsyat. Untung saja waktu itu Ren Yingying sengaja menyakiti Yang Lianting sehingga perhatian Dongfang Bubai terpecah dan pada akhirnya ia dapat dibinasakan. Walaupun demikian, sebelah mata Ren Woxing tetap saja tertusuk oleh jarum sulam Dongfang Bubai.

Kali ini gerakan Yue Buqun juga sangat gesit, meskipun tidak secepat Dongfang Bubai. Namun demikian, dalam pertarungan satu lawan satu tentu saja Zuo Lengchan bukan tandingan ilmu silat semacam ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam sekejap saja kedua mata ketua Perguruan Songshan itu sudah tertusuk buta oleh semacam jarum di tangan Yue Buqun.

Melihat Sang Guru meraih kemenangan, seharusnya Linghu Chong merasa senang. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kemenangan Yue Buqun telah membuatnya merasa takut yang tak terlukiskan, bahkan bercampur rasa muak pula. Sejak dulu ia sangat menghormati dan kagum terhadap Sang Guru yang lembut tapi tegas itu. Sewaktu dirinya dikeluarkan dari Perguruan Huashan juga tidak menimbulkan rasa dendam di hatinya, karena ia menyadari bahwa itu semua adalah karena kesalahannya sendiri. Hukuman terhadapnya dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan sudah sepantasnya, karena ia memang suka bertindak sesuka hati dan melanggar peraturan dunia persilatan. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam adalah harapan bahwa suatu hari nanti Sang Guru dan Ibu Guru sudi mengampuninya dan menerimanya kembali di Perguruan Huashan.

Kini, begitu melihat Sang Guru berdiri di sudut panggung dengan jubah berkibar-kibar dan raut wajah berseri-seri, seketika timbul perasaan benci teramat sangat di dalam hatinya. Mungkin itu disebabkan karena ilmu silat Yue Buqun mirip dengan Dongfang Bubai, atau mungkin karena kemenangan Sang Guru diperoleh dengan cara licik dan tidak mengindahkan aturan.

Untuk sesaat Linghu Chong tertegun, kemudian luka pada bahunya tiba-tiba kembali terasa sakit. Ia pun segera duduk dengan perasaan lesu dan kecewa.

“Kenapa? Ada masalah apa?” serentak Ren Yingying dan Yilin memegang bahunya masing-masing dan bertanya dengan khawatir.

“Tidak … tidak apa-apa,” jawab Linghu Chong dengan senyum yang dipaksakan.

Kembali terdengar Zuo Lengchan berteriak-teriak, “Yue Buqun, bangsat kau! Kalau berani hayo maju lagi! Kenapa main sembunyi-sembunyi, pengecut kau … hayo maju!”

Tang Ying’e segera berkata kepada murid-murid Songshan, “Lekas kalian pergi memapah Ketua turun!”

“Baik, Paman Guru!” sahut dua orang murid Zuo Lengchan yang bernama Shi Dengda dan Di Xiuying. Keduanya lantas meloncat ke atas panggung dan berseru, “Guru, mari kita turun saja!”

Namun Zuo Lengchan masih terus menantang, “Yue Buqun, apa kau takut, hah?”

Shi Dengda maju dan mengulurkan tangannya, lalu berkata, “Gur...”

Belum selesai ia berbicara tiba-tiba pedang Zuo Lengchan berkelebat, dan tahu-tahu tubuhnya telah terpotong menjadi dua, mulai dari bahu sebelah kanan sampai ke pinggang sebelah kiri. Di Xiuying juga mengalami hal yang sama. Tubuhnya terpotong menjadi dua oleh pedang Sang Guru sebatas dada. Sungguh dahsyat kekuatan ilmu pedang Zuo Lengchan membuat para penonton menjerit ngeri.

Perlahan-lahan Yue Buqun melangkah ke tengah panggung lalu berkata, “Saudara Zuo, karena kau sudah cacat maka kita tidak perlu bertarung lagi. Dalam keadaan demikian apakah kau masih ingin berebut jabatan ketua Perguruan Lima Gunung denganku?”

