Bagian 45 - Mendapat Enam Pelayan

Ping Yizhi memeriksa sakit Linghu Chong.

Ping Yizhi kembali berkata dengan nada dingin, “Karena julukanku adalah Si Tabib Sakti Pembunuh, maka apa susahnya kalau hanya membunuh satu atau dua orang?”

“Apa susahnya membunuh seseorang?” tanya Dewa Bunga Persik. “Tapi kau cuma pandai membunuh dan tidak becus mengobati orang. Sungguh percuma kau memakai julukan Tabib Sakti segala.”

“Siapa bilang aku tidak becus mengobati orang?” teriak Ping Yizhi gusar, “Aku telah membedah dada mayat hidup ini. Urat nadinya yang putus sudah kusambung pula. Setelah sembuh nanti dia akan sehat seperti sediakala. Ilmu silatnya juga tidak akan punah. Hanya dengan begitu kalian akan tahu kehebatan Si Tabib Pembunuh yang sebenarnya.”

“Aha, ternyata kau dapat menyelamatkan adik keenam kami! Jika begitu kami telah salah memarahimu,” seru lima bersaudara sekaligus dengan perasaan sangat gembira.

“Kalau begitu, kenapa tidak segera kau lanjutkan? Dada Adik Keenam sudah kau bedah, darahnya mengucur terus. Kalau tidak lekas diobati tentu akan terlambat,” sambung Dewa Akar Persik.

“Yang jadi tabib itu kau atau aku?” tanya Ping Yizhi galak.

“Sudah tentu kau, buat apa bertanya lagi?” balas Dewa Akar Persik.

“Kalau begitu dari mana kau tahu apakah akan terlambat atau tidak?” desak Ping Yizhi. “Sesudah membedah dadanya tentu aku siap mengobati dia. Tapi bagaimana aku bisa bekerja kalau kalian berlima setan alas keburu datang dan kemudian ribut tak menentu? Bukankah aku tadi telah menyuruh kalian untuk berpesiar ke Kuil Jenderal Yang, kemudian Kuil Jenderal Niu, dan Kuil Jenderal Zhang selama seharian penuh? Sekarang mengapa kalian cepat kembali?”

“Hei, lekas kau mulai saja! Sekarang justru kau sendiri yang rewel, bukan kami,” sahut Dewa Dahan Persik.

Ping Yizhi melotot sejenak kepadanya. Sejenak kemudian orang itu membentak, “Ambilkan jarum dan benang!”

Kelima bersaudara, serta suami-istri Yue yang berada di luar sampai terkejut oleh suara bentakan yang menggelegar itu. Jantung setiap orang sampai berdebar kencang dibuatnya. Tak lama kemudian muncul seorang wanita tinggi kurus melangkah masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa sebuah nampan kayu. Tanpa bersuara ia lalu menaruh nampan tersebut di atas meja. Wanita itu berusia empat puluhan. Wajahnya pucat bagaikan mayat, telinganya lebar, serta matanya sayu seperti orang sakit-sakitan.

“Kalian telah memintaku menyelamatkan saudara kalian ini. Apakah kalian sudah tahu peraturanku?” tanya Ping Yizhi kemudian.

“Sudah tentu kami tahu,” jawab Dewa Akar Persik. “Tak peduli harus membunuh siapa, silakan kau katakan saja. Sudah pasti kami tidak akan mengecewakanmu.”

“Baiklah jika begitu,” ujar Ping Yizhi sambil mengangguk. “Tapi sekarang aku belum tahu siapa orang yang harus dibunuh. Nanti kalau aku sudah ingat baru akan kukatakan pada kalian. Sekarang kalian harus berdiri di pinggir sana, dilarang mengeluarkan suara. Bersuara sedikit saja aku akan segera berhenti bekerja. Persetan dengan hidup atau mati kawanmu ini. Aku tidak peduli lagi.”

Sejak kecil Enam Dewa Lembah Persik selalu tidur bersama dalam satu kamar, dan makan bersama dalam satu meja, sambil selalu bicara satu sama lain. Meskipun sedang tidur mereka tetap mengigau, jarang diperintah orang sesukanya. Namun sekarang mereka diharuskan diam tanpa suara, kecuali saling pandang saja. Tapi begitu membayangkan sedikit suara saja bisa membuat nyawa adik mereka melayang, membuat mereka bergidik ngeri. Maka, demi menyelamatkan sang adik keenam, tidak ada jalan lain kecuali berdiri dengan mulut tertutup, bahkan bernafas panjang atau kentut juga tidak berani.

Sementara itu Ping Yizhi telah mengambil sebuah jarum besar dari nampan di atas meja. Setelah memasang benang putih bening secukupnya pada pangkal jarum tersebut, ia lalu menjahit dada Dewa Buah Persik yang terbedah itu. Jari-jari tangannya pendek dan tebal seperti wortel, namun gerakannya lincah melebihi anak gadis yang pandai menyulam. Hanya sekejap saja ia sudah selesai menjahit rapat jalur luka sepanjang belasan senti tersebut.

