Bagian 23 - Menjalani Hukuman Kurung


Lin Pingzhi menjalani upacara penerimaan murid baru.

“Shan’er, kau jangan suka usil lagi,” sahut Ning Zhongze. Ia kemudian berpaling kepada Lao Denuo dan berkata, “Denuo, coba kau siapkan meja agar Adik Lin-mu bisa segera melakukan upacara sembahyang kepada para leluhur perguruan kita.”
“Baik!” jawab Lao Denuo yang kemudian berangkat melaksanakan perintah sang ibu-guru. Tidak lama kemudian segala peranti upacara telah dipersiapkan dengan baik. Yue Buqun disertai istri dan semua muridnya segera memasuki ruangan persembahyangan.
Begitu memasuki ruangan tersebut, Lin Pingzhi merasakan suasana yang angker dan mendebarkan. Tampak sebilah papan tergantung di tengah ruangan dengan bertuliskan kalimat: “Tenaga dalam mengendalikan pedang”. Pada kedua sisi dinding masing-masing tergantung sebatang pedang kuna, lengkap dengan sarungnya yang berwarna hitam. Lin Pingzhi yakin kalau pedang-pedang itu adalah peninggalan leluhur Perguruan Huashan di masa lampau. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Perguruan Huashan memiliki nama besar di dunia persilatan sebagai anggota golongan putih. Entah sudah berapa banyak nyawa penjahat yang melayang di ujung pedang-pedang itu?”
Yue Buqun berlutut di hadapan altar leluhur, kemudian menyembah sebanyak tiga kali dan berkata, “Hari ini murid bernama Yue Buqun telah menerima seorang murid baru bernama Lin Pingzhi dari Kota Fuzhou. Semoga arwah para leluhur berkenan memberi berkah, supaya Lin Pingzhi giat belajar, menjaga kehormatan, patuh terhadap tata tertib perguruan, dan tidak menjatuhkan nama baik Perguruan Huashan kita.”
Lin Pingzhi segera ikut berlutut dan menyembah sebanyak tiga kali dengan khidmat. Yue Buqun kemudian bangkit dan berkata, “Lin Pingzhi, hari ini kau telah resmi diterima sebagai murid Perguruan Huashan. Kau harus patuh terhadap semua aturan perguruan. Jika sampai melanggar tentu akan mendapat hukuman yang setimpal. Apabila kau melakukan pelanggaran berat, maka hukuman yang kau terima juga tanpa pengampunan. Perguruan kita sudah berjaya selama ratusan tahun. Maka, setiap murid wajib menjaga nama baik perguruan. Semua itu hendaklah kau ingat-ingat dengan baik.”
“Tentu saya akan selalu ingat dan taat kepada ajaran Guru,” jawab Lin Pingzhi.
“Linghu Chong!” seru Yue Buqun kepada murid pertamanya. “Coba kau uraikan apa saja tata tertib perguruan kita agar diketahui oleh Lin Pingzhi.”
“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong sambil mengangguk. Ia kemudian berseru, “Adik Lin, dengarkan baik-baik tata tertib Perguruan Huashan kita. Pertama, tidak boleh menentang guru dan mengkhianati perguruan; kedua, dilarang menindas kaum lemah; ketiga, dilarang main perempuan dan melecehkan wanita baik-baik; keempat, dilarang memiliki rasa iri dan dengki kepada sesama saudara; kelima, dilarang mencuri dan serakah terhadap harta benda; keenam, dilarang bersikap sombong dan mendahului berbuat salah terhadap sesama kaum persilatan; ketujuh, dilarang bergaul dengan kaum penjahat dan bersekongkol dengan golongan iblis. Nah, itulah ketujuh larangan dalam Perguruan Huashan yang harus ditaati bersama oleh segenap murid perguruan kita.”
“Baik, saya berjanji akan selalu patuh dan taat untuk tidak melanggar ketujuh larangan tersebut,” jawab Lin Pingzhi.
“Bagus, kau harus menepati janjimu itu,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Setiap saat kau harus senantiasa mengutamakan budi pekerti yang luhur, jadilah seorang kesatria sejati. Dengan demikian, guru dan ibu-gurumu akan ikut merasa bangga.”
“Baik, Guru!” jawab Lin Pingzhi. Ia lantas memberi hormat kepada Yue Buqun dan Ning Zhongze, serta kepada semua kakak seperguruannya.
Yue Buqun kemudian berkata, “Pingzhi, sekarang kau bisa mengurus pemakaman jenazah kedua orang tuamu. Setelah itu barulah kau bisa mulai belajar dasar-dasar ilmu silat perguruan kita.”
Lin Pingzhi lagi-lagi terharu dan meneteskan air mata. “Terima kasih, Guru!” ujarnya sambil kembali berlutut.
Yue Buqun buru-buru membangunkan murid barunya itu dan berkata ramah, “Setiap orang dalam perguruan kita adalah keluarga. Urusan satu orang menjadi urusan kita bersama. Kau tidak perlu terlalu segan.”
Usai berkata demikian, ia lantas menoleh ke arah si murid pertama dan berkata, “Chong’er, selama kepergianmu kali ini, kau sudah melanggar berapa banyak dari ketujuh larangan perguruan kita?”
Linghu Chong terkesiap. Meskipun gurunya memperlakukan semua murid seperti anak sendiri, tapi bila ada yang melanggar peraturan tetap mendapat hukuman tanpa pandang bulu. Mendengar pertanyaan itu ia langsung berlutut dan menjawab, “Saya sadar telah melakukan kesalahan besar. Saya tidak patuh terhadap ajaran Guru dan Ibu Guru. Di Rumah Arak Huiyan saya telah melanggar peraturan nomor enam, yaitu membunuh seorang murid Perguruan Qingcheng bernama Luo Renjie.”
