Bagian 24 - Dalam Bayangan Asmara

Linghu Chong membujuk Yue Lingshan pulang.
Semalam suntuk Linghu Chong berjaga di sisi Yue Lingshan. Sedikit pun ia tidak tidur sama sekali.
Yue Lingshan sendiri sangat letih sehingga tidur semalaman, sampai hari mulai terang barulah ia bangun kembali. Begitu melihat Linghu Chong sedang memandangi dirinya sambil tersenyum, ia pun balas tersenyum sambil menguap, “Kakak Pertama, kau sudah bangun sejak pagi tadi?”
Linghu Chong tidak mengatakan kalau dirinya berjaga semalaman. Ia hanya menjawab dengan tertawa, “Semalam kau mimpi apa? Apa kau bermimpi menghajar Adik Lin?”
Yue Lingshan terdiam sejenak mengingat-ingat mimpinya semalam. Ia kemudian tertawa dan berkata, “Wah, kau pasti mendengar aku mengigau, ya? Si bocah Lin Pingzhi itu memang keras kepala. Ia tidak mau menuruti kata-kataku. Aku kesal sekali, sampai-sampai memaki dia di dalam mimpi.”
Linghu Chong bertanya, “Memangnya dia melakukan kesalahan apa?”
“Dalam mimpi aku menyuruhnya berlatih pedang di tengah air terjun mengiringi diriku. Tapi dia selalu saja menolak dengan berbagai alasan. Aku lantas membujuknya mendekati air terjun, dan kemudian kudorong tubuhnya hingga tercebur ke bawah,” jawab Yue Lingshan.
“Wah, mana boleh begitu?” ujar Linghu Chong. “Kalau terjadi apa-apa dia bisa celaka.”
“Ah, hanya mimpi saja, kenapa harus khawatir?” sahut Yue Lingshan. “Memangnya kau kira aku benar-benar begitu kejam dan membunuh orang?”
Linghu Chong berkata, “Apa yang terpikir pada siang hari, bisa terjadi di dalam mimpi. Tentu pada waktu siang kau berpikir ingin membunuh Adik Lin, sehingga terbawa ke dalam mimpi pada malam harinya.”
Yue Lingshan mendengus dan menjawab, “Bocah bermarga Lin itu sangat tidak berguna. Sudah tiga bulan berlatih jurus-jurus dasar perguruan kita, tapi satu jurus pun belum bisa dikuasainya. Tapi sebenarnya ia sangat giat dalam berlatih. Siang berlatih, malam juga berlatih. Sampai-sampai orang-orang kesal melihatnya. Huh, jika aku ingin membunuhnya maka aku tidak perlu repot-repot harus memikirkannya. Sekali cabut pedang aku bisa membereskannya.” Sambil berkata demikian, tangan gadis itu lantas bergerak memperagakan sebuah jurus tusukan.
“Jurus Awan Menutup Bukit,” ucap Linghu Chong menebak. “Sekali tebas kepala Adik Lin bisa melayang, hahaha.”
“Benar. Jika aku gunakan jurus itu, kepala si bocah Lin bisa terlempar,” jawab Yue Lingshan ikut tertawa.
Linghu Chong berkata sambil menggoda, “Sebagai seorang kakak, seharusnya kau memberikan petunjuk kepada adik seperguruan yang sedang kesulitan berlatih pedang, bukannya sembarangan main bunuh. Andai saja Guru memiliki seratus murid baru, tentu dalam waktu singkat sembilan puluh sembilan orang akan mati di tanganmu. Bukannya sifat seperti ini sangat berbahaya?”
Yue Lingshan tertawa cekikikan sambil bersandar di dinding gua. Ia berkata, “Benar juga, aku hanya boleh membunuh sembilan puluh sembilan orang saja. Paling sedikit harus tersisa satu orang yang kubiarkan hidup. Jika tidak, siapa lagi yang akan memanggil ‘kakak’ kepadaku?”
“Tapi kalau kau sudah membunuh sembilan puluh sembilan orang adik seperguruanmu, tentu sisanya yang satu orang itu akan melarikan diri karena takut,” sahut Linghu Chong menanggapi.
“Kalau begitu, maka... maka kau saja yang kupaksa memanggil ‘kakak’ kepadaku,” jawab Yue Lingshan.
“Bagiku tidak masalah memanggil ‘kakak’. Tapi kalau kau juga membunuhku, bagaimana?” tanya Linghu Chong menggoda.
“Asalkan kau menuruti semua perkataanku, sudah pasti tidak akan kubunuh. Tapi jika membantah, tentu kau akan segera mati di tanganku,” ujar Yue Lingshan
Menanggapi gurauan itu Linghu Chong segera memberi hormat sambil bergelak tawa, “Ampuni aku, Adik Kecil! Ampuni aku!”
Saat itu hujan salju telah reda. Linghu Chong khawatir jangan-jangan saudara-saudara yang lain mengetahui hilangnya Yue Lingshan sehingga akan muncul omongan-omongan yang kurang sedap di antara mereka. Tentu ini akan mencemarkan nama baik sang adik kecil. Maka, ia pun berusaha membujuk gadis itu supaya segera pulang meninggalkan puncak.
Akan tetapi, Yue Lingshan menjawab, “Biarlah aku bermain di sini saja. Ayah dan Ibu kebetulan tidak berada di rumah. Aku benar-benar merasa sangat kesepian.”
“Adik yang baik,” ujar Linghu Chong lembut. “Selama beberapa hari ini aku telah menciptakan beberapa Jurus Pedang Chongling yang baru. Kelak kalau aku sudah pulang, akan kuajak dirimu untuk berlatih bersama lagi di air terjun itu.”
