Bagian 98 - Menyepi dalam Sulaman

Tong Baixiong dihadapkan ke balairung.

Balairung itu tidak berjendela, dan hanya diterangi lilin-lilin besar di dinding samping. Sementara itu di samping panggung yang diduduki Dongfang Bubai terdapat dua api unggun yang sebentar terang sebentar gelap. Karena jaraknya cukup jauh, cahaya yang remang-remang itu membuat orang sukar melihat dengan jelas wajah sang ketua.

Tampak Shangguan Yun berlutut dan menyampaikan sembah, “Ketua seorang terpelajar berbudi luhur, kesatria rendah hati, adil dan bijaksana, cahaya agama suci kita, pelindung rakyat jelata. Hamba Tetua Balai Macan Putih Shangguan Yun menghaturkan sembah untuk Ketua.”

Tiba-tiba pelayan berbaju ungu di samping Dongfang Bubai membentak, “Di hadapan Ketua mengapa anak buahmu tidak berlutut?”

Ren Woxing merenung, “Saat yang tepat belum datang. Kalau aku harus berlutut sekarang apa salahnya? Tunggu sampai aku membetot dagingmu dan membeset kulitmu sebentar lagi!” Sejenak kemudian ia pun berlutut dan segera diikuti oleh Xiang Wentian dan Ren Yingying.

Shangguan Yun berkata, “Anak buah hamba ini siang dan malam selalu mendambakan kapan bisa melihat wajah emas Ketua. Hari ini Ketua sudi berbaik hati mengizinkan hamba menghadap, ini merupakan berkah bagi anak buah hamba dan para leluhurnya selama delapan belas keturunan. Maka itu, anak buah hamba menjadi gemetar lupa daratan sehingga tidak segera berlutut. Mohon Ketua memberi ampun.”

Yang Lianting yang berdiri di samping Dongfang Bubai berkata, “Bagaimana kisah pertempuran Tetua Jia melawan musuh hingga akhirnya gugur dalam tugas, coba ceritakan kepada Ketua!”

Shangguan Yun menjawab, “Tetua Jia dan hamba senantiasa setia kepada Ketua. Beberapa tahun belakangan ini, kami berdua telah mendapatkan kenaikan pangkat dari Ketua, sungguh budi baik ini tidak mungkin kami dapat membalasnya. Maka, begitu kami diberi kepercayaan mengemban tugas mahapenting ini, seketika darah kami bergolak. Kami berdua yakin Ketua telah menyusun rencana hebat, sehingga siapa pun yang dikirim untuk menangkap Linghu Chong pasti akan berhasil. Oleh karena itu, kami berdua tidak merasa bimbang sama sekali ….”

Mendengar basa-basi Shangguan Yun itu, dalam hati Linghu Chong menggerutu, “Menjijikkan! Menjijikkan! Julukan Shangguan Yun adalah Pendekar Elang, tapi kenapa dia pandai menjilat seperti ini? Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berteriak keras di belakang mereka, “Adik Dongfang, apakah benar kau memerintahkan orang-orang ini untuk menangkapku?” Suara orang itu serak-serak tua, tapi disertai tenaga dalam tingkat tinggi sehingga terdengar berkumandang memekakkan telinga. Linghu Chong menduga dia tentu Tong Baixiong, Tetua Balai Angin Guntur.

Benar juga, segera Yang Lianting menanggapi, “Tong Baixiong, di Balairung Budi Luhur ini mana boleh kau berteriak-teriak sesukamu? Di hadapan Ketua mengapa pula kau berdiri tanpa berlutut? Berani sekali kau tidak memuji keagungan Ketua?”

Tong Baixiong mendongak dan bergelak tertawa, “Hahaha, sewaktu aku bersahabat dengan Adik Dongfang kau ada di mana, bocah? Ketika aku dan Adik Dongfang bersama-sama menempuh bahaya, merasakan pahit getir perjuangan, orang semacam kau ini bahkan belum lahir. Beraninya kau bicara begitu padaku?”

Linghu Chong mencoba melirik ke arah Tong Baixiong. Dilihatnya orang tua itu melotot dengan beringas. Rambutnya yang putih tergerai, janggutnya yang panjang tampak berwarna keperak-perakan. Darah yang melumuri wajahnya telah mengering, membuatnya tampak semakin menakutkan. Kaki dan tangannya diborgol dengan rantai yang sangat panjang. Karena perasaan gusarnya itu dia bicara dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya, sehingga rantai yang diseretnya ikut bergemerincing.

Tadinya Ren Woxing hanya berlutut di tempatnya tanpa bergerak. Kini begitu mendengar suara gemerencingnya rantai, seketika terbayang kembali pengalaman ketika disiksa di kamar tahanan di bawah Danau Barat dulu. Darahnya bergolak hebat, badannya sampai gemetar. Segera ia bermaksud mengambil tindakan.

Namun lantas terdengar Yang Lianting berkata, “Di hadapan Ketua berani berkata demikian, kau benar-benar kurang ajar! Diam-diam kau bersekongkol dengan pengkhianat besar Ren Woxing, apakah kau masih tidak menyadari dosamu ini, hah?”

“Ketua Ren adalah pemimpin agama kita terdahulu,” jawab Tong Baixiong, “Beliau mendapat penyakit berat sehingga terpaksa harus mengundurkan diri dan segala tugas kepemimpinan diserahkan kepada Adik Dongfang. Dari mana kau bisa mengatakan Ketua Ren adalah pengkhianat besar? Adik Dongfang, coba kau katakan sendiri dengan tegas, apa benar Ketua Ren mengkhianati agama kita? Atas dasar apa?”