Yue Buqun hanya mendengus dengan wajah marah.
Melihat itu Yue Lingshan buru-buru menyahut, “Ayah, itu semua salah Luo Renjie sendiri. Dia hendak menganiaya Kakak Pertama yang sedang terluka parah setelah bertarung melawan Tian Boguang. Jadi, waktu itu Kakak Pertama hanya membela diri.”
“Kau tidak perlu ikut campur!” bentak Yue Buqun. “Luo Renjie mengganggu Chong’er, karena kakak pertamamu itu lebih dulu mencari gara-gara dengan murid Qingcheng lainnya. Wajar kalau Luo Renjie ingin membalas sakit hati kedua saudaranya yang pernah ditendang jatuh oleh kakak pertamamu.”
“Tapi, Ayah,” Yue Lingshan menyela, “mengenai peristiwa itu bukankah Kakak Pertama sudah kau hukum dengan pukulan tongkat? Lagipula Ayah juga sudah mengirim surat permohonan maaf kepada Pendeta Yu melalui Kakak Kedua.”
Yue Buqun melotot kepada putri tunggalnya itu. Dengan keras ia membentak, “Aku tidak peduli dengan alasanmu. Yang ingin kutegakkan adalah tata tertib perguruan kita. Kau juga murid Perguruan Huashan. Kau dilarang sembarangan ikut bicara.”
Yue Lingshan jarang sekali dibentak oleh ayahnya. Tentu saja apa yang baru ia alami itu membuat matanya berkaca-kaca hampir menangis.
Yue Buqun yang biasanya ramah dan lembut kali ini menunjukkan sikap tegas sebagai seorang pemimpin perguruan. Tidak seorang pun berani lagi membantah, termasuk istrinya sendiri.
“Linghu Chong,” katanya dengan keras. “Perbuatanmu membunuh Luo Renjie karena membela diri dapat kumaklumi. Dalam keadaan payah kau masih berusaha pantang menyerah, itu perbuatan laki-laki sejati. Tapi kenapa kau melecehkan Perguruan Henshan dengan berkata: Biksuni adalah kaum pembawa sial. Setiap kali melihat biksuni kau selalu kalah judi. Kenapa, hah?”
Mendengar itu Yue Lingshan tertawa geli dan berkata, “Ayah!” Namun, begitu sang ayah menoleh dan melotot kepadanya, ia langsung terdiam.
Linghu Chong menjawab, “Waktu itu yang ada dalam pikiran saya hanya bagaimana cara untuk menyelamatkan adik dari Henshan itu. Karena sadar ilmu silat saya lebih rendah dari musuh, terpaksa saya sembarangan bicara supaya biksuni itu pergi sejauh-jauhnya. Sama sekali saya tidak bermaksud menyinggung perasaan para bibi dari Perguruan Henshan.”
“Kau bermaksud menyelamatkan kehormatan Keponakan Yilin; maksudmu memang baik tapi caramu keliru,” sahut Yue Buqun. “Sekarang ini urusan sudah diketahui oleh semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Mereka tentu mengatakan kalau aku ini bukan guru yang baik, yang tidak bisa mengajar muridnya dengan benar.”
“Saya memang bersalah, Guru,” jawab Linghu Chong sambil membungkukkan badan.
Yue Buqun kembali melanjutkan, “Kemudian kau mendekam di rumah pelacuran untuk merawat lukamu, hal itu masih bisa kumaafkan. Tapi di sana kau menyembunyikan Yilin dan siluman kecil dari aliran sesat itu dalam selimut. Kemudian kau mengatakan kepada Pendeta Yu bahwa mereka adalah pelacur. Apa kau sadar hal ini sangat berbahaya jika sampai akal licikmu itu terbongkar? Bukan hanya nama baik Perguruan Huashan yang tercemar, nama baik Perguruan Henshan yang sudah terjaga ratusan tahun juga akan ikut hancur di tanganmu.”
Linghu Chong berkeringat dingin mendengar kemarahan gurunya. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Guru, kejadian itu sangat mendebarkan jika saya mengingatnya kembali. Ternyata Guru sendiri sudah mengetahuinya.”
Yue Buqun menyahut, “Waktu itu aku hanya mendengar kalau yang menyembunyikan dirimu di dalam rumah pelacuran adalah gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Tapi ketika kau menyuruh kedua gadis itu bersembunyi di dalam selimut, sesungguhnya aku sudah berada di luar jendela.”
“Syukurlah, Guru mengetahui kalau saya bukan manusia yang suka berbuat tidak senonoh,” ujar Linghu Chong.
“Huh, jika kau benar-benar main gila di rumah pelacuran itu, tentu kepalamu sudah kupenggal sejak kemarin-kemarin,” ujar Yue Buqun. “Mana mungkin kau masih bisa tetap hidup sampai hari ini?”
Linghu Chong mengangguk dengan perasaan serba salah.
