Bagian 11 - Pertarungan Sambil Duduk


Linghu Chong berusaha meyakinkan Tian Boguang.

Liu Zhengfeng berkata, “Meskipun Keponakan Linghu bermaksud baik, namun mulutnya terkesan lancang dan suka bicara omong kosong melebihi batas. Tapi harus diakui, untuk menghadapi penjahat sakti seperti Tian Boguang memang harus pandai berdusta seperti yang dilakukannya. Membohongi seorang penjahat adalah suatu hal yang sangat sulit.”
Yilin menyahut, “Jadi menurut Paman Liu, Kakak Linghu hanya berdusta saja? Jadi, dia hanya ingin menipu Tian Boguang?”
“Tentu saja,” jawab Liu Zhengfeng. “Mana mungkin kaum laki-laki Serikat Pedang Lima Gunung memiliki keyakinan konyol seperti itu; bahwa biksuni adalah racun paling mematikan? Esok lusa adalah hari upacara pengunduran diriku. Jika benar kaum biksuni adalah racun, mana mungkin aku mengundang para kakak dan keponakan dari Perguruan Henshan yang mulia? Justru aku sangat menghormati Kakak Dingyi dan mengharap kehadiran kalian semua di rumahku ini.”
Mendengar penjelasan Liu Zhengfeng, wajah Dingyi terlihat sedikit tenang. Namun ia masih saja memaki, “Huh, mulut Linghu Chong yang kotor itu entah hasil didikan siapa?” Perkataannya ini seolah menyindir guru Linghu Chong, atau ketua Perguruan Huashan.
“Kakak Dingyi jangan marah,” ujar Liu Zhengfeng. “Tian Boguang adalah penjahat berilmu tinggi. Aku yakin Keponakan Linghu merasa tidak sanggup mengalahkannya dalam pertarungan, sehingga menggunakan kata-kata yang kotor dan kasar untuk membebaskan Keponakan Yilin. Coba pikir, Tian Boguang sudah berkelana ke mana-mana, tentu pengalamannya sedemikian luas. Untuk membohongi manusia seperti dia diperlukan kata-kata yang tepat meskipun ada pihak lain yang harus tersinggung. Kita hidup di dunia persilatan, sekali-kali tentu bertemu dengan masalah sulit seperti ini. Tentu saja Tuan Yue dan segenap Perguruan Huashan sangat menghormati Perguruan Henshan yang mulia. Apabila Keponakan Linghu tidak menghormati tiga biksuni sepuh, mana mungkin dia begitu mati-matian berusaha menyelamatkan seorang murid Henshan?”
“Terima kasih atas penjelasanmu, Adik Liu,” sahut Dingyi sambil mengangguk. Ia lantas bertanya kepada Yilin, “Apakah Tian Boguang kemudian membebaskanmu?”
“Tidak juga,” jawab Yilin. “Waktu itu Kakak Linghu terus-menerus berusaha meyakinkannya. Ia berkata, ‘Saudara Tian, ilmu ringan tubuhmu nomor satu di dunia. Namun, jika kau terkena kutukan karena menyentuh biksuni, maka semua kehebatanmu hanya sia-sia belaka.’
Tian Boguang terlihat ragu-ragu dan memandang sejenak ke arah saya, kemudian berkata, ‘Terima kasih atas nasihat Saudara Linghu. Aku biasa berkelana seorang diri ke mana-mana. Hidup atau mati bukan hal yang penting bagiku. Apalagi yang harus aku takutkan? Kita sudah terlanjur bertemu dengan biksuni ini, bukankah sebaiknya kita biarkan saja dia tetap di sini untuk menemani kita minum?”
Pada saat itulah tiba-tiba seorang pemuda yang duduk di meja sebelah menerjang ke arah kami sambil menghunus pedang. Ia membentak, ‘Apakah kau ini... kau ini bernama Tian Boguang?’
‘Benar, akulah orangnya,’ jawab Tian Boguang. ‘Memangnya kenapa?’
Pemuda itu berkata, ‘Kau penjahat cabul, aku akan membunuhmu! Setiap orang persilatan menginginkan kepalamu, tapi kau malah enak-enakan minum di sini. Benar-benar mencari mampus.’
Usai berkata ia langsung mengayunkan pedangnya menggunakan jurus Perguruan Taishan. Pemuda itu... pemuda itu adalah dia!” kata Yilin sambil menunjuk ke arah mayat yang tergeletak di atas papan pintu.
“Dia adalah muridku,” sahut Pendeta Tianmen sambil mengangguk. “Chi Baicheng, Chi Baicheng, kau sungguh bocah pintar.”
Yilin melanjutkan, “Tian Boguang bergerak secepat kilat dan tahu-tahu tangannya sudah memegang golok. Kemudian ia berkata sambil tersenyum, ‘Sudahlah, sudahlah! Mari minum lagi, mari minum lagi!’ Usai berkata ia lantas menyarungkan kembali goloknya di pinggang.
Tidak seorang pun di loteng rumah minum tersebut yang mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya telah terjadi. Entah bagaimana, tiba-tiba dada kakak dari Taishan itu sudah terluka dan menyemburkan darah. Ia memandangi Tian Boguang dengan sorot mata tajam, kemudian roboh di lantai.”

Tian Boguang ditodong oleh Chi Baicheng dan Tiansong.
Yilin kemudian menoleh ke arah Pendeta Tiansong yang terbaring di samping mayat Chi Baicheng, kemudian melanjutkan, “Paman dari Taishan itu lantas maju menyerang Tian Boguang dengan pedangnya pula. Tentu saja ilmu silat paman itu lebih hebat daripada keponakannya tadi. Namun, Tian Boguang mampu menangkis semua serangannya sambil tetap duduk di atas bangku. Tiga puluh jurus terlewati namun penjahat itu tidak juga berdiri. Ia mampu mengatasi semua serangan paman itu.”
