Bagian 82 - Menjadi Ketua Pembebasan

Linghu Chong di antara para pendekar aliran sesat.
 
Tuan Besar Mo melanjutkan, “Meskipun berasal dari Sekte Iblis, namun Nona Ren ini memiliki perasaan yang teramat tulus kepadamu, membuat banyak orang bersimpati kepadanya. Ia telah membunuh empat murid Perguruan Shaolin, yaitu Xin Guoliang, Yi Guozi, Huang Guobai, dan Biksu Jueyue. Maka, jika ia mendatangi Biara Shaolin, tentu hukuman mati siap menantinya. Namun, demi menyelamatkan nyawamu, dia … dia tidak peduli pada keselamatan sendiri. Di lain pihak, Mahabiksu Fangzheng tidak ingin membunuhnya, tapi juga tidak bisa melepaskannya begitu saja. Oleh sebab itu, Nona Ren pun dikurung di dalam sebuah gua di belakang Biara Shaolin. Orang-orang aliran sesat dari segala penjuru berusaha membebaskannya, namun selalu mengalami kegagalan. Kabarnya, selama beberapa bulan ini tak satu hari pun berlalu dengan damai di Biara Shaolin. Paling tidak sudah ada seratus orang yang datang ke sana.”

Perasaan Linghu Chong bergolak hebat. Ia hanya terdiam merenung sendiri. Setelah agak lama menenangkan diri, barulah ia bertanya, “Paman Guru Mo, tadi kau mengatakan bahwa orang-orang aliran sesat beramai-ramai memperebutkan jabatan ketua perserikatan dan bertengkar sendiri. Sebenarnya bagaimana duduk permasalahannya?”

Tuan Besar Mo menghela napas dan berkata, “Dasar mereka kaum petualang dan orang-orang sesat, hanya tunduk di bawah perintah Nona Ren. Selain itu, mereka adalah orang-orang sombong dan takabur, suka berkelahi dan ingin menang sendiri. Satu sama lain tidak mau saling mengalah. Sekarang yang mereka hadapi adalah Perguruan Shaolin, yang merupakan cikal bakal ilmu silat. Jika mereka berangkat sendiri-sendiri, tentu akan menemui banyak kesulitan. Maka, mereka pun sepakat untuk mengumpulkan kawan sebanyak mungkin dan menuju ke sana dengan membentuk perserikatan. Setelah berserikat, mau tidak mau harus ada yang menjadi ketua. Kabarnya, perebutan jabatan ketua perserikatan itu telah membuat mereka saling berkelahi sendiri selama beberapa hari ini. Banyak dari mereka yang terluka, bahkan ada yang mati pula. Keponakan Linghu, kurasa kau harus lekas-lekas pergi ke sana. Hanya kau seorang yang bisa mengatasi mereka. Apa pun yang kau katakan tentu mereka tiada yang berani membantah. Hahahaha!”

Wajah Linghu Chong merah padam saat Tuan Besar Mo bergelak tawa. Memang perkataan orang tua itu tidak salah, tapi Linghu Chong juga sadar kalau kaum aliran sesat tersebut bersedia tunduk kepadanya juga karena memandang Yingying. Bahkan jika Yingying sampai tahu, tentu ia akan marah-marah lagi. Tiba-tiba timbul pikiran di benaknya, “Perasaan Yingying kepadaku sangat mendalam, tapi kulitnya teramat tipis. Hal yang paling ditakutinya adalah jika ada orang yang mengolok-olok bahwa ia sengaja memikat diriku, tapi aku tidak membalas cintanya. Namun, aku harus membalas budi baiknya yang teramat besar. Aku harus membuat semua orang persilatan tahu bahwa aku pun sangat mencintai Nona Ren dan tidak segan berkorban jiwa raga kepadanya. Aku harus pergi ke Biara Shaolin. Memang sebaiknya aku dapat membebaskan dia. Tapi kalaupun aku gagal, paling tidak aku harus membuat onar supaya setiap orang mendengar kalau aku telah berusaha menyelamatkan dia.”

Begitulah, ia kemudian berkata kepada Tuan Besar Mo, “Bibi Guru Dingxian dan Bibi Guru Dingyi sudah berangkat menuju Biara Shaolin. Beliau berdua hendak meminta Mahabiksu Fangzheng agar sudi melepaskan Nona Ren demi menghindari banjir darah.”

“Oh, pantas, pantas!” ujar Tuan Besar Mo. “Tadinya aku sangat heran mendengar orang yang begitu alim dan penuh perhitungan seperti Biksuni Dingxian mengapa bisa memercayakan murid-muridnya yang masih belia itu kepadamu dan ia sendiri berangkat ke tempat lain? Ternyata ia hendak menjadi juru damai bagimu.”

“Paman Guru Mo, setelah mengetahui berita ini saya menjadi sangat gelisah dan berharap punya sayap agar bisa segera terbang ke Biara Shaolin. Saya ingin lekas-lekas menyaksikan bagaimana hasil usaha kedua biksuni sepuh yang baik hati itu,” kata Linghu Chong. “Hanya saja, para kakak dan adik dari Perguruan Henshan adalah kaum wanita semua. Bila di tengah jalan nanti mengalami apa-apa, hal ini membuat saya serbasalah.”

“Kau pergi saja,” kata Tuan Besar Mo singkat.

“Saya boleh berangkat sekarang?” tanya Linghu Chong menegas dengan wajah senang.

Tuan Besar Mo tidak menjawab, tetapi mengambil rebab yang disandarkan di tepi bangku, kemudian mulai menggeseknya.

