Bagian 59 - Minum Darah Kuda

Bahu-membahu menghadapi ratusan pengepung.

Baru saja Linghu Chong mengalahkan wanita itu, menyusul seorang pendeta Tao dari aliran lurus melompat maju dengan pedang terhunus. Ia berkata dengan wajah masam dan agak pucat, “Kurasa dalam Perguruan Huashan tidak ada ilmu pedang iblis semacam itu!”

Sekali pandang Linghu Chong langsung tahu kalau pendeta itu berasal dari Perguruan Taishan. Walaupun telah dipecat oleh sang guru, namun ia tidak pernah lupa kalau Serikat Pedang Lima Gunung bagaikan satu pohon dengan lima cabang. Maka, rasa hormatnya langsung muncul. Ia pun merangkap tangan dan memegang pedang dengan ujung menghadap ke tanah, lalu berkata, “Murid tidak berani menyinggung Paman Guru dari Perguruan Taishan.”

Pendeta itu bergelar Tianyi, yang merupakan saudara satu angkatan dengan Pendeta Tianmen dan Pendeta Tiansong. Dengan nada dingin ia berkata, “Ilmu pedang apa yang kau mainkan tadi?”

“Ilmu pedang tadi juga diajarkan oleh seorang sesepuh Perguruan Huashan sendiri,” jawab Linghu Chong.

“Huh, omong kosong! Entah iblis mana yang telah mengajarimu,” sergah Tianyi. “Awas!”

Bersamaan itu pedangnya lantas menusuk ke arah dada Linghu Chong. Sinar pedang itu tampak berkilauan dan gerakannya sampai mengeluarkan suara mendengung. Hanya satu serangan saja ia sudah mengancam tujuh titik penting di dada lawan, yaitu Shanzhong, Shencang, Lingxu, Shenfeng, Bulang, Youmen, dan Tonggu. Tidak peduli bagaimana cara Linghu Chong berkelit tetap saja salah satu titik akan tertusuk. Jurus ini bernama Tujuh Bintang Jatuh di Langit Luas, termasuk salah satu ilmu pedang Taishan yang paling ampuh.

Begitu jurus ini dilancarkan, maka pihak lawan harus menggunakan ilmu ringan tubuh tingkat tinggi untuk bisa melompat ke belakang sejauh beberapa meter. Pihak lawan juga harus tahu kalau jurus Tujuh Bintang Jatuh di Langit Luas sangat berbahaya sehingga harus dihindari sesegera mungkin tanpa pikir panjang. Kemudian setelah mendarat, ia harus mengatasi tiga jurus yang gencar dan ganas. Jurus kedua lebih hebat daripada jurus pertama, dan jurus ketiga lebih ganas daripada jurus kedua. Ketiganya saling berkaitan dan benar-benar sulit ditangkis. Rupanya Pendeta Tianyi telah mengukur betapa hebat ilmu pedang Linghu Chong dalam menghadapi orang-orang Sekte Iblis tadi sehingga ia tidak berani menganggap enteng pemuda itu. Sebagai serangan pembukaan, ia langsung mengerahkan jurus andalan Perguruan. Sejak para sesepuh Perguruan Taishan menciptakan jurus tersebut, mungkin tidak pernah ada ceritanya Jurus Tujuh Bintang Jatuh di Langit Luas digunakan sebagai jurus pembukaan apabila bertempur melawan orang lain.

Linghu Chong juga terkejut menghadapi serangan ganas tersebut. Namun tiba-tiba ia teringat pada ukiran yang dilihatnya di dinding gua rahasia di Puncak Perenungan Gunung Huashan waktu lalu. Saat itu ia menggunakan jurus tersebut untuk menghadapi Tian Boguang, namun tidak membawa hasil karena ia tidak mempelajarinya dengan benar. Meskipun demikian, intisari dari jurus Taishan pada dinding gua tersebut sudah dipahaminya. Tak disangka, jurus itu ternyata mirip dengan jurus yang sekarang digunakan Pendeta Tianyi.

Maka, ketika ujung pedang Tianyi sudah hampir mengenai sasaran, tanpa pikir lagi Linghu Chong langsung menusukkan pedangnya ke arah perut sang pendeta. Gerakan ini sebenarnya meniru gambar pada dinding gua yang diukir oleh para Tetua Sekte Iblis untuk mematahkan jurus pedang dari Peruruan Taishan tersebut. Memang kalau dilihat secara awam, antara Pendeta Tianyi dan Linghu Chong akan sama-sama binasa, namun sebenarnya tidaklah demikian. Jurus Tujuh Bintang Jatuh di Langit Luas sebenarnya terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah gerakan pedang mengancam tujuh titik penting di bagian dada lawan, sehingga membuat lawan ketakutan setengah mati. Kemudian pada tahap kedua, ujung pedang akan menusuk salah satu titik untuk ditikam. Memang pada awalnya ada tujuh titik yang diancam, namun hanya perlu satu titik saja yang ditikam untuk mencabut nyawa lawan. Tak peduli titik mana yang ditusuk tetap saja kemenangan akan diperoleh. Lagipula, menikam ketujuh titik dalam sekaligus adalah suatu hal yang mustahil dan tidak perlu dilakukan. Pembagian jurus ini menjadi dua tahap memang merupakan kunci mengapa jurus ini sangat berbahaya. Namun, para Tetua Sekte Iblis yang terkurung di gua rahasia telah mengupas tuntas jurus ini dengan seksama. Mereka berhasil menemukan celah kelemahan pada jurus tersebut, yaitu setelah melancarkan tahap pertama, maka bagian perut akan terbuka. Jika pihak lawan menyerang bagian perut, maka tahap kedua akan gagal dijalankan sehingga jurus Tujuh Bintang Jatuh di Langit Luas akan hancur berantakan.