Setelah itu Tabib Ping mengambil berbagai macam obat, baik itu yang berupa serbuk ataupun cairan untuk dibubuhkan pada luka bedah Dewa Buah Persik. Kemudian ia meminumkan beberapa macam cairan obat ke mulut si pasien. Terakhir ia membersihkan noda darah di dada dengan sehelai kain basah.

Sementara itu si wanita tinggi kurus sejak tadi berdiri di samping Ping Yizhi untuk membantu, misalnya mengembalikan jarum atau memberikan obat. Gerak-geriknya juga sangat cepat dan lancar.

Ping Yizhi kemudian memandang ke arah lima Dewa Lembah Persik lainnya. Melihat bibir kelima orang itu bergerak-gerak, seolah ingin lekas-lekas diizinkan bicara, sang tabib pun berkata, “Kawanmu ini belum hidup kembali. Tunggu sesudah dia sadar baru kalian boleh bicara.”

Tentu saja kelima orang tua aneh itu bertambah jengkel. Namun mereka hanya bisa saling pandang dan menyeringai. Ping Yizhi sendiri tidak menghiraukan kelima bersaudara itu. Ia hanya mendengus, kemudian duduk di samping. Sementara si wanita tinggi kurus lantas menyingkirkan nampan yang berisi jarum, benang, pisau bedah, dan peralatan lainnya ke dalam.

Yue Buqun dan Ning Zhongze yang masih mengintip di luar jendela pun menahan nafas. Saat itu keadaan sangat sunyi, sehingga sedikit saja bergerak pasti akan diketahui oleh orang-orang yang berada di dalam rumah.

Selang agak lama, Ping Yizhi berdiri dan berjalan mendekati Dewa Buah Persik. Tiba-tiba saja ia menepuk titik Bai-Hui pada ubun-ubun si pasien yang masih terbaring itu.

“Ah!” seru enam orang bersamaan. Yang lima adalah kelima Dewa Lembah Persik yang menonton, sedangkan yang satu lagi adalah suara si pasien, yaitu Dewa Buah Persik sendiri.

Setelah menjerit kaget, Dewa Buah Persik langsung bangun dan memaki, “Keparat! Mengapa kau pukul kepalaku?”

Ping Yizhi balas memaki, “Keparat, jika aku tidak menyalurkan tenaga dalam ke titik Bai-Hui di kepalamu, apa kau bisa sembuh secepat ini?”

“Keparat! Sembuh cepat atau lambat, bukan urusanmu!” bentak Dewa Buah Persik.

“Keparat! Jika kau tidak sembuh cepat, bagaimana orang-orang bisa tahu kehebatan Si Tabib Sakti Pembunuh? Kau pikir apa aku tidak risih jika kau berlama-lama tidur di rumahku?” bentak Ping Yizhi pula.

“Keparat! Jadi kau anggap aku ini mengganggu? Baik, biar aku pergi sekarang juga. Memangnya aku ingin tinggal di sini?” sahut Dewa Buah Persik. Usai berkata, serentak ia berdiri dan terus melangkah pergi.

Kelima Dewa Lembah Persik yang lain tidak menyangka bahwa adik bungsu mereka bisa sembuh secepat ini dan bisa berjalan keluar kamar dengan langkah cepat pula. Dalam perasaan terkejut bercampur gembira, mereka pun menyusul keluar melewati pintu kamar.

Sementara itu Yue Buqun dan istrinya hanya bisa terkagum-kagum menyaksikan pemandangan itu. Mereka sama-sama berpikir, “Ilmu pengobatan Tabib Ping sungguh menakjubkan. Tenaga dalamnya juga luar biasa. Saat ia menepuk titik Bai-Hui pada kepala pasiennya tadi, ia pasti menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi untuk membuat si pasien bangun seketika.

Ketika Enam Dewa Lembah Persik sudah pergi jauh, Ping Yizhi pun berjalan menuju ruangan lain. Yue Buqun memberi isyarat untuk mengajak istrinya pergi. Keduanya pun melangkah perlahan-lahan. Ketika jarak dengan rumah Tabib Ping sudah agak jauh, mereka pun menambah kecepatan dalam melangkahkan kaki.

“Tenaga dalam Tabib Ping sungguh luar biasa, sedangkan kelakuannya sungguh aneh,” ujar Ning Zhongze di tengah jalan.

Yue Buqun menanggapi, “Karena Enam Dewa Lembah Persik juga berada di kota Kaifeng sini, sebaiknya kita lekas pergi. Tidak ada untungnya kita mencari masalah dengan mereka.”

Ning Zhongze tidak menanggapi lagi ucapan sang suami. Seumur hidup baru beberapa bulan terakhir ini ia merasakan kesialan yang bertubi-tubi. Suaminya adalah ketua Perguruan Huashan, sekaligus tokoh penting dalam Serikat Pedang Lima Gunung yang terhormat, namun terpaksa harus menyingkir kesana kemari. Seolah-olah di dunia ini tiada lagi tempat berteduh yang aman bagi mereka. Di antara dirinya dengan sang suami selalu bertukar pikiran tanpa ada yang ditutup-tutupi. Namun apabila membicarakan masalah ini, buru-buru mereka mengubah bahan pembicaraan karena merasa kejadian meninggalkan perguruan sungguh sangat memalukan. Kini begitu menyaksikan Dewa Buah Persik ternyata masih hidup jelas sangat melegakan hati pasangan suami-istri tersebut. Rasanya bagaikan sebongkah batu besar telah dipindahkan dari kepala mereka.

