Bagian 26 - Jatuh Sakit Karena Cinta

Lu Dayou mengantarkan makanan.

Sejenak kemudian Linghu Chong bertanya, “Adik Keenam, mengapa kau bisa berlatih pedang bersama Adik Lin?”

“Gara-gara kemarin sore,” jawab Lu Dayou, “sepulang dari sini Adik Kecil terus-menerus menggerutu kepadaku. Esok harinya, ia menyeret tanganku untuk mengajak latihan bersama. Aku pun menuruti tanpa curiga sedikit pun. Ternyata dia menyuruhku bertanding melawan Lin Pingzhi. Aku sama sekali tidak menyangka kalau bocah itu baru saja mempelajari jurus baru sehingga diriku dapat dikalahkannya. Aku benar-benar dipecundangi mentah-mentah oleh mereka.”

Linghu Chong semakin paham apa yang sebenarnya terjadi. Lu Dayou yang akrab dengannya tidak suka melihat kedekatan antara Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Itulah sebabnya kemarin sore Lu Dayou berulang kali melontarkan sindiran kepada Yue Lingshan.

Linghu Chong kemudian bertanya, “Apakah kau sering memarahi Adik Lin?”

Lu Dayou menjawab, “Tentu saja. Bocah sombong seperti dia apa tidak pantas dimaki? Selama ini dia selalu takut kepadaku. Setiap kami bertemu dia selalu menghindar. Sungguh tak disangka bocah itu ternyata... ternyata begitu tega. Huh, kalau saja tidak didukung Adik Kecil, mana mungkin dia bisa mengalahkan aku?”

Linghu Chong juga ikut kesal mendengar cerita Lu Dayou. Begitu teringat gambar-gambar di dinding gua tentang bagaimana cara mematahkan jurus Burung Feng Datang Menyembah, ia pun memungut sebatang ranting dan bersiap mengajarkannya kepada Monyet Keenam. Namun tiba-tiba terpikir olehnya, “Adik Keenam sudah terlalu benci kepada Adik Lin. Bila jurus penangkal ini kuajarkan kepadanya, bisa-bisa Adik Lin terluka parah. Dan kalau Guru atau Ibu Guru sampai tahu dan mengusut masalah ini, tentu kami berdua yang akan menerima hukuman berat.”

Berpikir demikian, Linghu Chong pun membuang ranting di tangannya kemudian berkata, “Sudahlah, Adik Keenam. Urusan ini anggap saja sebagai pengalamanmu supaya lain kali kau tidak ceroboh lagi. Kita ini sesama saudara, kalah atau menang dalam berlatih adalah hal biasa. Jangan dianggap masalah berat.”

“Kakak Pertama,” sahut Lu Dayou sambil menatap tajam. “Kalau untukku memang tidak menjadi soal. Tapi bagaimana denganmu? Apa kau menganggap ini masalah kecil?”

Linghu Chong menyadari kalau yang dimaksud Lu Dayou adalah perihal kedekatan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Mendengar pertanyaan itu hatinya terasa pilu dan kepalanya pun tertunduk lesu.

Lu Dayou merasa bersalah atas ucapannya yang menyinggung perasaan sang kakak pertama. Dengan cepat ia berkata, “Maafkan aku jika... jika salah bicara!”

“Kau tidak salah,” ujar Linghu Chong sambil memegang lengan Lu Dayou. “Hanya saja... hanya saja.... Ah, sudahlah! Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan urusan ini lagi.”

“Baiklah,” sahut Lu Dayou. “Kakak, dulu kau telah mengajariku jurus Burung Feng Datang Menyembah dan aku kurang memperhatikan dengan seksama sehingga bocah bermarga Lin itu bisa mengalahkanku. Untuk selanjutnya, aku akan berlatih dengan lebih giat lagi. Biar bocah bermarga Lin itu mengetahui mana yang lebih bagus, hasil didikan Kakak Pertama ataukah hasil didikan Adik Kecil?”

Linghu Chong tersenyum getir dan berkata, “Sebenarnya... dalam jurus itu tidak ada sesuatu yang istimewa.”

Melihat sikap Linghu Chong yang lesu, Lu Dayou mengira kakak pertamanya itu sedang patah hati. Maka, ia pun tidak berani bertanya macam-macam lagi. Setelah Linghu Chong menghabiskan makanannya, Lu Dayou mohon diri meninggalkan puncak tebing tersebut.

Setelah beristirahat sejenak, Linghu Chong menyalakan obor dan kembali masuk ke dalam gua belakang untuk melanjutkan pengamatannya terhadap gambar-gambar yang terukir di dinding batu. Namun karena pikirannya sedang kalut, gambar-gambar itu dalam pandangannya tampak menyerupai Yue Lingshan dan Lin Pingzhi sedang berlatih bersama dengan sangat mesra. Yang satu mengajari, yang lain mempelajari, demikian yang terlintas di benak Linghu Chong.

Bayangan wajah Lin Pingzhi yang tampan juga semakin menghantui pikiran Linghu Chong. Tanpa terasa ia menghela napas dan berkata, “Wajah Adik Lin jauh lebih tampan dariku. Selain itu, usianya dengan Adik Kecil juga hanya selisih sedikit, mungkin setahun atau dua tahun. Wajar saja kalau mereka berdua bisa bergaul lebih akrab.”

Tiba-tiba Linghu Chong menemukan gambar yang menarik perhatiannya. Gambar tersebut adalah gambar seorang yang mengacungkan pedang dengan gerakan sama persis menyerupai Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Ia pun berseru, “Tidak mungkin! Jurus ini adalah ciptaan Ibu Guru. Mengapa bisa... mengapa bisa terukir lebih dulu di sini? Sungguh aneh!”

