Bagian 43 - Belajar Main Musik

Lu Zhuweng mempersilakan Linghu Chong masuk.

Setelah rombongan Keluarga Wang dan Perguruan Huashan pergi menjauh, suasana menjadi sunyi senyap. Hanya kadangkala terdengar suara batang bambu bergesekan satu sama lain saat tertiup angin sepoi-sepoi. Sambil memandangi kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan, pikiran Linghu Chong pun melayang-layang terkenang bagaimana Qu Yang dan Liu Zhengfeng memainkan lagu tersebut di kejadian malam itu.

“Mereka berdua sangat beruntung bisa bertemu dan mengikat persahabatan, lalu bersama-sama menghasilkan karya agung ini. Meskipun nenek dari balik semak bambu itu sangat mahir bermain musik, namun ia tidak memiliki kawan sepadan yang bisa bermain bersamanya. Kemahiran orang tua bernama Lu Zhuweng itu juga masih di bawahnya. Mungkin lagu Menertawakan Dunia Persilatan akan punah selamanya dan aku tidak dapat lagi mendengar keindahan lagu ini.”

Usai berpikir demikian, ia kembali termangu-mangu. “Paman Liu dan Tetua Qu berasal dari kelompok yang bermusuhan. Yang satunya adalah pemuka perguruan ternama, sementara yang satunya adalah pemuka Sekte Iblis. Yang satu mewakili kelompok aliran lurus, sedangkan yang lain mewakili aliran sesat. Akan tetapi saat mereka membicarakan musik, mereka dapat saling memahami perasaan satu sama lain, dan akhirnya saling mengangkat saudara, bersahabat sehidup semati. Puncak persahabatan mereka adalah terciptanya lagu Menertawakan Dunia Persilatan yang sangat bagus ini. Ketika mereka saling berjabat tangan saat meninggal dunia bersama-sama, keduanya tidak menyesal. Apa yang mereka alami jauh lebih baik daripada nasibku yang sebatang kara. Aku dicurigai oleh guruku, diabaikan oleh Adik Kecil yang kusayangi, bahkan Adik Keenam yang merupakan sahabtku yang paling baik justru mati di tanganku sendiri.” Terkenang pada kematian Lu Dayou membuat hati Linghu Chong kembali berduka. Tanpa terasa ia pun menangis tersedu-sedu. Air matanya menetes melewati dagu dan membasahi kitab musik di tangannya.

Tiba-tiba terdengar suara Lu Zhuweng bertanya dari balik semak bambu, “Sobat kecil, mengapa kau belum pergi? Apa aku boleh bertanya apa yang telah membuatmu sedih?”

“Oh, saya berduka meratapi nasib sendiri yang buruk ini. Saya juga terkenang pada kematian kedua sesepuh yang menggubah lagu indah tadi. Mohon maaf apabila saya mengganggu Kakek. Sekarang saya mohon pamit.” Usai berkata demikian Linghu Chong pun memutar badan hendak melangkah pergi.

“Sobat kecil, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu. Apa kau sudi masuk ke dalam untuk mengobrol sebentar dengan orang tua ini?” tanya Lu Zhuweng.

Linghu Chong tertegun tak percaya. Padahal tadi Lu Zhuweng bersikap angkuh kepada Wang Yuanba, tapi sekarang justru berubah ramah terhadap dirinya yang bukan siapa-siapa. Maka, ia pun menjawab, “Sesepuh terlalu memuji. Baiklah, apapun yang ingin Sesepuh tanyakan, pasti akan kujawab semampuku.”

Pemuda itu kemudian melangkah menyusuri jalan setapak masuk ke dalam semak bambu. Jalanan kecil tersebut membelok beberapa kali dan akhirnya sampai di hadapan lima buah gubuk kecil. Di kiri jalan ada dua, di kanan jalan ada tiga. Semuanya terbuat dari bambu. Terlihat seorang kakek melangkah keluar dari dalam gubuk kiri, menjemputnya dengan tertawa.

“Sobat kecil, silakan mampir untuk minum teh,” sapa orang tua itu sangat ramah.

Mendengar suaranya, Linghu Chong yakin kalau dia adalah Lu Zhuweng. Orang tua itu berbadan agak bungkuk, kepalanya hampir botak dengan rambutnya yang hanya beberapa. Tangannya lebar dan kakinya besar. Meskipun sudah tua namun ia terlihat penuh semangat.

Linghu Chong pun berkata, “Saya Linghu Chong menyampaikan hormat kepada Sesepuh.”

Lu Zhuweng tertawa dan menjawab, “Sobat kecil, jangan terlalu banyak adat. Aku hanya kebetulan lebih tua beberapa tahun saja. Mari, silakan masuk!”

Linghu Chong pun melangkah perlahan mengikuti Lu Zhuweng masuk ke dalam pondok kecil itu. Di dalam terdapat meja, kursi, lemari, dan perabotan lainnya yang kesemuanya terbuat dari bambu. Sebuah lukisan yang menggambarkan semak bambu yang lebat pun tergantung di dinding. Goresan pada lukisan tersebut terlihat tebal dan tajam. Pada sebuah meja tampak tertaruh sebuah kecapi dan seruling bambu.

“Sobat kecil, silakan minum!” kata Lu Zhuweng sambil menuangkan secangkir teh dari dalam sebuah poci porselen berwarna hijau.

Dengan penuh hormat Linghu Chong menerima cangkir tersebut.