Tidak lama kemudian keduanya telah tiba kembali di Kuil Jenderal Yang. Tampak Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, serta Lao Denuo dan murid-murid Huashan lainnya menunggu dengan perasaan cemas di ruangan belakang.

“Mari kita kembali ke kapal!” ajak Yue Buqun.

Para murid sudah mengetahui kalau Enam Dewa Lembah Persik berada di sekitar situ, sehingga tanpa banyak bertanya mereka pun buru-buru melangkah pergi mengikuti perintah sang guru.

Begitu sampai di atas kapal, Lao Denuo segera berbicara kepada jurumudi supaya segera berangkat. Namun tiba-tiba saja terdengar suara para Dewa Lembah Persik berteriak-teriak dari jauh.

“Linghu Chong! Linghu Chong! Di mana kau?”

Kontan saja wajah Yue Buqun dan murid-muridnya bertambah pucat. Sekejap kemudian terlihat enam orang berjalan cepat sampai ke tepi sungai. Mereka adalah lima orang Dewa Lembah Persik beserta Tabib Ping Yizhi. Karena kelima Dewa Lembah Persik mengenali Yue Buqun suami-istri, mereka pun bersorak-sorak kegirangan. Dalam sekejap kelima orang tua aneh itu sudah mendarat di atas kapal.

Ning Zhongze langsung saja melolos pedangnya dan bersiap menusuk ke arah Dewa Akar Persik. Namun Yue Buqun juga mencabut pedangnya dan menangkis pedang sang istri ke bawah sambil berkata, “Jangan gegabah!”

Saat itu haluan kapal agak tenggelam ketika kelima Dewa Lembah Persik mendarat. Dewa Akar Persik berseru, “Linghu Chong, kau sembunyi di mana? Mengapa tidak lekas keluar?”

“Untuk apa aku bersembunyi? Memangnya aku takut pada kalian?” seru Linghu Chong dengan nada gusar.

Tiba-tiba kapal kembali oleng karena Ping Yizhi si Tabib Sakti Pembunuh telah mendarat pula.

Diam-diam Yue Buqun berpikir, “Mengapa mereka menyusul kemari? Jangan-jangan mereka telah mengetahui perbuatan kami yang mengintip tadi? Orang-orang aneh dari Lembah Persik saja sudah sukar dilayani, apalagi sekarang bertambah dengan si tabib pula. Aih, apakah jiwa kami hari ini akan melayang di kota Kaifeng ini?”

Tiba-tiba Ping Yizhi bertanya dengan sopan dan penuh hormat, “Bolehkah aku bertanya, yang mana Saudara Linghu?”

“Aku Linghu Chong. Bolehkah aku bertanya siapakah nama Tuan yang mulia ini dan ada keperluan apa?” jawab Linghu Chong yang kemudian melangkah maju perlahan-lahan.

Ping Yizhi mengamati pemuda itu dari atas ke bawah, lalu berkata, “Seseorang telah memintaku untuk mengobatimu.” Usai berkata demikian, ia langsung memegang pergelangan tangan Linghu Chong dan memeriksa denyut nadi pemuda itu menggunakan jari telunjuk kanan.

“Hei,” seru Ping Yizhi sambil mengerutkan kening begitu merasakan aliran darah Linghu Chong. Selang sejenak dahinya semakin berkerut dan ia kembali berseru kaget, “Eh!”

Sambil tetap memeriksa, Tabib Ping menengadah pula dengan tatapan kosong sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. “Aneh! Sungguh aneh!” ucapnya.

Sekian lama kemudian ia ganti memegang lengan Linghu Chong yang lain. Namujn begitu jarinya merasakan denyut nadi si pemuda, tiba-tiba saja ia bersin kemudian berkata, “Sangat aneh! Selama hidupku belum pernah menemukan penyakit seaneh ini.”

Dewa Akar Persik yang tidak mampu lagi untuk menahan tidak bicara, langsung bertanya, “Apanya yang aneh? Dia terluka dalam pada saluran jantung. Sudah lama aku menyembuhkan dia dengan hawa murni dari tenaga dalamku.”

“Mengapa kau masih bersikeras kalau bocah ini terluka pada saluran jantung? Sudah jelas ia terluka pada saluran paru-paru. Jika bukan aku yang menyalurkan hawa murni untuk membuka titik pada saluran paru-parunya, mana mungkin dia bisa bertahan hidup sampai sekarang?” tukas Dewa Dahan Persik.

Langsung saja Dewa Ranting Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik tidak mau kalah dan ikut berdebat. Masing-masing dari mereka menyatakan diri sebagai orang yang paling berjasa mengobati Linghu Chong.

“Kentut! Kentut semuanya!” bentak Ping Yizhi dengan suara lantang.

“Kentut apanya?” sahut Dewa Akar Persik gusar. “Kau yang kentut, atau kami lima saudara yang kentut?”