Yue Buqun terlihat semakin serius. Setelah diam sejenak ia kemudian melanjutkan, “Kau sudah mengetahui kalau anak kecil bermarga Qu itu berasal dari aliran sesat, tapi kenapa kau tidak langsung membunuhnya? Pertolongan kakeknya kepadamu hanyalah tipu muslihat licik yang biasa digunakan aliran sesat untuk memecah belah kelompok kita. Kau ini bukan orang bodoh, kenapa tidak juga menyadarinya? Hm, bahkan Liu Zhengfeng yang pandai saja bisa jatuh ke dalam perangkap aliran sesat sehingga keluarganya hancur berantakan. Tipu muslihat aliran sesat sangat kejam, tapi sejak dari Hunan hingga tiba di Gunung Huashan sini, belum pernah sekalipun aku mendengar mulutmu mencela perbuatan aliran sesat. Chong’er, rupanya setelah jiwamu diselamatkan mereka, kau jadi tidak bisa lagi membedakan mana yang baik mana yang buruk; mana yang jujur, mana yang pura-pura. Persoalan ini menyangkut masa depanmu sendiri. Hendaknya kau memiliki pendirian yang tegas.”
Samar-samar Linghu Chong kembali terkenang paduan suara kecapi dan seruling yang dimainkan Qu Yang dan Liu Zhengfeng pada malam sebelum mereka meninggal. Hati nuraninya tidak percaya kalau orang bernama Qu Yang itu memiliki tipu muslihat kejam dan sengaja mencelakakan keluarga Liu Zhengfeng.
Melihat murid pertamanya termangu-mangu, Yue Buqun kembali berkata, “Chong’er, urusan ini tidak hanya menyangkut masa depanmu saja, tapi juga nama baik Perguruan Huashan. Sekarang aku bertanya, jika kelak kau bertemu orang aliran sesat, apakah kau akan diam saja dan memandangnya sebagai musuh, atau membunuhnya tanpa ampun?”
Linghu Chong terperanjat kebingungan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati ia berkata, “Apabila kelak aku bertemu orang aliran sesat, apakah aku harus membunuhnya begitu saja tanpa bertanya terlebih dulu?”
Yue Buqun memandang tajam ke arah murid pertamanya itu yang tidak menjawab apa pun dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya ia pun menghela napas panjang dan berkata, “Rasanya percuma saja aku memaksamu menjawab pertanyaan tadi. Kepergianmu kali ini telah banyak mencemarkan nama baik Perguruan Huashan. Maka itu, aku menghukum dirimu untuk merenung menghadap dinding selama setahun penuh.”
Linghu Chong segera membungkukkan badan dan menjawab, “Baik, saya siap menjalani hukuman dari Guru.”
“Apa? Menghadap dinding?” sahut Yue Lingshan ikut bicara. “Kalau begitu selama setahun ini Kakak Pertama harus memandangi dinding? Lantas, berapa jam dia harus merenung dalam setiap hari?”
“Berapa jam apanya?” tukas Yue Buqun. “Dia harus duduk menghadap dinding setiap hari mulai pagi sampai malam, kecuali pada saat makan dan minum.”
Yue Lingshan kembali menyahut, “Wah, ini namanya keterlaluan! Apa Kakak Pertama tidak bosan setiap hari hanya memandangi dinding melulu? Bagaimana kalau dia ingin buang air?”
“Jaga ucapanmu, gadis kecil,” ujar Ning Zhongze menukas.
“Bosan bagaimana?” sahut Yue Buqun. “Dahulu kakek-gurumu pernah bersalah dan dihukum menghadap dinding di Puncak Gadis Kumala selama tiga setengah tahun, tidak boleh melangkah turun sedikit pun. Mana bisa dibandingkan dengan kakak pertamamu?”
“Oh, kalau begitu hukuman Kakak Pertama masih terlalu ringan?” ujar Yue Lingshan sambil menjulurkan lidah. “Padahal Kakak Pertama sewaktu mengatakan ‘asalkan bertemu biksuni selalu kalah judi’ timbul dari maksud baiknya untuk menyelamatkan biksuni itu, jadi bukan bertujuan untuk melecehkan Perguruan Henshan.”
Yue Buqun menjawab, “Justru karena bermaksud baik itulah, maka hukumannya cuma satu tahun. Coba kalau maksudnya jahat, tentu sudah kucabut semua giginya, dan kupotong lidahnya.”
Melihat perdebatan itu Ning Zhongze segera melerai, “Shan’er, kau jangan berdebat lagi dengan ayahmu. Kakak pertamamu dihukum di Puncak Gadis Kumala supaya bisa merenungi kesalahannya. Jadi, kau jangan lagi pergi mengganggunya supaya niat baik ayahmu bisa terlaksana.”
“Tapi... tapi, Ibu,” ujar Yue Lingshan. “Kakak Pertama pasti akan sangat kesepian kalau tidak mengobrol denganku. Juga, selama setahun ini siapa lagi yang bisa menemani aku berlatih silat?”
“Jika kau mengajaknya mengobrol, bagaimana dia bisa merenungi kesalahannya?” kata Ning Zhongze. “Kalau cuma berlatih, kau bisa meminta kakak-kakakmu yang lain untuk menemani.”
Yue Lingshan terlihat kesal dan cemberut. Dengan nada gusar ia bertanya, “Lalu bagaimana cara Kakak Pertama makan? Bukankah dia tidak boleh turun dari puncak selama setahun penuh? Bukankah ini sama saja dengan membunuhnya pelan-pelan?”
“Kau jangan khawatir,” jawab Ning Zhongze sambil tersenyum. “Setiap hari akan ada yang ke atas untuk mengirimkan makanan.”

Linghu Chong mulai menjalani hukuman kurung.

Sore harinya, setelah berpamitan kepada guru dan ibu-guru serta segenap saudara seperguruannya, Linghu Chong berangkat menuju puncak tertinggi Gunung Huashan yang bernama Puncak Gadis Kumala untuk menjalani hukumannya. Hanya dengan berbekal sebilah pedang yang tergantung di pinggang, ia berjalan menyusuri jalan menanjak untuk menuju puncak yang curam dan terjal. Sesampainya di tempat tujuan, tampak sebuah gua sudah menunggu. Gua tersebut biasa digunakan para ketua Perguruan Huashan untuk mengurung murid-murid mereka yang melakukan pelanggaran.
