Bagian 50 - Memindahkan Darah

Lan Fenghuang melompat ke kapal Huashan.

Yue Buqun kembali memberi hormat sambil berkata, “Ternyata Ketua Lan sendiri yang berkunjung secara pribadi kemari. Aku, Yue Buqun, mohon maaf karena bersikap lancang. Entah pelajaran apa yang akan Ketua Lan berikan kepadaku?”

Lan Fenghuang menjawab sambil tersenyum, “Aku ini buta huruf; pelajaran apa yang bisa kuberikan kepadamu? Atau seharusnya kaulah yang memberi pelajaran kepadaku. Penampilanmu seperti sarjana guru sekolah. Mungkin kau akan mengajariku cara membaca, benar tidak? Aku ini sangat bodoh, sedangkan kalian orang Han sangat pintar. Aku sendiri tidak yakin apakah bisa belajar dengan baik atau tidak.”

Yue Buqun pun berkata dalam hati, “Dia ini pura-pura bodoh atau memang benar-benar tidak paham basa-basi pergaulan? Dilihat dari raut wajahnya, sepertinya dia tidak pura-pura.” Setelah berpikir demikian, ia pun mengulangi pertanyaan dengan menggunakan kalimat yang lebih sederhana, “Ketua Lan, ada urusan apa datang kemari?”

Lan Fenghuang balas bertanya, “Linghu Chong itu adik seperguruanmu, ataukah muridmu?”

“Muridku,” jawab Yue Buqun.

“Hm, apa aku boleh melihat dia?” pinta Lan Fenghuang.

“Muridku itu sedang sakit dan pikirannya masih kacau. Mohon maaf untuk saat ini dia tidak pantas datang kemari untuk memberi hormat kepada Ketua Lan,” jawab Yue Buqun.

“Memberi hormat kepadaku?” tanya Lan Fenghuang dengan mata terbelalak pertanda hatinya sangat terkejut. “Aku tidak ingin dia memberi hormat kepadaku.  Dia bukan bawahan Sekte Lima Dewi kami, untuk apa dia memberi hormat kepadaku? Di samping itu, dia adalah … hihihi … dia adalah teman baik dari seseorang. Meskipun dia datang kemari untuk memberi hormat, tetap saja aku tidak ingin menerimanya. Aku dengar dia telah mengiris nadi sendiri untuk mengeluarkan darah sebanyak dua mangkuk dan meminumkannya kepada anak perempuan Lao Touzi, demi menyelamatkan nyawa nona itu. Laki-laki yang penuh kasih sayang dan rela berkorban seperti dia sangat dikagumi oleh perempuan Miao sepertiku. Itu sebabnya, aku datang kemari karena ingin melihatnya.”

Yue Buqun menggumam, “Hal ini … hal ini ….”

Lan Fenghuang menukas, “Aku tahu dia terluka dan kehilangan banyak darah. Kau tidak perlu memanggilnya keluar. Biar aku saja yang masuk ke dalam.”

Yue Buqun buru-buru menyahut, “Kami tidak berani merepotkan Ketua yang mulia.”

“Yang mulia apanya? Terserah kau!” kata Lan Fenghuang dengan tertawa cekikikan. Gadis itu kemudian melompat dari perahunya dan mendarat dengan anggun di atas kapal rombongan Huashan.

Yue Buqun dapat melihat Lan Fenghuang memiliki gerakan yang lincah, namun sesungguhnya tidak memiliki ilmu silat yang istimewa. Ia segera mundur dua langkah untuk menghalangi pintu masuk kabin kapal. Dalam hati ia merasa sangat rikuh karena tahu kalau Sekte Lima Dewi sangat sulit dihadapi. Mereka memiliki keahlian meracun tingkat tinggi, dan suka datang bagaikan angin, pergi bagaikan bayangan. Jika bertarung melawan aliran sesat seperti mereka, tentu tidak cukup hanya dengan mengandalkan ilmu silat belaka. Itulah sebabnya sejak tadi Yue Buqun selalu menggunakan kata-kata sopan demi untuk menghindari perselisihan.

Teringat kemarin malam ada dua anggota Partai Seratus Racun yang menyebutkan kalau mereka telah menerima perintah untuk membuntuti rombongan Huashan, membuat Yue Buqun mencoba menebak bahwa yang memberi perintah tentu pihak Sekte Lima Dewi. Namun, untuk apa Sekte Lima Dewi berniat menyusahkan Perguruan Huashan? Sekte Lima Dewi memiliki kekuatan besar di dunia persilatan. Saat ini Sang Ketua Sekte datang sendiri, tentu tidak seharusnya Yue Buqun menghadang langkahnya. Namun membiarkan seseorang yang sekujur tubuhnya mengandung racun aneh seperti dia masuk ke dalam kabin tentu sangat berbahaya. Menyadari hal itu, Yue Buqun merasa lebih baik Linghu Chong saja yang keluar dari kabin untuk menemui perempuan itu. Segera ia pun berteriak, “Chong’er, Ketua Lan ingin menemuimu. Lekas kau keluar untuk menemuinya!”

Linghu Chong yang kehilangan banyak darah masih belum bisa mendengar dengan jelas. Meskipun sang guru berteriak, namun ia hanya bisa menjawab lirih, “Baik, Guru!” Ia mencoba bangun namun baru bergerak sedikit sudah jatuh terduduk dan sulit untuk bangkit kembali.