“Sobat kecil, kitab musik tadi kau peroleh dari mana? Apakah kau sudi memberikan penjelasan?” tanya Lu Zhuweng lebih lanjut.

Linghu Chong terperanjat dengan jantung berdebar-debar. Ia merasa bimbang. Bagaimanapun juga kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan menyimpan sejumlah rahasia sehingga ia bahkan tidak berani berterus terang kepada sang guru dan ibu-guru. Namun ia lantas teringat wasiat Qu Yang dan Liu Zhengfeng supaya mewariskan kitab tersebut kepada ahli musik yang bisa melestarikan lagu gubahan mereka. Kini ia bertemu dengan Lu Zhuweng dan bibinya yang sangat mahir bermain musik. Bahkan, sang bibi telah menunjukkan kemahiran yang luar biasa untuk memainkan lagu sulit tersebut. Hanya saja, keduanya sudah terlalu tua. Linghu Chong sangsi apakah mereka bisa melestarikan lagu tersebut. Namun kalau bukan mereka, siapa lagi yang lebih pantas untuk mewarisi kitab tersebut?

Linghu Chong sendiri sedang sakit parah. Ia khawatir tidak sempat lagi menemukan ahli musik lainnya yang lebih muda. Maka, ia pun berkata, “Kedua sesepuh yang menggubah lagu ini masing-masing memiliki keahlian luar biasa dalam memetik kecapi dan meniup seruling. Mereka berdua mengikat persaudaraan dan menulis kitab musik bersama-sama. Namun sayang sekali, mereka tertimpa musibah sehingga harus meninggal pada hari yang sama. Sebelum menutup mata, kedua sesepuh itu menitipkan kitab peninggalan mereka kepada saya untuk diserahkan kepada ahli musik yang tepat. Mereka berharap lagu dalam kitab ini tidak punah bersama dengan kematian mereka. Tadi saya mendengar bibi dari Sesepuh Lu telah memainkan lagu dalam kitab ini, baik itu dengan kecapi ataupun dengan seruling. Permainan Nenek tadi sungguh luar biasa. Saya pun merasa telah menemukan orang yang tepat untuk menyerahkan kitab musik ini. Sesepuh Lu, mohon bantuannya untuk menyerahkan kitab musik ini kepada Nenek, supaya saya bisa memenuhi wasiat kedua sesepuh yang telah menggubahnya, sehingga mereka berdua bisa tenang di alam sana.” Usai berkata demikian pemuda itu lantas mengulurkan kedua tangannya yang memegang kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan dengan penuh hormat.

Akan tetapi, Lu Zhuweng tidak berani menerima. Ia hanya berkata, “Izinkan aku bertanya dulu kepada Bibi, apakah Beliau sudi menerima atau tidak?”

Sejenak kemudian terdengar suara wanita berkata dari dalam gubuk sebelah, “Tuan Muda Linghu bermaksud baik ingin menyerahkan lagu yang sangat bagus itu kepada kami. Jika aku menolaknya akan terasa kurang hormat, tapi jika menerimanya, aku merasa sangat malu. Tapi jika boleh tahu, siapa nama kedua sesepuh yang telah menggubah lagu indah itu?”

Linghu Chong sempat tertegun mendengar suara si nenek yang tidak seperti suara orang tua. Ia kemudian menjawab, “Tentu saja akan kukatakan. Kedua sesepuh tersebut bernama Paman Liu Zhengfeng dan Tetua Qu Yang.”

“Ah… ternyata mereka berdua,” jawab si nenek dengan nada terkejut.

“Apakah Nenek mengenal mereka?” tanya Linghu Chong.

Wanita itu tidak segera menjawab. Selang agak lama barulah ia berkata, “Liu Zhengfeng adalah tokoh nomor dua dalam Perguruan Hengshan, sedangkan Qu Yang adalah gembong Sekte Iblis. Kedua pihak adalah musuh bebuyutan selama beberapa angkatan, tapi mengapa mereka bisa menggubah lagu bersama-sama? Sungguh sukar dimengerti.”

Meskipun Linghu Chong belum pernah melihat wajah si nenek, namun ditinjau dari suaranya yang lembut, serta permainan musiknya yang indah, ia dapat menduga kalau wanita tersebut tentu seorang tokoh angkatan tua yang baik budi dan welas asih, serta jauh dari persaingan duniawi. Selain itu, ia juga mengetahui asal-usul Qu Yang dan Liu Zhengfeng pertanda wanita tua itu juga seorang anggota dunia persilatan. Maka, tanpa ragu lagi Linghu Chong pun menceritakan semua kisah mulai dari kegagalan upacara Cuci Tangan Baskom Emas yang diadakan Liu Zhengfeng akibat campur tangan Ketua Zuo, disusul dengan pembantaian Keluarga Liu, dan Qu Yang pun muncul untuk menolong sahabatnya itu. Linghu Chong juga mengisahkan permainan indah paduan musik kecapi dan seruling yang dibawakan Liu Zhengfeng bersama Qu Yang dalam keadaan sama-sama terluka di pegunungan sunyi. Sampai akhirnya mereka mati dan mewasiatkan kitab gubahan mereka untuk diserahkan kepada orang yang bisa melestarikannya. Semua diceritakan kecuali tentang kematian Fei Bin dari Perguruan Songshan di tangan Tuan Besar Mo ketua Perguruan Hengshan.

