Bagian 55 - Undangan Berobat ke Shaolin

Linghu Chong menyerang Fangsheng menggunakan ilmu Sembilan Pedang Dugu.

Akan tetapi, Si Nenek yang bersembunyi di dalam semak-semak tetap saja diam tanpa menghiraukan ucapan Biksu Fangsheng.

“Jika Saudara tidak sudi tampil ke muka, maafkan jika saya terpaksa bertindak kurang sopan!” lanjut Fangsheng kemudian.

Usai berkata demikian, kedua tangannya sedikit bergerak ke belakang untuk mengerahkan tenaga dalam, sampai-sampai kedua lengan bajunya pun menggelembung seperti genderang. Menyusul kemudian kedua tangannya itu dihantamkannya ke depan. Maka terdengarlah suara berderak yang keras, puluhan batang semak patah dan berhamburan, serta ranting dan dedaunan pohon pun beterbangan di udara. Rupanya sang biksu tua telah mengerahkan pukulan jarak jauh yang diikuti dengan suara teriakan manusia dan terlihat sesosok bayangan melompat keluar.

Linghu Chong yang terikat perjanjian lekas-lekas memutar tubuh ke arah lain meskipun dalam hati sangat penasaran ingin melihat wajah Si Nenek. Ia hanya bisa mendengar suara Xin Guoliang dan Jueming yang berteriak bersamaan, disusul dengan suara nyaring benturan senjata yang cepat dan ramai, bagaikan hujan deras menerpa jendela. Jelas Si Nenek sudah terlibat pertempuran melawan Biksu Fangsheng dan ketiga keponakannya.

Saat itu jam sepuluh pagi, matahari masih agak condong di ufuk timur. Meskipun hatinya gelisah, namun sedikit pun Linghu Chong tidak berani menoleh karena memegang janji. Ia hanya bisa melihat bayangan yang berseliweran di tanah. Tampak bayangan Fangsheng tidak memegang senjata, sedangkan Jueming bersenjatakan tongkat Fangbian, Huang Guobai menggunakan golok, dan Xin Guoliang memakai pedang. Sebaliknya, Si Nenek tampak memegang sepasang pedang pendek, bentuknya mirip belati. Pendek sekali kedua senjata itu dan sangat tipis seakan-akan tembus cahaya. Dengan hanya melihat bayangannya, sukar sekali ditebak senjata macam apa yang dipegang Si Nenek. Terdengar pula suara Xin Guoliang dan kedua saudaranya membentak-bentak dengan ganas, sedangkan Fangseheng dan Si Nenek bertarung tanpa bersuara sama sekali.

Linghu Chong berseru dari tempatnya berdiri, “Segala urusan dapat dibicarakan secara baik-baik. Kalian empat orang laki-laki mengeroyok seorang nenek tua, kesatria macam apa kalian ini?”

“Nenek tua? Hehe, rupanya bocah ini mimpi di siang bolong,” ejek Huang Guobai. “Dia itu ….”

Belum habis ia berkata, mendadak Fangsheng berseru, “Guobai, awas!”

Namun sudah terlambat. Terdengar suara Huang Guobai menjerit, “Aaaah!”

Sungguh hati Linghu Chong terkejut bukan kepalang. Dalam hati ia berpikir, “Betapa lihai ilmu silat Nenek. Baru saja Biksu Fangsheng mengobrak-abrik semak dan pepohonan dengan menggunakan kibasan lengan baju, menunjukkan tenaga dalamnya jarang ada tandingan di dunia persilatan. Namun, dengan satu melawan empat, Nenek masih berada di atas angin dan dapat menjatuhkan salah seorang pengeroyoknya.”

Bahkan kemudian terdengar jeritan keras Jueming pula. Tongkat besi yang ia pegang terlepas dan melayang melewati kepala Linghu Chong sampai beberapa meter, kemudian jatuh di tanah. Kini bayangan orang yang berseliweran itu sudah berkurang dua. Tinggal Fangsheng dan Xin Guoliang saja yang masih bertempur dengan sengit menghadapi Si Nenek.

“Amitabha, dosa, dosa!” seru Fangsheng. “Kau sudah turun tangan begitu keji. Berturut-turut tiga orang keponakanku telah kau bunuh. Terpaksa aku harus melayanimu dengan segenap tenaga.” Menyusul terdengarlah angin berdesir tiga kali. Agaknya Fangsheng juga telah mengeluarkan senjatanya, semacam tongkat atau toya kayu.

Linghu Chong merasa ada hembusan angin yang kuat di belakangnya, makin lama makin keras sehingga selangkah demi selangkah ia pun terdesak maju. Setelah Fangsheng menggunakan senjata, keadaan menjadi berubah. Kali ini terdengar suara napas Si Nenek yang mulai terengah-engah. Sepertinya tenaganya sudah banyak berkurang.

“Buang senjatamu dan aku takkan menyusahkan dirimu,” seru Fangsheng. “Kau boleh ikut kami ke Biara Shaolin untuk melapor kepada Kepala Biara. Terserah apa yang menjadi kebijakannya demi menyelesaikan masalah ini.”

Namun Si Nenek tidak menjawab. Ia menyerang dengan gencar beberapa kali ke arah Xin Guoliang sehingga murid Shaolin tersebut agak kelabakan. Pria bersuara nyaring itu terpaksa melompat mundur agar memberi jalan Fangsheng untuk menyambut serangan lawan.

