Bagian 112 - Menguping Pembicaraan

Ren Yingying dan Linghu Chong saling mengutarakan isi hati.

Linghu Chong memandang ke depan. Cahaya bulan tampak menyinari jalan raya yang lurus dan lebar itu. Kabut pun telah turun menyelimuti pepohonan di kanan-kiri jalan. Suasana menjadi remang-remang. Perlahan kereta keledai itu menyusup ke tengah kabut sehingga pemandangan di kejauhan mulai tidak terlihat, bahkan Ren Yingying yang duduk di sisinya seakan-akan juga terbungkus oleh kabut tipis tersebut.

Saat itu baru permulaan musim semi. Bau harum bunga-bunga hutan sayup-sayup semerbak mewangi membuat keduanya merasa begitu nyaman. Ditambah lagi dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah membuat keduanya sangat bahagia. Sudah lama Linghu Chong tidak minum arak, namun saat ini ia merasa seperti sedang mabuk kepayang.

Ren Yingying tetap mengemudikan kereta tanpa berbicara sedikit pun, namun bibirnya tiada henti-hentinya tersenyum simpul. Rupanya ia sedang teringat pada percakapan petani tua suami istri tadi. Kata si kakek, “Malam itu aku tidak mendapat daging, terpaksa aku mencuri seekor ayam tetangga dan membawanya sebagai umpan anjingmu. Oh ya, siapa nama anjingmu itu?”

Si nenek menjawab, “Namanya Si Belang.”

“Benar, Si Belang,” kata si kakek. “Setelah diberi ayam, dia menjadi jinak dan diam saja, sehingga ayah-ibumu tidak tahu kedatanganku. Maka, pada malam itu pula jadilah si A Mao kita.”

“Hm, yang kau tahu hanya bersenang-senang sendiri tanpa memikirkan kesulitan orang lain,” sahut si nenek mengomel. “Kemudian setelah perutku membesar, apa kau tahu kalau aku dipukuli Ayah sampai hampir mampus?”

“Justru lebih baik kalau perutmu membesar,” jawab si kakek. “Kalau tidak, mana mungkin ayahmu sudi menikahkanmu dengan seorang miskin seperti aku ini? Waktu itu aku justru mengharapkan perutmu lekas membesar.”

Mendadak si nenek marah dan memaki, “Setan alas! Ternyata waktu itu kau memang sengaja membuat perutku besar, ya? Mengapa kau tidak bicara terus terang dan baru mengaku sekarang? Aku tidak … tidak dapat mengampunimu.”

“Ah jangan ribut lagi! A Mao sekarang sudah dewasa, sudah punya anak pula. Untuk apa kita ribut?” jawab si kakek.

Khawatir Linghu Chong menunggu terlalu lama, Ren Yingying tidak berani terus mendengarkan. Lekas-lekas ia menyambar beberapa potong pakaian dan barang lain, lalu kabur setelah menaruh sepotong perak di atas meja. Petani suami-istri itu sudah tua, juga sedang asyik membicarakan masa muda mereka yang mesra sehingga tidak tahu sama sekali bahwa rumah mereka telah dimasuki orang.

Teringat percakapan suami-istri tadi wajah Ren Yingying bersemu merah. Untung saat itu malam gelap, kalau tidak, tentu ia akan sangat malu terlihat oleh Linghu Chong. Kini ia tidak lagi mempercepat lari keledainya. Kereta pun berjalan lebih perlahan. Tidak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah danau yang dikelilingi pepohonan rindang. Air danau tampak berkilauan tertimpa cahaya rembulan.

“Kakak Chong, apakah kau tertidur?” Ren Yingying bertanya perlahan.

“Ya, aku sudah tidur, bahkan sedang bermimpi,” jawab Linghu Chong.

“Mimpi apa?” tanya Ren Yingying.

“Aku bermimpi membawa sepotong daging dan mengendap-endap ke tempat tinggalmu di Tebing Kayu Hitam untuk memberi makan anjing ayahmu,” jawab Linghu Chong.

“Huh, dasar orang aneh, mimpinya juga aneh,” ujar Ren Yingying tersenyum.

Kedua muda-mudi itu duduk berdampingan di atas kereta sambil memandangi air danau. Tanpa terasa Linghu Chong mengulurkan sebelah tangannya untuk memegang tangan Ren Yingying. Tangan gadis itu agak gemetar namun tidak berusaha menghindar.

Linghu Chong berpikir, “Andai kami bisa selamanya seperti ini dan tidak berkecimpung lagi di dunia persilatan yang berbau darah, sekalipun menjadi dewa rasanya juga tidak sebahagia ini.”

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tiba-tiba Ren Yingying bertanya.

Linghu Chong pun berterus terang mengatakan apa yang ada di pikirannya itu.

Ren Yingying balas menggenggam erat-erat tangan Linghu Chong dan berkata, “Kakak Chong, sungguh aku merasa sangat bahagia.”

“Demikian pula aku,” sahut Linghu Chong.

“Dulu saat kau memimpin ribuan pendekar menyerbu Biara Shaolin, aku sangat bersyukur dan berterima kasih, tetapi rasanya tidak sebahagia malam ini,” kata Ren Yingying. “Kau menyerbu Biara Shaolin untuk menolong diriku karena terdorong oleh rasa setiakawan sesama kaum persilatan, juga karena merasa berhutang budi padaku. Namun kali ini berbeda. Yang kau pikirkan hanyalah diriku seorang tanpa terkenang kepada adik kecilmu ….”

Mendengar kata “adik kecilmu”, seketika hati Linghu Chong tergetar dan merasa harus lekas-lekas menyusul Yue Lingshan yang mungkin sedang terancam bahaya itu.

