Bagian 81 - Berita yang Mengejutkan

Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan.

Namun Biksuni Dingxian lebih dulu mencegah dan berkata, “Adik, kau jangan gusar. Mungkin otak mereka sudah beku karena terendam minyak, sehingga bicara pun tidak jelas. Lagipula, kau tidak perlu seperti mereka.” Lalu ia bertanya kepada orang bermarga Qi, “Ada apa dengan Tian Boguang?”

“Tuan Tian adalah sahabat baik Ketua Shi kami,” lanjut orang bermarga Qi. “Beberapa hari yang lalu Tuan Tian ….”

“Tuan Tian apa?” bentak Dingyi menukas. “Manusia kotor seperti dia sudah seharusnya dibunuh sejak lama, tapi kalian malah berkawan dengan dia. Ini membuktikan Partai Naga Putih bukan kumpulan manusia baik-baik.”

“Iya … iya … iya ….” sahut si marga Qi ketakutan. “Kami bukannya … bukannya orang yang tidak baik.”

Dingyi berkata, “Kami hanya bertanya apa sebabnya Partai Naga Putih kalian memusuhi Perguruan Henshan kami. Tapi kenapa kau sebut-sebut nama Tian Boguang?” Sampai sekarang ia selalu merasa risih tiap kali mendengar nama Tian Boguang. Itu karena dulu Tian Boguang pernah menculik muridnya, yaitu Yilin, sementara ia sendiri tidak berhasil membunuhnya. Hal ini dianggapnya sebagai kejadian yang memalukan seumur hidup.

Kembali orang bermarga Qi mengiakan, “Iya, iya. Kami hanya ingin menolong Nona Besar Ren, tapi khawatir orang-orang lurus bersih membantu kaum biksu. Pikiran kami berdua terendam minyak, sehingga kami membuat rencana ngawur, hendak berbuat salah terhadap perguruan kalian yang mulia ….”

Dingyi bertambah bingung mendengar cerita yang tidak jelas itu. Ia menghela napas dan berkata, “Kakak, kedua orang ini sinting. Kau saja yang menanyai.”

Dingxian tersenyum, kemudian berkata, “Nona Besar Ren katamu? Apakah yang kau maksudkan itu putri Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan?”

Linghu Chong tergetar mendengarnya. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang mereka maksudkan adalah Yingying?” Seketika wajahnya berubah dan tangannya mengeluarkan keringat dingin.

Orang bermarga Qi menjawab, “Benar. Tuan Tian, eh keliru, Tian Boguang beberapa waktu yang lalu menemui Ketua Shi kami. Katanya, pada tanggal lima belas bulan dua belas nanti, kawan-kawan akan beramai-ramai menyerbu Biara Shaolin untuk menyelamatkan Nona Besar Ren.”

Biksuni Dingyi tidak tahan untuk tidak menyela, “Menyerbu Biara Shaolin? Kepandaian apa yang kalian andalkan sehingga berani menepuk lalat di atas kepala harimau?”

“Iya, iya, tentu saja kami tidak mampu apa-apa,” sahut orang bermarga Qi.

Biksuni Dingxian berkata, “Tian Boguang itu mampu berlari cepat. Aku rasa ia hanya bertugas sebagai penghubung dan perantara saja. Dalam urusan ini sesungguhnya siapa yang memegang pimpinan?”

Dari tadi si marga Yi hanya diam tanpa suara. Sekarang tiba-tiba ia menyela, “Ketika kawan-kawan mendengar Nona Besar Ren dikurung oleh para kepala gund… eh, maksudku para biksu dari Biara Shaolin, serentak semua orang menyatakan siap pergi menolong. Maka itu, sukar dikatakan siapa yang pegang pimpinan.”

Seketika timbul bermacam-macam pertanyaan dalam benak Linghu Chong, “Nona Besar Ren yang mereka katakan itu apakah benar Yingying? Mengapa dia sampai ditahan oleh Biara Shaolin? Usianya masih muda belia, budi baik apa yang ia lakukan terhadap orang-orang ini? Mengapa orang-orang sebanyak itu siap menolong tanpa memikirkan keselamatan sendiri begitu mendengar ia sedang kesusahan?”

Biksuni Dingxian berkata, “Kalian khawatir Perguruan Henshan kami hendak membantu Biara Shaolin, sehingga kalian bermaksud melubangi kapal kami?”

Si marga Qi menjawab, “Benar. Itu karena kami pikir kaum biksu dan biksuni sama-sama … ini … itu ….”

“Ini-itu apa?” damprat Dingyi gusar.

“Ya, ya, ini … itu … hamba tidak berani bicara … hamba tidak bicara apa-apa ….” kata si marga Qi gelagapan.

Dingxian bertanya, “Jadi pada tanggal lima belas bulan dua belas nanti, Partai Naga Putih kalian juga pergi ke Biara Shaolin?” tanya Dingxian.

“Hal ini tergantung perintah Ketua Shi,” sahut si marga Qi dan Yi bersamaan.

Si marga Qi menambahkan, “Karena partai-partai yang lain juga beramai-ramai hendak pergi, tentunya partai kami juga tidak mau ketinggalan.”

“Partai-partai yang lain? Siapa saja mereka?” tanya Dingxian.

Si marga Qi menjawab, “Menurut Tian … Tian Boguang, yang akan berangkat ke sana antara lain Partai Pasir Laut dari Zhejiang Selatan, Partai Angin Hitam dari Shandong, Partai Sungai Langit, Sekte Hunan Barat ….” Berturut-turut ia menyebut sekitar tiga puluh partai dan perkumpulan persilatan. Ilmu silat orang ini memang tidak tinggi, tapi ia dapat menyebutkan nama-nama perkumpulan tersebut dengan lancar.

Dingyi mengerutkan kening dan berkata, “Semuanya adalah orang-orang aliran sesat yang tidak punya pekerjaan baik-baik. Biarpun jumlah mereka sebanyak itu juga belum tentu mampu melawan Perguruan Shaolin.”