Dengan berbagai cara Linghu Chong berusaha membujuk Yue Lingshan supaya mau meninggalkan Puncak Gadis Kumala tersebut. Akhirnya, lama-lama putri sang guru itu luluh juga. Dengan berat hati Yue Lingshan melangkah turun kembali ke rumah.
Pada sore harinya yang datang mengantarkan makanan ternyata Gao Genming. Ia memberi tahu kalau Yue Lingshan jatuh sakit karena masuk angin. Meskipun berbaring lemah di ranjang, namun gadis itu selalu terkenang kepada sang kakak pertama. Maka sebelum Gao Genming berangkat, ia tidak lupa berpesan supaya membawakan sebotol arak untuk Linghu Chong.
Mendengar berita ini Linghu Chong sangat prihatin. Andai saja tidak terikat peraturan tentu ia sudah berlari turun menjenguk Yue Lingshan. Maka yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah berharap semoga keadaan Yue Lingshan berangsur membaik. Meskipun sudah sehari semalam menahan lapar, namun begitu mendengar Yue Lingshan jatuh sakit, seketika nafsu makan Linghu Chong sirna. Semangkuk nasi yang dibawakan adik kelimanya itu sama sekali sulit untuk ditelan.
Menyadari kakak pertama dan adik kecilnya saling mencintai, Gao Genming pun berusaha menghibur, “Kakak Pertama tidak perlu khawatir. Kita ini orang persilatan yang telah berlatih tenaga dalam. Penyakit yang menimpa Adik Kecil hanyalah penyakit ringan. Asalkan beristirahat dan minum ramuan obat selama dua atau tiga hari, tentu dia akan sembuh kembali.”
Ucapan Gao Genming ternyata berbalik dari kenyataan. Sakit Yue Lingshan justru bertambah parah dan ia hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur selama belasan hari. Sampai akhirnya setelah Yue Buqun dan Ning Zhongze pulang dari Gunung Songshan, barulah gadis itu bisa sembuh berkat bantuan tenaga dalam sang ayah yang teramat tinggi.
Beberapa hari kemudian, Yue Lingshan kembali mendaki Puncak Gadis Kumala untuk mengantar makanan kepada Linghu Chong. Sejak hujan salju waktu itu, pertemuan keduanya telah berselang lebih dari dua puluh hari. Maka begitu bertemu, keduanya sama-sama merasa senang dan bahagia.
Setelah sama-sama tertegun dan saling memandang, Yue Lingshan akhirnya membuka pembicaraan, “Kakak Pertama, apakah kau sakit? Mengapa tubuhmu begitu kurus?”
“Tidak, aku tidak sakit,” jawab Linghu Chong sambil menggelengkan kepalanya. “Aku hanya... aku hanya....”
Yue Lingshan langsung paham duduk perkaranya. Ia berkata lirih, “Kakak Pertama... kau pasti sangat memikirkan diriku sehingga jadi kurus seperti ini....” Tidak kuasa lagi menahan perasaan, air mata haru pun berlinang di pipi gadis itu. “Kakak Pertama tidak perlu cemas, sekarang aku sudah sembuh,” lanjutnya.
Sambil menggenggam tangan si gadis, Linghu Chong menjawab lirih, “Selama ini siang dan malam aku selalu memandang ke bawah. Setiap hari yang kuharapkan hanya bisa memandangmu lagi. Berkat kemurahan Langit, akhirnya kau datang juga.”
“Tapi,” sahut Yue Lingshan. “Bukannya aku sering melihat dirimu?”
“Melihat aku? Aneh sekali. Di mana kau melihatku?” tanya Linghu Chong dengan heran.
Yue Lingshan menjawab, “Waktu aku sakit, jika kututup mataku, maka aku segera bertemu denganmu. Suatu hari badanku panas luar biasa. Ibu berkata waktu itu aku sampai mengigau menyebut-nyebut dirimu. Kakak, rupanya Ibu mengetahui keberadaanku bersamamu malam itu?”
Wajah Linghu Chong menjadi merah. Ia pun bertanya dengan nada khawatir, “Apakah... apakah Ibu Guru marah?”
“Ibu tidak marah, hanya saja... hanya saja....” gadis itu tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Wajahnya tempak bersemu merah menahan malu.
“Hanya saja apa?” sahut Linghu Chong.
“Ah, aku tidak mau menerangkannya,” jawab Yue Lingshan
Melihat wajah Yue Lingshan yang serba salah, jantung Linghu Chong terasa berdebar. Pemuda itu segera mengalihkan pembicaraan, “Adik Kecil, kau ini baru saja sembuh. Seharusnya jangan naik ke sini pagi-pagi begini. Mengenai keadaanmu yang berangsur-angsur sembuh, Adik Kelima atau Adik Keenam sudah menceritakannya kepadaku.”
“Kalau begitu, kenapa kau masih kurus begini?” ujar Yue Lingshan.
Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Setelah kau benar-benar sembuh, barulah aku bisa gemuk kembali.”
“Katakan yang sebenarnya, berapa banyak yang kau makan dari setiap bekal yang datang kepadamu?” sahut Yue Lingshan mendesak. “Monyet Keenam selalu bercerita setiap makanan yang dibawakannya untukmu tidak pernah kau sentuh. Kau hanya meneguk arak saja. Dia sudah berusaha membujukmu, tapi kau tidak pernah menuruti perkataannya. Kenapa... kenapa kau tidak menjaga dirimu dengan baik?” Berkata demikian matanya kembali berkaca-kaca.