Zuo Lengchan mengangkat pedangnya perlahan-lahan dan ujungnya kemudian mengarah ke suara Yue Buqun, tepat mengarah di depan dada lawan. Yue Buqun mendekatinya dengan tenang meski tanpa senjata sama sekali. Pedangnya yang masih menancap pada sebongkah batu tampak bergoyang-goyang tertiup angin. Kedua tangannya pun masuk ke dalam lengan baju masing-masing, sementara kedua matanya memandang tajam ujung pedang Zuo Lengchan yang hanya berjarak beberapa jengkal dari dadanya. Darah tampak menetes jatuh dari batang pedang tersebut. Lengan baju sebelah kanan Zuo Lengchan terlihat mengembang seperti layar kapal, sedangkan yang kiri tampak biasa, pertanda ia sedang mengumpulkan tenaga dalam yang sangat dahsyat di tangan kanannya untuk menyerang Yue Buqun.

Tiba-tiba sekelebat bayangan bergerak secepat kilat. Rupanya Yue Buqun melesat mundur sejauh belasan meter, lalu meluncur lagi ke tempat semula dalam waktu sekejap. Gerakan mundur dan maju ini dilakukannya dalam waktu sangat singkat dan sulit dilukiskan kecepatannya. Setiap mata menyaksikan Yue Buqun tiba-tiba berada di pinggir panggung, dan sekejap kemudian sudah kembali berada di depan pedang Zuo Lengchan. Melihat itu para penonton tercengang tak percaya. Masing-masing yakin bagaimanapun hebatnya tusukan Zuo Lengchan pasti dapat dihindari oleh Yue Buqun.

Zuo Lengchan sendiri dalam keadaan sangat bingung dan pikirannya bermacam-macam pula. Jika tusukannya ini tidak mampu membinasakan Yue Buqun atau dapat ditangkis oleh lawan, tentu keadaannya yang sudah cacat akan bertambah runyam. Ini berarti buyar sudah semua jerih payahnya dalam upaya menguasai Perguruan Lima Gunung yang telah direncanakannya bertahun-tahun. Sungguh tak disangka, usahanya selama ini akan berakhir sia-sia dan ia pun merasa gagal ketika keberhasilan sudah ada di depan mata. Karena pikiran yang bergolak ini, mendadak dadanya terasa panas, dan darah segar pun menyembur keluar dari mulutnya.

Yue Buqun yang berdiri tepat di hadapannya secepat kilat bergeser ke samping menghindari semburan darah tersebut. Bibirnya tampak tak kuasa menyembunyikan senyuman. Tiba-tiba Zuo Lengchan menyendal pedangnya sehingga patah menjadi beberapa potong, kemudian ia menengadah ke angkasa dan bergelak tawa. Begitu keras suara tertawanya hingga berkumandang jauh dan menggema di angkasa pegunungan.

Sambil tetap tertawa ia pun berbalik dan melangkah menuju ke bawah. Ketika sampai di tepi panggung kaki kirinya terasa menginjak tempat kosong. Karena sudah siap sebelumnya, maka kaki kanan lantas melayang ke depan sehingga tubuhnya pun turun ke tanah dalam keadaan tegak. Setibanya di bawah, murid-murid Songshan segera mengerumuninya dan berkata, “Guru, mari kita terjang dan babat habis semua orang Huashan.”

Namun Zuo Lengchan berseru lantang, “Seorang laki-laki sejati harus memegang janji. Sebelumnya sudah ditentukan bahwa pertandingan ini adalah untuk menentukan kedudukan ketua. Tuan Yue jelas lebih unggul dibanding aku. Kita semua harus mengangkatnya sebagai ketua, mana boleh ingkar janji?”

Ketika kedua matanya tiba-tiba ditusuk Yue Buqun hingga buta, ia menjadi sangat marah dan mencaci maki lawannya itu dengan kata-kata kotor. Namun, sesudah hatinya tenang kembali, sikapnya sebagai seorang guru besar dunia persilatan kembali pulih dan wibawanya kembali memancar.