Keadaan di atas puncak tersebut gundul tanpa ditumbuhi pepohonan. Yang ada di sana hanyalah semak dan lumut belaka. Selain gua, Linghu Chong tidak menemukan apa-apa lagi. Memang Gunung Huashan memiliki banyak pemandangan indah dan pepohonan lebat. Akan tetapi, keadaan di Puncak Gadis Kumala benar-benar perkecualian. Alasan utama mengapa sejak dulu puncak tersebut dipilih sebagai tempat mengurung murid-murid yang melanggar peraturan adalah karena suasananya yang sangat sunyi. Boleh dikata tidak ada seekor hewan pun yang betah hidup di sana. Dengan demikian, diharapkan para murid yang menjalani hukuman bisa lebih hening dalam merenungi kesalahannya.
Begitu masuk ke dalam gua, Linghu Chong segera melihat sepotong batu besar di dalamnya. Batu yang halus dan licin tersebut merupakan tempat duduk bagi mereka yang sedang menjalani hukuman. Dalam hati ia merenung, “Perguruan Huashan sudah berusia ratusan tahun. Entah sudah berapa banyak muridnya yang merasakan duduk sendiri di gua ini. Pantas saja, batu ini terlihat halus dan licin. Hahahaha. Linghu Chong adalah murid Huashan yang paling ugal-ugalan. Rasanya sangat pantas jika aku diberi kesempatan mencicipi sepinya tempat ini. Hm, Guru sangat sabar. Beliau bisa menunggu sampai hari ini untuk mengirimku kemari.”
Kemudian ia menepuk-nepuk batu besar itu sambil berkata, “Wahai batu, entah sudah berapa tahun lamanya kau tinggal sendirian di sini. Mulai hari ini Linghu Chong yang akan menjadi temanmu.”
Begitu duduk di atas batu tersebut, mata Linghu Chong langsung menangkap beberapa huruf yang terukir di dinding. Ukiran itu berbunyi “Feng Qingyang” dan terdapat di dinding gua sebelah kiri. Ukiran tersebut sangat rapi, dengan kedalaman satu senti, seperti dibuat menggunakan ujung pedang yang sangat tajam.
Diam-diam Linghu Chong bertanya, “Siapa itu Feng Qingyang? Mungkin dia seorang murid pada generasi terdahulu yang pernah dihukum di sini. Ah, aku tahu! Dia memiliki unsur nama ‘Qing’, berarti satu generasi di atas Guru. Dilihat dari ukirannya ini, tentu Beliau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Tapi aku heran, mengapa Guru dan Ibu Guru tidak pernah bercerita tentang Beliau? Ah, mungkin Beliau sudah lama meninggal dunia.”
Usai berpikir demikian, Linghu Chong lantas memejamkan mata dan memulai latihan pernapasan sampai satu jam lamanya. Setelah itu ia membuka mata dan berdiri untuk meregangkan otot. Sejenak kemudian pemuda itu kembali duduk dan berpikir, “Kelak jika aku bertemu orang aliran sesat, apakah aku harus mencabut pedangku tanpa bertanya lebih dulu dan langsung membunuhnya saat itu juga? Apakah dalam aliran sesat semua orangnya jahat? Apakah dalam aliran sesat tidak ada orang yang baik? Tapi kalau dia seorang baik-baik kenapa bergabung dengan aliran sesat? Andaikan dia tersesat, mengapa tidak keluar begitu saja? Bukankah hal itu bisa terjadi? Dan, apabila tidak mau keluar, berarti rela berteman dengan kaum penjahat serta membuat celaka umat manusia pada umumnya.”
Seketika terlintas dalam ingatan Linghu Chong kisah-kisah mengerikan yang pernah diceritakan guru dan ibu-gurunya tentang kekejaman aliran sesat. Misalnya, peristiwa pembantaian Keluarga Yu di daerah Jiangxi. Jumlah korban yang tewas sebanyak dua puluh tiga orang, semua dipaku di pepohonan. Bahkan, seorang anak kecil berusia tiga tahun juga tidak diberi ampun. Dua orang putra Tuan Yu merintih selama dua hari dua malam sampai akhirnya mati secara mengenaskan.
Kejadian lain menimpa Zhao Dengkui, ketua Partai Golok Naga Angin di daerah Jinan yang sedang menggelar pernikahan putranya. Tiba-tiba kaum aliran sesat datang menyerbu. Kedua mempelai terbunuh dan kepala mereka dipenggal untuk diletakkan di atas meja sebagai kado. Kemudian ketika Pendekar Hao di Hanyang merayakan ulang tahunnya yang ketujuh puluh, ia mengundang banyak kawan dari dunia persilatan. Tak disangka, kaum aliran sesat menanam bahan peledak di bawah lantai ruang perayaan. Maka, ketika meledak, tak terhitung jumlahnya para hadirin yang terluka dan binasa. Termasuk di antaranya adalah Pendeta Ji dari Perguruan Taishan yang kehilangan salah satu lengannya akibat ledakan tersebut.