Yang Lianting menyahut, “Setelah penyakit Ren Woxing sembuh, seharusnya dia cepat kembali ke dalam Sekte, bukannya malah mendatangi Biara Shaolin, dan berkomplot dengan Ketua Perguruan Shaolin, Wudang, Songshan, dan lain-lain. Apakah perbuatannya ini bukan pengkhianatan namanya? Kenapa dia tidak segera menghadap Ketua dan mendengarkan petunjuk-petunjuk Beliau?”

“Hahahaha!” Tong Baixiong terbahak-bahak. “Ketua Ren adalah bekas atasan Adik Dongfang, baik ilmu silat maupun pengetahuannya belum tentu di bawah Adik Dongfang. Betul tidak, Adik Dongfang?”

Tapi Yang Lianting menyela, “Kau jangan berlagak tua di sini! Ketua selalu memperlakukan setiap bawahan dengan murah hati dan penuh penghargaan. Besok di hadapan sidang terbuka di depan altar, jika kau bersedia bertobat di hadapan para saudara dan memperbaiki kesalahanmu, serta mengucapkan sumpah setia kepada Ketua, mungkin Ketua masih mau mengampunimu. Kalau tidak, hm, bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri.”

“Haha, orang bermarga Tong sudah mendekati usia delapan puluh tahun. Hidupku sudah cukup lama, mengapa harus takut menanggung akibat segala?” jawab Tong Baixiong dengan tertawa.

Tiba-tiba Yang Lianting berteriak, “Bawa mereka masuk!”

Pelayan berbaju ungu menjawab, “Baik!” dan kemudian terdengar suara gemerencing yang ramai. Tampak belasan orang digiring ke dalam balairung. Ada laki-laki, ada perempuan, ada orang tua, ada anak-anak pula.

Begitu melihat orang-orang itu, seketika raut muka Tong Baixiong berubah hebat. Ia membentak dengan murka, “Yang Lianting, laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Mengapa kau menangkap anak-cucuku?” Suaranya yang keras menggelegar itu memekakkan telinga semua orang sampai mendengung-dengung.

Linghu Chong melihat tubuh Dongfang Bubai agak bergetar. Ia pun berpikir, “Ternyata orang ini masih punya hati nurani juga. Melihat Tong Baixiong kesusahan, ia terbawa perasaan dan tampak agak gemetar.”

“Tong Baixiong, coba kau sebutkan bagaimana bunyi pasal ketiga Ajaran Ketua?” kata Yang Lianting.

“Cih!” Tong Baixiong meludah tidak menjawab.

“Coba siapa di antara anggota keluarga Tong yang mengetahui pasal ketiga Ajaran Ketua? Coba uraikan!” seru Yang Lianting.

Seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun lantas berkata, “Pasal ketiga Ajaran Ketua yang mahaagung, ahli sastra dan ahli silat, berbunyi: Terhadap musuh harus kejam, babat rumput harus sampai ke akar-akarnya. Laki-perempuan, tua-muda, tidak seorang pun boleh disisakan hidup.”

“Bagus, bagus! Anak manis, apakah kesepuluh pasal Ajaran Ketua dapat kau hafal di luar kepala?” tanya Yang Lianting.

“Dapat!” jawab anak kecil itu. “Satu hari saja tidak menghafalkan petuah Ketua rasanya tidak dapat tidur, tidak enak makan. Setelah membaca petuah Ketua seketika bersemangat dan giat belajar.”

“Bagus. Siapa yang mengajarkan hal-hal demikian padamu?” tanya Yang Lianting.

“Ayahku,” jawab si bocah sambil menunjuk laki-laki di sampingnya.

“Kalau yang itu siapa?” tanya Yang Lianting sambil menunjuk Tong Baixiong.

“Kakek!” seru anak itu.

“Kakekmu tidak mau membaca Ajaran Ketua, tidak mau menurut perintah Ketua, malah membangkang pada Ketua. Bagaimana menurutmu?” desak Yang Lianting.

“Kakek bersalah,” jawab bocah itu. “Setiap orang harus memahami Ajaran Ketua dan menurut segala perintah Ketua.”

“Nah, kau dengar sendiri,” kata Yang Lianting terhadap Tong Baixiong, “cucumu hanya bocah berusia sepuluh tahun saja bisa bilang begitu. Sebaliknya, kau sudah tua bangka, mengapa malah berbuat begitu bodoh?”

“Aku hanya bicara sebentar dengan orang bermarga Ren dan Xiang. Mereka memintaku melawan Ketua, tapi aku menolak ajakan mereka,” kata Tong Baixiong. “Selamanya Tong Baixiong bicara apa adanya dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.” Begitu menyaksikan belasan anggota keluarganya berada di tangan musuh, nada bicaranya pun berubah agak lunak.

“Jika sejak tadi kau bicara demikian tentu urusan menjadi lebih mudah diselesaikan,” ujar Yang Lianting. “Dan sekarang apa kau sudah mengakui kesalahanmu?”

“Aku tidak bersalah, aku tidak mengkhianati agama kita. Lebih dari itu, aku tidak memberontak pada Ketua,” jawab Tong Baixiong.