“Omong kosong! Jangan dengarkan dia! Monyet Keenam terlalu berlebihan. Memangnya aku sanggup menahan lapar tanpa makan selama belasan hari?” sahut Linghu Chong membela diri.
Tiba-tiba angin berhembus kencang sampai-sampai Yue Lingshan menggigil kedinginan. Puncak Gadis Kumala memang tempat yang sangat dingin. Di sana tidak terdapat tumbuh-tumbuhan yang bisa menahan hembusan angin. Apalagi saat itu memang sedang permulaan musim dingin.
Segera Linghu Chong berkata, “Adik Kecil, badanmu belum kuat. Sebaiknya kau lekas pulang saja. Lain kali jika hari sudah cerah dan matahari bersinar gemilang barulah kau boleh datang lagi menjenguk aku.”
“Tidak, aku tidak kedinginan,” kata Yue Lingshan. “Sekarang ini sudah musim dingin. Kalau tidak turun salju, ya angin bertiup kencang. Kalau menunggu matahari bersinar terang, sampai kapan kita bisa bertemu lagi?”
Linghu Chong menjadi cemas. “Tapi... kalau sampai kau jatuh sakit lagi, tentu aku... aku....”
Melihat wajah sang kakak pertama sedemikian pucat, dalam hati Yue Lingshan berpikir, “Kalau aku sakit lagi, tentu dia akan ikut sakit pula. Apalagi dia sendirian di sini tentu sakitnya akan semakin parah. Tidak boleh, aku tidak boleh membuatnya menderita seorang diri di puncak terpencil ini.”
Maka, gadis itu kemudian berkata, “Baiklah, aku akan pulang. Jaga dirimu baik-baik. Jangan banyak minum arak. Akan kusampaikan kepada Ayah bahwa badanmu lemah dan perlu diberi makanan yang lebih bergizi.”
“Ah, tidak perlu melanggar peraturan,” ujar Linghu Chong. “Beberapa hari lagi aku juga akan gemuk kembali. Adik manis, Adik sayang, kau lekas pulang saja.”
“Kau panggil... kau panggil aku apa?” sahut Yue Lingshan dengan wajah bersemu merah. Ia memandang wajah kakak pertamanya itu dengan tatapan penuh arti.
Linghu Chong menjadi rikuh dan menjawab dengan nada malu, “Aku hanya... aku hanya bicara tanpa berpikir dulu. Adik Kecil jangan marah.”
“Mengapa harus marah?” sahut Yue Lingshan. “Aku justru senang kau panggil demikian.”
Linghu Chong merasakan kehangatan mengisi rongga dadanya. Rasanya ingin sekali ia maju dan memeluk tubuh Yue Lingshan. Namun kemudian terlintas dalam benaknya betapa putri gurunya itu sungguh agung laksana dewi kahyangan yang tidak boleh diperlakukan secara kasar.
Maka, pemuda itu hanya bisa berkata, “Adik Kecil, jika nanti turun ke bawah hendaknya kau berjalan dengan hati-hati. Jangan nakal seperti biasanya. Kalau letih sebaiknya istirahat dulu.”
“Tidak mau,” jawab Yue Lingshan dengan nada manja. Ia kemudian berjalan perlahan menuju jalan setapak di tepi tebing, namun kemudian berhenti dan berdiri di ujung jalan tersebut tanpa melangkah turun. Sepasang matanya yang indah beradu pandang dengan mata Linghu Chong.
Hingga waktu yang cukup lama mereka berdua hanya saling berpandangan tanpa membuka suara. Sampai akhirnya si pemuda membuka suara, “Berangkatlah, Adik Kecil. Sudah saatnya kau harus pulang.”
Yue Lingshan mengangguk. Kali ini ia benar-benar melangkah turun meninggalkan Puncak Gadis Kumala.
Selama sehari Linghu Chong merasa gembira dan hatinya berbunga-bunga. Sungguh suatu perasaan menggelora yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sambil duduk di atas batu tanpa terasa ia tertawa sendiri. Kemudian ia pun berteriak panjang, yang suaranya sampai menggema berkumandang di lembah pegunungan tersebut. Suara teriakannya seolah mengutarakan kebahagiaan yang sedang menyelubungi hatinya.
Esok paginya salju kembali turun. Kali ini Yue Lingshan tidak datang, dan yang mengantarkan makanan adalah si Monyet Keenam alias Lu Dayou. Dari adik seperguruannya itu Linghu Chong mendapat kabar tentang kesehatan Yue Lingshan yang semakin pulih. Sudah tentu ia pun bertambah senang.
Selang dua puluh hari kemudian, Yue Lingshan kembali datang dengan membawa sekeranjang bacang. Setelah berpandang-pandangan cukup lama dengan Linghu Chong, gadis itu lantas membuka suara, “Benar juga, kau sekarang terlihat lebih gemuk.”
“Kau sendiri juga sudah pulih sepenuhnya,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum begitu melihat wajah Yue Lingshan tampak segar dan berseri-seri. “Melihat keadaanmu sekarang, aku sungguh merasa senang.”
“Kakak, aku sudah lama tidak menjengukmu. Apakah kau marah padaku?” tanya Yue Lingshan.
Linghu Chong hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.