Ternyata ukiran di dinding gua rahasia tersebut terbukti ampuh. Pendeta Tianyi terkejut bukan kepalang melihat Linghu Chong tidak menghindari serangannya, justru balas menusuk ke arah perutnya. Ia pun menjerit ketakutan dan wajahnya pucat pasi karena mengira perutnya telah tertembus pedang si pemuda. Pikirannya menjadi kacau dan mengira dirinya sudah mati. Kontan saja ia pun jatuh tersungkur kehilangan kesadaran.

Linghu Chong sendiri sebenarnya telah menahan pedangnya sekuat tenaga ketika hampir menyentuh perut lawan. Bagaimanapun juga ia merasa segan membunuh sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, apalagi dari angkatan yang lebih tua. Namun Pendeta Tianyi sudah terlanjur pingsan karena sangat ngeri atas peristiwa tadi.

Meskipun demukian, murid-murid Perguruan Taishan mengira Tianyi telah dicelakai Linghu Chong. Beramai-ramai mereka mencaci maki, dan lima orang pendeta muda pun segera maju menyerang. Mereka adalah murid-murid Tianyi yang berniat menuntut balas. Pedang mereka terus saja menyerang secara beruntun seperti badai yang mengamuk ke arah Linghu Chong karena terdorong amarah yang meluap-luap.

Menghadapi serangan ganas itu, Linghu Chong menusuk pergelangan tangan kelima pendeta muda tersebut secara beruntun. Kelima pedang lawan pun berjatuhan menimbulkan suara berdentang nyaring. Sejenak kelima pendeta muda itu tertegun, kemudian melompat mundur dengan wajah gugup. Tampak Tianyi telah bangkit dari pingsan dan berdiri sempoyongan, lalu berteriak-teriak seperti orang gila, “Dia telah membunuhku! Dia telah membunuhku!” kemudian kembali jatuh terkulai.

Lekas-lekas dua orang muridnya maju dan membawanya mundur. Melihat pemandangan itu para pendekar lainnya merasa ngeri melihat kehebatan ilmu pedang Linghu Chong. Hanya dengan melancarkan gerakan yang ditahan, seorang jago Perguruan Taishan dapat dikalahkan hingga tidak jelas hidup atau matinya. Sungguh hal ini sangat mengejutkan.

Sementara itu orang-orang yang mengeroyok Xiang Wentian sudah berganti beberapa orang baru. Dua laki-laki di antaranya yang bersenjata pedang adalah jago dari Perguruan Hengshan. Pedang mereka bergerak naik turun sangat cepat dan mengincar sela-sela di antara putaran rantai besi Xiang Wentian. Seorang lagi bersenjata golok dan tameng, sepertinya berasal dari Sekte Iblis. Dengan berlindung di balik tamengnya, orang ini bergulingan, lalu goloknya menebas kaki Xiang Wentian. Beberapa kali rantai Xiang Wentian menghantam tameng keras-keras, namun tak bisa melukainya. Sebaliknya, golok yang selalu menyambar dari balik tameng itulah yang sangat berbahaya.

Melihat pertempuran itu, Linghu Chong berpikir, “Orang ini memakai tameng untuk melindungi diri. Pertahanannya sangat rapat. Namun begitu ia mengayunkan golok, saat itulah titik kelemahannya terlihat dan musuh dapat mematahkan lengannya.”

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara seseorang berkata, “Bocah, kau masih sayang nyawa atau tidak?” Suara ini tidak nyaring namun terdengar sangat dekat. Sepertinya hanya berjarak beberapa senti saja.

Linghu Chong sangat terkejut dan segera memutar tubuh, tahu-tahu ia sudah berhadapan muka dengan orang itu. Hidung mereka hampir saja bersentuhan. Linghu Chong pun berusaha melangkah mundur untuk menghindar, namun kedua telapak tangan orang itu sudah menahan di dadanya. Kemudian terdengar orang itu berkata dengan nada dingin, “Bocah, jika tenaga dalam kukerahkan, maka tulang rusukmu akan hancur lebur.”

Linghu Chong terperanjat karena ucapan orang itu bukan omong kosong, membuatnya hanya bisa berdiri tegak dan tidak berani bergerak. Jantungnya serasa ikut berhenti berdetak. Kedua mata orang itu menatap wajahnya dengan tajam. Jarak mereka terlalu dekat sehingga Linghu Chong sukar untuk melihat wajah orang itu dengan jelas, kecuali sorot matanya yang berkilat-kilat. Diam-diam ia berpikir, “Ternyata aku akan mati di tangan orang ini. Bagus kalau begitu. Nasibku yang tidak jelas akan segera berakhir.”