“Kalau kau tetap tidak mau mengaku salah, terpaksa aku tidak bisa menolongmu,” ujar Yang Lianting dengan menghela napas. “Penjaga, bawa anggota keluarganya ke tempat tahanan! Mulai sekarang jangan memberi mereka makanan barang sesuap, atau minuman barang seteguk selamanya.”

Beberapa pelayan berbaju ungu menjawab, “Baik!” kemudian mereka hendak menggiring para tawanan itu.

“Nanti dulu!” teriak Tong Baixiong keras-keras, lalu berkata kepada Yang Lianting, “Baik, aku mengaku salah. Untuk itu aku mohon Ketua sudi memberi ampun.” Meskipun mulutnya berkata demikian, namun tatapan matanya tetap berkilat-kilat menahan amarah.

“Hm, tadi kau bilang apa? Kau bilang pernah sehidup-semati dengan Ketua, saat aku saja belum lahir. Betul, tidak?” tanya Yang Lianting.

Dengan menahan perasaannya Tong Baixiong menjawab, “Ya, aku salah bicara.”

“Kau salah bicara? Hanya begini saja persoalannya?” kata Yang Lianting mengejek. “Di hadapan Ketua mengapa kau tidak berlutut?”

“Ketua dan aku adalah saudara angkat. Selama puluhan tahun kami berdiri sama tinggi, duduk sama rendah,” jawab Tong Baixiong. Mendadak ia berseru pula, “Adik Dongfang, kau menyaksikan sendiri saudara tuamu ini disiksa habis-habisan. Mengapa kau tidak buka mulut, tidak bicara sepatah kata pun juga? Jika kau ingin saudara tuamu ini berlutut padamu, tentu akan kulakukan asal kau bicara sedikit saja. Kalau pun harus mati untukmu, sama sekali saudara tuamu ini takkan mengerutkan kening.”

Namun Dongfang Bubai masih saja duduk tak bergerak. Seketika suasana di balairung menjadi sunyi senyap. Pandangan semua orang dialihkan kepada Dongfang Bubai untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakannya. Akan tetapi, sampai sekian lama dia tetap diam saja.

“Adik Dongfang,” Tong Baixiong berteriak lagi, “selama beberapa tahun ini betapa susahnya aku ingin menemuimu. Kau telah mengasingkan diri untuk menyempurnakan pelatihan Kitab Bunga Mentari. Tapi apakah kau tahu para kawan lama di dalam Sekte telah banyak yang tercerai-berai meninggalkan kita? Bencana besar sedang mengancam agama kita, apa kau tahu?”

Tetap saja Dongfang Bubai diam tak bersuara. Maka Tong Baixiong berseru lagi, “Asal kau sendiri yang bicara, maka aku akan segera berlutut padamu. Tidak masalah jika kau menyiksaku, atau bahkan membunuhku sekalipun. Tapi aku tidak rela jika Sekte Matahari dan Bulan yang namanya mengguncangkan dunia persilatan selama ratusan tahun akan segera hancur. Untuk ini kau ikut bertanggung jawab dan ikut menanggung dosa besar pula. Mengapa kau diam saja? Apakah kau mengalami sesat jalan dalam berlatih sehingga tidak bisa bicara?”

“Omong kosong!” bentak Yang Lianting. “Berlutut!”

Dua pelayan berbaju ungu segera menendang belakang lutut Tong Baixiong untuk memaksanya bersimpuh. Tapi mendadak terdengar suara jeritan dua kali. Kedua pelayan itu terpental sendiri ke belakang dengan tulang kaki patah dan muntah darah. Sungguh hebat tenaga dalam Tong Baixiong itu.

“Adik Dongfang, aku ingin mendengar sepatah kata darimu saja, habis itu mati pun aku rela,” seru Tong Baixiong lagi. “Sudah lebih dari tiga tahun kau tidak pernah berbicara. Banyak kawan-kawan dalam agama kita yang curiga.”

Yang Lianting menjadi gusar, “Curiga apa?”

“Curiga kemungkinan Ketua telah dikerjai orang, dibuat bisu,” jawab Tong Baixiong dengan suara keras. “Kenapa dia tidak pernah bicara? Ya, kenapa dia tidak pernah bicara?”

“Mulut emas Ketua mana boleh sembarangan berbicara dengan kaum pengkhianat semacam dirimu?” ejek Yang Lianting. “Penjaga, bawa dia pergi!”

Delapan pelayan berbaju ungu serentak mengiakan dan berlari maju. Mendadak Tong Baixiong berteriak-teriak, “Adik Dongfang, aku ingin lihat siapa yang membuatmu tidak bisa bicara?” Bersama itu ia lantas memburu ke arah Dongfang Bubai sambil menyeret rantai borgol di kaki dan tangannya. Para pelayan mengetahui ilmu silat Tong Baixiong sangat tinggi, sehingga tidak ada yang berani mendekatinya.

“Tangkap dia! Tangkap dia!” teriak Yang Lianting.

Tapi para penjaga bertombak hanya berteriak-teriak saja di ambang pintu dan tidak seorang pun yang berani masuk ke dalam balairung. Maklum, menurut peraturan tidak seorang pun anggota Sekte Matahari dan Bulan diperbolehkan masuk ke ruang tersebut dengan membawa senjata. Yang melanggar tentu dihukum mati.

Melihat gelagat kurang baik itu, terlihat Dongfang Bubai berdiri dan bermaksud masuk ke ruang belakang.