Ren Yingying kembali berkata perlahan, “Baru sekarang aku benar-benar percaya bahwa dalam pandanganmu, dalam hatimu ternyata kau lebih banyak memikirkan aku daripada adik kecilmu.” Usai berkata demikian ia lantas menarik tali kendali sehingga kereta keledai kembali bergerak ke tengah jalan raya. Begitu cambuk dilecutkan, segera binatang itu berlari lebih cepat menarik kereta.

Setelah lebih dari dua puluh li terlewati, si keledai sudah mulai kelelahan dan memperlambat langkahnya. Begitu melewati dua tikungan kemudian, tampak hamparan ladang jagung yang luas berada di tepi jalan. Di bawah cahaya rembulan ladang luas itu laksana sutra hijau yang terbentang di bumi raya.

Ketika memperhatikan dengan seksama, tampak sebuah kereta lain berhenti agak jauh di tepi jalan raya itu.

“Dilihat dari bentuknya, itu seperti kereta yang ditumpangi Adik Lin dan Adik Kecil,” kata Linghu Chong.

“Mari kita mendekatinya pelan-pelan,” ujar Ren Yingying sambil menjalankan keretanya maju dengan perlahan sehingga jaraknya semakin dekat dengan kereta di depan itu.

Tidak lama kemudian, tampak dengan jelas bahwa kereta itu ternyata tidak berhenti, tetapi berjalan dengan sangat lambat. Di samping kereta terlihat seorang laki-laki berjalan kaki seorang diri. Ia tidak lain adalah Lin Pingzhi. Sementara itu, orang yang menjadi kusir jika dilihat dari belakang tentu adalah Yue Lingshan.

Ren Yingying terheran-heran melihatnya. Segera ia menarik tali kendali untuk menghentikan kereta, kemudian bertanya dengan suara lirih, “Mengapa seperti itu?” Setelah diam sejenak, ia lalu berkata, “Kau tunggu di sini, biar aku menyusul ke sana untuk memeriksa.”

Linghu Chong hendak menyertai namun lukanya belum sembuh benar sehingga tidak mungkin mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Terpaksa ia hanya mengangguk dan berbisik, “Silakan.”

Ren Yingying segera menyusup ke tengah ladang jagung itu dan menyusur ke depan untuk kemudian memutar ke arah kereta Yue Lingshan. Ladang jagung itu sangat lebat sehingga tubuh Ren Yingying tidak terlihat sama sekali meski keadaan siang sekalipun. Hanya saja, tangkai-tangkai jagung itu belum terlalu tinggi, sehingga gadis itu harus berjalan dengan kepala merunduk. Setelah agak dekat, ia pun mengikuti jalannya kereta dengan memperhatikan suara kaki keledai penariknya.

Terdengar Lin Pingzhi berkata, “Kitab pusaka keluargaku sudah lama jatuh ke tangan ayahmu. Semua jurus sudah dilatihnya sampai tuntas. Tapi kenapa kau masih saja mengikutiku?”

Yue Lingshan menjawab, “Kenapa kau selalu curiga ayahku mengincar kitab pusakamu? Sungguh tidak beralasan. Coba pikir, ketika awal mula kau masuk Perguruan Huashan dulu, waktu itu apakah kau membawa kitab pusaka segala? Tapi sejak itu, aku sudah … sudah baik padamu. Apa karena itu kau lantas menuduhku bermaksud jahat terhadapmu?”

“Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami terkenal di seluruh jagat. Yu Canghai dan Mu Gaofeng tidak menemukannya pada ayahku, dengan sendirinya sasaran berikutnya adalah aku. Dari mana aku bisa yakin bahwa perbuatan baikmu kepadaku bukan atas perintah ayah-ibumu?”

“Jika kau berpikiran begitu, apa mau dikata? Terserah padamu!” sahut Yue Lingshan tersedu-sedu.

“Memangnya aku salah menuduhmu?” kata Lin Pingzhi marah. “Bukankah Kitab Pedang Penakluk Iblis milikku akhirnya jatuh ke tangan ayahmu? Semua orang berkata, barangsiapa ingin menguasai kitab pusaka itu, maka harus bisa menguasai Lin Kecil dulu. Hm, Yu Canghai, Mu Gaofeng, atau Yue Buqun, apa bedanya? Hanya saja, Yue Buqun berhasil dan dia menjadi pemenang, sementara Yu Canghai dan Mu Gaofeng gagal, maka mereka menjadi pecundang.”

“Kata-katamu sangat merendahkan ayahku. Memangnya kau anggap aku ini apa?” kata Yue Lingshan dengan gusar. “Coba kalau bukan … kalau bukan … huh ….”

“Kau mau bicara apa? Kalau bukan karena mataku buta dan terluka tentu akan kau akan membunuhku, begitu? Mataku ini sudah buta sejak lama,” tukas Lin Pingzhi sambil berdiri tegak.

“Jadi, perkenalanmu denganku serta hubungan baik kita dari dulu itu kau anggap karena kau buta?” sahut Yue Lingshan sambil menarik tali kendali sehingga keretanya berhenti mendadak.

“Benar sekali,” jawab Lin Pingzhi. “Mana aku tahu bahwa kedatanganmu ke Fuzhou dengan pura-pura membuka kedai arak ternyata menyimpan rencana jangka panjang? Tujuanmu yang utama sesungguhnya hanyalah mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis belaka. Kau membiarkan dirimu digoda oleh bajingan anak Yu Canghai itu padahal ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada dia. Kau pura-pura tidak bisa silat untuk memancingku supaya turun tangan membelamu. Wahai Lin Pingzhi, dasar matamu memang buta, kepandaianmu hanya sedikit tapi berani menonjolkan diri sebagai pahlawan pembela si cantik segala. Apalagi kau adalah anak perempuan kesayangan ayah-ibumu. Kalau bukan karena suatu tujuan yang sangat penting mana mungkin mereka mengizinkanmu keluyuran di luar Huashan dan menjadi penjual arak rendahan segala?”