Lan Fenghuang berkata, “Aku dengar dia sedang terluka parah. Mana bisa dia keluar kemari? Angin di sungai ini sangat kencang. Aku tidak ingin dia masuk angin, padahal saat ini sudah kenyang menderita. Biarlah aku yang masuk ke dalam untuk menemuinya.”

Gadis itu kemudian berjalan menuju pintu kabin. Ketika jarak tinggal satu meter, Yue Buqun mencium bau harum yang sangat menyengat dari tubuhnya. Terpaksa ia sedikit memiringkan badan supaya gadis itu bisa masuk ke dalam kabin.

Di luar kabin, lima Dewa Lembah Persik duduk bersila, sedangkan Dewa Buah Persik berbaring di atas dipan. Lan Fenghuang pun tersenyum dan menyapa mereka, “Kalian pasti Enam Dewa Lembah Persik, bukan? Aku ini Ketua Sekte Lima Dewi. Dewa dan Dewi adalah saudara. Kita ini berasal dari golongan yang sama.”

“Tidak sama!” jawab Dewa Akar Persik. “Kami adalah dewa asli, sedangkan kau dewi palsu.”

“Meskipun kau dewi asli, tetap saja jumlah kami lebih banyak. Kami adalah enam dewa, sedangkan kau hanya lima dewi,” tambah Dewa Dahan Persik.

Lan Fenghuang menjawab, “Kalau kami ingin lebih banyak dari kalian bukanlah hal yang sulit.”

“Bagaimana kau bisa lebih banyak daripada kami?” tanya Dewa Daun Persik. “Apa kau hendak mengubah nama menjadi Sekte Tujuh Dewi?”

Lan Fenghuang menjawab sambil tersenyum nakal, “Kami hanya punya Lima Dewi, bukan tujuh. Namun kalian Enam Dewa Lembah Persik bisa berubah menjadi Empat Dewa Lembah Persik. Bukankah dengan demikian jumlah kami menjadi lebih banyak?”

“Mengubah enam dewa menjadi empat dewa? Apa kau bermaksud hendak membunuh dua dari kami?” tanya Dewa Bunga Persik dengan nada gusar.

“Membunuh atau tidak, itu terserah kami, benar tidak?” balas Lan Fenghuang dengan tersenyum bangga. “Hanya saja, aku dengar kalian berenam ini adalah sahabat Linghu Chong, maka aku tidak akan membunuh kalian. Tapi, untuk selanjutnya kalian tidak boleh lagi menyombongkan diri dengan mengatakan jumlah kalian lebih banyak daripada Sekte Lima Dewi kami.”

“Kalau kami tetap menyombongkan diri, kau mau apa?” kata Dewa Dahan Persik.

Secepat kilat Dewa Akar Persik, Dewa Ranting Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik sudah menerjang maju dan memegang tangan dan kaki Lan Fenghuang. Ketika baru saja hendak mengangkat tubuh perempuan itu ke atas, mereka berseru kaget dan melepaskan pegangan masing-masing. Begitu setiap orang membuka genggaman, mereka melihat suatu benda mengerikan berada di telapak tangan masing-masing. Raut muka keempat bersaudara itu langsung menunjukkan rasa ngeri luar biasa.

Yue Buqun pun terkejut begitu menyaksikan apa yang berada di dalam tangan keempat Dewa Lembah Persik. Ia merasa bulu kuduknya berdiri dan keringat dingin mengalir di punggung. Ternyata Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik masing-masing memegang seekor kelabang besar berwarna hijau, sedangkan Dewa Daun Persik dan Dewa Bunga Persik masing-masing memegang seekor laba-laba berwarna-warni. Tubuh keempat binatang berbisa itu dipenuhi rambut panjang sehingga siapa saja yang melihat pasti merasa muak dan ingin muntah. Namun demikian, keempat hewan berbisa itu hanya bergetar tanpa menggigit tangan Dewa Akar Persik dan yang lain. Apabila keempat hewan itu menggigit, pasti empat Dewa Lembah Persik tidak mungkin terlihat ketakutan. Karena keempat hewan itu belum menyuntikkan bisa, empat Dewa Lembah Persik pun tidak berani bergerak sedikit pun.

Lan Fenghuang lantas mengibaskan lengan bajunya dengan gerakan enteng. Keempat hewan berbisa langsung hilang dari pandangan. Setiap orang dapat melihat Lan Fenghuang mengambil kembali keempat hewannya dengan kibasan lengan baju tadi, namun tidak seorang pun yang tahu di mana keempat hewan itu disembunyikan.

Ketua Sekte Lima Dewi itu melangkah masuk ke dalam kabin tanpa memedulikan Enam Dewa Lembah Persik yang ketakutan setengah mati dan kini tidak berani bicara apa-apa lagi.

Linghu Chong dan beberapa murid laki-laki Huashan sedang berada di kabin tengah. Saat itu Ning Zhongze dan para murid perempuan sudah berada di kabin belakang. Antara kedua ruang kabin tersebut terpisahkan oleh sekat yang terbuat dari papan kayu. Begitu Lan Fenghuang masuk ke dalam kabin tengah, matanya lantas mengamat-amati setiap murid Huashan yang ada di sana. Setelah itu ia melangkah ke arah dipan dan menyapa lirih, “Tuan Muda Linghu! Tuan Muda Linghu!”

Suara panggilannya sangat lembut dan bergema di telinga setiap orang yang mendengarnya. Para murid laki-laki Huashan pun bergolak jiwanya mendengar panggilan tersebut, seolah-olah mereka merasa bahwa diri mereka yang sedang dipanggil, bukan Linghu Chong. Akibatnya, hampir semua orang tanpa sadar menjawab. Setelah Lan Fenghuang dua kali memanggil, setengah dari jumlah murid laki-laki yang berada di situ terlihat gemetar dengan wajah merah padam menahan malu.