“Jangan pergi dulu, Adik Dongfang, jangan pergi!” seru Tong Baixiong sambil memburu maju lebih cepat. Namun kedua kakinya terborgol, gerak-geriknya tidak leluasa. Karena terburu-buru ingin memburu maju, mendadak ia tersandung dan jatuh terguling. Namun tanpa menyerah ia terus saja menubruk ke depan sehingga jaraknya dengan Dongfang Bubai sekarang tinggal belasan meter saja.

Yang Lianting menjadi khawatir, dan berteriak, “Pengkhianat! Kurang ajar! Berani kau mencelakai Ketua? Penjaga, aku perintahkan kalian masuk ke dalam balairung untuk menangkapnya!”

Melihat gerak-gerik Dongfang Bubai yang agak aneh dan sangat kikuk itu, Ren Woxing merasa curiga, sedangkan Tong Baixiong sudah tidak mampu memburu ke depan lagi. Maka, ia segera merogoh tiga keping uang logam dari sakunya, untuk kemudian dilemparkan ke arah Dongfang Bubai. Melihat itu Ren Yingying berkata pula kepada Xiang Wentian dan Linghu Chong, “Kita bergerak sekarang!”

Linghu Chong lantas melompat bangun. Dari dalam kain pembalutnya ia menarik keluar sebilah pedang. Xiang Wentian juga mengeluarkan senjata-senjata yang disembunyikan di atas usungan dan membagikannya kepada Ren Yingying serta Ren Woxing. Kemudian ia menarik tali usungan sekuatnya sampai lepas. Ternyata tali yang dipakai untuk mengikat kerangka usungan tersebut adalah seutas cambuk. Dengan ilmu meringankan tubuh masing-masing keempatnya lantas menyerbu maju.

Terdengar Dongfang Bubai menjerit. Dahinya terluka dan mengucurkan darah akibat terkena uang logam yang dilemparkan Ren Woxing tadi. Untungnya, jarak lemparan tadi cukup jauh sehingga tidak terlalu keras mengenai dahinya, hanya membuat kulit kepala sedikit terkelupas. Hal ini cukup aneh karena Dongfang Bubai terkenal memiliki ilmu silat tak terkalahkan, tapi mengapa sekeping uang logam saja tidak mampu ia hindari?

Ren Woxing tertawa berteriak, “Hahaha, Dongfang Bubai ini palsu!”

Pada saat yang sama Xiang Wentian menyabetkan cambuknya membelit kedua kaki Yang Lianting. Sekali tarik orang itu lantas terguling tanpa ampun.

Sementara itu, Dongfang Bubai masih terus berlari ke depan sambil mendekap dahinya yang terluka. Dengan cepat Linghu Chong melompat ke depannya. Sambil menodongkan ujung pedang ia membentak, “Berhenti!”

Namun Dongfang Bubai yang sedang berlari cepat itu tidak sempat lagi menahan tubuhnya, bahkan terus saja menerjang ke ujung pedang. Segera Linghu Chong menarik kembali pedangnya itu. Ren Woxing sendiri sudah menerjang pula. Sekali cengkeram ia menangkap tengkuk Dongfang Bubai dan menyeret laki-laki tua itu ke tengah balairung.

“Saudara-saudar sekalian, dengarlah!” teriak Ren Woxing. “Keparat ini memalsukan Dongfang Bubai dan merusak Sekte Matahari dan Bulan kita. Hendaknya kalian semua memeriksa dengan jelas cecunguk keparat ini.”

Ternyata wajah orang itu memang sangat mirip dengan Dongfang Bubai yang asli. Namun raut mukanya yang pucat ketakutan jelas berbeda dengan sifat Dongfang Bubai yang tenang dan percaya diri. Kontan para penjaga pun saling pandang dengan mulut ternganga.

“Siapa kau? Kalau tidak mengaku terus terang biar kuhancurkan sekalian batok kepalamu,” bentak Ren Woxing.

Orang itu gemetar seluruh badannya. Giginya berkerutan karena menahan takut. Dengan suara terputus-putus ia menjawab, “Ham… ham… ba… ber… na… ma….” tapi sampai sekian lama ia tetap tidak mampu menyambung ucapannya itu.

Xiang Wentian telah menotok beberapa titik di tubuh Yang Lianting dan menyeret tubuhnya ke tengah balairung pula. Ia lalu membentak, “Sebenarnya siapa nama orang ini?”

Dengan angkuh Yang Lianting menjawab, “Hm, kau ini cuma seekor kutu, ada hak apa berani bertanya padaku? Aku mengenalmu sebagai pengkhianat besar Xiang Wentian. Sudah lama kau dipecat. Berani sekali kau kembali lagi ke Tebing Kayu Hitam ini?”

“Tujuanku ke Tebing Kayu Hitam ini adalah untuk membereskanmu, keparat!” bentak Xiang Wentian sambil mengayunkan sebelah tangannya. Kontan tulang kaki kiri Yang Lianting patah dibuatnya.

Tak disangka, meskipun ilmu silat Yang Lianting tidak tinggi, tapi sifatnya sangat keras kepala. Ia tidak menjerit kesakitan, sebaliknya malah membentak, “Jika berani, hayo bunuh saja aku! Main siksa seperti ini apa terhitung perbuatan kaum gagah?”

“Membunuhmu? Hm, apa benar begitu enak?” ejek Xiang Wentian. Kembali ia memukul tulang kaki kanan Yang Lianting sampai patah pula. Menyusul kemudian ia menurunkan tubuh Yang Lianting sehingga berdiri tegak di atas lantai.

