Bagian 21 - Menerima Dua Wasiat


Tuan Besar Mo menghadapi Fei Bin.
Di bawah cahaya rembulan, terlihat tetesan darah berhamburan di antara kilatan kedua pedang yang beradu. Makin lama percikan darah itu semakin banyak. Fei Bin terlihat pucat dan berusaha membalas serangan namun keadaan dirinya sudah sangat payah dan terkurung sinar pedang lawan. Tidak lama kemudian ia pun melompat mundur sambil mengeluarkan jeritan mengerikan. Sebaliknya, Tuan Besar Mo juga melangkah mundur sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam rebab.
Perlahan-lahan Tuan Besar Mo berbalik dan melangkah pergi. Ia kembali menggesek rebabnya memainkan lagu sendu yang menyayat hati, sementara Fei Bin masih berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun. Selang sejenak bayangan ketua Perguruan Hengshan itu sudah lenyap ditelan peohonan cemara yang lebat.
Tiba-tiba tubuh Fei Bin roboh di tanah. Darah tampak memancar deras dari dadanya. Rupanya sewaktu menghadapi serangan Tuan Besar Mo tadi ia mengerahkan semua tenaga dalam sehingga jantungnya berpacu lebih cepat. Akibatnya, ketika dadanya terluka, darah pun menyembur keluar bagaikan air mancur yang sangat deras. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.
Yilin yang masih ketakutan memegangi lengan Linghu Chong dengan jantung berdebar-debar. “Lenganmu terluka. Apa masih sakit?” bisiknya lirih.
Linghu Chong hanya menggelengkan kepala. Ia masih termangu-mangu menyaksikan Fei Bin yang tergeletak di tanah dan kehilangan nyawa.
Sementara itu, alunan suara rebab Tuan Besar Mo terdengar semakin lama semakin menjauh dan akhirnya hilang ditelan keheningan malam. Perlahan Qu Yang menghela napas dan berkata, “Adik Liu, kau pernah bercerita bahwa antara dirimu dan kakakmu kurang rukun satu sama lain. Namun, pada saat-saat gawat seperti tadi, tidak disangka-sangka justru kakakmu yang datang untuk menolong.”
“Benar,” jawab Liu Zhengfeng. “Tingkah laku Kakak Mo memang aneh dan sulit ditebak. Sesungguhnya perselisihan kami bukan karena perbedaan miskin dan kaya, tapi semata-mata karena watak dan prinsip kami yang tidak cocok, itu saja.”
“Ilmu pedangnya sangat hebat, tapi irama rebabnya terdengar sedih memilukan. Sungguh tidak pantas dimainkan oleh seorang kesatria pembela kebenaran,” ujar Qu Yang.
“Benar sekali,” sahut Liu Zhengfeng. “Permainan musiknya selalu sedih dan memilukan. Setiap mendengar suara rebabnya aku sering merasa kesal dan ingin cepat-cepat pergi menghindarinya,”
Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Kedua orang ini benar-benar keranjingan musik. Mereka masih saja sibuk membahas lagu sedih atau gembira. Padahal, jika bukan karena Paman Mo turun tangan, mungkin kami semua sudah mati di tangan Fei Bin. Aih, si gadis kecil Qu Feiyan sungguh bernasib malang.”
Terdengar Liu Zhengfeng melanjutkan, “Tapi kalau bicara ilmu silat, sama sekali aku bukan tandingannya. Selama ini aku memang kurang menghormatinya. Namun, sekarang aku merasa sangat menyesal.”
“Kehebatan ketua Perguruan Hengshan sungguh bukan nama kosong,” ujar Qu Yang. Ia lantas menoleh kepada Linghu Chong dan berkata, “Adik cilik, kau berani bertaruh nyawa demi menolong cucuku. Sikap kesatria sepertimu benar-benar susah ditemui. Ada suatu hal yang aku ingin kuminta darimu, entah kau sudi menyanggupinya atau tidak?”
“Sayang sekali Nona Qu telah dicelakai oleh Fei Bin. Apapun yang menjadi permintaan Sesepuh Qu, dengan senang hati saya akan melaksanakannya,” jawab Linghu Chong.
Qu Yang memandang sekilas kepada Liu Zhengfeng, kemudian melanjutkan, “Adik Liu dan aku sangat tergila-gila pada musik. Entah sudah berapa lama kami bekerja sama untuk menggubah sebuah lagu indah berjudul Menertawakan Dunia Persilatan. Kami yakin, dalam seribu tahun terakhir belum pernah ada lagu sebagus yang kami ciptakan ini. Kelak, andaikata ada seseorang yang bisa seperti diriku, belum tentu ada yang bisa menyamai Adik Liu. Andaikata ada yang bisa seperti Adik Liu, belum tentu ada yang sama denganku. Sebaliknya, andai saja ada dua orang yang berkepandaian seperti kami, belum tentu mereka hidup sezaman atau saling berteman. Untuk menemukan dua orang yang pandai memainkan musik dan memiliki tenaga dalam setara, sehingga dapat menggubah lagu seperti ini, jauh lebih sulit daripada mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Apabila lagu ini sampai punah dan dilupakan orang, tentu Adik Liu dan aku akan mati penasaran dan tidak tenang di alam sana.”
Qu Yang berhenti sejenak kemudian mengeluarkan sebuah kitab dari balik bajunya lalu berkata, “Kitab ini berisi catatan not lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Aku mohon Adik Linghu sudi menyimpan hasil jerih payah kami dan mencari ahli waris yang tepat untuk melestarikan lagu ini.”
Liu Zhengfeng menambahkan, “Kami mohon Keponakan Linghu sudi menyimpan kitab not lagu ini, dan memberikannya kepada seseorang yang tepat. Asalkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan kelak bisa tetap berkumandang dan tidak punah, maka kami bisa mati dengan tenang.”