Linghu Chong membuka mata perlahan-lahan dan bertanya lirih, “Siapa … siapa kau ini?”

Lan Fenghuang menjawab dengan lembut, “Aku ini teman dari sahabat baikmu. Jadi, aku ini temanmu juga.”

Linghu Chong hanya bisa mendehem pelan dan kembali menutup mata.

Lan Fenghuang berkata, “Tuan Muda Linghu, aku tahu kau baru saja kehilangan banyak darah. Tapi kau tidak perlu khawatir. Kau tidak akan mati.”

Linghu Chong merasa bingung, namun tidak menjawab apa-apa.

Lan Fenghuang memasukkan tangannya ke dalam selimut Linghu Chong dan menarik keluar tangan pemuda itu. Begitu memeriksa denyut nadi Linghu Chong, seketika Lan Fenghuang terkejut dan mengernyitkan dahi. Perempuan itu lantas mengeluarkan kepalanya ke jendela kabin. Mulutnya bersuit dan mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti orang-orang di dalam kabin.

Rupanya Lan Fenghuang baru saja memanggil anak buahnya dengan menggunakan bahasa daerah sendiri. Tidak lama kemudian, empat orang perempuan suku Miao sudah naik ke atas kapal rombongan Huashan dan masuk ke dalam kabin. Rata-rata mereka berusia delapan belas tahun, dan semuanya memakai baju biru berhiaskan motif bunga-bunga, serta ikat pinggang bersulam indah. Masing-masing tangan keempat gadis tersebut tampak memegang sebuah kotak berukuran dua puluh senti, yang terbuat dari anyaman bambu.

Yue Buqun agak mengernyitkan dahi, berpikir bahwa kotak-kotak yang dibawa anggota Sekte Lima Dewi tersebut pasti bukan sesuatu yang baik. Pada tubuh Lan Fenghuang saja sudah tersembunyi beberapa ekor kelabang dan laba-laba beracun. Kini, keempat gadis Miao itu masuk ke dalam kabin sambil memegang kotak bambu pasti hendak membuat kekacauan. Meskipun demikian, Yue Buqun tidak berusaha turun tangan karena pihak lawan sepertinya belum memperlihatkan tanda-tanda permusuhan.

Keempat gadis Miao itu melangkah ke sisi Lan Fenghuang dan membisikkan sesuatu. Setelah Lan Fenghuang mengangguk, keempat gadis itu lantas membuka tutup kotak bambu masing-masing. Para murid Huashan penasaran dan ingin sekali mengetahui benda aneh apa yang berada di dalam kotak-kotak tersebut. Dalam peristiwa tadi, hanya Yue Buqun yang sempat melihat empat hewan berbulu dan berbisa berada di dalam genggaman empat Dewa Lembah Persik, dan untuk selanjutnya ia tidak ingin lagi melihat hewan-hewan menjijikkan tersebut seumur hidup.

Namun yang terjadi kemudian adalah suatu pemandangan aneh. Keempat gadis Miao tersebut menyingsingkan lengan baju masing-masing hingga lengan mereka yang putih bersih sampai siku terlihat jelas. Mereka juga menggulung bagian bawah celana masing-masing sampai lutut sehingga betis mereka pun kelihatan pula. Menyaksikan hal itu membuat para murid Huashan terperanjat dengan jantung berdebar-debar.

Yue Buqun berseru di dalam hati, “Celaka! Wanita-wanita aliran sesat ini hendak mengerahkan ilmu sihir dan menggunakan nafsu birahi untuk menjerat murid-muridku. Suara Lan Fenghuang seorang saja sudah terdengar begitu cabul. Kalau sekarang dia menggunakan ilmu sihir, tentu murid-muridku tidak akan berdaya untuk melawannya.”

Berpikir demikian membuat Yue Buqun bersiap-siap dengan meraba gagang pedang. Ia berniat mencabut pedangnya apabila para perempuan Miao itu melepaskan baju dan mengerahkan guna-guna.

Setelah keempat anak buahnya menggulung lengan baju dan celana, Lan Fenghuang pun melakukan hal yang sama. Perlahan-lahan Ketua Sekte Lima Dewi itu menggulung celana bagian bawah sehingga betisnya terlihat. Melihat keadaan semakin gawat, Yue Buqun segera mengedipkan mata ke arah para murid supaya mereka mundur ke luar kabin dan terbebas dari guna-guna. Namun hanya Lao Denuo yang banyak pengalaman dan Shi Daizi yang lugu saja yang benar-benar keluar. Para murid lainnya ada yang melangkah mundur namun tanpa sadar kembali lagi ke tempat semula, bahkan ada pula yang tetap berdiri tanpa bergerak sedikit pun sambil memandang apa yang dilakukan kelima perempuan Miao tersebut.