Linghu Chong mendengar di antara nama-nama perkumpulan yang disebut si marga Qi itu, ada sebagian yang pernah dikenalnya ketika berkumpul di Lembah Lima Tiran dahulu, antara lain Partai Sungai Langit yang dipimpin Huang Boliu, juga Majikan Pulau Paus bernama Sima Da. Hal ini membuat Linghu Chong bertambah yakin bahwa Nona Besar Ren yang dimaksudkan itu benar-benar Yingying. Tadinya ia gembira mendengar kabar tentang gadis itu. Namun begitu mendengar bahwa Yingying dikurung di Biara Shaolin, segera ia pun teringat peristiwa terbunuhnya beberapa murid Shaolin kala itu. Mau tidak mau hatinya merasa cemas. Segera ia ikut bertanya, “Sebenarnya apa alasan Biara Shaolin mengurung … mengurung Nona Besar Ren itu?”

Si marga Qi menjawab, “Entahlah, mungkin kawanan biksu itu terlalu kenyang makan nasi dan tidak ada kerjaan, sehingga mereka iseng mencari gara-gara dengan Nona Besar Ren.”

Biksuni Dingxian lantas berkata, “Baiklah, mohon kalian berdua pulang dan menyampaikan kepada Ketua Shi yang mulia bahwa Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, dan beberapa murid Perguruan Henshan dalam perjalanan ke barat melalui Sungai Jiu. Sampaikan salam dan permohonan maaf kami yang tidak sempat mampir. Sungguh kami bersikap kurang sopan. Untuk selanjutnya, kami mengharapkan kemurahan hati kalian untuk tidak melubangi perahu-perahu yang kami tumpangi itu.”

Kedua anggota Partai Naga Putih itu berkali-kali menyatakan tidak berani setiap Dingxian mengucapkan satu kata.

Lalu Dingxian berkata kepada Linghu Chong, “Malam ini sungguh indah dan tenang. Silakan apabila Pendekar Muda Linghu hendak berjalan-jalan menikmatinya. Maafkan kami yang tidak bisa menemani.” Habis berkata demikian, ia lantas menarik tangan Dingyi dan kembali ke kapal dengan langkah buru-buru.

Linghu Chong paham biksuni sepuh itu sengaja menyingkir untuk memberi kesempatan pada dirinya supaya bisa bertanya lebih rinci terhadap kedua orang Partai Naga Putih itu. Tapi seketika pikirannya menjadi kacau sehingga tidak tahu lagi apa yang harus ditanyakan kepada mereka.

Ia berjalan mondar-mandir di tepi sungai, sebentar-sebentar berdiri termenung, lalu mondar-mandir lagi. Dilihatnya bayangan bulan sabit bergerak-gerak di tengah riak air. Mendadak teringat olehnya, “Hari ini sudah pekan terakhir di bulan sebelas. Padahal mereka beramai-ramai akan mendatangi Biara Shaolin pada tanggal lima belas bulan depan. Waktu yang tersisa tinggal sedikit. Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng dari Biara Shaolin sangat baik kepadaku. Demi menolong Yingying, orang-orang aliran sesat itu pasti tidak akan segan-segan bertempur melawan orang-orang Shaolin. Tak peduli siapa mana yang menang, pada kedua pihak pasti akan jatuh banyak korban. Mengapa aku tidak mendahului pergi memohon kepada Mahabiksu Fangzheng agar sudi membebaskan Yingying? Bukankah cara demikian sangat bagus untuk menghindari pertumpahan darah?”

Kemudian terpikir olehnya, “Saat ini luka Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi bisa dikatakan sudah hampir sembuh. Meskipun penampilannya seperti biksuni tua biasa, tapi sesungguhnya Biksuni Dingxian seorang tokoh persilatan yang berwawasan luas dan banyak pengalaman. Dalam perjalanan pulang ke utara asalkan tidak bertemu orang-orang Perguruan Songshan dalam jumlah besar, rasanya mereka tidak akan mengalami kesulitan. Hanya saja, bagaimana caraku harus mohon pamit kepada mereka?”

Maklum saja, selama beberapa hari ini ia telah hidup berdampingan dengan para biksuni dan perempuan awam murid-murid Perguruan Henshan itu. Mereka sangat hormat dan patuh kepadanya seperti terhadap seorang paman guru. Bagaimana ia telah dikeluarkan dari perguruan dan diperlakukan kasar oleh sang adik kecil, tampak sekali para murid Henshan itu merasa ikut menderita meskipun tidak pernah menyinggung masalah tersebut. Sejak kematian Lu Dayou, baru kali ini ia merasa memiliki saudara-saudara perguruan yang begitu akrab. Sekarang mendadak harus berpisah dengan mereka rasanya sukar untuk berpamitan.

Tiba-tiba terdengar suara langkah halus. Dua orang perlahan-lahan mendekat. Ternyata yang datang adalah Yilin dan Zheng E. Beberapa meter di hadapan Linghu Chong mereka lantas berhenti dan memanggil, “Kakak Linghu.”

Segera Linghu Chong melangkah maju menyambut mereka, kemudian berkata, “Rupanya kalian terbangun juga.”

“Kakak Linghu,” kata Yilin, “Bibi Ketua menyuruh kami mengatakan padamu ….” sampai di sini ia lantas mendorong-dorong Zheng E dan berkata, “Kau saja yang bicara.”

Zheng E berkata, “Bukankah Bibi Ketua menyuruhmu mengatakannya?”

“Kau yang bicara juga sama saja,” sahut Yilin.

Zheng E pun berkata, “Kakak Linghu, Bibi Ketua mengatakan bahwa, budi baikmu kepada kami yang begitu besar tidak dapat dibalas dengan uccapan terima kasih. Mulai saat ini apa pun masalah yang kau hadapi, Perguruan Henshan siap mematuhi perintahmu. Jika kau ingin pergi ke Biara Shaolin untuk menolong Nona Besar Ren, maka kami semua akan berusaha sekuat tenaga ikut membantumu.”