Para hadirin merasa kagum melihat sikap kesatria Zuo Lengchan yang berani mengakui kekalahan itu. Andaikan sampai terjadi pertempuran besar, pihak Songshan yang berjumlah lebih banyak dan juga lebih mengenal medan pasti dapat menumpas orang-orang Huashan, meskipun ilmu silat Yue Buqun setinggi langit.

Di antara para hadirin sudah tentu banyak pula yang merupakan manusia-manusia picik tak punya pendirian yang hanya mengikuti ke mana angin bertiup. Maka, begitu mendengar ucapan Zuo Lengchan itu, serentak mereka pun bersorak-sorai, “Hidup Tuan Yue! Selamat untuk Tuan Yue yang menjadi ketua Perguruan Lima Gunung!” Tentu saja murid-murid Huashan adalah yang paling bergembira dan berteriak paling lantang. Kemenangan Sang Guru yang luar biasa itu sesungguhnya terjadi sangat cepat dan sama sekali di luar dugaan mereka, membuat mereka hampir-hampir tidak percaya.

Yue Buqun lantas bergeser ke tepi panggung. Sambil kedua tangannya memberi hormat kepada para hadirin, ia berseru, “Pertandinganku dengan Kakak Zuo sebenarnya hanya untuk mengukur kemampuan masing-masing. Tadinya aku berharap di antara kami cukup saling sentuh saja untuk mengetahui siapa yang lebih unggul. Namun kepandaian Kakak Zuo ternyata sangat hebat sampai-sampai pedangku tergetar dan lepas dari genggaman. Pada saat yang berbahaya itu aku terpaksa harus menyelamatkan nyawa sebisa-bisaku. Akan tetapi, tindakanku agak berlebihan sehingga kedua mata Kakak Zuo menjadi korban. Sungguh dalam hal ini aku merasa tidak enak hati. Semoga ada tabib yang bisa memulihkan penglihatan Kakak Zuo.”

Terdengar seorang penonton berseru, “Senjata tidak bermata. Siapa orangnya yang bisa menjamin takkan cedera dalam suatu pertarungan sengit?”

“Sudah untung Tuan Yue tidak membunuhnya. Tuan Yue sudah cukup bermurah hati,” sahut yang lain.

“Aku tidak berani,” jawab Yue Buqun sambil memberi hormat. Kakinya tetap berdiri di tepi panggung, sama sekali tidak melangkah turun.

Terdengar seorang penonton lainnya berseru, “Sekarang kalau ada yang ingin menjadi ketua Perguruan Lima Gunung, silakan naik ke atas untuk bertanding melawan Tuan Yue!”

Penonton yang lain menanggapi, “Daripada menantang Tuan Yue untuk bertanding lebih baik memintanya untuk menggalikan kubur saja.”

Maka, beratus-ratus orang pun berteriak pula, “Hanya Tuan Yue yang pantas menjadi ketua Perguruan Lima Gunung! Silakan Tuan Yue menjadi ketua!”

Yue Buqun menunggu para hadirin kembali tenang, barulah ia berkata dengan suara lantang, “Karena dukungan Saudara-Saudara, terpaksa aku tidak bisa menolak tanggung jawab ini. Perguruan Lima Gunung hari ini baru saja didirikan, sedangkan segala macam urusan perlu diatur. Aku hanya dapat mengatur masalah yang umum saja. Maka, untuk urusan-urusan di Perguruan Hengshan hendaknya tetap ditangani Tuan Besar Mo, dan urusan-urusan di Perguruan Henshan hendaknya tetap ditangani oleh Adik Linghu. Sementara itu, untuk urusan-urusan di Perguruan Taishan, aku mohon bantuan Pendeta Yuqing dan Pendeta Yuyin beserta para murid tertua untuk menanganinya. Adapun urusan Perguruan Songshan, karena pandangan Kakak Zuo kurang leluasa .…” Yue Buqun kemudian berpaling ke arah kalangan orang-orang Songshan, kemudian berkata, “Menurutku, hendaknya Saudara Ding Mian, Saudara Lu Bai, dan Saudara Tang Ying’e sudi membantu Kakak Zuo menangani urusan Perguruan Songshan sehari-hari.”