“Kalian yang kentut!” jawab Tabib Ping. “Jelas-jelas di dalam tubuh Saudara Linghu ini ada dua arus hawa murni yang lebih kuat. Rasa-rasanya itu adalah tenaga dalam yang disalurkan oleh Biksu Bujie. Selain itu ada enam arus hawa murni pula yang lebih lemah. Keenamnya ini yang mungkin berasal dari kalian, manusia-manusia tolol.”

Yue Buqun dan Ning Zhongze saling pandang. Masing-masing mereka berpikir, “Ping Yizhi ini benar-benar luar biasa. Dalam sekali pegang ia langsung dapat mengetahui adanya delapan arus hawa murni di dalam tubuh Chong’er, dan yang lebih hebat lagi ia juga mampu mengetahui asal-usulnya, bahwa dua di antaranya berasal dari Biksu Bujie.”

Terdengar Dewa Dahan Persik berseru gusar, “Mengapa kau bilang tenaga kami berenam lebih lemah daripada si gundul Bujie? Sudah jelas tenaga kami lebih kuat, dia yang lebih lemah!”

“Huh, dasar tak tahu malu!” seru Ping Yizhi. “Dia seorang diri tapi tenaga dalamnya mampu mengatasi tenaga kalian berenam sekaligus. Apakah kalian merasa masih lebih kuat dari dia? Si tua Bujie memang tak punya otak, tapi ilmu silatnya luar biasa.”

Menanggapi itu Dewa Bunga Persik segera menjulurkan sebuah jarinya untuk pura-pura hendak memeriksa nadi Linghu Chong, sambil berkata, “Hm, menurut pemeriksaanku, jelas tenaga dalam kami berenam telah mendesak tenaga si gundul Bujie hingga tak bisa bergerak…. Aih!” Tiba-tiba ia merasa jarinya seperti digigit orang. Buru-buru ia menarik kembali jarinya sambil memaki-maki, “Oh! Aduh! Keparat!”

Ping Yizhi tertawa senang. Semua orang yang melihat yakin kalau si tabib sakti ini diam-diam menyalurkan tenaga dalamnya melalui tubuh Linghu Chong untuk “menyetrum” jari Dewa Bunga Persik.

Setelah berhenti tertawa, wajah Ping Yizhi berubah serius dan ia berkata, “Kalian harus menunggu di kabin kapal sana! Siapa pun dilarang bicara! Aku tidak ingin mendengar sepatah kata apapun dari kalian!”

“Persetan kau!” bentak Dewa Daun Persik tidak setuju. “Memangnya kami ini siapa harus tunduk pada perintahmu?”

Ping Yizhi balas bertanya, “Bukankah kalian sudah bersumpah akan membunuh seseorang untukku?”

“Benar. Kami memang menyanggupi akan membunuh seseorang untukmu, tapi kami tidak berjanji akan menuruti perintahmu,” sahut Dewa Ranting Persik.

“Menuruti perintahku atau tidak memang adalah hak kalian,” kata Tabib Ping. “Tapi bagaimana kalau kalian kusuruh untuk membunuh adik kalian sendiri, Si Dewa Buah Persik? Bagaimana?”

“Hei, mana boleh begitu?” seru kelima Dewa Lembah Persik bersama-sama. “Baru saja kau menyembuhkan dia, mana boleh kau suruh kami membunuhnya?”

“Coba jawab, kalian telah bersumpah apa di hadapanku?” tanya Ping Yizhi.

“Kami bersumpah apabila kau dapat menolong jiwa adik keenam kami, maka kami akan menuruti permintaanmu untuk membunuh satu orang untukmu, tidak peduli siapa pun dia yang harus dibunuh,” jawab Dewa Akar Persik.

“Betul,” kata Ping Yizhi mengangguk. “Dan sekarang apakah aku sudah menyelamatkan nyawa saudara kalian?”

“Sudah!” jawab Dewa Bunga Persik.

“Dia orang atau bukan?” desak Ping Yizhi.

“Tentu saja orang, memangnya kau kira dia siluman?” kata Dewa Daun Persik.

“Bagus. Dan sekarang aku minta kalian pergi membunuh satu orang. Orang itu adalah Dewa Buah Persik!” seru Ping Yizhi mantap.

Seketika kelima Dewa Lembah Persik itu saling pandang dan saling menggeleng karena permintaan Ping Yizhi ini sangat sukar dibayangkan. Mereka merasa permintaan ini tidak masuk akal tapi tidak ada yang mampu membantahnya.

“Tampaknya kalian enggan membunuh Dewa Buah Persik, bukan? Baiklah, sekarang apakah kalian bersedia menuruti perintaahku? Silakan kalian boleh berdiam di kabin kapal sana. Aku suruh kalian duduk tenang dan siapa pun tidak boleh bicara dan bergerak,” kata Ping Yizhi.

Dewa Akar Persik dan keempat adiknya segera menjalankan perintah tersebut. Hanya dalam sekejap mereka sudah duduk tegak di dalam kabin kapal dengan tangan bersimpuh di atas lutut dan tidak berani cerewet lagi.

“Tabib Ping,” sahut Linghu Chong, “konon jika kau menolong seseorang selalu dengan syarat, yaitu bila orang itu sudah disembuhkan, maka orang itu diharuskan membunuh seseorang untukmu. Benarkah demikian?”