Si nenek mendengarkan kisah tersebut dengan seksama, tanpa bersuara sedikit pun. Setelah usai, ia pun bertanya, “Mengapa Wang Yuanba si Golok Emas menyebut kitab musik ini sebagai kitab ilmu silat?”

Menanggapi itu, Linghu Chong lalu menceritakan kisah kematian Lin Zhennan suami-sitri yang sempat menyampaikan wasiat kepada dirinya untuk diteruskan kepada Lin Pingzhi. Itulah yang menyebabkan kedua sepupu Lin Pingzhi salah paham dan menuduhnya telah menggelapkan kitab ilmu silat peninggalan Lin Zhennan.

Si nenek pun berkata, “Jadi seperti itu yang sebenarnya. Andai saja kau berterus terang kepada guru dan ibu-gurumu, tentu masalah ini bisa menjadi jelas dan segala tuduhan yang dialamatkan kepadamu menjadi lenyap. Tapi anehnya, kepada diriku yang merupakan orang asing bagimu, mengapa kau justru bercerita sejujur-jujurnya? Kenapa bisa demikian?”

“Saya sendiri juga tidak tahu apa sebabnya,” jawab Linghu Chong. “Mungkin sesudah mendengar permainan musik Nenek tadi, seketika timbul rasa hormat dan kagum saya kepada Nenek. Saya sama sekali tidak merasa sangsi ataupun curiga sedikit pun.”

“Kalau begitu, kau merasa sangsi kepada guru dan ibu-gurumu?” tanya si nenek.

“Sama tidak berani berpikir demikian,” sahut Linghu Chong dengan jantung berdebar kencang. “Hanya saja, Guru diam-diam menaruh curiga kepada saya. Tetapi, aih, saya tetap tidak boleh menyalahkan Beliau.”

Si nenek kembali berkata, “Dari suaramu dapat diketahui kalau tenagamu sangat lemah. Seorang pemuda tidak seharusnya demikian. Apakah kau baru saja sakit parah, atau pernah terluka?”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Saya pernah menderita luka yang begitu parah.”
Si nenek kemudian berkata kepada Lu Zhuweng, “Keponakan Zhuweng, tolong kau bawa anak muda itu ke dekat jendelaku. Biar kuperiksa nadinya.”

“Baik, Bibi!” jawab Lu Zhuweng mengiakan. Ia kemudian mengajak Linghu Chong mendekati jendela gubuk tempat si nenek berada. Linghu Chong kemudian menjulurkan lengannya masuk ke bawah kerai bambu yang terpasang pada jendela tersebut. Di balik kerai masih terdapat lagi sehelai tirai sutera halus yang menutupi keberadaan si nenek. Samar-samar Linghu Chong dapat menyaksikan sosok seorang perempuan, namun wajahnya tidak terlihat jelas.

Sejenak kemudian Linghu Chong merasakan ada tiga jari menyentuh pergelangannya. Jari-jari tersebut terasa dingin dan lembut, dan berusaha menekan urat nadi Linghu Chong.

“Aneh, sungguh sangat aneh!” ujar si nenek terkejut. “Coba ganti tangan yang kanan.”

Linghu Chong mematuhinya. Selesai memeriksa kedua lengan pemuda itu, si nenek tidak berkata apa-apa, hanya tertegun tanpa suara.

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Nenek tidak perlu khawatir. Saya sadar kalau umur saya tidak lama lagi. Sudah lama saya tidak peduli lagi pada keadaan ini.”

“Mengapa kau tahu hidupmu tidak akan lama lagi?” tanya Si nenek.

“Tanpa sengaja saya sudah membunuh adik seperguruan sendiri, dan menghilangkan kitab pusaka Kabut Lembayung Senja. Saya berharap bisa segera menemukan kitab itu dan menyerahkannya kepada Guru, kemudian bunuh diri menyusul Adik Keenam di alam baka,” jawab Linghu Chong.

“Kitab Kabut Lembayung Senja?” sahut si nenek mempertegas. “Ini juga benda yang luar biasa. Lalu, bagaimana ceritanya hingga adik keenammu bisa mati di tanganmu?”

Linghu Chong pun bercerita panjang lebar mulai dari perbuatan Enam Dewa Lembah Persik yang mencoba mengobati lukanya namun justru berakibat fatal. Akibat luka itu, Yue Lingshan pun mencuri kitab Kabut Lembayung Senja dari tangan sang ayah dan menitipkannya kepada Lu Dayou supaya dibacakan kepada dirinya. Sepeninggal Yue Lingshan, ia bangun dan menotok Lu Dayou karena tidak berani mendengarkan isi kitab Kabut Lembayung Senja tanpa seizin guru. Namun begitu ia kembali ke pondok, ternyata Lu Dayou sudah mati dan kitab pun lenyap. Ia merasa berdosa karena menotok Lu Dayou terlalu keras.

“Bukan kau yang telah membunuh adik keenammu,” ujar si nenek menyimpulkan cerita.

“Bukan saya yang membunuhnya?” tanya Linghu Chong mempertegas.

“Benar, waktu itu tenagamu sangat lemah. Mana mungkin totokanmu bisa menewaskannya?” kata si nenek. “Ada orang lain yang telah membunuhnya.”

“Lalu… siapakah yang telah membunuh Adik Keenam?” kata Linghu Chong lirih, seperti bergumam sendiri.