Kedua tulang kering Yang Lianting sudah patah, sehingga ketika berdiri tulang-tulangnya itu menusuk kulit. Bagaimana sakitnya tentu tidak bisa dibayangkan. Namun demikian, ia sama sekali tidak bersuara meski wajahnya pucat pasi.

“Laki-laki hebat, aku takkan menyiksamu lagi,” kata Xiang Wentian sambil mengacungkan ibu jari ke muka Yang Lianting. Sebagai gantinya ia meninju perut Dongfang Bubai palsu sambil bertanya, “Siapa namamu?”

Orang itu menjerit kesakitan, kemudian menjawab dengan gemetar, “Hamba … hamba ber… bernama Bao … Bao … Bao ….”

“Jadi kau bermarga Bao?” sahut Xiang Wentian menegas.

“Iya … ya! Hamba bermarga … bermarga … Bao … Bao ….” namun ia tetap tidak sanggup mengatakan nama lengkapnya sampai sekian lama.

Tiba-tiba Linghu Chong dan yang lain mencium bau pesing. Ternyata dari bawah celana orang bermarga Bao itu mengalir cairan berwarna kekuning-kuningan. Begitulah, karena sangat ketakutan Dongfang Bubai palsu itu sampai terkencing-kencing di celana.

“Kita tidak boleh menunda lagi. Sekarang yang paling penting adalah mencari Dongfang Bubai asli,” kata Ren Woxing. Segera ia mengangkat orang bermarga Bao itu dan berseru kepada para anggota Sekte, “Kalian sudah menyaksikan sendiri, orang ini adalah Dongfang Bubai palsu. Dia telah mengacau agama kita. Sekarang juga kita harus menyelidiki duduk perkaranya sampai jelas. Aku adalah Ren Woxing, ketua kalian yang terdahulu. Apakah kalian masih kenal padaku?”

Para penjaga yang berada di situ adalah pemuda-pemuda berumur dua puluhan. Selama ini mereka belum pernah melihat Ren Woxing, sehingga wajar kalau tidak kenal kepadanya.

Sejak Dongfang Bubai menjabat sebagai ketua, orang-orang kepercayaannya dapat meraba isi hatinya, sehingga masing-masing saling memperingatkan agar tidak menyebut-nyebut nama Ketua Ren lagi. Seolah-olah Sekte Matahari dan Bulan yang sudah berusia ratusan tahun hanya diketuai oleh Dongfang Bubai seorang. Oleh sebab itulah nama Ren Woxing pun tidak pernah didengar oleh para anggota muda.

Kini para penjaga itu hanya ternganga dan saling pandang mendengar ucapan Ren Woxing tadi. Tidak seorang pun yang berani menjawab. Melihat itu Shangguan Yun berseru, “Kemungkinan besar Dongfang Bubai sudah dibunuh Yang Lianting dan para begundalnya. Ketua Ren ini adalah ketua kita. Mulai sekarang kita harus setia mengabdi kepada Ketua Ren.” Usai berkata ia segera mendahului berlutut kepada Ren Woxing, dan berseru, “Terimalah sembah bakti hamba, semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!”

Melihat Shangguan Yun yang merupakan tokoh berkedudukan tinggi dalam agama berlutut menyembah Ren Woxing, juga setelah menyaksikan ada orang memalsukan Dongfang Bubai, sementara Yang Lianting yang biasanya berkuasa sekarang tidak berkutik dengan kedua kaki patah, maka beberapa anggota yang lain pun serentak berlutut dan berseru pula, “Semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!” Mereka ini adalah kaum pencari muka yang pandai menjilat. Menyusul kemudian para penjaga muda pun serentak ikut berlutut menyembah dengan berseru, “Semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!” Kalimat ini biasa mereka ucapkan sehari-hari sehingga sudah hafal di luar kepala.

Ren Woxing terbahak-bahak puas, kemudian berkata, “Kalian harus menjaga rapat setiap jalan di sekeliling Tebing Kayu Hitam ini. Siapa pun dilarang naik-turun!”

Para penjaga itu mengiakan dengan suara bergemuruh. Xiang Wentian lalu memerintahkan para pelayan berbaju ungu untuk membuka borgol Tong Baixiong.

Tong Baixiong sangat mengkhawatirkan keselamatan Dongfang Bubai. Begitu bebas ia segera mencengkeram tengkuk Yang Lianting dan membentak, “Tentu kau telah membunuh Adik … Adik Dongfang, kau … kau ….” karena sangat bernafsu sampai-sampai tenggorokannya seperti tersumbat, air mata pun berlinang-linang.

Yang Lianting benar-benar berkepala batu. Ia justru memejamkan mata tidak memedulikan pertanyaan itu. Kontan Tong Baixiong menjadi murka dan langsung menempeleng keras pelipis orang bermarga Yang itu sambil membentak, “Di mana Adik Dongfang?”

“Perlahan sedikit!” seru Xiang Wentian mengingatkan Tong Baixiong.

Namun sudah terlambat. Meskipun pukulan itu hanya menggunakan sepertiga tenaga, namun Yang Lianting langsung pingsan dibuatnya. Tong Baixiong menghentak-hentakkan badan Yang Lianting, namun kedua bola mata pria itu tampak melotot putih seperti orang mati.