Yue Lingshan pun melanjutkan, “Setiap hari aku mendesak Ibu supaya diperbolehkan mengantar nasi untukmu. Tapi Ibu selalu melarang dengan alasan udara di puncak sangat dingin. Kalau aku ke sini bisa-bisa jiwaku terancam. Kemudian aku menjawab, ‘Kakak Pertama siang dan malam berada di puncak sendirian, mengapa aku tidak boleh?’ – kata Ibu, tenaga dalam Kakak Pertama jauh lebih tinggi dariku, tentu saja lebih kuat bertahan di sini. Kakak, Ibu telah memujimu, apakah kau senang?”
Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Aku sangat rindu pada Guru dan Ibu Guru. Aku berharap bisa lekas-lekas kembali dan bertemu Beliau berdua.”
“Kemarin seharian aku membantu Ibu membungkus bacang,” lanjut Yue Lingshan. “Dalam hati aku ingin sekali membawakan beberapa untukmu. Ternyata hari ini aku belum sampai meminta, Ibu sudah menyiapkan sekeranjang untukmu. Ibu berkata, ‘Berikan ini kepada Chong’er.’ – Benar-benar mengejutkan bagiku.”
“Oh, Ibu Guru sungguh baik kepadaku,” sahut Linghu Chong terharu.
“Ya, bacang ini masih hangat. Silakan dicoba sekarang,” ujar Yue Lingshan sambil menjinjing keranjangnya masuk ke dalam gua. Di sana ia membuka dua buah bacang yang dibungkus daun bambu.
Linghu Chong langsung mencium aroma lezat yang ditebarkan makanan tersebut. Begitu Yue Lingshan menyodorkan sebuah di tangannya, tanpa pikir panjang Linghu Chong langsung meraih dan melahapnya. Nikmat sekali rasanya, meskipun tidak mengandung daging. Makanan tersebut dibuat dari campuran jamur, kacang, tahu dan bahan-bahan lainnya.
“Bacang ini dibuat dari jamur hasil petikanku bersama si Lin Kecil,” ujar Yue Lingshan.
“Lin Kecil?” sahut Linghu Chong mempertegas.
“Ya,” jawab Yue Lingshan sambil tertawa. “Akhir-akhir ini aku memanggil Adik Lin dengan sebutan si Lin Kecil. Dua hari yang lalu ia memberi tahu kalau ada sekumpulan jamur tumbuh di bawah pepohonan pinus di lereng timur. Setengah hari aku bersamanya memetik jamur. Lumayan, kami dapat setengah keranjang.”


Yue Lingshan dan Lin Pingzhi memetik jamur.
“Ya, memang enak sekali. Sampai-sampai lidahku sendiri nyaris terkunyah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Eh, Adik Kecil. Sekarang ini apa kau sudah tidak lagi memaki-maki Adik Lin?”
“Tetap saja,” sahut Yue Lingshan. “Asalkan dia tidak menuruti perkataanku pasti akan segera kumaki-maki. Hanya saja, akhir-akhir ini dia menjadi lebih baik. Lebih penurut. Aku juga mulai memuji dia. Kalau latihan pedangnya benar, tentu dia akan kupuji. ‘Hei, Lin Kecil, latihanmu sudah cukup bagus. Tapi masih kurang. Ayo, latihan lagi! Latihan lagi!’ - begitu kataku.”
“Oh, jadi kau yang mengajarkan ilmu pedang kepadanya?” tanya Linghu Chong.
“Begitulah, Lin Kecil kalau bicara menggunakan logat Fujian yang kental sehingga kurang bisa dipahami saudara-saudara yang lain,” jawab Yue Lingshan. “Karena aku pernah menyamar dan tinggal di dekat Fuzhou, maka Ayah menyuruhku memberikan petunjuk-petunjuk berlatih pada Lin Kecil jika waktuku senggang. Ya, aku sendiri beberapa hari ini tidak boleh menemuimu sehingga punya banyak waktu untuk mendampingi latihannya. Sebenarnya dia tidak terlalu bodoh. Kemajuan ilmu silatnya lumayan pesat.”
“Aha, ternyata Adik Kecil merangkap sebagai seorang guru,” sahut Linghu Chong tertawa. “Pantas saja dia tidak berani membantah perkataanmu.”
“Ah, tidak juga,” ujar Yue Lingshan. “Kemarin sewaktu kuajak menangkap ayam hutan, dia menolak. Dengan alasan ia sedang menyempurnakan latihan jurus Fajar Putih Menyongsong Matahari, serta jurus Kahyangan Menggantung Runtuh ke Bawah.”
“Apa?” sahut Linghu Chong agak terkejut. “Dia baru beberapa bulan berguru di sini tapi sudah kau ajari jurus-jurus itu? Adik Kecil jangan keterlaluan. Ilmu pedang Huashan ada urut-urutannya. Tidak boleh sembarangan berlatih.”
“Kakak Pertama jangan khawatir,” jawab Yue Lingshan. “Lin Kecil memang keras kepala. Dia menghabiskan waktunya hanya untuk berlatih. Siang berlatih, malam juga berlatih. Aku ajak bicara sedikit saja sudah berbelok ke masalah ilmu pedang. Ya, dia memang sangat tekun. Ilmu pedang yang seharusnya dilatih selama tiga tahun, di tangannya bisa selesai dalam waktu setengah tahun. Kadang-kadang kalau aku menyuruhnya menemani bermain, dia menurut tapi terlihat malas-malasan.”
Entah kenapa tiba-tiba selera makan Linghu Chong lenyap begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Yue Lingshan itu. Seolah-olah ada rasa cemburu menghantui pikirannya. Bacang yang baru digigit dua kali hanya dipegang saja di tangannya.