Ucapan Yue Buqun ini sungguh di luar dugaan Lu Bai, sehingga ia sampai tergagap-gagap, “Ini … ini .…” Orang-orang Songshan dan para hadirin dari golongan lain juga ikut heran mendengarnya.

Ding Mian memang orang nomor dua di Perguruan Songshan, sedangkan Tang Ying’e juga sudah lama menjadi kepercayaan Zuo Lengchan, sehingga wajar kalau mereka ditujuk Yue Buqun sebagai pejabat ketua. Namun, Lu Bai jelas-jelas sejak tadi sangat memusuhi Yue Buqun dengan mengucapkan beberapa perkataan kasar dan menyudutkan, sehingga penunjukannya sebagai wakil Zuo Lengchan benar-benar di luar dugaan. Sementara itu, murid-murid Perguruan Songshan pada awalnya sangat gusar dan berniat membalas dendam atas pemimpin mereka yang telah kehilangan penglihatan. Namun, begitu mendengar Zuo Lengchan, Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e tetap dihormati dan dihargai oleh Yue Buqun, dan urusan di Perguruan Songshan juga masih seperti sediakala, seketika rasa kesal mereka pun agak berkurang.

Kemudian terdengar Yue Buqun kembali berkata, “Mulai hari ini, Serikat Pedang Lima Gunung telah dilebur menjadi satu. Untuk itu kita harus bersatu padu, karena jika tidak, maka peleburan ini tidak memiliki arti lagi. Kita tidak boleh membeda-bedakan lagi. Aku sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa, namun untuk sementara ini dipercaya memegang pimpinan. Oleh karena itu, banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang masih harus dirundingkan dengan Saudara-Saudara sekalian dan aku tidak berani mengambil keputusan secara sepihak. Sekarang hari sudah mulai gelap, silakan Saudara-Saudara menuju halaman utama Perguruan Songshan untuk beristirahat dan makan minum bersama!”

Maka para hadirin pun serentak bersorak-sorak senang dan beramai-ramai mereka turun menuju ke halaman markas Perguruan Songshan. Ketika Yue Buqun turun dari panggung, beramai-ramai Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Ketua Xie, dan yang lain melangkah maju memberikan ucapan selamat kepadanya. Semula tokoh-tokoh besar ini khawatir Perguruan Lima Gunung akan dikuasai oleh Zuo Lengchan yang kejam dan culas, sehingga untuk selanjutnya perguruan dan partai mereka pasti menjadi sasaran pencaplokan. Namun, ternyata secara tak terduga yang berhasil memenangkan persaingan adalah Yue Buqun. Semua orang mengetahui dan mengenal nama besar Yue Buqun sebagai seorang budiman yang halus pekertinya dan mendapat julukan Si Pedang Budiman, sehingga hati mereka pun merasa lega. Maka, ucapan selamat ini mereka sampaikan secara tulus dari lubuk hati yang terdalam.

“Tuan Yue,” dengan ramah Mahabiksu Fangzheng menyapa perlahan. “Menurut pendapatku, tidak mustahil pihak Perguruan Songshan masih akan mencari perkara denganmu. Seorang bijak tidak suka menjalin permusuhan, tetapi bersikap waspada tiada salahnya. Sebaiknya Tuan Yue selalu berjaga-jaga dan hati-hati.”

“Terima kasih atas petunjuk Mahabiksu,” jawab Yue Buqun.

“Gunung Shaoshi tidak terlalu jauh dari sini. Bila memerlukan apa-apa silakan memberi kabar,” lanjut Fangzheng kemudian.

“Maksud baik Mahabiksu sungguh kuterima dengan rasa terima kasih yang tidak terhingga,” jawab Yue Buqun sambil memberi hormat. Setelah beramah tamah sejenak dengan Chongxu, Xie Feng, dan yang lain, ia lantas mendekati Linghu Chong dan menyapa, “Chong’er, apakah lukamu tidak menjadi halangan?”