Ren Woxing berseru kepada para pelayan berbaju ungu, “Siapa di antara kalian yang tahu di mana keberadaan Dongfang Bubai? Siapa yang memberi laporan lebih dulu akan mendapat hadiah besar!” Namun meski pertanyaan itu diulangi tiga kali, tetap saja tidak seorang pun yang menjawab.

Seketika hati Ren Woxing menjadi dingin. Maklum saja, selama dikurung belasan tahun di bawah Danau Barat, siang dan malam ia tekun berlatih dengan tujuan bila kelak dapat meloloskan diri tentu akan balas menyiksa Dongfang Bubai habis-habisan. Baginya tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dibanding membalaskan sakit hati di dada. Siapa sangka setelah tiba di Tebing Kayu Hitam ternyata Dongfang Bubai yang dijumpainya adalah palsu belaka. Sepertinya Dongfang Bubai yang asli sudah tidak hidup lagi di dunia fana. Kalau tidak, dengan kecerdasan dan ilmu silat Dongfang Bubai yang luar biasa itu mana sudi ia membiarkan Yang Lianting berbuat sesuka hati, bahkan menggunakan orang lain sebagai duplikatnya?

Ren Woxing memandangi kawanan pelayan berbaju ungu yang berdiri di seputar balairung itu. Terlihat sebagian di antara mereka menunjukkan sikap ketakutan, tapi ada pula yang terlihat culas. Dalam keadaan kecewa, sikap Ren Woxing menjadi sangat berangasan. Tiba-tiba ia membentak, “Kalian sudah tahu Dongfang Bubai ini palsu, tapi kalian tetap saja bersekongkol dengan Yang Lianting untuk menipu saudara-saudara lain dalam agama. Dosa kalian ini terlalu besar dan tidak bisa diampuni!”

Usai berkata tubuhnya langsung melayang ke depan. Kemudian terdengar empat kali tangannya menampar kepala orang. Kontan empat orang pelayan berbaju ungu langsung roboh binasa. Melihat itu para pelayan yang lain menjadi ketakutan. Sambil menjerit mereka menyingkir ke belakang.

“Kalian hendak lari? Mau lari ke mana?” bentak Ren Woxing dengan menyeringai seram. Dipungutnya rantai borgol yang baru dilepaskan dari tubuh Tong Baixiong tadi, lalu dengan sekuat tenaga ia melemparkan rantai tersebut ke arah kawanan pelayan itu. Seketika darah dan daging pun berhamburan di udara. Kembali ada tujuh atau delapan pelayan yang binasa.

Ren Woxing terbahak-bahak dan berteriak, “Pengikut-pengikut Dongfang Bubai satu pun takkan kubiarkan hidup!”

Melihat kelakuan ayahnya yang mengerikan itu, Ren Yingying segera maju untuk memegangi tangan Ren Woxing sambil berkata, “Sabar, Ayah!”

Tiba-tiba di antara kawanan pelayan berbaju ungu itu ada yang melangkah maju satu orang kemudian berlutut, “Lapor Ketua, sebenarnya Ketu… eh, Dongfang Bubai belum mati!”

Ren Woxing senang bukan kepalang mendengarnya. Ia pun memburu maju dan memegang bahu pelayan itu sambil menegas, “Apa betul Dongfang Bubai belum mati?”

“Iya … Auuh!” orang itu berteriak kesakitan kemudian roboh tak sadarkan diri. Rupanya karena hatinya terguncang Ren Woxing terlalu keras mencengkeram bahu pelayan itu, sampai-sampai membuatnya pingsan.

Karena pelayan tersebut tidak juga siuman, terpaksa Ren Woxing berpaling kepada para pelayan yang lain dan bertanya, “Di mana Dongfang Bubai berada? Lekas tunjukkan jalannya! Sedikit terlambat saja kalian semua akan kubunuh!”

Seorang pelayan yang lain menyembah dan berkata, “Lapor Ketua, tempat tinggal Dongfang Bubai sangat rahasia, dan yang tahu hanya Yang Lianting seorang. Sebaiknya kita sadarkan pengkhianat bermarga Yang itu, tentu dia dapat membawa Ketua ke sana.”

“Lekas ambilkan air dingin!” bentak Ren Woxing.

Kawanan pelayan itu sudah terlatih dan sangat cekatan. Dalam sekejap saja air dingin yang diminta Ren Woxing sudah datang dan langsung disiramkan ke muka Yang Lianting. Perlahan-lahan laki-laki itu siuman dan membuka matanya.

Xiang Wentian segera berkata, “Orang bermarga Yang, aku menghargai dirimu sebagai laki-laki berhati keras. Maka itu, kau takkan kusiksa lagi. Saat ini semua jalan keluar-masuk Tebing Kayu Hitam sudah ditutup. Bagaimanapun juga Dongfang Bubai takkan bisa lolos dari sini kecuali dia punya sayap. Maka itu, lebih baik kau bawa kami pergi mencarinya. Seorang laki-laki sejati untuk apa harus main sembunyi? Bukankah lebih baik kalau kita bereskan masalah ini sehingga semua orang bisa tenang?”

Yang Lianting menyeringai, “Ketua Dongfang tiada tandingnya di muka bumi ini. Justru lebih bagus kalau kalian ingin mengantarkan nyawa dengan segera. Baiklah, akan kuantarkan kalian menemui Beliau.”

Xiang Wentian lantas berkata kepada Shangguan Yun, “Saudara Shangguan, mari kita gotong keparat ini menemui Dongfang Bubai.” Usai berkata ia lantas mengangkat tubuh Yang Lianting dan menaruhnya di atas usungan.