Setelah mengamati gambar itu dengan teliti barulah ia menemukan perbedaan jurus tersebut dengan jurus ciptaan sang ibu-guru. Jurus tersebut lebih sederhana namun sangat kuat, dan pantas digunakan oleh seorang laki-laki. Sementara itu jurus pedang Ning Zhongze lebih rumit dan sukar diduga karena memiliki berbagai gerak perubahan yang rahasia. Meskipun demikian, tetap saja keduanya memiliki gaya serangan yang mirip.

Menyadari hal itu, Linghu Chong pun berpikir, “Sebenarnya tidak mengejutkan mengapa jurus pedang ciptaan Ibu Guru sama persis dengan yang terukir di sini. Ilmu silat dan kepandaian Ibu Guru tentu sudah setara dengan tokoh sesepuh yang menggunakan jurus ini. Apalagi dasar ilmu silat Ibu Guru dan Sesepuh tersebut sama-sama dari Perguruan Huashan. Itulah sebabnya jurus pedang ciptaan mereka sama persis, hanya beda sedikit saja. Hm, bahkan jurus-jurus yang tergambar di sini banyak yang tidak diketahui Guru dan Ibu Guru.”

Kemudian ia memerhatikan gaya serangan toya lawan. Dalam gambar tersebut terlihat si pemegang toya tetap mengacungkan senjatanya ke depan. Ujung pedang tepat bertemu dengan ujung toya sehingga membentuk sebuah garis lurus.

“Celaka!” seru Linghu Chong terkejut sampai-sampai obor di tangannya jatuh di lantai. Susasna pun seketika menjadi gelap gulita. “Bagaimana ini? Bagaimana ini?” ujar pemuda itu dengan perasaan khawatir luar biasa.

Rupanya Linghu Chong dapat membayangkan jika ujung toya beradu dengan ujung pedang dengan kekuatan penuh, tentu toya yang lebih unggul karena lebih keras dan kuat. Sebaliknya, pedang yang bentuknya pipih akan patah sementara toya tetap mengarah ke depan dan sulit dihindari. Dengan didorong tenaga yang hebat, tentu toya akan membahayakan si pemegang pedang. Benar-benar hal yang sulit dihindari.

Linghu Chong berpikir keras bagaimana caranya mematahkan serangan toya yang seperti itu, “Apakah benar-benar tidak bisa dihindari? Aku rasa tidak. Jika pedang patah menjadi dua akibat benturan itu, maka untuk menghindari serangan toya, si pemegang pedang bisa menunduk dan berlutut atau tiarap di tanah. Ah, tapi Guru dan Ibu Guru mana mungkin menggunakan cara memalukan seperti itu? Beliau lebih baik mati daripada terhina. Aduh, ini benar-benar kekalahan telak.”

Setelah diam terpaku cukup lama, Linghu Chong akhirnya menyalakan obor baru dan kembali mempelajari gambar-gambar di dinding gua. Ia melihat bermacam-macam jurus pedang yang indah namun mematikan. Lebih-lebih beberapa jurus terakhir terlihat sederhana namun menyimpan kekuatan yang luar biasa dan sulit ditebak. Akan tetapi, tidak peduli bagaimanapun hebatnya jurus pedang yang disajikan dalam gambar, tetap saja si pemegang toya dapat mematahkannya. Pada akhirnya, Linghu Chong menemukan gambar si pemegang pedang berlutut dengan kepala menunduk di hadapan si pemegang toya. Rasa kesal dan marah sudah lama lenyap di hati pemuda itu dan kini telah berganti menjadi perasaan putus asa dan gelisah yang menjadi-jadi. Meskipun gambar tersebut terkesan sombong dan arogan, namun pada kenyataannya ilmu Pedang Huashan benar-benar kalah telak oleh ilmu toya pihak lawan. Benar-benar kenyataan pahit yang menyedihkan.

Semalam suntuk Linghu Chong mondar-mandir mengamati gambar-gambar di dinding gua itu. Seumur hidup baru sekarang ia merasakan tekanan batin sehebat ini. “Perguruan Huashan adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung, yang selama ini diakui sebagai perguruan terkemuka dan memiliki nama besar di dunia persilatan. Siapa sangka justru memiliki ilmu silat yang sedemikian rapuh, mudah dihancurkan dengan jurus yang sangat sederhana? Jurus-jurus yang terukir di sini jumlahnya ratusan, bahkan sebagian belum diketahui Guru dan Ibu Guru. Tapi, meskipun aku menguasai semua ilmu Pedang Huashan melebihi kepandaian Guru juga tetap saja percuma. Tidak ada gunanya. Sehebat apapun seorang murid Huashan, tetap saja lebih baik bertekuk lutut jika bertemu musuh yang bisa memainkan jurus toya seperti dalam gambar itu. Jika tidak menyerah kalah, maka pilihan yang lain hanyalah bunuh diri,” demikian pikirnya.

Linghu Chong melangkah gontai dengan perasaan tertekan. Setiap obor yang dipegangnya padam, segera ia menyalakan obor yang baru. Menyaksikan gambar si pemegang pedang bertekuk lutut membuatnya semakin kesal. Ia pun melolos pedang hendak merusak gambar tersebut namun begitu ujung pedang nyaris menyentuh dinding gua, hatinya pun berkata, “Laki-laki sejati harus berpikiran terbuka dan apa adanya. Menang ya menang, kalah ya kalah. Perguruan Huashan kami jelas-jelas dikalahkan. Kami tidak punya alasan apa-apa lagi.” Usai berpikir demikian ia pun menghirup napas dalam.