Pendeta Tianmen tertegun mendengarnya. Ia kemudian menoleh kepada Tiansong dan bertanya, “Adik, apakah ilmu silat penjahat itu sedemikian hebat?”
Tiansong tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang kemudian memalingkan muka ke arah lain.
Yilin melanjutkan, “Pada saat itulah Kakak Linghu melolos pedangnya dan segera menyerang Tian Boguang. Penjahat itu langsung berdiri dan menangkis....”
“Apa kau tidak salah?” sela Dingyi. “Pendeta Tiansong menyerang dengan tiga puluh jurus namun tidak mampu membuatnya berdiri, mengapa serangan Linghu Chong yang hanya sekali langsung membuat keparat itu bangun? Memangnya ilmu silat Linghu Chong lebih hebat daripada Pendeta Tiansong?”
Yilin menjawab, “Begitulah yang terjadi. Tian Boguang berkata, ‘Saudara Linghu sudah kuanggap sebagai kawan yang sederajat. Karena kau menyerangku sambil berdiri, maka aku pun ikut berdiri. Jika aku tetap saja duduk di sini, itu berarti aku tidak menghormati dirimu. Meskipun ilmu silatku jauh lebih hebat, namun tidak sepantasnya aku menghina dirimu. Nah, kalau menghadapi si hidung... hidung kerbau itu, maka ceritanya tentu lain.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Terima kasih atas pujianmu. Aku tidak pantas menerima penghormatan setinggi ini.’ Usai berkata, ia kembali menyerang Tian Boguang sebanyak tiga kali. Guru, tiga serangan Kakak Linghu ini sungguh cepat dan mengerikan. Sinar pedangnya terlihat mengepung rapat tubuh Tian Boguang....”
Dingyi menukas, “Itu adalah jurus Tiga Puncak Gunung Huashan, ciptaan si tua Yue. Konon, serangan kedua lebih hebat daripada yang pertama, dan yang ketiga lebih hebat daripada yang kedua. Lantas, bagaimana cara Tian Boguang menangkisnya?”
Yilin menjawab, “Tiap kali menangkis, Tian Boguang mundur satu langkah. Jadi, ia mundur sebanyak tiga langkah. Sambil mundur ia memuji, ‘Jurus bagus!’ Kemudian ia berpaling ke arah Paman Tiansong dan bertanya, ‘Hidung kerbau, kenapa kau tidak bergabung mengeroyok aku?’ Memang, sejak Kakak Linghu menyerang untuk yang pertama kalinya, Paman Tiansong langsung melangkah mundur.
Paman Tiansong menjawab, ‘Aku seorang kesatria dari Perguruan Taishan. Mana mungkin aku merendahkan diriku dengan bertarung melawan penjahat busuk seperti dirimu?’
Saya pun menyahut, ‘Paman jangan salah paham! Kakak Linghu orang yang baik.’
Paman Tiansong menjawab, ‘Orang baik apanya? Mungkin yang benar, dia adalah begundal Tian Boguang yang paling baik.’ Usai berkata demikian tiba-tiba Paman Tiansong menjerit kesakitan. Beliau mendekap dada sambil memandang heran.
Saya melihat darah mengalir melalui sela-sela jari tangan Paman Tiansong. Entah ilmu apa yang dipakai Tian Boguang, tahu-tahu ia sudah melukai dada Paman Tiansong. Padahal, sama sekali saya tidak melihatnya menggerakkan tangan atau mengayunkan golok. Sudah pasti serangannya sangat cepat dan tak terlihat. Saya pun menjerit, ‘Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!’
Tian Boguang menjawab, ‘Baiklah, karena si cantik yang meminta, maka aku tidak akan membunuhmu.’
Segera Paman Tiansong berlari menuruni tangga loteng. Kakak Linghu berniat menyusul tapi dicegah Tian Boguang. “Saudara Linghu tidak perlu menolongnya. Si hidung kerbau itu sangat sombong; untuk apa kau mempermalukan dirimu sendiri? Lebih baik di sini saja, kita lanjutkan minum bersama.’
Kakak Linghu mengangguk dan kembali duduk dengan tersenyum dingin. Ia kemudian menuang arak dan meminumnya sampai habis dua mangkuk.
Guru, salah satu larangan utama dalam agama kita adalah tidak boleh minum arak. Meskipun Kakak Linghu bukan pengikut Buddha, namun tidak sebaiknya ia minum arak tanpa henti seperti itu. Arak sangat buruk untuk kesehatannya. Namun saya tidak berani menasihatinya. Saya takut dia kembali memaki, ‘Setiap kali melihat biksuni....’”
“Sudahlah, sudahlah, dia tidak akan mengucapkan kalimat gila itu lagi untuk selamanya,” sahut Dingyi.
“Benar, Guru,” jawab Yilin sedih.
“Apa yang terjadi setelah itu?” tanya Dingyi.
Yilin menjawab, “Kemudian Tian Boguang berkata, ‘Hidung kerbau tadi terhitung lumayan juga. Serangan golokku sangat cepat dan mematikan, namun dia sempat mundur beberapa senti sehingga lolos dari maut. Hm, ilmu silat Perguruan Taishan ternyata bukan nama kosong. Saudara Linghu, karena si hidung kerbau tadi dapat meloloskan diri, tentu di kemudian hari dia akan mendatangkan kesulitan bagimu. Sebenarnya aku ingin membunuhnya; namun sayang, dia berhasil menghindari seranganku.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Setiap hari aku selalu bertemu masalah. Lupakan saja semuanya, dan sebaiknya kita minum lagi. Kalau serangan Saudara Tian tadi ditujukan kepadaku, tentu aku sudah mati dan tidak sempat menghindarinya. Ilmu silatku jelas tidak sehebat Paman Tiansong.’