“Benar. Memang demikian peraturan yang kutetapkan,” jawab Ping Yizhi.

“Kalau begitu aku tidak sudi membunuh seseorang untukmu. Maka, kau pun tidak perlu bersusah payah mengobati penyakitku,” kata Linghu Chong.

“Huh!” Ping Yizhi mendengus agak kurang percaya. Kembali ia memandangi Linghu Chong dari atas ke bawah, kalau-kalau ada kelainan pada pemuda itu. Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Pertama, penyakitmu terlalu berat, aku merasa belum mampu menyembuhkannya. Kedua, andaikan aku dapat menyembuhkanmu, maka sudah ada orang lain yang sanggup membunuh orang untukku. Kau sendiri tidak perlu turun tangan.”

Semenjak Yue Lingshan berhubungan akrab dengan pemuda lain, Linghu Chong yang patah hati merasa telah kehilangan semua gairah hidupnya. Dan sekarang, begitu mendengar sang tabib sakti yang termashur itu pun tidak mampu menyembuhkan penyakitnya, mau tidak mau hatinya merasa semakin sedih.

Yue Buqun dan istrinya kembali berpandangan sambil sama-sama berpikir, “Siapa gerangan orang yang telah meminta tolong Ping Yizhi untuk mengobati Chong’er, sehingga mampu membuat Si Tabib Sakti Pembunuh meninggalkan rumah? Kira-kira ada hubungan apa orang itu dengan Chong’er?”

Ping Yizhi kembali berkata, “Adik Linghu, ada delapan arus hawa murni mendesak-desak di sekujur tubuhmu, yang tak dapat dipadamkan, tak dapat dimusnahkan, tak dapat dijinakkan, juga tak dapat dikalahkan. Yang mana jika dipaksakan justru membuatmu bertambah menderita. Aku telah diminta seseorang untuk mengobati penyakitmu. Bukannya aku melepas tanggung jawab, tapi ini menyangkut hawa murni dan tenaga dalam. Sukar diobati begitu saja, tidak seperti penyakit biasa. Selama melakukan pengobatan belum pernah kutemukan penyakit seaneh ini. Aduh, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh aku sangat malu.”

Sambil bicara ia mengambil sebuah botol porselen kecil dari balik baju, kemudian menuang sepuluh butir pil berwarna merah tua di tangan. “Ini adalah sepuluh butir pil Meringankan Jantung yang terbuat dari bahan-bahan yang sangat langka. Butuh waktu lama bagiku untuk menciptakan pil ini. Mulai sekarang setiap sepuluh hari boleh kau minum satu butir pil ini, sehingga dapat memperpanjang umurmu paling tidak selama seratus hari.”

“Terima kasih banyak!” jawab Linghu Chong yang menerima pemberian itu dengan sikap penuh hormat.

Ping Yizhi lantas memutar tubuh ke arah tepi sungai. Namun sebelum melompat ke daratan, tiba-tiba ia berpaling lagi dan berkata, “Di dalam botol ini masih ada dua butir, biarlah kuberikan semuanya padamu.” Ia kemudian menjulurkan tangannya yang memegang botol porselen tadi kepada Linghu Chong.

Namun Linghu Chong tidak mau menerima. Ia hanya menjawab, “Obat ini pasti obat bagus, tentu Tuan Tabib memperlakukannya bagaikan pusaka. Khasiatnya yang manjur mungkin lebih baik jika digunakan oleh pasien yang lebih membutuhkan. Maka itu sebaiknya kau simpan kembali saja. Sekalipun aku dapat hidup lebih lama sepuluh hari atau dua puluh hari juga tidak ada manfaatnya lagi, baik untuk diriku sendiri maupun untuk orang lain.”

Sejenak Ping Yizhi melirik Linghu Chong dan mengamat-amati pemuda itu, kemudian bergumam, “Tidak memikirkan hidup atau mati. Benar-benar jiwa seorang laki-laki sejati. Hm, memang pantas… memang pantas…. Aih, sungguh memprihatinkan! Maafkan aku!”

Tabib bertubuh pendek itu terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya yang besar, kemudian melompat turun dari atas kapal dan mendarat di daratan. Dengan langkah cepat ia sudah pergi dan lenyap ditelan kegelapan malam. Ia datang dan pergi sesuka hati, sama sekali tidak menganggap keberadaan seorang tokoh seperti Yue Buqun sang ketua Perguruan Huashan. Tentu saja Yue Buqun diam-diam merasa sangat kesal. Namun saat itu di dalam kapal itu masih duduk lima orang aneh. Untuk mengusir mereka jelas tidak mudah.