“Paman Ji yang menceritakannya, sudah tentu kisah itu pasti benar,” pikir Linghu Chong. “Dua tahun yang lalu ada juga kejadian mengerikan menimpa Paman Sun dari Perguruan Songshan. Aku melihat sendiri bagaimana Paman Sun telah kehilangan kedua lengannya dan kedua kakinya, serta kedua bola matanya dicongkel pula oleh pihak aliran sesat. Ia hanya bisa berteriak-teriak: “Aliran sesat jahanam telah membuatku binasa. Kalian harus menuntut balas! Menuntut balas!’ Waktu itu orang-orang Songshan datang menolong, tapi Paman Sun sudah terlanjur meninggal akibat luka-lukanya.”
Linghu Chong merinding ngeri saat teringat darah mengucur deras pada lubang mata si Paman Sun tersebut. Teringat itu semua, ia kembali berpikir, “Perbuatan aliran sesat sungguh biadab dan di luar batas kemanusiaan. Qu Yang dan cucunya memang telah menolong nyawaku, namun mereka pasti menyembunyikan rencana jahat di balik itu semua. Guru telah bertanya bagaimana sikapku jika bertemu orang aliran sesat. Kali ini aku tidak akan ragu-ragu lagi. Tentu saja aku akan mencabut pedang dan langsung membunuhnya.”
Karena permasalahannya sudah jelas, seketika pikiran Linghu Chong menjadi lapang. Ia pun bersuit panjang kemudian melompat mundur keluar gua sambil memejamkan mata menikmati udara segar. Ketika sedang melayang di udara ia bersalto sebanyak satu kali dan setelah itu barulah mendaratkan kedua kakinya di atas tanah. Begitu membuka mata dan menoleh ke belakang, betapa terkejut hati pemuda itu karena ternyata kakinya telah menginjak batuan terjal di tepi jurang yang sangat dalam. Andai saja ketika melompat mundur tadi ia menambah sedikit tenaga, tentu dirinya akan terlempar lebih jauh sehingga jatuh ke dasar jurang dengan tubuh hancur lumat.
“Aku masih kurang berani. Seharusnya aku melompat lebih dekat lagi ke tepi jurang,” demikian ia berpikir. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara tawa seorang perempuan disertai tepukan tangan.
“Hebat! Kakak Pertama memang hebat!” demikian suara perempuan itu bersorak memuji.
Linghu Chong menoleh dan langsung gembira melihat Yue Lingshan datang mengunjunginya sambil menjinjing sebuah keranjang.
“Kakak Pertama, aku mengantarkan nasi untukmu,” ujar gadis itu sambil tertawa.
Segera keduanya masuk ke dalam gua dan duduk di atas batu licin. Setelah meletakkan keranjang berisi makanan itu di atas tanah. Yue Lingshan membuka suara, “Lompatanmu tadi sungguh hebat. Tanpa melihat kau bisa melompat mundur dan berdiri tepat di tepi jurang. Aku jadi ingin mencoba.”
Tentu saja lompatan Linghu Chong tadi dilakukannya tanpa sengaja dan secara beruntung ia nyaris saja jatuh ke dalam jurang. Sementara itu ilmu silat Yue Lingshan lebih rendah darinya; jika kurang tepat menguasai badan, bisa-bisa malah mendapat celaka. Akan tetapi, watak adik seperguruannya itu sulit dicegah jika memiliki keinginan. Maka, daripada menghalangi lebih baik Linghu Chong mengizinkannya dengan berjaga-jaga di dekat jurang untuk mencegah bahaya yang mungkin bisa terjadi.
Watak Yue Lingshan sendiri tidak suka mengalah pada orang lain. Diam-diam gadis itu mengumpulkan segenap tenaga untuk bisa melompat lebih indah dibanding Linghu Chong. Maka, tanpa pikir lagi ia pun melompat mundur dengan mata tertutup. Tampak gadis itu melayang indah di udara dan kemudian terus meluncur ke arah jurang.
Sejak awal Yue Lingshan memang ingin melompat lebih jauh daripada Linghu Chong. Maka, ia pun mengerahkan tenaga cukup besar sewaktu melemparkan diri ke belakang. Namun ketika menyadari tubuhnya mulai meluncur turun, ia pun membuka mata dan menjerit ketakutan.
Untungnya Linghu Chong sudah bersiaga di tepi jurang dan segera menangkap lengan putri gurunya itu dengan cepat. Telapak kaki Yue Lingshan sendiri sudah menginjak tepat di tepi jurang tersebut. Andai saja Linghu Chong tidak cekatan, tentu gadis cantik itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke bawah.
Setelah napasnya agak tenang, Yue Lingshan berseru gembira, “Kakak Pertama, lompatanku tadi ternyata lebih jauh darimu!”
Linghu Chong menepuk bahu putri gurunya itu sambil menjawab, “Permainan berbahaya tadi jangan kau ulangi lagi. Kalau sampai ketahuan Guru dan Ibu Guru, tentu kau akan dimarahi. Bisa-bisa kau juga akan dihukum di sini.”
Yue Lingshan menjawab, “Kalau dihukum di sini, berarti kau akan ada temannya. Kita bisa bebas bermain sesukanya. Benar, tidak?”
Linghu Chong tergetar mendengar ucapan gadis itu. Dalam hati ia berkata, “Kalau saja aku bisa bersama Adik Kecil dihukum setahun di sini, tentu rasanya bahagia laksana tinggal di kahyangan. Tapi… ah, mana boleh seperti itu?”
Segera ia pun menjawab, “Tapi kalau kau dikurung di Gedung Kejujuran dan sedikit pun tidak boleh pergi dari sana, bagaimana? Jika demikian, tentu selama setahun kita tidak akan bisa bertemu.”
“Itu namanya tidak adil,” sahut Yue Lingshan. “Kau dikurung di sini dan bisa bergerak bebas, tapi mengapa aku harus dikurung di Gedung Kejujuran?”