“Kakak Pertama,” tegur Yue Lingshan sambil menarik lengan baju pemuda itu. “Ada apa denganmu?”
Linghu Chong tersadar dari lamunannya. Dengan cepat ia memasukkan sisa bacang di tangannya langsung ke dalam mulut. Makanan yang tadinya lezat itu mendadak sukar ditelan.
Yue Lingshan tertawa kecil dan berkata, “Kakak, jangan buru-buru, nanti gigimu ikut tertelan.”
Dengan tersenyum pahit Linghu Chong menelan sisa bacang di mulutnya masuk ke dalam perut. Pikirannya pun berkata, “Kenapa aku begitu picik? Adik Kecil memang orangnya lincah. Aku sendiri tidak bisa meninggalkan tempat ini. Wajar saja kalau dia mengajak Adik Lin untuk menemaninya bermain.”
Setelah hatinya kembali tenang, Linghu Chong pun tertawa dan berkata, “Bacang buatanmu ini sungguh lezat. Jauh lebih nikmat daripada yang lain. Sampai-sampai gigiku hampir saja ikut tertelan.”
“Aku hanya membantu Ibu membungkus saja,” jawab Yue Lingshan sambil tertawa pula. “Kakak Pertama yang malang. Sudah beberapa bulan kau tinggal sendiri di tempat ini. Pantas saja kalau dirimu begitu rakus terhadap makanan lezat.”
Keduanya melanjutkan pembicaraan sampai senja tiba. Yue Lingshan pun mohon diri meninggalkan puncak tersebut.
Lebih dari sepuluh hari kemudian, Yue Lingshan kembali datang mengantarkan makanan. Kali ini ia juga membawakan sekeranjang kecil kacang untuk dinikmati bersama sang kakak pertama. Selain hari itu yang mengantar makanan ke Puncak Gadis Kumala adalah Lu Dayou.
Tentu saja Linghu Chong merasa sangat rindu kepada Yue Lingshan. Berkali-kali ia memandang ke bawah berharap Yue Lingshan yang datang membawakan makanan untuknya. Namun setiap ia bertanya tentang keadaan adik kecilnya itu, Lu Dayou selalu menjawab dengan perasaan canggung, seolah menyembunyikan sesuatu. Kadang ia menjawab, “Keadaan Adik Kecil serbasulit. Sepertinya Guru melarangnya naik ke sini setiap hari agar tidak mengganggu dirimu yang harus melakukan perenungan.”
Beberapa hari kemudian Yue Lingshan akhirnya datang juga membawa makanan. Linghu Chong sangat gembira melihatnya. Wajah gadis itu tampak berseri-seri, jauh lebih cantik daripada saat sebelum sakit dulu. Dalam hati Linghu Chong bertanya-tanya, “Keadaannya begitu segar bugar, apakah Guru benar-benar melarangnya naik ke sini?”
“Kakak Pertama,” seru Yue Lingshan menyapa. “Sudah lama aku tidak mengunjungimu. Apakah kau marah kepadaku?”
“Mana mungkin aku marah kepadamu?” sahut Linghu Chong. “Tentu Guru atau Ibu Guru yang melarangmu sering-sering naik ke sini.”
“Benar, Ibu baru saja mengajarkan jurus pedang baru kepadaku,” jawab Yue Lingshan. “Jurus pedang ini begitu sulit dan memiliki banyak variasi perubahan. Jika aku naik ke sini bisa-bisa perhatianku terpecah, demikian katanya.”
“Jurus pedang apa?” Linghu Chong bertanya.
“Tebak saja sendiri,” sahut Yue Lingshan menantang.
“Jurus pedang Yang Wu?” tanya Linghu Chong.
“Bukan,” jawab Yue Lingshan.
“Jurus pedang Xi Wu?”
“Juga bukan.”
“Kalau begitu mungkin Jurus Pedang Bidadari?”
“Itu ilmu pedang andalan Ibu. Aku belum mampu mempelajari Jurus Pedang Bidadari,” jawab Yue Lingshan sambil menjulurkan lidah. “Baiklah, aku katakan kepadamu, bahwa yang kupelajari adalah Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala.”
“Apa?” sahut Linghu Chong tidak percaya. “Kau sudah diizinkan mempelajari Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala? Bukankah itu ilmu pedang yang sangat rumit?”
Meskipun ilmu Pedang Gadis Kumala hanya terdiri atas sembilan belas jurus, namun setiap jurusnya sangat rumit dan memiliki banyak variasi perubahan. Bila seseorang yang mempelajarinya tidak memiliki ingatan yang bagus, tentu akan kesulitan belajar satu jurus sekalipun. Linghu Chong pernah mendengar gurunya berkata, “Perhatian utama Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala adalah variasi gerakan dan perubahan yang indah dan gemulai. Jurus ini benar-benar berbeda dengan asas perguruan kita, yaitu tenaga dalam mengendalikan pedang. Meskipun murid wanita memiliki tenaga di bawah kaum laki-laki, namun mereka dapat menggunakan jurus yang indah dan rumit ini untuk menghadapi musuh dalam pertempuran. Sedangkan murid laki-laki perguruan kita tidak perlu mempelajarinya.” Itulah sebabnya sampai saat ini Linghu Chong tidak pernah mempelajari ilmu pedang ini meskipun ia murid utama di Perguruan Huashan. Namun melihat tingkatan ilmu silat Yue Lingshan saat ini, Linghu Chong merasa belum saatnya sang adik kecil mempelajari jurus susah ini.