Pemuda itu kemudian melangkah dan mengamati gambar-gambar selanjutnya. Hatinya sama sekali tidak terkejut menyaksikan berbagai jurus pedang Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan juga mengalami kekalahan dan kehancuran. Di akhir gambar juga dilukiskan para pendekar dari masing-masing perguruan tersebut bertekuk lutut di hadapan lawan.

Linghu Chong telah lama belajar di Perguruan Huashan dan memiliki wawasan luas mengenai berbagai macam ilmu pedang perguruan lain. Meskipun ia tidak mengetahui kunci dan intisari ilmu pedang lainnya, namun dasar-dasar ilmu pedang tersebut telah ia ketahui. Setiap ilmu pedang dari perguruan lain dilukis dengan sangat bagus, namun demikian, semua dapat dikalahkan pihak lawan.

Linghu Chong menemukan jurus penangkal ilmu pedang sang ibu-guru.

Dalam hatinya selain rasa ngeri dan takut yang mencekam, juga dipenuhi tanda tanya yang cukup besar. “Fan Song, Zhao He, Zhang Chengfeng, Zhang Chengyun. Siapa sebenarnya mereka ini? Dari mana mereka berasal? Mengapa mereka begitu berhasrat mengukir jurus-jurus mereka untuk menghancurkan ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung di dinding gua ini? Tapi mengapa pula nama-nama mereka tidak dikenal di dunia persilatan? Mengapa justru Serikat Pedang Lima Gunung tetap berjaya hingga sekarang?” Demikian pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di benak Linghu Chong. Ia merasa Serikat Pedang Lima Gunung tidak sepantasnya mendapatkan kejayaan di dunia persilatan seperti sekarang ini. Atau mungkin, serikat ini mendapatkan nama besar karena keberuntungan yaitu gambar-gambar di gua tidak tersebar luas.

Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran di dalam benak Linghu Chong, “Mengapa aku tidak menghapus gambar-gambar di dinding ini saja, sehingga jurus-jurus yang bisa mengalahkan ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung akan lenyap untuk selamanya dari muka bumi? Dengan begitu aku bisa menjaga nama baik perguruanku. Setelah itu aku akan melupakan kalau aku pernah menemukan gua rahasia ini.”

Segera ia kembali ke lorong sempit dan memungut kapak tajam untuk dipakainya merusak gambar-gambar itu. Namun belum sempat mengayunkan kapak tersebut, tiba-tiba ia berkata pada diri sendiri, “Seorang laki-laki sejati harus berani mengakui kekalahan. Terima saja kenyataan kalau kami memang benar-benar kalah. Huh, kenapa aku harus menipu diri sendiri dan menipu orang lain?”

Tiba-tiba ia teringat pada pria bercadar yang ia temui kemarin. Ia pun bertanya dalam hati, “Laki-laki kemarin memiliki ilmu pedang yang sangat hebat. Mungkin ada sangkut pautnya dengan gambar-gambar di gua ini. Siapa dia sebenarnya? Siapa dia sebenarnya?”

Linghu Chong membuang kapak di tangannya dan membatalkan niat untuk merusak gambar-gambar di dinding gua tersebut. Ia kemudian keluar menuju gua depan dengan memikirkan berbagai pertanyaan sampai tengah hari, dan kemudian masuk lagi ke gua belakang untuk mempelajari gambar-gambar di dinding. Begitulah, seperti orang bingung ia mondar-mandir keluar masuk gua tersebut sampai empat kali. Tak terasa sore pun tiba. Saat itu terdengar suara langkah kaki mendaki ke puncak tebing. Rupanya Yue Lingshan yang datang mengantarkan makanan.

Dengan perasaan gembira Linghu Chong berlari keluar gua dan menyambutnya di tepi tebing. Ia kemudian berseru memanggil, “Adik Kecil!” Karena terlalu gugup bercampur senang sampai-sampai suaranya terdengar gemetar.

Akan tetapi, Yue Lingshan sama sekali tidak menjawab. Begitu sampai di puncak ia langsung menaruh keranjang nasi yang ia bawa di atas batu. Setelah itu, ia memutar badan dan pergi begitu saja tanpa menyapa Linghu Chong sedikit pun.

Tentu saja Linghu Chong menjadi bingung. Seketika ia bertanya, “Adik Kecil, kau ini kenapa?”

Yue Lingshan hanya mendengus dan segera melompat turun meninggalkan puncak gunung tersebut. Meskipun berkali-kali Linghu Chong memanggil, tetap saja gadis itu tidak menjawab ataupun menoleh.

Perasaan Linghu Chong sangat terguncang sehingga ia hanya termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa. Dibukanya keranjang yang hanya berisi nasi dan sayuran tanpa sebotol arak seperti sebelumnya. Selama beberapa saat ia hanya berdiri memandangi isi keranjang tersebut seperti orang linglung.

Meskipun perutnya lapar dan ingin makan, namun baru menyuap dua kali langsung kehilangan selera. Ia pun berpikir, “Kenapa Adik Kecil tidak mau bicara denganku? Bahkan, melirik sekejap pun tidak. Kalau dia marah padaku mengapa masih mau mengantarkan makanan ke sini? Tapi kalau dia tidak marah kepadaku kenapa tidak sudi bicara sedikit pun? Atau, jangan-jangan Adik Keenam sedang sakit. Tapi, bukankah masih ada Adik Kelima, atau yang lain yang bisa mewakilinya. Kenapa harus Adik Kecil sendiri yang mengantar?” Demikian ia berpikir keras mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai-sampai melupakan gambar-gambar pada gua belakang.