Linghu Chong paham bahwa Tuan Besar Mo telah menyuruhnya berangkat, dan itu juga berarti ia menyanggupi akan menjaga murid-murid Perguruan Henshan tersebut. Ilmu silat dan wawasan orang tua ini sungguh luar biasa. Tak peduli sembunyi-sembunyi atau terang-terangan untuk melindungi mereka, Perguruan Henshan tidak perlu khawatir lagi.

Maka, Linghu Chong pun membungkuk hormat sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan hati Paman Guru Mo.”

“Sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung sudah selayaknya aku membantu Perguruan Henshan, untuk apa kau berterima kasih segala?” ujar Tuan Besar Mo sambil tertawa. “Kalau kelakuanmu ini sampai diketahui Nona Ren, bisa-bisa dia cemburu berat.”

“Saya mohon pamit. Mohon maaf kalau saya akan sedikit merepotkan Paman Guru Mo dalam mengurus para kakak dan adik dari Perguruan Henshan,” kata Linghu Chong sambil mundur perlahan-lahan meninggalkan kedai.

Ia berjalan menyusuri jalanan kota kemudian berhenti sejenak dan memandang sinar lentera yang memancar keluar dari jendela kapal. Cahayanya tampak terpantul pada permukaan air Sungai Han; seberkas cahaya kuning yang perlahan-lahan meredup. Suara rebab Tuan Besar Mo pun makin lama makin sayup-sayup, terdengar sangat memilukan di tengah malam yang sunyi.

Linghu Chong kemudian berjalan cepat tanpa berhenti ke arah utara. Ketika matahari terbit ia sudah memasuki sebuah kota yang cukup besar di wilayah Hubei. Ia masuk ke sebuah rumah makan dan memesan makanan ringan terkenal di sana, berupa kulit tahu yang digiling menjadi bakmi dan dimasak dengan kuah. Dalam sekejap ia sudah menghabiskan tiga mangkuk besar bakmi tersebut.

Selesai makan ia melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba melihat sebuah rombongan datang dari depan. Seorang di antara mereka tampak bertubuh pendek gemuk, yang tidak lain adalah salah satu dari Leluhur Tua Sungai Kuning, Lao Touzi.

Dengan gembira Linghu Chong lantas berteriak keras, “Hei, Lao Touzi, apa kabar?”

Melihat kemunculan Linghu Chong, seketika raut muka Lao Touzi berubah aneh. Setelah ragu-ragu sejenak, tiba-tiba ia melolos goloknya.

Tanpa curiga Linghu Chong mendekati dan bertanya lagi, “Bagaimana dengan Zu Qianqiu ….” belum habis ucapannya, Lao Touzi sudah mengangkat golok dan mengayunkan keras-keras ke arahnya. Serangannya ini sangat kuat, tapi kurang jitu. Golok tersebut meleset satu depa dari bahu Linghu Chong dan lewat begitu saja di depannya.

Linghu Chong sendiri sangat terkejut dan langsung melompat mundur, kemudian berseru, “Hei, Tuan Lao, aku … aku Linghu Chong!”

“Sudah tentu aku tahu kau Linghu Chong,” kata Lao Touzi. “Wahai kawan-kawan, tempo hari Gadis Suci pernah memberi perintah, barangsiapa yang melihat Linghu Chong harus langsung membunuhnya, dan Beliau akan memberikan hadiah besar. Apakah perintah Gadis Suci itu masih kalian ingat?”

“Ya, tentu! Kami masih ingat!” seru semua orang beramai-ramai. Walaupun begitu, mereka hanya saling pandang satu sama lain. Raut muka mereka terlihat sangat aneh, juga tiada seorang pun yang melolos senjata atau maju menyerang. Bahkan, ada beberapa yang tersenyum-senyum geli dan tertawa cekikikan, sedikit pun tidak bersikap memusuhi.

Muka Linghu Chong menjadi merah. Ia teringat perintah Ren Yingying kepada Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan Ji Wushi dulu agar menyiarkan ke dunia Persilatan bahwa setiap orang yang melihat Linghu Chong harus segera membunuhnya. Perintah itu dimaksudkan agar setiap orang persilatan mengetahui bahwa Ren Yingying tidak tertarik kepada Linghu Chong, bahkan membencinya sampai ke tulang sumsum. Selain itu, perintah tersebut juga menyimpan maksud lain, yaitu supaya Linghu Chong selalu mendampinginya. Setelah sekian lama waktu berlalu, Linghu Chong telah melupakan peristiwa itu. Namun begitu Lao Touzi mengungkitnya, seketika ia pun teringat bahwa perintah tersebut belum ditarik kembali.

Rupanya perintah yang disiarkan Lao Touzi itu tidak dipercayai oleh orang-orang persilatan yang ditemuinya. Apalagi berita tentang Ren Yingying yang membawa Linghu Chong ke Biara Shaolin untuk mengobati lukanya tanpa sengaja telah dibocorkan oleh murid-murid Shaolin sendiri. Seketika dunia persilatan menjadi gempar mendengar Ren Yingying rela dikurung di sana demi menyelamatkan nyawa si pemuda. Setiap orang memuji cinta murni gadis itu, tapi juga tertawa geli terhadap sifatnya yang tinggi hati tersebut. Jelas-jelas jatuh cinta, tapi tidak mau mengakui, malah sengaja menutup-nutupi perasaannya. Namun, semakin ditutupi justru semakin terlihat jelas. Masalah ini tidak hanya diketahui oleh orang-orang aliran sesat yang tunduk di bawah perintah Ren Yingying, tapi juga terdengar oleh orang-orang aliran lurus dan menjadi bahan percakapan yang menarik. Sekarang tiba-tiba Linghu Chong muncul di tengah jalan, membuat Lao Touzi dan kawan-kawannya tercengang tidak tahu harus berbuat apa.