Yue Buqun segera menghimpun tenaga dalam yang berpusat pada titik Dantian di bawah perut, dan mengerahkan ilmu Awan Lembayung. Segera pada wajahnya pun memancarkan warna ungu kemerah-merahan. Ia mengetahui dengan baik bagaimana Sekte Lima Dewi memiliki nama besar di dunia persilatan wilayah selatan. Nama besar yang cenderung menyeramkan itu sudah pasti tidak mereka peroleh dengan cuma-cuma. Tak diragukan lagi, sekte ini pasti memiliki cara-cara yang kejam dan ganas di luar kebiasaan untuk mendapatkan kejayaan di dunia persilatan. Kali ini, Sang Ketua sendiri yang melancarkan ilmu sihirnya, tentu masalah ini bukan suatu yang bisa dianggap remeh. Yue Buqun merasa perlu menjaga diri dengan ilmu Awan Lembayung karena ia khawatir lengah sedikit saja akan jatuh ke dalam pengaruh guna-guna Lan Fenghuang. Telah terlihat jelas bagaimana para perempuan suku Miao itu tanpa malu-malu memperlihatkan lengan dan betis di depan umum, dan bahkan kemungkinan bisa lebih dari itu membuat Yue Buqun semakin khawatir. Mati terkena racun tidak menjadi masalah baginya. Tapi jika ia jatuh ke dalam perangkap guna-guna dan ilmu sihir tentu akan membuatnya malu seumur hidup. Jika hal itu sampai terjadi, maka nama besar Perguruan Huashan dan Si Pedang Budiman akan benar-benar hancur luluh.

Keempat gadis Miao itu terlihat mengambil sesuatu dari dalam kotak bambu masing-masing. Sesuatu tersebut tampak menggeliat-liat di tangan mereka. Yue Buqun hanya bisa menebak mungkin itu semacam cacing berbisa. Anehnya, keempat gadis Miao itu justru menempelkan cacing-cacing itu pada lengan dan betis mereka sendiri. Hewan-hewan tersebut melekat kuat dan tidak jatuh sama sekali.

Yue Buqun menajamkan penglihatannya ke arah cacing-cacing itu. Kini ia paham bahwa sebenarnya itu bukan cacing, melainkan lintah, sejenis hewan penghisap darah yang banyak dijumpai di perairan atau rawa-rawa di pedesaan. Hanya saja, dibandingkan dengan binatang lintah pada umumnya, lintah yang mereka bawa tersebut berukuran dua kali lebih besar. Gadis-gadis Miao itu terus-menerus mengambil lintah satu demi satu dari dalam kotak masing-masing dan menempelkannya ke kulit. Lan Fenghuang pun melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, lengan dan betis kelima perempuan itu sudah dipenuhi lintah, yang jumlahnya masing-masing mencapai seratus ekor.

Para hadirin di dalam kabin hanya bisa tercengang heran. Mereka tidak tahu apa sebenarnya maksud dan tujuan kelima gadis Miao tersebut. Sementara itu, Ning Zhongze di ruang sebelah hanya bisa mendengar suara para gadis merintih-rintih, “Ah! Uh!” sehingga membuat hatinya penasaran. Tak kuasa menahan diri, Nyonya Yue pun menarik papan penyekat ruangan kabin. Begitu melihat pemandangan yang sebenarnya, ia pun menjerit kaget, “Aih!”

Lan Fenghuang menyapa dengan tersenyum ramah, “Jangan takut. Mereka tidak akan menggigitmu. Apakah kau ini istri Tuan Yue? Kabarnya kau punya ilmu pedang hebat, ya?”

Ning Zhongze tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum yang agak dipaksakan. Saat Lan Fenghuang bertanya apakah ia istri Tuan Yue, hal ini terdengar kasar bagi suku Han. Sedangkan pertanyaan apakah ilmu pedangnya hebat, apabila yang bertanya orang lain tentu Ning Zhongze akan menjawab dengan rendah hati. Namun karena yang bertanya adalah Lan Fenghuang yang kurang memahami adat istiadat suku Han membuat Ning Zhongze merasa serba salah. Jika dijawab “benar” maka akan terkesan sombong, namun jika dijawab “tidak” tentu si gadis Miao akan mengira ilmu pedang Ning Zhongze biasa saja. Daripada Lan Fenghuang memandang rendah terhadap dirinya, Ning Zhongze memutuskan hanya tersenyum tanpa menjawab. Lagipula, Lan Fenghuang juga diam saja dan tidak melanjutkan pembicaraan.

Yue Buqun sendiri masih berjaga-jaga dengan tangan meraba gagang pedang. Apabila para gadis Miao itu melakukan gerakan mencurigakan, maka ia langsung mencabut pedang dan menyerang mereka. Pepatah mengatakan, untuk menangkap kawanan penkahat sebaiknya ringkus pemimpinnya dulu. Maka itu, Yue Buqun pun bersiap untuk menyerang Lan Fenghuang terlebih dulu. Saat itu keadaan di dalam kabin begitu sunyi, kecuali terdengar suara napas berat para murid laki-laki Perguruan Huashan.

Selang agak lama, tubuh lintah-lintah tersebut terlihat menggelembung dan berwarna kemerah-merahan. Yue Buqun paham apabila lintah menempel pada kulit manusia atau hewan, maka mereka akan melekat kuat dan menghisap darah sampai kenyang. Mereka tidak akan melepaskan diri sebelum benar-benar kenyang. Pada saat lintah menghisap darah, makhluk yang dihisapnya seringkali tidak merasakan apa-apa, kecuali gatal atau kebas saja. Tidak jarang para petani di sawah dihisap darahnya oleh lintah namun mereka tidak mengetahuinya.

Dalam hati Yue Buqun bertanya-tanya, “Untuk apa para wanita iblis ini menggunakan lintah untuk menghisap darah sendiri? Mungkin untuk mengerahkan ilmu sihir mereka, orang-orang Sekte Lima Dewi harus menggunakan darah mereka sendiri. Sepertinya, setelah lintah-lintah itu kenyang menghisap darah, mereka akan segera mengerahkan guna-guna.”