Sore hari berikutnya, Yue Lingshan kembali datang mengantar makanan. Sama seperti kemarin, tetap saja ia tidak sudi menyapa atau memandang Linghu Chong. Bahkan, yang lebih menyakitkan, sewaktu pulang dan menuruni jalanan tebing, ia menyanyikan lagu daerah Fujian dengan suara yang sangat keras.

“Rupanya dia sengaja ingin melukai perasaanku,” ujar Linghu Chong dengan hati pedih seperti disayat-sayat.

Sore berikutnya, tetap Yue Lingshan yang mengantarkan makanan untuk Linghu Chong. Namun kali ini Linghu Chong sudah tidak tahan lagi. Begitu gadis itu selesai menaruh keranjang nasinya dan hendak memutar tubuh kembali pulang, dengan cepat Linghu Chong berteriak, “Adik Kecil, aku ingin bicara denganmu!”

Yue Lingshan menghentikan langkahnya dan berpaling. “Kau ingin bicara apa? Katakan saja!” jawabnya dengan ketus. Wajahnya terlihat sangat dingin tanpa senyum sedikit pun.

Melihat sikap Yue Lingshan yang dingin itu, Linghu Chong menjadi tergagap-gagap, “Kau... kau....”

“Aku kenapa?” tanya si gadis.

Linghu Chong masih saja kelu lidahnya. Padahal biasanya ia sangat lincah dan riang gembira. Melihat itu. Yue Lingshan memutar tubuh hendak melangkah kembali, “Kalau tidak segera bicara lebih baik aku pergi saja.”

Melihat itu Linghu Chong sangat khawatir. Apabila saat itu ia kehilangan kesempatan, tentu malam nanti ia akan kembali dilanda penasaran dan baru bisa bertemu Yue Lingshan sore berikutnya. Dan apabila saat ini ia tidak memperoleh jawaban, bagaimana mungkin bisa melewati malam nanti dengan tenang? Dan melihat dari paras wajah si gadis, bisa jadi besok sore ia tidak mau lagi datang, juga hari-hari berikutnya. 

Maka tanpa sengaja karena didorong perasaan gelisah dan takut kehilangan kesempatan, ia nekad menarik lengan baju Yue Lingshan sambil berseru, “Adik, tunggu dulu!”

“Lepaskan!” bentak Yue Lingshan sambil meronta. Akibatnya, kain bajunya itu pun robek sampai-sampai bahunya yang putih bersih terlihat jelas. Sebagai seorang persilatan ia tidak takut pada percikan darah. Namun bagaimanapun juga ia hanya seorang gadis muda yang seketika langsung tersipu malu begitu bagian tubuhnya yang selama ini tertutup dan kini terlihat jelas.

Ia pun membentak, “Berani.. berani sekali kau!”

“Maafkan aku, maafkan aku, Adik Kecil!” sahut Linghu Chong sambil melepaskan pegangannya. “Aku tidak... aku tidak sengaja.”

Lekas-lekas Yue Lingshan menutupi bahunya yang terbuka itu dengan lengan baju yang satunya. Ia kemudian menegur dengan suara yang tidak sabar, “Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan?”

“Adik Kecil,” sahut Linghu Chong. “Aku sungguh tidak mengerti mengapa kau bersikap demikian kepadaku? Jika memang aku bersalah kepadamu tinggal kau cabut pedang dan kau tusuk aku sepuluh kali juga tidak akan kulawan.”

“Huh, kau itu kakak pertama,” ujar Yue Lingshan. “Mana berani kami membantahmu, apalagi menusukkan pedang sepuluh kali? Kami hanyalah adik seperguruanmu. Asalkan kau tidak sewenang-wenang saja, kami sudah bersyukur kepada Langit.”

Linghu Chong berkata, “Tapi aku benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya apa kesalahanku padamu?”

Yue Lingshan menjawab, “Apa kau pura-pura tidak tahu? Bukankah kau yang menyuruh Monyet Keenam mengadu kepada Ayah dan Ibu?”

“Menyuruh Adik Keenam mengadu apa?” tanya Linghu Chong dengan heran. “Memangnya dia telah mengadu bagaimana tentang dirimu?”

Yue Lingshan menjawab, “Kau tahu betapa Ayah dan Ibu sangat menyayangi diriku, sehingga percuma saja kau mengadu tentang aku. Tapi kau sungguh pintar! Kau mengadu tentang… mengadu tentang… huh! Mengapa kau masih juga berpura-pura? Apa kau benar-benar tidak tahu perbuatanmu sendiri?”

Seketika Linghu Chong bisa menebak apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia pun berkata, “Apakah Guru dan Ibu Guru telah mengetahui tentang Lu Dayou yang terluka akibat berlatih bersama Adik Lin? Apakah Beliau berdua kemudian menghukum Adik Lin?” Dalam hati ia sangat kesal karena Yue Lingshan marah-marah kepadanya karena suatu hal yang menyangkut Lin Pingzhi.

Yue Lingshan menjawab dengan galak, “Berlatih bersama di antara saudara seperguruan itu hal yang biasa. Kalau sampai terluka itu hanyalah suatu ketidaksengajaan. Tapi Ayah justru membela Monyet Keenam. Ayah bilang Lin Kecil belum waktunya mempelajari jurus Burung Feng Datang Menyembah. Maka, mulai sekarang aku tidak boleh mengajar Lim Kecil lagi. Bagus sekali, sekarang kau yang menang! Tapi aku tidak... aku tidak mau peduli lagi kepadamu. Tidak akan! Tidak akan!”

Biasanya Yue Lingshan suka bercanda dengan mengatakan “tidak akan peduli lagi pada Linghu Chong” dengan nada main-main disertai senyuman di bibir. Akan tetapi kali ini berbeda. Wajahnya nampak serius dan bersungguh-sungguh. Sepertinya ia benar-benar ingin memutuskan hubungan persaudaraan dengan kakak pertamanya itu.