Berpikir demikian hatinya menjadi lapang. Sebaliknya, pihak lawan justru menjadi bimbang. Semula ia melihat sinar mata Linghu Chong menampilkan rasa cemas dan khawatir, tapi dalam sekejap berubah menjadi acuh tak acuh, seperti tidak takut menghadapi kematian. Sekalipun tokoh persilatan terkemuka juga jarang ada yang mampu menguasai diri menghadapi detik-detik kematian seperti ini.

Mau tidak mau, orang itu menjadi kagum. Sambil tertawa ia berkata, “Aku berhasil menyergapmu dari belakang. Jika aku membunuhmu dengan cara seperti ini, tentu kau tidak akan terima.” Usai berkata demikian ia lantas menarik kembali kedua tangannya dan mundur beberapa langkah.

Baru sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas orang itu. Perawakannya pendek gemuk, wajahnya bulat agak kekuning-kuningan, usianya sekitar lima puluhan. Kedua telapak tangannya kecil tapi tebal, yang satu terangkat agak tinggi dan yang lain agak rendah dalam sikap jurus Tapak Songyang.

“Ternyata kau adalah sesepuh dari Perguruan Songshan,” kata Linghu Chong tersenyum. “Mohon tanya, siapakah nama Sesepuh yang terhormat? Terima kasih banyak telah bermurah hati kepadaku.”

“Namaku Yue Hou,” jawab orang itu. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Ilmu pedangmu sangat tinggi, tapi pengalamanmu di medan tempur ternyata sangat kurang.”

“Memang benar. Aku sungguh malu,” kata Linghu Chong. “Si Tapak Yinyang, Paman Guru Yue, sungguh cepat gerakanmu tadi.”

“Panggilan ‘paman guru’ sama sekali aku tidak berani terima,” jawab Yue Hou, menyusul kemudian tangan kirinya diangkat dan tangan kanan lantas mengayun ke depan seperti golok. Orang ini merupakan adik seperguruan nomor lima dari Ketua Perguruan Songshan, Zuo Lengchan. Meskipun penampilannya kurang sedap dipandang mata, namun setelah melancarkan serangan, ia berubah menjadi sangat berwibawa, bagaikan sebongkah gunung kokoh.

Linghu Chong melihat gerakan jurus Yue Hou sepertinya tidak memiliki celah kelemahan. Ia pun memuji, “Pukulan bagus!” Pedangnya lantas mengacung miring ke atas. Karena belum menemukan titik kelemahan Yue Hou, maka gerakannya ini lebih banyak merupakan pancingan dan pertahanan daripada serangan.

Jurus pukulan Yue Hou memang sangat rapat. Tapi dengan mengacungkan pedang miring ke atas, tak peduli pukulan itu menyerang ke arah mana, telapak tangan dengan sendirinya akan dijemput oleh ujung pedang Linghu Chong. Karena itu baru setengah jalan Yue Hou segera menarik kembali tangannya dan melompat mundur sambil berseru, “Jurus pedang bagus!”

“Ah, Paman Yue terlalu memuji,” sahut Linghu Chong.

Tiba-tiba Yue Hou membentak, “Awas!” Bersamaan dengan itu kedua tangannya lantas menghantam ke depan disertai tenaga dalam yang sangat dahsyat.

“Celaka!” seru Linghu Chong. Pukulan Yue Hou sungguh kuat dan jaraknya pun teramat dekat, sehingga sukar ditangkis dengan pedang. Baru saja bermaksud mengelak, mendadak ia merasakan hawa dingin menerpa dan membuat tubuhnya menggigil.

Ternyata tenaga dalam yang menyertai kedua tangan Yue Hou itu tidak sama satu dengan yang lain. Pada tangan yang satu membawa hawa yin, dan tangan lainnya membawa hawa yang; dingin dan panas. Itulah sebabnya Yue Hou bergelar Si Tapak Yinyang. Pukulan yang dilancarkan terlebih dulu, namun pukulan yin ternyata mendahului mengenai sasaran.

Ketika Linghu Chong tertegun sejenak, tahu-tahu hawa panas menyambar pula, membuat napasnya terasa sesak, tubuh pun terhuyung-huyung.

Pukulan tenaga dingin dan panas itu sebenarnya tidak kenal ampun terhadap sasarannya. Namun kali ini lawan yang dihadapi memiliki keistimewaan. Meskipun tenaga dalam Linghu Chong sudah punah, namun hawa murni di dalam tubuhnya bisa dikatakan melimpah ruah dan beraneka ragam, antara lain hawa murni milik Enam Dewa Lembah Persik, Biksu Bujie, serta Biksu Fangsheng. Masing-masing dari kedelapan jenis hawa murni itu sangat kuat. Maka ketika pukulan panas dingin tadi mengenai tubuh Linghu Chong, dengan sendirinya hawa murni yang tertimbun di dalam tubuhnya pun bekerja melindungi jantung, pembuluh darah, dan bagian tubuh lainnya sehingga isi perut tidak sampai terluka. Hanya saja berbagai hawa murni tersebut bukanlah tenaga dalam yang dapat digunakan untuk menyerang musuh. Akibat benturan antara tenaga yang dikerahkan Yue Hou dengan hawa murni di dalam tubuh membuat badan Linghu Chong tergetar beberapa kali dan rasanya sangat menderita.

Khawatir kalau Yue Hou melancarkan pukulan lagi, dengan cepat Linghu Chong keluar dari dalam gardu dan kemudian menusukkan pedang.