Setelah tenang kembali, Xin Guoliang mencaci maki, “Siluman betina, hari ini kalau kau tidak dicincang sampai habis, maka dendamku tak akan puas!” Segera ia pun memutar pedang dan menerjang maju.

Tidak lama berselang, suara benturan senjata mulai mereda, tapi deru angin semakin kencang. Biksu Fangsheng berkata, “Tenaga dalammu bukan tandinganku. Lebih baik kau membuang senjatamu dan ikut kami ke Biara Shaolin. Kalau kau tetap bertahan, maka luka dalam yang kau derita akan semakin parah.”

Terdengar Si Nenek hanya mendengus. Tiba-tiba terdengar suara jeritan. Linghu Chong merasa tengkuknya terciprat beberapa tetes cairan. Waktu ia meraba, terlihat telapak tangannya berwarna merah. Titik-titik air yang menciprat pada lehernya itu ternyata darah segar.

“Shanzai, shanzai! Sekarang kau sudah terluka, tidak mampu melawan lagi. Ketahuilah bahwa aku tetap mengutamakan welas asih,” kata Fangsheng.

“Perempuan keparat ini adalah siluman betina aliran sesat. Lekaslah Paman Guru membinasakan dia untuk membalaskan sakit hati kematian tiga orang saudara. Terhadap kaum iblis mana boleh pakai welas asih segala?” seru Xin Guoliang dengan nada murka.

Suara napas Si Nenek terdengar semakin payah. Langkahnya juga mulai sempoyongan seakan-akan setiap saat bisa saja tubuhnya roboh. Diam-diam Linghu Chong membatin, “Nenek menyuruhku mengawalnya, untuk melindungi dia dari kejaran musuh. Kini ia menghadapi bahaya, mana boleh aku hanya berpangku tangan? Meskipun Biksu Fangsheng seorang pendeta agung yang saleh, namun orang bermarga Xin itu kasar dan berangasan. Aku tidak akan membiarkan Nenek jatuh ke tangannya.”

Karena pikirannya sudah bulat, ia segera mencabut pedang dan berseru, “Mahabiksu Fangsheng dan Sesepuh Xin, mohon kalian sudi bermurah hati dan menghentikan pertempuran ini. Kalau tidak, terpaksa aku akan bertindak kurang sopan kepada kalian.”

Xin Guoliang menjadi gusar mendengarnya. Ia pun membentak, “Kawanan iblis! Kubunuh saja kau sekalian!” Ia berteriak sambil pedangnya menusuk ke punggung Linghu Chong yang berdiri membelakangi itu.

Linghu Chong tetap memegang janjinya dan tidak berani berpaling supaya tidak memandang wajah Si Nenek. Ia hanya berusaha menghindar ke samping.

Mendadak terdengar Si Nenek berseru, “Awas!”

Xin Guoliang sendiri adalah jago pilihan di antara murid-murid angkatan kedua Biara Shaolin. Maka ketika Linghu Chong menghindar ke samping, tahu-tahu pedang pria itu juga menyusul miring ke samping. Anehnya, yang terdengar kemudian justru suara Xin Guoliang yang menjerit keras. Tubuhnya terlempar ke atas dan melayang melewati samping kiri Linghu Chong, kemudian terbanting di atas tanah. Sesudah kejang-kejang beberapa kali, nyawanya pun melayang. Entah bagaimana caranya ia bisa tewas mengenaskan di tangan Si Nenek.

Pada saat yang hampir bersamaan terdengar pula suara pukulan yang keras diikuti dengan jeritan. Rupanya Biksu Fangsheng berhasil memukul tubuh Si Nenek sampai roboh terjungkal ke dalam semak belukar.

Linghu Chong terkejut bukan main. Ia pun berseru memanggil, “Nenek, Nenek, bagaimana keadaanmu?”

Dari balik semak-semak hanya terdengar suara Si Nenek mengerang kesakitan. Linghu Chong merasa agak lega karena perempuan itu masih hidup. Dengan cepat ia pun memiringkan tubuh, lantas pedangnya segera menusuk ke arah Fangsheng. Karena serangan Linghu Chong yang tiba-tiba serta jitu arahnya itu, mau tidak mau Fangsheng terpaksa harus melompat mundur.

Linghu Chong terus saja menusuk. Fangsheng mengangkat senjatanya untuk menangkis. Linghu Chong pun menarik serangannya dan memutar tubuh sehingga sekarang berhadapan muka dengan sang biksu tua. Dapat dilihatnya ternyata senjata yang dipakai Fangsheng berupa sepotong pentungan kayu yang panjangnya tidak lebih dari setengah meter saja.

Linghu Chong pun tercengang. Ia berpikir, “Sungguh tak kusangka senjata yang ia gunakan hanya berupa sepotong kayu pendek ini. Tenaga dalam biksu Shaolin ini sangat kuat. Jika aku tidak dapat mengalahkannya dengan ilmu pedangku, tentu Nenek sukar diselamatkan.” Usai berpikir demikian ia pun mengerahkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Pedangnya lantas menikam ke atas dan ke bawah, menyusul menusuk lagi sebanyak dua kali.

Seketika raut muka Fangsheng berubah hebat. Ia hanya bisa berseru, “Kau … kau … kau ….”