Lan Fenghuang dengan lembut membuka selimut penutup tubuh Linghu Chong, kemudian mencabut seekor lintah yang sudah kenyang menghisap darah dari lengannya. Lintah tersebut kemudian diletakkannya pada pembuluh darah di leher Linghu Chong.

Khawatir Lan Fenghuang hendak mencelakai Linghu Chong, Ning Zhongze pun berkata dengan cemas, “Hei, apa yang kau lakukan?” Wanita itu kemudian melompat ke kabin tengah sambil menghunus pedang.

“Tunggu dulu! Jangan tergesa-gesa!” cegah Yue Buqun sambil menggelengkan kepala.

Ning Zhongze pun menghentikan langkah namun tangannya tetap memegang gagang pedang erat-erat sambil pandangan mata menatap tajam ke arah Lan Fenghuang dan Linghu Chong.

Begitu lintah tadi melekat di leher Linghu Chong langsung menggigit dan menghisap darah. Lan Fenghuang mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari balik bajunya. Setelah tutup dibuka, perempuan itu mengambil sedikit isinya yang berupa serbuk menggunakan ujung kuku jari kelingking. Serbuk tersebut kemudian ditaburkan pada tubuh si lintah. Keempat gadis Miao yang lain segera membuka baju Linghu Chong pada bagian dada dan perut serta menggulung lengan baju dan kaki celana pemuda itu. Mereka lalu mencabuti satu per satu lintah pada tubuh masing-masing dan memindahkannya di dekat pembuluh darah pada dada, perut, kaki, dan lengan Linghu Chong. Dalam sekejap, lebih dari dua ratus ekor lintah sudah menempel dengan erat di tubuh si pemuda. Sementara itu, Lan Fenghuang sibuk menaburkan serbuk dari botol kecilnya pada setiap lintah yang ada.

Suatu keanehan terjadi. Sewaktu menempel di tubuh para gadis Miao, lintah-lintah itu semakin lama semakin menggelembung. Namun kini yang terjadi adalah sebaliknya. Lintah-lintah itu saat menempel di tubuh Linghu Chong justru semakin kempis dan mengkerut.

Seketika Yue Buqun sadar apa yang sebenarnya terjadi. Sambil menghela napas lega, ia pun berpikir, “Ternyata perempuan-perempuan ini sedang memindahkan darah mereka untuk dimasukkan ke dalam tubuh Chong’er melalui lintah sebagai perantara. Serbuk putih itu entah dibuat dari bahan apa sehingga bisa memaksa lintah-lintah itu untuk memuntahkan darah yang baru saja mereka hisap. Benar-benar ajaib!”

Menyadari hal itu, Yue Buqun pun mengendurkan jari-jarinya yang sejak tadi siap mencabut pedang. Sementara itu, sang istri yang berpikiran sama tampak tersenyum dan menyarungkan kembali pedangnya.

Meskipun di dalam kabin masih tetap sunyi senyap, namun suasana tegang – seolah akan terjadi pertempuran habis-habisan – kini telah berubah menjadi tenang. Bahkan, Enam Dewa Lembah Persik pun terheran-heran menyaksikan apa yang sedang terjadi. Mulut mereka menganga lebar sehingga tidak bisa berdebat dan adu pendapat seperti biasanya. Sungguh peristiwa yang jarang terjadi.

Tidak lama kemudian, terdengar suara seekor lintah jatuh di lantai kabin. Lintah yang telah memuntahkan seluruh darah dari perutnya itu menggelepar beberapa kali kemudian mati. Seorang gadis Miao memungut bangkai binatang itu dan membuangnya ke sungai melalui jendela kabin. Satu per satu lintah yang menempel di tubuh Linghu Chong pun berjatuhan dan segera dilemparkan ke sungai pula. Kini, wajah Linghu Chong terlihat merona merah setelah sebelumnya pucat pasi seperti kertas. Darah para gadis Miao yang disalurkan ke dalam tubuhnya melalui lintah-lintah tadi jumlahnya lebih dari satu mangkuk besar. Meskipun tidak dapat menggantikan seluruh darahnya yang hilang, namun sudah cukup untuk menyelamatkan nyawanya.

Yue Buqun dan Ning Zhongze saling berpandangan. Suami istri itu sama-sama berpikir, “Perempuan Miao ini seorang ketua sekte besar dan ternama, namun tidak segan-segan menyalurkan darahnya ke dalam tubuh Chong’er. Dia dan Chong’er belum pernah berjumpa, jadi tidak mungkin memiliki perasaan cinta atau semacamnya. Ia tadi mengaku sebagai teman dari sahabat baik Chong’er. Sejak kapan Chong’er berkenalan dengan seseorang yang mempunyai kekuasaan besar seperti itu?”

Begitu melihat perubahan warna pada muka Linghu Chong, Lan Fenghuang segera memeriksa denyut nadi pemuda itu yang terasa lebih kuat daripada tadi. Merasa senang, gadis itu pun bertanya, “Tuan Muda Linghu, bagaimana perasaanmu?”

Meskipun Linghu Chong tidak sepenuhnya paham apa yang baru saja terjadi, namun ia yakin kalau kedatangan perempuan itu adalah untuk mengobatinya. Terbukti, ia kini merasa jauh lebih kuat daripada tadi. Maka, ia pun menjawab, “Terima kasih banyak, Nona. Aku … aku sekarang merasa jauh lebih baik.”

Lan Fenghuang menyahut, “Apa menurutmu aku sudah tua? Memangnya aku sudah sangat tua, ya?”