Tian Boguang menjawab, ‘Sebenarnya aku tadi menghadapi dirimu hanya dengan setengah kekuatan saja. Itu semua sebagai balas budi karena tadi malam kau sudah berbaik hati mengampuni nyawaku.
Waktu itu saya merasa sangat bingung. Jangan-jangan dalam pertarungan tadi malam Kakak Linghu berhasil mengalahkan Tian Boguang dan mengampuni nyawanya.”
Para hadirin terkejut pula mendengar hal ini. Mereka sama-sama berpikir, tidak seharusnya Linghu Chong mengampuni seorang penjahat cabul semacam Tian Boguang.
Terdengar Yilin kembali bercerita, “Kakak Linghu kemudian menjawab, ‘Dalam pertarungan di gua tadi malam aku sudah mengerahkan segenap kemampuan. Ilmu silatku jauh lebih rendah darimu, mana mungkin aku berani mengaku telah bermurah hati kepadamu?’
Tian Boguang menjawab, ‘Bukankah tadi malam sewaktu aku memburu kalian di dalam gua, kau telah menusuk bahuku? Waktu itu aku hanya mendengar suara biksuni cilik ini, sedangkan kau telah menahan napasmu. Aku sama sekali tidak mengetahui keberadaanmu, tapi kau bersikap kesatria dengan menusukku secara perlahan saja. Saudara Linghu, sebenarnya kau bisa saja membunuhku dengan mudah. Bagiku kau bukan pemuda biasa, tapi seorang laki-laki sejati yang tidak sudi membunuh orang lain secara licik.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tadi malam aku tidak tahan melihatmu mendekati biksuni ini. Meskipun aku tidak suka terhadap biksuni, namun aku juga tidak suka menyaksikan pemerkosaan. Apalagi dia ini murid Perguruan Henshan. Sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, mana mungkin aku berpeluk tangan menyaksikan saudaraku disakiti? Maka itu, aku pun menusukmu sebelum kau mendekatinya.’
Tian Boguang berkata, ‘Meskipun demikian, andai saja kau dorong pedangmu dua atau tiga senti lagi, tentu nyawaku sudah melayang. Tapi mengapa ketika pedangmu sudah mengenai sasaran tiba-tiba kau tarik kembali?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Sebagai murid Huashan sejak kecil aku dididik guruku untuk selalu bersikap kesatria. Aku tidak akan membunuh musuh secara diam-diam. Kau lebih dulu menebas bahuku, sebagai gantinya kutusuk bahumu; bukankah itu adil? Sekarang kita sama-sama tidak saling berhutang. Kalau bertempur lagi tidak perlu segan!’
Tian Boguang tertawa dan berkata, ‘Bagus sekali, bagus sekali! Aku senang bisa berteman denganmu. Mari kita habiskan semua arak di meja ini.’
Kakak Linghu berkata, ‘Ilmu silatmu lebih hebat. Tapi kalau urusan minum arak, belum tentu aku kalah darimu, Saudara Tian.’
Tian Boguang menegas, ‘Apa? Jadi, kau hendak menantangku adu minum? Boleh juga. Mari kita minum sepuluh mangkuk sekaligus!’
Kakak Linghu menjawab, ‘Saudara Tian, kupikir kau ini seorang laki-laki sejati, tapi kau sengaja menantangku dalam keadaan seperti ini. Kau sengaja hendak mengambil keuntungan dalam kelemahanku. Hm, ternyata aku sudah salah sangka terhadapmu. Dalam hal ini aku sungguh menyesal.’
Tian Boguang melirik Kakak Linghu dan bertanya, ‘Mengambil keuntungan bagaimana?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Kau sendiri tahu kalau aku ini paling muak melihat biksuni. Begitu melihat dia, selera minumku langsung hilang. Bagaimana aku bisa melayanimu adu minum kalau dia masih ada di sini?’
Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dan berkata, ‘Saudara Linghu, kau ini memang sangat licik. Kau gunakan segala tipu muslihat untuk membebaskan biksuni cilik ini. Akan tetapi, aku menyukai wanita cantik melebihi segalanya. Aku telah menangkap biksuni cilik ini, dan aku tidak akan pernah melepaskannya. Apabila kau ingin aku melepaskannya, maka kau harus menerima syarat dariku.’
Kakak Linghu bertanya, ‘Syarat macam apa? Cepat katakan! Sekalipun harus mendaki gunung pedang, atau terjun ke dalam minyak mendidih juga aku tidak takut. Jika aku tidak berani menerima syarat darimu, maka aku bukan laki-laki sejati.’
Tian Boguang menuang arak pada guci ke dalam dua mangkuk, lalu berkata, ‘Mari minum dulu sebelum aku jelaskan apa persyaratannya.’
Kakak Linghu langsung mengambil satu mangkuk dan meneguk habis isinya, sedangkan Tian Boguang mengambil mangkuk yang satunya lagi. Setelah minum, penjahat itu berkata, ‘Saudara Linghu, kau ini sudah kuanggap sebagai teman. Dalam dunia persilatan ada pantangan mengganggu istri seorang teman. Maka itu, aku memintamu untuk menikahi... menikahi... menikahi biksuni cilik ini....’” Raut muka Yilin bersemu merah dan bicaranya terputus-putus ketika menceritakan bagian ini. Kepalanya pun tertunduk dan suaranya semakin lirih.
