Bagian 107 - Penantang Terakhir

Zuo Lengchan mencabut pedang.

Tiba-tiba terdengar seseorang berkata dengan nada dingin, “Nona Yue ternyata mahir ilmu pedang dari keempat perguruan, sungguh bukan hal yang mudah dan pantas untuk dipuji. Sekarang aku ingin lihat apakah kau dapat mengalahkan diriku dengan menggunakan ilmu pedang Perguruan Songshan. Jika benar demikian, maka seluruh Perguruan Songshan akan mendukung Tuan Yue sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung tanpa syarat.” Orang yang berbicara ini tidak lain adalah Zuo Lengchan. Sambil berbicara ia terus melangkah maju ke tengah gelanggang. Tangan kirinya menekan sarung pedang, seketika pedangnya pun meloncat keluar dengan sendirinya. Tampak sinar pedang berkilauan melesat ke udara dan secepat kilat tangan kanannya pun menangkap gagang pedang tersebut.

Kejadian ini sungguh indah dipandang mata. Zuo Lengchan mampu melemparkan pedang keluar dari sarungnya hanya dengan sekali tekan menggunakan tangan kiri. Keahlian seperti ini sungguh jarang terjadi dan jarang terdengar pula. Melihat itu serentak murid-murid Songshan bertepuk tangan memuji sang ketua. Tidak hanya itu, sebagian para hadirin juga ikut bersorak memuji.

Terdengar Yue Lingshan menjawab, “Aku … aku hanya akan memainkan tiga belas jurus saja. Jika dalam tiga belas jurus tidak bisa mengalahkan Paman Guru Zuo ….”

Zuo Lengchan menanggapi dalam hati, “Kau bocah perempuan tidak hanya berani menerima tantanganku, tapi juga berani membatasi dalam tiga belas jurus saja. Huh, kau pikir diriku ini siapa?” Ia kemudian berkata dengan nada dingin, “Bagus sekali, kalau dalam tiga belas jurus kau tidak bisa mengalahkanku, lantas bagaimana?”

“Bagaimana … bagaimana mungkin aku mampu menandingi Paman Guru Zuo?” ujar Yue Lingshan. “Ayah hanya mengajariku ilmu pedang Perguruan Songshan sebanyak tiga belas jurus saja. Paman Guru Zuo bisa membuktikan kalau tidak percaya.”

Zuo Lengchan hanya mendengus tanpa menjawab.

Yue Lingshan melanjutkan, “Ayah berkata, meskipun ketiga belas jurus pedang Songshan yang telah kupelajari ini merupakan jurus-jurus paling hebat dalam Perguruan Songshan, tapi dalam pertandingan nanti mungkin baru satu jurus saja pedangku sudah terlempar menghadapi kehebatan Paman Guru Zuo. Bagaimana mungkin aku bisa memainkan jurus kedua?”

Kembali Zuo Lengchan mendengus tanpa menanggapi.

Ketika pertama kali berbicara tadi suara Yue Lingshan terdengar gemetar. Tidak jelas apakah itu karena ia sedang kehabisan tenaga, ataukah karena sedang berhadapan dengan seorang pendekar besar di dunia persilatan. Namun kini ucapannya terdengar lebih tenang. “Aku lantas berkata kepada Ayah, ‘Sekalipun Paman Guru Zuo adalah jago nomor satu di Perguruan Songshan, tapi belum tentu menjadi yang nomor satu dalam Serikat Pedang Lima Gunung kita. Bagaimanapun juga ia tidak mahir memainkan ilmu pedang dari kelima perguruan seperti Ayah.’ Namun, dengan rendah hati Ayah menjawab, ‘Dikatakan mahir sepertinya terlalu berlebihan. Yang aku tahu hanya dasar-dasar ilmu pedang kelima perguruan saja. Jika kau tidak percaya padaku boleh saja kau mencoba bertanding melawan ilmu pedang Paman Guru Zuo-mu yang lihai itu. Bila kau sanggup bertarung tiga jurus saja melawannya, maka kau memang anak perempuanku yang tersayang.”

Zuo Lengchan tertawa dingin dan berkata, “Hm, jika dalam tiga jurus ternyata kau dapat mengalahkan aku, tentu kau lebih disayang lagi oleh ayahmu, bukan?”

“Ilmu pedang Paman Guru Zuo mahasakti dan jarang ada di sepanjang sejarah Perguruan Songshan, sedangkan aku hanya belajar sedikit ilmu pedang Songshan. Jadi, mana berani aku bermimpi mengalahkan Paman Guru Zuo segala?” kata Yue Lingshan. “Ayah berkata kalau aku bisa bertahan dalam tiga jurus saja sudah termasuk hebat. Tapi aku berharap bisa bertahan sampai tiga belas jurus. Entah harapanku ini bisa terkabul atau tidak?”

Perasaan Zuo Lengchan semakin kesal. Ia berpikir, “Jangankan tiga belas jurus, jika kau mampu menahan tiga jurus seranganku saja sudah terhitung hebat dan aku tentu tidak punya muka lagi berkecimpung di dunia persilatan.”

Tanpa berkata lagi ia lantas memegang ujung pedangnya menggunakan tiga jari tangan kiri, yaitu ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, kemudian tangan kanannya melepaskan genggaman. Seketika, gagang pedang itu pun berputar sehingga menghadap ke depan. “Ayo mulai!” serunya kemudian.

Cara Zuo Lengchan memegang senjata ini benar-benar menggemparkan para hadirin. Memegang pedang dengan tangan kiri saja sudah luar biasa, apalagi memegang ujungnya menggunakan tiga jari dengan posisi gagang menghadap musuh. Dibandingkan dengan pertarungan tangan kosong melawan senjata musuh, memegang ujung pedang dengan gagang menghadap lawan jelas lebih sulit. Gagang pedang yang lebih berat daripada ujung pedang sudah pasti akan bergoyang-goyang jika diayunkan. Maka, salah gerak sedikit saja bisa-bisa jarinya akan terpotong oleh pedang sendiri.