Linghu Chong menjawab, “Siapa bilang kau sudah tua? Sudah jelas kau masih muda. Bahkan, kalau kau tidak keberatan, aku akan memanggilmu ‘adik’.”

Lan Fenghuang terlihat sangat senang. Senyumnya merekah bagaikan sekuntum bunga yang baru saja mekar di musim semi sehingga menambah kecantikannya. Ia pun berkata, “Kau benar-benar baik. Pantas saja, seseorang yang tidak pernah peduli pada laki-laki di muka bumi bisa sedemikian baik kepadamu. Tidak heran … tidak heran … aih ….”

Linghu Chong menanggapi, “Kalau kau memang menganggapku baik, mengapa tidak memanggil ‘kakak’ saja kepadaku?”

Wajah Lan Fenghuang agak merona merah saat ia berkata, “Kakak Linghu!”

Linghu Chong langsung menjawab, “Adik yang baik! Adik yang manis!”

Dasar watak Linghu Chong yang bebas dan merdeka, sehingga tidak memedulikan hal-hal remeh. Sifatnya sangat berbeda dengan Yue Buqun yang selalu menganggap diri sendiri sebagai seorang budiman. Begitu memperoleh kesadarannya, Linghu Chong langsung paham kalau Lan Fenghuang sangat senang apabila disebut masih muda dan cantik. Begitu si gadis bertanya dengan terus terang, Linghu Chong langsung menyebutnya sebagai adik, meskipun usia mereka hampir sama. Ia berpikir Lan Fenghuang sudah bersusah payah menyelamatkan nyawanya, sehingga tiada salahnya kalau ia menyenangkan gadis itu sebagai balas budi. Benar saja, begitu mendengar dirinya dipanggil sebagai adik, Lan Fenghuang terlihat sangat gembira.

Sebaliknya, Yue Buqun dan Ning Zhongze terlihat mengernyitkan dahi, sambil berpikir, “Chong’er benar-benar ceroboh. Wataknya sulit disembuhkan. Ping Yizhi berkata bahwa umurnya tinggal seratus hari, bahkan kini sudah berjalan beberapa hari. Sebentar lagi ia masuk peti mati, namun begitu mendapat kesadaran justru langsung menggoda perempuan sesat dan cabul ini.”

Lan Fenghuang berkata, “Kakak, dalam hal memindahkan darah seperti yang baru saja kami lakukan tadi, ada beberapa jenis darah yang tidak bisa dipindahkan ke dalam tubuhmu. Apabila lintah-lintah tadi begitu menyalurkan darah langsung berjatuhan, itu berarti darah jenis tersebut tidak dapat dipindahkan. Kami berlima dipilih dari ratusan orang. Darah kami berlima termasuk jenis yang bisa diberikan kepada siapa saja.” Setelah diam sejenak, gadis itu melanjutkan, “Kakak, kau ingin makan apa? Aku punya beberapa makanan ringan, kau mau atau tidak?”

Linghu Chong menjawab, “Aku tidak ingin makan. Aku hanya ingin minum arak.”

Lan Fenghuang berkata, “Mudah sekali. Kami punya arak buatan sendiri yang disebut ‘Nektar Lima Permata’. Kau boleh mencoba sekarang.”

Usai berkata demikian Lan Fenghuang pun memberi perintah kepada anak buahnya dengan manggunakan bahasa Miao. Suaranya terdengar seperti kicauan burung. Dua orang gadis Miao segera pergi ke perahu mereka, dan kembali dengan membawa delapan botol arak. Begitu satu botol dibuka, bau semerbak wangi bunga langsung memenuhi ruangan kabin.

Linghu Chong berkata, “Adikku yang baik, arakmu ini baunya sangat wangi sehingga mengalahkan rasa araknya sendiri. Menurutku, ini pasti arak untuk kaum wanita, bukan begitu?”

Lan Fenghuang tersenyum dan menjawab, “Wangi bunga dalam arak ini memang harus keras. Jika tidak, maka arak ini akan berbau amis seperti bau ular berbisa.”

“Dalam arak ini ada bau amis ular berbisa?” tanya Linghu Chong dengan nada terkejut.

“Tepat sekali,” jawab Lan Fenghuang. “Kami menyebut arak ini ‘Nektar Lima Permata’, sehingga tentu saja harus mengandung lima jenis permata pula.”

“Apa maksudnya ‘Lima Permata’?” tanya Linghu Chong penasaran.

“Lima Permata adalah lima jenis harta karun dalam kepercayaan kami,” jawab Lan Fenghuang. “Coba kau lihat.” Sambil berbicara, gadis itu menuangkan isi botol arak ke dalam dua buah mangkuk kosong yang sudah ia siapkan. Di tengah suara gemericik, terlihat beberapa benda mungil ikut masuk ke dalam mangkuk bersama arak. Beberapa murid Huashan langsung menjerit ngeri begitu melihat pemandangan itu.

Lan Fenghuang menyodorkan mangkuk arak di tangannya kepada Linghu Chong. Arak tersebut sangat jernih seperti air dari mata air pegunungan. Dalam arak itu terendam lima ekor hewan berbisa berukuran kecil, yaitu ular hijau, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak.

Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Mengapa di dalam arakmu ada … ada binatang beracun seperti ini?”

“Huh, ini adalah lima harta karun. Jangan sembarangan kau menyebutnya binatang beracun,” kata Lan Fenghuang sambil mendengus. “Kakak Linghu, kau berani minum atau tidak?”