Yue Hou terkejut melihat Linghu Chong baik-baik saja. Pukulan tadi seharusnya membuat pihak lawan mati berdiri, atau paling tidak jatuh tersungkur. Dengan penuh rasa heran dan waswas ia mementang kedua tangannya, yang satu menapak ke muka Linghu Chong dan yang lain memukul perut pemuda itu. Namun baru saja tenaga dikerahkan tiba-tiba ia merasakan sakit luar biasa. Ternyata kedua telapak tangannya sudah tertusuk menjadi satu oleh pedang Linghu Chong. Entah apakah itu karena Linghu Chong yang melakukan tusukan, atau karena kedua tangannya yang mendorong ke depan dan mengenai pedang? Namun yang jelas tangan kirinya berada di depan, sedangkan tangan kanannya berada di belakang.

Kalau Linghu Chong mengambil untung tentu ia mendorong maju pedangnya sampai mengenai dada Yue Hou. Namun karena pihak lawan tadi telah bermurah hati kepadanya, maka begitu pedangnya menembus kedua telapak tangan jago dari Perguruan Songshan itu, ia segera menghentikan gerakan.

Sambil menjerit keras Yue Hou menarik kedua tangannya dan segera melompat mundur. Melihat itu Linghu Chong merasa iba dan buru-buru berkata, “Mohon maaf!” Ternyata yang baru saja ia gunakan adalah bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu, yaitu Jurus Memecah Pukulan. Sejak Feng Qingyang menghilang dari dunia persilatan, jurus ini sama sekali tidak pernah terlihat.

Mendadak terdengar suara ramai di belakang. Linghu Chong menoleh dan melihat sekitar tujuh atau delapan orang laki-laki sedang mengeroyok Xiang Wentian. Tenaga pukulan dua orang di antaranya sangat dahsyat sehingga tiang penyangga gardu ikut terhantam dan hancur berantakan. Serpihan-serpihan tiang dan genting berhamburan di udara. Namun Xiang Wentian dan para pengepungnya terlalu sibuk berkelahi sehingga mereka tidak memedulikan pecahan-pecahan genting yang mengenai kepala mereka.

Pada saat Linghu Chong menyaksikan pertempuran tersebut, tiba-tiba Yue Hou menyelinap dan melancarkan pukulan jarak jauh, tepat mendarat di dada pemuda itu. Tubuh Linghu Chong pun terlempar ke udara. Belum lagi ia jatuh ke tanah ternyata sudah ada beberapa orang memburu maju dan mengacungkan senjata untuk mencincang tubuhnya.

“Huh, kalian hanya ingin enaknya saja!” kata Linghu Chong sambil menyeringai.

Dalam keadaan genting tersebut, tiba-tiba pinggangnya terasa dililit sesuatu. Ternyata seuntai rantai besi telah menyambar dan melilit tubuhnya untuk kemudian ditarik melayang kembali ke udara.

Orang yang menyelamatkan nyawa Linghu Chong itu tidak lain adalah Xiang Wentian sendiri. Ketika tadi dirinya sedang dikepung musuh dari golongan hitam dan putih, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tidak takut mati dan membantunya menghadapi para pengepung. Kejadian ini dengan sendirinya membangkitkan rasa setia kawan di dalam hati. Dilihatnya ilmu pedang Linghu Chong ternyata setinggi langit, namun tenaga dalamnya sangat lemah. Apalagi dalam menghadapi para pengepung yang rata-rata berkepandaian tinggi, keadaan ini sungguh sangat berbahaya. Maka dalam pertempurannya, Xiang Wentian sekali waktu menyempatkan diri untuk melihat keadaan Linghu Chong. Begitu menyaksikan pemuda penolongnya terkena pukulan dan terlempar ke udara, ia segera mengulurkan rantai di tangan untuk menangkap dan membawanya kabur. Begitu mengerahkan ilmu ringan tubuh, Xiang Wentian pun berlari kencang melebihi kecepatan seekor kuda sambil menggendong tubuh Linghu Chong. Dalam sekejap saja mereka berdua sudah menghilang dari kepungan.

Beberapa puluh orang pengepung segera mengejar dengan mengerahkan ilmu ringan tubuh pula. Beberapa orang di antaranya berteriak-teriak sambil tertawa mengejek, “Xiang Wentian melarikan diri! Xiang Wentian melarikan diri! Hahahaha!”

Xiang Wentian tersinggung mendengarnya. Mendadak ia berhenti dan berputar balik seakan-akan hendak menerjang para pengejarnya. Kontan saja para pengejar itu terkejut dan serentak berhenti pula. Ada seorang di antara mereka yang ilmu ringan tubuhnya lebih rendah. Orang itu terlanjur berlari sangat kencang sehingga tidak bisa menahan diri. Karena tidak mampu menghentikan langkahnya, ia pun menabrak tubuh Xiang Wentian. Dengan kaki kiri, Xiang Wentian menendang orang itu hingga terlempar kembali ke tengah kawan-kawannya.

Xiang Wentian kemudian memutar tubuh dan kembali berlari. Para pengejarnya pun ikut berlari, namun kali ini mereka tidak berani mengejar terlalu kencang sehingga jarak dengan kakek berjubah putih itu semakin lama semakin jauh.