Jelas-jelas Zuo Lengchan sedang kesal dan ingin merendahkan Yue Lingshan di hadapan umum dengan cara seperti ini. Disamping itu, cara ini juga sengaja dilakukan untuk memamerkan kepandaian dan menimbulkan kekaguman banyak orang. Melihat sikap lawan yang seperti itu, mau tidak mau Yue Lingshan merasa gentar juga. Ia berpikir, “Ilmu silat macam apa yang ia gunakan? Ayah tidak pernah mengajarkan ini padaku. Tapi, urusan sudah sejauh ini, untuk apa aku harus takut?”

Sekilas Yue Lingshan melirik ke arah rombongan Perguruan Henshan. Para biksuni terlihat masih sibuk dan mengerumuni Linghu Chong, namun tidak terdengar suara tangisan, sehingga dapat diduga nyawa kakak pertama dapat diselamatkan meskipun lukanya cukup parah. Seketika Yue Lingshan merasa agak lega. Segera ia mengangkat pedang dan membungkuk dengan memainkan Jurus Berlaksa Gunung Menghadap Pusat, yakni salah satu jurus pedang Perguruan Songshan yang diwariskan turun-temurun.

Melihat itu, murid-murid Perguruan Songshan menjadi gempar namun juga merasa senang, karena jurus tersebut adalah jurus pernghormatan yang biasa digunakan angkatan muda jika bertanding melawan angkatan yang lebih tua dalam Perguruan Songshan. Dengan jurus pembukaan seperti itu, maka si muda ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya tidak ingin bertarung, tetapi hanya meminta petunjuk saja. Zuo Lengchan sendiri tampak mengangguk perlahan dan berpikir, “Ternyata kau juga mengetahui jurus ini. Dengan memandang penghormatanmu ini, maka aku tidak akan membuatmu malu di depan banyak orang.”

Setelah Yue Lingshan memainkan jurus penghormatan tersebut, segera pedangnya berkelebat seperti pelangi berwarna putih menusuk ke arah Zuo Lengchan. Jurus ini terlihat sangat agung, juga mengandung intisari ilmu pedang Perguruan Songshan. Meskipun Zuo Lengchan menguasai semua jenis ilmu pedang Songshan yang berjumlah tujuh belas rumpun – Delapan Jalan Dalam, Sembilan Jalan Luar – namun ia belum pernah melihat jurus yang dipakai Yue Lingshan tersebut. Maka, lagi-lagi ia berpikir, “Jurus apa ini? Dari tujuh belas rumpun ilmu pedang Songshan rasanya jurus ini lebih hebat. Ini sungguh aneh.”

Zuo Lengchan bukan hanya guru besar di Perguruan Songshan, tapi pada zaman sekarang ia dapat dikatakan sebagai sarjana dunia persilatan. Maka, begitu melihat jurus perguruan sendiri yang agung dan misterius dimainkan oleh lawan, segera hatinya penasaran dan ingin melihat sampai tuntas. Tampak olehnya serangan Yue Lingshan itu semakin mendekat ke dadanya, namun kekuatan tenaga dalamnya terlalu lemah. Jika pedang nyonya muda itu tinggal berjarak beberapa senti saja, tentu ia tinggal menyentil satu kali dan pedang tersebut pasti akan langsung terlempar. Namun cara ini membuat jurus pedang lawan berakhir dan bagaimana kelanjutannya tidak bisa diketahui lagi.

Tak disangka, begitu serangan Yue Lingshan semakin mendekati dada Zuo Lengchan, tiba-tiba saja nyonya muda itu menarik pedangnya, memiringkan tubuhnya, dan memutar senjatanya, serta menebas bahu kiri lawan. Serangan ini mirip Jurus Orang Bijak Sepanjang Zaman milik Perguruan Songshan, namun tidak secepat itu. Serangan ini juga mirip Jurus Burung Pekakak Mengapung, namun terlihat lebih ringan. Serangan ini juga mirip Jurus Sumur Kumala Telaga Surga, namun juga tidak seindah itu. Pada intinya, jurus yang digunakan Yue Lingshan mengandung intisari ilmu pedang Songshan namun berbeda rincian gerakannya.

Zuo Lengchan memiliki pandangan tajam dan juga telah mempelajari semua ilmu silat Perguruan Songshan secara mendalam sejak masih kecil. Rincian gerakan setiap jurus bahkan sampai bagian yang paling rumit sekalipun tercatat dalam ingatannya. Kini begitu melihat jurus yang dimainkan Yue Lingshan begitu aneh dan lain daripada yang lain, seperti menggabungkan beberapa gerakan untuk menutupi setiap kelemahan, seketika membuat hatinya heran sekaligus gembira. Ia merasa saat ini seperti melihat harta karun jatuh dari langit.

Dahulu ketika Serikat Pedang Lima Gunung bertempur melawan sepuluh gembong Sekte Iblis di Gunung Huashan, sejumlah pesilat tangguh tewas dalam peristiwa itu bersama ilmu pedang andalan mereka yang ikut punah tanpa sempat diwariskan. Pada masa kepemimpinannya, Zuo Lengchan sibuk mengumpulkan dan mencatat berbagai jenis jurus pedang dari para sesepuh yang tersisa demi menyelamatkan ilmu pedang Perguruan Songshan. Tidak peduli jurus-jurus tersebut ganas atau tidak, ia tetap mengumpulkannya dan kemudian mengambil intisarinya. Selama beberapa puluh tahun belakangan, ia memperbaiki jurus-jurus yang sudah lemah menjadi lebih kuat, serta mengelompokkan ilmu pedang Perguruan Songshan menjadi tujuh belas rumpun. Meskipun ia sama sekali tidak menciptakan sebuah jurus baru, namun jasa-jasanya dalam mengembangkan ilmu silat Perguruan Songshan sungguh luar biasa.