“Baik,” jawab Shangguan Yun. Keduanya pun mengangkat usungan itu.

“Jalan ke dalam!” kata Yang Lianting.

Xiang Wentian dan Shangguan Yun mendahului berjalan di depan dengan menggotong Yang Lianting. Ren Woxing, Linghu Chong, Ren Yingying, dan Tong Baixiong mengikuti dari belakang.

Rombongan itu masuk ke belakang balairung dan melalui sebuah serambi yang panjang. Kemudian mereka sampai di sebuah taman bunga dan memasuki sebuah rumah batu kecil di ujung barat.

“Dorong dinding sebelah kiri!” seru Yang Lianting.

Ketika Tong Baixiong mendorong dengan tangannya, ternyata dinding itu bisa bergerak menjadi semacam pintu rahasia. Di dalamnya terdapat pula sebuah pintu besi. Dari bajunya Yang Lianting mengeluarkan serenceng anak kunci dan menyerahkannya kepada Tong Baixiong. Pintu besi itu pun dibuka, dan di dalamnya ternyata ada sebuah lorong bawah tanah.

Lorong itu terus menurun ke bawah, dengan diterangi lampu minyak remang-remang yang terpasang di dinding. Dalam hati Ren Woxing berpikir, “Dongfang Bubai telah mengurungku di dasar danau. Tak disangka dia pun terkena karma sehingga dikurung pula di bawah tanah. Tampaknya lorong ini pun tidak lebih baik daripada tempat kurunganku dulu.”

Tidak disangka, setelah melalui beberapa tikungan, tiba-tiba di ujung depan sana memancar suasana terang benderang. Semua orang pun mencium bau harum bunga yang semerbak. Seketika napas mereka terasa segar.

Keluar dari lorong di bawah tanah itu ternyata mereka sudah berada di dalam sebuah taman bunga kecil yang sangat indah. Bunga mekar beraneka warna, pepohonan bambu dan cemara tumbuh menghijau segar. Di tengah taman terdapat sebuah kolam dengan beberapa pasang belibis sedang berenang kian-kemari dan beberapa ekor bangau putih berdiri di tepi.

Tidak seorang pun yang menduga bahwa di balik lorong yang gelap tadi ternyata ada kediaman seindah ini. Sungguh mereka kagum bukan kepalang. Setelah mengitari sebuah gunung-gunungan, tampak di depan terbentang sebidang taman bunga yang keseluruhannya dipenuhi bunga mawar berwarna merah tua dan merah muda sedang mekar-mekarnya, seakan berlomba memamerkan kecantikan masing-masing. Sungguh pemandangan yang indah tiada tara.

Ren Yingying melirik ke arah Linghu Chong. Dilihatnya pemuda itu tersenyum simpul, tampaknya sangat senang. “Bagus tidak tempat ini?” katanya dengan suara lirih.

Linghu Chong menjawab, “Setelah kita mendepak Dongfang Bubai, mari kita tinggal beberapa bulan di sini. Nanti kau ajari aku memetik kecapi. Betapa bahagia jika bisa seperti itu.”

“Apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh?” tanya Ren Yingying.

“Tentu saja sungguh-sungguh,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja aku khawatir terlalu bodoh sehingga membuat Nenek marah-marah dan menghukumku.”

Ren Yingying mendengus tapi kemudian tersenyum manis karena hatinya merasa senang.

Sementara itu Xiang Wentian dan Shangguan Yun sedang mengusung Yang Lianting ke dalam sebuah pondok kecil yang indah. Segera Linghu Chong dan Ren Yingying ikut masuk ke situ. Begitu melangkah ke dalam, seketika mereka mencium bau harum bunga menusuk hidung. Dilihatnya pada dinding kamar tergantung sebuah lukisan tiga orang wanita, dan di kursi terdapat alat menyulam.

Linghu Chong merasa heran dan berpikir, “Ini adalah kamar perempuan. Apakah Dongfang Bubai tinggal di kamar seperti ini? Ataukah mungkin ini tempat tinggal gundik kesayangannya sehingga ia senantiasa tenggelam di tempat seperti ini dan lupa mengurusi pekerjaan Sekte?”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang di dalam kamar bertanya, “Adik Lian, siapakah yang kau bawa kemari?” Suara itu seperti suara lelaki, tapi juga mirip suara wanita. Suaranya terdengar nyaring tajam, membuat bulu roma berdiri bagi siapa saja yang mendengarnya.

Yang Lianting menjawab, “Aku membawa teman lamamu ke sini. Dia ingin bertemu denganmu.”

“Mengapa kau membawanya kemari?” ujar suara di dalam itu. “Tempat ini hanya boleh didatangi seorang saja. Selain dirimu, siapa pun tidak akan kutemui.” Kalimat yang terakhir ini diucapkan dengan nada manja seperti ucapan kaum wanita, namun jelas suaranya adalah suara seorang laki-laki.

Ren Woxing, Xiang Wentian, Ren Yingying, Tong Baixiong, dan Shangguan Yun sudah sangat mengenal Dongfang Bubai. Suara itu jelas suara sang ketua, namun nadanya sangat aneh, seperti pemain sandiwara laki-laki yang memerankan perempuan dengan suara yang dibuat-buat. Kontan mereka saling pandang dengan mulut ternganga.