Linghu Chong tercengang dan berpikir, “Aku belum mengatakan hendak pergi menolong Yingying, dari mana Biksuni Dingxian mengetahuinya? Aih, aku tahu! Ketika para pendekar aliran sesat berkumpul di Lembah Lima Tiran, mereka menyatakan hendak berusaha menyembuhkan penyakitku, sudah tentu itu semua demi Yingying. Kejadian itu telah menggegerkan dunia persilatan dan diketahui setiap orang. Sudah tentu Biksuni Dingxian juga mendengar peristiwa itu.” Ketika terkenang pada kejadian tersebut tanpa terasa mukanya menjadi merah padam.

Zheng E melanjutkan, “Bibi Ketua berkata, masalah ini sebaiknya jangan menggunakan kekerasan. Saat ini Bibi Ketua dan Guru sudah berlayar menuju ke Biara Shaolin, untuk memohon kepada Mahabiksu Fangzheng supaya sudi membebaskan Nona Besar Ren. Sekarang silakan Kakak Linghu memberi perintah kepada kami untuk menyusul ke sana perlahan-lahan.”

Seketika Linghu Chong tertegun mendengar cerita itu. Untuk sejenak ia tidak sanggup bicara apa-apa. Ketika memandang ke tengah sungai, tampak sebuah sampan kecil dengan layar putih sedang melaju ke utara. Ia merasa sangat berterima kasih sekaligus malu pula. Dalam hati ia berkata, “Kedua biksuni sepuh adalah kaum alim di bidang agama, juga kaum sakti di dunia persilatan. Jika mereka sudi tampil ke muka untuk memohon kemurahan hati Kepala Biara, tentu cara ini jauh lebih baik daripada seorang rendah tiada artinya seperti diriku ini yang datang ke sana. Nama besar mereka ratusan kali lebih terhormat daripada diriku yang bukan siapa-siapa ini. Kemungkinan besar Mahabiksu Fangzheng akan membebaskan Yingying demi memandang muka emas Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi.”

Berpikir demikian membuat hatinya menjadi lega. Ia lalu berpaling dan melihat si marga Yi dan Qi tadi masih meringkuk di dalam gentong minyak, sama sekali tidak berani merangkak ke luar. Mengingat maksud dan tujuan kedua orang itu pun hendak menolong Yingying, sedangkan dirinya memperlakukan mereka dengan kasar, mau tidak mau timbul rasa penyesalan di dalam hatinya. Segera ia pun mendekati keduanya sambil memberi hormat, lalu berkata, “Aku tadi telah berbuat kasar sehingga membuat susah Sepasang Ikan Terbang Sungai Yangtze. Itu karena aku memang belum tahu duduk perkaranya. Mohon kalian sudi memaafkan aku.”

Sudah tentu Sepasang Ikan Terbang dari Yangtze itu terheran-heran melihat perubahan sikap Linghu Chong yang begitu mendadak tersebut. Tanpa pikir panjang, mereka pun cepat-cepat merangkap tangan dan membalas hormat. Karena terburu-buru, minyak sayur yang merendam mereka pun terciprat ke sana kemari, sehingga mengenai pakaian Linghu Chong yang seketika penuh dengan bercak-bercak minyak.

Linghu Chong manggut-manggut sambil tersenyum, kemudian berkata kepada Yilin dan Zheng E, “Mari kita kembali saja.”

Sampai di atas kapal, para murid Perguruan Henshan sama sekali tidak menyinggung soal itu. Bahkan Yihe dan Qin Juan yang biasanya usil dan suka mencampuri urusan orang lain pun sekarang tidak bicara sama sekali kepada Linghu Chong. Sepertinya sebelum berangkat Biksuni Dingxian telah berpesan demikian kepada mereka agar tidak membuat Linghu Chong merasa rikuh.

Walaupun dalam hati Linghu Chong sangat berterima kasih, tapi saat melihat sikap beberapa murid Henshan yang tersenyum-senyum aneh, mau tidak mau ia merasa rikuh juga. Ia pun berpikir, “Dari sikap mereka ini jelas mereka menduga kalau Yingying adalah kekasihku. Padahal hubunganku dengan Yingying boleh dikata bersih murni, sama sekali tidak pernah bicara soal hubungan laki-laki dan perempuan. Tapi kalau mereka tidak bertanya, bagaimana aku bisa memberi penjelasan?”

Ketika berhadapan dengan Qin Juan dan melihat sorot mata gadis kecil itu yang berkedip-kedip menggoda, Linghu Chong tidak tahan lagi dan berkata, “Sama sekali bukan begitu, kau … kau jangan membayangkan yang tidak-tidak.”

“Aku membayangkan apa?” sahut Qin Juan tertawa.

Dengan muka merah Linghu Chong berkata, “Aku bisa menebak pikiranmu.”

“Menebak apa?” tanya Qin Juan.

Belum sempat Linghu Chong menanggapi, tiba-tiba Yihe menyela, “Adik Qin, jangan banyak bicara lagi! Apa kau sudah lupa pesan Bibi Ketua?”

“Ya, ya, aku masih ingat,” sahut Qin Juan sambil mendekap mulut menahan tawa.

Waktu Linghu Chong berpaling, dilihatnya Yilin duduk menyendiri di sudut perahu dengan wajah pucat dan bersikap dingin seperti tak peduli. Linghu Chong tertegun dan berpikir, “Apa yang sedang ia renungkan? Mengapa ia tidak mau bicara denganku?”