Si nenek menjawab, “Kematian adik keenammu dan hilangnya kitab Kabut Lembayung Senja terjadi bersamaan. Kemungkinan besar, pelakunya adalah orang yang sama.”

Linghu Chong bernafas lega. Beban di hatinya terasa sedikit lebih ringan bagaikan kehilangan sebongkah batu besar yang selama ini menghimpit dadanya. Sebenarnya selama ini ia sempat berpikir demikian. Mana mungkin ia bisa membunuh Lu Dayou dengan totokan tanpa tenaga yang cukup? Ia yakin pasti ada orang lain yang telah membunuhnya, yaitu si pelaku pencurian kitab Kabut Lembayung Senja. Akan tetapi sebagai laki-laki sejati tidak sepantasnya menuduh orang lain tanpa bukti dan melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain. Lagipula ia tetap merasa bersalah telah menotok Lu Dayou sehingga adik keenamnya itu bisa dengan mudah dibunuh orang lain.

Di samping itu Linghu Chong merasa semakin pilu melihat kedekatan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Ia merasa sangat kecewa dan putus asa. Ingin sekali ia meninggalkan dunia ini untuk selamanya karena sudah tidak ada harapan hidup lagi. Namun, demi mendengar ucapan si nenek tadi, semangatnya kembali bangkit. Rasa penasaran dalam hatinya bergejolak. Ia pun berkata sendiri, “Balas dendam! Aku harus membalas kematian Adik Keenam!”

Si nenek kembali bertanya, “Kau bilang dalam tubuhmu ada enam arus hawa murni yang disalurkan Enam Dewa Lembah Persik. Tapi mengapa aku merasakan ada delapan arus hawa murni yang saling bertarung? Apakah kau bisa menjelaskan?”

Linghu Chong tertawa dan menceritakan bagaimana Biksu Bujie muncul untuk membantunya mengusir keenam arus hawa murni tersebut dengan mengirimkan dua arus hawa murni pula.

Si nenek lalu berkata, “Sifatmu sebenarnya sangat periang. Walaupun denyut nadimu kacau tapi tidak ada tanda-tanda kelemahan dalam jiwamu. Bagaimana kalau aku memetik kecapi dan memainkan sebuah lagu untukmu?”

“Perhatian Nenek kepada saya tentu akan saya terima dengan penuh rasa terima kasih,” jawab Linghu Chong.

Sejenak kemudian suara kecapi kembali terdengar mengalun merdu. Kali ini lagu yang dibawakan si nenek sangat halus dan lembut, bagaikan suara hembusan nafas, atau seperti hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa dedaunan pohon willow di pagi hari.

Sayup-sayup Linghu Chong merasa mengantuk. Dalam hati ia berkata, “Jangan tidur! Jangan tidur! Aku sedang mendengarkan permainan musik seorang sesepuh. Jika sampai tertidur rasanya tidak sopan.” Meski demikian tetap saja matanya terasa semakin berat dan akhirnya tertutup rapat. Tubuhnya pun jatuh terkulai lemas, dan tertidur di lantai. Tidak berhenti sampai di sini, alunan merdu suara kecapi bagaikan merasuk ke dalam mimpinya. Sungguh seperti sebuah tangan lembut yang membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang, dan ia merasa kembali menjadi anak-anak yang tidur lelap di atas pangkuan sang ibu-guru.

Ketika suara kecapi berhenti, Linghu Chong pun membuka mata dalam keadaan terkejut dan buru-buru ia merangkak bangun sambil berkata, “Saya benar-banar tidak tahu aturan. Bukannya memerhatikan permainan kecapi Nenek, malah tertidur di sini. Mohon Nenek jangan tersinggung.”

“Tidak perlu seperti itu,” kata si nenek. “Lagu yang kubawakan tadi memang bisa menenteramkan perasaan dan membuatmu tertidur. Lagu ini kuharapkan bisa membantu tubuhmu mengatur kembali tenaga dalammu dengan baik. Sekarang coba kerahkan sedikit tenaga, apakah rasa muak dan sesak sudah berkurang atau tidak?”

“Terima kasih banyak!” jawab Linghu Chong gembira. Dengan cepat ia duduk bersimpuh sambil mencoba mengerahkan tenaga dalam. Ia merasa kedelapan arus hawa murni kembali saling terjang di dalam tubuhnya, namun rasa sesak karena bergolaknya darah sudah agak berkurang.

Akan tetapi semua itu hanya bertahan sebentar saja. Kepalanya kembali terasa pusing dan badan pun lemas terkapar di atas lantai. Melihat itu Lu Zhuweng segera memapahnya masuk ke dalam pondok. Sesudah ditidurkan beberapa lama, rasa pusing di kepalanya pun lenyap.

“Tenaga dalam Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie sangat tinggi. Hawa murni mereka di dalam tubuhmu sukar diatur oleh suara kecapi yang lemah ini, sehingga kau malah menderita. Sungguh aku merasa tidak enak hati,” kata si nenek dari dalam pondoknya.

“Nenek jangan berkata demikian,” sahut Linghu Chong cepat. “Bisa mendengar lagu yang merdu tadi sungguh sangat bermanfaat untuk saya.”

Tiba-tiba Lu Zhuweng menyodorkan selembar kertas kepadanya. Linghu Chong membaca kertas itu yang ternyata bertuliskan kalimat saran supaya ia meminta diajari lagu tersebut demi kesehatannya.