“Omong kosong!” bentak Dingyi sambil kembali menggebrak meja. “Benar-benar manusia cabul yang tidak tahu adat. Lalu bagaimana setelah itu?”
Yilin menjawab dengan suara lembut, “Tian Boguang terus saja mengoceh untuk mendesak Kakak Linghu. Ia berkata, ‘Seorang laki-laki sejati pantang menjilat ludahnya sendiri. Perkataan yang sudah diucapkan bagaikan kereta kuda yang tidak bisa ditarik mundur. Apabila kau menikahi... menikahi biksuni cilik ini, maka aku akan melepaskannya. Tidak hanya itu, aku bahkan membungkuk kepadanya dan menaruh penghormatan besar kepada biksuni cilik ini. Inilah syarat yang aku ajukan.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Huh, kau suruh aku menikahinya? Apa kau ingin membuatku sial seumur hidup? Sudahlah, kau cari syarat yang lain saja!’
Tapi Tian Boguang terus saja mengoceh. Katanya kalau biksuni memelihara rambut tentu tidak bisa disebut biksuni lagi. Dia terus berkata macam-macam. Entah apa saja yang diucapkannya karena saya memejamkan mata dan menutup kedua telinga.
Kakak Linghu akhirnya membentak, ‘Tutup mulutmu! Persetan dengan syaratmu itu! Kita ini kaum persilatan. Syarat yang paling baik adalah bertempur sampai salah satu dari kita mati.’”
Tian Boguang menjawab dengan wajah mengejek, ‘Kalau bertarung jelas kau ini bukan tandinganku.’
‘Memang benar,’ jawab Kakak Linghu. ‘Kalau bertempur sambil berdiri, memang aku bukan tandinganmu. Pertama, karena ilmu ringan tubuhmu sangat sempurna; kedua, karena aku sendiri sudah terluka dan kehilangan banyak darah. Oleh karena itu, aku menantangmu bertarung sambil duduk.’”
Mendengar sampai di sini para hadirin terkejut bukan main. Mereka masih ingat cerita Yilin tentang betapa hebatnya ilmu silat Tian Boguang. Sambil tetap duduk di atas bangku, penjahat itu telah membunuh Chi Baicheng dalam sekali serang; juga bagaimana dia menangkis semua serangan Pendeta Tiansong sebanyak tiga puluh jurus tanpa bangkit sedikit pun. Akan tetapi, Linghu Chong justru menantangnya bertarung sambil duduk.
He Sanqi mengangguk dan berkata, “Apa yang dilakukan Linghu Chong sungguh cerdik. Menghadapi penjahat seperti Tian Boguang memang harus memancing kemarahannya terlebih dulu.”
Yilin berkata, “Namun Tian Boguang sama sekali tidak marah mendengar tantangan itu. Dia justru memuji, ‘Saudara Linghu, aku mengagumi keberanianmu, tapi tidak kagum terhadap ilmu silatmu.’
Kakak Linghu membalas, ‘Aku mengagumi ilmu golokmu yang dilakukan sambil berdiri, bukan ilmu golok sambil duduk.’
Tian Boguang bergelak tawa dan berkata, ‘Ada satu hal yang tidak kau ketahui. Sewaktu masih remaja, aku pernah menderita sakit lumpuh. Selama dua tahun aku berlatih golok sambil duduk. Boleh dikata, bertarung sambil duduk adalah keahlianku yang sangat istimewa. Bukankah tadi kau melihat sendiri bagaimana aku menghadapi si hidung... si hidung... si pendeta dari Taishan tanpa berdiri sedikit pun? Sebenarnya aku tidak bermaksud merendahkannya, namun hanya sekadar memperagakan kehalianku yang satu itu. Dalam hal ini, jelas kau bukan tandinganku, Saudara Linghu.’
Dengan tenang Kakak Linghu menjawab, ‘Saudara Tian, ada satu hal pula yang tidak kau ketahui. Karena sakit lumpuh, kau telah berlatih ilmu golok sambil duduk selama dua tahun. Hm, hanya dua tahun saja. Padahal, hampir setiap hari aku berlatih ilmu pedang sambil duduk. Ilmu silatku memang lebih rendah darimu. Namun, untuk yang satu ini jelas kepandaianku lebih tinggi.’”
Mendengar sampai di sini para hadirin serentak berpaling ke arah Lao Denuo seolah ingin tahu apakah Perguruan Huashan memang memiliki teknik bertarung sambil duduk. Lao Denuo yang menyadari isi pikiran mereka buru-buru menggeleng sambil menjawab, “Tidak, tidak benar. Dalam perguruan kami tidak terdapat ilmu pedang sambil duduk. Kakak Pertama hanya bercanda.”
Yilin melanjutkan ceritanya, “Begitulah, Tian Boguang juga merasa heran. Ia pun berkata, ‘Apa benar demikian, Saudara Linghu? Wah, pengalamanku benar-benar sempit. Aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa ilmu pedang Huashan sambil duduk itu. Kalau boleh tahu, apa nama jurus tersebut?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Ilmu pedang sambil duduk ini bukan ajaran guruku, melainkan hasil ciptaanku sendiri.’
Tian Boguang terkesima dan memuji, ‘Saudara Linghu, kau ini benar-benar pandai dan berbakat. Sungguh mengagumkan!’”
Para hadirin memaklumi mengapa Tian Boguang berkata demikian. Bagi seorang pesilat, menciptakan jurus baru merupakan suatu hal yang sangat sulit. Hanya seorang tokoh papan atas yang berilmu tinggi atau berwawasan luas saja yang bisa melakukannya. Sebuah perguruan ternama seperti Huashan telah berdiri selama ratusan tahun dan setiap jurus-jurusnya telah diperbaiki dan diuji ribuan kali. Untuk memperbaiki satu jurus saja bukanlah hal yang mudah; apalagi menciptakan sebuah jurus baru.