Sambil memandangi Linghu Chong yang ada di gendongannya, Xiang Wentian berpikir, “Anak muda ini sama sekali belum pernah bertemu denganku, tapi dia rela mati-matian mempertaruhkan jiwa untukku. Teman sejati seperti ini di mana lagi bisa kutemukan? Demi dia aku terpaksa melarikan diri. Huh, anjing-anjing sialan itu masih saja membuntutiku. Bagaimana caranya aku dapat meloloskan diri dari mereka?”

Setelah berlari cukup jauh, tiba-tiba ia teringat pada suatu tempat yang baik untuk bersembunyi. Tapi lantas terpikir olehnya, “Jarak ke sana terlalu jauh. Entah aku mampu berlari sampai ke sana atau tidak? Tapi tidak menjadi soal. Jika aku tidak kuat, tentu kawanan anjing itu lebih tidak kuat lagi.”

Orang tua itu menengadah memandang matahari untuk membedakan arah. Segera ia membelok dan menerobos ladang jagung kemudian berlari ke arah timur laut. Beberapa kilo kemudian ia kembali sampai di sebuah jalan besar. Tiba-tiba ada tiga penunggang kuda berpacu lewat di sebelahnya.

“Sialan!” maki Xiang Wentian.

Orang tua itu segera memburu dengan cepat. Sampai di belakang salah satu kuda, ia pun meloncat dan dengan sekali tendang mendepak si penunggang hingga terjungkal kehilangan nyawa. Menyusul kemudian ia pun hinggap di atas punggung kuda rampasan tersebut. Ditaruhnya tubuh Linghu Chong di atas pelana depan. Setelah itu ia mengayunkan rantai dan menghantam kedua penunggang kuda yang lain. Urat dan tulang mereka langsung putus, dan keduanya pun jatuh dari kuda masing-masing dalam keadaan binasa.

Ketiga orang itu hanyalah rakyat jelata, bukan kaum persilatan. Mereka sungguh bernasib sial karena tanpa sebab yang jelas jiwa mereka melayang begitu saja.

Setelah penunggangnya jatuh, kedua ekor kuda itu masih terus berlari ke depan. Xiang Wentian kembali mengayunkan rantainya untuk membelit tali kendali. Rantai borgol yang panjang itu bagaikan benda hidup di tangan Xiang Wentian, seperti kepanjangan tangan yang dengan cekatan menangkap dan menarik kedua kuda tersebut. Sementara itu, diam-diam Linghu Chong hanya bisa menghela napas prihatin saat menyaksikan kekejaman Xiang Wentian sembarangan membunuh tiga orang yang tak berdosa.

Xiang Wentian terlihat senang dan bersemangat setelah berhasil merampas tiga ekor kuda tersebut. Ia menengadah sambil bergelak tertawa, “Hahaha. Adik cilik, kawanan anjing itu tidak mampu menyusul kita lagi.”

Linghu Chong tersenyum hambar dan menyahut, “Hari ini mungkin tidak mampu, tapi besok bisa jadi mereka menyusul kita.”

“Persetan! Mereka mengejar kentut. Jika menyusul kemari, kita akan bunuh habis mereka semua,” umpat Xiang Wentian memaki.

Begitulah, ketiga kuda itu ditunggangi secara bergantian. Beberapa kilo kemudian Xiang Wentian membelokkan laju kuda ke suatu jalan pegunungan yang sempit, menuju ke arah timur laut. Semakin tinggi jalan yang dilalui ternyata semakin terjal, dan akhirnya tidak bisa dilalui kuda lagi.

“Kau lapar atau tidak?” tanya Xiang Wentian.

“Apa kau membawa bekal?” sahut Linghu Chong.

“Tidak ada. Kita minum darah kuda saja,” kata Xiang Wentian sambil melompat turun. Kelima jarinya lantas menusuk leher kuda hingga berlubang. Darah pun mengucur dengan deras seperti air mancur.

Kuda itu meringkik kesakitan, hendak berjingkrak, berdiri dengan kaki belakang. Namun dengan sebelah tangan Xiang Wentian menahan punggung kuda itu, sehingga sedikit pun si kuda tidak bisa berkutik. Xiang Wentian lantas menempelkan mulutnya pada lubang di leher kuda malang itu dan meminum darah yang mengucur keluar sampai beberapa teguk. Ia lalu berkata kepada Linghu Chong, “Minumlah!”

Linghu Chong tertegun melihat itu semua. Perasaannya terkejut bercampur muak dan ngeri.

“Jika tidak minum, dari mana kau punya tenaga untuk bertempur lagi?” desak Xiang Wentian.

“Kita akan bertempur lagi?” sahut Linghu Chong menegas.

“Apa kau takut?” tanya Xiang Wentian dengan wajah mengejek.

Seketika timbul semangat kesatria Linghu Chong. Ia tertawa dan balas bertanya, “Kau kira aku takut?” Tanpa pikir lagi ia pun menempelkan mulut ke dekat lubang di leher kuda. Seketika ia merasa darah kuda itu seakan-akan membanjir dengan sendirinya ke dalam kerongkongannya dan segera masuk ke dalam perut.