Hati Linghu Chong tergerak membaca saran Lu Zhuweng. Ia pun berkata, “Kalau Nenek tidak keberatan, saya ingin mempelajari lagu penyembuhan tadi, agar lambat laun saya bisa mengatur hawa murni yang bergejolak di dalam tubuh ini.”

Lu Zhuweng tampak manggut-manggut dengan wajah senang.

Si nenek hanya terdiam. Selang agak lama barulah terdengar suaranya berkata, “Sudah sejauh mana kepandaianmu memetik kecapi? Coba mainkan sebuah lagu.”

Wajah Linghu Chong bersemu merah. Ia menjawab, “Seumur hidup saya belum pernah bermain musik. Sama sekali tidak paham. Rasanya saya ini terlalu lancang minta untuk diajari cara memainkan lagu tadi. Mohon Nenek memaafkan saya.” Ia kemudian berpaling ke arah Lu Zhuweng, “Biarlah saya mohon diri saja.”

“Tunggu dulu,” kata si nenek mencegah Linghu Chong yang sudah membungkuk hendak melangkah pergi. “Sungguh memalukan bahwa kami tidak bisa membalas apa-apa atas kebaikanmu memberikan kitab musik istimewa ini. Sungguh memalukan pula apabila kami tidak bisa berbuat apa-apa terhadap lukamu yang parah ini. Maka, mulai besok kau bisa belajar dasar-dasar memetik kecapi kepada Keponakan Zhuweng. Jika kau punya kesabaran yang cukup dan bisa tinggal agak lama di kota Luoyang ini, maka aku akan… akan mengajarkan lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin kepadamu.” Sampai di sini suaranya berubah lirih bagaikan berbisik.

Begitulah, pada keesokan paginya Linghu Chong datang ke pondok bambu itu untuk mulai belajar memetik kecapi. Lu Zhuweng meminjamkan seperangkat kecapi berwarna coklat dan mulai mengajarkan beberapa teori dasar.

“Ada dua belas nada mayor yang ia perkenalkan, yaitu Huang-Zhong, Da-Lu, Tai-Cu, Jia-Zhong, Gu-Xi, Zhong-Lu, Rui-Bin, Lin-Zhong, Yi-Ze, Nan-Lu, Wu-Yi, dan Yin-Zhong. Semua istilah ini turun-temurun sejak zaman kuna. Konon ceritanya, Kaisar Huang Di telah memerintahkan Lin Lun untuk menyusun skala nada. Terinspirasi oleh nyanyian phoenix, maka diciptakanlah dua belas nada utama. Sebuah kecapi memiliki tujuh senar dan dapat memainkan skala Gong, Shang, Jia, Wei, dan Yu. Senar pertama memainkan nada Huang-Zhong, dan senar ketiga memainkan skala Gong. Kelima nada tersebut adalah Man-Jiao, Qing-Shang, Gong-Diao, Man-Gong, dan Rui-Bin,” ujar Lu Zhuweng memulai latihan.

Meskipun Linghu Chong dapat dikatakan buta sama sekali dalam urusan seni musik, namun karena sifatnya yang cerdas dan juga berbakat membuat ia cepat tanggap jika diajari. Sekali dengar langsung paham. Lu Zhuweng sangat gembira, dan ia kemudian mengajarkan teknik memetik, serta sebuah lagu berjudul Melodi Angkasa Cerah.

Linghu Chong mempelajari lagu itu dengan penuh perhatian. Setelah meniru Lu Zhuweng beberapa kali, ia kemudian mencoba memainkannya sendiri. Meskipun beberapa kali ia salah memainkan not dan jarinya pun terlihat kaku, namun lagu yang ia bawakan boleh dikata cukup merdu dan mampu menggambarkan betapa langit biru sedang cerah dan terang benderang, tanpa adanya awan hitam dan mendung tebal.

Mendengar permainan itu, si nenek terdengar memuji dari dalam pondoknya, “Tuan Muda Linghu sangat berbakat dan cepat tanggap. Mungkin dalam waktu singkat kau sudah bisa mempelajari laguku kemarin, yaitu lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin.”

Lu Zhuweng menyahut, “Bibi, hari ini Adik Linghu baru saja belajar dasar-dasar memetik kecapi, tapi ia sudah bisa membawakan lagu Melodi Langit Cerah dengan cukup baik. Bahkan, ia bisa menggambarkan suasana lagu ini lebih baik daripada aku. Suara kecapi yang ia mainkan berasal dari lubuk hati paling dalam. Ini hanya mungkin terjadi karena Adik Linghu memiliki sifat terbuka dan pikiran merdeka.”

Sementara itu Linghu Chong menjawab dengan rendah hati, “Nenek terlalu memuji. Entah kapan saya bisa memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan seperti permainan Nenek kemarin?”

“Kau… kau ingin memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan?” tanya si nenek.

Linghu Chong menjawab dengan wajah bersemu merah, “Saya sangat kagum mendengar permainan musik Nenek kemarin. Akhirnya saya pun bercita-cita terlalu tinggi ingin belajar lagu itu. Padahal Kakek Zhuweng saja belum mampu memainkan lagu itu, apalagi saya yang masih hijau ini?”

Si nenek tidak bersuara. Selang agak lama barulah terdengar suaranya berkata lirih, “Jika kau bisa memainkan lagu itu, tentu saja hal ini sangat baik….” Demikian suaranya semakin lirih sampai tidak bisa terdengar lagi.