Sejak dikeluarkan dari Perguruan Huashan, baru kali ini Linghu Chong mendengar Yue Buqun memanggil “Chong’er” seramah ini kepadanya. Namun, perasaannya kini telah berubah. Bukannya merasa senang, sebaliknya ia justru merasa ngeri. Maka, dengan suara tidak lancar ia menjawab, “Ti… tidak apa-apa.”

“Maukah kau ikut aku pulang ke Gunung Huashan untuk merawat lukamu dan tinggal beberapa hari di sana dengan ibu-gurumu?” tanya Yue Buqun kemudian.

Andai saja Yue Buqun bertanya seperti ini beberapa jam yang lalu, tentu Linghu Chong akan sangat gembira dan menerima ajakan tersebut tanpa pikir panjang. Namun, sekarang ia menjadi ragu-ragu dan bercampur takut pula.

“Bagaimana?” tanya Yue Buqun menegas.

Linghu Chong menjawab, “Perguruan Henshan memiliki obat yang lumayan manjur. Biarlah sesudah luka murid sem… sembuh baru mengunjungi Guru dan Ibu Guru.”

Yue Buqun memiringkan kepalanya dan memandang tajam wajah Linghu Chong seakan-akan ingin membaca isi hati muridnya itu. Selang agak lama barulah ia berkata, “Begitu juga boleh. Hendaknya kau merawat dirimu dengan baik dan segera berkunjung ke Huashan.”

“Baik!” jawab Linghu Chong sambil kemudian meronta bangun dengan maksud hendak memberi hormat.

“Sudahlah, tidak perlu,” kata Yue Buqun ramah sambil mengulurkan tangan untuk memapah lengan kanan muridnya itu. Namun, Linghu Chong justru mengelakkan tubuhnya dengan raut muka yang tanpa terasa memperlihatkan rasa takut.

Yue Buqun mendengus perlahan. Alisnya menegak dan wajahnya terlihat gusar. Namun, dalam waktu singkat ia sudah tersenyum kembali dan berkata, “Adik kecilmu sungguh keterlaluan, sejak dulu tidak bisa mengendalikan diri kalau bertarung. Untung saja tidak mengenai titik yang berbahaya.” Usai berkata demikian ia lantas mengangguk kepada Yihe dan Yiqing selaku murid-murid tertua Perguruan Henshan, kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi.

Pada jarak beberapa meter di depan, ratusan hadirin sudah menunggunya. Serentak mereka pun mengerumuni Yue Buqun dengan mengucapkan selamat serta menyampaikan berbagai pujian. Ada yang memuji ilmu silatnya, ada pula yang memuji keluhuran budinya. Di tengah suara sanjung puji itu, perlahan-lahan sosok Yue Buqun menghilang di balik lereng gunung dengan diikuti para penjilatnya itu. Pandangan mata Linghu Chong mengikuti setiap langkah Sang Guru sampai tak terlihat lagi. Tiba-tiba kemudian terdengar suara seorang perempuan memaki lirih di belakangnya, “Munafik!”

Perkataan ini entah diucapkan oleh murid Henshan yang mana, tapi yang jelas benar-benar mengena di lubuk hati Linghu Chong. Ia merasa dadanya seperti dihantam palu godam. Dalam keadaan sekarang ini memang tiada istilah lain yang lebih cocok untuk mencerminkan apa yang ia rasakan. Seorang guru berbudi yang paling dihormati dan dikasihinya tiba-tiba telah terbuka kedoknya, sehingga terlihat sudah wajah aslinya yang bengis dan menyeramkan, serta licik dan keji pula.

Sementara itu, hari sudah semakin gelap. Di samping Panggung Fengshan yang tertinggal hanyalah orang-orang Perguruan Henshan saja, sedangkan yang lain sudah pergi semua.

“Kakak Ketua, apakah kita juga akan turun ke bawah?” tanya Yihe. Ia tetap memanggil “Kakak Ketua” menunjukkan bahwa dirinya memang tidak peduli dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, lebih-lebih mengakui Yue Buqun sebagai ketua Perguruan Lima Gunung.