Kini, melihat Yue Lingshan menggunakan jurus pedang Songshan yang ternyata tidak terdapat dalam catatannya dan sepertinya memiliki kehebatan lebih mendalam, tentu saja membuat hati Zuo Lengchan dipenuhi rasa gembira. Jika ilmu pedang ini dimainkan oleh Ren Woxing atau Linghu Chong, atau mungkin Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, tentu ia akan memusatkan perhatian untuk menghadapinya dan mana mungkin memiliki kesempatan untuk mengamati semua gerakan lawan? Namun karena tenaga dalam Yue Lingshan tergolong rendah maka ia merasa tidak perlu khawatir. Pada detik-detik yang berbahaya, ia yakin dirinya masih sanggup menggetar jatuh pedang dari tangan lawan apabila diperlukan.

Para penonton merasa heran menyaksikan cara bertanding mereka itu. Setiap saat Yue Lingshan selalu menarik kembali serangannya sebelum mencapai sasaran, tidak jelas apakah ia sengaja mengalah atau mungkin merasa gentar. Sebaliknya, Zuo Lengchan seolah tidak peduli terhadap serangan yang datang. Raut mukanya sebentar heran sebentar senang seperti orang linglung. Pertandingan seperti ini benar-benar jarang terjadi. Sementara itu, orang-orang Perguruan Songshan juga tampak memperhatikan pertarungan ini dengan seksama, seolah mereka takut tertinggal satu atau dua gerakan jurus pedang Yue Lingshan.

Jurus-jurus pedang Perguruan Songshan yang dipelajari Yue Lingshan ini jelas berasal dari ukiran di dinding gua rahasia di Puncak Huashan. Pada dinding tersebut terukir sekitar enam puluh atau tujuh puluh jurus pedang Perguruan Songshan. Setelah Yue Buqun mengamatinya dengan seksama, ternyata ada sekitar empat puluh jurus yang sudah sering dipakai Zuo Lengchan, dan ada tiga belas jurus yang masih asing baginya. Jika ketiga belas jurus ini dipelajari dan dimainkan, tentu akan sangat menggemparkan. Jurus-jurus yang terukir di dinding itu hanyalah benda mati, sehingga Yue Lingshan pun memainkannya secara terbatas pada gerakan-gerakannya saja. Di lain pihak, Zuo Lengchan yang sangat cerdas dapat merangkai gerakan-gerakan tersebut di dalam benaknya, dan membayangkan itu semua bisa digunakan dalam waktu yang bersamaan dan menyimpan daya tempur yang luar biasa besar.

Yue Lingshan sendiri hanya memainkan tiga belas jurus dan setelah berakhir ia segera mengulangi jurus pertama kembali dari awal. Melihat ini pikiran Zuo Lengchan tergerak, “Apakah aku harus mengamati serangannya lagi, ataukah harus menjatuhkan pedangnya sekarang juga?” Ia benar-benar berada dalam pilihan yang sulit. Dalam sekejap bermacam-macam pikiran terlintas dalam benaknya, “Ilmu pedang Songshan yang dimainkannya sangat aneh dan bagus. Mungkin setelah ini tiada kesempatan lagi untuk melihatnya. Untuk membunuh anak perempuan ini terlalu mudah, namun mendapatkan ilmu pedangnya, inilah yang sulit. Rasanya juga tidak mungkin aku meminta-minta kepada Yue Buqun untuk memperlihatkan ilmu pedang Songshan ini padaku. Sebaliknya, kalau kubiarkan dia mengulangi kembali permainannya hanya membuatku terlihat tidak becus melawan seorang anak perempuan. Hm, akan ke mana wajahku ini harus kutaruh? Ah, mungkin sudah lebih dari tiga belas jurus yang berlalu.”

Begitu teringat pada “tiga belas jurus”, seketika ambisinya menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung mengalahkan pikiran-pikiran yang lain. Segera ia memutar pedangnya ke atas, dan terdengarlah suara benturan nyaring. Rupanya pedang Yue Lingshan telah tergetar patah menjadi beberapa bagian dan jatuh ke tanah.

Yue Lingshan melompat mundur dan berseru nyaring, “Paman Guru Zuo, sudah berapa jurus pedang Songshan yang kumainkan tadi?”

Zuo Lengchan diam sejenak sambil memejamkan mata, lalu menjawab, “Benar, sudah kau memainkan tiga belas jurus lebih. Sungguh hebat!”

Yue Lingshan memberi hormat lalu berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Paman Guru Zuo sehingga keponakanmu ini bisa unjuk kebodohan memainkan tiga belas jurus pedang Perguruan Songshan dengan lancar.”

Para hadirin menghela napas lega mengagumi kehebatan ilmu silat Zuo Lengchan yang mampu menghancurkan pedang di tangan lawan. Namun di awal tadi Yue Lingshan sudah sesumbar dirinya akan memainkan tiga belas jurus pedang Songshan. Para hadirin membayangkan jangankan memainkan tiga belas jurus menghadapi Zuo Lengchan, bahkan tiga jurus saja sudah pasti sangat susah. Tak disangka, Zuo Lengchan justru terlihat seperti orang linglung saat menghadapi ketiga belas jurus tersebut, bahkan pihak lawan sampai mengulangi jurus pertama dari awal. Namun demikian, ada juga sebagian hadirin yang berpikiran liar mengira Zuo Lengchan suka main perempuan, sehingga saat menghadapi seorang nyonya muda yang cantik jelita, pikirannya menjadi linglung dan mengembara ke mana-mana.