Begitulah, berturut-turut selama dua puluh hari lebih, Linghu Chong selalu datang ke Pondok Bambu Hijau tersebut untuk belajar kecapi. Pada petang harinya baru ia pulang. Makan siang pun dilakukan di tempat Lu Zhuweng. Meskipun makanan di situ hanya berupa tahu dan sayuran, tapi terasa jauh lebih lezat daripada daging ayam yang ada di rumah Keluarga Wang. Lebih-lebih, di tempat itu juga terdapat arak. Meskipun Lu Zhuweng tidak terlalu kuat minum, namun arak yang ia simpan ternyata bagus-bagus. Orang tua itu juga memiliki wawasan luas mengenai arak. Ia mengetahui apa saja jenis arak-arak hebat, juga kapan dan di mana arak-arak itu dibuat. Linghu Chong yang selama ini hanya gemar minum, sekarang mendapatkan banyak pengetahuan baru. Maka, bukan hanya ilmu memetik kecapi yang ia peroleh dari Lu Zhuweng, tetapi juga bermacam-macam pengetahuan mengenai arak. Baginya, ilmu tentang arak ternyata sama luasnya seperti ilmu memetik kecapi.

Apabila Lu Zhuweng sibuk membuat alat-alat bambu, maka si nenek yang memberikan pelajaran kepada Linghu Chong dengan pembatas dinding bambu. Lama-lama Linghu Chong merasa kepandaiannya sudah mengalami banyak kemajuan. Bahkan, seringkali Lu Zhuweng tidak mampu memberi penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan Linghu Chong sehingga si nenek yang memberikan petunjuk.

Meskipun setiap hari berkunjung, namun Linghu Chong belum pernah sama sekali mengetahui wajah si nenek. Suara si nenek terdengar sangat lembut dan tenang, sama sekali tidak mirip suara wanita tua, melainkan lebih mirip suara seorang gadis terpelajar dari keluarga kaya. Linghu Chong menduga si nenek pasti belajar musik sejak kecil sehingga hatinya selalu riang gembira dan suaranya pun tidak berubah meskipun usia bertambah tua.

Pada suatu hari, si nenek mengajarkan sebuah lagu berjudul Kenangan Mengharukan kepada Linghu Chong. Lagu ini adalah lagu kuna yang memiliki irama begitu manis dan berasal dari zaman Dinasti Han. Sesudah mendengarkan si nenek memainkannya beberapa kali, ia pun mulai mencoba memainkan lagu tersebut. Tanpa terasa pikirannya terkenang kepada kejadian di masa lampau saat bersama Yue Lingshan, bermain berdua, bercanda dan bersenang-senang. Kenangan indah saat berlatih pedang bersama di bawah siraman air terjun, juga bagaimana si adik kecil mengantarkan makanan saat ia dikurung di Tebing Perenungan. Kemudian sosok Lin Pingzhi muncul dalam ingatannya. Sejak kedatangan pemuda itu, sikap Yue Lingshan berubah dingin kepadanya. Permainan kecapi menjadi kacau. Tanpa terasa nada yang muncul adalah irama lagu daerah Fujian yang dulu pernah diajarkan Lin Pingzhi kepada Yue Lingshan.

Pikiran Linghu Chong kemudian terkenang perubahan sikap Yue Lingshan sejak munculnya Lin Pingzhi. Karena pikirannya melayang-layang, maka irama kecapi yang dipetiknya pun menjadi agak kacau. Tapi ia segera sadar dan lekas-lekas berhenti.

Si nenek lantaas bertanya ramah ketika Linghu Chong tiba-tiba menghentikan permainan kecapinya, “Sebenarnya caramu memainkan lagu Kenangan Mengharukan sudah sangat baik. Aku yakin ada beberapa kilasan masa lalu yang terlintas di pikiranmu. Akan tetapi, kenapa tiba-tiba nadanya berubah menjadi lagu rakyat daerah Fujian?”

Linghu Chong yang pada dasarnya bersifat terbuka selama ini cukup menderita karena harus memendam perasaan. Maka begitu bertemu si nenek yang telah memperlakukan dirinya dengan penuh perhatian, maka tanpa ragu-ragu ia pun menuturkan isi hatinya yang selama ini menyimpan cinta terhadap Yue Lingshan. Begitu bercerita, ia tidak mampu menahan diri dan terus saja bercerita semua yang ia alami kepada si nenek dari awal sampai akhir. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa bercerita segala rahasia pribadinya kepada si nenek, seolah-olah ia menganggap nenek itu sebagai ibu sendiri. Baru setelah selesai bercerita ia merasa sangat malu.

“Nenek, mohon maaf aku terlalu lancang dan menceritakan hal yang tidak penting,” kata Linghu Chong.

Si nenek menjawab dengan lembut, “Mengenai jodoh memang tidak dapat dipaksakan. Pepatah mengatakan, setiap orang memiliki jodoh sendiri-sendiri dan jangan iri kepada orang lain. Meskipun kali ini Tuan Muda Linghu patah hati, kelak tidak mustahil akan mendapatkan jodoh lain yang lebih cocok.”

“Saya sendiri tidak tahu berapa hari lagi akan mati. Masalah jodoh dan keluarga tidak terlalu saya pikirkan,” jawab Linghu Chong tegas.

Si nenek tidak bicara lagi. Ia lantas memetik kecapi dan memainkan lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin. Hanya sebentar saja mendengarkan lagu itu Linghu Chong sudah mulai mengantuk.