Namun sedikit pun Linghu Chong tidak berhenti menyerang. Ia sadar tenaga dalamnya sudah musnah. Apabila pihak lawan diberi kelonggaran sedikit saja tentu akan segera melancarkan serangan balasan dengan tenaga dalam yang kuat. Jika demikian jadinya, maka ia pasti akan binasa dan Si Nenek juga akan ditangkap dan dibawa ke Biara Shaolin untuk dihukum mati. Ia lantas mengosongkan pikiran dan melancarkan ratusan macam gerak perubahan luar biasa pada ilmu Sembilan Pedang Dugu secara berantai dan terus-menerus tanpa berhenti.

Ilmu Sembilan Pedang Dugu memang benar-benar istimewa. Meskipun Linghu Chong tidak memiliki tenaga dalam, dan belum sepenuhnya menguasai ilmu tersebut, namun serangan bertubi-tubi yang ia lancarkan dapat memaksa Biksu Fangsheng terus-menerus melangkah mundur. Namun kemudian, darah di rongga dadanya pun bergolak, serta lengan terasa lemas. Jurus pedang yang dilancarkannya semakin lama semakin lemah.

“Lepaskan pedangmu!” teriak Fangsheng keras-keras. Telapak tangan kirinya kemudian menghantam ke dada Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri sudah kehabisan tenaga. Sewaktu pedangnya menusuk ke depan, belum mencapai sasaran sudah turun ke bawah. Namun ilmu pedang yang dimainkannya memang tidak memiliki gerakan khusus, jadi tidak ada perbedaan antara benar dan keliru. Yang ia lancarkan adalah serangan menurut keinginan setiap saat. Maka biarpun ujung pedangnya sudah melenceng ke bawah, tusukannya itu masih tetap diteruskan namun gerakannya agak melambat.

Pada saat itulah Biksu Fangsheng melayangkan tangan kirinya untuk mendorong dada Linghu Chong. Namun demikian, dorongan itu tanpa disertai tenaga dalam, hanya mulutnya yang bersuara, “Sembilan Pedang Dugu itu …” Tepat pada saat itulah ujung pedang Linghu Chong telah menusuk ulu hatinya.

Linghu Chong sendiri dalam hati benar-benar kagum dan menghormati Fangsheng. Begitu merasa ujung pedangnya sudah menusuk tubuh sang biksu, lekas-lekas ia berusaha menariknya kembali sekuat tenaga. Akibatnya, ia sendiri menjadi terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Tanpa ampun, mulutnya pun langsung memuntahkan darah segar.

Sambil mendekap luka, Fangsheng berkata sambil tersenyum, “Ilmu pedang yang bagus! Kalau Pendekar Muda tidak menaruh belas kasihan kepadaku, tentu nyawa biksu tua ini sudah melayang.” Ia hanya memuji pihak lawan, sedangkan pukulannya sendiri yang ia tahan tanpa diteruskan tadi sama sekali tidak disinggung olehnya. Usai berkata demikian, ia lantas terbatuk-batuk. Ternyata ujung pedang Linghu Chong tadi sempat masuk beberapa senti ke dalam ulu hatinya meskipun si pemuda sudah berusaha menarik serangan.

Dengan penuh penyesalan Linghu Chong berkata, “Maaf … maafkan aku yang telah berlaku kasar terhadap … terhadap Mahabiksu.”

Fangsheng menjawab, “Sungguh tidak kusangka ilmu pedang sakti Sesepuh Feng dari Perguruan Huashan ternyata sudah mendapatkan ahli waris. Dulu aku pernah menerima budi baik Sesepuh Feng. Mengenai masalah … masalah hari ini, aku menjadi tidak berani mengambil keputusan sendiri.”

Perlahan-lahan Fangsheng mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari balik jubahnya. Di dalamnya terdapat dua butir obat pil sebesar biji buah lengkeng. “Ini adalah obat luka mujarab dari Biara Shaolin. Boleh kau minum satu butir.” Setelah ragu-ragu sejenak, ia pun melanjutkan, “Dan yang satu butir lagi boleh diminumkan kepada wanita itu.”

“Lukaku sudah jelas sukar disembuhkan. Buat apa minum obat lagi?” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Obat yang satu biji itu silakan Mahabiksu sendiri yang meminumnya.”

Fangsheng menggeleng-geleng dan berkata, “Tidak usah!”

Biksu tua itu kemudian meletakkan kedua biji obat tersebut di hadapan Linghu Chong. Dipandanginya mayat Jueming, Xin Guoliang, dan yang lain dengan wajah sedih. Segera ia menguncupkan kedua tangan di depan dada dan mulai membaca doa untuk orang meninggal dengan suara lirih. Lambat laun wajahnya berubah tenang kembali, bahkan seperti diselubungi oleh selapis sinar suci. Perkataan “welas asih tanpa batas” seolah menjelma di wajahnya.

Linghu Chong sendiri merasa kepalanya sangat pusing dan pandangan matanya kabur. Merasa tidak tahan lagi, dipungutnya kedua pil tersebut dan ditelannya satu butir.