Linghu Chong memandanginya dengan tatapan nanar. Tiba-tiba ia teringat ketika dirinya terluka di Kota Hengshan dulu kemudian tubuhnya dibopong oleh Yilin dan dibawa lari. Kala itu ia melihat biksuni belia tersebut memandangnya dengan penuh perhatian dan sikap cemas, sama sekali berbeda dengan sikapnya sekarang yang dingin dan tak ambil peduli kepadanya. Mengapa demikian? Mengapa demikian?

Tiba-tiba terdengar Yihe memanggil, “Kakak Linghu!”

Tapi Linghu Chong tidak mendengar. Ia pun tidak menjawab.

“Kakak Linghu!” kembali Yihe memanggil dengan lebih keras.

Linghu Chong terkejut dan menoleh, “Eh, ada apa?”

Yihe menjawab, “Bibi Ketua berpesan apakah besok kita meneruskan perjalanan dengan perahu atau mengambil jalan darat, semua terserah Kakak Linghu.”

Sesungguhnya Linghu Chong sangat ingin mengambil jalan darat agar bisa lekas-lekas mendapat berita tentang Ren Yingying. Tapi ketika melirik, ia melihat pada sudut mata Yilin sudah meleleh air mata dan raut wajahnya terlihat memprihatinkan. Maka ia pun menjawab, “Biksuni Ketua menyuruh kita menyusul ke sana perlahan-lahan, maka biarlah kita tetap menumpang kapal saja. Aku rasa Partai Naga Putih tidak akan berani mengganggu kita lagi.”

“Apa kau sudah tidak khawatir lagi?” tanya Qin Juan sambil tersenyum nakal.

Linghu Chong tidak menjawab, tapi wajahnya tampak bersemu merah.

Yihe pun membentak, “Adik Qin, dasar kau gadis kecil! Mengapa selalu usil?”

“Aku tidak usil!” jawab Qin Juan dengan tertawa. “Amitabha, aku hanya sedikit khawatir.”

Keesokan harinya, kapal mereka berangkat menuju ke hulu sungai. Linghu Chong memerintahkan juru mudi supaya berlayar agak ke tepian untuk berjaga-jaga jika orang-orang Partai Naga Putih mengganggu lagi. Tapi sesampainya di wilayah Hubei ternyata tidak terjadi apa-apa.

Beberapa hari ini Linghu Chong tidak lagi banyak mengobrol dengan murid-murid Henshan. Setiap malam tiba dan perahu berlabuh, ia lebih suka pergi ke daratan sendiri untuk minum arak. Setelah mabuk barulah ia kembali ke kapal.

Hari itu kapal mereka melewati Xiakou, kembudian membelok ke utara menuju ke hulu Sungai Hanshui. Malamnya mereka berlabuh di suatu kota kecil bernama Jimingdu. Lagi-lagi Linghu Chong pergi ke darat sendiri untuk mencari kedai arak.

Di Jimingdu itu hanya terdapat sekitar dua puluh rumah. Di sebuah kedai yang sepi dan sederhana, ia menghabiskan beberapa guci arak, sambil berpikir, “Luka Adik Kecil entah sudah sembuh atau belum? Obat yang diantar Yizhen dan Yiling sangat mujarab, sepertinya bisa menyembuhkan luka tusukan pedang itu. Dan bagaimana pula luka Adik Lin? Kalau ternyata luka Adik Lin tidak bisa disembuhkan, lantas bagaimana dengan Adik Kecil? Apa yang akan ia lakukan?”

Sampai di sini ia menjadi terkesiap sendiri. “Wahai Linghu Chong, kau benar-benar manusia berjiwa rendah dan tak tahu malu. Kau mengharapkan luka Adik Kecil lekas sembuh, tapi juga menginginkan kematian Adik Lin karena lukanya yang parah. Memangnya kalau Adik Lin mati lantas Adik Kecil bersedia menikah denganmu?” pikirnya.

Berturut-turut ia kemudian menghabiskan beberapa cawan arak. Kemudian pikirannya kembali melayang-layang, “Entah siapa yang membunuh Lao Denuo dan Adik Kedelapan? Mengapa juga orang itu menyerang Adik Lin dari belakang? Entah bagaimana pula dengan keadaan Guru dan Ibu Guru sekarang ini?”

Ia kembali mengangkat cawan arak, dan sekali tenggak langsung menghabiskan isinya. Dalam kedai kecil itu tidak ada makanan ringan untuk pendamping minum arak, kecuali kacang goreng. Maka Linghu Chong pun memungut beberapa biji dan memasukkannya ke dalam mulut.

Tiba-tiba terdengar suara orang menghela napas di belakangnya sambil berkata, “Aih, sembilan dari sepuluh laki-laki di dunia ini berhati palsu.”

Linghu Chong menoleh dan memandang ke arah sumber suara. Di bawah cahaya lilin yang remang-remang ternyata di dalam kedai arak itu terdapat seorang lagi yang mendekam di atas meja di pojok ruangan. Di atas meja itu tertaruh pula sepoci arak dan sebuah cawan. Pakaian orang itu compang-camping. Keadaannya sungguh menyedihkan dan sama sekali tidak menyerupai kaum yang terpelajar.

Linghu Chong tidak ambil peduli pada orang itu dan kembali menenggak araknya. Ketika ia hendak mengisi cawannya lagi, ternyata orang di belakangnya itu berkata lagi, “Demi dirimu, seseorang telah dikurung di tempat yang gelap gulita dan tak bisa melihat sinar mentari. Tapi kau sendiri malah enak-enakan bermain di antara bedak dan gincu, dengan nona cilik maupun biksuni gundul, juga nenek-nenek, semuanya boleh. Aih, sungguh sayang, sungguh sayang.”

Linghu Chong paham kalau orang itu sedang menyindir dirinya. Tapi ia tidak menoleh, hanya berpikir, “Siapakah orang ini? Dia mengatakan ‘demi dirimu, seseorang telah dikurung di tempat yang gelap gulita’, apa yang ia maksudkan adalah Yingying? Mengapa Yingying sampai terkurung demi aku?”