Dengan penuh hormat Linghu Chong menerima kitab tersebut sambil menjawab, “Sesepuh berdua jangan khawatir. Saya akan melaksanakan amanat Sesepuh berdua dengan segenap tenaga.”
Tadinya Linghu Chong merasa khawatir jangan-jangan Qu Yang hendak menyuruhnya berbuat sesuatu yang bersifat merusak perguruannya, atau golongan putih lainnya dalam dunia persilatan. Tak disangka, wasiat kedua sahabat itu adalah menyampaikan sebuah kitab lagu kepada seseorang yang pantas. Baginya ini termasuk urusan yang mudah. Mencari orang yang bisa memetik kecapi dan meniup seruling tentu bukan hal yang sulit. Begitu hatinya merasa lega, tanpa sadar ia pun menghela napas panjang.
Liu Zhengfeng berkata, “Keponakan Linghu, kitab yang telah kau terima bukan sekadar hasil jerih payah kami, namun juga menyangkut seorang ahli musik ternama dalam sejarah. Lagu Menertawakan Dunia Persilatan ini digubah oleh Kakak Qu berdasarkan lagu indah berjudul Guang Lingsan, yang telah punah sejak zaman Kerajaan Jin ratusan tahun silam.”
Qu Yang tersenyum bangga menanggapi, “Konon kabarnya, setelah Ji Kang dihukum mati oleh pemerintah Dinasti Jin, lagu Guang Lingsan ikut menghilang selamanya. Apakah kau pernah mendengar cerita ini?”
Linghu Chong menggeleng dan merasa ingin tahu. Ia hanya bisa berkata, “Saya kurang mengerti soal musik. Andai saja Sesepuh Qu dan Paman Liu tidak mengatakannya, mungkin selamanya saya tidak akan mengetahui akan hal ini.”
Qu Yang tersenyum dan berkata, “Ji Kang seorang manusia hebat pada zamannya. Berdasarkan catatan sejarah, dia seorang yang sangat ahli dalam bermain musik, pandai dalam ajaran Lao Zi, serta gemar bergaul dengan orang-orang luar biasa. Andai saja aku hidup pada zamannya, tentu aku ingin sekali bisa berteman dengannya. Suatu hari datang seorang pembesar kerajaan bernama Zhong Hui untuk mengunjunginya. Sebenarnya ini adalah kunjungan istimewa, namun Ji Kang tidak ambil peduli dan tetap menjalankan pekerjaan sehari-harinya sebagai pandai besi. Merasa kecewa, Zhong Hui berniat pergi. Pada saat itulah Ji Kang bertanya, ‘Apa yang kau dengar sebelum kau datang, dan apa yang kau lihat sebelum kau pergi?’ – Zhong Hui menjawab, ‘Aku telah mendengar apa yang telah kudengar sebelum aku datang, dan telah melihat apa yang kulihat sebelum aku pergi.’ – Sebenarnya Zhong Hui sangat pandai namun sayang, dia itu seorang yang mudah marah dan berpikiran sempit. Karena pertemuan tersebut sangat memalukan baginya, ia pun memfitnah Ji Kang dengan menyampaikan laporan palsu kepada Sima Zhao, kaisar Kerjaan Jin. Akhirnya, kaisar pun memutuskan Ji Kang harus dihukum mati. Sebelum menjalani hukumannya, Ji Kang mengajukan permintaan supaya bisa bermain kecapi untuk yang terakhir kalinya. Permintaan ini dikabulkan. Ji Kang pun memainkan lagu Guang Lingsan dengan sangat merdu. Namun setelah memainkannya, dengan angkuh ia berkata bahwa lagu Guang Lingsan akan segera punah bersama kematiannya. Hm, ia benar-benar meremehkan generasi selanjutnya. Sebenarnya lagu itu bukan ciptaan Ji Kang. Apabila lagu tersebut punah pada zaman Kerajaan Jin, menurutmu kapan lagu tersebut diciptakan?”
Linghu Chong menjawab lirih, “Mungkin sebelum zaman Kerajaan Jin.”
“Tepat sekali!” jawab Qu Yang sambil mengangguk. “Aku merasa penasaran dengan ucapan Ji Kang, seolah-olah hanya dia yang bisa memainkan lagu Guang Lingsan dengan baik. Maka, aku pun pergi membongkar makam keluarga kaisar dan pembesar Kerajaan Han. Setelah membongkar dua puluh sembilan tempat yang berbeda, akhirnya aku berhasil menemukan naskah asli lagu Guang Lingsan di dalam makam Cai Yong. Hahahaha!”
Melihat Qu Yang bergelak tawa, Linghu Chong merasa sangat heran. Diam-diam ia berpikir, “Hanya demi sebuah lagu ia tega membongkar dua puluh sembilan makam kuno. Benar-benar aneh.”
Terdengar Qu Yang melanjutkan, “Adik cilik, kau adalah murid tertua dari perguruan golongan putih terkemuka, seharusnya aku tidak meminta pertolonganmu. Hanya saja, dalam keadaan terdesak seperti ini, aku tidak punya pilihan lain. Liu Zhengfeng dan Qu Yang boleh mati, namun lagu Menertawakan Dunia Persilatan tidak boleh sampai punah. Mohon Adik Linghu bisa memakluminya. Nah, mengenai Lagu Guang Lingsan tadi berkisah tentang Nie Zheng membunuh raja Han. Lagu ini sangat panjang, sehingga kami dalam menggubah lagu Menertawakan Dunia Persilatan ini hanya mengambil bagian yang terindah saja. Adik Liu menambahkan bagian seruling untuk mengambarkan adegan kakak perempuan Nie Zheng menerima dan menguburkan jasad adiknya itu. Nie Zheng bersama dengan Jing Ke, memiliki kesetiaan yang luar biasa, dan mereka adalah leluhur kita. Aku mohon kepadamu untuk mewariskan lagu ini karena aku mengagumi sifat kesatriamu.”