Linghu Chong melangkah maju dan berkata, “Adik, aku....” Sebenarnya ia hendak membantah bahwa dirinya sama sekali tidak pernah menyuruh Lu Dayou untuk mengadu kepada guru dan ibu-guru. Namun hatinya kemudian berkata bahwa selama dirinya memang tidak pernah berbuat demikian, untuk apa harus meminta belas kasihan kepada Yue Lingshan?

Sebaliknya, Yue Lingshan balas membentak, “Kau kenapa?”

“Aku... aku tidak apa-apa,” sahut Linghu Chong sambil menggeleng. “Tapi kalau Guru melarangmu mengajar Adik Lin, bukankah itu hanya masalah kecil? Kenapa kau sedemikian marah kepadaku?”

Wajah Yue Lingshan menjadi merah. Ia pun berkata, “Aku marah kepadamu. Aku marah kepadamu. Ternyata diam-diam kau menyimpan maksud buruk. Kau pikir jika aku berhenti mengajar Adik Lin, lalu aku akan menemanimu setiap hari di sini? Huh, jangan bermimpi! Aku justru tidak peduli lagi padamu.”

Sambil berkata demikian Yue Lingshan membanting kaki sekeras-kerasnya, kemudian memutar tubuh dan pergi meninggalkan puncak tersebut. Sambil menuruni tebing ia menyanyikan lagu daerah Fujian dengan suara lantang dan merdu. Linghu Chong memandangi kepergian Yue Lingshan dengan hati pedih sampai menghilang di balik bukit bawah. Samar-samar ia dapat melihat bahu kiri gadis itu yang masih ditutupi dengan lengan baju kanan, membuat perasaannya bertambah khawatir.

“Aku telah merobek lengan baju Adik Kecil. Jangan-jangan dia mengadu pada Guru dan Ibu Guru. Aduh, bagaimana jadinya kalau Guru dan Ibu Guru menuduhku berniat kurang ajar kepada Adik Kecil? Bagaimana jadinya kalau berita ini sampai tersiar kepada adik-adik yang lain? Tentu aku akan dipandang rendah oleh mereka semua.” Tapi kemudian terpikir olehnya, “Ah, aku tidak punya niat buruk kepadanya. Asalkan aku bisa mempertanggungjawabkan perbuatanku dengan benar, untuk apa harus takut pada pendapat orang lain?”

Meskipun demikian tetap saja Linghu Chong gelisah saat memikirkan sikap Yue Lingshan yang marah-marah akibat dilarang mengajar Lin Pingzhi. Ia berusaha menghibur diri sendiri dengan mengatakan bahwa hubungan mereka berdua hanya sebatas saudara seperguruan yang berusia sebaya. “Adik Kecil masih belia dan sangat lincah. Aku harus berada di sini sehingga Adik Lin yang menemani dia berlatih dan bermain sepanjang hari. Apalagi usia mereka hanya selisih sedikit. Aku yakin tidak ada perasaan apa-apa di hati Adik Kecil terhadap Adik Lin,” demikian pikirnya.

Akan tetapi, kemudian terlintas pikiran di dalam benaknya yang membuatnya bertambah pedih, “Aku dibesarkan bersama-sama dengan Adik Kecil, sedangkan Adik Lin baru beberapa bulan menjadi murid Huashan. Namun mengapa Adik Kecil begitu peduli dan memperlakukan Addik Lin sebaik ini? Perlakuannya sungguh istimewa.”

Malam itu entah berapa ratus kali Linghu Chong berjalan bolak-balik dari ujung jalan setapak di tepi tebing ke mulut gua. Bahkan, sampai siang hari ia tetap mondar-mandir tanpa istirahat. Yang ada di pikirannya hanyalah sikap Yue Lingshan yang benar-benar berubah kepadanya. Gambar-gambar di gua belakang, ataupun pria bercadar misterius seolah-olah lenyap dari ingatannya.

Ketika sore tiba, Lu Dayou yang kali ini datang mengantarkan makanan. Ia langsung menaruh kiriman tersebut di atas batu sambil berkata, “Kakak Pertama, mari makan!”

Linghu Chong tidak menjawab hanya menghela napas saja sambil tangannya mengambil sedikit nasi di atas mangkuk. Namun, begitu ia menyuap dua kali ke dalam mulut yang terasa hanyalah pahit dan juga sulit untuk ditelan. Pemuda itu memandang sekejap ke bawah tebing, kemudian menaruh mangkuknya di atas batu.

Melihat itu Lu Dayou bertanya, “Kakak, wajahmu kelihatan pucat. Apa kau kurang sehat?”

“Ah, tidak apa-apa,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.

“Kemarin aku sengaja memetik jamur ini untukmu. Cobalah kau cicipi rasanya,” ucap Lu Dayou membujuk.

Karena tidak tega mengecewakan maksud baik adik seperguruannya itu, Linghu Chong pun memakan jamur itu dua suapan dan memuji kelezatannya. Padahal, dalam lidahnya terasa hambar.

“Kakak Pertama, aku membawa kabar gembira untukmu,” sahut Lu Dayou sambil tersenyum. “Mulai kemarin Guru dan Ibu Guru melarang Adik Kecil berlatih bersama Adik Lin.”

Linghu Chong menanggapi dengan nada dingin, “Kau dikalahkan Adik Lin, kemudian mengadu kepada Guru, benar begitu?”

Lu Dayou melonjak dan berkata, “Siapa bilang aku kalah olehnya? Aku hanya... aku hanya....”