“Sebenarnya Kakak Kedua yang disuruh Ayah pergi ke Fuzhou,” Yue Lingshan menukas. “Aku hanya terdorong oleh keinginan berpesiar saja. Maka itu, aku bersikeras minta ikut menemani Kakak Kedua.”

“Hm, ayahmu sangat keras mengawasi murid-muridnya. Bila dia menganggap sesuatu tidak pantas, maka walaupun kau berlutut dan menangis tiga hari tiga malam juga takkan dikabulkannya. Sudah tentu karena dia juga tidak percaya sepenuhnya pada Kakak Kedua, maka kau pun dikirim sekalian untuk mengawasinya.”

Yue Lingshan terdiam. Apa yang diucapkan Lin Pingzhi memang masuk akal. Sejenak kemudian barulah ia membuka suara, “Baiklah, percaya atau tidak terserah padamu. Yang pasti ketika datang ke Fuzhou aku belum pernah mendengar ada Kitab Pedang Penakluk Iblis segala. Aku hanya mendengar Ayah mengatakan bahwa Kakak Pertama baru saja menghajar dua orang murid Qingcheng dan ini membuat hubungan kedua perguruan menjadi kurang baik. Konon, orang-orang Perguruan Qingcheng telah dikerahkan ke timur dan mungkin akan merugikan Perguruan Huashan. Maka itu, aku dan Kakak Kedua pun ditugasi Ayah untuk menyelidiki gerak-gerik mereka.”

Lin Pingzhi menghela napas, pertanda hatinya sudah agak lunak. “Baiklah, untuk kali ini aku percaya padamu. Akan tetapi, keadaannya sudah terlanjur seperti ini, untuk apa kau masih tetap mengikutiku? Memang kita sudah resmi menjadi suami-istri. Tapi pada kenyataannya, kau masih berbadan perawan. Sebaiknya kau … kau kembali pada Linghu Chong saja.”

Mendengar kata-kata “Memang kita sudah resmi menjadi suami-istri. Tapi pada kenyataannya, kau masih berbadan perawan,” kontan membuat Ren Yingying terkejut. Dalam hati ia bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Namun, segera mukanya bersemu merah dan menganggap seorang anak gadis seperti dirinya tidaklah pantas mencuri dengar percakapan pribadi orang lain suami-istri. Apalagi ingin mencari tahu “mengapa bisa begitu” segala, benar-benar tidak pantas.

Karena itu, ia pun bermaksud segera pergi. Namun, baru saja mundur beberapa langkah, rasa ingin tahunya mendesak untuk mendengarkan lebih lanjut percakapan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi itu. Meski demikian, ia khawatir persembunyiannya akan diketahui oleh mereka sehingga berpindah agak jauh dari tempat semula.

Dengan menggunakan tenaga dalam dan memusatkan pikiran, ditambah keadaan memang sangat sunyi, ia masih dapat mendengar Yue Lingshan berkata dengan jelas, “Baru tiga hari kita menikah segera aku tahu ternyata kau sangat membenciku. Sekalipun satu kamar, namun kau tidak sudi tidur seranjang denganku. Jika kau tidak sudi satu ranjang denganku, kenapa… kenapa pula kau menikah denganku?”

“Aku tidak benci padamu,” sahut Lin Pingzhi sambil menghela napas.

“Kau tidak benci padaku? Tapi mengapa siang hari kau pura-pura baik kepadaku, namun begitu malam tiba saat kita di dalam kamar kau lantas bersikap dingin? Sepatah kata pun kau tidak mau bicara denganku. Berulang kali Ayah dan Ibu bertanya bagaimana perlakuanmu padaku, selalu saja kujawab sangat baik ….” Sampai di sini mendadak ia menangis keras-keras.

Lin Pingzhi lantas melompat ke dalam kereta dan memegangi bahu Yue Lingshan. Dengan suara bengis ia membentak, “Kau bilang ayah-ibumu berulang kali menanyakan bagaimana aku memperlakukan dirimu, apakah benar?”

“Sudah tentu benar, untuk apa aku berbohong?” sahut Yue Lingshan.

“Sudah jelas aku memperlakukan dirimu tidak baik, sama sekali belum pernah tidur seranjang denganmu, tapi kenapa kau katakan aku sangat baik padamu?” desak Lin Pingzhi.

“Aku telah menikah denganmu, maka dengan sendirinya aku menjadi anggota Keluarga Lin,” jawab Yue Lingshan dengan mencucurkan air mata. “Yang kuharapkan adalah semoga tidak lama lagi kau berubah pikiran. Aku mencintaimu dengan segenap jiwaku, mana boleh aku menjelek-jelekkan suami sendiri?”

Lin Pingzhi tidak menjawab, hanya giginya saja yang berkerut-kerut menahan gemas. Ia kemudian berkata perlahan, “Hm, tadinya kusangka ayahmu sayang padamu sehingga ia bermurah hati kepadaku. Andai saja kau tidak membela diriku seperti itu, mungkin sejak dulu nyawaku sudah melayang di Puncak Huashan.”

“Mana mungkin seperti itu?” tanya Yue Lingshan. “Kita ini pengantin baru. Meskipun terjadi sedikit selisih paham juga tidak mungkin seorang mertua lantas membunuh menantunya.”

“Dia ingin membunuhku bukan karena aku bersikap dingin padamu, tapi karena aku telah mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis,” jawab Lin Pingzhi dengan gemas.

Mendengar ini Ren Yingying semakin penasaran dan maju beberapa langkah.

“Aku benar-benar tidak paham,” kata Yue Lingshan. “Ilmu pedang yang kau mainkan, juga yang Ayah mainkan benar-benar sangat aneh dan luar biasa sakti. Ayah berhasil mengalahkan Zuo Lengchan dan merebut kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung, sementara kau sendiri berhasil membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Apakah … apakah ilmu pedang yang kalian mainkan itu adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis?”