“Apa daya, kalau aku tidak membawanya kemari, maka aku yang akan dibunuh olehnya,” jawab Yang Lianting menghela napas. “Sebelum mati biarkan aku melihatmu sekali lagi. Jika tidak, tentu aku akan menyesal selamanya.”

“Hah, siapa yang berani mati membuatmu susah? Apakah dia Ren Woxing? Cepat suruh dia masuk ke sini!” seru orang di dalam kamar itu dengan suara melengking.

Mendengar dirinya dicurigai sebagai orang yang berada di balik semua ini, mau tidak mau Ren Woxing dalam hati memuji kecerdasan Dongfang Bubai. Ia memberi isyarat agar semua orang masuk ke dalam dengan berhati-hati. Lebih dulu Shangguan Yun menyingkap tirai yang bersulam gambar bunga indah, lalu menggotong Yang Lianting ke dalam bersama Xiang Wentian. Yang lain berjalan pelan di belakang mereka.

Ternyata kamar tersebut tertata sangat rajin dan indah dengan hiasan berwarna-warni. Bau harum semerbak menusuk hidung mereka semua. Pada sudut timur kamar terdapat sebuah meja rias, di sampingnya duduk seseorang dengan baju berwarna merah muda. Tangan kirinya memegang bingkai sulaman, sedangkan tangan kanan memegang sebatang jarum. Melihat orang-orang sebanyak itu masuk, ia mendongak dengan perasaan heran. Namun rasa heran orang itu masih kalah besar dibanding perasaan heran Ren Woxing dan yang lainnya.

Kecuali Linghu Chong, semua orang jelas mengenali orang berbaju merah muda itu tak lain dan tak bukan adalah Dongfang Bubai sendiri, yang selama belasan tahun ini menduduki jabatan Ketua Sekte Matahari dan Bulan dengan gelar “jago silat nomor satu di dunia”. Hanya saja sekarang ini kumis dan jenggotnya sudah dicukur bersih. Yang lebih mengherankan lagi adalah ia memakai bedak dan gincu segala. Baju yang dipakainya pun bentuknya tidak laki-laki juga tidak perempuan. Warnanya juga terlalu mencolok sekalipun dipakai oleh gadis jelita semacam Ren Yingying.

Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang kesatria yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, seorang tokoh mahaagung, ternyata hidupnya bersembunyi di dalam kamar wanita dan pekerjaannya menyulam. Benar-benar luar biasa kalau tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.

Tadinya hati Ren Woxing dipenuhi perasaan dendam yang menyala-nyala. Namun begitu melihat keadaan Dongfang Bubai itu, mau tidak mau ia merasa geli juga. “Dongfang Bubai, apa kau sudah sinting?” bentaknya.

“O, ternyata benar Ren Woxing!” jawab Dongfang Bubai dengan suara melengking. “Memang sudah kuduga yang datang pasti dirimu. Eh, Adik Lian, kenapa … kenapa kau ini? Apa dia yang melukai dirimu?” Segera ia melesat ke samping Yang Lianting kemudian mengangkat pria itu dan perlahan-lahan membaringkannya di atas tempat tidur.

Seprei tempat tidur itu bersulam indah dan berbau sangat wangi. Dengan wajah penuh kasih sayang Dongfang Bubai bertanya, “Ah, kau pasti sangat kesakitan? Hm, cuma tulang kaki yang patah, tidak apa-apa, jangan khawatir. Segera akan kusambung kembali.” Dengan hati-hati ia membukakan sepatu Yang Lianting, lalu mencopot kaus kakinya, kemudian menyelimutinya pula. Pemandangan ini mirip seorang istri setia sedang melayani sang suami.

Ren Woxing dan yang lain ternganga heran bercampur geli. Semuanya ingin tertawa namun tertahan di dalam perut. Apalagi suasana di kamar tidur yang dihias mewah tersebut terlihat gelap dan menyeramkan.

Sementara itu Dongfang Bubai telah mengeluarkan sehelai saputangan sutra berwarna hijau. Perlahan-lahan ia mengusap keringat dan kotoran di wajah Yang Lianting. Dilayani semanis itu, bukannya berterima kasih, Yang Lianting justru marah-marah dan mendamprat, “Musuh besar di depan mata, buat apa kau masih mengurusiku seperti nenek-nenek segala? Kalau kau sudah membereskan mereka barulah kita bermesra-mesraan.”

Dongfang Bubai hanya tersenyum dan menjawab, “Baik, baik! Kau jangan marah, tentu kakimu terlalu sakit bukan? Aih, hatiku ikut pedih!”

Ren Woxing dan yang lain terhitung sudah kenyang makan asam garam kehidupan, namun pemandangan aneh yang mereka hadapi saat ini sungguh sukar dimengerti. Di dunia ini memang banyak terjadi hubungan kelamin tidak sehat, misalnya seorang pria suka meniduri bocah laki-laki tanggung, ataupun hubungan seksual antara sesama jenis kelamin. Namun seorang ketua sekte yang terhormat seperti Dongfang Bubai rela berdandan wanita dan bersikap layaknya seorang istri setia, tentu dia sudah gila. Bahkan Yang Lianting menghardik dan membentaknya dengan kasar, namun ia tetap melayani dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang, membuat semua orang terheran-heran sekaligus merasa muak pula.
Linghu Chong menangkap Dongfang Bubai palsu.

Ren Woxing mendapatkan penghormatan.

Memasuki tempat penyepian Dongfang Bubai.

Dongfang Bubai berdandan menjadi wanita.

(Bersambung)