Linghu Chong menyadari sebenarnya ilmu silat Lu Dayou lebih unggul daripada Lin Pingzhi. Kekalahannya waktu itu hanya karena lengah dan meremehkan lawan. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Jadi semua adik-adik seperguruan kasihan kepadaku. Aku dan Adik Kecil dibesarkan bersama, dan kini Adik Lin muncul dan merebut perhatian Adik Kecil. Tujuan Adik Keenam mengadu kepada Guru hanya karena kasihan pada diriku. Apalagi dia adalah adikku yang paling akrab, sudah tentu berusaha keras membela diriku. Huh, seorang laki-laki sejati mana pantas menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain?”

Berpikir demikian membuat Linghu Chong marah dan bertingkah seperti orang gila. Dilemparkannya mangkuk dan sumpit ke dalam jurang sambil berteriak, “Siapa yang memintamu mencampuri urusanku?”

Tentu saja Lu Dayou terkejut. Selama ini ia selalu hormat dan patuh kepada si kakak pertama. Siapa sangka pertolongannya justru membuat Linghu Chong marah. Dengan gemetar ia melangkah mundur sambil berkata, “Kakak Pertama, jika aku bersalah... silakan kau hajar aku saja!”

Setelah melemparkan mangkuk dan sumpit ke dasar jurang tadi, perasaan Linghu Chong sedikit agak lega. Ia hendak melanjutkan dengan melemparkan sebongkah batu sambil berkata, “Mengapa kau merasa bersalah?”

“Entahlah… aku tidak tahu,” jawab Lu Dayou sambil melangkah mundur lagi.

Linghu Chong menghirup napas dalam-dalam kemudian melemparkan batu di tangannya ke dasar jurang. Sambil memegangi tangan Lu Dayou, ia lalu berkata, “Maafkan aku, Adik Keenam. Perasaanku memang sedang kesal, tapi tidak ada sangkut-pautnya denganmu.”

Lu Dayou merasa lega dan berkata, “Tenang saja, Kakak. Aku akan pulang untuk mengambilkan makanan yang baru.”

“Tidak perlu, tidak perlu,” sahut Linghu Chong. “Aku sedang tidak enak makan.”

Lu Dayou melihat sendiri keranjang nasi yang kemarin masih utuh isinya. Ia pun bertanya, “Kakak, makananmu yang kemarin tidak kau sentuh?”

Linghu Chong menjawab dengan senyum yang dipaksakan, “Kau jangan khawatir. Aku hanya sedang tidak selera makan.”

Lu Dayou tidak berani bertanya-tanya lagi. Ia kemudian mohon diri untuk meninggalkan puncak tebing tersebut.

Sore hari berikutnya Lu Dayou menambahkan sebotol arak di dalam keranjang makanan yang ia bawa untuk menghibur kesedihan Linghu Chong. Akan tetapi ketika sampai di puncak dilihatnya sang kakak pertama sedang terbaring malas di atas batu besar. Wajahnya juga tampak sangat pucat.

“Kakak Pertama, coba tebak apa yang kubawa?” seru Lu Dayou sambil membuka tutup botol di tangannya. Bau arak yang harum menyengat langsung menyebar.

Linghu Chong pun bangkit dan menerima botol itu. Sekali teguk ia langsung menghabiskan setengah isinya. “Hm, arak ini lumayan enak!”

Lu Dayou merasa senang. Segera ia mengambil mangkuk dan berkata, “Biar kuisikan nasi untukmu.”

“Tidak perlu, aku tidak mau makan!” jawab Linghu Chong sambil menggoyang tangan.

“Semangkuk saja,” ujar Lu Dayou sambil tetap mengisi mangkuk di tangannya dengan nasi sampai penuh.

Tidak ingin membuat adiknya susah, Linghu Chong terpaksa menjawab, “Baiklah, nanti akan kumakan sehabis minum.”

Akan tetapi nasi itu tetap berada di mangkuk tanpa disentuh sedikit pun oleh Linghu Chong. Sore berikutnya, Lu Dayou datang kembali dan melihat nasi di mangkuk tersebut telah basi, sementara Linghu Chong terbaring lemah di lantai gua.

Lu Dayou terkejut melihat wajah kakaknya yang pucat pasi. Segera ia memeriksa dahi Linghu Chong ternyata sangat panas seperti terbakar. “Kakak Pertama, apa kau sakit?” serunya khawatir.

Namun Linghu Chong justru menjawab lemah, “Arak, arak, mana araknya? Aku mau minum arak.” Ia kemudian bangkit dari tidur dan melambaikan tangannya kepada Lu Dayou.

Meskipun hari itu Lu Dayou membawa arak, namun ia tidak berani mengeluarkannya dari dalam keranjang. Pemuda itu hanya mengisi mangkuk dengan air sampai penuh dan menyerahkannya kepada sang kakak pertama. Linghu Chong menerimanya dan meminumnya sampai habis. “Arak bagus! Arak bagus!” ujarnya seperti orang linglung. Setelah merebahkan diri kembali, tetap saja mulutnya menggumam, “Arak bagus! Arak bagus!”

Lu Dayou ketakutan melihat penyakit Linghu Chong tersebut. Karena saat itu sang guru dan ibu-guru sedang ada urusan di tempat jauh, ia pun turun untuk memberi tahu Lao Denuo dan saudara-saudara yang lain bahwa kakak pertama jatuh sakit dan cukup parah.