Si nenek lantas menghentikan suara kecapi dan berkata, “Mulai hari ini aku akan mengajarkan lagu ini padamu. Kira-kira dalam waktu sepuluh hari sudah cukup. Selanjutnya kau bisa memainkan lagu ini satu kali setiap hari. Meskipun tidak bisa memulihkan seluruh tenagamu seperti dulu, namun sedikit banyak akan bermanfaat juga bagimu.”

“Baik,” jawab Linghu Chong mengiakan.

Mulai hari itu si nenek lantas memberikan petunjuk tentang seluk-beluk lagu itu serta cara memainkannya. Dengan penuh perhatian Linghu Chong berusaha memahaminya dengan sebaik-baiknya.

Pada suatu hari Linghu Chong bertanya, “Nenek, aku pernah mendengar Tetua Qu berkata bahwa irama lagu Menertawakan Dunia Persilatan berasal dari irama lagu Guang Ling San. Tetapi ternyata lagu Guang Ling San bersumber dari cerita mengenai pembunuhan raja negara Han oleh Nie Zheng. Dahulu, aku pernah mendengar Nenek berkata bahwa irama lagu Menertawakan Dunia Persialatan itu anggun, lembut dan cepat, sama sekali berlawanan dengan sifat Nie Zheng yang gagah berani dan siap mati. Nenek, mohon jelaskan kepadaku mengenai hal ini.”

Si nenek berkata, “Keanggunan yang lembut dari irama itu berasal dari perasaan kakak perempuan Nie Zheng. Mereka berdua kakak beradik memiliki hubungan yang sangat erat. Setelah Nie Zheng gugur, kakaknya mengambil jasadnya dan menyiarkan ketenaran namanya, dari zaman ke zaman. Bahwa kau bisa merasakan adanya sesuatu yang lain dalam irama itu merupakan bukti yang cukup bahwa kau memiliki bakat musik alami.” Setelah berhenti sejenak, dengan suara lirih nenek itu berkata, “Tuan Muda Linghu, kalau kau dan aku bisa tetap bertemu dalam beberapa hari ini, maka kau pasti akan bisa memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan ini. Akan tetapi, hal ini juga tergantung pada nasibmu.”

Beberapa hari belakangan ini, Linghu Chong tinggal di Pondok Bambu Hijau untuk belajar memainkan kecapi, dan sering mendengar kata-kata lembut si nenek. Ia berpikir bahwa si nenek sudah lanjut usia, dan bahwa ia sendiri tidak tahu berapa lama lagi ia dapat hidup. Ia juga tidak tahu entah berapa lama lagi nasib akan memperbolehkan mereka untuk tetap bersama. Hatinya menjadi sedih, dan ia pun menjawab, “Aku harap Nenek selalu sehat dan panjang umur. Semoga hidup muridmu ini juga bisa diperpanjang untuk sementara waktu dan bisa belajar lebih banyak lagi dari Nenek.”

Si nenek menghela nafas panjang. Dengan suara lembut ia berkata, “Hidup manusia tidak abadi. Takdir sulit dimengerti. Lagu Menertawakan Dunia Persilatan dan Guang Ling San ini sangat berbeda. Ketika Nie Zheng maju menyerang dengan pisau pembunuhnya, irama lagu menjadi penuh duka dan nafsu membunuh. Nie Zheng membunuh Raja Han dan kemudian ia sendiri pun dibunuh oleh para pengawal raja itu. Disini, nada kecapi meninggi; begitu tingginya sehingga kalau lebih tinggi lagi senar kecapi akan putus. Lalu, irama yang penuh duka itu menjadi begitu rendah, sampai aku juga tidak bisa mengeluarkan suaranya dari serulingku. Ini menandakan bagian meninggalnya Nie Zheng. Setelah itu, kecapi dan seruling sekali lagi memainkan irama yang ringan dan riang. Artinya adalah, walaupun sang pahlawan telah wafat, semangat kepahlawanannya tetap abadi. Bunga bermekaran dan berguguran, namun setiap tahun selalu muncul pahlawan laki-laki dan perempuan yang menyanyikan lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Dalam dunia manusia, semangat kepahlawanan tidak akan pernah pupus. Dan oleh karena itu, bagian lagu berikutnya ini bagai bunga bermekaran atau busana yang gemerlapan. Menurut catatan sejarah, bukan Nie Zheng yang membunuh Raja Han, melainkan Perdana Menteri Xia Lei, tapi kita tidak perlu terlalu mendalaminya.”

Linghu Chong memukul pahanya dan berkata, “Nenek, penjelasanmu bagus sekali. Bagi seorang pelajar seperti aku ini untuk bisa belajar darimu, tidaklah sia-sia mengalami sepuluh kali lipat lagi penderitaan dan fitnah.”

Si nenek tidak menjawab. Suara kecapinya kembali berkumandang, sekali lagi melayang bebas tanpa beban.

Dua hari kemudian ketika Linghu Chong hendak berangkat belajar main kecapi, tiba-tiba Lao Denuo datang kepadanya setengah terburu-buru sambil berkata, “Kakak Pertama, Guru bilang besok kita akan berangkat.”

Linghu Chong pun terperanjat dan menyahut, “Apa? Besok kita akan pergi dari sini?” Hampir saja ia berkata bahwa pelajaran memetik kecapi belum selesai, tetapi ia berhasil menahan diri untuk tidak mengatakannya.