Kelima Dewa Lembah Persik masih terlihat duduk diam di kabin kapal dengan tangan di atas lutut dan pandangan mata ke bawah, seolah-olah sedang bermeditasi. Yue Buqun merasa serbasalah. Jika ia memerintahkan jurumudi menjalankan kapal, maka kelima orang aneh itu pasti ikut terbawa serta. Namun jika ia menunda keberangkatan kapal, entah akan memakan waktu berapa lama kelima orang itu duduk di sana. Yang perlu dikhawatirkan pula adalah jika secara tiba-tiba mereka berlima menyerang Ning Zhongze untuk membalas dendam adik bungsu mereka yang terluka. Sementara itu Lao Denuo, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan lainnya telah menyaksikan bagaimana mereka menarik tubuh Cheng Buyou hingga putus menjadi empat potong, sehingga sampai sekarang pun masih terbayang pemandangan yang mengerikan itu. Para murid hanya berani saling pandang dan sama sekali tidak berani melihat ke arah kelima orang aneh tersebut.

Linghu Chong sendiri berjalan mendekati dan bertanya, “Hei, mengapa kalian masih di sini?”

“Kami harus duduk tenang di sini, tidak boleh sembarangan bicara dan bergerak,” jawab Dewa Akar Persik.

“Kami hendak berangkat. Silakan kalian kembali ke daratan saja!” kata Linghu Chong.

“Ping Yizhi berpesan kepada kami supaya duduk tenang di buritan kapal ini. Kalau kami sembarangan bicara dan bergerak, tentu kami akan disuruh membunuh saudara kami sendiri. Sebab itulah kami harus tetap duduk di sini dengan tenang, tidak boleh bicara atau bergerak,” sahut Dewa Ranting Persik.

Sungguh tak tertahan betapa geli perasaan Linghu Chong. Ia pun tertawa dan berkata, “Tabib Ping sundah mendarat sejak tadi. Sekarang kalian sudah boleh bicara dan bergerak.”

“Tidak boleh! Tidak boleh! Jika dia ternyata melihat kami berbicara dan bergerak, lantas bagaimana? Urusan ini bisa runyam,” ujar Dewa Bunga Persik sambil menggeleng.

Pada saat itulah tiba-tiba dari arah daratan terdengar suara seseorang yang agak serak memanggil-manggil, “Hei, di mana kelima siluman jelek itu?”

“Apakah orang itu mencari kita?” sahut Dewa Akar Persik.

“Mana mungkin dia mencari kita? Memangnya kita ini mirip siluman?” tanya Dewa Ranting Persik.

Suara serak kembali terdengar, “Di sini aku membawa satu siluman lagi yang baru saja disembuhkan oleh Tabib Ping. Kalian mau ambil dia atau tidak? Kalau tidak, biar kubuang saja ke sungai saja untuk umpan ikan.”

Mendengar itu, serentak kelima Dewa Persik melompat keluar kapal dan berdiri di tepi sungai. Terlihat wanita setengah baya tinggi kurus yang tadi membantu praktik pengobatan Ping Yizhi sedang berdiri di sana. Tangan kiri wanita itu menjulur lurus ke samping menjinjing sebuah tandu. Di atas tandu itu tampak Dewa Buah Persik rebah telentang. Sungguh tak disangka wanita yang kurus kering seperti berpenyakitan itu ternyata memiliki tenaga sedemikian besar. Ia menjinjing tubuh Dewa Buah Persik yang beratnya lebih dari lima puluh kilo ditambah dengan tandu kayu tersebut, tampak sedikit pun tidak mengalami kesulitan.

Dengan cepat Dewa Akar Persik menanggapi ucapan wanita tadi, “Sudah tentu kami mau, mengapa tidak?”

“Kenapa kau memaki kami? Mengapa kau bilang kami siluman?” gerutu Dewa Ranting Persik.

“Padahal wajahnya juga tidak lebih baik daripada kita,” sahut Dewa Buah Persik yang tergeletak di atas tandu ikut bicara. Setelah diobati dan ditepuk kepalanya oleh Tabib Ping untuk mendapatkan penyaluran tenaga dalam, ia pun pergi begitu saja meninggalkan rumah si tabib. Namun baru menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, Dewa Buah Persik jatuh pingsan di tengah jalan karena kehabisan banyak darah. Ia kemudian ditemukan si wanita kurus dan dibawa kembali untuk diobati. Meskipun lukanya belum sembuh benar, namun mulutnya tetap terampil dalam berbicara dan memaki si wanita kurus.

Wanita kurus itu berkata dengan dingin, “Apakah kalian tahu, selama hidup Tabib Ping paling takut dengan apa?”

“Tidak tahu,” jawab kelima Dewa Lembah Persik bersamaan. “Memangnya dia takut apa?”

“Dia paling takut pada istri!” ucap si wanita kurus.

Enam Dewa Lembah Persik pun bergelak tawa mendengar jawaban itu. Mereka berkata, “Tabib Ping yang tidak takut pada langit dan tidak gentar pada bumi ternyata takut istri. Hahaha, sungguh menggelikan!”

“Apanya yang menggelikan? Aku inilah istrinya!” bentak si wanita kurus.

Seketika Enam Dewa Lembah Persik langsung diam, tidak berani bersuara lagi.

Si wanita kurus melanjutkan, “Segala perintahku pasti akan ia turuti. Jika aku ingin membunuh siapa tentu ia akan menyuruh kalian membunuhnya.”