Karena sengaja ingin mendengar lebih banyak, maka Linghu Chong memilih tetap diam. Terdengar orang itu bicara lagi, “Justru orang-orang yang tidak punya hubungan dengannya banyak yang ikut campur urusan ini, siap pergi menolong meski harus kehilangan nyawa. Tapi orang banyak itu justru berebut menjadi pemimpin. Hm, urusan belum dikerjakan malah saling baku hantam sendiri. Aih, urusan dunia persilatan membuat si tua ini merasa sebal.”

Linghu Chong lantas pindah ke belakang dan kemudian duduk di hadapan orang itu sambil tangan masih memegangi cawan arak. Ia pun berkata, “Aku tidak paham urusan ini, mohon Saudara sudi memberi petunjuk.”

Tapi orang itu tetap menelungkup di atas meja tanpa mengangkat kepala. Ia kembali berkata, “Aih, kau suka bersenang-senang dengan paras cantik, dosamu akan bertambah banyak. Para nona dan biksuni Henshan benar-benar akan celaka.”

Linghu Chong bertambah kaget. Segera ia bangkit dan memberi hormat, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Sesepuh. Mohon agar Sesepuh sudi memberikan petunjuk yang berguna.” Mendadak dilihatnya pada kaki meja terdapat sebuah rebab tua yang warnanya sudah pudar. Linghu Chong pun terkesiap setelah menyadari dengan siapa ia bicara. Segera ia pun berlutut menyembah, lalu berkata, “Linghu Chong beruntung bisa berjumpa dengan Paman Guru Mo dari Perguruan Hengshan.”

Baru sekarang orang itu mengangkat kepalanya. Sorot matanya yang tajam berkilat-kilat menatap ke arah Linghu Chong dengan pandangan dingin. Ternyata ia memang “Si Malam Hujan dari Xiaoxiang” Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan. Ia hanya mendengus, kemudian menjawab, “Hm, aku tidak berani menerima panggilan paman guru darimu. Pendekar Besar Linghu, selama beberapa hari ini sepertinya kau benar-benar riang gembira.”

Linghu Chong menjawab sambil membungkukkan badan, “Paman Guru Mo memang sudah mendengar semuanya. Mohon dimaklumi, saya mendapat perintah dari Bibi Guru Dingxian agar menemani para kakak dan adik dari Perguruan Henshan menuju Biara Shaolin. Walaupun saya suka ugal-ugalan, tapi sedikit pun tidak berani berbuat kurang sopan terhadap para kakak dan adik dari Perguruan Henshan itu.”

“Aih, sudahlah, silakan duduk saja,” kata Tuan Besar Mo sambil menghela napas. “Apakah kau tidak tahu bahwa orang persilatan sekarang sedang ramai membicarakan dirimu? Omongan orang memang bisa membuat kabur antara yang benar dan salah.”

Linghu Chong menjawab sambil tersenyum getir, “Kelakuan saya memang agak sinting dan kurang berhati-hati, sampai-sampai dikeluarkan oleh perguruan sendiri. Terhadap omongan iseng di kalangan persilatan saya tidak ambil peduli.”

Tuan Besar Mo mencibir dan berkata, “Hm, tidak masalah kalau kau rela dianggap sebagai pemuda berandalan, tentu orang lain juga tidak peduli. Tapi bagaimana dengan nama baik Perguruan Henshan yang sudah dipupuk selama beberapa ratus tahun? Apakah sedikit pun kau juga tidak peduli? Di dunia persilatan sedang ramai desas-desus, katanya kau seorang laki-laki telah bercampur-baur dengan nona-nona jelita dan biksuni Perguruan Henshan. Jangankan nama baik puluhan nona itu yang tercemar karenamu, bahkan … bahkan para biksuni sepuh yang suci bersih itu pun ikut menjadi bahan tertawaan. Aih, ini benar-benar keterlaluan.”

Seketika Linghu Chong mundur dua langkah sambil meraba gagang pedangnya, lalu berkata, “Siapa yang sengaja menyebarkan berita bohong tanpa dasar dan memalukan ini? Mohon Paman Mo sudi memberi tahu kepadaku!”

“Apakah kau bermaksud membunuh mereka?” tanya Tuan Besar Mo. “Hm, orang persilatan yang membicarakanmu paling sedikit ada ribuan banyaknya. Apakah kau hendak membunuh habis mereka semua? Padahal orang-orang itu sedang mengagumi keberuntunganmu dalam masalah asmara, apa jeleknya?”

Linghu Chong duduk kembali dengan wajah lesu. Dalam hati ia berkata, “Aku memang suka bertindak menuruti jalan pikiranku sendiri, yang penting niatku tulus bersih. Tapi aku tidak pernah berpikir bahwa nama baik Perguruan Henshan menjadi ikut tercemar karena ulahku. Lantas apa yang sebaiknya aku lakukan saat ini?”

Terdengar Tuan Besar Mo menghela napas, lalu berkata dengan suara ramah, “Sebenarnya dalam lima hari ini, setiap malam aku mendatangi kapal kalian untuk mengintai ….”

“Hah!” seru Linghu Chong terkejut. Ia berpikir, “Rupanya lima malam berturut-turut Paman Guru Mo telah mengintai ke atas kapal, tapi sedikit pun aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak becus.”

Tuan Besar Mo melanjutkan, “Aku menyaksikan sendiri setiap malam kau tidur bersama para awak kapal di buritan dengan pakaian lengkap. Jangankan berbuat kurang ajar kepada murid-murid Henshan, bahkan bicara sembarangan pun kau tidak pernah. Keponakan Linghu, kau tidak hanya bukan pemuda berandalan, tapi juga seorang laki-laki yang selalu menjaga kesopanan. Sedikit pun hatimu tidak tergoyah oleh nona-nona jelita dan para biksuni muda yang memenuhi kapal itu. Tidak hanya sehari-dua hari, bahkan selama puluhan hari keteguhanmu tetap terjaga. Sungguh pada zaman ini jarang terdapat laki-laki sejati seperti dirimu. Aku benar-benar sangat kagum.”