Diam-diam Lao Denuo merasa heran. Ia berpikir, “Apakah Kakak Pertama telah menciptakan sebuah jurus pedang baru? Mengapa ia tidak pernah cerita kepada Guru?”
Yilin melanjutkan, “Waktu itu Kakak Linghu tertawa dan berkata, ‘Ilmu pedang ciptaanku ini sangat bau; kau tidak perlu mengaguminya.’
Tian Boguang heran dan bertanya, ‘Mengapa demikian? Jurus pedang biasanya disebut bagus atau buruk, kenapa yang ini kau sebut bau?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Terus terang saja, jurus pedang ini kuciptakan berdasarkan pengalamanku pribadi. Setiap pagi aku buang hajat di dalam kakus, dan selalu saja ada lalat yang terbang kesana-kemari membuatku kesal. Maka itu, setiap kali masuk kakus aku pun membawa pedang untuk menusuk lalat-lalat yang beterbangan itu. Pada awalnya memang sangat sulit. Namun, hari-hari berikutnya tusukanku semakin jitu. Setiap kali menusuk selalu tepat sasaran. Akhirnya, tangan dan perasaanku dapat bekerja selaras. Kebiasaanku ini menjadi suatu kepandaian baru. Karena ilmu pedang ini kuciptakan di dalam kakus, maka jangan heran kalau ilmu pedang ciptaanku ini kusebut bau.’
Saya pun tertawa geli mendengar penjelasan Kakak Linghu yang jenaka itu. Sebaliknya, Tian Boguang merasa sangat terhina. Ia berkata, ‘Linghu Chong, aku menganggapmu sebagai teman yang sederajat, tapi kau justru menyamakan aku dengan lalat kakus. Kalau begitu aku tidak perlu segan-segan lagi. Biar aku mencoba kehebatan jurus pedang kakus ciptaanmu yang... yang....’”
Mendengar sampai di sini para hadirin tersenyum dan mengangguk-angguk memuji kecerdikan Linghu Chong. Memang dalam pertandingan adu kesaktian, para pendekar selalu berusaha menahan amarah masing-masing. Barangsiapa yang marah berarti dia sudah kalah setengah permainan. Dalam hal ini perkataan Linghu Chong telah berhasil menyinggung perasaan Tian Boguang, sehingga penjahat cabul itu menjadi gusar.
“Bagus sekali!” sahut Dingyi memuji. “Selanjutnya bagaimana?”
“Kakak Linghu hanya tertawa,” lanjut Yilin. “Ia berkata, ‘Aku sungguh-sungguh tidak bermaksud membuat Saudara Tian tersinggung. Ilmu pedang kakus aku ciptakan hanya sebatas iseng saja. Aku sama sekali tidak berniat menyamakan Saudara Tian dengan lalat-lalat kotor. Mohon Saudara Tian sudi memberi maaf.’
Saya semakin geli mendengar perkataan Kakak Linghu sehingga saya pun tertawa dan membuat Tian Boguang bertambah gusar. Ia lantas melolos goloknya dan berkata, ‘Baiklah, akan kulayani tantanganmu, Saudara Linghu. Kita bertarung sambil duduk dan lihat saja, siapa yang lebih unggul!’
Kali ini wajah Tian Boguang tampak sangat beringas. Saya khawatir jangan-jangan dia berniat membunuh Kakak Linghu.
Namun, Kakak Linghu tetap terlihat tenang. Ia berkata sambil tertawa, ‘Sebenarnya aku merasa sayang kalau harus bertanding melawan seorang teman baru sepertimu. Mengapa persahabatan yang baru terjalin ini harus rusak hanya karena ilmu pedangku yang bau? Dalam pertarungan sambil duduk, jelas kau bukan tandinganku. Jika Saudara Tian melayani tantanganku, aku takut tersiar kabar bahwa Linghu Chong sengaja mengambil keuntungan dari kelemahan Tian Boguang. Kemenangan seperti ini jelas bukan kemenangan yang gemilang.’
Tian Boguang menjawab, ‘Tidak benar! Pertandingan ini terjadi karena sukarela. Tidak seorang pun akan menyalahkanmu atas masalah ini.’
Kakak Linghu menegas, ‘Jadi, Saudara Tian secara sukarela bersedia bertanding denganku?’
Tian Boguang menjawab, ‘Tepat sekali!’
‘Bertarung sambil duduk?’
‘Ya, bertarung sambil duduk!’
‘Kalau begitu kita harus tentukan aturannya. Siapa yang berdiri lebih dulu sebelum jelas pihak mana yang menang, maka dia dinyatakan kalah,’ kata Kakak Linghu.
‘Setuju! Siapa yang berdiri lebih dulu dinyatakan kalah!’ sahut Tian Boguang.”
Kakak Linghu kembali bertanya, ‘Lalu, apa ketentuan bagi yang kalah?’
‘Terserah padamu,’ jawab Tian Boguang.
‘Begini saja,’ sahut Kakak Linghu. ‘Aku mempunyai dua hukuman. Pertama, barangsiapa yang kalah tidak boleh lagi bersikap kurang ajar kepada biksuni cilik ini. Bila bertemu harus memberi hormat, ‘Guru, saya Tian Boguang menyampaikan salam hormat....’
‘Huh, apa maksudmu? Darimana kau tahu kalau aku yang akan kalah? Kalau kau yang kalah bagaimana?’ sahut Tian Boguang.