Lao Touzi lalu berkata, “Tuan Muda Linghu, meski Gadis Suci memerintahkan aku supaya membunuhmu, tapi ilmu silatmu teramat tinggi. Seranganku tadi tidak mengenai dirimu, tapi kau justru mengampuni nyawaku dengan tidak balas menyerang. Sungguh aku sangat berterima kasih kepadamu.” Ia kemudian berpaling kepada rombongannya dan berseru, “Kawan-kawan, kalian telah menyaksikan sendiri, bukannya kita tidak mau membunuh Tuan Muda Linghu, tapi kita benar-benar tidak mampu membunuhnya. Aku, Lao Touzi tidak mampu, tentu kalian lebih-lebih tidak mampu, betul tidak?”

“Betul!” jawab orang banyak itu serentak sambil bergelak tawa.

Salah seorang menyahut, “Kita telah bertempur mati-matian dan kehabisan tenaga, tapi sama sekali tidak ada yang mampu membunuh Tuan Muda Linghu, terpaksa kita akhiri pertempuran sampai di sini. Sekarang kita coba bertanding minum arak saja. Coba lihat, siapa di antara kita yang mampu membinasakan Tuan Muda Linghu menggunakan arak agar kelak dapat mempertanggungjawabkannya di hadapan Gadis Suci.”

“Bagus, usul yang bagus!” teriak orang banyak sambil tertawa terpingkal-pingkal. Sebagian lantas menyambung pula, “Gadis Suci hanya menyuruh kita membunuh Tuan Muda Linghu dan tidak menentukan harus pakai senjata atau tidak. Kalau kita buat Tuan Muda Linghu mabuk arak sampai mati tentu boleh juga, bukan? Ini namanya tidak dapat membunuh dengan tenaga, lantas membunuh dengan akal.”

Maka, mereka pun bersorak-sorai kemudian berbondong-bondong mengiringi Linghu Chong memasuki rumah makan paling besar di kota itu. Sebanyak empat puluh orang lebih telah memenuhi enam meja besar. Beberapa orang di antara mereka lantas menggebrak meja dan berteriak-teriak minta dibawakan arak.

Setelah mengambil tempat duduk, Linghu Chong segera bertanya, “Sebenarnya bagaimana keadaan Gadis Suci? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”

Mendengar Linghu Chong memperhatikan keselamatan Ren Yingying, orang-orang itu menjadi girang. Lao Touzi lantas menjawab, “Kawan-kawan telah menetapkan tanggal lima belas bulan dua belas yang akan datang untuk mendatangi Biara Shaolin, membebaskan Gadis Suci. Namun akhir-akhir ini kami bertengkar sendiri karena saling berebut siapa yang menjadi ketua perserikatan. Persatuan di antara kami jadi melemah dengan sendirinya. Sekarang Tuan Muda Linghu sudah muncul, maka semuanya akan menjadi beres. Kalau bukan Tuan Muda Linghu, siapa lagi yang cocok menjadi ketua perserikatan? Kalaupun ada orang lain yang menjadi ketua perserikatan dan berhaasil membebaskan Gadis Suci juga belum tentu Beliau merasa senang.”

“Betul sekali,” seru seorang tua ubanan. “Asalkan Tuan Muda Linghu yang memimpin, andaikan ada kesulitan dan Gadis Suci terpaksa tidak dapat pulang, paling tidak Beliau telah mendapat kabar tentang usaha Tuan Muda Linghu ini, sehingga Beliau tetap merasa sangat senang. Maka jabatan ketua perserikatan ini memang sudah sepantasnya dipegang oleh Tuan Muda Linghu.”
   
“Siapa pun yang menjadi ketua perserikatan bagiku tidak masalah,” kata Linghu Chong. “Yang penting adalah Gadis Suci harus diselamatkan. Sekalipun badanku harus hancur lebur juga aku siap mengusahakannya.” Perkataannya ini bukan dibuat-buat, tapi keluar dari lubuk hati yang terdalam. Ia benar-benar berterima kasih atas pengorbanan Ren Yingying kepadanya. Kalaupun harus mati demi gadis itu juga ia siap melakukannya tanpa harus menimbang-nimbang lagi. Ia sudah memikirkan hal ini selama beberapa hari terakhir, namun tidak mungkin mengatakannya di depan orang lain. Sekarang ia mengucapkan perasaannya di hadapan orang banyak, supaya Ren Yingying tidak lagi menjadi bahan olok-olok karena cintanya bertepuk sebelah tangan.

Semua orang merasa senang dan lega mendengar pernyataan tersebut. Mereka sama-sama mengakui bahwa Gadis Suci ternyata tidak salah menilai terhadap pemuda pilihannya.

Si orang tua beruban tadi tertawa dan berkata, “Rupanya Tuan Muda Linghu memang seorang kesatria penuh cinta yang berbudi luhur. Desas-desus yang berkembang mengatakan kalau Tuan Muda Linghu tidak peduli pada nasib Gadis Suci. Kalau berita itu benar, tentu kami akan bersikap dingin kepada Tuan Muda Linghu.”

Linghu Chong menjawab, “Selama beberapa bulan ini aku dijebak dan dikurung orang, sehingga tidak mengetahui segala kejadian di dunia persilatan. Namun aku selalu merindukan Gadis Suci. Siang dan malam aku memikirkannya sampai rambutku memutih. Marilah, mari, aku menghaturkan terima kasih atas bantuan dan perjuangan Saudara-Saudara sekalian atas keselamatan Gadis Suci!” Menyusul ia lantas bangkit bersulang dan menghabiskan satu cawan arak, disambut orang-orang itu yang juga mengangkat cawan mereka dan menghabiskan isinya.