Linghu Chong menunduk hormat sambil menjawab, “Saya tidak berani menerima pujian Sesepuh.”
Perlahan-lahan senyum gembira Qu Yang menghilang dan berganti dengan paras sedih. Sejenak kemudian ia pun berpaling kepada Liu Zhengfeng dan berkata, “Adik Liu, kita bisa pergi sekarang.”
“Baik,” sahut Liu Zhengfeng sambil menjulurkan kedua tangannya.
Qu Yang menyambut kedua tangan sahabatnya itu. Keduanya saling berpegangan dengan sangat erat. Sambil bergelak tawa terbahak-bahak, mereka mengerahkan sisa-sisa tenaga dalam sampai pembuluh darah pada tubuh masing-masing pecah dan putus. Sejenak kemudian, kedua sahabat itu menutup mata dan terdiam untuk selama-lamanya.
“Sesepuh Qu! Paman Liu!” seru Linghu Chong sambil memeriksa keadaan keduanya. Namun yang ia temukan adalah – kedua sahabat itu sudah tidak bernapas lagi.
“Apakah mereka telah... telah meninggal?” tanya Yilin dengan nada bingung. Linghu Chong hanya mengangguk tanpa bicara.
Air mata Yilin pun berlinangan di kedua pipinya. Buru-buru Linghu Chong berkata, “Adik Yilin, kita harus segera menguburkan keempat jenazah ini. Aku yakin pasti akan segera ada yang datang untuk mencari mereka, terutama dari pihak Perguruan Songshan.” Sampai di sini ia lantas mengecilkan suara, “Terutama kematian Fei Bin di tangan Paman Mo jangan sampai diketahui oleh orang lain. Kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa Paman Mo menuduh kita telah membocorkan peristiwa ini.”
“Benar,” sahut Yilin. “Tapi bagaimana kalau Guru bertanya kepadaku? Apakah aku harus menjawab sejujurnya?”
“Kau tidak boleh mengatakan kepada siapa pun,” sahut Linghu Chong. “Kalau kau sampai bercerita, bisa-bisa terjadi pertengkaran antara Bibi Dingyi dengan Paman Mo. Ini akan sangat mengerikan.”
Yilin bergidik ngeri saat teringat betapa hebat kesaktian Tuan Besar Mo. Ia akhirnya berkata, “Baiklah, aku tidak akan bercerita kepada siapa pun.”

Qu Yang dan Liu Zhengfeng mengakhiri hidup.
Linghu Chong kemudian memungut pedang Fei Bin dan menusuk-nusuk mayat jagoan Songshan itu sehingga lukanya bertambah banyak dan lebar.
Yilin terheran-heran dan bertanya, “Kakak Linghu, dia sudah mati. Kenapa kau sedemikian benci kepada Paman Fei sehingga merusak jenazahnya?”
“Apa kau lupa kalau pedang Paman Mo sangat tipis dan menimbulkan luka sempit?” jawab Linghu Chong. “Apabila orang lain menemukan mayat Fei Bin, maka akan langsung ketahuan kalau pembunuhnya adalah Paman Mo. Oleh sebab itu, aku harus menyamarkan bekas luka ini dengan belasan luka palsu yang lebih lebar.”
“Aih, urusan di dunia persilatan sungguh rumit dan sulit dibayangkan,” ujar Yilin dalam hati. Begitu melihat Linghu Chong mengumpulkan batu-batu untuk menutupi mayat Fei Bin, ia pun berkata, “Kakak Linghu, kau masih lemah. Istirahat saja.”
Tanpa banyak bicara lagi Yilin pun mengambil alih pekerjaan mengumpulkan bebatuan di sekitar tempat itu. Ia lalu menumpuk bebatuan tersebut dengan lembut dan perlahan-lahan, seolah Fei Bin masih bernyawa dan bisa merasakan sakit.
Setelah itu, Yilin menutupi jasad Liu Zhengfeng dan Qu Yang dengan bebatuan pula. Ketika tiba giliran menutupi jasad Qu Feiyan, ia pun bergumam, “Adik Qu, demi diriku kau rela mengorbankan nyawa. Aku berdoa semoga kau naik ke istana langit dan menikmati segala kebahagiaan di sana. Semoga di kelahiran berikutnya, kau menjadi laki-laki sehingga memiliki kekuatan lebih besar untuk menolong sesama manusia dan berbuat banyak kebaikan. Dengan demikian, kelak kau bisa memasuki alam surga dan kekal abadi di dalamnya. Semoga Sang Buddha mengampuni semua dosa-dosamu. Semoga semua makhluk berbahagia....”
Linghu Chong sendiri duduk termenung di atas batu. Ia terharu mengingat bagaimana Qu Feiyan telah menyelamatkan jiwanya, namun kini lebih dulu meninggal dalam usia yang masih sangat muda. Meskipun dirinya bukan penganut ajaran Buddha, namun dalam hati ikut berharap semoga doa Yilin menjadi kenyataan.
Setelah merasa lumayan dalam beristirahat, Linghu Chong membuka kitab not lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Kitab tersebut berisi simbol-simbol yang menurutnya aneh dan tidak ia mengerti sama sekali. Memang, kemampuan baca tulis Linghu Chong agak terbatas. Karena tidak mengetahui apa-apa mengenai isi kitab tersebut, ia pun memasukkannya kembali ke balik baju sambil merenung, “Demi persahabatan, Paman Liu telah memberikan segalanya, termasuk nyawanya sendiri, meskipun temannya itu seorang anggota aliran sesat. Mereka berdua telah memperlihatkan keberanian luar biasa saat menghadapi kematian. Benar-benar laki-laki sejati. Sungguh mengagumkan! Aku mengira hari ini Paman Liu tengah mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, mengundurkan diri dari dunia persilatan. Aih, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana ia bisa berubah menjadi musuh Perguruan Songshan? Benar-benar membingungkan.”