“Ya, ya, Nyonya Ping ingin membunuh siapa?” sahut Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

Wanita kurus itu tidak menjawab, melainkan sorot matanya yang tajam terus menatap ke arah Yue Buqun, lalu Ning Zhongze, Yue Lingshan, dan orang-orang Huashan lainnya. Setiap orang yang dipandanginya pasti merinding dan berkeringat dingin. Mereka sadar, sekali Nyonya Ping menunjuk salah seorang di antara mereka, maka seketika itu pula kelima Dewa Lembah Persik pasti akan melompat maju dan merobek menjadi empat potong. Bahkan tokoh sakti seperti Yue Buqun juga sulit untuk menghindar.

Sorot mata wanita kurus itu perlahan dialihkan kembali ke arah para Dewa Lembah Persik. Jantung keenam orang aneh itu juga ikut berdebar-debar.

“Hm!” wanita itu mendengus.

“Ya, ya,” jawab Enam Dewa Lembah Persik bersama-sama.

“Sekarang aku belum bisa menentukan ingin membunuh siapa,” kata wanita itu. “Tapi Tabib Ping sudah mengatakan bahwa di dalam perahu ini ada seorang tuan muda bermarga Linghu, Linghu Chong yang sangat dihormati olehnya. Maka itu, kalian harus melayani Tuan Muda Linghu dengan sebaik-baiknya sampai Tuan Muda Linghu meninggal dunia. Apa yang dikatakan Tuan Muda Linghu harus kalian kerjakan. Segala perintahnya harus kalian patuhi dan tidak boleh kalian bantah.”

“Melayani sampai dia meninggal dunia?” sahut Enam Dewa Lembah Persik heran.

“Benar! Melayani sampai dia meninggal dunia,” jawab Nyonya Ping. “Tapi umurnya hanya tinggal seratus hari saja. Dalam seratus hari ini kalian harus mematuhi segala perintahnya.”

Mendengar tugas mereka hanya sebatas seratus hari saja, serentak Enam Dewa Lembah Persik bersorak gembira, “Hanya melayani dia seratus hari saja rasanya tidak sukar.”

Tiba-tiba Linghu Chong menyela, “Terhadap maksud baik Tabib Ping sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Namun aku tidak berani merepotkan Enam Dewa Lembah Persik. Tolong izinkan mereka mendarat saja, dan sekarang juga aku mohon diri.”

Wajah Nyonya Ping terlihat datar, sedikit pun tidak terlihat senang ataupun gusar. Ia hanya berkata dengan dingin, “Tabib Ping mengatakan bahwa penyakit Tuan Muda Linghu disebabkan oleh keenam orang tolol ini. Bukan saja Tuan Muda Linghu yang akan mati karenanya, bahkan juga membuat Tabib Ping malu karena tidak sanggup menyembuhkan penyakitmu. Akibatnya, Tabib Ping tidak dapat pula bertanggung jawab kepada orang yang memintanya mengobatimu. Untuk ini keenam orang tolol ini harus diberi hukuman yang setimpal. Sebenarnya Tabib Ping hendak menyuruh mereka membunuh salah seorang saudara mereka sendiri sesuai dengan sumpah mereka, tapi sekarang mereka diberi kelonggaran. Mereka hanya dihukum sebagai pelayan Tuan Linghu.” Setelah berhenti sejenak, wanita kurus itu melanjutkan, “Kalau keenam orang tolol ini berani membantah perintahmu, bila sampai terdengar oleh Tabib Ping, maka Tabib Ping segera akan mengambil nyawa salah seorang dari mereka dengan secepatnya.”

Dewa Bunga Persik menyahut, “Karena penyakit Adik Linghu ini gara-gara perbuatan kami, sudah sepantasnya kalau kami merawat dia sebagaimana mestinya. Laki-laki sejati tahu kapan waktunya membalas budi dan dendam.”

“Benar, seorang laki-laki rela berkorban untuk kesulitan kawan. Apalagi hanya merawat penyakit saja, tentu sangat mudah,” sahut Dewa Ranting Persik.

“Lukaku ini telah dirawat orang hingga sembuh. Sudah sepantasnya aku juga merawat orang lain dengan sebaik-baiknya. Tentu semua pihak akan senang,” kata Dewa Buah Persik.

“Aih, sayang sekali kami hanya bisa merawat lukanya selama seratus hari saja. Sungguh pendek waktunya,” ujar Dewa Dahan Persik.

Dewa Akar Persik menanggapi, “Pepatah menagatakan, seribu Li pun akan ditempuh demi mendengar kesulitan kawan. Kami enam bersaudara tidak pernah mengabaikan jika ada kawan yang kesusahan….”

Di tengah berisiknya suara keenam orang tua aneh itu, Nyonya Ping hanya melotot kemudian melangkah pergi.

Dewa Dahan Persik dan Dewa Ranting Persik segera mengangkat tandu yang berisi Dewa Buah Persik tadi dan membawanya melompat ke atas kapal diikuti saudara-saudaranya yang lain.

Dewa Akar Persik lantas berteriak, “Angkat sauh, jalankan kapalnya!”

Linghu Chong menyadari kalau ia tidak mungkin lagi bisa mencegah keenam kakek aneh untuk tidak mengikuti rombongan. Maka ia pun berkata, “Eh, keenam Kakak Persik, boleh saja kalau kalian ikut bersama kami. Tapi terhadap guru dan ibu-guruku kalian harus bersikap sopan dan hormat. Inilah perintahku yang pertama. Jika kalian tidak mau menurut, maka sekarang juga aku menolak pelayanan kalian.”