“Bagaimana kalau kita bermalam di sini saja?” ujar Linghu Chong yang di dalam hatinya merasa lebih baik jika berada jauh dari Yue Buqun yang saat itu bermalam di markas Perguruan Songshan bersama para hadirin lainnya.

Ternyata ucapan Linghu Chong ini sangat cocok dengan pikiran murid-murid Perguruan Henshan. Serentak mereka pun bersorak setuju, karena masing-masing juga tidak suka pada Yue Buqun. Seperti diketahui sebelumnya, ketika di Kota Fuzhou dulu mereka pernah meminta bantuan Perguruan Huashan untuk menolong Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi yang sedang dikepung musuh. Namun, Yue Buqun telah menolak permintaan itu tanpa memandang hubungan baik di antara sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Kali ini Linghu Chong telah dilukai pula oleh Yue Lingshan, bahkan kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung juga dapat direbut oleh Yue Buqun, sudah tentu menambah rasa kesal mereka. Akibatnya, mereka pun lebih suka bermalam di samping Panggung Fengshan daripada harus berkumpul dengan Yue Buqun dan para begundalnya.

Terdengar Yiqing berkata pula, “Kakak Ketua sedang terluka. Memang yang paling baik adalah kita tetap tinggal di sini daripada banyak bergerak. Hanya saja, saudara ini ….” Berkata demikian matanya lantas melirik ke arah si laki-laki berewok.

“Dia bukan saudara, tapi Nona Besar Ren,” sahut Linghu Chong dengan tertawa.

Sejak tadi Ren Yingying masih saja memapah bahu Linghu Chong. Begitu mendengar Linghu Chong membongkar rahasia penyamarannya, seketika ia langsung tersipu malu. Tanpa sadar ia pun buru-buru melepaskan tangan dan melangkah mundur.

Karena tidak menduga sebelumnya, tubuh Linghu Chong pun terhuyung-huyung ke belakang hendak jatuh telentang. Untung saja Yilin yang berdiri di sebelahnya dengan cekatan memegangi bahu kirinya sambil berseru, “Eh, hati-hati!”

Yihe, Yiqing, dan yang lain sudah lama mengetahui kisah cinta antara Ren Yingying dan Linghu Chong. Kisah asmara mereka memang sangat unik dan lain daripada yang lain. Yang satu pernah mendatangi Biara Shaolin, rela mengorbankan jiwa demi menyelamatkan sang kekasih, dan yang lain kemudian memimpin beribu-ribu orang persilatan menyerbu biara itu untuk menolongnya. Juga ketika Linghu Chong dilantik sebagai ketua Perguruan Henshan, Ren Yingying datang secara pribadi untuk mengucapkan selamat, serta menolong nyawa sang ketua baru dari niat jahat pasukan Sekte Iblis di Kuil Gantung. Kini, begitu mengetahui bahwa lelaki berewok di depan mereka itu ternyata Nona Besar Ren dari Sekte Matahari dan Bulan yang termasyhur, banyak di antara mereka yang berseru kaget sekaligus senang. Lagipula dalam pandangan mereka, Nona Besar Ren ini sudah dianggap sebagai calon istri sang ketua, sehingga pada pertemuan mereka ini langsung terjalin suasana akrab dan menyenangkan.

Yihe, Yiqing, dan yang lain segera mengeluarkan perbekalan semacam ransum kering dan air untuk dibagi-bagikan. Usai makan mereka lantas merebahkan diri di samping Panggung Fengshan. Linghu Chong sendiri sedang terluka, dengan sendirinya badannya sangat lelah dan lemah. Oleh karena itu, tidak lama kemudian ia pun tertidur pulas.

Ketika malam semakin larut, tiba-tiba di kejauhan terdengar suara wanita membentak, “Siapa itu?”

Meskipun terluka parah, namun berkat tenaga dalamnya yang tinggi Linghu Chong langsung terjaga mendengar suara itu. Suara bentakan tersebut berasal dari murid-murid Henshan yang bertugas jaga yang sedang menegur seseorang.

Maka terdengarlah seorang pria menjawab, “Kita sesama anggota Perguruan Lima Gunung. Aku murid Tuan Yue dari Huashan. Namaku Lin Pingzhi.”

