Bagian 77 - Pendekar Hina Kelana

Yue Buqun melampiaskan kemarahannya.

Ketika siuman kembali, Linghu Chong mendapati dirinya sedang berbaring di atas tempat tidur. Begitu membuka mata yang ia lihat adalah sosok Yue Buqun dan Ning Zhongze berdiri di depan ranjang. Seketika ia pun berseru gembira, “Guru, Ibu Guru, aku … aku ….” karena sangat terharu sampai-sampai air matanya pun bercucuran saat tubuhnya berusaha untuk bangun.

Yue Buqun tidak menjawab, tetapi justru bertanya, “Sebenarnya apa yang terjadi?”

Linghu Chong balas bertanya, “Bagaimana dengan Adik Kecil? Apakah dia … dia baik-baik saja?”

Ning Zhongze menjawab, “Dia tidak apa-apa. Bagaimana … bagaimana kau bisa berada di Fuzhou sini?” Nada suaranya terdengar lembut penuh perhatian.

Linghu Chong berkata, “Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Adik Lin telah direbut dua orang tua, tapi aku telah membunuh kedua orang itu serta merebut kembali kitabnya. Kedua orang itu kemungkinan besar adalah jago-jago Sekte Iblis.” Tapi begitu ia meraba saku bajunya, ternyata jubah biksu yang penuh dengan rangkaian huruf kecil itu sudah tidak ada. Segera ia pun bertanya, “Di mana … di mana jubah itu?”

“Jubah apa?” tanya Ning Zhongze.

“Jubah biksu yang penuh dengan tulisan. Kemungkinan besar itu berisi Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Adik Lin,” kata Linghu Chong.

“Kalau memang benda itu milik Pingzhi, maka sudah seharusnya diserahkan kepadanya,” jawab Ning Zhongze.

“Ibu Guru benar,” sahut Linghu Chong. “Guru dan Ibu Guru apakah baik-baik saja? Apakah semua adik-adik seperguruan juga baik-baik saja?”

“Semuanya baik-baik saja,” jawab Ning Zhongze sambil mengusap air matanya yang meleleh menggunakan lengan baju.

Linghu Chong bertanya, “Bagaimana aku bisa sampai di sini? Apakah Guru dan Ibu Guru yang menolongku?”

Ning Zhongze menjawab, “Tadi pagi ketika aku pergi ke rumah Pingzhi di Gang Xiangyang, aku melihatmu tergeletak tak sadarkan diri di luar pintu.”

“Untung Ibu Guru cepat datang. Kalau para siluman Sekte Iblis yang lebih dulu melihatku, tentu nyawaku sudah melayang,” ujar Linghu Chong. Ia paham ibu-gurunya pagi tadi tentu sengaja mencari Yue Lingshan yang tidak pulang semalaman. Tempat yang dituju sudah pasti rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang. Namun demikian, ia merasa tidak pantas apabila mengungkit-ungkit soal itu.

Tiba-tiba Yue Buqun membuka suara, “Kau bilang sudah membunuh dua orang anggota Sekte Iblis? Dari mana kau tahu kalau mereka adalah anggota Sekte Iblis?”

Linghu Chong menjawab, “Dalam perjalanan menuju ke selatan ini, murid banyak berjumpa anggota Sekte Iblis dan beberapa kali bertempur melawan mereka. Ilmu silat kedua orang tua itu sangat aneh, jelas mereka bukan anggota aliran lurus bersih seperti kita.” Diam-diam ia merasa senang karena telah berhasil merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dan mengembalikannya kepada Lin Pingzhi. Tentu setelah ini Sang Guru, Ibu Guru, dan juga Adik Kecil tidak lagi menaruh curiga kepadanya. Selain itu ia juga telah membunuh dua orang anggota Sekte Iblis sehingga dalam hati merasa yakin perbuatannya tempo hari yang telah bergaul dengan orang-orang aliran sesat pasti hari ini mendapatkan maaf.

Tak disangka wajah Yue Buqun justru terlihat kaku. Ia berkata sambil mendengus, “Huh, sampai sekarang kau masih juga berani mengoceh sembarangan. Memangnya aku mudah dibohongi?”

Linghu Chong tercengang. Dengan cepat ia berseru, “Murid sama sekali tidak berani membohongi Guru.”

“Siapa gurumu? Si marga Yue ini sudah lama memutuskan hubungan guru-murid denganmu,” sahut Yue Buqun tegas.

Linghu Chong menjatuhkan diri ke lantai dan berlutut, lalu menyembah, “Murid telah banyak berbuat dosa dan rela menerima hukuman apa saja dari Guru. Tetapi … tetapi untuk hukuman pemecatan dari Perguruan, mohon kiranya Guru sudi menariknya kembali.”

Yue Buqun mengelak ke samping, tidak mau menerima penghormatan itu. Dengan ketus ia berkata, “Sungguh besar perhatian putri Ketua Ren dari Sekte Iblis itu kepadamu. Sudah lama kau berkomplot dengan mereka, untuk apa masih menginginkan guru semacam aku?”