Seorang tua berbadan kurus dari Perguruan Songshan segera tampil ke muka. Ia tidak lain adalah Lu Bai si Tapak Bangau yang kemudian berseru, “Ilmu silat Ketua Zuo yang tiada tanding telah kita saksikan bersama, bahkan Beliau juga sangat bijaksana telah bermurah hati. Sebaliknya, putri keluarga Yue ini baru memahami sedikit ilmu pedang Perguruan Songshan sudah berani unjuk gigi di hadapan Ketua Zuo. Setelah dia kehabisan jurus, barulah Ketua Zuo melumpuhkannya hanya dengan satu gebrakan saja. Ini sudah cukup membuktikan bahwa ilmu silat lebih mengutamakan kemahiran khusus. Kualitas lebih penting daripada kuantitas. Tidak peduli ilmu silat dari aliran mana pun, asalkan kita mendalaminya dengan baik maka dapat berjaya dunia persilatan ….”

Sudah tentu para penonton sepakat dengan ucapan orang tua kurus ini. Di antara mereka yang hadir, boleh dikata hanya sedikit orang yang mahir bermacam-macam ilmu silat. Rata-rata dari mereka hanyalah menguasai ilmu silat perguruan sendiri. Bahkan, dibilang benar-benar menguasai juga tidak sepenuhnya tepat.

Lu Bai melanjutkan, “Rupanya Nona Yue ini sungguh pintar. Saat perguruan lain berlatih pedang, entah bagaimana ia berhasil mengintip dan mencuri lihat. Kemudian dia berani sesumbar di sini, bahwa ia telah mahir semua ilmu silat kelima perguruan. Padahal, ilmu pedang dari aliran masing-masing mempunyai intisari sendiri-sendiri. Kalau hanya paham sedikit kulit luarnya saja mana bisa dikatakan sudah mahir? Kalau kau boleh mencuri ilmu perguruanku dan aku boleh mencuri ilmu perguruanmu, bukankah ini bisa mendatangkan kekacauan?”

Kembali para penonton mengangguk setuju dan sama-sama berpikir bahwa Yue Buqun harus bertanggung jawab karena telah melanggar pantangan besar kaum persilatan, yaitu mengintip dan mencuri pelajaran ilmu silat golongan lain.

Ucapan Lu Bai ini memang ada benarnya. Linghu Chong telah kalah di tangan Yue Lingshan karena ia sengaja mengalah, sedangkan Tuan Besar Mo kalah karena sedang lengah. Sementara itu, Yuyinzi dan Yuqingzi kalah karena mereka terlalu meremehkan Yue Lingshan sehingga kurang persiapan menghadapi serangan yang begitu tiba-tiba. Selain itu, jurus pedang Taishan yang dimainkan Yue Lingshan juga jauh lebih hebat daripada yang dimainkan kedua pendeta tua itu. Meskipun jurus Pedang Daizhong yang dimainkannya tidaklah murni, namun hal ini tetap dianggap sebagai pencurian oleh para hadirin. Maka, ketika apa yang diucapkan Lu Bai sesuai dengan isi hati mereka, mereka pun segera ikut bersuara memberikan dukungan.

Melihat sebagian besar hadirin setuju dengan ucapannya, Lu Bai merasa senang dan kembali berkata, “Maka dari itu, tentang jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung aku rasa tiada pilihan lain kecuali Ketua Zuo yang pantas mendudukinya. Dari sini sudah terbukti bahwa mendalami satu jenis ilmu silat secara sempurna jelas lebih baik daripada mencuri bermacam-macam ilmu silat perguruan lain secara tidak sah.” Kata-kata terakhir itu jelas menyindir Yue Buqun, sehingga ratusan murid Songshan lainnya serentak ikut bersorak membenarkan.

“Nah, apabila ada di antara para anggota Perguruan Lima Gunung yang merasa kepandaiannya melebihi Ketua Zuo, silakan maju untuk mengukur kekuatan,” kata Lu Bai melanjutkan. Meski ia mengulangi lagi tantangannya, tetap saja tiada terdengar jawaban.

Sementara itu, Enam Dewa Lembah Persik yang pada awal tadi banyak mengoceh, saat itu hanya bisa terdiam karena Ren Yingying sedang sibuk merawat luka Linghu Chong bersama murid-murid Henshan, sehingga tidak ada yang menyampaikan pikiran kepada mereka. Oleh karena itu, mereka berenam hanya bisa saling pandang dan tidak tahu harus berkata apa untuk mendebat pihak Songshan.

Kemudian terdengar Ding Mian si Tapak Penahan Menara ikut bicara, “Kalau tidak ada seorang pun yang berani menantang Ketua Zuo, maka dengan sendirinya kita menyetujui Ketua Zuo sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung. Tapi, entah bagaimana pendapat Beliau?”

Zuo Lengchan menjawab dengan gaya pura-pura menolak, “Ah, masih banyak tokoh-tokoh Perguruan Lima Gunung yang lebih baik. Aku sendiri merasa tidak sanggup menerima tanggung jawab seberat ini.”

Adik seperguruannya yang nomor enam, yaitu Tang Ying’e menyahut, “Menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung memang tugas yang sangat berat dan penuh tanggung jawab. Namun bagaimanapun juga hanya Ketua Zuo yang pantas memimpin kita semua menuju kejayaan aliran lurus bersih. Oleh karena itu, kami memohon sudilah kiranya Ketua Zuo naik ke atas panggung untuk dilantik sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Maka bergemuruhlah suara genderang dan tambur disertai petasan yang riuh. Rupanya semua ini telah dipersiapkan sebelumnya oleh pihak Perguruan Songshan. Menyusul kemudian terdengar teriakan orang-orang Songshan bersorak-sorai, “Silakan Ketua Zuo naik panggung, silakan naik panggung!”