‘Sama saja,’ jawab Kakak Linghu. ‘Intinya, barangsiapa yang kalah wajib bergabung dengan Perguruan Henshan untuk menjadi murid biksuni cilik ini, serta menjadi cucu-murid Biksuni Dingyi.’”
Yilin kemudian berpaling ke arah Dingyi dan bertanya, “Guru, ucapan Kakak Linghu ini sangat menggelikan. Bila salah satu dari mereka kalah, maka wajib menjadi murid Henshan. Padahal, mana boleh saya menerima seorang murid?” Usai berkata demikian biksuni jelita ini tersenyum lembut. Raut mukanya bagaikan matahari pagi terbit dari balik bukit.
“Huh, manusia-manusia kasar seperti mereka suka bicara apa saja. Kau tidak perlu terlalu memercayainya. Linghu Chong hanya berusaha membuat Tian Boguang marah,” jawab Dingyi. Usai berkata demikian ia lantas berpikir bagaimana Linghu Chong bisa menghadapi Tian Boguang. Diam-diam ia mengakui kalau si bocah Linghu Chong yang disebutnya bajingan itu ternyata jauh lebih cerdik daripada dirinya. Biksuni tua ini lantas bertanya, “Bagaimana cerita selanjutnya?”
“Melihat Kakak Linghu berbicara dengan penuh percaya diri, Tian Boguang tampak mulai ragu-ragu,” lanjut Yilin. “Sepertinya ia khawatir jangan-jangan Kakak Linghu memang menyimpan kepandaian istimewa, yaitu mahir bertarung sambil duduk. Kembali Kakak Linghu memancing amarahnya, ‘Jika kau belum siap menjadi murid Perguruan Henshan, sebaiknya pertandingan ini dibatalkan saja.’
Tian Boguang bertambah gusar dan berkata, ‘Omong kosong! Baiklah, aku setuju dengan aturanmu. Barangsiapa yang kalah wajib menjadi murid biksuni cilik ini.’
Mendengar hal ini saya pun berseru, ‘Aku tidak bisa menerima kalian sebagai murid. Kepandaianku rendah, dan guruku juga tidak mungkin mengizinkan. Lagipula anggota Perguruan Henshan adalah kaum perempuan semua. Mana boleh... mana boleh....’
Tiba-tiba Kakak Linghu menukas, ‘Diam kau! Aku sedang berunding dengan Saudara Tian. Kau tidak boleh ikut campur.’ Kemudian ia berpaling kepada Tian Boguang, ‘Nah, hukuman yang kedua adalah sebagai berikut; barangsiapa yang kalah wajib mengayunkan senjata kepada diri sendiri dan menjadi kasim.’
Guru, sebenarnya apa maksud perkataan Kakak Linghu ini? Mohon Guru sudi memberi penjelasan.”
Para hadirin tertawa mendengar kepolosan Yilin. Rupanya biksuni kecil ini tidak tahu kalau yang dimaksud dengan kasim adalah pelayan kaisar yang telah dikebiri atau dipotong kemaluannya.
Dingyi tersenyum geli dan menjawab, “Itu hanyalah istilah kotor yang biasa diucapkan kaum bajingan. Anak manis, sebaiknya kau tidak perlu tahu apa artinya.”
“Oh, jadi itu hanyalah kata-kata buruk?” ujar Yilin mengangguk-angguk. Ia lantas kembali bercerita, “Tian Boguang kemudian berkata, ‘Saudara Linghu, apa kau yakin pasti menang jika bertanding denganku?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu saja! Jika bertarung sambil berdiri aku menempati urutan kedelapan puluh sembilan dalam dunia persilatan. Tapi jika bertempur sambil duduk, maka urutanku terhitung nomor dua.’
Tian Boguang terlihat heran dan bertanya, ‘Kalau begitu, siapa yang menempati urutan pertama?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu saja pemimpin aliran sesat yang bernama Dongfang Bubai.’”
Mendengar nama Dongfang Bubai disebut, seketika wajah para hadirin berubah pucat.
Menyadari hal itu Yilin merasa serbasalah. Ia pun bertanya, “Guru, apakah saya salah bicara?”
“Sebaiknya jangan kau sebut nama itu lagi,” jawab Dingyi. “Selanjutnya bagaimana?”
“Tian Boguang kemudian berkata, ‘Kalau Ketua Dongfang kau sebut sebagai pesilat nomor satu di dunia, maka aku sangat setuju. Tapi kalau kau sebut dirimu sebagai yang nomor dua sudah tentu ini sangat berlebihan. Memangnya kau merasa sudah lebih hebat daripada Tuan Yue, gurumu sendiri?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Aku tadi berkata kalau bertarung sambil duduk maka diriku ini terhitung nomor dua paling hebat setelah Ketua Dongfang. Namun kalau bertarung sambil berdiri jelas guruku lebih hebat. Beliau menempati urutan kedelapan, sedangkan aku hanya urutan kedelapan puluh sembilan. Jelas aku masih kalah jauh.’
‘Ah, benar juga,’ sahut Tian Boguang sambil menganggukkan kepala. ‘Nah, kalau bertarung sambil berdiri, aku ini masuk urutan nomor berapa? Lalu, siapa pula yang menentukan urutannya?’
Kakak Linghu menjawab dengan berbisik, ‘Sebenarnya ini merupakan rahasia besar. Mengingat aku merasa cocok mengobrol denganmu, maka rahasia ini akan kuceritakan pula. Tapi tolong, jangan sampai kau ceritakan hal ini kepada orang lain karena bisa menimbulkan kekacauan di dunia persilatan. Sekitar tiga bulan yang lalu, kelima guru besar dari Serikat Pedang Lima Gunung berkumpul di Huashan untuk membicarakan kehebatan tokoh-tokoh persilatan pada zaman ini. Mereka kemudian menentukan urutan kehebatan para pesilat ternama. Saudara Tian, meskipun para guru besar kami tidak suka kepadamu, tapi mereka tetap mengakui kehebatanmu. Dalam bertempur sambil berdiri, urutanmu adalah nomor empat belas di dunia persilatan.’