“Benar, itulah Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami,” jawab Lin Pingzhi. “Dengan ilmu pedang mahasakti itulah leluhurku, Kakek Buyut Yuantu mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei dan malang melintang di dunia persilatan pada zamannya.” Sampai di sini suaranya terdengar jelas dan nyaring, penuh dengan rasa bangga.

“Tapi ... tapi kau tidak pernah bercerita padaku .… Kau mengaku tidak pernah belajar ilmu pedang itu!” kata Yue Lingshan.

“Mana berani aku berkata terus terang?” sahut Lin Pingzhi. “Linghu Chong berhasil merebut jubah biksu peninggalan kakek buyutku di Fuzhou. Tapi, rupanya sudah takdir kalau dia gagal memilikinya. Jubah yang bertuliskan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis itu malah jatuh ke tangan ayahmu ….”

“Tidak mungkin, tidak mungkin!” seru Yue Lingshan dengan suara melengking. “Menurut Ayah, kitab pusaka itu telah dikuasai Kakak Pertama. Aku memintanya untuk mengembalikan kitab itu kepadamu, tapi Kakak Pertama menolak.”

Lin Pingzhi hanya mendengus dan tertawa dingin.

Yue Lingshan melanjutkan, “Ilmu pedang Kakak Pertama mahasakti, bahkan Ayah pun bukan tandingannya. Apakah yang ia mainkan itu bukan Jurus Pedang Penakluk Iblis? Apakah itu bukan hasil pelajaran dari Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kalian?”

Kembali Lin Pingzhi tertawa mengejek, lalu berkata, “Sekalipun Linghu Chong itu licik dan penuh muslihat, tapi kalau dibandingkan dengan ayahmu bisa dikatakan masih ketinggalan jauh. Lagipula ilmu pedang Linghu Chong kacau-balau, mana bisa dibandingkan dengan Jurus Pedang Penakluk Iblis keluargaku? Bukankah dalam pertandingan di depan Panggung Fengshan di Puncak Songshan itu dia terluka oleh pedangmu?”

“Dia … dia sengaja mengalah padaku,” jawab Yue Lingshan lirih.

“Hm, sungguh dalam cintanya padamu,” sahut Lin Pingzhi mencibir.

Apabila Ren Yingying mendengar perkataan ini sehari sebelumnya mungkin ia akan jatuh lemas karena gusar. Meskipun ia sudah tahu kalau Linghu Chong sengaja mengalah, namun semalam mereka berdua telah berbicara mesra di tepi danau saling mengungkapkan perasaan dari lubuk yang paling dalam. Keduanya telah mengutarakan isi hati masing-masing, sehingga kini Ren Yingying merasa lebih yakin. Ia pun berpikir, “Dulu memang Kakak Chong sangat baik kepadamu, tapi sekarang dia jauh lebih baik kepadaku. Bukan salahnya telah berpaling darimu, tetapi karena kau sendiri yang terlalu keras melukai perasaannya.”

Terdengar Yue Lingshan berkata, “Rupanya yang dimainkan Kakak Pertama itu bukan Jurus Pedang Penakluk Iblis, tapi mengapa Ayah selalu menuduhnya sebagai pencuri kitab pusaka keluargamu itu? Pada saat Ayah mengeluarkannya dari Perguruan Huashan, tuduhan ini diumumkan kepada kita sebagai salah satu dosa besar Kakak Pertama. Jika demikian, jika demikian … aku telah salah sangka kepadanya.”

“Hm, salah sangka apanya?” ejek Lin Pingzhi. “Jelas-jelas di Kota Fuzhou Linghu Chong ikut merebut kitab pusaka keluargaku. Hanya saja, nasibnya seperti maling ayam bertemu raja perampok. Dalam keadaan terluka dan jatuh pingsan, Linghu Chong digeledah oleh ayahmu, kemudian ayahmu sengaja menuduhnya menggelapkan kitab itu. Ini namanya maling berteriak maling ….”

“Maling apa? Kenapa kau pakai kata-kata yang tidak enak didengar begitu?” sahut Yue Lingshan gusar.

“Lantas, apakah perbuatan ayahmu itu enak didengar? Mengapa aku tidak boleh menyebutnya maling?” balas Lin Pingzhi bengis.

Yue Lingshan menghela napas, kemudian berkata, “Waktu itu di Gang Xiangyang, orang-orang Perguruan Songshan telah merebut jubah biksu dari rumah leluhurmu. Untungnya, Kakak Pertama berhasil membinasakan kedua orang jahat itu dan merampas kembali jubah tersebut. Kau tidak pantas menuduhnya ingin mengangkangi jubah itu. Kakak Pertama berjiwa besar dan berhati jujur. Sejak kecil ia tidak pernah serakah terhadap milik orang lain. Sebenarnya aku pun sangsi ketika Ayah menuduhnya mencuri kitab pusakamu. Hanya saja, ilmu pedangnya yang tiba-tiba maju pesat bahkan lebih hebat daripada Ayah, telah membuatku ikut-ikutan menuduhnya.”

Mendengar itu Ren Yingying berpikir, “Hm, kau bisa berkata seperti itu, ternyata tidak sia-sia Kakak Chong mencintaimu.”

Lin Pingzhi berkata, “Dia begitu baik, kenapa kau tidak ikut saja dengannya?”

“Adik Ping, sampai saat ini ternyata kau masih juga belum bisa menyelami perasaanku,” tukas Yue Lingshan. “Sejak kecil Kakak Pertama dibesarkan bersamaku. Dalam pandanganku dia tidak lebih seperti kakak kandungku belaka. Aku menghormati dan menyayanginya sebagai saudara tua, selamanya tidak pernah menganggapnya sebagai kekasih. Sebaliknya, sejak kau datang ke Gunung Huashan, dalam waktu singkat saja aku langsung merasa cocok denganmu. Satu detik tidak bertemu rasanya begitu rindu. Cintaku padamu selamanya takkan berubah.”