Setelah diam sejenak, Yue Lingshan lalu mengalihkan pembicaraan, “Kakak, sebenarnya yang ditugasi Ibu mengantar makanan ke sini adalah Monyet Keenam. Maka, aku pun berbicara kepadanya, ‘Kakak Keenam, setiap hari kau harus merangkak naik-turun Tebing Perenungan untuk mengantar makanan. Meskipun kau adalah monyet tetap saja akan kepayahan juga. Nah, bagaimana kalau aku saja yang menggantikan tugasmu? Dengan apa kau nanti berterima kasih padaku, hah?’
Kemudian dia menjawab, ‘Tugas yang diberikan Ibu Guru kepadaku ini sebenarnya juga untuk melatih diriku. Maka, sama sekali aku tidak boleh malas atau merasa payah. Lagipula, Kakak Pertama selalu baik kepadaku. Bisa mengantar makanan setiap hari untuknya sudah tentu aku akan merasa sangat senang.’
Kakak Pertama, menurutmu apakah dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya?”
Linghu Chong menjawab, “Aku rasa apa yang diucapkannya benar.”
Yue Lingshan lantas melanjutkan, “Monyet Keenam juga menuduhku suka mengganggunya saat meminta petunjuk kepadamu. Padahal, mana pernah aku mengganggunya saat berlatih? Huh, apa yang ia katakan omong kosong semua. Dia juga berkata, ‘Mulai saat ini selama setahun ke depan hanya aku yang bisa bertemu Kakak Pertama di Tebing Perenungan. Tentu kesempatan bagus ini aku pergunakan untuk meminta petunjuk kepadanya.’ – Ucapannya sungguh menjengkelkan. Kemudian... kemudian....”
“Kemudian kau mengancamnya dengan pedang, begitu?” sela Linghu Chong sambil tertawa.
“Tidak, bukan begitu,” jawab Yue Lingshan sambil menggeleng. “Aku pun menangis. Akhirnya dia mengalah dan membiarkan aku yang berangkat mengantarkan nasi untukmu.”
Linghu Chong mengamati wajah Yue Lingshan. Tampak mata gadis itu kemerah-merahan pertanda ia memang benar-benar baru menangis. Linghu Chong terharu melihatnya dan berkata dalam hati, “Dia sungguh baik kepadaku. Andaikan harus mati seribu kali untuknya, aku rela.”
Yue Lingshan sendiri sibuk membuka bekal makanan yang ia bawa. Dari dalam keranjang dikeluarkannya dua piring sayuran, dua buah mangkuk, serta dua pasang sumpit. Semuanya diletakkan di atas batu datar sebagai meja makan.
“Kenapa kau membawa dua mangkuk?” tanya Linghu Chong heran.
“Aku akan menemanimu makan. Coba lihat, apa ini?” kata Yue Lingshan sambil tertawa, dan kemudian mengeluarkan botol kecil berisi arak.
Linghu Chong memang sangat gemar minum arak. Maka begitu melihat botol kecil tersebut, ia langsung tertawa gembira. Serentak ia bangkit berdiri dan memberi hormat, “Terima kasih, Adik Kecil. Aku sungguh khawatir jangan-jangan selama setahun ini tidak bisa bertemu arak lagi. Tapi kau telah datang menyelamatkan hidupku.”
Yue Lingshan tertawa, kemudian membuka botol kecil tersebut dan menyerahkannya kepada Linghu Chong. “Tapi kau tidak boleh minum terlalu banyak. Setiap hari aku hanya bisa menyelundupkan sebotol kecil saja, biar tidak ketahuan Ibu.”
Peraturan dalam Perguruan Huashan melarang keras setiap murid yang sedang menjalani hukuman di Tebing Perenungan untuk menikmati daging ataupun arak. Itulah sebabnya bekal yang dibawa Yue Lingshan hanya berupa nasi dan sayuran, serta sepotong tahu. Namun karena ditemani sang adik kecil, Linghu Chong merasa makanan tersebut sangat nikmat dan ia menghabiskannya dengan lahap.
Keduanya lantas mengobrol panjang lebar berbagai macam cerita. Ketika hari mulai gelap, barulah Yue Lingshan pamit kembali ke rumah meninggalkan Tebing Perenungan.


Setiap hari Yue Lingshan menemani Linghu Chong makan.

Sejak saat itu setiap sore hari Yue Lingshan selalu datang mengantar makanan untuk Linghu Chong. Ketika matahari terbenam barulah gadis itu pulang. Oleh karena itu, meskipun tinggal seorang diri di puncak gunung yang tandus tersebut, Linghu Chong tidak pernah merasa kesepian.
Setiap pagi setelah bangun tidur, Linghu Chong duduk bermeditasi dan berlatih tenaga dalam. Kemudian ia mengulangi kembali ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari sang guru. Selain itu, ia juga merenungkan ilmu golok kilat andalan Tian Boguang dan membandingkannya dengan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding ciptaan ibu-gurunya.
Ilmu pedang tersebut meskipun hanya terdiri atas satu jurus saja, namun merupakan intisari tenaga dalam dan ilmu pedang Perguruan Huashan yang paling murni. Linghu Chong sendiri merasa dirinya masih sangat jauh di bawah kemahiran sang ibu-guru. Maka, kalau memaksakan diri untuk melatihnya, bisa-bisa membuat celaka diri sendiri. Oleh karena itu, setiap hari ia pun semakin giat berlatih dasar-dasarnya terlebih dahulu untuk bisa mencapai tingkatan tersebut.