Di tengah-tengah lamunannya, tiba-tiba Linghu Chong melihat sekelebat bayangan pedang di sisi utara agak jauh dari tempatnya duduk. Di bawah remang-remang cahaya rembulan, ia mengenali gerakan pedang tersebut merupakan ilmu silat perguruannya. Seketika jantungnya berdebar saat menyimpulkan bahwa seseorang dari Huashan tengah bertarung melawan musuh.
Buru-buru Linghu Chong bangkit dan berkata, “Adik, kau tunggu di sini dulu. Aku pergi sebentar.”
Yilin yang masih sibuk merapikan keempat makam tidak melihat kilatan pedang tersebut. Ia hanya mengangguk karena mengira Linghu Chong pamit pergi untuk buang air kecil.
Linghu Chong berjalan tertatih-tatih dengan bantuan ranting kayu sebagai tongkat. Ia juga memungut pedang peninggalan Fei Bin dan menggantungkannya di pinggang. Setelah agak jauh berjalan, suara pertarungan terdengar semakin jelas. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh dari perguruannya yang sedang bertarung itu? Sepertinya yang sedang dihadapi adalah kaum silat papan atas dari perguruan lain.
Semakin keras suara pertarungan tersebut pertanda jarak mereka juga sudah sangat dekat. Linghu Chong pun memilih bersembunyi di balik sebatang pohon besar untuk mengintai. Di bawah cahaya rembulan, ia melihat seorang pria berpakaian sarjana sedang bertarung melawan seorang pendeta agama Tao bertubuh pendek. Si sarjana yang terlihat berdiri di tanah lapang tidak lain adalah Yue Buqun, gurunya sendiri. Sementara itu, si pendeta pendek yang menjadi lawannya tidak lain adalah Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
Yu Canghai dengan segenap tenaga berputar mengelilingi Yue Buqun dengan melancarkan sejumlah serangan. Dalam sekali berputar ia dapat melancarkan puluhan tusukan. Namun, kesemuanya itu dapat ditangkis oleh Yue Buqun.
Melihat sang guru bertempur melawan seorang ketua perguruan ternama, Linghu Chong merasa sangat terkesan. Ia juga melihat betapa indah dan anggun cara bertempur gurunya itu. Setiap kali Yu Canghai menusukkan pedangnya, Yue Buqun selalu menangkis dengan halus. Sewaktu Yu Canghai berputar ke belakang dan melancarkan serangan, Yue Buqun tidak ikut berputar, melainkan hanya mengayunkan pedangnya melindungi punggung dari serangan tersebut. Semakin lama serangan Yu Canghai semakin gencar, sementara Yue Buqun terlihat hanya melakukan gerakan bertahan tanpa berusaha membalas sedikit pun.
Sungguh kagum perasaan Linghu Chong menyaksikan kehebatan gurunya. Diam-diam ia berpikir, “Pantas saja dunia persilatan memberi julukan kepada Guru sebagai Si Pedang Budiman. Guru memang berperangai halus dan lembut dalam tutur kata, maupun tindakan. Bahkan, dalam pertempuran sekalipun ia tetap bersikap tenang dan penuh sopan santun. Ah, Guru bisa mengatur emosi bukan hanya karena sifatnya yang sabar, namun juga karena ilmu silatnya yang sangat tinggi.”
Yue Buqun memang jarang bertarung melawan seseorang. Linghu Chong hanya pernah menyaksikan gurunya itu bertarung melawan sang istri di depan para murid. Tentu saja ini hanya sekadar berlatih, bukan pertarungan yang sebenarnya. Namun, pertarungan kali ini sudah tentu berbeda dengan yang pernah ia saksikan sebelumnya.
Linghu Chong kemudian berganti mengamati gerakan Yu Canghai yang lincah dan cepat luar biasa. Dalam hati ia berpikir, “Biasanya aku suka memandang rendah ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Bahkan, pada saat di rumah pelacuran kemarin aku berani mencari perkara dengan pendeta pendek itu. Tak disangka, ilmu silatnya begitu hebat dan mematikan. Meskipun dalam keadaan sehat tidak mungkin aku bisa menandinginya. Dalam satu menit mungkin aku sudah roboh olehnya. Hm, lain kali aku tidak boleh gegabah jika bertemu lagi dengannya. Jalan yang paling baik tentu saja menjaga jarak dan menghindari perselisihan dengan orang ini.”
Pertarungan antara kedua pemimpin perguruan itu berlangsung semakin seru. Yu Canghai berputar semakin cepat mengelilingi Yue Buqun sambil melancarkan tusukan-tusukan pedang. Begitu cepatnya seakan yang terlihat hanyalah bayangan warna ungu saja. Suara pedangnya pun menderu-deru pula, serta menimbulkan debu yang cukup tebal.
Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Jika aku yang menghadapi jurus pedang itu, tentu sudah sejak tadi tubuhku berlubang-lubang. Kepandaian pendeta pendek ini sepertinya setingkat di atas Tian Boguang. Aih, sejak tadi Guru hanya bertahan tanpa membalas sama sekali. Semoga Guru tidak lengah sedikit pun agar tidak kalah olehnya.”
Beberapa saat kemudian, Yu Canghai tampak melompat mundur dan kemudian berdiri tegak di atas sebongkah batu. Entah bagaimana tahu-tahu ia sudah menyarungkan pedangnya kembali. Linghu Chong lalu memandang ke arah Yue Buqun dan ternyata gurunya itu juga telah menyimpan kembali pedangnya. Melihat keduanya sama-sama diam tanpa bersuara, Linghu Chong tidak dapat menentukan siapa di antara mereka yang menang ataupun kalah. Ia juga tidak mengetahui apakah masing-masing mengalami luka dalam atau tidak.
Selang agak lama, Yu Canghai berkata sambil tersenyum getir, “Baiklah, kita berpisah dulu, Kakak Yue. Sampai jumpa kembali!” Usai berkata demikian ia langsung melesat pergi.