“Kau memang agak berbeda dengan ayahmu. Kau … kau lebih mirip ibumu,” kata Lin Pingzhi dengan nada halus. Rupanya hatinya telah tersentuh oleh perkataan sang istri.

Keduanya pun terdiam beberapa saat. Akhirnya Yue Lingshan membuka suara, “Adik Ping, kebencianmu kepada Ayah sangat mendalam. Untuk selanjutnya antara kalian berdua tentu sulit berdamai. Namun, aku telah menjadi anggota Keluarga Lin. Ke mana pun kau pergi tentu aku akan ikut serta. Lebih baik kita mencari suatu tempat yang damai, yang jauh dari dunia persilatan dan di sana kita hidup bahagia selamanya.”

“Huh, pikiranmu sungguh muluk-muluk,” sahut Lin Pingzhi. “Aku sudah membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng, berita ini tentu sudah tersebar ke mana-mana. Ayahmu pasti akan mengetahui bahwa aku juga telah berhasil mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Mana mungkin dia sudi membiarkan aku hidup tenang di dunia ini?”

Yue Lingshan menghela napas dan berkata, “Adik Ping, kau mengatakan Ayah mengincar kitab pusakamu. Berdasarkan kenyataan yang ada, aku pun takkan membela Ayah. Tapi kau menuduh Ayah ingin membunuhmu hanya karena kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis, kurasa ini tidak masuk akal. Kitab Pedang Penakluk Iblis memang milik Keluarga Lin kalian. Jika kau mempelajari ilmu pedang leluhurmu, bukankah itu adalah hal yang wajar? Bagaimanapun juga Ayah tidak mungkin membunuhmu hanya karena alasan itu.”

“Kau bicara demikian karena belum kenal watak ayahmu dan juga tidak tahu seperti apa isi Kitab Pedang Penakluk Iblis,” jawab Lin Pingzhi.

“Bahkan terhadap isi hatimu pun aku juga tidak paham,” kata Yue Lingshan.

“Ya, tidak paham. Kau memang tidak paham! Untuk apa harus paham?” sahut Lin Pingzhi mulai gusar kembali.

Yue Lingshan tidak berani banyak membantah. Ia hanya berkata, “Mari kita berangkat saja.”

“Ke mana?” tanya Lin Pingzhi.

“Ke mana pun kau pergi, ke sana pula aku akan ikut. Pergi ke ujung langit sekalipun aku akan tetap bersamamu,” jawab Yue Lingshan tegas.

“Apa betul ucapanmu ini? Apa pun yang terjadi kelak kau jangan menyesal,” balas Lin Pingzhi.

“Aku sudah bertekad menjadi istrimu, hidup bersamamu. Sudah sejak lama ini menjadi tekadku. Lantas, kenapa aku harus menyesal? Matamu terluka, rasanya masih dapat disembuhkan. Andaikan tidak bisa pulih juga aku akan selalu mendampingimu, melayanimu, sampai saat terakhir hidup kita berdua.”

Ucapan Yue Lingshan yang penuh perasaan ini sangat membuat Ren Yingying terharu. Ia merasa Yue Lingshan sebenarnya sangat baik, namun sayangnya bernasib malang.

Terdengar Lin Pingzhi mendengus. Sepertinya ia masih kurang percaya pada tekad Yue Lingshan itu.

Dengan suara halus Yue Lingshan kembali berkata, “Adik Ping, rupanya kau masih sangsi padaku. Biarlah malam ini juga aku … aku menyerahkan diriku sepenuhnya kepadamu. Dengan demikian semoga kau dapat mempercayai aku. Biarlah malam ini kita melakukan malam pengantin di sini. Marilah kita menjadi suami istri yang sesungguhnya dan untuk selanjutnya … untuk selanjutnya kita pun menjadi suami istri yang sebenarnya ….” Makin lama suaranya makin lirih hingga akhirnya tidak terdengar lagi.

Ren Yingying merasa heran dan rikuh mendengar ucapan Yue Lingshan itu. Segera ia bermaksud pergi sambil berpikir, “Kalau aku masih menguping berarti aku bukan manusia. Nona Yue ini benar-benar tidak tahu malu. Di tengah jalan raya seperti ini bisa-bisanya ia mengajak ... mengajak ... huh ....”

Namun, tiba-tiba terdengar Lin Pingzhi berteriak dengan suara seram dan bengis. Kemudian ia membentak, “Enyah sana! Jangan dekat-dekat aku!”

Kontan Ren Yingying terkejut dan penasaran ingin tahu apa yang terjadi. “Apa yang membuat Lin Pingzhi menjadi beringas seperti itu?” pikirnya.

Menyusul kemudian terdengar suara Yue Lingshan menangis, namun Lin Pingzhi masih membentaknya, “Pergi sana, pergi yang jauh! Pergilah sejauh-jauhnya! Aku lebih suka mati dibunuh ayahmu daripada kau ikut denganku.”

“Mengapa kau menghina diriku seperti ini? Sesungguhnya apa … apa salahku padamu?” tanya Yue Lingshan sambil menangis.

“Aku … aku .…” Lin Pingzhi tertegun, lalu melanjutkan, “Kau … kau ….” tapi lantas ia terdiam.

“Apa yang hendak kau katakan? Bicaralah terus terang!” pinta Yue Lingshan. “Jika memang aku bersalah atau kau tidak dapat memaafkan kesalahan ayahku, tidak masalah asal kau bicara terus terang. Tanpa kau suruh pun aku akan bunuh diri di hadapanmu.” Usai berkata ia segera melolos pedangnya.