Orang tua itu mengacungkan jempolnya, lalu memukul meja dan berkata, “Mari, aku bersulang satu cawan denganmu.” Sambil bicara ia mengangkat poci dan menuangkan isinya ke dalam cawan Linghu Chong.

“Ucapan Paman Guru Mo yang berlebihan sungguh membuat saya merasa gugup,” sahut Linghu Chong. “Sebenarnya saya sering bertingkah ugal-ugalan sehingga akhirnya dikeluarkan dari Perguruan Huashan. Hanya saja terhadap para kakak dan adik dari Perguruan Henshan, sama sekali saya tidak berani berpikiran jahat.”

“Sikapmu jujur dan berterus terang. Kau benar-benar seorang laki-laki sejati,” puji Tuan Besar Mo dengan terkekeh-kekeh. “Andai saja usiaku masih dua puluh tahunan, mana sanggup aku menjaga diri sepertimu yang tiap malam bersanding dengan nona-nona sebanyak itu? Kau benar-benar hebat. Sungguh hebat! Mari, mari, habiskan secawan lagi!”

Kedua orang itu lantas mengangkat cawan masing-masing dan sekali tenggak mereka menghabiskan isinya. Lalu keduanya pun bergelak tawa dengan riang.

Linghu Chong mengamati penampilan Tuan Besar Mo yang lusuh dan dekil, sama sekali tidak mirip seorang ketua perguruan terkemuka dan disegani di dunia persilatan. Hanya saja sorot matanya yang tajam dan memancarkan sikap gagah perwira sesekali terlihat, namun segera disembunyikan lagi, dan ia pun kembali ke wujud seorang pria dekil yang penuh debu.

Menyaksikan itu, Linghu Chong berpikir, “Ketua Perguruan Henshan Biksuni Dingxian sangat ramah dan welas asih. Ketua Perguruan Taishan Pendeta Tianmen gagah dan berwibawa. Ketua Perguruan Songshan Zuo Lengchan suka bicara dan tertawa tapi menyimpan sifat kejam. Ketua Perguruan Huashan adalah guruku yang berbudi luhur dan penuh tata krama. Tapi Ketua Perguruan Hengshan adalah Paman Guru Mo ini yang penampilannya menyedihkan seperti gelandangan tak terpelajar, tapi sebenarnya memiliki ilmu silat yang mengagumkan sekaligus menakutkan. Kelima ketua perguruan dalam Serikat Pedang Lima Gunung benar-benar sulit dijajaki kepandaian masing-masing. Sebaliknya aku, Linghu Chong cuma seorang bodoh yang tidak becus, sangat jauh bila dibandingkan dengan mereka.”

Tuan Besar Mo melanjutkan pembicaraan, “Waktu aku mendengar desas-desus bahwa kau bergaul dengan kawanan biksuni Perguruan Henshan, aku pun bertanya-tanya, memangnya Biksuni Dingxian itu orang macam apa yang mengizinkan murid-muridnya berbuat tidak pantas? Kemudian kudengar orang-orang Partai Naga Putih membicarakan dirimu, maka aku lantas menyusul kemari. Keponakan Linghu, saat kau berbuat onar di rumah pelacuran Kota Hengshan dulu, aku pun mengira dirimu seorang pemuda berandalan. Namun kemudian aku melihatmu menegakkan keadilan dengan membantu adikku, Liu Zhengfeng yang didesak orang, maka di hatiku pun timbul kesan baik kepadamu. Tujuanku menyusul kemari adalah untuk memberi nasihat kepadamu. Tak kusangka, ternyata semua yang terjadi sama sekali berbeda dengan dugaanku. Di antara kesatria muda zaman sekarang ternyata ada seorang laki-laki sejati seperti kau. Sungguh bagus, sungguh bagus! Marilah, mari kita habiskan tiga cawan bersama!”

Menyusul ia memanggil pelayan untuk menuang arak dan mengajak Linghu Chong minum kembali.

Setelah berkali-kali menenggak arak ke dalam perutnya, penampilan Tuan Besar Mo pun berubah dari lusuh dan lesu menjadi riang bersemangat. Namun kekuatan minumnya masih kalah jauh dibandingkan Linghu Chong, sehingga hanya meneguk tujuh atau delapan cawan saja mukanya sudah merah membara. Ia melanjutkan, “Keponakan Linghu, aku tahu kau sangat gemar minum arak. Aku tidak punya penghormatan apa-apa kepadamu, terpaksa hanya bisa menemanimu minum saja. Hehe, selama ini orang persilatan yang pernah kuajak minum juga dapat dihitung dengan jari. Seperti saat pertemuan besar di atas Gunung Songshan dulu, di antara para hadirin ada seorang yang bernama Fei Bin, si Tapak Songyang Besar. Orang ini banyak tingkah dan tinggi hati. Semakin memandangnya semakin aku muak kepadanya. Maka, pada saat itu setetes arak pun aku tidak sudi minum. Tapi mulut orang bermarga Fei itu masih terus mengoceh tak keruan. Keparat! Menurutmu, dia menjengkelkan atau tidak?”

“Ya, orang yang tidak tahu diri seperti dia, pasti pada akhirnya bernasib buruk,” ujar Linghu Chong dengan tertawa.

Tuan Besar Mo melanjutkan, “Kabarnya orang itu secara tiba-tiba menghilang entah ke mana. Tiada seorang pun yang tahu keberadaannya. Sungguh mengherankan.”

Linghu Chong tertegun mendengarnya. Padahal di hutan pegunungan luar Kota Hengshan dulu dengan mata sendiri ia menyaksikan Tuan Besar Mo membinasakan Fei Bin dengan ilmu pedangnya yang hebat luar biasa. Sudah jelas saat itu Tuan Besar Mo juga melihat dirinya hadir di sana, tapi mengapa sekarang bicara demikian?