Dengan demikian, meskipun menjalani hukuman kurung menghadap dinding gua, namun pada kenyataannya ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih pedang, serta mengobrol dengan Yue Lingshan pada sore harinya. Menjalani perenungan yang sesungguhnya ternyata hampir tidak pernah ia lakukan.
Tanpa terasa dua bulan sudah berlalu. Hawa di puncak Gunung Huashan itu semakin hari semakin dingin karena musim telah berganti. Ning Zhongze selama beberapa hari menjahit selembar mantel hangat dan menyerahkannya kepada Lu Dayou untuk disampaikan kepada Linghu Chong. Tentu saja pada akhirnya Yue Lingshan yang menyerahkan secara langsung kepada kakak pertamanya tersebut.
Pagi itu ketika bangun dari tidurnya, Linghu Chong disambut oleh tiupan angin yang sangat kencang. Bahkan, pada siang harinya salju pun mulai turun dari angkasa. Melihat hujan salju tersebut Linghu Chong berpikir jalanan pegunungan tentu sangat licin dan sukar dilalui. Ia ingin sekali melarang Yue Lingshan supaya hari itu tidak datang mengantar makanan karena sangat berbahaya. Namun tentu saja ia tidak bisa melakukannya mengingat saat itu dirinya sedang berada di puncak gunung yang terpencil.
Melihat hujan salju yang tidak kunjung reda, perasaan Linghu Chong semakin gelisah. Sejenak kemudian ia berpikir, “Sudah dua bulan setiap hari Adik Kecil datang ke sini mengantar makanan untukku. Mustahil Guru dan Ibu Guru tidak mengetahuinya. Aku yakin mereka hanya berpura-pura tidak mengetahui hal itu. Tapi kalau hari ini keadaannya berbeda. Aku takut Adik Kecil terpeleset di jalan dan jatuh ke jurang yang berbahaya. Oh, semoga Guru atau Ibu Guru kali ini mencegah ia datang ke sini.”
Dengan perasaan cemas Linghu Chong menunggu sampai senja tiba. Pandangan matanya selalu tertuju ke bawah puncak gunung yang curam itu. Ketika matahari sudah terbenam barulah ia merasa lega. “Syukurlah hari ini Adik Kecil tidak datang. Besok pagi mungkin Adik Keenam yang datang kemari mengantarkan makanan pengganti. Biarlah malam ini aku menahan lapar asalkan Adik Kecil tidak mengalami suatu apa pun.”
Di luar dugaan, baru saja hendak masuk ke dalam gua, tiba-tiba Linghu Chong terdengar suara Yue Lingshan memanggil, “Kakak Pertama! Kakak Pertama!”
Dengan perasaan terkejut bercampur gembira, Linghu Chong segera kembali ke tempat semula. Ia melihat ke bawah menyaksikan Yue Lingshan berjalan tertatih-tatih melewati hamparan salju yang menutupi bebatuan gunung. Pemuda itu merasa prihatin melihat adik kecilnya berjalan dengan langkah sulit, terpeleset ke kanan dan ke kiri karena jalanan yang sangat licin.
Karena terikat oleh perintah sang guru, mau tidak mau Linghu Chong harus menahan diri untuk tidak melangkah turun menghampiri Yue Lingshan, hanya mengulurkan tangan menyambut adik seperguruannya itu. Baru setelah Yue Lingshan menyambut tangannya, Linghu Chong segera menarik gadis itu ke atas.
Seluruh tubuh Yue Lingshan tampak penuh dengan salju. Dahi sebelah kirinya juga terlihat memar dan sedikit lecet. “Hah, apakah kau… kau….” ucap Linghu Chong dengan nada khawatir.
Yue Lingshan menjawab dengan wajah hampir menangis, “Aku tadi jatuh terpeleset sehingga nasi yang kubawa jatuh ke jurang. Malam ini… malam ini kau terpaksa harus kelaparan.”
Linghu Chong terharu mendengarnya. Ia pun menggunakan lengan bajunya untuk mengusap luka di dahi Yue Lingshan. “Adik Kecil, jalanan begitu licin. Seharusnya kau jangan datang kemari.”
“Aku khawatir kau kelaparan,“ sahut Yue Lingshan. “Lagipula... lagipula aku ingin bertemu denganmu.“
Linghu Chong menyahut, “Tapi, kalau hanya karena itu kau terjatuh ke dalam jurang, lantas bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada Guru dan Ibu Guru?”
“Aih, kenapa kau begitu cemas? Bukankah aku baik-baik saja?” ujar Yue Lingshan sambil tersenyum. “Hanya saja, aku memang bodoh. Sudah hampir sampai di atas, kakiku terpeleset sehingga nasi untukmu jatuh ke dalam jurang.”
Linghu Chong menjawab, “Asalkan kau selamat, meskipun sepuluh hari aku tidak makan, rasanya tidak menjadi soal.”
“Jalanan menuju kemari licin sekali. Aku menghimpun segenap tenaga dalamku untuk melompat melewati tebing terjal. Tapi ketika melewati Tebing Cemara Lima, aku kurang hati-hati dan hampir saja jatuh ke dalam jurang,” ujar Yue Lingshan menambahkan.
Linghu Chong menjawab, “Adik Kecil, kau harus berjanji untuk selanjutnya jangan sekali-kali menempuh bahaya sebesar ini demi aku. Jika kau sampai jatuh ke dalam jurang, tentu aku akan ikut terjun pula.”