Mendengar itu Ren Yingying merasa keadaan berubah gawat. “Lin Pingzhi hendak memaksa Nona Yue bunuh diri. Aku harus menolongnya.” Ia pun maju beberapa langkah sehingga makin mendekati kereta itu.

“Aku … aku .…” kembali Lin Pingzhi tergagap-gagap. Selang sejenak, ia lalu menghela napas panjang dan menyambung, “Kau tidak bersalah. Sesungguhnya aku sendiri yang kurang baik.”

Kembali Yue Lingshan menangis sedih bercampur bingung.

Lin Pingzhi berkata, “Baiklah, akan kukatakan terus terang kepadamu.”

“Kau boleh memukulku, membunuhku, aku rela. Tapi jangan kau buat diriku merasa bingung,” kata Yue Lingshan.

“Karena perasaanmu padaku begitu tulus, maka aku akan berterus terang kepadamu, agar selanjutnya kau tak berharap-harap lagi atas diriku,” kata Lin Pingzhi.

“Kenapa?” tanya Yue Lingshan semakin bingung.

“Kenapa?” Lin Pingzhi balik bertanya. “Jurus Pedang Penakluk Iblis sangat terkenal di dunia persilatan. Ayahmu dan Yu Canghai masing-masing adalah ketua perguruan pedang. Ilmu silat mereka sangat tinggi, tapi kenapa mereka masih juga mengincarnya? Sebaliknya, mengapa ilmu pedang ayahku begitu rendah? Sampai-sampai dianiaya orang juga tidak mampu melawan. Coba jawab, apa sebabnya?”

“Mungkin bakat Ayah Mertua kurang bagus, atau mungkin badannya terlalu lemah,” jawab Yue Lingshan. “Anak cucu seorang jago silat hebat tidak berarti harus berilmu tinggi pula.”

“Bukan begitu. Sekalipun ilmu pedang ayahku sangat rendah, mungkin karena kurang berlatih saja. Tapi mengapa tenaga dalamnya lemah, ilmu silatnya juga payah? Ternyata Jurus Pedang Penakluk Iblis yang diajarkannya kepadaku pada dasarnya salah semua. Ilmu pedang yang kupelajari dari Ayah salah semua,” ujar Lin Pingzhi.

“Ini benar-benar aneh,” sahut Yue Lingshan.

“Kalau kuceritakan tentu tidak aneh lagi,” jawab Lin Pingzhi. “Apakah kau tahu orang macam apa sebenarnya kakek buyutku yang bernama Lin Yuantu?”

“Aku tidak tahu,” jawab Yue Lingshan.

“Pada mulanya ia seorang biksu,” ujar Lin Pingzhi.

“Jadi, ia seorang penganut ajaran Buddha?” ujar Yue Lingshan. “Banyak tokoh persilatan ternama yang pada hari tua meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi biksu. Bukankah ini sering terjadi?”

“Tidak begitu. Kakek buyutku tidak meninggalkan rumah pada hari tua,” sahut Lin Pingzhi, “tapi ia justru menjadi biksu lebih dulu baru kemudian kembali menjadi orang awam.”

“Tapi bukankah pendiri Dinasti Ming, yaitu Kaisar Zhu Yuanzhang pada mulanya juga seorang biksu dari Biara Huangjue?” sahut Yue Lingshan.

Mendengar itu Ren Yingying termenung, “Nona Yue sungguh baik. Kata-katanya selalu bertujuan membesarkan hati suaminya yang picik.”

Yue Lingshan menyambung, “Tentang masa muda Kakek Buyut Yuantu apakah kau mendengar dari cerita Ayah Mertua?”

“Tidak, selamanya Ayah tidak pernah bercerita, bahkan mungkin juga tidak tahu. Apa kau masih ingat kediaman lama keluarga kami di Gang Xiangyang di Kota Fuzhou yang pernah kita datangi pada suatu malam? Di rumah tua itu terdapat ruang sembahyang agama Buddha.”

“Aku masih ingat,” sahut Yue Lingshan.

“Mengapa Kitab Pedang Penakluk Iblis tertulis pada selembar jubah biksu? Karena pada awalnya Beliau memang seorang biksu. Pada suatu hari Kakek Buyut membaca kitab pusaka itu, lalu menulis ulang isinya pada jubah yang dipakainya. Setelah Beliau kembali hidup bermasyarakat, di rumah kediamannya dibangun sebuah ruang sembahyang Buddha dan tetap melakukan ibadah dengan taat.”

“Ceritamu cukup masuk akal. Namun, mungkin saja kitab pusaka itu diperoleh kakek buyut kita dari seorang biksu sakti atau kitab pusaka itu memang sejak awal tertulis pada selembar jubah. Jadi, kakek buyut kita memperoleh kitab pusaka itu dengan cara yang jujur, bukan mencuri baca,” bujuk Yue Lingshan.

“Bukan begitu,” ujar Lin Pingzhi.

“Bila kau mempunyai dugaan lain, tentu ada alasannya,”

“Aku tidak mengada-ada, tapi Kakek Buyut Yuantu sendiri yang mencatat kisahnya di atas jubah.”

“O, ternyata demikian,” kata Yue Lingshan.

“Pada bagian akhir catatan Beliau pada jubah itu tertulis, bahwa pada suatu hari Beliau mendapat keberuntungan bisa mendengar penuturan dari orang lain tentang sebuah ilmu sakti. Beliau lalu menulis ulang ilmu sakti tersebut di atas jubah dan kemudian berhenti menjadi biksu. Namun, Beliau memperingatkan bahwa ilmu sakti ini terlalu keji dan merugikan. Barangsiapa yang melatihnya pasti akan putus keturunan. Ilmu keji ini mungkin cocok untuk kaum biksu dan biksuni yang tidak berketurunan, tapi tetap saja bertentangan dengan sifat welas asih mereka. Apalagi sebagai orang awam, sebaiknya jangan mempelajarinya.”