Linghu Chong tersenyum kecut dan menjawab, “Lima … lima harta karun ini membuatku agak takut.”

Lan Fenghuang mengangkat mangkuk arak tersebut dan meneguk isinya; sebuah tegukan besar. Ia kemudian berkata, “Kami orang-orang Miao memiliki adat kebiasaan, apabila kami mengajak makan atau minum, sedangkan yang kami ajak menolak makan atau minum, maka orang itu bukan teman sejati dan kami pun tidak akan lagi menganggapnya sebagai teman.”

Linghu Chong pun menerima mangkuk arak tersebut dan meneguk isinya. Kelima hewan berbisa di dalam mangkuk tersebut ikut masuk pula ke dalam kerongkongannya. Meskipun memiliki nyali besar, namun ia tetap tidak berani mengunyah hewan-hewan itu.

Lan Fenghuang sangat senang dan langsung memeluk leher Linghu Chong dengan kedua lengannya. Tanpa malu-malu ia mencium pipi kiri Linghu Chong sebanyak dua kali sampai gincunya meninggalkan bekas. “Ini baru kakak yang baik!” katanya.

Linghu Chong pun tersenyum, namun jantungnya langsung berdebar kencang begitu melihat tatapan tajam Yue Buqun kepadanya. Dalam hati ia menggerutu, “Sial! Aku sudah keterlaluan, berbuat ceroboh di depan Guru dan Ibu Guru. Pasti setelah ini Guru akan memaki kebodohanku. Adik Kecil tentu akan memandangku lebih rendah lagi.”

Lan Fenghuang kembali membuka sebotol arak dan menuangkan isinya ke dalam mangkuk, untuk kemudian disodorkan kepada Yue Buqun. Sambil tersenyum ia berkata, “Tuan Yue, silakan minum arak kami.”

Begitu melihat di dalam mangkuk arak terdapat kelabang, kalajengking, dan beberapa hewan berbisa lainnya, Yue Buqun langsung merasa mual. Apalagi samar-samar tercium bau amis di sela-sela semerbak wangi bunga membuatnya semakin ingin muntah. Maka, ia pun menjulurkan tangan kiri untuk menolak mangkuk tersebut. Tak disangka, Lan Fenghuang tidak juga menarik mundur tangannya sehingga hampir bersentuhan dengan jari tangan Yue Buqun. Menyadari hal itu, Yue Buqun buru-buru menarik tangan kirinya.

“Mengapa sang guru justru tidak punya nyali dibanding muridnya?” kata Lan Fenghuang sambil tersenyum. “Kawan-kawan dari Perguruan Huashan, apakah ada yang mau minum arak ini? Yang berani minum akan mendapat banyak manfaat.”

Dalam sekejap ruangan kabin tersebut menjadi sunyi senyap. Lan Fenghuang mengangkat mangkuk araknya namun tidak satu pun yang berani maju untuk menyambut. Sambil menghela napas, ia pun berkata, “Di Perguruan Huashan, selain Linghu Chong tidak ada lagi orang gagah.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru lantang, “Aku yang akan meminumnya!” Ternyata itu suara Lin Pingzhi. Pemuda itu maju ke depan dan menjulurkan tangan untuk menyambut mangkuk arak.

Lan Fenghuang tersenyum dan mengangkat kedua alisnya. Ia berkata, “Ternyata ….”

“Lin Kecil!” seru Yue Lingshan menyela. “Jika kau menelan barang menjijikkan itu, meskipun kau tidak mati kena racun, aku tidak akan bicara denganmu lagi!”

Lan Fenghuang menyodorkan mangkuk araknya ke arah Lin Pingzhi sambil tersenyum, “Silakan minum arak ini!”

Lin Pingzhi menjawab dengan terbata-bata, “Aku … aku tidak jadi minum.”

Lan Fenghuang pun tertawa terbahak-bahak. Wajah Lin Pingzhi berubah merah dan ia berkata, “Aku tidak jadi minum arak bukan … bukan karena aku takut mati.”

“Aku tahu! Aku tahu! Kau takut nona cantik itu tidak mau lagi bicara denganmu. Kau bukan pengecut, tapi kau ini seorang laki-laki yang sedang dimabuk asmara, hahahaha!” kata Lan Fenghuang sambil terus bergelak tawa. Ia kemudian berjalan ke sisi Linghu Chong dan berkata, “Kakak, sampai jumpa lagi.”

Setelah menaruh mangkuk araknya di atas meja, Lan Fenghuang pun melambaikan tangan ke arah anak buahnya. Keempat gadis Miao lainnya segera meletakkan keenam botol arak yang tersisa dan melangkah keluar kabin mengikuti Sang Ketua. Sejenak kemudian, kelima perempuan itu sudah melompat kembali ke atas perahu mereka. Kembali terdengar suara nyanyian merdu dan bersyair mesra berkumandang dari dalam kabin perahu. Perahu pun bergerak menuju hilir semakin cepat dan semakin jauh. Suara nyanyian akhirnya lenyap seiring dengan menghilangnya perahu tersebut.

“Buang semua botol dan mangkuk arak ini ke sungai!” seru Yue Buqun memberi perintah sambil mengernyitkan dahi.

“Baik, Guru!” jawab Lin Pingzhi yang kemudian melangkah ke arah meja. Namun begitu ujung jarinya menyentuh botol arak, hidungnya langsung mencium bau amis yang sangat aneh. Seketika tubuh pemuda itu bergoyang-goyang dan tidak bisa berdiri tegak. Dengan cepat Lin Pingzhi pun meraih tepian meja untuk menyandarkan diri supaya tidak jatuh ke lantai.