“Omong kosong!” sahut Pendeta Tianmen dan Biksuni Dingyi bersamaan. “Mana ada pertemuan seperti itu?”
“Hah, jadi Kakak Linghu berbohong lagi kepadanya?” sahut Yilin. “Memang, Tian Boguang sempat ragu-ragu dan tidak percaya. Namun ia kemudian berkata, ‘Hm, para ketua Serikat Pedang Lima Gunung adalah tokoh-tokoh terkemuka di dunia persilatan. Apa benar mereka menempatkan diriku pada urutan keempat belas? Hm, ini sungguh berlebihan. Saudara Linghu, kau sendiri bagaimana? Apakah waktu itu kau juga memperlihatkan Jurus Pedang Kakus ciptaanmu itu di hadapan mereka, sehingga mereka pun menobatkan dirimu sebagai pesilat sambil duduk nomor dua di dunia?’
Kakak Linghu menjawab sambil tertawa, ‘Jurus Pedang Kakus tidak pantas dipamerkan di depan umum, apalagi di hadapan kelima guru besar kami. Jurus tersebut hanya kugunakan untuk menusuk lalat-lalat yang menggangguku di dalam kakus saja. Namun pada suatu kesempatan aku pernah bertemu dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkemuka dari aliran sesat. Waktu itu mereka memuji Jurus Pedang Kakus ciptaanku konon tiada tandingannya di dunia ini, kecuali untuk menghadapi Ketua Dongfang mereka. Jurus Pedang Kakus memang luar biasa, namun selama ini belum pernah kugunakan selain untuk menusuk lalat. Lagipula, siapa orangnya yang mau bertarung melawanku sambil duduk? Meskipun Saudara Tian bersedia bertanding denganku sambil duduk, tetap saja aku merasa khawatir; jangan-jangan di tengah babak nanti kau merasa gusar karena tidak bisa mengalahkan aku, lantas melupakan perjanjian dan berdiri menyerangku. Kalau bertarung sambil berdiri jelas aku bukan tandinganmu. Kau urutan keempat belas, sedangkan aku hanya urutan kedelapan puluh sembilan. Dalam sekali tebas tentu kau bisa langsung memotong tubuhku. Kehebatanmu bertarung sambil berdiri jelas tidak diragukan lagi, sedangkan kehebatanku dalam bertarung sambil duduk sama sekali tidak ada gunanya.’
Tian Boguang menyahut, ‘Saudara Linghu, kau ini memang licin dan pandai bersilat lidah. Darimana kau tahu kalau aku akan kalah? Darimana kau tahu kalau aku akan marah dan berdiri melanggar perjanjian? Aku ini selalu memegang janji. Jika aku sudah berjanji akan menghadapimu sambil duduk, maka aku tidak akan berdiri sampai kau benar-benar mengaku kalah.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Aku senang kalau kau punya sifat seperti itu. Baiklah, kalau demikian aku akan mengganti ketentuan nomor dua. Asalkan jika nanti setelah kalah kau tidak membunuhku, maka hukuman kedua boleh kita hapuskan. Kau tidak perlu menjadi ka... kasim, supaya kau jangan sampai putus keturunan.’
Tian Boguang menyahut, ‘Cukup bicaranya. Mari kita mulai!’
Usai berkata ia lantas membalik meja sehingga terlempar ke samping beserta semua arak di atasnya. Keduanya pun berhadapan di atas bangku masing-masing. Kakak Linghu menghunus pedang, sedangkan Tian Boguang mengangkat goloknya.
‘Kau boleh menyerang lebih dulu,’ seru Kakak Linghu. ‘Barangsiapa yang meninggalkan bangkunya terlebih dulu, dinyatakan kalah. Barangsiapa yang mengangkat pantat terlebih dulu, dinyatakan kalah.’
Tian Boguang menjawab, ‘Baik, siapa yang mengangkat pantatnya lebih dulu dinyatakan kalah. Mari kita mulai!’
Tiba-tiba Tian Boguang melirik ke arah saya, dan berkata, ‘Saudara Linghu, sekarang aku tahu rencanamu. Jangan-jangan kau menantangku bertarung sambil duduk supaya biksuni cilik ini bisa membantumu menyerangku dari belakang. Atau, bisa saja dia menggangguku sehingga aku terpaksa bangkit dari bangku.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Aku tidak perlu dibantu oleh siapa pun. Bila sampai ada yang membantu diriku anggap saja aku kalah. Hei, Biksuni cilik! Kau ingin aku menang atau kalah?’
Saya pun menjawab, ‘Tentu saja aku ingin kau menang. Bukankah kau ini ahli silat sambil duduk nomor dua di dunia? Sudah pasti kau akan menang.’
Kakak Linghu kembali berkata, ‘Kalau begitu, cepat kau pergi! Lebih cepat lebih baik, makin jauh makin bagus. Kalau di dekatku ada perempuan gundul pembawa sial seperti dirimu, mana mungkin aku bisa menang?’ Usai bicara ia langsung menusukkan pedangnya ke arah Tian Boguang.

Linghu Chong mengawali pertarungan sambil duduk.