“Benar,” jawab Lao Denuo. “Ibu Guru menyuruhmu berbenah seperlunya. Kita akan pergi dari sini esok pagi-pagi sekali.”

Linghu Chong mengangguk. Ia lalu bergegas pergi ke Pondok Bambu Hijau dan memberitahukan hal itu kepada si nenek.

“Nenek, besok kami akan meninggalkan Luoyang. Saya mohon pamit melanjutkan perjalanan.”

Si nenek sangat terkejut. Selang agak lama barulah ia berkata dengan suara lirih, “Mengapa begitu terburu-buru? Sementara… lagu ini belum selesai kau pelajari.”

“Saya juga berpikir demikian,” ujar Linghu Chong. “Namun perintah Guru tidak bisa dibantah. Sebagai tamu kami tidak mungkin tinggal di rumah orang selamanya.”

“Benar juga,” kata si nenek.

Hari itu ia kembali memberi pelajaran cara memetik kecapi kepada Linghu Chong seperti hari-hari sebelumnya.

Lebih dari sebulan Linghu Chong setiap hari berkunjung ke Pondok Bambu Hijau. Meskipun belum pernah melihat muka si nenek, tapi dari permainan musik serta suaranya yang lembut saat bercakap-cakap, Linghu Chong dapat merasakan betapa tulus perhatian si nenek kepadanya bagaikan terhadap keluarga sendiri. Hanya saja si nenek agak segan kalau bicara mengenai masalah pribadi. Begitu berbicara beberapa kalimat saja langsung diselinginya dengan soal lain, supaya Linghu Chong tidak menyadarinya.

Di dunia ini, Linghu Chong merasa hanya memiliki empat orang yang begitu baik kepadanya, yaitu sang Yue Buqun suami-istri, Yue Lingshan, dan Lu Dayou. Tetapi sekarang ini Lu Dayou sudah meninggal, Yue Lingshan sudah mengabaikannya semenjak dekat dengan Lin Pingzhi, sedangkan sang guru dan ibu-guru mencurigai kemajuan ilmu silatnya. Oleh sebab itu, dengan sendirinya si nenek dan Lu Zhuweng kini menjadi orang yang paling dekat dengannya menggantikan keempat orang tersebut. Pada hari terakhir itu sebenarnya Linghu Chong beberapa kali ingin menyatakan kepada Lu Zhuweng supaya diizinkan tinggal di Pondok Bambu Hijau untuk bisa belajar main kecapi dan seruling sampai mahir, juga untuk mempelajari ilmu membuat kerajinan bambu. Namun bila terkenang kepada wajah cantik Yue Lingshan, ia merasa berat untuk berpisah dan keinginan untuk tinggal menadak sirna.

“Sekalipun Adik Kecil tidak lagi menghiraukan aku, asalkan setiap hari dapat melihatnya aku sudah merasa puas, meskipun dari belakang, ataupun hanya mendengar suaranya saja,” demikian pikirnya.

Menjelang senja Linghu Chong merasa sangat berat untuk berpisah. Ia mendekati jendela pondok si nenek dan berlutut di sana untuk menyembah beberapa kali.

Samar-samar dari balik kerai bambu si nenek juga tampak berlutut dan membalas hormat. Terdengar wanita itu berkata, “Aku telah mengajarkan cara bermain kecapi padamu untuk membalas kebaikanmu yang telah menghadiahkan lagu bagus kepadaku. Tapi mengapa kau menjalankan penghormatan setinggi ini padaku?”

“Hari ini kita berpisah. Entah sampai kapan saya dapat berkunjung lagi kemari untuk mendengarkan permainan kecapi Nenek. Asalkan Linghu Chong tidak mati, kelak tentu akan datang lagi ke sini untuk mengunjungi Nenek dan Zhuweng,” kata Linghu Chong.

Tiba-tiba dalam benaknya terlintas pikiran, “Mereka berdua sudah berusia lanjut. Entah berapa lama lagi mereka akan hidup di dunia ini? Jika kelak aku bisa datang lagi ke Luoyang sini, apakah aku masih dapat berjumpa dengan mereka atau tidak? Aih, hidup ini sungguh bagaikan mimpi, sulit untuk membedakan mana yang nyata, mana yang semu. Hidup juga seperti tetesan embun. Indah tetapi juga sangat singkat.” Sampai di sini hatinya terasa sangat pilu.

“Tuan Muda Linghu, sebelum berpisah aku ingin berpesan sepatah kata padamu,” kata si nenek.

“Baik, silakan Nenek memberi nasihat,” jawab Linghu Chong. “Nasihat dari Nenek sampai mati pun takkan kulupakan.”

Si nenek terdiam tidak langsung bicara. Selang agak lama, akhirnya ia berkata lirih, “Banyak bahaya dan kepalsuan di dunia persilatan. Hendaknya kau bisa menjaga diri baik-baik.”

“Baik!” jawab Linghu Chong dengan perasaan haru. Ia kemudian membungkuk dan memberi hormat kepada Lu Zhuweng untuk mohon diri. Sejenak kemudian dari dalam gubuk si nenek terdengar alunan suara kecapi berkumandang merdu, membawakan lagu kuna Kenangan Mengharukan.

Lu Zhuweng mengajarkan ilmu memetik kecapi.
Linghu Chong menceritakan kisah hidupnya kepada si nenek.
Langkah berat meninggalkan Pondok Bambu Hijau.

(Bersambung)