Yue Buqun menyadari sesuatu dan segera berseru, “Botol arak ini ada racunnya!” Ia kemudian mengibaskan lengan bajunya yang menyapu keluar semua botol dan mangkuk di atas meja melewati jendela kabin hingga akhirnya jatuh di sungai. Tiba-tiba dadanya terasa sangat mual. Setelah mengerahkan tenaga dalam, ia pun dapat menekan kembali rasa mual tersebut sehingga tidak sampai muntah.

Sekejap kemudian terdengar suara orang lain yang muntah. Ternyata dia adalah Lin Pingzhi. Disusul kemudian satu per satu orang-orang lainnya ikut muntah-muntah pula. Bahkan, Enam Dewa Lembah Persik dan para awak kapal juga muntah-muntah padahal mereka berada di luar kabin. Setelah menahan rasa mual untuk sekian lama, akhirnya Yue Buqun tak kuasa menahan diri lagi dan ikut muntah pula. Setiap orang muntah-muntah untuk waktu yang cukup lama. Walaupun makanan dalam perut mereka sudah terkuras habis, namun mereka tetap saja muntah, yaitu memuntahkan asam lambung. Setelah asam lambung habis, tetap saja perut mereka terasa mual dan tenggorokan terasa gatal. Bagi mereka, muntah-muntah dalam keadaan perut kosong rasanya jauh lebih menderita daripada mengeluarkan semua makanan dari dalam perut.

Dalam keadaan ribut tersebut hanya Linghu Chong seorang yang tidak muntah di antara puluhan orang yang ada di atas kapal.

Melihat itu, Dewa Buah Persik berkata, “Linghu Chong, siluman betina itu memperlakukanmu dengan sangat istimewa. Ia pasti telah meminumkan obat penawar kepadamu.”

Linghu Chong menjawab, “Aku belum minum obat penawar. Apakah semangkuk arak berbisa tadi adalah obat penawar?”

Dewa Akar Persik menyahut, “Bisa jadi begitu. Siluman betina itu melihat kau tampan, lantas jatuh cinta kepadamu.”

Dewa Ranting Persik menanggapi, “Menurutku bukan karena tampan, tapi karena dia memuji siluman betina itu muda dan cantik, juga memanggilnya sebagai adik yang manis. Andai aku tahu, aku juga akan memuji perempuan itu sehingga tidak akan mengalami nasib buruk seperti ini.”

“Bukan hanya soal memuji, tapi juga harus berani meminum arak beracun dan menelan lima hewan berbisa tadi,” tukas Dewa Bunga Persik.

“Kali ini dia memang tidak muntah. Tapi bukankah di dalam perutnya sudah ada kelima hewan berbisa tadi? Bagaimana kalau kelima hewan itu membuat dia keracunan yang lebih parah daripada kita ini?” ujar Dewa Daun Persik.

“Aih, celaka kita! Linghu Chong telah meminum semangkuk arak beracun, sementara kita tidak mencegahnya. Kalau gara-gara hal itu kemudian dia tewas keracunan, bagaimana kalau Ping Yizhi sampai mendengarnya?” kata Dewa Dahan Persik.

“Ping Yizhi pernah berkata, umur Linghu Chong tinggal sedikit. Kalau dia mati beberapa hari lebih cepat, apa ada yang salah?” tanya Dewa Akar Persik.

“Masalah bukan pada Linghu Chong, tapi pada kita,” kata Dewa Bunga Persik.

“Tenang saja, kita bisa kabur jauh-jauh,” ujar Dewa Buah Persik. “Ping Yizhi itu gemuk dan pendek. Mana bisa dia mengejar kita?”

Begitulah, Enam Dewa Lembah Persik meskipun muntah-muntah namun tetap tidak berhenti adu bicara.

Sementara itu Yue Buqun melihat jurumudi kapal masih muntah-muntah tanpa henti hingga kapal tersebut oleng ke kanan dan ke kiri di tengah aliran sungai besar yang deras. Merasa sangat berbahaya, ia segera melompat ke buritan dan mengambil alih kemudi, selanjutnya merapatkan kapal ke daratan di sisi selatan. Tenaga dalamnya sangat kuat sehingga setelah mengerahkan hawa murni beberapa kali, rasa mual di dadanya sedikit demi sedikit menghilang.

Perlahan-lahan kapal pun merapat ke tepian. Yue Buqun melompat ke haluan dan mengangkat jangkar besi, kemudian melemparkannya ke dasar sungai. Jangkar itu beratnya lebih dari seratus kilogram dan biasanya diperlukan dua orang awak kapal untuk mengangkatnya. Kini, para awak kapal tersebut tercegang melihat Yue Buqun yang berpenampilan seperti sarjana santun dan lembut ternyata mampu mengangkat jangkar tersebut seorang diri, bahkan melemparkannya sejauh beberapa meter. Namun mereka hanya sebentar dalam kekaguman karena kemudian muntah-muntah kembali.

Begitu kapal berhenti, semua orang pun turun satu per satu ke daratan. Mereka berlutut di tepian dan meminum air sungai sebanyak-banyaknya, kemudian memuntahkannya kembali. Beberapa kali mereka minum dan muntah sampai akhirnya rasa mual pun berangsur-angsur hilang.

Empat Dewa Lembah Persik menangkap Lan Fenghuang.
Dua gadis Miao membawa arak.
Linghu Chong ngeri melihat Nektar Lima Permata.
 
(Bersambung)