Tanpa bicara lagi Zuo Lengchan lantas melompat ke atas Panggung Fengshan. Saat itu matahari sudah hampir tenggelam di balik gunung. Sinarnya yang kuning kemerah-merahan membuat jubah Zuo Lengchan yang berwarna kuning keemasan tampak berkilauan menambah besar wibawa Ketua Perguruan Songshan tersebut. Lalu dengan memberi hormat ia berkata kepada para hadirin di bawah panggung, “Karena desakan kawan-kawan sekalian, jika aku tidak menerima tanggung jawab ini tentu akan terlihat mementingkan diri sendiri dan menolak berjuang demi kejayaan aliran lurus bersih.”

Mendengar itu ratusan orang Songshan serentak bertepuk tangan dan memberi pujian.

Namun tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan berseru, “Paman Guru Zuo, kau memang telah mematahkan pedangku. Tapi apakah dengan demikian kau sudah pantas menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?” Yang berbicara ini tidak lain adalah Yue Lingshan.

Zuo Lengchan menjawab, “Bukankah semua orang di sini menyaksikan bahwa kita bertanding pedang untuk merebut kedudukan? Apabila Nona Yue yang berhasil mematahkan pedangku, dengan sendirinya kita pun setuju mengangkat Nona Yue sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Yue Lingshan menjawab, “Untuk mengalahkan Paman Guru Zuo sudah tentu aku tidak mampu. Tapi di antara jago-jago Perguruan Lima Gunung kurasa masih cukup banyak orang yang dapat mengalahkan Paman Guru Zuo.”

Padahal di antara tokoh-tokoh Perguruan Lima Gunung yang paling ditakuti Zuo Lengchan hanyalah Linghu Chong seorang. Sekarang Linghu Chong sudah terluka parah sehingga hati Zuo Lengchan merasa lega. Maka, ia pun menjawab, “Kalau menurut penilaian Nona Yue, apakah jago-jago yang mampu mengalahkan aku adalah ayahmu, ibumu, atau mungkin suamimu?”

Seketika orang-orang Songshan tertawa bergemuruh bernada mengejek.

Yue Lingshan menjawab tenang, “Suamiku hanya seorang angkatan muda, kepandaiannya masih setingkat di bawah Paman Guru Zuo. Kalau ilmu pedang ibuku tentu sama kuat jika bertanding dengan Paman Guru Zuo. Mengenai ayahku, ilmu pedang Beliau sudah pasti lebih hebat daripada Paman Guru Zuo.”

Kembali terdengar suara riuh ramai menggelegar dari kelompok orang-orang Songshan. Ada yang bersuit mengejek, ada yang tertawa sambil menghentak-hentakkan kaki, namun ada pula yang berteriak-teriak marah.

Zuo Lengchan lantas berpaling kepada Yue Buqun dan berkata, “Tuan Yue, putrimu telah memuji bahwa ilmu silatmu sangat tinggi.”

“Ah, anak perempuanku memang suka membual,” sahut Yue Buqun. “Harap Saudara Zuo jangan menganggapinya sungguh-sungguh. Ilmu silatku masih ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang, atau Ketua Xie dari Partai Pengemis.”

Raut muka Zuo Lengchan seketika berubah mendengar Yue Buqun tidak menyebut dirinya dalam daftar para tokoh yang dianggap sakti itu. Jelas Yue Buqun menganggap kepandaiannya memang lebih tinggi daripada dirinya.

Ding Mian menyahut, “Lantas bagaimana kalau dibandingkan dengan Ketua Zuo?”

“Aku sudah cukup lama bersahabat dengan Saudara Zuo dan kami saling menghormati,” jawab Yue Buqun. “Selama ratusan tahun ilmu pedang Perguruan Songshan dan Huashan memiliki ciri khas masing-masing dan belum pernah diketahui pihak mana yang lebih unggul. Maka pertanyaan Saudara Ding sungguh membuatku sukar untuk menjawabnya.”

“Dari nada ucapan Tuan Yue agaknya kau merasa kepandaianmu memang lebih hebat daripada Ketua Zuo?” desak Ding Mian.

Yue Buqun menjawab, “Kong Fuzi berkata, ‘Seorang budiman tidak suka berkelahi, namun jika harus berkelahi maka ia pun berkelahi.’ Sejak zaman dulu antara kedua pihak selalu hidup berdampingan sehingga sulit untuk mengetahui siapa yang lebih unggul. Sebenarnya sudah lama aku ingin meminta petunjuk kepada Saudara Zuo. Hari ini pun kita baru saja mendirikan Perguruan Lima Gunung. Siapa yang akan menjadi ketua juga belum ditentukan. Kalau aku harus bertanding melawan Saudara Zuo rasanya tidak enak juga, karena orang lain tentu akan mengatakan diriku sengaja hendak berebut kedudukan dengan Saudara Zuo.”

Zuo Lengchan menyahut, “Tapi kalau Saudara Yue memang benar-benar dapat mengalahkan pedang di tanganku ini, maka jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung dengan sendirinya akan kuserahkan kepada Saudara Yue.”

“Ah, jangan bicara demikian, sebab orang yang berilmu silat tinggi belum tentu martabatnya juga tinggi,” ujar Yue Buqun. “Meskipun aku dapat mengalahkan Saudara Zuo, belum tentu aku sanggup mengalahkan tokoh-tokoh Perguruan Lima Gunung yang lainnya.” Nada ucapannya memang terdengar rendah hati, namun setiap kata-katanya ternyata sangat menyinggung, menganggap dirinya lebih hebat daripada Zuo Lengchan.