“Pendeta Yu, bagaimana dengan pasangan suami-istri Lin? Kau sekap di mana mereka?” sahut Yue Buqun sambil kemudian bergegas mengejar Yu Canghai. Dalam sekejap bayangan mereka sudah hilang ditelan kegelapan malam.
Mendengar itu Linghu Chong merasa lega dan berpikir, “Sepertinya Guru berhasil mengalahkan Yu Canghai. Dalam keadaan sehat sekalipun, tidak mungkin aku mampu mengejar mereka. Mungkin keduanya sudah berada jauh di sana. Ah, lebih baik aku kembali saja.”
Namun baru saja Linghu Chong hendak melangkah menuju ke tempat Yilin, tiba-tiba terdengar suara jeritan memilukan dari arah hutan sebelah kiri. Suara tersebut seperti suara seorang pria kesakitan, yang diselingi suara seorang wanita pula.
Dengan langkah hati-hati dan perasaan terkejut, Linghu Chong pun berjalan menuju ke arah tersebut. Setelah melewati beberapa pepohonan, samar-samar ia melihat sebuah kuil tua berwarna kuning berdiri di tepi hutan. Khawatir jangan-jangan di dalam kuil sedang terjadi pertempuran antara murid-murid Huashan melawan pihak Qingcheng, ia pun tidak berani langsung masuk, melainkan berdiri merapat di dekat dinding luar.

Pertarungan Yue Buqun dan Yu Canghai.
Sejenak kemudian terdengar suara seorang tua berteriak kasar, “Di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis kau simpan? Asalkan kau menunjukkan di mana kitab itu berada, maka kau akan kubantu membalas dendam. Urusan menumpas Perguruan Qingcheng hanyalah masalah kecil bagiku.”
Samar-samar Linghu Chong teringat kalau itu adalah suara Mu Gaofeng, alias Si Bungkuk dari Utara, yang beberapa hari lalu dijumpainya di rumah pelacuran Wisma Kumala. Padahal, gurunya sedang mencari pasangan suami-istri Lin Zhennan, tak tahunya mereka sudah jatuh ke tangan orang bungkuk itu.
Kemudian terdengar suara seorang pria merintih kesakitan dan menjawab dengan suara lemah, “Aku tidak tahu apa-apa mengenai Kitab Pedang Penakluk Iblis. Ilmu itu diturunkan secara lisan, turun-temurun dalam keluarga kami. Aku belum pernah melihat ada kitab seperti itu dalam keluarga kami.”
Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Ah, itu pasti suara Lin Zhennan, ketua Biro Ekspedisi Fuwei.”
Sejenak kemudian kembali terdengar suara Lin Zhennan menyambung, “Terhadap kesediaan Tuan Pendekar membalaskan sakit hati kami, sudah tentu kami sangat berterima kasih. Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng sudah melakukan banyak kejahatan. Kelak dia pasti mati secara mengerikan. Meskipun tidak mati di tangan Tuan, tetap saja dia akan mati di tangan pendekar lainnya.”
“Oh, jadi kau tetap tidak mau mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada?” sahut Mu Gaofeng menegas. “Apa kau tidak pernah mendengar nama besar Si Bungkuk dari Utara, hah?”
Lin Zhennan menjawab, “Tentu saja saya tahu. Semua orang pernah mendengar nama besar Tuan Pendekar Mu.”
“Bagus sekali, bagus sekali!” ujar Mu Gaofeng sambil tertawa. “Aku memang terkenal, tapi bukan karena kebaikanku. Yang sering didengar orang pasti caraku turun tangan yang ganas dan kejam. Kau sendiri pasti pernah mendengar kalau selama ini aku tidak kenal belas kasihan, bukan?”
Dengan angkuh Lin Zhennan menjawab, “Aku tahu Pendekar Mu terkenal kejam dan suka menyiksa. Meskipun seandainya di dalam keluarga kami benar-benar terdapat Kitab pedang Penakluk Iblis, tetap saja aku tidak akan memberikannya kepada siapa pun. Aku tidak peduli meskipun dipaksa dengan cara disiksa ataupun dibujuk rayu. Sesudah jatuh ke tangan Perguruan Qingcheng, setiap hari kami kenyang oleh siksaan. Meskipun ilmu silatku rendah, namun di dalam tubuhku masih tersisa seonggok tulang yang keras.”
“Bagus, bagus, bagus sekali!” ujar Mu Gaofeng sambil manggut-manggut. “Kau bilang tulangmu keras, tahan dianiaya, kuat disiksa. Setiap hari si pendek hidung kerbau itu menyiksamu, tapi kau belum juga menyerah. Hal itu membuktikan kalau di dalam Keluarga Lin memang benar-benar terdapat Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kau berusaha mati-matian melindunginya, membuktikan kalau kitab tersebut memang benar-benar ada. Huh, untuk apa kau tetap bersikeras? Serahkan saja kitab itu kepadaku! Ilmu silatmu yang rendah menunjukkan kalau ilmu pedang dalam kitab itu tidak istimewa. Kalau Ilmu Pedang Penakluk Iblis benar-benar luar biasa, mengapa melawan murid Qingcheng saja kau tidak becus?”
“Memang betul,” jawab Lin Zhennan. “Justru itu aku heran mengapa Pendekar Mu berusaha merebut kitab itu? Andaikan kitab itu benar-benar ada, mengapa isinya sedemikian tidak bermanfaat, sehingga untuk melawan murid Qingcheng saja tidak berguna? Sungguh aneh, kenapa Pendekar Mu begitu menginginkannya?”