Linghu Chong berkata lagi, “Tuan Lao, kau bilang kawan-kawan sedang bertengkar memperebutkan jabatan ketua perserikatan sehingga merusak semangat persatuan. Urusan ini tidak boleh ditunda lagi, harus segera kita bereskan. Marilah kita lekas berangkat ke sana untuk menghentikan perselisihan mereka.”

Lao Touzi menyahut, “Benar. Zu Qianqiu dan Burung Hantu Malam sudah berangkat ke sana. Kami pun hendak menyusul ke sana.”

Linghu Chong bertanya, “Di mana mereka berkumpul?”

“Mereka berkumpul di Huangbaoping,” jawab Lao Touzi.

“Huangbaoping? Di mana itu?” tanya Linghu Chong.

“Di lereng Gunung Jing, sebelah barat Kota Xiangyang,” jawab Lao Touzi.

Linghu Chong berkata, “Jika demikian, marilah kita lekas makan dan minum, lalu segera menyusul ke sana. Kita sudah bertanding minum arak tiga hari tiga malam. Semua orang sudah berusaha memutar otak dan minum sepuasnya, tapi belum juga mampu membuat Linghu Chong mabuk sampai mati. Kelak kalau kalian bertemu Gadis Suci, kalian harus melapor demikian.”

Semua orang kembali tertawa riuh dan berkata, “Kekuatan minum Tuan Muda Linghu bagai lautan. Jangan-jangan setelah bertanding minum denganmu tiga hari tiga malam, kami tetap tidak mampu mengalahkanmu.”

Begitulah, rombongan itu lantas berangkat menuju ke Huangbaoping. Linghu Chong berjalan berdampingan dengan Lao Touzi. Ia bertanya, “Bagaimana keadaan putrimu yang tercinta? Apakah sudah sembuh?”

“Terima kasih banyak atas perhatian Tuan Muda Linghu,” jawab Lao Touzi. “Dia belum sembuh sepenuhnya, tapi sudah tidak terlalu buruk.”

Ada suatu pertanyaan yang selalu menggoda pikiran Linghu Chong selama ini. Melihat orang-orang lain berjalan beberapa meter di belakang, segera ia pun bertanya, “Semua kawan mengatakan telah berhutang budi kepada Gadis Suci. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Usia Gadis Suci masih muda belia, bagaimana dia bisa menanam budi baik kepada kawan-kawan persilatan sebanyak ini?”

Lao Touzi menjawab, “Tuan Muda Linghu bukan orang luar, semestinya hal ini tidak perlu kami rahasiakan. Namun setiap orang telah bersumpah kepada Gadis Suci bahwa rahasia ini tidak akan dibocorkan. Maka dengan terpaksa, mohon Tuan Muda sudi memaklumi.”

“Jika demikian, sebaiknya memang jangan kau ceritakan,” kata Linghu Chong sambil mengangguk.

“Kelak suatu hari nanti, Gadis Suci sendiri yang akan menceritakannya kepada Tuan Muda. Bukankah hal itu akan jauh lebih baik?” ujar Lao Touzi.

“Ya, semoga hari itu segera tiba,” kata Linghu Chong.

Di tengah jalan, rombongan itu bertemu rombongan lain sebanyak dua kali, dan ternyata mereka juga hendak menuju Huangbaoping. Setelah ketiga kelompok tersebut bergabung, jumlah mereka kini mencapai dua ratus orang lebih.

Ketika rombongan mereka sampai di Huangbaoping, saat itu hari sudah menjelang senja. Dari jauh terdengar hiruk-pikuk suara orang saling mencaci-maki diselingi bentakan dan teriakan. Linghu Chong pun mempercepat langkah kakinya. Setelah dekat, di bawah sinar bulan ia melihat di suatu tanah lapang yang luas dan dikelilingi lereng-lereng pegunungan telah berkumpul orang-orang sedemikian banyaknya. Paling tidak mereka berjumlah ribuan.

“Jabatan ketua perserikatan selamanya hanya boleh dipegang satu orang saja,” seru seseorang dengan nada marah, “Kalian berenam ingin menjadi ketua perserikatan sekaligus, ketua perserikatan macam apa pula ini?”

Lawan bicaranya menjawab, “Kami enam bersaudara adalah satu kesatuan, dan satu orang sama dengan enam orang. Asalkan kalian semua tunduk kepada kami enam bersaudara, maka itu berarti kami sudah menjadi ketua perserikatan. Nah, kalian jangan banyak mulut lagi. Kalau masih membantah, maka kami akan menarik tubuh kalian sampai robek menjadi empat potong.”

Mendengar itu, Linghu Chong langsung paham bahwa yang baru saja berbicara adalah satu di antara “Enam Dewa Lembah Persik”. Hanya saja, suara mereka berenam hampir mirip satu sama lain, sehingga ia sukar membedakan siapa yang berbicara.

Rupanya orang yang berbicara pertama tadi merasa ketakutan oleh ancaman tersebut dan tidak berani membuka suara lagi. Tapi orang-orang banyak itu jelas tidak mau tunduk kepada mereka, enam bersaudara. Ada yang berteriak-teriak mencaci-memaki dari jauh, ada yang tertawa mengejek secara sembunyi-sembunyi di kegelapan. Bahkan, ada pula yang melemparkan batu dan menaburkan pasir ke tengah kalangan, sehingga suasana menjadi semakin kacau.