Selesai berdoa, Fangsheng berkata kepada Linghu Chong, “Pendekar Muda, kau adalah ahli waris ilmu Sembilan Pedang Dugu Sesepuh Feng, tentu kau bukan pengikut aliran sesat. Kau berjiwa kesatria dan berbudi luhur, tidak seharusnya kau mati begini saja. Hanya saja luka yang kau derita memang aneh luar biasa dan sukar disembuhkan dengan obat maupun tusuk jarum. Satu-satunya jalan keluar agar jiwamu bisa tertolong adalah kau harus belajar ilmu tenaga dalam tingkat paling tinggi. Menurut pendapat si biksu tua ini, sebaiknya kau ikut denganku ke Biara Shaolin. Aku akan melapor kepada Kakak Kepala dan memohon Beliau supaya sudi mengajarkan intisari ilmu tenaga dalam yang paling tinggi dari Biara Shaolin kepadamu. Dengan demikian luka dalam yang kau derita itu akan dapat disembuhkan.”

Setelah terbatuk beberapa kali, Fangsheng melanjutkan, “Untuk bisa memelajari intisari ilmu tenaga dalam tingkat tinggi Biara Shaolin perlu diperhatikan pula yang namanya ‘karma’. Aku sendiri tidak ada karma baik sehingga tidak bisa belajar ilmu tersebut. Kakak Kepala Biara sangat bijaksana dan berpandangan luas. Bisa jadi Beliau ada jodoh dengan Pendekar Muda dan berkenan mengajarkan intisari ilmu tenaga dalam tersebut kepadamu.”

“Terima kasih banyak atas maksud baik Mahabiksu,” jawab Linghu Chong. “Biarlah nanti sesudah saya mengantar Nenek ke suatu tempat yang aman, apabila saya beruntung belum mati, tentu saya akan datang ke Biara Shaolin untuk menyampaikan sembah kepada Biksu Kepala dan Mahabiksu.”

“Kau … kau memanggilnya ‘Nenek’?” sahut Fangsheng menegas. “Pendekar Muda, kau murid pertama dari perguruan lurus bersih, jangan kau bergaul dengan kaum sesat. Biksu tua ini memberi nasihat dengan tujuan baik, harap Pendekar Muda memikirkannya baik-baik.”

“Seorang laki-laki sejati sekali berjanji mana boleh menariknya kembali?” ujar Linghu Chong.

Biksu Fangsheng menghela napas dan berkata, “Baiklah, saya akan menunggu kedatangan Pendekar Muda di Biara Shaolin.” Ia kemudian memandangi keempat jenazah keponakannya yang masih tergeletak di tanah, dan berkata, “Empat wadah sudah kosong, dikubur atau tidak juga tiada bedanya. Setelah meninggalkan dunia, semuanya berakhir sudah.” Perlahan-lahan ia memutar tubuh kemudian melangkah pergi.

Linghu Chong duduk di tanah dengan napas terengah-engah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tak dapat bergerak. Ia kemudian bertanya, “Nenek, apakah kau baik-baik saja?”

Terdengar suara berisik yang disusul kemudian dengan munculnya Si Nenek dari balik semak-semak yang kemudian berkata, “Aku tidak akan mati semudah itu. Linghu Chong, kau boleh ikut pergi bersama biksu tua itu. Dia bilang lukamu bisa disembuhkan. Ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin tiada bandingannya di dunia ini. Kenapa kau tidak ikut dia pergi saja?”

“Aku sudah berjanji akan mengawal Nenek. Sudah seharusnya aku mengawalmu sampai tempat tujuan,” sahut Linghu Chong.

“Kau sendiri menderita penyakit, masih bicara tentang pengawalan segala?” balas Si Nenek.

“Tapi Nenek sendiri juga terluka. Biarlah kita tinggal bersama saja,” sahut Linghu Chong dengan tertawa.

“Aku berasal dari golongan sesat dan kau adalah murid golongan lurus bersih. Lebih baik kau jangan bergaul dengan aku agar tidak merusak nama baik perguruanmu,” kata Si Nenek.

“Aku tidak punya nama baik apa-apa. Peduli apa dengan pendapat orang lain?” jawab Linghu Chong. “Nenek, kau sangat baik kepadaku. Linghu Chong bukanlah manusia yang tidak kenal budi. Saat ini kau dalam keadaan terluka parah. Jika kutinggal pergi begitu saja apakah aku masih dapat dianggap sebagai manusia?”

“Tapi kalau saat ini aku tidak terluka parah, tentu kau akan pergi, bukan?” tanya Si Nenek.

Linghu Chong menjawab dengan tertawa, “Jika Nenek tidak peduli dengan kebodohanku dan bersedia ditemani olehku, maka aku siap selalu berada di sampingmu sebagai teman mengobrol. Hanya saja watakku ini memang kasar dan suka berbuat menurut keinginanku. Jangan-jangan hanya beberapa hari saja Nenek sudah merasa bosan dan tidak suka bicara denganku lagi.”

“Huh!” Si Nenek hanya mendengus.

Linghu Chong segera menyodorkan tangannya ke belakang tanpa melihat wajah Si Nenek, untuk memberikan pil dari Biksu Fangsheng tadi, sambil berkata, “Nenek, biksu terkemuka dari Biara Shaolin itu memang luar biasa. Nenek sudah membunuh empat orang keponakannya, tapi dia malah memberikan obat mujarab ini kepadamu, sedangkan dia sendiri tidak meminumnya.”