“Akan tetapi, Beliau sendiri tetap saja berlatih ilmu itu?” kata Yue Lingshan.

“Tadinya aku pun berpikir demikian,” jawab Lin Pingzhi. “Seandainya ilmu sakti itu terlalu keji dan merugikan, namun mengapa setelah Kakek Buyut menguasainya tetap saja Beliau bisa memiliki keturunan?”

“Mungkin Beliau menikah dan mempunyai anak terlebih dulu, baru kemudian berlatih ilmu sakti tersebut?” ujar Yue Lingshan.

“Tidak mungkin,” sahut Lin Pingzhi. “Setiap orang persilatan bagaimanapun lihainya, bagaimanapun jujurnya, sekali ia sudah mengetahui kehebatan jurus pertama sebuah ilmu sakti, tentu akan berusaha mencari tahu bagaimana jurus kedua. Setelah mengetahui bagaimana jurus kedua, pasti ingin cepat-cepat berlatih jurus ketiga dan begitulah seterusnya. Sekalipun ia tahu bahwa ilmu silat tersebut mengandung suatu akibat buruk juga tak akan dihiraukannya.”

Mendengar sampai di sini, Ren Yingying merenung, “Ayah pernah bercerita bahwa Kitab Pedang Penakluk Iblis dan Kitab Bunga Mentari pada dasarnya berasal dari sumber yang sama. Pantas saja ilmu silat Yue Buqun dan Lin Pingzhi sangat mirip dengan Dongfang Bubai. Menurut Ayah, jika seorang ahli silat membaca halaman pertama kitab itu, pasti ia akan langsung terjebak pada keinginan kuat untuk mempelajarinya sampai tuntas. Padahal, ia tahu kalau kitab tersebut mendatangkan malapetaka, namun tidak akan dipedulikannya lagi. Ayah sendiri berusaha keras untuk tidak membaca Kitab Bunga Mentari sedikit pun. Sungguh suatu tindakan bijaksana.”

Tiba-tiba Ren Yingying terkenang sesuatu, “Tapi, mengapa Ayah memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai? Ah, aku paham. Rupanya waktu itu Ayah sudah mengetahui kalau Dongfang Bubai berniat memberontak kepadanya. Ia pun memberikan kitab itu dengan harapan Dongfang Bubai mendapat celaka. Bahkan, Paman Xiang yang cerdik juga tidak mengetahui rencana di balik itu semua. Paman Xiang mengira Ayah telah terpikat oleh mulut manis Dongfang Bubai dan menyerahkan kitab itu kepadanya sebagai hadiah. Dongfang Bubai menerima dengan gembira dan ia pun masuk perangkap Ayah. Namun, rencana manusia masih kalah melawan suratan takdir. Karena lengah, Ayah dapat diperdaya dan ditangkap oleh Dongfang Bubai, sehingga selama bertahun-tahun harus menderita dalam penjara gelap di dasar Danau Barat.”

Ren Yingying termenung-menung sejenak, kemudian kembali berpikir, “Sebenarnya Dongfang Bubai tidak terlalu kejam. Andaikan ia langsung membunuh Ayah, atau berhenti mengirim makanan, tentu Ayah sudah meninggal sejak lama. Ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari memang luar biasa. Andai saja bukan karena bantuan Kakak Chong, Paman Xiang, dan Paman Shangguan, tentu Ayah tidak akan bisa membunuh Dongfang Bubai. Andai saja tidak ada Yang Lianting yang dapat kusiksa, tentu pikiran Dongfang Bubai tidak akan terbagi, dan sampai saat ini pun ia masih pantas menyandang nama ‘tak terkalahkan’.”

Entah mengapa malam itu ia merasa begitu kasihan terhadap Dongfang Bubai? Ren Yingying kembali merenung, “Setelah menyingkirkan Ayah dan merebut jabatan ketua Sekte Matahari dan Bulan, ia tetap bersikap baik padaku. Aku diperlakukannya bagaikan putri raja. Tapi, setelah Ayah kembali menjadi ketua, aku justru tidak memiliki kekuasaan sama sekali .... Aih, aku sekarang sudah memiliki Kakak Chong, untuk apa masih menginginkan kekuasaan segala? Tapi, Kakak Chong saat ini sedang menderita. Gara-gara berlatih Jurus Penyedot Bintang, kini di dalam tubuhnya berkumpul berbagai macam hawa murni liar yang berasal dari banyak aliran. Suatu saat nanti penderitaan Kakak Chong akan semakin bertambah berat. Selama ia tidak mampu membuyarkan dan mengendalikan hawa murni liar tersebut, tentu ia akan sangat kesakitan. Ayah berjanji akan mengajarkan cara mengatasi penyakit itu asalkan Kakak Chong bersedia masuk agama kami. Mungkin bukan hanya itu, Ayah juga akan menunjuk Kakak Chong sebagai calon ketua yang baru. Namun, sampai saat ini Kakak Chong masih saja menolak. Pasti kelak ia akan sangat menderita.”

Seorang diri Ren Yingying merenung di tengah kebun jagung. Pikirannya sebentar gembira, sebentar kemudian menjadi waswas. Perasaan senang dan sedih bercampur aduk namun selalu saja kembali kepada Linghu Chong.

Pada saat itu Yue Lingshan dan Lin Pingzhi juga sedang terdiam. Tidak lama kemudian Lin Pingzhi membuka suara, “Setelah Kakek Buyut Yuantu menyalin ilmu sakti tersebut, Beliau langsung mempelajarinya.”

Yue Lingshan menanggapi, “Ilmu pedang itu mungkin memang menimbulkan malapetaka, tapi apakah jika dilatih langsung demikian? Bisa jadi Kakek Buyut Yuantu sempat menikah dan memiliki anak, baru kemudian malapetaka itu datang kepada Beliau.”