“Siapa yang melempar batu kepadaku?” teriak Dewa Daun Persik.

“Ayahmu!” jawab seseorang dari tempat yang tak terlihat.

“Apa? Kau adalah ayah kakakku? Kalau begitu kau ayahku juga?” seru Dewa Bunga Persik gusar.

“Belum tentu!” sahut seorang lagi.

Serentak bergemuruhlah suara gelak tawa ratusan orang.

“Kenapa belum tentu?” tanya Dewa Bunga Persik bingung.

“Aku tidak tahu, sebab aku hanya punya seorang anak,” sahut lagi seorang lain.

“Kalau anakmu hanya satu, apa ada sangkut-pautnya denganku?” tanya Dewa Akar Persik.

“Tidak ada sangkut-pautnya denganmu, tapi ada sangkut-pautnya dengan saudara-saudaramu,” seru orang itu dengan bergelak tawa.

“Apa kau ada sangkut-pautnya denganku?” tanya Dewa Dahan Persik.

“Mungkin saja, tapi lihat dulu wajahmu mirip denganku, tidak?” kata orang tadi dengan tertawa.

“Apa maksudmu wajahku mirip denganmu?” tanya Dewa Buah Persik. “Coba kau maju.”

“Untuk apa aku maju? Kau bisa bercermin sendiri,” sahut orang itu tertawa.

Mendadak empat sosok bayangan berkelebat dengan kecepatan luar biasa, dan langsung menyeret orang yang berbicara itu dari tempat gelap. Ternyata orang itu bertubuh tinggi besar, sedikitnya ada seratus kilo. Tapi begitu kaki dan tangannya dicengkeram oleh keempat Dewa Lembah Persik tersebut, sedikit pun ia tidak bisa berkutik.

Setelah diseret keluar, di bawah sinar rembulan barulah wajah orang itu dapat terlihat jelas. Dewa Buah Persik lantas berkata, “Tidak mirip. Memangnya wajahku seburuk ini? Kakak Ketiga, mungkin dia mirip denganmu.”

“Cis, memangnya kau lebih tampan daripada aku?” semprot Dewa Ranting Persik. “Sedemikian banyak yang hadir di sini bisa disuruh menjadi juri.”

Sebenarnya semua orang merasa geli melihat wajah Enam Dewa Lembah Persik yang lebih buruk daripada siluman itu, tapi saling mengaku tampan. Namun, melihat laki-laki tinggi besar itu yang setiap saat dapat dirobek menjadi empat potong oleh keempat orang tua aneh tersebut, mereka menjadi waswas dan tidak berani tertawa lagi.

Linghu Chong kenal baik watak Enam Dewa Lembah Persik. Sedikit saja orang-orang itu salah bicara, maka tubuh si tawanan tinggi besar akan langsung mereka robek menjadi empat. Berpikir demikian, ia pun berseru, “Enam Dewa Lembah Persik, bagaimana kalau aku, Linghu Chong yang menjadi juri bagi kalian?” Sambil berbicara ia lantas berjalan masuk ke tengah kalangan.

Mendengar nama “Linghu Chong”, seketika gemparlah semua orang. Beribu pasang mata seketika terpusat ke arahnya. Namun Linghu Chong tetap memandang tanpa berkedip ke arah Enam Dewa Lembah Persik karena khawatir mereka nekat merobek tubuh tawanan tersebut. Ia melangkah maju sambil berkata, “Silakan kalian lepaskan dulu kawan itu, dengan demikian barulah aku dapat menilai wajah kalian secara jelas.”

Enam Dewa Lembah Persik mempunyai kesan baik terhadap Linghu Chong, sehingga mereka segera melepaskan tawanan terebut. Begitu berdiri di atas tanah, tampak laki-laki itu benar-benar berbadan kekar dan tinggi besar bagaikan menara besi. Namun demikian, wajahnya tampak pucat pasi karena perasaannya bergejolak. Maklum saja, ia merasa baru saja lolos dari lubang jarum dan sangat ketakutan seakan-akan jiwanya bisa melayang setiap saat. Ia berusaha sekuat tenaga menabahkan diri namun tetap saja badannya gemetar. Ketika hendak mengucapkan terima kasih, ia hanya bisa berkata, “Aku … aku … aku ….”

Linghu Chong melihat wajah laki-laki itu cukup tampan, hanya pucat pasi karena ketakutan. Maka, ia pun berkata, “Keenam Saudara Persik, menurut pendapatku, wajah kalian sama sekali berbeda dengan wajah kawan ini. Kalian jauh lebih tampan, lebih ganteng. Dewa Akar Persik anggun berwibawa, Dewa Dahan Persik gagah perkasa, Dewa Ranting Persik tinggi semampai, Dewa Daun Persik berwajah indah, Dewa Bunga Persik, hm, bermata cemerlang, dan Dewa Buah Persik sigap penuh semangat. Siapa saja yang melihat kalian pasti akan terkesima. Setiap orang akan langsung tahu kalau kalian adalah enam bersaudara pendekar pembela kebenaran yang bermuka emas. Kalian pria-pria matang awet muda yang tampan dan penuh bakat.”

Maka bergemuruhlah suara gelak tawa banyak orang, membuat Enam Dewa Lembah Persik sangat gembira.

Lao Touzi yang pernah mengalami tubuhnya hampir saja dirobek pun mengetahui kalau mereka adalah enam bersaudara yang ilmunya tidak dapat dipandang remeh. Maka, ia lantas menanggapi, “Menurut pendapatku, di antara para kesatria di seluruh jagat ini, meskipun banyak yang memiliki ilmu silat tinggi, tapi kalau bicara soal ketampanan, wah-wah, siapa pun tidak mampu menandingi Enam Dewa Lembah Persik.”