“Huh, orang-orang itu selalu menyombongkan diri sebagai golongan lurus bersih. Mereka hanya manusia yang pura-pura baik. Aku tetap tidak menaruh hormat kepada mereka,” jawab Si Nenek ketus.

“Nenek, silakan kau minum saja obat ini,” pinta Linghu Chong. “Sesudah kutelan satu butir tadi, badanku terasa jauh lebih segar. Dada dan perutku terasa lebih lega.”

Si Nenek hanya mendengus sekali dan masih tidak mau menerima obat itu.

“Nenek ….”

Belum selesai ucapan Linghu Chong, mendadak Si Nenek menyela, “Sekarang hanya tinggal kita berdua. Mengapa masih saja memanggil ‘Nenek, Nenek’ tidak ada habis-habisnya. Maukah kau mengurangi panggilanmu itu?”

“Baiklah, tentu saja,” sahut Linghu Chong sambil tertawa. “Silakan minum obat ini!”

“Jika kau bilang obat dari Biara Shaolin itu sangat bagus, sedangkan obat pemberianku tadi kau anggap kurang bagus, kenapa tidak kau habiskan saja semua obat pemberian biksu tua itu sekaligus?” tanya Si Nenek.

“Aih, memangnya aku pernah bilang kalau obatmu kurang bagus? Janganlah berpikiran seperti itu,” sahut Linghu Chong. “Lagipula obat dari Biara Shaolin yang baik ini justru hendak diminumkan kepadamu agar tenagamu lekas pulih. Dengan demikian kau dapat melanjutkan perjalanan.”

“Oh, jadi kau merasa kesal menemani aku di sini, ya?” tanya Si Nenek. “Jika demikian, maka kau boleh segera pergi. Aku juga tidak memaksamu untuk tetap tinggal di sini.”

Diam-diam Linghu Chong merenung, “Mengapa Nenek mendadak marah-marah kepadaku? Ah, barangkali karena lukanya tidak ringan, badannya pun terasa sakit, sehingga dengan sendirinya sifatnya menjadi ketus dan mudah naik pitam.” Maka dengan tertawa ia pun menjawab, “Saat ini selangkah pun aku tidak sanggup berjalan. Sekalipun mau pergi juga tidak dapat. Lagipula … lagipula …. Hahaha ….”

“Lagipula apa? Kenapa hahaha segala? Apa yang kau tertawakan?” damprat Si Nenek dengan gusar.

“Hahaha ya hahaha. Lagipula … seandainya aku bisa berjalan juga aku tidak ingin pergi, kecuali kalau kau mau pergi bersamaku,” sahut Linghu Chong dengan tertawa. Selama ini ia selalu sopan kepada Si Nenek. Namun karena Si Nenek kini sedang marah-marah tanpa alasan yang jelas, ia pun bicara seenaknya pula.

Namun mendengar itu Si Nenek hanya diam tak menjawab. Entah apa yang sedang ia renungkan.

Linghu Chong pun berkata, “Nenek ….”

“Nenek lagi?” tukas Si Nenek. “Apa barangkali selama hidupmu tidak pernah memanggil ‘Nenek’ kepada orang, begitu? Apa kau tidak bosan terus memanggil begitu kepadaku?”

“Ya sudah, selanjutnya aku takkan memanggil nenek lagi kepadamu,” ujar Linghu Chong tertawa. “Tapi lantas aku harus memanggil apa?”

Si Nenek diam saja. Selang sejenak baru ia berkata, “Di sini hanya ada kita berdua saja, kenapa harus memakai panggilan segala? Asal kau membuka mulut tentu aku yang kau ajak bicara. Tidak mungkin kau mengajak bicara orang lain, bukan?”

“Tetapi terkadang aku suka menggumam sendiri. Jadi, janganlah kau salah paham, ya?” kata Linghu Chong dengan tertawa.

“Huh, kau suka bicara sembarangan. Pantas adik kecilmu tidak suka lagi padamu,” ejek Si Nenek.

Ucapan ini benar-benar mengenai lubuk hati Linghu Chong. Perasaannya menjadi pilu. Ia merenung, “Adik Kecil tidak suka kepadaku, jangan-jangan memang disebabkan cara bicara dan tingkah lakuku yang suka sembarangan. Ya, Adik Lin memang lebih sopan dan tahu aturan. Dia benar-benar seorang laki-laki budiman dan lemah lembut, serupa dengan Guru. Jangankan Adik Kecil, jika aku menjadi wanita juga akan suka kepada Adik Lin dan tidak sudi kepada pemuda begajulan macam diriku ini. Wahai, Linghu Chong, selamanya kau suka mabuk-mabukan dan gila-gilaan, tidak patuh pada aturan perguruan, benar-benar pemuda yang sukar ditolong lagi. Aku pernah bergaul dengan maling cabul Tian Boguang, pernah tidur pula di rumah pelacuran kota Hengshan. Semua ini tentu membuat Adik Kecil merasa tidak senang.”

Melihat Linghu Chong termenung, Si Nenek lantas berkata, “Ada apa? Ucapanku tadi apa melukai perasaanmu? Kau menjadi marah, begitu?”

“Tidak, aku tidak marah. Ucapanmu memang tepat, bicaraku memang suka sembarangan, tingkah lakuku juga seenaknya. Pantas saja kalau Adik Kecil tidak senang kepadaku, begitu pula Guru dan Ibu Guru.”