Linghu Chong segera paham bahwa Tuan Besar Mo sengaja berkata demikian adalah sebagai isyarat supaya kejadian tersebut jangan sampai tersiar ke luar. Maka ia pun menanggapi, “Orang-orang Perguruan Songshan memang banyak yang aneh tingkah lakunya. Mungkin saja orang bernama Fei Bin itu sekarang sedang mengasingkan diri di suatu gua untuk bertapa, atau berlatih silat di tempat rahasia untuk mempelajari ilmu yang lebih sempurna. Siapa yang tahu?”

Tuan Besar Mo menggebrak meja sambil berseru, “Oh, ternyata demikian! Jika bukan Keponakan Linghu yang mengingatkan aku, sampai kepalaku pecah juga tidak akan terpikir soal ini.” Orang tua itu tersenyum dengan sorot mata memancarkan sinar licik. Setelah minum seteguk, ia melanjutkan, “Keponakan Linghu, sebenarnya bagaimana kau bisa bersama dengan orang-orang Perguruan Henshan itu? Nona Besar Ren dari Sekte Iblis itu memiliki cinta yang mendalam kepadamu. Sebaiknya kau jangan mengecewakan dia.”

Muka Linghu Chong menjadi merah padam. Ia pun menyahut, “Paman Guru Mo memang berpengetahuan luas. Harap diketahui, saya telah mengalami kekecewaan di dunia asmara. Mengenai hubungan laki-laki dan perempuan, saya sudah lama tidak memedulikannya.” Sampai di sini hatinya menjadi pilu karena teringat pada Yue Lingshan si adik kecil, tanpa sadar pelupuk matanya menjadi merah. Mendadak ia bergelak tawa dan berseru lantang, “Sebenarnya saya sudah muak dengan kehidupan ramai dunia fana ini. Ingin rasanya saya mencukur rambut menjadi biksu. Namun saya khawatir pantangan sebagai biksu terlalu berat, dan yang paling berat adalah tidak boleh minum arak segala. Maka itu, niat saya menjadi biksu pupus sudah, hahahahaha!”

Walaupun tertawa terbahak-bahak, tapi suaranya terdengar penuh dengan rasa sedih. Selang sejenak baru ia menceritakan bagaimana pengalamannya bertemu dengan Biksuni Dingjing, kemudian Dingxian dan Dingyi. Namun soal bagaimana ia memberi bantuan kepada mereka selalu diceritakan secara singkat dan ala kadarnya saja.

Tuan Besar Mo mendengarkan dengan seksama sambil termenung-menung memandangi poci arak. Selang sejenak barulah ia berkata, “Zuo Lengchan bermaksud melebur lima perguruan menjadi satu agar bisa sejajar dengan Biara Shaolin dan Perguruan Wudang. Niat busuknya ini sudah direncanakan cukup lama, namun selama ini selalu ia sembunyikan. Tapi sebenarnya aku telah mengetahui tanda-tanda yang mencurigakan meskipun sedikit. Huh, dia melarang Adik Liu-ku mencuci tangan di baskom emas, juga membantu Kelompok Pedang untuk merebut kedudukan Ketua Perguruan Huashan dari tangan Tuan Yue. Semua siasat keji itu dilakukannya demi mencapai tujuan. Hanya saja aku tidak menduga kalau dia ternyata berani turun tangan secara terang-terangan terhadap Perguruan Henshan.”

Linghu Chong menukas, “Sebenarnya tidak terang-terangan, tapi mereka menyamar sebagai orang Sekte Iblis untuk memaksa Perguruan Henshan supaya menyetujui rencana mereka melebur kelima perguruan.”

Tuan Besar Mo mengangguk-angguk lalu berkata, “Dan untuk langkah selanjutnya tentu ia akan membereskan Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan. Hm, sekalipun orang Sekte Iblis keji juga tidak sekeji Zuo Lengchan. Keponakan Linghu, sekarang kau bukan murid Perguruan Huashan lagi, kau bebas merdeka bergerak sesuka hatimu dan tidak usah peduli apakah dia orang aliran lurus atau sesat. Maka, aku menasihatimu jangan menjadi biksu, juga tidak perlu berduka soal asmara. Sekarang yang penting bebaskan saja Nona Besar Ren dari Biara Shaolin dan nikahi dia. Kalau orang lain tidak mau datang minum arak di pernikahanmu, biar aku saja, si tua ini yang hadir dan minum sepuas-puasnya. Persetan, apa yang kau takutkan?” Terkadang orang tua itu bicara dengan sopan dan ramah, tapi sering diselingi pula dengan kata-kata makian yang kasar. Sungguh sulit dipercaya kalau dia seorang ketua perguruan ternama.

Linghu Chong berpikir, “Paman Guru Mo mengira aku patah hati karena Yingying, padahal bukan. Tapi aku juga tidak pantas kalau menceritakan soal Adik Kecil kepadanya.” Ia kemudian bertanya, “Paman Guru Mo, sebenarnya apa sebabnya Nona Ren ditawan oleh Biara Shaolin?”

Tuan Besar Mo menatapnya tanpa berkedip dengan mulut menganga penuh rasa heran. Ia kemudian balik bertanya, “Mengapa Biara Shaolin menawan Nona Ren? Kau ini benar-benar tidak tahu atau hanya sengaja bertanya? Padahal setiap orang Persilatan mengetahui, tapi kau … kau malah balik bertanya pula.”

Linghu Chong menjawab, “Beberapa bulan yang lalu saya berada dalam kurungan orang sehingga sama sekali tidak mengetahui peristiwa apa saja yang terjadi di dunia persilatan. Mengenai Nona Ren yang pernah membunuh empat murid Biara Shaolin, itu semua terjadi karena saya. Tapi setelah itu saya tidak tahu mengapa kemudian Nona Ren bisa ditawan oleh para biksu Shaolin?”