Mendengar itu para hadirin semakin bersorak ramai. Ada seorang yang menyahut, “Tidak hanya tampan, tapi juga anggun alami. Sepanjang sejarah hanya kalian yang paling tampan dan tidak mungkin ada lagi.”

“Pan An dan Song Yu dari zaman dulu pun tetap tidak bisa menandingi ketampanan kalian.”

“Kalau zaman sekarang, urutan pertama sampai keenam laki-laki paling tampan di dunia persilatan ditempati kalian enam bersaudara. Tuan Muda Linghu paling-paling hanya menempati urutan ketujuh.”

Enam Dewa Lembah Persik tidak sadar kalau mereka sedang mengolok-olok, tapi justru terlihat sangat senang karena mengira pujian dan sorak-sorai tersebut adalah sungguh-sungguh. Keenam bersaudara itu pun tersenyum lebar. Dewa Ranting Pesik lantas berkata, “Dulu ibu kami pernah berkata bahwa kami berenam ini buruk rupa. Ternyata ucapannya tidak benar.”

“Tentu saja tidak benar!” sahut seorang hadirin. “Kalian berenam mana mungkin dikatakan buruk rupa?”

“Lagipula, ayah dan ibu kalian ….” kata seorang yang lain, namun belum selesai bicara sudah langsung dihentikannya dengan membekap mulut sendiri.

Lao Touzi lantas berkata dengan suara lantang, “Kawan-kawan semua, hari ini kita benar-benar sangat beruntung. Tuan Muda Linghu sedang dalam perjalanan seorang diri menuju Biara Shaolin demi membebaskan Gadis Suci. Di tengah jalan Beliau bertemu kami dan mendengar kalau kawan-kawan semua sedang berkumpul di sini. Maka, Beliau lantas memutuskan untuk datang kemari dan berunding dengan kita semua. Memang benar, bicara soal ketampanan tidak ada yang melebihi Enam Dewa Lembah Persik …” Sampai di sini seketika kembali terdengar suara gelak tawa ramai orang banyak. Lao Touzi pun melambaikan tangan supaya mereka berhenti tertawa, lalu menyambung, “Tapi kepergian kita ini adalah untuk menghadapi Perguruan Shaolin. Urusan membebaskan Gadis Suci yang mahapenting ini rasanya tidak terlalu erat hubungannya dengan ketampanan wajah. Maka menurut pendapatku, marilah kita angkat Tuan Muda Linghu menjadi ketua perserikatan kita. Mohon Beliau mengatur segalanya dan memberi perintah, kita tinggal menjalankannya. Bagaimana pendapat kawan-kawan sekalian?”

Semua orang mengetahui sebab-musabab terkurungnya Gadis Suci di Biara Shaolin itu adalah karena ingin menyembuhkan penyakit Linghu Chong. Selain itu, ilmu silat Linghu Chong yang sangat tinggi pun telah diketahui oleh mereka. Ini karena berita tentang sepak terjangnya saat bertempur mendampingi Xiang Wentian di daerah Henan telah tersebar luas dan menggegerkan dunia persilatan. Sekalipun Linghu Chong tidak memiliki kemampuan juga mereka tetap sepakat mengangkatnya sebagai ketua perserikatan, mengingat hubungannya dengan Gadis Suci. Maka, begitu mendengar usulan Lao Touzi tersebut seketika mereka lantas bersorak gembira dan banyak yang bertepuk tangan pula.

Sebaliknya, Dewa Bunga Persik justru berseru dengan suara heran, “Kita akan pergi membebaskan Nona Besar Ren. Jika berhasil, apakah dia akan dijadikan istri Linghu Chong?”

Semua orang sangat hormat dan segan kepada Ren Yingying, maka tiada seorang pun yang berani menjawab meskipun ucapan Dewa Bunga Persik itu tidaklah salah. Linghu Chong sendiri lebih-lebih merasa rikuh, sehingga ia terpaksa hanya diam tanpa bersuara.

Tiba-tiba Dewa Daun Persik menyahut, “Wah, dia mendapat istri, menjadi ketua perserikatan pula, sungguh terlalu enak baginya. Kalau kita pergi membantunya mendapatkan istri, maka jabatan ketua perserikatan ini harus diserahkan kepada kami enam bersaudara.”

“Betul!” seru Dewa Akar Persik. “Kecuali kalau dia mempunyai kepandaian yang lebih hebat daripada kami, tentu itu lain cerita.”

Usai berkata demikian ia langsung melesat maju bersama Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Buah Persik. Dalam sekali cengkeram, kedua lengan dan kaki Linghu Chong terpegang dan terangkat ke atas.

Begitu cepat gerakan keempat orang itu, sebelumnya sama sekali tiada tanda-tanda akan menyerang. Tentu saja Linghu Chong tidak sempat menghindar, tahu-tahu kedua tangan dan kedua kakinya sudah dipegang erat-erat oleh mereka dan tubuhnya diangkat ke atas.

Melihat itu para hadirin pun berteriak-teriak, “Hei, hei, jangan! Cepat lepaskan!”

“Jangan khawatir!” sahut Dewa Daun Persik dengan tertawa. “Kami tidak akan mencelakai dia. Kami hanya ingin dia menyetujui jabatan ketua perserikatan diserahkan kepada kami ….”

Namun sebelum perkataannya habis, tiba-tiba Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Buah Persik sama-sama menjerit aneh dan buru-buru melepaskan Linghu Chong sambil berteriak-teriak, “Hei, hei, kau … kau memakai ilmu sihir apa?”