Dua tahun yang lalu Linghu Chong, Yue Lingshan, dan para murid Huashan lainnya pernah melihat guru dan ibu-guru mereka berlatih bersama. Yue Buqun menggunakan bermacam-macam jurus, sedangkan istrinya hanya menggunakan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala tersebut. Namun demikian, semua serangan sang suami dapat dipatahkan oleh Ning Zhongze. Ilmu Pedang Gadis Kumala benar-benar mampu mengatasi semua jenis serangan Yue Buqun sehingga membuat para murid yang menonton tercengang penuh kekaguman.
Melihat itu Yue Lingshan merengek minta diajari. Namun Ning Zhongze menjawab, “Usiamu masih terlalu muda untuk mempelajari ilmu pedang ini. Pertama, tingkat kepandaianmu masih kurang; kedua, wawasanmu juga belum seberapa. Sebaiknya kau tunggu sampai usiamu lewat dua puluh tahun baru mempelajarinya. Ilmu Pedang Gadis Kumala diciptakan untuk mematahkan ilmu pedang perguruan lain. Jika berlatih melawan saudara dan saudari seperguruan saja, aku khawatir yang bisa kau patahkan nanti hanya ilmu pedang Perguruan Huashan saja. Berbeda dengan kakak pertamamu yang berwawasan luas. Dia mengetahui bermacam-macam ilmu pedang dari berbagai perguruan, sehingga kelak bisa menjadi rekanmu dalam berlatih ilmu pedang ini.” Demikian kiranya percakapan ibu dan anak tersebut dan siapa sangka saat ini Ning Zhongze sudah berubah pikiran untuk menurunkan Ilmu Pedang Gadis Kumala kepada Yue Lingshan.


Ning Zhongze mengajari Yue Lingshan jurus pedang.
“Syukurlah kalau Guru yang langsung melatihmu setiap hari,” ujar Linghu Chong. Ia berkata demikian karena untuk melatih Sembilan Belas Ilmu Pedang Gadis Kumala diperlukan lawan yang mampu meniru berbagai ilmu pedang perguruan lain. Di dalam Perguruan Huashan hanya Yue Buqun dan dirinya yang memiliki wawasan luas dan memenuhi syarat untuk itu. Sehingga Linghu Chong berani menebak kalau lawan berlatih Yue Lingshan adalah ayahnya sendiri.
Namun Yue Lingshan menjawab, “Mana mungkin Ayah punya waktu luang untuk melatihku? Yang ada juga si Lin Kecil yang selalu menemani aku berlatih.”
“Apa? Adik Lin?” sahut Linghu Chong heran. “Apakah dia memiliki wawasan luas tentang macam-macam ilmu pedang golongan lain?”
“Tidak juga,” jawab Yue Lingshan. “Dia hanya tahu ilmu Pedang Penakluk Iblis yang pernah diajarkan orang tuanya. Namun Ayah berkata meskipun ilmu pedang tersebut cukup sederhana tapi memiliki banyak gerakan menarik sehingga memenuhi syarat untuk menjadi lawan berlatihku. Jadi, untuk melatih permulaan ilmu Pedang Gadis Kumala, aku bisa menggunakan ilmu Pedang Penakluk Iblis sebagai tandingan.”
“Oh, ternyata demikian,” sahut Linghu Chong lirih.
“Apa Kakak Pertama merasa kurang senang?” tanya Yue Lingshan tiba-tiba.
“Ah, tidak! Mengapa aku kurang senang?” sahut Linghu Chong. “Kau bisa melatih ilmu tertinggi perguruan kita, tentu saja aku merasa senang.”
“Akan tetapi wajahmu sepertinya menampilkan perasaan kurang senang?” desak Yue Lingshan.
Linghu Chong memaksakan diri untuk tertawa, “Hahahaha! Mana mungkin aku tidak senang? Eh, kalau boleh tahu sudah sampai di mana hasil latihanmu?”
Yue Lingshan tidak menjawab. Ia menyadari kalau kakak pertamanya sengaja mengalihkan pembicaraan. Sejenak kemudian baru ia berkata, “Aku ingat Ibu pernah menyuruhku suatu saat nanti kau yang akan menjadi lawan berlatihku dalam mempelajari ilmu Pedang Gadis Kumala. Tapi Ayah justru menyuruhku belajar bersama Lin Kecil, tentu ini yang membuatmu tidak suka. Benar, bukan? Tapi kau sendiri sedang menjalani hukuman dan tidak mungkin meninggalkan tebing ini. Padahal, aku sudah tidak sabar ingin mempelajarinya sehingga tidak mungkin menunggumu selesai menjalani masa hukuman.”
“Kau ini bicara apa?” sahut Linghu Chong sambil tertawa. “Aku dan Adik Lin satu perguruan. Kita semua satu perguruan. Dengan siapa kau berlatih tidak menjadi soal, bukan?” Setelah terdiam sejenak ia lalu melanjutkan, “Tapi kau pasti lebih suka berlatih dengan Adik Lin daripada denganku.”
Wajah Yue Lingshan langsung bersemu merah. Ia berkata, “Enak saja! Kepandaian Lin Kecil masih jauh di bawahmu. Apa untungnya kalau aku terus-menerus berlatih dengannya?”
Mendengar ucapan Yue Lingshan yang terakhir ini perasaan Linghu Chong menjadi lega. Kali ini ia benar-benar tersenyum dan kembali berkata, “Tentu saja ada keuntungannya bagimu. Bukankah kau akan merasa hebat apabila bisa mengalahkannya dalam satu serangan saja?”