Zuo Lengchan semakin gusar tak terlukiskan. Dengan dingin ia menjawab, “Saudara Yue bergelar Si Pedang Budiman yang termasyhur di seluruh jagad. Sampai di mana sifat ‘budiman’ Saudara Yue kurasa tidak perlu dijelaskan lagi. Namun bagaimana kehebatan ‘pedang’ dalam gelarmu itu jarang diketahui banyak orang. Kurasa tiada jeleknya jika ilmu pedangmu diuji sekarang juga agar para hadirin bisa ikut menyaksikan.”

Serentak para hadirin berteriak ramai, “Benar, benar! Lekas bertarung saja di atas panggung!”

“Dari tadi hanya bicara saja, kesatria macam apa ini?”

“Segera bertarung saja, biar kita tahu siapa yang lebih unggul!”

Namun Yue Buqun tenang-tenang saja tidak menjawab.

Sewaktu merencanakan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, Zuo Lengchan sudah memperkirakan sampai di mana kepandaian tokoh-tokoh saingannya. Ia yakin kepandaian dirinya cukup mampu untuk mengatasi keempat ketua perguruan yang lain. Apabila ada tokoh selain dirinya yang berilmu lebih tinggi, mana mungkin ia begitu giat mengusahakan terlaksananya peleburan ini? Bukankah itu artinya akan menguntungkan pihak lain, di mana ia berusaha mendorong peleburan namun ada orang yang begitu saja menduduki jabatan ketua?

Mengenai kepandaian Yue Buqun yang paling diandalkan adalah ilmu tenaga dalam Awan Lembayung yang telah dipelajarinya sampai tingkat tinggi, dan hal ini juga sudah diketahui oleh Zuo Lengchan dengan baik. Oleh sebab itu, beberapa waktu yang lalu Zuo Lengchan telah bersekutu dengan tokoh-tokoh Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan yang dipimpin Feng Buping untuk menyerang Yue Buqun dan merebut kedudukannya. Meskipun serangan itu gagal, namun dari sana Zuo Lengchan dapat mengetahui sampai di mana kehebatan ilmu silat Yue Buqun. Kemudian ketika di Biara Shaolin, Zuo Lengchan dapat menyaksikan secara langsung pertarungan antara Yue Buqun melawan Linghu Chong. Meskipun ilmu pedang Yue Buqun sangat bagus, namun Zuo Lengchan merasa masih dapat mengatasinya. Apalagi ketika menendang Linghu Chong sampai pingsan, ternyata kaki Yue Buqun ikut tergetar sampai patah sendiri. Dari sini pun dapat diketahui ternyata tenaga dalam Ketua Perguruan Huashan itu hanya sekian saja, karena kalau orang yang memiliki tenaga dalam sempurna, sekalipun tidak dapat mencelakai lawan, tentu tidak pula mencelakai diri sendiri.

Mengenai ilmu pedang Linghu Chong yang tiba-tiba maju pesat itu, Zuo Lengchan juga sempat merasa gentar. Maka, ia pun berusaha membatalkan pelantikan pemuda itu sebagai Ketua Perguruan Henshan namun justru usahanya yang mengalami kegagalan. Meskipun demikian, rencana yang sudah disusunnya bertahun-tahun tidak mungkin ia biarkan kandas begitu saja karena kemunculan si berandal ini. Lagipula ia juga mengetahui kalau kepandaian Linghu Chong hanya sebatas ilmu pedang saja. Untuk mengatasinya, maka Zuo Lengchan harus mengajaknya bertarung tangan kosong. Dengan demikian, nyawa Ketua Perguruan Henshan itu dapat dibinasakannya. Akan tetapi, saat ini Linghu Chong bersedia terluka parah di tangan Yue Lingshan, sehingga Zuo Lengchan merasa sangat beruntung.

Kini, begitu mendengar Yue Buqun dan putrinya telah berkata dengan sangat sombong, Zuo Lengchan pun berpikir, ”Aku tidak tahu bagaimana kehebatanmu sekarang namun yang jelas kau telah mempelajari berbagai ilmu pedang perguruan lain yang sudah lama punah. Jika kau menggunakan jurus-jurus itu untuk bertarung denganku, mungkin aku akan terdesak oleh seranganmu. Akan tetapi, menyuruh putrimu maju lebih dulu adalah suatu kesalahan besar. Kini aku telah mempelajari semua gerakan putrimu sehingga semua seranganmu nanti pasti akan sia-sia belaka.” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Yue Buqun sangat licik. Jika aku dapat mengalahkannya di depan umum, tentu ia tidak akan bisa sombong lagi. Sebaliknya, jika aku sampai gagal tentu dia akan menjadi orang yang paling berbahaya dalam Perguruan Lima Gunung.”

Maka dengan nada menghina Zuo Lengchan lantas berkata, “Saudara Yue, para hadirin banyak yang ingin melihat kepandaianmu, mengapa kau tidak menunjukkannya sekarang saja?”

“Jika demikian kehendak Saudara Zuo, apa boleh buat, terpaksa aku menurut saja,” jawab Yue Buqun. Selangkah demi selangkah ia pun naik ke atas Panggung Fengshan melalui undak-undakan batu. Padahal kalau mau, dalam sekali lompat saja ia dapat naik ke sana dengan mudah seperti apa yang dilakukan Zuo Lengchan tadi.

Membayangkan akan terjadi pertunjukan seru, serentak para hadirin pun bersorak gembira.

Setibanya di atas panggung batu tersebut, Yue Buqun memberi hormat dan berkata, “Saudara Zuo, kita sekarang sudah berada di bawah perguruan yang sama, namun para hadirin memintaku melemaskan otot, terpaksa akan kulakukan sebisanya. Kita hanya saling belajar, tidak perlu saling melukai. Cukup bila sudah terkena lalu kita menghentikannya, bagaimana pendapatmu?”

“Sudah tentu aku akan berhati-hati dan berusaha semampuku agar tidak melukai Saudara Yue,” jawab Zuo Lengchan.