Sepasang mata Yue Lingshan berkilauan memancarkan perasaan bahagia tiada terkira. Ia pun berkata, “Kakak Pertama, rasanya kau tidak perlu berbuat demikian. Jika aku terjatuh karena kurang berhati-hati, mengapa kau merasa tidak enak hati dan ingin ikut terjun pula?”
“Bukan begitu masalahnya,” sahut Linghu Chong. “Jika Adik Keenam yang mengantar nasi dan dia jatuh ke jurang, maka aku tidak perlu mengiringi kematiannya. Paling-paling aku hanya menyampaikan berita duka kepada keluarganya, itu saja.”
Yue Lingshan mendekat dan bertanya, “Jadi, kalau aku yang mati, kau tidak mau hidup sendirian, begitu?”
“Benar sekali,” sahut Linghu Chong. “Adik, meskipun kau mengantarkan nasi untuk orang lain dan meninggal karena kecelakaan, aku tetap tidak mau hidup lagi.”
Yue Lingshan tampak terharu. Ia pun memegang kedua tangan Linghu Chong dan berkata lirih, “Kakak Pertama.”
Sungguh, Linghu Chong ingin sekali memeluk tubuh gadis itu namun tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Kedua pasang mata mereka hanya saling pandang tanpa bergerak sedikit pun. Hujan salju masih turun menutup tubuh mereka sehingga keduanya bagaikan sepasang boneka salju.
Selang agak lama Linghu Chong akhirnya membuka suara, “Malam ini kau tidak boleh turun ke bawah seorang diri. Apakah Guru dan Ibu Guru mengetahui kepergianmu? Sebaiknya kita tunggu Beliau berdua mengirim orang untuk menjemputmu.”
Yue Lingshan menjawab, “Tadi pagi Ayah tiba-tiba menerima surat undangan dari Ketua Zuo di Songshan. Katanya ada masalah penting yang harus dirundingkan. Maka, Ayah pun berangkat bersama Ibu meninggalkan Huashan.”
“Jadi, tidak ada orang lain yang tahu kau naik ke sini?” Linghu Chong bertanya.
“Tidak ada,” sahut Yue Lingshan. “Kakak Kedua, Kakak Ketiga, Kakak Keempat, dan Monyet Keenam ikut menemani Ayah dan Ibu. Oh, aku ingat, hanya si bocah Lin Pingzhi yang melihat aku berangkat kemari. Tapi dia sudah kuperingatkan supaya jangan banyak bicara. Kalau tidak, besok pagi akan kutampar wajahnya.”
“Wah, galak sekali dirimu sebagai kakak seperguruan!” ujar Linghu Chong tertawa.
“Sudah tentu!” sahut Yue Lingshan ikut tertawa. “Mumpung ada yang memanggil aku sebagai kakak, kalau tidak galak sedikit tentu aku yang rugi. Tidak seperti dirimu yang dipanggil kakak oleh semua orang.”
“Kalau begitu, malam ini jelas kau tidak bisa pulang dan terpaksa harus menginap di sini. Besok pagi baru bisa turun ke bawah,” ujar Linghu Chong sambil menggandeng tangan gadis cantik itu masuk ke dalam gua.
Gua tersebut sangat sempit, hanya cukup untuk meringkuk dua orang saja tanpa banyak tersisa tempat lagi. Keduanya pun mengobrol sampai larut malam. Sampai akhirnya Yue Lingshan merasa kedua matanya sudah berat dan ia pun jatuh tertidur.
Khawatir gadis itu masuk angin, Linghu Chong pun menanggalkan mantel hangatnya untuk kemudian diselimutkan ke tubuh Yue Lingshan. Dari pantulan cahaya salju yang putih kemilau, samar-samar Linghu Chong bisa memandang wajah cantik gadis itu yang sedang tertidur pulas. “Perhatian Adik Kecil kepadaku semakin dalam. Meskipun tubuhku hancur lebur demi untuknya, aku rela.”
Dalam keheningan malam Linghu Chong merenungi nasib hidupnya. “Aku kehilangan kedua orang tuaku sejak kecil. Beruntung aku bertemu Guru dan Ibu Guru yang mengasuh dan memperlakukan diriku bagaikan anak sendiri. Aku pun menjadi murid kepala di Perguruan Huashan. Bukan hanya karena aku masuk perguruan lebih dahulu, juga karena ilmu silatku paling tinggi dibanding dengan yang lain. Suatu hari nanti Guru pasti akan mewariskan perguruan kepadaku. Bahkan, Adik Kecil juga sedemikian baiknya kepadaku, tentu aku akan semakin berhutang budi kepada Guru sekeluarga. Sampai mati pun aku tidak akan bisa membalas kebaikan Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil. Namun sebaliknya, aku justru sering membuat Guru dan Ibu Guru marah. Aku harus berubah menjadi lebih baik dan mengubah semua kebiasaan burukku. Jika tidak, tentu aku akan mengecewakan Guru dan Ibu Guru, juga Adik Kecil.”
Tiba-tiba terdengar suara Yue Lingshan berseru, “Bocah bermarga Lin, kau tidak menuruti perintahku, ya? Sini, biar kuhajar kau!”
Linghu Chong terperanjat. Dilihatnya sepasang mata gadis itu masih tertutup rapat. Napasnya juga masih teratur. Dalam hati ia merasa geli, “Ternyata Adik Kecil hanya mengigau. Baru kali ini ia mendapat adik seperguruan sehingga bersikap agak berlebihan. Pasti Adik Lin sudah kenyang disuruhnya kesana-kemari, sampai-sampai terbawa ke dalam mimpi.”

Di tengah hujan salju, Yue Lingshan tetap datang.

(Bersambung)

bagian 22 ; halaman muka ; bagian 24