Yue Buqun telah menetapkan peraturan yang sangat ketat terhadap para muridnya untuk tidak seenaknya menemui Linghu Chong di puncak Huashan. Akan tetapi, saat ini kondisi Linghu Chong sedang sakit parah sehingga datang untuk menjenguk sebenarnya bukan suatu pelanggaran. Meskipun demikian, tetap saja para murid takut untuk menjenguk beramai-ramai. Maka diputuskan untuk menjenguk si kakak pertama secara bergantian. Hari ini yang mengantarkan makanan sekaligus menjenguk adalah Lao Denuo dan Liang Fa. Esok harinya giliran Shi Daizi dan Gao Genming, dan begitulah seterusnya.

Linghu Chong jatuh sakit.

Lu Dayou sendiri telah memberitahukan perihal sakitnya Linghu Chong kepada Yue Lingshan. Akan tetapi gadis itu menanggapi dengan tidak percaya, “Tenaga dalam Kakak Pertama sangat tinggi. Tidak mungkin ia bisa jatuh sakit. Aku tidak percaya. Aku tidak mau ditipu mentah-mentah.”

Para saudara yang menjenguk menyampaikan bahwa keadaan Linghu Chong ternyata bertambah parah. Bahkan, empat hari empat malam ia tak sadarkan diri. Lu Dayou kembali memohon dengan sangat supaya Yue Lingshan sudi menjenguk ke puncak. Akhirnya, perasaan Yue Lingshan luluh juga karena melihat Lu Dayou yang terlihat sangat memelas bahkan hampir saja berlutut di hadapannya.

Maka, berangkatlah Yue Lingshan naik ke puncak ditemani Lu Dayou. Di sana ia melihat Linghu Chong terbaring lemah dengan muka kurus dan cekung. Janggutnya pun tak terawat. Keadaannya terlihat memprihatinkan padahal biasanya ceria dan riang gembira.

Dengan rasa penyesalan yang teramat dalam, Yue Lingshan berjalan mendekat ke sisi Linghu Chong dan berkata, “Kakak Pertama, ini aku yang datang. Tolong kau jangan marah lagi, ya!”

Namun Linghu Chong hanya termangu-mangu seperti orang linglung. Dengan perasaan bingung ia memandangi Yue Lingshan seperti tidak mengenali gadis itu lagi.

“Kakak Pertama, ini aku! Mengapa kau tidak peduli kepadaku?” lanjut Yue Lingshan tidak sabar.

Sekali lagi Linghu Chong hanya termangu-mangu. Kali ini ia memejamkan mata dan kemudian tertidur pulas. Sampai Lu Dayou dan Yue Lingshan meninggalkannya, ia tetap tidak membuka mata.

Sakit yang diderita Linghu Chong berlangsung hingga satu bulan lamanya. Selama itu Yue Lingshan datang menjenguknya sebanyak tiga kali. Sejak kunjungan yang pertama, kesehatan Linghu Chong berangsur-angsur pulih. Pada kunjungan kedua, Linghu Chong sudah memperoleh kembali kesadarannya dan gembira menyambut gadis itu. Ketika Yue Lingshan datang untuk yang ketiga kalinya, ia sudah kuat untuk duduk dan menyambut makanan yang dibawa Yue Lingshan. Namun setelah itu, si gadis tidak pernah lagi datang menjenguk.

Setelah kuat berjalan, setiap hari Linghu Chong selalu memandang ke bawah menantikan kedatangan Yue Lingshan untuk mengunjunginya. Namun harapannya sia-sia, karena yang ia lihat hanyalah keheningan pegunungan, serta Lu Dayou yang selalu datang mengantarkan makanan dengan langkahnya yang ringan dan cepat.

Tiba-tiba pada suatu sore Linghu Chong melihat dua sosok bayangan datang mengunjunginya dengan kecepatan luar biasa. Yang berjalan di depan berpakaian wanita sedangkan yang di belakang jelas seorang pria. Keduanya terlihat memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi. Mereka melintasi jalanan terjal dan curam bagaikan berjalan di atas tanah datar saja. Linghu Chong memandangi kedua orang itu dengan seksama, kemudian berseru dengan gembira, “Guru! Ibu Guru!”

Ternyata yang datang mengantarkan makanan sore itu adalah Yue Buqun dan Ning Zhongze sendiri. Sungguh kunjungan ini terasa sangat istimewa. Karena menurut tradisi hampir tidak pernah seorang guru datang mengunjungi muridnya yang sedang menjalani hukuman kurung di Tebing Perenungan.

Dengan perasaan sangat gembira Linghu Chong berlutut dan memeluk kaki Yue Buqun, “Guru, Ibu Guru, Murid sangat rindu ingin bertemu.”

Yue Buqun memandangi Linghu Chong dengan seksama. Sebagai murid nomor satu, Linghu Chong dianggapnya kurang bisa membawa diri dan kurang patuh terhadap tata tertib perguruan, padahal ilmu silat dan tenaga dalamnya paling tinggi di antara sesama murid. Mengenai berita sakitnya Linghu Chong sudah didengar oleh Yue Buqun suami-istri. Meskipun para murid tidak ada yang berani bercerita terus terang, namun Yue Buqun dan Ning Zhongze dapat menebak ini pasti ada sangkut pautnya dengan Yue Lingshan. Dari Yue Lingshan sendiri mereka memperoleh jawaban yang kurang tegas sehingga keduanya dapat memastikan kalau putri mereka itulah penyebab sakitnya Linghu Chong. Kini setelah melihat langsung keadaan Linghu Chong, Yue Buqun dapat menyimpulkan kalau murid pertamanya itu tidak ada kemajuan sama sekali meskipun sudah enam bulan menghabiskan waktu di Tebing Perenungan. Ia pun mendengus memperlihatkan kekecewaan.

Sebaliknya, Ning Zhongze membangunkan Linghu Chong dengan lembut dan penuh kasih. Dipandanginya wajah murid pertama suaminya yang cekung dan kurus itu dengan rasa haru, kemudian ia berkata, “Chong’er, gurumu dan aku baru saja pulang dari utara. Kami dengar kau baru saja jatuh sakit, apa sekarang sudah lebih baik?”