Serentak orang-orang Songshan berteriak mengejek, “Huh, belum dihajar sudah minta ampun. Lebih baik mengaku kalah saja, tidak perlu bertanding!”

“Benar, kalau takut mampus, lekas turun kembali saja!”

“Senjata tak punya mata. Begitu pertarungan dimulai, siapa yang berani tanggung takkan terluka atau binasa?”

Namun Yue Buqun hanya tersenyum-senyum dan berkata lantang, “Senjata memang tidak bermata, memang sulit dijamin takkan terluka atau mati.” Sampai di sini ia lantas berpaling ke arah rombongan Huashan dan berseru, “Dengarkanlah, para murid Huashan! Aku hanya saling belajar dengan Kakak Zuo dan sama sekali di antara kami tidak ada permusuhan apa-apa. Bila nanti secara kebetulan aku terbunuh oleh Kakak Zuo atau terluka parah, ini semua adalah salahku sendiri dan kalian tidak boleh menaruh dendam atau menuntut balas kepadanya. Yang penting semangat persatuan dalam Perguruan Lima Gunung kita harus tetap dipegang teguh.”

Yue Lingshan dan yang lainnya serentak mengiakan.

Perkataan ini sungguh di luar dugaan Zuo Lengchan. “Saudara Yue ternyata sangat bijaksana dan mengutamakan kepentingan Perguruan Lima Gunung kita, sungguh sangat baik,” katanya kemudian.

“Peleburan kelima perguruan kita adalah urusan yang mahapenting dan butuh perjuangan berat untuk mewujudkannya,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Kalau sekarang disebabkan persoalan kita berdua sehingga terjadi pertengkaran di antara sesama anggota Perguruan Lima Gunung, maka ini jelas mengingkari asas tujuan penggabungan kelima perguruan kita.”

“Benar, sungguh tidak salah,” kata Zuo Lengchan. Di dalam hati ia berpikir Yue Buqun sudah gentar kepadanya. Ia merasa untuk mengalahkannya harus dilakukan secepat mungkin demi menegakkan wibawa.

Dalam sebuah pertarungan kekuatan tenaga dalam dan kecepatan gerak serangan memang sangat penting. Akan tetapi, kalah dan menang seringkali ditentukan oleh besarnya semangat. Zuo Lengchan gembira melihat Yue Buqun belum apa-apa sudah menunjukkan kelemahannya. Maka dengan penuh keyakinan, ia lantas melolos pedangnya. Rupanya Ketua Perguruan Songshan ini sengaja menggunakan tenaga dalam untuk mencabut keluar pedangnya, sehingga ketika batang pedang bergesekan dengan sarungnya langsung mengeluarkan suara nyaring melengking. Penonton yang tidak tahu sebab musababnya tercengang heran, sementara orang-orang Songshan kembali bersorak memberi pujian.

Di sisi lain, Yue Buqun juga mengeluarkan pedangnya, namun dengan cara yang berbeda. Mula-mula ia melepaskan senjatanya yang tergantung di pinggang, lalu menaruhnya di sudut panggung. Dari situ barulah ia perlahan-lahan melolos pedang keluar dari sarungnya. Dilihat dari cara mencabut pedang masing-masing para penonton sudah bisa menduga-duga pihak mana yang lebih kuat dan akan menjadi pemenang pertandingan ini.

Sementara itu, Linghu Chong yang tertusuk pedang bahu kanannya kini terlihat masih sangat lemah. Ren Yingying tidak peduli lagi dengan penyamarannya saat menyaksikan sang kekasih terluka dalam pertandingan tadi. Segera ia maju ke tengah gelanggang, mencabut pedang Yue Lingshan, lalu memapah Linghu Chong berjalan ke pinggir. Murid-murid Henshan serentak mengerumuni sang ketua. Yihe segera memasukkan beberapa Pil Empedu Beruang Putih ke dalam mulut Linghu Chong, sementara Ren Yingying memberikan totokan pada dada dan punggungnya agar darah berhenti mengalir keluar dari luka yang menganga itu. Yiqing dan Zheng E secara bergantian mengoleskan Salep Penyambung Kahyangan pada luka tersebut. Saat sang ketua terluka, para murid tidak segan-segan mengoleskan obat mujarab yang begitu berharga. Mereka menghabiskan banyak obat seperti membuang lumpur saja.

Walaupun terluka parah, tapi pikiran Linghu Chong tetap jernih. Ketika melihat betapa sibuk Ren Yingying dan murid-murid Henshan merawat lukanya yang parah itu, diam-diam ia merasakan penyesalan. Dalam hati ia berkata, ”Hanya karena ingin menyenangkan hati Adik Kecil, aku malah membuat Yingying dan para saudari Henshan sedemikian cemas.”

Sekuat tenaga ia mencoba tersenyum dan berkata, “Entah bagaimana, aku tadi kurang hati-hati, sehingga  ter… terluka oleh pedang ini. Kukira tidak … tidak apa-apa, tidak perlu ….”

“Jangan bicara!” sahut Ren Yingying menukas. Meskipun ia berusaha membesarkan suaranya, namun sulit juga menutupi suara perempuannya yang lembut. Kontan para murid Henshan terheran-heran mendengar seorang laki-laki berewok bersuara sedemikian aneh.

“Aku ingin melihat … aku ingin melihat ….” kata Linghu Chong sambil memandang ke arah gelanggang.

Yiqing mengiakan dan segera menarik minggir dua orang adik seperguruannya yang menghalangi penglihatan Linghu Chong. Saat itu Yue Lingshan sedang bertanding melawan Zuo Lengchan, dan kemudian disusul dengan pertandingan Zuo Lengchan melawan Yue Buqun. Semua yang terjadi hanya dapat diikutinya dengan samar-samar.