Mula-mula darah kuda itu memang terasa anyir memuakkan. Bau amisnya sampai menusuk hidung. Tapi sesudah menghirup beberapa teguk bau anyir pun tidak terasa lagi. Linghu Chong terus saja minum sampai perutnya terasa kembung baru ia berhenti.

Xiang Wentian kembali meneguk darah kuda itu sekenyang-kenyangnya. Tidak seberapa lama kemudian, si kuda meringkik pilu dan roboh terkulai. Sekali mengayunkan kaki, Xiang Wentian mendepak kuda itu jatuh ke dalam jurang.

Linghu Chong terperanjat melihat kekuatan orang tua itu. Kuda tersebut berukuran besar dan memiliki bobot tidak kurang dari setengah ton, namun Xiang Wentian bisa menjatuhkannya ke jurang hanya dengan satu tendangan ringan. Kalau saja tidak melihat dengan mata kepala sendiri, mungkin Linghu Chong tidak akan percaya. Tidak hanya itu, Xiang Wentian juga menendang kuda kedua jatuh ke dalam jurang.

Kemudian, orang tua bertubuh tinggi itu mengayunkan tangan dan langsung memotong salah satu paha belakang kuda ketiga. Menyusul kemudian, paha belakang yang sebelah lagi dipotongnya pula. Kuda itu meringkik ngeri. Tanpa ampun, Xiang Wentian menendangnya hingga jatuh terjungkal ke dalam jurang sambil tetap meringkik panjang, berkumandang dan menyeramkan.

“Paha kuda yang satu ini untukmu,” kata Xiang Wentian sambil menyodorkannya kepada Linghu Chong. “Makanlah sedikit demi sedikit. Cukup untuk bekal sepuluh hari.”

Baru sekarang Linghu Chong paham maksud orang tua itu memotong dua paha kuda. Ternyata perbuatannya bukan karena ia suka berbuat kejam, namun untuk bekal perjalanan. Segera ia mengambil sebelah paha kuda tersebut. Pemuda itu kemudian mengikuti dari belakang ketika melihat Xiang Wentian berjalan menuju ke atas lereng gunung sambil membawa paha kudanya.

Xiang Wentian sengaja memperlambat langkahnya supaya dapat diikuti Linghu Chong. Tapi karena tenaga dalam Linghu Chong sudah punah, baru berjalan beberapa ratus meter saja ia sudah tertinggal jauh di belakang. Waktu ia berusaha menyusul, napasnya terasa sesak dan wajah pun berubah pucat. Merasa tak mampu lagi, ia lantas berhenti dan duduk di pinggir jalan.

Xiang Wentian berkata, “Adik cilik, kau ini memang aneh. Tenaga dalammu sudah punah, tapi sedikit pun kau tidak cedera saat terkena pukulan Tapak Yinyang dari keparat Yue Hou tadi. Melihat keadaanmu yang tenang-tenang saja, sungguh membuatku tidak habis mengerti.”

“Tenang-tenang saja bagaimana? Aku justru merasa isi perutku jungkir balik terkena pukulannya. Entah berapa puluh luka dalam yang kuderita?” jawab Linghu Chong. “Aku sendiri merasa heran mengapa sampai sekarang aku belum mampus. Jangan-jangan setiap detik aku bisa roboh dan tidak bangun lagi.”

“Jika begitu marilah kita beristirahat dulu,” ujar Xiang Wentian.

Sebenarnya Linghu Chong bermaksud menerangkan bahwa dirinya tinggal menunggu ajal dan hendak meminta supaya orang tua itu menyelamatkan diri sendiri saja. Tapi lantas terpikir olehnya kalau orang bermarga Xiang ini sangat gagah berani. Ia pasti tidak mau meninggalkan dirinya untuk mencari selamat sendiri. Mungkin permintaan seperti itu justru merendahkan Xiang Wentian.

Orang tua berjubah putih itu mengambil tempat duduk di tepi jalan dan bertanya, “Adik cilik, bagaimana ceritanya kau bisa kehilangan tenaga dalam?”

Linghu Chong tersenyum menjawab, “Kejadian ini terlalu menggelikan kalau diceritakan.” Lalu ia pun menuturkan pengalamannya sejak terluka di tangan Cheng Buyou, sampai mendapat pertolongan hawa murni dari Enam Dewa Lembah Persik. Ia juga menceritakan bagaimana Biksu Bujie menyalurkan tenaga dalam ke tubuhnya untuk membersihkan hawa murni Enam Dewa Lembah Persik namun keadaan justru bertambah parah.

Xiang Wentian terbahak-bahak mendengar cerita aneh itu. Suaranya begitu keras sampai menggelegar di lembah pegunungan. Ia berkata, “Kejadian aneh seperti ini baru pertama kali kudengar. Hahahaha!”

Di tengah gema suara tawanya itu tiba-tiba dari jauh berkumandang suara seseorang membentak, “Xiang Wentian, kau tidak bisa lolos lagi sekarang!”

Namun Xiang Wentian tidak ambil peduli. Ia tetap bergelak tertawa dan berkata, “Hahahaha, sungguh menggelikan! Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie benar-benar manusia tolol nomor satu di dunia!” Dan setelah tertawa beberapa kali mendadak wajahnya menjadi geram. Ia memaki, “Bedebah, kawanan anjing itu sudah menyusul kemari!”