“Kau tidak perlu sedih. Meskipun guru, ibu guru, dan adik kecilmu tidak suka lagi, tapi di dunia ini … di dunia ini mana mungkin semua orang tidak suka kepadamu?” Ucapannya ini terdengar sangat lembut dan penuh penghiburan.

Linghu Chong merasa sangat terharu dan berterima kasih. Begitu terharunya sampai tenggorokan seakan-akan tersumbat. Dengan terputus-putus ia berkata, “Nenek sungguh baik kepadaku. Sekalipun di dunia ini tidak ada orang yang suka kepadaku juga … juga tidak menjadi soal.”

“Kau punya mulut yang manis, pintar menyenangkan hati orang. Pantas saja orang semacam Lan Fenghuang dari Sekte Lima Dewi sampai tergila-gila kepadamu,” kata Si Nenek. “Sudahlah, sekarang kau tidak dapat berjalan dan aku pun tidak dapat berkutik. Hari ini kita terpaksa harus bermalam di bawah tebing sana. Entah hari ini kita akan mati atau tidak?”

“Kalau hari ini tidak mati, entah besok akan mati atau tidak. Kalau besok tidak mati, entah lusa akan mati atau tidak,” kata Linghu Chong dengan tertawa.

“Sudahlah, jangan bicara sembarangan lagi,” kata Si Nenek. “Sekarang kau boleh merangkak ke sana perlahan-lahan, biar aku menyusul di belakangmu.”

“Jika kau tidak minum obat pemberian biksu tua itu, mungkin aku tidak sanggup merangkak meskipun hanya satu langkah,” kata Linghu Chong.

“Kau bicara sembarangan lagi. Kalau aku tidak minum obatnya, mengapa kau yang tidak sanggup merangkak?”

“Aku tidak bicara sembarangan,” jawab Linghu Chong. “Kalau kau tidak mau minum obat itu, tentu lukamu sukar disembuhkan, tentu kau tidak punya semangat untuk memetik kecapi lagi. Hatiku akan cemas, sehingga aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk merangkak ke sana. Jangankan untuk merangkak, bahkan untuk berbaring di sini saja aku sudah tidak punya tenaga lagi.”

Si Nenek tertawa, “Hihihi. Untuk berbaring di sini saja kau tidak punya tenaga?”

“Ya. Bukankah di sini adalah tanah yang miring. Jika aku tidak bertenaga, seketika aku akan menggelinding dan terjerumus ke dalam sungai di bawah sana. Coba bayangkan, andaikan aku tidak mati terbanting bukankah akan mati tenggelam juga?”

Si Nenek menghela napas dan berkata, “Kau terluka parah, jiwamu setiap saat bisa melayang. Tapi kau masih sempat bergurau segala. Sungguh jarang dijumpai orang aneh seperti dirimu ini.”

Perlahan-lahan Linghu Chong melemparkan pil pemberian Biksu Fangsheng ke belakang, dan berkata, “Silakan minum obat ini!”

“Hm, setiap orang yang menganggap dirinya dari golongan lurus bersih tentu bukan manusia baik-baik,” gerutu Si Nenek. “Jika aku makan obat dari Shaolin ini hanya akan membuat kotor mulutku saja.”

Tiba-tiba Linghu Chong menjerit. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terguling ke samping. Sekejap kemudian ia pun jatuh menggelinding ke bawah mengikuti tanah tebing yang miring itu.

Kontan saja Si Nenek terkejut dan berteriak, “Hei, hati-hati!”

Akan tetapi, tubuh Linghu Chong terus saja menggelinding ke bawah. Tanah miring itu tidak terlalu terjal, tapi jaraknya lumayan panjang. Sesudah menggelinding sekian lama, barulah Linghu Chong mencapai tepi sungai kecil di bawahnya. Dengan sekuat tenaga tangan dan kakinya terpentang untuk menahan tubuh supaya berhenti menggelinding.

“Hei, hei, ba … bagaimana keadaanmu?” tanya Si Nenek.

Muka dan tangan Linghu Chong lecet dan berdarah karena tergores kerikil-kerikil tajam di sepanjang tanah miring tadi. Dengan menahan rasa sakit ia diam saja tanpa memberi jawaban.

“Baiklah, aku akan minum obat busuk dari biksu tua tadi. Lekas kau … kau naik kemari,” seru Si Nenek.

“Kata-kata yang sudah diucapkan harus dilaksanakan,” kata Linghu Chong. Tapi karena jarak kedua orang itu sudah agak jauh, ditambah lagi keadaan pemuda itu sudah lemas, maka suaranya tidak bisa terdengar oleh Si Nenek.

“Kau bilang apa?” tanya Si Nenek

“Aku … aku ….” napas Linghu Chong terengah-engah, tidak sanggup melanjutkan.

“Lekas naik kemari! Aku berjanji padamu akan meminum obatnya,” kata Si Nenek.

Linghu Chong bangkit terhuyung-huyung. Ia bermaksud merangkak ke atas. Ternyata menggelinding ke bawah jauh lebih mudah daripada merangkak ke atas yang baginya terasa seperti memanjat langit. Hanya dua langkah saja ia merangkak kakinya sudah terasa lemas dan terbanting jatuh, bahkan kembali menggelinding sampai tercebur ke sungai kecil di bawah.