“Ada urusan apa malam-malam datang ke sini?” tanya murid Henshan tadi

“Aku ada janji bertemu dengan seseorang di bawah Panggung Fengshan ini. Sebelumnya aku tidak tahu kalau para kakak beristirahat di sini. Mohon dimaafkan jika mengganggu,” jawab Lin Pingzhi sopan.

Pada saat itulah dari arah barat berkumandang suara seorang tua, “Bocah bermarga Lin, kau telah menyiapkan teman-temanmu dari Perguruan Lima Gunung di sini. Apakah kau ingin main kerubut dan mencari perkara dengan si pendeta tua ini?”

Linghu Chong dengan jelas dapat mengenali orang yang baru datang itu yang tidak lain adalah Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng. Ia agak terkejut dan berpikir, “Adik Lin telah bermusuhan dengan Yu Canghai sejak hancurnya Biro Ekspedisi Fuwei, lebih-lebih sejak kedua orang tuanya terbunuh. Sekarang mereka berjanji bertemu di sini tentu untuk membereskan hutang darah itu.”

Terdengar Lin Pingzhi menjawab teguran Yu Canghai tadi, “Aku juga tidak tahu kalau para kakak dari Perguruan Henshan bermalam di sini. Biarlah kita mencari tempat lain saja agar tidak mengganggu tidur mereka.”

“Hahahaha! Kau sudah mengganggu tidur mereka, tapi masih bicara muluk-muluk dan pura-pura baik hati,” sahut Yu Canghai dengan wajah menghina. “Ada bapak mertua seperti itu, tentu ada juga menantu seperti ini. Nah, apa yang mau kau katakan lekas katakan saja agar sama-sama bisa tidur nyenyak.”

“Hm, kau masih ingin tidur nyenyak? Jangan harap itu bisa terjadi lagi selama sisa hidupmu,” sahut Lin Pingzhi. “Orang-orang Perguruan Qingcheng macam kalian yang datang seluruhnya hanya berjumlah tiga puluh empat termasuk dirimu. Aku mengundang kalian semua datang ke sini, mengapa yang datang hanya tiga orang?”

“Huh, kau ini kunyuk macam apa? Memangnya kau berani menyuruhku begini begitu?” jawab Yu Canghai dengan tertawa bengis. “Hanya karena memandang bapak mertuamu yang baru saja dilantik sebagai ketua Perguruan Lima Gunung, maka aku sudi memenuhi undanganmu. Nah, kalau mau kentut lekas keluarkan, kalau mau berkelahi lekas cabut senjata. Biar kulihat apakah Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga Lin kalian sudah ada kemajuan atau tidak.”

Perlahan-lahan Linghu Chong bangkit untuk duduk. Di bawah sinar bulan yang remang-remang dilihatnya Lin Pingzhi berdiri berhadapan dengan Yu Canghai dalam jarak hanya beberapa meter. Ia masih ingat Lin Pingzhi dulu pernah muncul menolong saat dirinya hendak dibunuh Yu Canghai di Kota Hengshan.

“Waktu itu aku sedang terluka parah dan dirawat di sebuah rumah pelacuran. Si pendek Yu menemukanku dan hendak memukulku sampai mati. Untung saja Adik Lin muncul dan berteriak mengejek sehingga Yu Canghai membatalkan pukulannya. Jika tidak, mungkin aku sudah kehilangan nyawa pada malam itu juga. Setelah masuk Perguruan Huashan, ilmu silat Adik Lin banyak mengalami kemajuan, tapi tetap masih kalah jauh dibandingkan Yu Canghai. Kalau sekarang Adik Lin berani menantang Yu Canghai di sini, kemungkinan ia mendapat dukungan dari Guru dan Ibu Guru. Tapi Guru dan Ibu Guru belum juga datang, aku tidak boleh tinggal diam,” demikian pikir Linghu Chong.

Zuo Lengchan dan Yue Buqun aadu pukulan.
Pedang Yue Buqun terlempar.
Zuo Lengchan mengamuk kehilangan mata.
Yue Buqun berpidato.

(Bersambung)