Mu Gaofeng menjawab, “Aku hanya heran, mengapa si pendeta pendek itu mati-matian menginginkannya. Sampai-sampai, dia mengerahkan semua begundal Qingcheng untuk mendapatkannya. Hal itu membuatku yakin di dalam kitab tersebut pasti tersembunyi rahasia besar. Hanya saja, kau ini terlalu bodoh dan juga kurang berbakat. Pantas saja Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang kau kuasai sedemikian rendahnya. Kalau demikian, apa tidak sayang leluhurmu susah payah menciptakannya, tapi sekarang ilmu itu harus terkubur begitu saja? Setelah kau perlihatkan kitab itu kepadaku, maka aku pasti bisa memecahkan rahasianya sehingga intisari Ilmu Pedang Penakluk Iblis dapat kau kuasai. Dengan demikian, nama Keluarga Lin akan kembali harum di dunia persilatan. Bukankah ini akan menguntungkan perusahaanmu juga?”
“Maksud baik Pendekar Mu biarlah kuterima dalam hati saja,” jawab Lin Zhennan sambil tersenyum pahit. “Tapi sudah kukatakan kalau aku benar-benar tidak mempunyai Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kau tidak percaya, kenapa tidak kau geledah saja tubuhku ini?”
“Untuk apa?” sahut Mu Gaofeng. “Andai saja kitab itu ada di tubuhmu tentu sejak kemarin sudah ditemukan oleh begundal-begundal dari Qingcheng itu. Ketua Lin, kau ini pura-pura bodoh atau bagaimana?”
“Ya, aku memang bodoh,” ujar Lin Zhennan. “Sudah sejak lama aku menyadari kalau diriku ini memang bodoh. Aku tidak membutuhkan penilaian dari Pendekar Mu.”
Mu Gaofeng menggelengkan kepalanya dan berkata, “Hm, ternyata kau belum tahu juga. Mungkin Nyonya Lin lebih memahami maksud perkataanku. Maklum saja, cinta kasih seorang ibu biasanya melebihi cinta kasih seorang ayah.”
“Apa katamu?” seru Nyonya Lin. “Apa yang terjadi dengan Pingzhi-ku? Ada hubungan apa dia dengan urusan ini? Di mana... di mana dia sekarang?”
“Anakmu itu pintar dan cerdik. Begitu melihatnya aku langsung merasa suka,” kata Mu Gaofeng. “Dia sangat cerdas dan berbakat. Dia bisa melihat kalau aku ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Maka, anakmu itu lantas memohon untuk menjadi muridku.”
Lin Zhennan sudah hafal sifat putra tunggalnya yang pantang menundukkan kepala di hadapan orang lain yang berhati busuk. Maka, ia pun pura-pura menjawab, “Oh, rupanya putra kami sudah mengangkat Pendekar Mu sebagai guru. Tentu hal ini menjadi keberuntungan besar baginya. Sayang sekali, kami berdua sudah disiksa sedemikian hebatnya. Luka kami sudah terlalu parah. Kami hanya tinggal menunggu ajal. Jika Pendekar Mu tidak keberatan, sudilah kiranya membawa Pingzhi kemari. Biar kami bisa melihat wajah putra kami untuk yang terakhir kalinya.”
Mu Gaofeng menjawab, “Itu hanya masalah kecil. Permintaan kalian sangat mudah untuk aku kabulkan.”
“Kalau begitu, di mana anak kami berada?” tanya Nyonya Lin. “Kami mohon dengan sangat, Pendekar Mu sudi memanggil Pingzhi kemari. Budi baik Tuan Pendekar tidak akan kami lupakan.”
“Baik, aku akan segera memanggilnya ke sini,” sahut Mu Gaofeng. “Tapi selamanya si marga Mu tidak sudi disuruh orang dengan cuma-cuma. Untuk memanggil putramu kemari itu urusan mudah. Asalkan lebih dulu kalian memberitahukan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan.”
Sebagai seorang pengusaha terkenal, Lin Zhennan sudah hafal dengan tipu muslihat yang dilancarkan Mu Gaofeng. Ia pun menghela napas dan berkata, “Rupanya Pendekar Mu tidak memercayai ucapanku tadi. Sudah kubilang kalau kami benar-benar tidak mempunyai kitab tersebut. Andai saja kami memilikinya tentu sudah kami titipkan kepada Pendekar Mu untuk disampaikan kepada Pingzhi, mengingat umur kami tinggal sekejap. Kami mohon Pendekar Mu sudi membawa Pingzhi kemari agar kami bisa bertemu muka dengannya untuk yang terakhir kali.”
“Huh, ternyata benar ucapanku tadi – kau ini memang benar-benar bodoh!” bentak Mu Gaofeng. “Urat jantungmu sudah pecah. Meskipun aku tidak menyentuhmu, tetap saja kau akan mati dengan sendirinya. Andai saja satu jam yang lalu kau berterus terang kepadaku, mungkin aku sudah membantu mengobati luka-lukamu. Hm, kau bersikeras tidak mau membuka mulut meskipun disiksa sampai mati, tentu saja karena kau tidak ingin ilmu silat leluhurmu itu jatuh ke tangan orang lain. Akan tetapi kau lupa, setelah dirimu mati, maka anggota Keluarga Lin yang tesisa hanya tinggal anakmu seorang. Jadi, kalau dia mati pula, siapa lagi yang akan mempelajari ilmu pedang leluhurmu? Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak akan ada gunanya lagi.”
Nyonya Lin tersentak dan berseru khawatir, “Ada apa dengan putraku? Apa dia... apa dia mendapat celaka?”
“Saat ini keadaannya masih baik-baik saja,” jawab Mu Gaofeng. “Tentu saja dia akan tetap sehat dan selamat apabila kalian sudi mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis itu disimpan. Sesudah kuterima, tentu aku akan segera memberikannya kepada putramu. Jika dia kurang paham isinya, maka aku yang akan memberinya petunjuk. Dengan demikian putramu itu bisa melestarikan ilmu silat warisan leluhur Keluarga Lin, tidak seperti dirimu yang bodoh dan tidak becus ini. Bukankah ini pilihan yang baik daripada aku memukulnya sampai hancur lebur?”