“Huh, dengan ilmu Pedang Penakluk Iblis yang konyol itu apa hebatnya jika bisa aku kalahkan?” ujar Yue Lingshan tertawa pula.
Linghu Chong paham adik kecilnya ini sangat manja dan tidak suka dikalahkan. Saat berlatih melawan Lin Pingzhi pasti ia merasa sangat senang karena bisa mencoba ilmu pedang baru. Lin Pingzhi yang berilmu rendah pasti mudah dikalahkan sehingga menambah kebanggaan Yue Lingshan. Berpikir demikian membuat perasaan gelisah Linghu Chong lenyap seketika. Ia lantas berkata, “Adik Kecil, aku ingin mencoba beberapa jurus barumu itu. Ingin kulihat sampai sejauh mana hasilmu berlatih ilmu Pedang Gadis Kumala.”
“Bagus sekali!” sahut Yue Lingshan gembira. “Justru kedatanganku kali ini untuk... untuk....” Sambil tersipu malu ia mencabut pedang di tangan.
“Untuk memamerkan hasil latihanmu, bukan?” sahut Linghu Chong dengan cepat. “Silakan saja dimulai!”
“Kakak Pertama,” sahut Yue Lingshan kemudian. ”Selama ini ilmu silatmu selalu berada di atasku. Tapi dengan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala, kau tidak bisa menindas aku lagi.”
“Memangnya kapan aku pernah menindasmu? Kau salah menuduh terhadap orang baik-baik macam aku,” balas Linghu Chong.
“Hei, kenapa belum juga mencabut pedangmu?” tanya Yue Lingshan sambil memasang kuda-kuda.
“Tidak usah buru-buru,” ujar Linghu Chong sambil mengacungkan tangan kanannya ke depan. “Ini adalah ilmu pedang Perguruan Qingcheng yang bernama jurus Daun Cemara Berguguran.” Tangan kanannya dibentuk seolah-olah sebagai pedang dan ditusukkannya ke arah bahu Yue Lingshan.
Dengan cepat Yue Lingshan memiringkan tubuhnya dan mundur selangkah sambil mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan tangan kakak pertamanya itu dengan berteriak, “Awas!”
“Jangan setengah-setengah!” ujar Linghu Chong. “Kalau tanganku tidak bisa menangkis pedangmu, tentu aku akan segera menggunakan pedang sungguhan.”
“Berani sekali kau menghadapi ilmu Pedang Gadis Kumala dengan tangan kosong?” sahut Yue Lingshan.
“Latihanmu belum sempurna. Kelak jika kau sudah mahir tentu aku tidak berani macam-macam,” jawab Linghu Chong.
Dalam hati Yue Lingshan merasa tersinggung melihat sikap Linghu Chong yang seolah-olah meremehkan kemampuannya. Padahal selama beberapa hari ini ia berlatih dengan keras dan merasa kemajuannya sudah begitu pesat. Andaikan harus menghadapi musuh yang sebenarnya sekalipun ia tidak merasa takut. Alasan utamanya mengapa ia tidak datang ke puncak selama sepuluh hari terakhir ini adalah untuk berlatih secara diam-diam dan memberikan kejutan kepada Linghu Chong mengenai ilmu pedangnya yang maju pesat. Dengan demikian sang kakak pertama bisa lebih mengharagainya. Namun tak diangka Linghu Chong justru meremehkan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala begitu saja, membuatnya merasa sangat kesal.
Maka, gadis itu pun berteriak, “Kalau pedangku sampai melukaimu, jangan marah dan juga jangan mengadu kepada Ayah dan Ibu!”
“Tentu saja,” sahut Linghu Chong. “Kau boleh menyerangku sekuat tenaga. Kalau setengah-setengah, kepandaianmu yang sesungguhnya jadi tidak kelihatan.” Tiba-tiba Linghu Chong mengayunkan tangan kirinya ke depan sambil berseru, “Awas!”
Yue Lingshan terkejut, “Hei, jadi tangan... tangan kirimu juga kau gunakan sebagai pedang?”
Apabila serangan Linghu Chong tadi dilancarkan dengan sungguh-sungguh, tentu Yue Lingshan sudah terluka. Sambil menahan tenaga pemuda itu berkata, “Beberapa orang dalam Perguruan Qingcheng biasa menggunakan pedang ganda.”
“Ah, benar juga,” sahut Yue Lingshan. “Aku sering melihat murid-murid Qingcheng membawa dua pedang di pinggang mereka. Bagaimana aku bisa lupa?” Usai berkata demikian ia kembali melancarkan serangan.
Linghu Chong melihat jurus kali ini tentu jurus lanjutan dari yang sebelumnya. Ia pun tersenyum dan berkata, “Hebat seranganmu, tapi sayangnya masih kurang cepat.”
“Kurang cepat bagaimana? Kalau kutambah kecepatannya bisa-bisa lenganmu terpotong,” sahut Yue Lingshan kesal.
“Coba saja potong lenganku kalau kau bisa,” ujar Linghu Chong sambil terus bergerak.
Yue Lingshan menyerang dengan segenap kepandaiannya. Namun dari sembilan belas jurus pedang tersebut hanya sembilan saja yang diingatnya, itu pun hanya enam saja yang benar-benar lancar. Meskipun demikian jurus-jurus yang selalu diulang-ulangi itu sudah cukup merepotkan Linghu Chong.
Terpaksa Linghu Chong bergerak mengitari tubuh Yue Lingshan. Setiap kali mencoba menyerang ia selalu dipaksa mundur oleh ayunan pedang gadis itu. Sampai-sampai ketika ia melompat mundur, punggungnya terbentur pada batuan dinding luar gua. Tentu saja hal itu membuatnya meringis kesakitan.