Sambil menangkis, Tian Boguang berkata, ‘Hebat sekali! Hebat sekali! Benar-benar siasat yang sangat hebat untuk menyelamatkan biksuni cilik. Saudara Linghu, aku sungguh kagum dengan tipu muslihatmu. Segala cara kau tempuh demi menyelamatkan biksuni kesayanganmu ini; meskipun nyawamu sebagai taruhannya.’
Pada saat itulah saya baru sadar maksud di balik semua ini. Kakak Linghu sengaja menantang Tian Boguang bertarung sambil duduk supaya saya mempunyai kesempatan untuk melarikan diri. Tian Boguang sedikit pun tidak bisa meninggalkan bangku, sehingga tidak mungkin dia bangkit dan mengejar saya.”
Para hadirin terkagum-kagum mendengar kecerdikan Linghu Chong. Mereka mengakui ilmu silat Tian Boguang memang jauh lebih hebat. Akan tetapi, Linghu Chong menemukan siasat luar biasa untuk dapat meloloskan Yilin.
Biksuni Dingyi menyahut, “Istilah ‘biksuni kesayangan’ dan sebagainya jangan kau sebut-sebut lagi. Hal ini juga jangan pernah kau pikirkan sedikit pun di dalam benakmu.”
“Baik, Guru,” jawab Yilin sambil menunduk. “Saya baru tahu kalau kata-kata ini tidak boleh diucapkan.”
“Jadi dengan cara itu kau bisa meloloskan diri?” tanya Dingyi. “Jika Tian Boguang membunuh Linghu Chong, maka kau tidak punya kesempatan lagi.”
“Benar, Guru,” jawab Yilin. “Kakak Linghu berkali-kali memaksa saya pergi meninggalkan rumah minum tersebut. Akhirnya, dengan berat hati saya memberi hormat dan berkata, ‘Terima kasih atas semua pertolonganmu, Kakak Linghu.’
Saya lantas berlari menuruni tangga loteng tempat mereka bertanding. Namun baru saja sampai di tengah-tengah terdengar suara Tian Boguang berteriak, ‘Kena!’ Saat saya menoleh, wajah saya terciprat dua tetes darah. Rupanya bahu Kakak Linghu terluka.
Terdengar suara Tian Boguang mengejek, ‘Ternyata jago pedang sambil duduk nomor dua di dunia tidak ada apa-apanya.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu saja. Biksuni cilik itu belum pergi. Sehebat apapun ilmu pedangku tetap saja aku harus bernasib sial selama masih ada dia di sini.’
Saya berpikir kalau Kakak Linghu sangat tidak menyukai kaum biksuni sehingga jika saya terus menerus di sana, maka bisa-bisa dia akan terbunuh di tangan Tian Boguang. Maka itu, saya kembali berlari menuruni tangga. Sesampainya di luar rumah minum, saya kembali mendengar suara pertarungan mereka dan teriakan Tian Boguang, ‘Kena!’
Saya yakin Kakak Linghu pasti kembali terluka. Namun, saya takut jika kembali ke atas bisa membuat Kakak Linghu marah. Maka, saya pun mencari jalan lain, yaitu memanjat tiang rumah minum tersebut. Begitu sampai di atas genting, saya lantas mengintip melalui lubang jendela. Pemandangan di loteng itu sangat mengerikan. Kakak Linghu tampak bertempur dengan tangkas meskipun tubuhnya berlumuran darah; sementara Tian Boguang masih segar bugar, tidak terluka sama sekali.
Beberapa saat kemudian, Tian Boguang kembali berseru, ‘Kena!’ Rupanya ia telah melukai lengan kiri Kakak Linghu. Penjahat itu lantas berkata, ‘Saudara Linghu, kali ini aku berbaik hati kepadamu.’
Kakak Linghu menjawab sambil tertawa, ‘Aku tahu. Jika kau menambah sedikit tenaga saja, tentu lenganku sudah buntung.’
Guru, dalam keadaan seperti itu Kakak Linghu masih bisa tertawa-tawa.
Tian Boguang bertanya kepadanya, ‘Kau masih ingin bertarung?’
‘Tentu saja!’ jawab Kakak Linghu. ‘Memangnya aku terlihat berdiri?’
‘Menurutku lebih baik kita akhiri saja pertandingan ini. Silakan Saudara Linghu berdiri dan mengaku kalah,’ ujar Tian Boguang. ‘Lupakan saja semua perjanjian. Kau tidak perlu mengakui biksuni cilik itu sebagai guru.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Perkataan seorang laki-laki sejati bagaikan panah yang terlepas dari busurnya. Mana boleh ditarik kembali?’
Tian Boguang tetap saja mendesak, ‘Saudara Linghu, aku sudah banyak bertemu laki-laki gagah berani di dunia ini. Tapi yang benar-benar jantan dan kesatria hanya dirimu seorang. Baiklah, pertandingan ini kita anggap seri saja. Impas, tidak ada yang menang ataupun yang kalah, bagaimana?’
Kakak Linghu hanya tersenyum tanpa menjawab. Darah bercucuran dari beberapa tempat di tubuhnya dan tampak membasahi lantai. Tian Boguang kemudian menyimpan goloknya dan berniat bangkit. Tiba-tiba ia teringat bahwa siapa yang berdiri lebih dulu dinyatakan kalah. Maka itu, ia segera mengurungkan niat tersebut.
Kakak Linghu tertawa dan memuji, ‘Saudara Tian, kau sungguh cerdik!’”
Mendengar cerita Yilin sampai di sini, tanpa sadar para hadirin menghela napas bersama-sama. Ternyata mereka sangat menyayangkan nasib Linghu Chong.

Yilin terpaksa meninggalkan kedua pihak yang bertarung.
(Bersambung)

bagian 10 ; halaman muka ; bagian 12