“Bukan, bukan demikian. Semula aku juga berpikir begitu, tapi kemudian aku lantas paham bukan begitu yang sebenarnya,” sahut  Lin Pingzhi. “Sepertinya kakekku bukan anak kandung Kakek Buyut Yuantu. Kakek Buyut menikah dan mengambil kakekku sebagai anak angkat hanya untuk mengelabui semua orang.”

“Ah, untuk apa? Mana mungkin seperti itu?” ujar Yue Lingshan.

Lin Pingzhi hanya mendengus tanpa menjawab. Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Ketika pertama kali menemukan jubah berisi kitab pusaka tersebut, hubungan kita masih mesra. Saat itu aku bermaksud menunda berlatih sampai kita menikah, sampai kita memiliki anak. Akan tetapi, aku tidak sanggup melakukannya. Aku sangat terdesak ingin segera mempelajarinya. Akhirnya ... akhirnya aku pun memotong kemaluanku sendiri.”

“Hah!” seru Yue Lingshan sambil melonjak karena terkejut. “Kau … kau mengebiri diri sendiri untuk mendalami ilmu pedang jahanam itu?”

“Benar sekali,” jawab Lin Pingzhi dingin. “Kalimat pertama dalam Kitab Pedang Penakluk Iblis berbunyi: ‘Barangsiapa ingin menguasai dunia persilatan, segera ambil pisau dan kebiri diri sendiri.”

“Mengapa ... mengapa harus beg… begitu?” tanya Yue Lingshan dengan suara lemah.

“Untuk mempelajari Kitab Pedang Penakluk Iblis harus dimulai dengan berlatih tenaga dalam,” jawab Lin Pingzhi. “Jika tidak mengebiri diri sendiri, maka latihan itu akan membangkitkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Dalam sekejap saja kau akan langsung lumpuh dan akhirnya mati kaku.”

“Begitukah?” ujar Yue Lingshan semakin lemah. Suaranya hampir-hampir bagaikan suara nyamuk.

Dalam hati Ren Yingying juga berkata, “O, ternyata demikian!” Baru sekarang ia paham mengapa seorang tokoh hebat seperti Dongfang Bubai akhirnya memakai baju perempuan, menyulam, dan melayani seorang Yang Lianting yang gagah berewokan dengan mesra. Ternyata semua itu adalah karena ia berlatih ilmu silat keji, yang akhirnya membuat dirinya menjadi banci. Laki-laki bukan, perempuan pun bukan.

Terdengar Yue Lingshan menangis tersedu-sedu dan berkata, “Kakek Buyut Yuantu menikah dan mengambil anak angkat hanya untuk mengelabui semua orang. Jadi ... jadi ... kau juga demikian?”

“Tentu saja,” jawab Lin Pingzhi. “Aku telah menjadi banci demi untuk mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Aku kemudian menikah denganmu untuk mengelabui semua orang, terutama ayahmu.”

Terdengar Yue Lingshan menangis semakin keras.

Lin Pingzhi menyambung, “Sekarang kau sudah tahu rahasiaku. Sekarang kau boleh membenciku sampai ke tulang sumsum.”

“Aku tidak akan membencimu,” jawab Yue Lingshan. “Kau hanya terdesak oleh keadaan. Tapi aku sangat benci kepada ... kepada pencipta ilmu iblis itu. Kenapa dia menciptakan ilmu silat sekeji itu? Apakah ia bermaksud mencelakai banyak orang?”

Lin Pingzhi tertawa kecil dan berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis diciptakan oleh seorang kasim istana.”

“Oh!” seru Yue Lingshan semakin pilu. Ia berkata, “Jadi ... jadi ... ayahku juga sama ... sama sepertimu?”

“Ia bahkan lebih dulu mempelajarinya daripada aku. Dalam hal ini keadaannya mana mungkin berbeda denganku?” ujar Lin Pingzhi. “Ayahmu seorang ketua perguruan ternama. Bila perbuatan ayahmu yang mengebiri diri sendiri sampai tersiar ke luar, sudah pasti dia akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan. Itulah sebabnya, apabila dia mendengar aku juga mendalami ilmu pedang ini, pasti aku akan dibunuhnya. Berulang kali dia bertanya tentang perlakuanku kepadamu adalah karena dia ingin tahu apakah aku masih mampu melakukan hubungan suami-istri denganmu atau tidak? Apakah aku telah mengebiri diri sendiri atau tidak? Andai saja waktu itu kau berkata terus terang, meski hanya mengeluh sedikit saja, mungkin nyawaku sudah lama melayang.”

“Dan sekarang tentu Ayah sudah tahu,” kata Yue Lingshan.

“Sudah pasti. Aku telah membunuh Yu Canghai, membunuh Mu Gaofeng. Dalam waktu beberapa hari saja berita ini tentu akan tersiar luas di dunia persilatan,” ujar Lin Pingzhi bangga.

“Jika benar demikian, bisa jadi Ayah benar-benar takkan mengampunimu. Lalu sebaiknya, ke mana kita harus bersembunyi?” ujar Yue Lingshan.

“Kita?” Lin Pingzhi menegas. “Kau sudah tahu keadaanku yang sebenarnya dan masih juga mau mengikuti aku?”

“Tentu saja. Semua terjadi karena terpaksa. Kau tidak patut disalahkan. Adik Ping, cintaku padamu dari awal sampai akhir tak akan berubah. Nasibmu sungguh malang, pantas dikasihani ….” Belum selesai perkataannya, tiba-tiba ia menjerit dan terlempar ke bawah kereta. Sepertinya Lin Pingzhi telah mendorong tubuhnya.

Menemukan kereta Lin Pingzhi.
 
Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di dalam kereta.

Yue Lingshan mengancam bunuh diri.
(Bersambung)