Tuan Besar Mo berkata, “Jika demikian, kau memang benar-benar tidak tahu seluk-beluk urusan ini. Saat kau menderita penyakit aneh yang sulit diobati, orang-orang aliran sesat yang berjumlah ribuan berkumpul di Lembah Lima Tiran untuk mencari muka kepada Nona Ren. Mereka berlomba-lomba hendak menyembuhkanmu, tapi hasilnya nihil. Semua orang tidak berdaya, benar tidak?”

“Benar,” sahut Linghu Chong.

“Peristiwa itu telah menggegerkan dunia persilatan. Semua orang menganggap kau sangat beruntung sehingga mendapatkan perhatian dari Nona Ren si Gadis Suci Tebing Kayu Hitam. Seandainya penyakitmu tetap tidak bisa disembuhkan, tapi hidupmu tidaklah sia-sia,” lanjut Tuan Besar Mo.

“Ah, Paman Guru Mo hanya mengolok-olok saya,” kata Linghu Chong. Diam-diam ia berpikir, “Meskipun Lao Touzi dan yang lain bermaksud baik, tapi perbuatan mereka terlalu gegabah sehingga kejadian ini sampai tersiar keluar. Tidak heran kalau Yingying marah.”

Tuan Besar Mo berkata, “Dan bagaimana kemudian penyakitmu bisa sembuh? Apakah karena kau mempelajari Ilmu Pengubah Urat dari Biara Shaolin?”

“Bukan,” jawab Linghu Chong. “Mahabiksu Fangzheng sangat murah hati dan tidak menyimpan dendam atas kematian empat muridnya. Beliau bersedia mengajarkan ilmu sakti itu, namun saya harus masuk menjadi murid Biara Shaolin karena sesuai peraturan, ilmu sakti itu tidak dapat diajarkan kepada orang luar. Namun sebaliknya, saya sendiri tidak ingin masuk Perguruan Shaolin sehingga terpaksa menyia-nyiakan maksud baik Beliau.”

Tuan Besar Mo menanggapi, “Perguruan Shaolin adalah bintang kejora dunia persilatan. Saat itu kau sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan. Sebenarnya sangat baik bagimu jika masuk Perguruan Shaolin. Itu adalah kesempatan yang hanya terjadi sekali dalam seribu tahun. Tapi mengapa kau menolaknya, juga tidak memikirkan keselamatan jiwamu?”

Linghu Chong menjawab, “Sejak kecil saya dibesarkan oleh Guru dan Ibu Guru bagaikan anak sendiri. Budi baik Beliau berdua tidak mungkin bisa saya balas. Saya hanya berharap kelak mendapatkan ampun dan diterima kembali ke dalam Perguruan Huashan. Maka itu, saya sama sekali tidak takut mati, sehingga tidak ingin masuk perguruan lain.”

Tuan Besar Mo berkata, “Kalau begitu penyakitmu yang aneh itu sembuh karena sebab lain?”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Tapi sebenarnya juga tidak bisa dikatakan sembuh seutuhnya.”

Tuan Besar Mo melanjutkan, “Keponakan Linghu, kau tidak memiliki hubungan dengan Biara Shaolin, tapi mengapa Mahabiksu Fangzheng tiba-tiba menawarimu menjadi muridnya dan mengajarkanmu ilmu pusaka tersebut? Meskipun sebagai pengikut Buddha harus selalu mengutamakan sifat welas asih, tapi mereka juga tidak sembarangan mengajarkan ilmu pusaka tersebut kepada pihak luar. Apa kau benar-benar tidak tahu apa sebabnya?”

Linghu Chong menjawab, “Saya sama sekali tidak tahu. Mohon Paman Guru Mo sudi memberikan penjelasan.”

Tuan Besar Mo berkata, “Baiklah. Aku mendengar kabar di dunia persilatan bahwa Nona Ren sendiri yang telah menggendongmu ke Biara Shaolin. Ia memohon kepada Mahabiksu Fangzheng supaya bersedia menyelamatkan nyawamu. Sebagai gantinya, ia bersedia menerima hukuman apa saja dari Perguruan Shaolin. Bahkan kalau mereka menjatuhkan hukuman mati, sedikit pun ia tidak akan mengerutkan kening.”

“Oh!” seru Linghu Chong terkejut bukan main. Ia melompat bangkit tiba-tiba sehingga cawan-cawan arak di atas meja ikut terbalik. Keringat dingin langsung bercucuran di sekujur tubuhnya, tangan dan kakinya pun terasa gemetar. Dengan terbata-bata ia hanya bisa berkata, “Ini … ini … ini ….”

Seketika ia pun teringat pengalaman terakhir bersama Ren Yingying. Saat itu tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin parah. Suatu malam ia terbangun dari mimpi dan mendengar Ren Yingying menangis pilu sambil berkata, “Setiap hari kau semakin kurus saja. Aku … aku ….” Mendengar gadis itu berkata dengan suara tulus, ia pun merasa sangat berterima kasih kemudian memuntahkan darah segar dan tidak ingat apa-apa lagi. Begitu sadar tahu-tahu tubuhnya sudah terbaring di sebuah kamar sempit dalam Biara Shaolin. Saat itu Biksu Fangsheng sedang mengerahkan daya upaya untuk menyembuhkan dirinya. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa berada di sana, juga tidak tahu Ren Yingying pergi ke mana. Ternyata gadis itulah yang telah menggendongnya ke Biara Shaolin tanpa peduli keselamatan nyawa sendiri.

Tak kuasa menahan haru, air mata Linghu Chong pun berlinang di pelupuk mata dan mengalir bercucuran.

Biksuni Dingxian dan Linghu Chong.

Ren Yingying menggendong Linghu Chong ke Shaolin.

(Bersambung)