Dengan ujung pedang menghadap ke bawah, Yue Buqun berdiri tegak dan bibirnya tersenyum memandang ke arah Zuo Lengchan. Saat itu hampir semua penonton menahan napas masing-masing menantikan terjadinya pertarungan dahsyat. Suasana di Puncak Songshan seketika menjadi sunyi senyap.

Namun demikian, sayup-sayup Linghu Chong dapat mendengar suara perempuan membaca kitab Buddha dengan sangat lirih. “Jika binatang buas mengelilingi dirimu dan engkau takut akan taring dan cakarnya, berdoalah kepada Dewi Guanyin yang welas asih. Segenap binatang buas akan menyingkir. Jika kau melihat ular dan hewan berbisa, kau dapat berdoa kepada Dewi Guanyin dan mendapatkan kekuatan sucinya, maka mereka akan segera kembali ke sarang masing-masing. Jika halilintar dan guntur datang menyambar, serta hujan badai turun dengan lebatnya, kau dapat berdoa kepada Dewi Guanyin dan dengan kekuatan sucinya segala macam cuaca buruk dapat tersapu bersih. Bagi semua makhluk hidup, di alam dunia ini memang penuh dengan kesulitan dan kesukaran. Namun, dengan berdoa kepada Dewi Guanyin maka semua kesulitan pasti akan dapat dilewati ….”

Suara ini begitu lembut dan penuh kesungguhan hati saat membaca doa. Mendengar itu, Linghu Chong langsung yakin bahwa yang sedang berdoa tidak lain pasti Yilin orangnya.

Dahulu Yilin pernah membaca kitab suci dan berdoa untuknya yang sedang terluka saat berada di luar Kota Hengshan. Kali ini ia tidak berpaling untuk memandangnya, namun sorot mata Yilin yang mesra serta wajahnya yang cantik dengan jelas terbayang dalam benaknya. Seketika timbul perasaan syukur di dalam hatinya yang sulit untuk dilukiskan, “Tidak hanya Yingying, bahkan Adik Yilin juga sangat memperhatikan diriku. Mereka lebih mementingkan keselamatanku daripada jiwa mereka sendiri. Sekalipun badanku hancur lebur juga sukar rasanya untuk membalas kebaikan budi mereka.”

Di atas panggung Yue Buqun melintangkan pedang di depan dada, tangan kirinya bergaya seperti sedang memegang pena hendak menulis. Zuo Lengchan paham ini adalah jurus pedang Perguruan Huashan yang bernama Jurus Syair Pedang Menyambut Sahabat. Jurus ini adalah jurus pembukaan apabila pihak Huashan bertarung dengan teman sesama kaum lurus bersih. Maksudnya ialah, jurus ini mengandung makna bahwa pertandingan akan dilakukan secara persahabatan dan tidak perlu mengadu nyawa, seperti pertemuan dua orang sastrawan yang masing-masing akan saling membaca puisi.

Zuo Lengchan tersenyum dan berkata, “Ah, tidak perlu sungkan-sungkan.” Namun dalam hati ia berpikir, ”Yue Buqun dijuluki Si Pedang Budiman, namun menurutku dia seorang munafik. Seolah-olah dia hendak bertanding secara persahabatan denganku. Bisa jadi dia merasa takut, namun sengaja bersikap demikian agar aku tidak menaruh curiga kepadanya. Kemudian saat aku lengah dia lantas menggunakan serangan maut untuk merobohkan diriku.”

Segera tangan kirinya terpentang ke samping, pedang di tangan kanan pun lurus ke depan. Yang ia gunakan adalah Jurus Membuka Gerbang Tampak Gunung, salah satu ilmu pedang Perguruan Songshan. Jurus ini mengandung makna, kalau mau berkelahi silakan mulai saja, tidak perlu pura-pura segala. Dengan jurus ini Zuo Lengchan hendak menyindir bahwa pihak lawan seorang budiman palsu.

Sudah tentu Yue Buqun paham arti yang terkandung dalam jurus pembukaan Zuo Lengchan itu. Segera ia menarik napas panjang, kemudian pedangnya menjulur ke tengah dan bergetar. Namun sampai di tengah jalan mendadak ujung pedang mengungkit ke atas. Ini yang disebut Jurus Gunung Menghijau Samar-samar, suatu jurus yang gerakannya samar-samar, penuh dengan perubahan-perubahan lihai yang tidak bisa ditebak.

Segera pedang Zuo Lengchan membelah dari atas ke bawah dengan tenaga yang dahsyat. Banyak di antara para penonton memekik terkejut. Gerakan Zuo Lengchan ini tidak terdapat dalam daftar ilmu pedang Songshan, karena yang ia gunakan sesungguhnya adalah ilmu pukulan yang dimainkan menggunakan pedang. Gerakan ini disebut Jurus Membelah Gunung Huashan, suatu jurus pukulan yang umum dipelajari setiap orang yang berlatih ilmu silat tangan kosong. Selama ini semua orang pun tahu tidak terdapat jurus demikian dalam rumpun ilmu pedang Songshan. Seandainya ada, demi memandang Perguruan Huashan tentu pihak Songshan akan mengubah gerakannya atau bahkan berusaha tidak menggunakannya. Tapi sekarang Zuo Lengchan justru sengaja menggunakan pedangnya untuk memainkan jurus pukulan ini. Jelas ia bermaksud memancing amarah Yue Buqun supaya berkurang kecermatannya dalam pertarungan nanti.

Ciri khas ilmu pedang Songshan adalah terlihat megah dan gagah. Meskipun Jurus Membelah Gunung Huashan ini tergolong jurus sederhana dan tidak memiliki keistimewaan, namun ketika Zuo Lengchan mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah tadi telah menimbulkan suara berdesir sehingga nampak begitu gagah, bagaikan benar-benar bisa membelah gunung.

Yue Buqun melawan Zuo Lengchan.

(Bersambung)