Rupanya Linghu Chong juga khawatir ketika keempat manusia tolol itu tahu-tahu menangkap kedua tangan dan kakinya. Mereka suka berubah-ubah pikiran sehingga bisa jadi segalanya pun dilakukan. Khawatir tubuhnya benar-benar dirobek menjadi empat, Linghu Chong pun mengerahkan Jurus Penyedot Bintang. Seketika keempat Dewa Lembah Persik itu merasa tenaga dalam mereka membanjir keluar melalui telapak tangan masing-masing. Semakin mereka berusaha menahan, semakin deras pula tenaga yang keluar. Karena itu, mereka pun mengibaskan tangan untuk melepaskan pegangan.

Merasa tubuhnya sudah terbebas dari cengkeraman, Linghu Chong pun menghentikan ilmu saktinya, kemudian berjumpalitan di udara dan berdiri tegak di tengah kalangan.

“Ada apa?” tanya Dewa Daun Persik.

“Ilmunya … ilmunya benar-benar sangat aneh, kami tidak dapat memegang dia,” seru Dewa Ranting Persik dan Dewa Buah Persik bersamaan.

Dewa Dahan Persik menyahut, “Bukannya kami tidak dapat memegang dia, tapi entah kenapa tiba-tiba kami tidak ingin memegang dia.”

Serentak para hadirin bersorak-sorai. Mereka serentak berseru, “Nah, Enam Dewa Lembah Persik, apa sekarang kalian bersedia tunduk?”

Dewa Akar Persik menjawab, “Linghu Chong adalah sahabat kami. Maka, Linghu Chong adalah Enam Dewa Lembah Persik, dan Enam Dewa Lembah Persik adalah Linghu Chong. Jika kalian mengangkat Linghu Chong sebagai ketua perserikatan, itu berarti Enam Dewa Lembah Persik juga menjadi ketua perserikatan. Jadi, kami tunduk kepada siapa?”

Dewa Bunga Persik menambahkan, “Di dunia ini mana ada orang yang tidak tunduk kepada dirinya sendiri? Huh, pertanyaan kalian sungguh merendahkan.”

Para hadirin melihat sebenarnya Enam Dewa Lembah Persik telah mengalami kekalahan ketika tadi berusaha menangkap Linghu Chong. Hanya saja, mereka adalah enam bersaudara yang selalu menjaga gengsi sehingga tetap saja bersilat lidah meskipun pada akhirnya menyetujui Linghu Chong sebagai ketua perserikatan. Meskipun tidak mengetahui sebab-musababnya, para hadirin serentak bersorak gembira.

Linghu Chong kemudian berkata, “Kawan-kawan sekalian, keberangkatan kita ini adalah untuk menyambut bebasnya Gadis Suci, sekaligus menyelamatkan saudara-saudara kita yang ikut tertawan di sana. Tapi Biara Shaolin adalah bintang kejora dunia persilatan. Tujuh puluh dua jenis kepandaian mereka telah termasyhur di muka bumi selama beberapa ratus tahun dan sampai sekarang tidak ada yang mampu menandinginya. Namun jumlah kita lebih banyak daripada mereka. Di sini saja paling tidak ada ribuan orang, belum ditambah dengan orang-orang gagah yang akan menggabungkan diri dalam waktu singkat. Meskipun seandainya ilmu silat kita tidak dapat menandingi murid-murid Biara Shaolin, namun kalau sepuluh lawan satu rasanya kita masih bisa unggul.”

“Benar, benar!” seru orang banyak bergemuruh. “Memangnya biksu-biksu Shaolin punya tiga kepala dan enam tangan sehingga bisa melawan keroyokan kita?”

Linghu Chong menyambung, “Akan tetapi, perlu kalian ingat pula, meskipun para biksu Shaolin menahan Gadis Suci sekian lama, namun mereka tidak membuatnya susah. Para biksu agung di Biara Shaolin itu adalah kaum alim tercerahkan yang selalu mengutamakan sifat welas asih. Sungguh patut dihormati. Maka kalau kita sampai merusak Biara Shaolin, tentu para kesatria dunia persilatan yang lain akan mencela perbuatan kita dan menuduh kita menang karena mengandalkan jumlah yang banyak. Tentu ini bukan perbuatan gagah sejati. Oleh sebab itu, sebaiknya kita mengusahakan perundingan lebih dulu sebelum menggunakan kekerasan. Jika kita dapat membujuk pihak Perguruan Shaolin untuk membebaskan Gadis Suci serta kawan-kawan yang lain demi menghindari pertumpahan darah, aku rasa jalan inilah yang paling baik.”

Zu Qianqiu si sastrawan dekil menyahut, “Ucapan Tuan Muda Linghu sesuai dengan pikiranku. Jika kita benar-benar bertempur, tentu akan banyak jatuh korban di antara kedua pihak.”

Dewa Ranting Persik menukas, “Tapi ucapan Tuan Muda Linghu justru tidak sesuai dengan pikiranku. Kalau kedua pihak tidak bertempur, tentu tidak akan jatuh korban. Lalu apanya yang menyenangkan?”

Zu Qianqiu berseru, “Tuan Muda Linghu sudah kita angkat menjadi ketua perserikatan. Maka, segala perintah dan petunjuknya harus kita turuti.”

Dewa Akar Persik berkata, “Memang benar. Tapi urusan memberi perintah biar kami saja, Enam Dewa Lembah Persik yang melakukan.”