Yue Lingshan sangat senang bisa mendesak Linghu Chong. Ia pun bertanya, “Bagaimana, masih sanggup memakai tangan kosong saja?”
“Tentu saja, tanganku masih cukup ampuh menghadapi pedangmu,” sahut Linghu Chong memancing Yue Lingshan supaya mengerahkan semua jurusnya.
Akan tetapi sampai sekian lama, Yue Lingshan hanya tetap mengulang-ulang keenam jurus yang diingatnya. Linghu Chong akhirnya menyadari apa sebabnya. Ia pun maju dan mengayunkan tangannya. “Awas, ini jurus ketiga dari ilmu pedang Perguruan Qingcheng!”
Sesuai dugaan, Yue Lingshan pun menangkis tangan kanan Linghu Chong untuk melindungi kepalanya. Namun ia justru masuk perangkap. Tanpa diduga tangan kiri Linghu Chong dengan cepat menyentil batang pedang gadis itu. Yue Lingshan merasa tangannya kaku kesemutan dan tahu-tahu pedangnya sudah terlempar ke udara, kemudian jatuh ke dalam jurang di tepi tebing.
Dengan wajah pucat Yue Lingshan memandangi Linghu Chong seolah hatinya tidak percaya. Linghu Chong merasa serba salah. Tiba-tiba pemuda itu melihat sekelebat bayangan hijau melintas di balik bukit. Ketika ia mempertajam pandangannya, bayangan itu telah menghilang entah ke mana.
Kembali Linghu Chong termangu-mangu di tepi tebing. Selama bertahun-tahun ia selalu mengalah jika mendampingi Yue Lingshan itu berlatih. Tapi entah kenapa hari itu ia berbuat melampaui batas. Ia telah menyebabkan pedang kesayangan gadis itu hilang di dasar jurang.
Sambil memegangi tangannya yang kesakitan dan memandang ke arah bawah tebing, Yue Lingshan berkata, “Pedangku... pedangku....”
Linghu Chong tertegun saat teringat kalau pedang yang telah jatuh ke jurang tersebut adalah pusaka yang sangat disayangi Yue Lingshan. Pedang pusaka tersebut bernama Pedang Kolam Hijau yang tajam luar biasa bahkan mampu memotong baja. Benda ini diperoleh Yue Buqun dari Sumber Naga di Provinsi Zhejiang tiga tahun silam. Berkali-kali Yue Lingshan merengek meminta pedang tersebut, namun Yue Buqun tidak menurutinya. Barulah pada saat ulang tahun yang kedelapan belas, Yue Buqun memberikan pedang pusaka tersebut kepada Yue Lingshan.
Dan kini pedang pusaka Kolam Hijau telah jatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Entah bagaimana caranya untuk mendapatkan pedang itu kembali.
“Mengapa aku sebodoh ini? Aku telah melakukan kesalahan besar,” ujar Linghu Chong dalam hati.
Sementara itu Yue Lingshan tampak meneteskan air mata. Sambil menggigit bibir sendiri gadis itu membanting kakinya di tanah kemudian berpaling pergi.
“Adik Kecil, Adik Kecil!” seru Linghu Chong memanggil. Namun yang dipanggil sedikit pun tidak menghiraukan.
Pemuda itu lantas berusaha memegang tangan Yue Lingshan, namun si gadis sudah berjalan melewati batas tempat tersebut. Sedikit pun ia tidak menoleh ke belakang.
Linghu Chong merasa sangat sedih. Hatinya pun berkata, “Apakah aku iri kepadanya? Tidak, tidak mungkin. Ilmu Pedang Gadis Kumala hanya diajarkan kepada murid perempuan. Harusnya aku malah senang melihatnya ada kemajuan. Aih, ada apa ini? Kenapa aku begitu bodoh? Apakah karena terlalu lama dikurung si sini sifatku menjadi kasar? Aku hanya bisa berharap esok hari Adik Kecil datang lagi kemari sehingga aku bisa meminta maaf kepadanya.”
Hari sudah mulai gelap. Malam itu Linghu Chong tidak bisa tidur. Ia mencoba duduk bersila di atas batu datar di dalam gua sambil melatih pernapasan. Akan tetapi, sedikit pun ia tidak bisa hening karena pikirannya melayang-layang memikirkan kejadian sore tadi. Pemuda itu tidak berani melanjutkan berlatih karena takut menderita luka dalam.
Samar-samar cahaya rembulan menerobos masuk melalui mulut gua dan mengenai tulisan “Feng Qingyang” yang terukir di dinding batu. Untuk mengusir kejenuhan, Linghu Chong pun mencoba menuliskan namanya pada dinding gua itu. Tiba-tiba sesosok bayangan terlihat di dinding akibat pantulan cahaya rembulan. Linghu Chong langsung menoleh ke arah mulut gua sambil berteriak gembira, “Adik Kecil, apakah itu kau?”
Namun dugaan Linghu Chong keliru. Sosok yang berdiri di mulut gua ternyata seorang pria tinggi kurus dengan wajah ditutup cadar berwarna hijau. Hanya sepasang matanya yang tampak berkilat-kilat memandangi Linghu Chong.
Merasa adanya gelagat yang kurang baik, Linghu Chong pun melompat keluar sambil menghunus pedang dan berteriak, “Siapa kau?”


Linghu Chong menangkis pedang Yue Lingshan.
(Bersambung)

bagian 23 ; halaman muka ; bagian 25