Begitu si bungkuk mengucapkan kata “memukulnya” seketika Linghu Chong mendengar suara benda keras hancur berkeping-keping. Rupanya Mu Gaofeng telah memukul hancur patung dewa di dalam kuil tersebut untuk mempertegas ucapannya.
Melihat itu Nyonya Lin semakin khawatir. Ia berkata, “Kenapa kau... kau ingin membunuh putra kami?”
Mu Gaofeng bergelak tawa dan menjawab, “Lin Pingzhi adalah muridku. Hidup matinya terserah kepadaku. Bila aku ingin membinasakannya, sekali hantam saja dia akan hancur seperti patung itu.” Usai berkata ia kembali menakut-nakuti dengan memukul hancur benda-benda lainnya di dalam kuil.
Lin Zhennan menyahut, “Istriku, kau jangan bertanya lagi. Putra kita tidak ada padanya. Kalau dia benar-benar menawan Pingzhi, kenapa dia tidak langsung menyeretnya kemari? Bukankah dengan cara begitu kita bisa lebih mudah dipaksa menyerah?”
Mu Gaofeng tertawa semakin keras meskipun kebohongannya telah diketahui. Ia kembali berkata, “Kau ini memang benar-benar bodoh. Sangat bodoh! Anggap saja dugaanmu itu benar. Lantas, apakah aku tidak bisa membunuhnya? Kau salah besar, Ketua Lin. Kawan-kawanku tersebar di dunia persilatan. Menemukan dan membunuh Lin Pingzhi hanya masalah sederhana.”
Nyonya Lin yang masih ketakutan berkata lirih kepada sang suami, “Aku takut... aku takut dia mencelakai Ping’er....”
Mu Gaofeng menukas, “Benar sekali! Sekali kau mengatakan di mana kitab itu berada, maka Lin Pingzhi akan tetap selamat. Sekalipun ajal kalian tiba, dia akan tetap meneruskan nama besar Keluarga Lin kalian.”
Lin Zhennan tetap bersikap tenang, bahkan tertawa terbahak-bahak. “Istriku, apabila kita menuruti perintahnya, yaitu menyerahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis kepadanya, maka yang pertama dia lakukan adalah membunuh Ping’er,” ujarnya kemudian. “Selama kita tidak memberitahukan kepadanya, maka Ping’er akan baik-baik saja. Aku jamin si bungkuk ini tidak akan berani macam-macam terhadap anak kita. Kau jangan terkecoh oleh tipuan rendah seperti ini.”
Nyonya Lin pun sadar akan sandiwara Mu Gaofeng. Ia lantas berseru, “Bungkuk tua, kau tidak perlu mengancam anak kami. Bunuh saja kami sekarang juga!”
Linghu Chong yang menguping di luar hanya bisa membayangkan wajah Mu Gaofeng pasti sangat merah menahan murka. Dalam waktu singkat si bungkuk itu pasti menyiksa suami-istri Lin Zhennan sampai mati. Maka ia pun berteriak, “Pendekar Mu, aku adalah Linghu Chong, murid Perguruan Huashan. Guru kami mengundangmu untuk keluar sebentar. Ada urusan penting yang ingin Beliau tanyakan kepadamu.”
Saat itu Mu Gaofeng sudah mengepalkan tangan siap memukul wajah Lin Zhennan. Ia sangat terkejut mendengar seruan Linghu Chong tersebut. Dalam urusan ini sebenarnya ia tidak ingin mengalah kepada siapapun. Tapi, peristiwa di Wisma Kumala kemarin membuat Mu Gaofeng bertambah segan dan takut kepada Yue Buqun. Dari seruan Linghu Chong tadi, ia mengira Yue Buqun sudah lama menunggu di luar untuk membuat perhitungan dengannya. Sebagai seorang pemimpin perguruan golongan putih, sudah tentu Yue Buqun akan menindak tegas perbuatan sewenang-wenang yang ia lakukan terhadap pasangan suami-istri Lin tersebut.
Maka, tanpa pikir panjang Mu Gaofeng pun berteriak, “Maaf, aku sedang sibuk. Tolong sampaikan kepada gurumu bahwa aku tidak bisa memenuhi undangannya. Kelak jika Saudara Yue pergi ke utara, aku persilakan mampir di rumahku yang sederhana. Selamat tinggal!”
Usai berkata demikian Mu Gaofeng langsung melompat menjebol atap kuil dan kemudian melesat ke arah hutan. Khawatir Yue Buqun mengejar dan menanyainya, ia pun berlari sekencang-kencangnya dan menghilang dalam waktu sekejap.
Mendengar Mu Gaofeng telah menjauh, Linghu Chong sangat gembira. Diam-diam ia berpikir, “Rupanya si bungkuk itu benar-benar takut kepada Guru. Padahal, kalau tadi dia benar-benar keluar memenuhi panggilanku, bisa-bisa aku sekarang sudah mati di tangannya.”
Perlahan-lahan Linghu Chong masuk ke dalam kuil tua tersebut. Samar-samar dalam kegelapan ia melihat dua orang duduk di lantai dengan tubuh diikat saling membelakangi pada sebatang tiang. Keduanya terlihat begitu lemah, pertanda sudah berkali-kali mendapatkan siksaan fisik dan mental.
Melihat pasangan tersebut, Linghu Chong membungkuk dan menyapa, “Saya Linghu Chong dari Perguruan Huashan memberi hormat kepada Paman dan Bibi Lin. Saat ini putra kalian, yaitu Pingzhi, telah menjadi adik seperguruan kami.”
“Jangan terlalu sungkan, anak muda,” sahut Lin Zhennan gembira. “Keadaan kami sudah payah, sehingga tidak bisa membalas hormatmu. Tapi, apakah benar yang baru saja kau katakan tadi? Apa benar Pingzhi telah menjadi murid Pendekar Yue dari Perguruan Huashan?” Saat mengucapkan kata-kata yang terakhir ini, suaranya terdengar agak gemetar.