Segera ia membopong tubuh Linghu Chong lalu membawanya lari tanpa memikirkan paha kuda yang ditaruhnya di pinggir jalan. Begitu cepat Xiang Wentian berlari membuat Linghu Chong merasa tubuhnya seperti melayang di udara. Keadaan di sekitar menjadi putih remang-remang. Rupanya mereka telah menyusup ke dalam kabut yang tebal.

“Sungguh kebetulan,” pikir Linghu Chong. “Dalam keadaan seperti ini, ratusan pengejar itu pasti tidak mampu mengeroyok ke atas gunung ini. Mau tidak mau mereka harus menerjang satu per satu kemari. Jika demikian, tentu Sesepuh Xiang dan aku bisa membereskan mereka.”

Akan tetapi, suara kawanan pengejar di belakang itu semakin lama semakin dekat. Jelas ilmu meringankan tubuh mereka juga sangat tinggi, sekalipun masih kalah bila dibandingkan dengan Xiang Wentian. Hanya saja, Xiang Wentian sendiri sedang membopong tubuh Linghu Chong dan juga sudah berlari sekian lamanya. Mau tidak mau larinya menjadi agak lambat.

Sampai di suatu tikungan Xiang Wentian menurunkan Linghu Chong dan berpesan dengan suara lirih, “Diam, jangan bersuara!” Keduanya lantas berdiri merapat di dinding gunung. Sebentar kemudian terdengar suara langkah kaki orang banyak menyusul tiba.

Dua di antara para pengejar itu ada yang berlari paling cepat. Di tengah kabut tebal mereka tidak tahu kalau kedua buruan sudah berdiri merapat di dinding batu. Dua orang itu baru mengetahui ketika sudah berjalan melewati Xiang Wentian dan Linghu Chong. Dengan cepat keduanya bermaksud memutar balik, namun sudah terlambat. Xiang Wentian lebih dulu memukul ke depan, cepat juga ganas. Tanpa bersuara sedikit pun kedua orang itu terbanting jatuh ke dalam jurang.

Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Kedua orang tadi jatuh ke dalam jurang tanpa bersuara sedikit pun. Hm, aku tahu. Sepertinya mereka langsung mati terkena pukulan Sesepuh Xiang sebelum tergelincir jatuh ke dasar jurang.”

Xiang Wentian tertawa mengejek, “Hehehe, kedua bangsat itu biasanya suka berlagak, memakai julukan Sepasang Pedang Gunung Diancang, Hawa Pedang Menembus Langit segala. Sesudah mampus di dalam jurang, pasti bau bangkai mereka yang akan tersebar ke Langit.”

Linghu Chong pernah mendengar nama besar Sepasang Pedang Gunung Diancang yang terkenal itu. Konon ilmu pedang mereka sangat hebat dan telah menewaskan banyak anggota aliran sesat. Tak disangka sekarang keduanya binasa dengan mayat terjatuh di dalam jurang tanpa mengetahui sebab-musababnya. Bahkan, wajah mereka pun tidak sempat dilihatnya.

“Dari sini menuju Ngarai Dewa Sedih masih beberapa kilo jauhnya. Setibanya di sana kita tak perlu gentar lagi kepada kawanan anjing itu,” kata Xiang Wentian sambil kembali membopong tubuh Linghu Chong dan berlari dengan cepat.

Sementara itu terdengar suara langkah orang-orang berlari menyusul mereka. Sekarang jalan pegunungan itu berbelok ke timur di mana tidak terdapat jurang di tepinya sehingga Xiang Wentian tidak dapat lagi menggunakan akal seperti tadi. Terpaksa ia harus berlari sekuat tenaga.

Tiba-tiba terdengar suara desiran nyaring senjata rahasia datang menyambar. Jelas senjata rahasia itu berbobot cukup berat.

Xiang Wentian menurunkan Linghu Chong ke tanah dan segera berputar balik menangkap senjata rahasia itu, lalu memaki, “Keparat bermarga He, kau mau ikut-ikutan memancing di air keruh, hah?”

Di tengah kabut tebal sana berkumandang suara seseorang, “Kau membahayakan dunia persilatan. Setiap orang boleh membunuhmu. Ini, terima lagi sebuah borku!”

Menyusul terdengar suara bising yang tak putus-putus. Orang itu mengatakan “sebuah bor”, tapi yang dihamburkannya ada tujuh sampai delapan buah. Mendengar suara desiran senjata rahasia yang keras dan mengerikan itu, diam-diam Linghu Chong merasa prihatin, “Meski ilmu pedang yang diajarkan Kakek Guru Feng dapat mematahkan segala macam senjata rahasia, tapi bor terbang yang dilemparkan orang itu membawa tenaga sedemikian kuat. Sekalipun pedangku bisa menangkisnya, tapi aku sudah tidak bertenaga lagi, tentu pedangku yang akan patah dibuatnya.”

Dilihatnya Xiang Wentian telah memasang kuda-kuda dengan raut wajah tegang, tidak lagi acuh tak acuh seperti saat dikepung orang banyak di tengah gardu tadi. Satu per satu bor-bor itu menyambar sampai di depannya lantas lenyap tanpa suara, mungkin telah ia tangkap semua.