Mendengar suara Nyonya Yue yang halus dan lembut itu dada Linghu Chong terasa sesak dan air matanya pun berlinang. Ia menjawab, “Murid sudah lebih baik. Guru dan Ibu Guru tentu sangat letih baru saja kembali dari perjalanan jauh, tapi menyempatkan diri datang menjenguk... menjenguk kemari.” Suaranya terdengar parau karena tak kuasa menahan haru. Ia pun memalingkan muka dan mengusap air matanya yang mengalir keluar.

Ning Zhongze mengeluarkan nasi dan semangkuk sup ginseng dari dalam keranjang. Wanita itu kemudian berkata, “Ini adalah ginseng liar yang kubawa dari utara. Akan sangat bermanfaat untuk kesehatanmu. Lekaslah kau minum sampai habis.”

Mengetahui betapa sang guru dan ibu-guru telah membawa ginseng mujarab jauh-jauh dari utara dan langsung diberikan kepadanya membuat Linghu Chong semakin terharu dan berterima kasih. Dengan tangan gemetar ia menerima mangkuk sup tersebut. Ning Zhongze bermaksud untuk menyuapinya, namun Linghu Chong sudah lebih dulu meneguk isi mangkuk itu sampai habis.

“Terima kasih banyak, Ibu Guru. Terima kasih banyak, Guru,” katanya.

Yue Buqun meraih pegelangan tangan Linghu Chong untuk memeriksa denyut nadi muridnya itu. Terasa olehnya urat nadi Linghu Chong berdenyut cepat. Ia pun berkata, “Sakitmu memang sudah sembuh.” Setelah terdiam sejenak, ketua Perguruan Huashan itu lantas melanjutkan dengan raut wajah kurang senang, “Huh, Chong’er, apa saja yang kau kerajakan selama setengah tahun ini? Mengapa tenaga dalammu banyak mengalami kemunduran?”

Mendengar itu Linghu Chong kembali menyembah dan menjawab, “Murid memang bodoh. Mohon Guru dan Ibu Guru sudi mengampuni!”

Ning Zhongze menukas, “Chong’er baru saja sembuh. Pantas saja kalau dia mengalami kemunduran tenaga dalam. Apa yang kau harapkan dari seorang yang baru saja pulih dari sakit?”

Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Aku tidak bicara soal kesehatannya. Aku bicara soal tenaga dalamnya, dan ini tidak ada hubungannya dengan kondisi kesehatannya. Ilmu tenaga dalam perguruan kita berbeda dengan perguruan lain. Asalkan berlatih dengan giat dan disiplin, sekalipun di waktu tidur tenaga dalam akan bertambah dengan sendirinya. Apalagi Chong’er sudah belasan tahun belajar tenaga dalam Huashan. Asalkan tidak terluka dalam pertarungan, dia tidak mungkin jatuh sakit. Ini semua karena kebodohannya yang tidak bisa mengendalikan nafsu dan perasaan. Oleh karena itu, tenaga dalamnya pun tidak mengalami kemajuan pula.”

Menyadari ucapan suaminya benar, Ning Zhongze menambahkan, “Chong’er, gurumu sudah berulang kali memberi nasihat supaya kau belajar dan berlatih, baik itu ilmu pedang ataupun tenaga dalam dengan rajin. Sesungguhnya gurumu mengurung kau di sini bukan karena ia ingin menghukummu, tapi semata-mata untuk memberimu kesempatan supaya bisa berlatih dengan bebas dan tidak terganggu urusan-urusan remeh. Kami berharap selama setahun ini kau memperoleh banyak kemajuan, tapi siapa sangka... siapa sangka....”

Linghu Chong merasa malu dan gugup. Dengan menundukkan kepala ia menjawab, “Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Guru dan Ibu Guru! Murid benar-benar khilaf dan berjanji akan berlatih dengan sepenuh hati.”

Yue Buqun kembali berkata, “Dalam beberapa tahun ini kami berdua sering turun gunung untuk melihat dan menumpas langsung kejahatan di dunia persilatan. Apalagi akhir-akhir ini huru hara semakin sering terjadi. Kami yakin kelak di kemudian hari, bencana besar pasti tak dapat dielakkan lagi.” Berhenti sejenak, ia kemudian melanjutkan, “Kau adalah murid pertamaku. Kami berdua menaruh harapan besar kepadamu, semoga kelak kau bisa bahu-membahu bersama kami menegakkan keadilan dan kebenaran, serta mengharumkan nama besar Perguruan Huashan. Tapi kalau kau lebih suka larut dalam urusan muda-mudi, dan mengesampingkan berlatih ilmu silat sehingga tidak ada kemajuan, sungguh kami merasa sangat kecewa.”

Melihat wajah sang guru yang tampak murung, Linghu Chong seketika kembali menyembah, “Sekali lagi murid mohon maaf karena telah mengecewakan Guru dan Ibu Guru.”

Yue Buqun membangunkan murid pertamanya itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Jika kau sudah menyadari kesalahanmu, kami merasa lega. Kelak, setengah bulan lagi kami akan datang ke sini untuk menguji ilmu pedangmu.” Usai berkata demikian, ia pun memutar badan hendak kembali pulang.

Teringat pada gambar-gambar di gua belakang, serta munculnya pria bercadar membuat Linghu Chong ingin bertanya kepada sang guru, “Guru, ada sesuatu hal yang....”

Namun Yue Buqun sudah melesat pergi. 

Yue Buqun dan Ning Zhongze.


(Bersambung)