Melihat ketololan Enam Dewa Lembah Persik yang mengganggu pembicaraan penting itu, membuat para hadirin kesal. Banyak di antara mereka yang bersiap memegang senjata. Asalkan Linghu Chong memberi isyarat sedikit saja, tentu mereka serentak maju untuk mencincang keenam bersaudara itu. Betapa pun tinggi kepandaian mereka juga tidak akan mampu melawan serbuan banyak orang.

Zu Qianqiu lantas berkata, “Apa saja yang harus dilakukan seorang ketua perserikatan, dengan sendirinya dia harus memberi perintah dan mengatur sesuatu. Kalau dia tidak dapat memberi perintah, maka namanya bukan ketua lagi.”

Dewa Bunga Persik berkata, “Kalau begitu kita panggil dia ‘perserikatan’ saja, tidak perlu dipanggil ‘ketua’ segala.”

Dewa Daun Persik menyahut, “Kalau dipanggil ‘perserikatan’ saja jadinya aneh.”

Dewa Dahan Persik menanggapi, “Benar. Kalau dipanggil ‘perserikatan’ saja jadinya aneh. Bagaimana kalau kita pisah huruf ‘perserikatan’ menjadi ‘darah terang’?

Dalam bahasa Mandarin, “ketua perserikatan” disebut dengan kata “mengzu”. Sementara huruf “meng” sendiri tersusun dari dua unsur “ming” dan “min”. Namun Dewa Dahan Persik yang kurang terpelajar mengira itu tersusun dari unsur “ming” dan “xue”, yang jika digabung menjadi kata “darah terang”.

“Bukan, bukan,” sahut Dewa Ranting Persik. “Huruf ‘perserikatan’ kalau dipisah bukan menjadi unsur ‘darah’ dan ‘terang’. Bentuk hurufnya memang mirip ‘darah’, tapi kurang satu goresan. Huruf apa itu? Ada yang tahu?”

Para hadirin tidak ada yang menjawab. Mereka membiarkan keenam bersaudara itu berdebat sendiri memperlihatkan kebodohan mereka.

Dewa Dahan Persik berkata, “Kurang satu goresan atau tidak, bagiku tetap saja itu dibaca ‘darah’. Misalnya, aku membacokmu dengan golok dan kau mengeluarkan darah yang banyak. Tapi karena mengingat rasa persaudaraan kita, maka aku menggoresmu saja sehingga yang keluar darah sedikit. Bukankah sedikit atau banyak tetap saja disebut darah?”

Dewa Ranting Persik menyahut dengan gusar, “Tak peduli membacok atau menggores, kalau golokmu sampai mengenai kulitku, itu namanya sudah merusak rasa persaudaraan! Mengapa kau ingin membacokku dengan golok?”

Dewa Dahan Persik berkata, “Aku tidak ingin membacokmu. Lagipula aku tidak memegang golok.”

“Bagaimana kalau di tanganmu ada golok?” seru Dewa Ranting Persik.

Para hadirin semakin gusar melihat perrdebatan enam bersaudara yang kacau balau itu. Beberapa lantas berteriak keras, “Tutup mulut kalian! Kami ingin mendengarkan Ketua Perserikatan memberi perintah!”

Dewa Ranting Persik berkata, “Kalau dia mau memerintah, silakan saja. Kenapa kami yang harus tutup mulut?”

Linghu Chong lalu berseru lantang, “Kawan-kawan, kalau dihitung-hitung, masih ada sisa waktu tujuh belas hari lagi menuju tanggal lima belas bulan dua belas. Biara Shaolin berada di Gunung Shaoshi yang terletak di dekat Pegunungan Songshan. Kalau kita berjalan perlahan-lahan maka akan tiba di sana tepat waktu, tidak perlu tergesa-gesa. Perjalanan kita kali ini juga tidak perlu sembunyi-sembunyi. Semua kita lakukan secara terang-terangan. Besok kita akan membeli kain untuk dijadikan panji-panji dengan tulisan yang jelas, yang berbunyi “Para Pendekar Dunia Persilatan Menuju ke Biara Shaolin, Memuja Sang Buddha, Menghormati Para Biksu, dan Menyambut Kepulangan Nona Ren”. Kita juga bisa membeli beberapa genderang dan menabuhnya sepanjang jalan. Biar saja orang-orang Perguruan Shaolin lari ketakutan mendengarnya sebelum kita tiba di sana.”

Orang-orang yang berkumpul ini kebanyakan berasal dari golongan manusia-manusia kasar yang suka usil dan mencari gara-gara. Begitu mendengar perintah Linghu Chong untuk berbuat keributan, serentak mereka pun bersorak-sorai kegirangan. Sementara itu, beberapa dari mereka juga terdapat kaum berpengalaman yang biasa berhati-hati. Melihat tingkah laku kawan-kawan mereka yang kasar itu, mereka hanya tersenyum sambil mengelus janggut.

Esok paginya, Linghu Chong memberi tugas kepada Ji Wushi, Zu Qianqiu, dan Lao Touzi untuk memimpin orang-orang mempersiapkan panji-panji dan sejumlah genderang. Menjelang tengah hari mereka telah menulisi puluhan panji-panji dari kain putih. Namun genderang yang dapat mereka beli hanya dua buah saja.

Linghu Chong pun berkata, “Mari kita berangkat sekarang saja. Di sepanjang perjalanan nanti kita akan melewati beberapa kota besar dan kecil. Kita dapat singgah di sana untuk membeli alat-alat yang kita perlukan.”

Semua orang bersorak mengiakan. Segera ada yang mulai membunyikan genderang, lalu berangkatlah rombongan besar itu menuju ke utara dengan berbaris panjang.

Serangan tiba-tiba dari Lao Touzi.


Enam Dewa Lembah Persik menangkap tawanan.


(Bersambung)