Tiba-tiba suara bising kembali menggema. Kali ini entah berapa banyak bor tajam yang dihamburkan secara sekaligus. Linghu Chong mengetahui kalau cara melempar senjata rahasia ini disebut “Hujan Bunga Memenuhi Langit”. Biasanya cara ini digunakan dengan memakai senjata rahasia berukuran kecil, misalnya panah uang emas, kuaci besi, dan sebagainya. Namun kali ini yang dilemparkan berupa senjata rahasia berbentuk bor besi yang beratnya paling tidak setengah atau satu kilogram. Diam-diam ia merasa kagum membayangkan kekuatan tenaga dalam orang bermarga He itu. Segera ia pun merebahkan diri di tanah untuk berlindung. Tapi lantas terdengar suara Xiang Wentian menjerit kesakitan, “Aaahh!!!”

Linghu Chong terkejut dan segera melompat maju untuk menghadang di depannya. “Sesepuh Xiang, apakah kau terluka?” demikian ia bertanya.

“Aku … aku tidak sangup … tidak sanggup lagi …. Lekas … lekas kau lari saja!” jawab orang tua itu terputus-putus.

“Tidak! Mati atau hidup kita tetap bersama. Linghu Chong tidak akan meninggalkanmu untuk mencari selamat sendiri,” seru Linghu Chong.

Maka terdengarlah sorak gembira kawanan pengejar itu, “Bagus! Xiang Wentian sudah terluka! Xiang Wentian sudah terkena bor terbang!”

Di tengah kabut tebal itu remang-remang terlihat belasan sosok bayangan mendesak maju dan semakin mendekat. Pada saat itulah tiba-tiba Linghu Chong merasa angin keras berdesir lewat di sisinya. Tak lama kemudian terdengar Xiang Wentian bergelak tawa, disusul terdengar suara belasan orang di depannya roboh berturut-turut.

Ternyata Xiang Wentian berhasil menangkap belasan bor terbang musuh dan pura-pura jatuh terluka untuk membuat mereka lengah. Baru setelah itu ia membalas serangan dan membunuh mereka semua menggunakan jurus Hujan Bunga Memenuhi Langit. Meskipun para pengejar bukan orang bodoh, namun sandiwara Xiang Wentian ditambah suara kecemasan Linghu Chong yang tulus membuat mereka tertipu. Ditambah lagi dengan suasana yang remang-remang karena kabut tebal membuat mereka tertipu mentah-mentah. Para pengejar juga tidak menyangka kalau Xiang Wentian bisa mengerahkan jurus Hujan Bunga Memenuhi Langit, membuat mereka tewas semua tanpa tersisa.

Xiang Wentian kemudian membopong Linghu Chong dan membawanya lari kembali.

“Adik cilik, hebat sekali jiwa setia kawanmu,” puji orang tua itu. Padahal, biasanya ia tidak suka sembarangan memuji orang. Tadinya ia mengira Linghu Chong nekat membela dirinya hanya karena didorong perasaan gegabah kawula muda. Namun setelah ia pura-pura terluka, ternyata pemuda itu tidak berniat meninggalkan dirinya. Rasa setia kawan seperti inilah yang selalu dijunjung tinggi dalam dunia persilatan.

Setelah berlari sekitar dua kilo, kembali terdengar suara musuh yang mengejar. Lagi-lagi terdengar suara mendesing-desing tiada hentinya. Tapi Xiang Wentian selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berdatangan itu dengan melompat tinggi atau menunduk rendah. Namun mau tidak mau, larinya menjadi semakin lambat juga.

Kira-kira setelah berlari puluhan meter jauhnya, kembali ia menurunkan Linghu Chong kemudian membentak keras-keras dan menerjang ke tengah musuh. Terdengar suara senjata beradu beberapa kali. Xiang Wentian kemudian berbalik kembali, namun kali ini sambil membawa satu orang di punggungnya.

Kedua tangan orang itu telah diikat dengan rantai yang masih membelit pergelangan tangannya. Setelah itu ia kembali membopong tubuh Linghu Chong dan berkata dengan tertawa, “Sekarang kita sudah mempunyai tameng hidup, penadah senjata rahasia!”

Tentu saja orang yang tertangkap itu berteriak-teriak, “Jangan lempar senjata! Jangan lempar senjata!”

Namun rekan-rekannya tidak peduli. Senjata rahasia tetap saja menyambar tanpa henti.

“Aduuh!” seru orang itu menjerit. Rupanya punggungnya sudah terkena sebuah senjata rahasia kawan sendiri. Orang itu mencaci maki sekeras-kerasnya, “Wang Chonggu, kau tak setia kawan! Sudah tahu aku …. Aduh! Ini panah kecil! Si keparat Zhang Furong, kau siluman rubah! Kau sengaja hendak membunuh aku, ya?”

Xiang Wentiang yang menggendong orang itu di punggung dan membopong tubuh Linghu Chong di tangan, ternyata masih mampu bergerak dengan lincah. Orang itu sebentar menjerit, sebentar mencaci maki. Makin lama suaranya makin lemah, sampai akhirnya tidak berkata-kata lagi.

“Hahahaha, perisai hidup ini telah berubah menjadi perisai mati,” kata Xiang Wentian dengan tertawa.

Xiang Wentian berlari sambil membopong Linghu Chong.

Xiang Wentian dan Linghu Chong beristirahat di tepi jalan.

(Bersambung)