Dewa Daun Persik menjawab, “Enam Dewa Lembah Persik semuanya adalah laki-laki budiman yang penuh tata krama. Jangankan terhadap guru dan ibu-gurumu, bahkan kepada murid atau cucumu juga kami akan menaruh hormat.”

Diam-diam Linghu Chong merasa geli mendengar sebutan laki-laki budiman yang penuh tata krama tersebut. Segera ia pun berkata kepada Yue Buqun, “Guru, keenam bersaudara ini ingin menumpang kapal kita, entah bagaimana pendapat Guru?”

Yue Buqun berpikir keenam orang itu sekarang sudah tidak mencari perkara lagi dengan Perguruan Huashan. Namun mereka berenam kini berada di atas kapal, tetap saja berbahaya dan perlu diwaspadai. Meskipun sepertinya sulit untuk mengusir mereka, namun setidaknya mereka adalah orang-orang bodoh yang bisa diatasi dengan siasat.

Maka sambil mengangguk Yue Buqun pun menjawab, “Baiklah, boleh saja jika mereka menumpang kapal kita. Hanya saja sifatku ini suka ketenangan. Aku tidak suka mendengar mereka ribut mulut dan berdebat sendiri.”

“Ucapan Tuan Yue ini jelas salah,” kata Dewa Ranting Persik. “Manusia dilahirkan dengan sebuah mulut. Selain berguna untuk makan nasi, mulut juga diperlukan untuk bicara. Untuk apa manusia memiliki sepasang telinga kalau bukan untuk mendengarkan pembicaraan orang lain? Jika sifatmu suka ketenangan, berarti kau telah menyia-nyiakan maksud baik Langit yang menciptakan sebuah mulut dan sepasang telinga untukmu.”

Yue Buqun sadar apabila ia menanggapi, tentu kelima Dewa Lembah Persik yang lain akan ikut melibatkan diri dalam adu pendapat. Jika keenam orang itu berbicara maka perdebatan panjang lebar dan tidak perlu pasti akan sulit dihindari. Maka itu, ia hanya tersenyum kemudian berseru lantang, “Jurumudi, berangkatlah!”

Namun tetap saja hal ini memancing Dewa Daun Persik untuk berkata, “Tuan Yue baru saja membuka mulut untuk memerintahkan si jurumudi berangkat. Jika memang kau suka ketenangan, bukankah seharusnya kau cukup memberi isyarat saja?”

“Jurumudi ada di buritan, sedangkan Tuan Yue ada di lambung kapal. Jika Tuan Yue memberi isyarat, mana mungkin si jurumudi bisa melihatnya? Itu namanya sia-sia,” sahut Dewa Dahan Persik.

“Bukankah dia bisa berjalan ke buritan untuk memberi isyarat kepada si jurumudi?” tanya Dewa Akar Persik.

“Bagaimana kalau si jurumudi ternyata tidak paham bahasa isyarat? Bagaimana kalau si jurumudi ternyata salah mengartikan isyarat ‘mulai berlayar’ menjadi ‘tenggelamkan kapal’? Bukankah ini bencana?” tukas Dewa Bunga Persik.

Begitulah, di tengah perdebatan Enam Dewa Lembah Persik, si jurumudi telah mengangkat sauh dan melanjutkan pelayaran.

Sementara itu, Yue Buqun dan Ning Zhongze sama-sama memandangi Linghu Chong, kemudian beralih memandangi Enam Dewa Lembah Persik. Setelah itu keduanya saling pandang dan sama-sama berpikir, “Ping Yizhi berkata bahwa dirinya telah mendapat perintah dari seseorang untuk mengobati Chong’er. Dari kata-katanya tadi terlihat kalau seseorang yang telah memerintahkannya jelas memiliki kedudukan tinggi di dunia persilatan. Itu sebabnya ia lebih menghormati seorang murid daripada ketua Perguruan Huashan. Sebenarnya siapa orangnya yang telah menyuruh Ping Yizhi? Kalau Biksu Bujie jelas tidak mungkin, karena Ping Yizhi tadi telah menyebutnya sebagai biksu tua yang tidak punya otak.”

Sebenarnya sudah sejak lama Yue Buqun suami-istri berniat memanggil Linghu Chong untuk meminta keterangan yang sejelas-jelasnya. Tak disangka, jumlah kesalahpahaman antara guru dan murid semakin bertambah banyak, sehingga mereka merasa kini bukan saat yang tepat untuk menanyai Linghu Chong.

Sewaktu teringat betapa Ping Yizhi yang merupakan tabib paling hebat di dunia persilatan ternyata tidak mampu menyembuhkan Linghu Chong, bahkan meramalkan bahwa umur murid pertama suaminya tinggal seratus hari membuat Ning Zhongze merasa sangat berduka. Tak terasa air mata pun meleleh di pipi wanita itu.

Memberikan obat untuk Linghu Chong.

Enam Dewa Lembah Persik bergabung di kapal.

(Bersambung)