Sebagai seorang pengusaha terkenal, tentu saja Lin Zhennan yang berwawasan luas mengetahui bahwa Yue Buqun ketua Perguruan Huashan memiliki nama besar di atas Yu Canghai. Setiap tahun ia berusaha menjalin hubungan dengan Perguruan Qingcheng, namun sama sekali belum pernah mengirimkan hadiah kepada Perguruan Huashan. Rupanya Lin Zhennan merasa Biro Ekspedisi Fuwei belum sederajat untuk bisa berteman dengan Perguruan Huashan ataupun anggota Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Maka, begitu mendengar putranya diterima sebagai murid Huashan, tentu saja Lin Zhennan merasa sangat bahagia. Apalagi ia menyaksikan sendiri bagaimana seorang Mu Gaofeng yang kejam dan bengis bisa lari terbirit-birit hanya karena mendengar nama Yue Buqun diucapkan.
Menanggapi pertanyaan Lin Zhennan tadi, Linghu Chong berkata sambil membuka ikatan kedua suami-istri itu, “Benar sekali. Kemarin Adik Pingzhi telah diterima sebagai murid perguruan kami. Tadinya si bungkuk Mu Gaofeng berusaha memaksa Adik Pingzhi supaya bersedia menjadi muridnya. Tapi Adik Pingzhi sungguh pemberani dan bersikeras menolaknya. Kebetulan waktu itu Guru datang dan berhasil mengusir Mu Gaofeng. Adik Pingzhi kemudian memohon supaya diterima sebagai murid Guru. Melihat keberanian dan kesungguhan hati putra Paman dan Bibi, guru kami pun menerima permohonannya. Beberapa saat yang lalu, Guru juga telah mengalahkan Yu Canghai dalam sebuah pertarungan pedang. Kali ini Guru sedang mengejar pendeta pendek itu yang melarikan diri entah ke mana. Sayang sekali, Guru tidak tahu kalau Paman dan Bibi Lin ada di sini.”
Lin Zhennan dan istrinya sangat gembira mendengar cerita Linghu Chong. Ia pun berkata dengan napas tersengal-sengal, “Semoga... semoga Pingzhi bisa segera... segera datang. Kalau tidak... kalau tidak, kami mungkin sudah....” Dari suaranya yang sangat payah itu, sepertinya ajal Lin Zhennan sudah semakin dekat.
Linghu Chong ingin sekali membantu menyalurkan tenaga dalam untuk mengobati lukanya, namun saat itu ia sendiri juga belum sembuh benar. Maka, yang bisa ia lakukan hanya berkata, “Paman Lin hendaknya jangan bicara lagi. Sebentar lagi Guru mungkin melewati tempat ini. Beliau pasti bisa menyembuhkan luka kalian berdua.”
Lin Zhennan tersenyum getir. Sejenak ia memejamkan mata kemudian berkata lagi dengan suara lirih, “Keponakan Linghu, aku... aku sudah tidak... tidak tahan lagi. Aku sangat gembira... Pingzhi bisa menjadi murid... Huashan. Kumohon kau... kau sudi menjaganya....”
“Paman Lin tidak perlu khawatir,” sahut Linghu Chong. “Tentu saja Adik Pingzhi tidak hanya kuanggap sebagai adik seperguruan, tetapi juga akan kuperlakukan seperti adik kandung sendiri. Apalagi Paman Lin sudah berpesan seperti itu, tentu aku akan lebih melindunginya lagi.”
“Budi baik Keponakan Linghu tidak akan pernah kami lupakan,” ujar Nyonya Lin ikut bicara. “Kami akan selalu mengingatnya... meskipun berada di alam baka sana.”
“Aku mohon Paman dan Bibi beristirahat saja. Jangan bicara lagi,” ujar Linghu Chong.
Namun Lin Zhennan tidak menghiraukan larangan Linghu Chong. Ia tetap saja berbicara meskipun dengan napas tersengal-sengal, “Tolong sampaikan... pesan terakhir kami kepada Pingzhi..... Katakan kepadanya... bahwa, di dalam rumah lama Keluarga Lin... di Gang Matahari, di Kota Fuzhou... terdapat benda pusaka... warisan leluhur. Seharusnya dia... menjaga benda itu dengan baik. Tapi... tapi menurut pesan leluhur, setiap anggota keluarga Lin, jangan sampai... jangan sampai membuka dan memeriksa... benda itu, karena... karena bisa mendatangkan... malapetaka besar.”
“Baiklah, pesan Paman Lin akan kusampaikan kepada Adik Pingzhi,” sahut Linghu Chong.
“Terima... terima... kas....” belum sempat kata-katanya selesai, napas Lin Zhennan sudah lebih dulu berhenti. Ketua Biro Ekspedisi Fuwei itu telah meninggal dunia.
Rupanya selama beberapa hari ini Lin Zhennan telah merasakan berbagai macam siksaan yang dilakukan Yu Canghai. Demi untuk menyampaikan wasiat leluhur tersebut kepada Lin Pingzhi, ia berusaha keras melawan kematian. Kini begitu mendengar nasib putranya ternyata dalam keadaan aman, ia merasa sangat lega. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga ia menyampaikan wasiat tersebut kepada Linghu Chong, dan setelah itu ia pun merasa tenang meninggalkan dunia fana.
Terdengar Nyonya Lin berkata, “Pendekar Muda Linghu, tolong kau sampaikan kepada Pingzhi supaya tidak melupakan sakit hati ayah-ibunya.” Usai berkata demikian ia lantas membenturkan kepalanya pada tiang batu tempat tangannya tadi diikat. Wanita itu pun meninggal pula dengan kepala remuk, menyusul sang suami.

Linghu Chong menerima wasiat dari Lin Zhennan.
(Bersambung)

bagian 20 ; halaman muka ; bagian 22