Dari atas Si Nenek dapat melihat jatuhnya Linghu Chong itu dengan jelas. Karena merasa khawatir, tanpa pikir panjang ia pun ikut menjatuhkan diri dan menggelinding ke bawah sehingga sampai di samping Linghu Chong. Dengan cepat sebelah tangannya memegangi pergelangan kaki kiri Linghu Chong agar tidak terperosok masuk lebih dalam di sungai kecil tersebut, sementara tangan yang lain dijulurkan untuk mencengkeram dan menarik punggung pemuda itu ke atas.

Keadaan Linghu Chong sudah basah kuyup dan sempat minum beberapa teguk air. Matanya sudah berkunang-kunang. Setelah menenangkan diri, tiba-tiba ia melihat dua sosok bayangan di dalam air sungai yang jernih itu. Bayangan tersebut adalah dirinya sendiri yang sedang dicengkeram punggungnya oleh seorang gadis entah siapa.

Linghu Chong tercengang. Mendadak terdengar suara gadis itu muntah darah. Linghu Chong merasa tengkuknya tersiram darah segar yang masih hangat, bersamaan kemudian gadis itu pun terkulai di atas punggungnya dalam keadaan lemas lunglai.

Tentu saja Linghu Chong dapat merasakan tubuh gadis itu yang halus dan lunak telah menempel di atas punggungnya. Terasa pula rambut si nona yang panjang mengusap-usap mukanya. Pikirannya pun terheran-heran dan melayang jauh.

Dalam bayangan di permukaan air itu, terlihat setengah dari wajah si nona. Bulu matanya sangat lentik. Meskipun tidak terlihat jelas, namun dapat dipastikan wajah gadis itu sangat cantik jelita. Usianya baru sekitar tujuh atau delapan belas tahun saja. Seketika hati Linghu Chong pun terheran-heran, “Siapakah nona ini? Mengapa mendadak datang seorang gadis secantik ini menolong diriku?”

Gadis itu ternyata pingsan di punggung Linghu Chong. Perlahan-lahan Linghu Chong mencoba memutar tubuh untuk memapah gadis itu. Namun apa daya, sekujur tubuhnya terasa lemas lunglai bahkan satu jari sekalipun susah bergerak. Ia merasa seperti berada di alam mimpi, melihat bayangan wajah yang cantik molek bagaikan bidadari surgaloka itu.

Selang agak lama, terdengar gadis itu mulai membuka mata, kemudian berkata, “Apa kau sengaja menakut-nakuti aku, atau kau benar-benar tidak ingin hidup lagi?”

Linghu Chong terkejut luar biasa karena suara gadis itu ternyata sama persis dengan suara Si Nenek yang dikawalnya tadi. Begitu terkejutnya sampai-sampai tubuh terasa menggigil gemetar. Ia berseru dengan suara terputus-putus, “Kau … kau ….”

“Kau apa? Aku tetap tidak sudi makan obat busuk pemberian biksu tua tadi. Kalau kau mau cari mati lagi, silakan saja! Aku ingin melihatnya,” kata si gadis.

“Hah, Nenek, ternyata kau seorang … kau seorang nona muda yang sangat cantik,” ujar Linghu Chong tak percaya.

“Bagaimana … bagaimana kau tahu?” seru nona itu terperanjat. “Bocah yang tidak bisa memegang janji! Ternyata diam-diam kau telah… kau telah mengintip mukaku?”

Gadis itu kemudian menunduk dan melihat bayangannya sendiri tercermin di permukaan sungai. Ia baru sadar kalau dirinya sedang terkulai lemah di atas punggung Linghu Chong. Seketika ia menjadi malu. Wajahnya merona merah. Sekuat tenaga ia meronta bangun, namun kakinya terasa lemas dan kembali jatuh terkulai. Lekas-lekas Linghu Chong menjulurkan kedua tangannya untuk menangkap tubuh gadis itu yang jatuh ke depan dadanya. Si gadis berusaha bangkit berkali-kali namun tenaganya sudah habis, bahkan ia merasa hampir pingsan. Terpaksa ia diam saja berada di pangkuan Linghu Chong.

Dalam hati Linghu Chong merasa sangat heran. Ia kemudian bertanya, “Mengapa kau pura-pura menjadi seorang nenek untuk menipu aku? Kau pura-pura menjadi orang tua, sehingga membuat aku… membuat aku sampai….”

“Membuatmu sampai bagaimana?” sahut si nona menegas.

Kini pandangan Linghu Chong hanya berjarak belasan senti saja dari wajah gadis itu. Diamatinya kulit pipi si nona yang putih bersih merona kemerah-merahan. Sejenak kemudian baru ia melanjutkan, “Membuat aku berulang-ulang memanggil ‘Nenek’ kepadamu. Huh, tidak malu! Padahal menjadi adik perempuanku saja kau masih terlalu kecil, tapi kau justru ingin menjadi nenekku. Kalau ingin menjadi nenek-nenek ya harus menunggu delapan puluh tahun lagi.”

Si nona tertawa geli, “Hihihi. Apa aku pernah mengatakan kalau diriku ini seorang tua? Kau sendiri yang tiba-tiba memanggil ‘Nenek’ kepadaku. Kau sendiri yang terus-menerus memanggil nenek. Bukankah tadi aku marah dan menyuruhmu jangan memanggil lagi. Kau yang sengaja memanggil demikian, bukan?”

Diam-diam Linghu Chong merasa ucapan si nona benar juga. Tapi karena ia telah tertipu cukup lama seperti orang bodoh, sehingga membuat hatinya kesal. Maka, ia pun berkata, “Kau melarang aku memandang wajahmu, bukankah sengaja hendak memperdaya diriku? Jika aku berhadapan muka denganmu mana mungkin aku memanggil Nenek kepadamu? Sejak di Kota Luoyang kau sudah menipu diriku. Kau telah bersekongkol dengan si tua Luzhuweng. Kau menyuruh dia memanggilmu dengan sebutan ‘Bibi’. Jika kakek seumuran dia saja masih terhitung keponakanmu, lantas panggilan apa yang tepat untukmu kalau bukan ‘Nenek’?”

Si nona menjawab dengan tertawa, “Hahaha. Guru dari Luzhuweng memanggil ayahku sebagai paman guru. Dengan begitu, Luzhuweng harus memanggilku apa?”

Linghu Chong tercengang. Ia pun menjawab dengan ragu-ragu, “Jika begitu kau memang … kau memang terhitung bibi perguruan Luzhuweng?”

“Si bocah Luzhuweng itu bukan seorang tokoh yang luar biasa, untuk apa aku memalsukan diri sebagai bibinya? Apa untungnya aku menjadi bibinya?” ujar si nona dengan tertawa.

“Ya, aku memang benar-benar bodoh. Seharusnya aku sadar sejak dulu,” sahut Linghu Chong sambil menghela napas.

“Memangnya apa yang kau sadari?” si nona menegas sambil tetap tertawa.

“Suaramu sedemikian merdu, enak didengar. Di dunia ini mana ada nenek-nenek peot yang bersuara sedemikian indah?” sahut Linghu Chong.

“Suaraku serak mirip burung gagak. Pantas saja kau menyangka aku sebagai nenek-nenek peot,” si nona kembali tertawa.

“Suaramu seperti burung gagak? Aih, jika begitu ternyata zaman sudah berubah. Burung gagak pada zaman sekarang ternyata memiliki suara yang jauh lebih merdu daripada burung kenari.”

Mendengar pujian itu, muka si nona menjadi merah, namun hatinya senang. Ia berkata, “Baiklah, Kakek Linghu, sudah sekian lama kau memanggil ‘Nenek’ kepadaku. Biar sekarang aku membayarnya dengan memanggil ‘Kakek’ kepadamu. Dengan demikian kau tidak merasa dirugikan dan tidak marah lagi.”

“Kau adalah nenek dan aku adalah kakek. Kita adalah Si Kakek dan Si Nenek, bukankah ….” dasar sifat Linghu Chong memang suka bertindak sembarangan, mulutnya pun bicara tanpa malu-malu. Sedianya ia hendak berkata “bukankah kita adalah satu pasangan”, tapi mendadak dilihatnya alis si nona menegak dan wajahnya berubah merah. Maka cepat-cepat ia menahan kata-katanya itu.

“Kau hendak sembarangan mengoceh apa lagi?” gerutu si nona.

“Maksudku, bila kita adalah kakek dan nenek, bukankah … bukankah kita ini sesepuh dunia persilatan?” ujar Linghu Chong ganti haluan.

Sudah tentu gadis itu tahu kalau Linghu Chong sengaja mengubah arah pembicaraannya. Maka ia pun tidak mengungkitnya lebih lanjut karena takut semakin lama perkataan yang keluar semakin tidak enak didengar. Saat itu tubuhnya masih berada di pangkuan Linghu Chong sehingga ia dapat mencium bau keringat pemuda itu. Seketika pikirannya menjadi kacau. Ia pun meronta bermaksud untuk bangun, tapi bagaimanapun juga sukar mengumpulkan tenaga. Akhirnya dengan wajah merah ia berkata, “Eh, coba kau dorong aku.”

“Mendorongmu? Untuk apa?” tanya Linghu Chong.

“Kita … kita seperti ini, apa … apa terus begini?” tanya si nona malu-malu.

“Kakek dan nenek memang harus begini,” ujar Linghu Chong tertawa.

“Hm, kau sembarangan mengoceh lagi. Nanti aku akan membunuhmu!” bentak si nona.

Diam-diam Linghu Chong merasa takut mendengar ancaman itu. Ia mengetahui bagaimana saat gadis itu memaksa beberapa laki-laki hingga mencongkel biji mata sendiri sampai buta, lalu mengasingkan mereka ke sebuah pulau terpencil di laut timur. Mau tidak mau Linghu Chong merasa segan bergurau dengannya. Ia merenung, “Usianya masih sangat muda, tapi sekali bertempur saja sudah bisa membunuh empat orang murid Perguruan Shaolin. Ilmu silatnya jelas sangat tinggi, sikapnya juga begitu ganas. Sungguh sulit dipercaya kalau itu semua diperbuat oleh seorang nona cantik di depan mataku ini.”

Pertarungan Biksu Fangsheng melawan Si Nenek.

Tubuh Si Nenek jatuh di punggung Linghu Chong.
Linghu Chong mengamati wajah asli Si Nenek.

(Bersambung)