“Putri Ketua Ren dari Sekte Iblis?” sahut Linghu Chong menegas. “Mengapa Guru berkata demikian? Walaupun murid pernah mendengar bahwa Ren … Ren Woxing punya anak perempuan, tapi … tapi murid belum pernah berjumpa dengannya.”

“Chong’er, mengapa sampai saat ini kau masih saja berdusta?” sela Ning Zhongze sambil menghela napas. “Nona Ren itu telah mengumpulkan orang-orang persilatan tak terhitung banyaknya di atas Lembah Lima Tiran di Shandong untuk mengobati penyakitmu. Bukankah waktu itu kami pergi ….”

“Hah, nona di Lembah Lima Tiran itu?” sahut Linghu Chong menukas dengan suara gemetar. “Bukankah dia … dia … Yingying? Jadi, dia … dia adalah putri Ketua Ren?”

“Kau berdirilah,” kata Ning Zhongze.

Perlahan-lahan Linghu Chong bangkit berdiri, namun mulutnya masih menggumam sendiri, “Yingying adalah … putri Ketua Ren? Bagaimana mungkin?”

“Terhadap Guru dan Ibu Guru kenapa kau masih saja berdusta?” ujar Ning Zhongze kurang senang.

“Siapa yang sudi menjadi gurunya?” bentak Yue Buqun dengan nada gusar. Tiba-tiba telapak tangannya menggebrak meja keras-keras hingga ujung meja itu rompal sebagian.

Linghu Chong menjawab, “Tapi … tapi murid sama sekali tidak berani berdusta kepada Guru ….”

Yue Buqun menukas dengan nada bengis, “Aku memang tidak punya mata, telah menerima anak tak tahu malu sepertimu. Kau sudah membuatku kehilangan muka menghadapi para kesatria di muka bumi ini. Apa kau sengaja ingin merusak nama baikku, hah? Sekali lagi kau panggil ‘guru’ dan ‘ibu guru’, maka akan kucabut nyawamu!” Seketika rona ungu lembayung memancar di wajahnya, pertanda kali ini ia benar-benar sangat murka.

“Baik,” jawab Linghu Chong terpaksa mengiakan. Ia pun berdiri sambil bertopang pada tepi ranjang. Wajahnya tampak pucat dan tubuhnya lemas terhuyung-huyung. Dengan suara gugup ia berkata, “Mereka … mereka memang berusaha mengobati penyakitku, tetapi … tetapi tiada seorang pun yang mengatakan kalau … kalau dia adalah putri Ketua Ren.”

Ning Zhongze menyahut, “Biasanya kau sangat pintar dan cerdik, kenapa tidak menduga hal demikian? Dia masih muda belia, tetapi hanya dengan satu ucapan saja sudah dapat mengumpulkan orang-orang persilatan sebanyak itu, dan semuanya berlomba-lomba ingin menyembuhkan penyakitmu. Coba pikir, selain Nona Ren dari Sekte Iblis, siapa lagi yang memiliki kekuasaan sebesar itu?”

“Saat itu … aku mengira dia seorang nenek-nenek peyot,” ujar Linghu Chong.

“Apakah dia menyamar dan berganti rupa?” tanya Ning Zhongze.

“Tidak. Hanya saja … hanya saja selama itu aku tidak … tidak pernah melihat mukanya,” sahut Linghu Chong.

“Haha!” sahut Yue Buqun tertawa, tapi sedikit pun wajahnya tidak berubah, tetap terlihat kaku.

Ning Zhongze menghela napas, kemudian berkata, “Chong’er, umurmu sudah semakin bertambah, watakmu juga sudah berubah. Apa yang sering kukatakan sudah tidak kau perhatikan lagi.”

“Ibu … Ibu … terhadap perkataanmu dulu aku tidak ….” sebenarnya ia hendak mengatakan “aku tidak berani melanggar”, tapi pada kenyataannya ia telah melanggar larangan Sang Guru dan Ibu Guru untuk tidak bergaul dengan orang-orang Sekte Iblis. Padahal terhadap Yingying, Xiang Wentian, bahkan Ren Woxing hubungannya jelas lebih dari sekadar teman.

Ning Zhongze melanjutkan, “Kalaupun putri Ketua Ren itu sangat baik kepadamu, dan demi menyelamatkan jiwamu terpaksa kau membiarkan dia mengumpulkan orang mengobatimu, maka hal ini mungkin masih dapat dimaklumi ….”

“Dapat dimaklumi bagaimana?” sahut Yue Buqun gusar. “Untuk menyelamatkan nyawa apakah lantas boleh berbuat sesukanya?” Biasanya Yue Buqun sangat ramah dan saling menghormati terhadap adik seperguruan yang juga istrinya itu. Tapi sekarang ia menukas dengan nada kasar dan bengis, jelas kemarahannya sudah tidak tertahan lagi.

Ning Zhongze dapat memahami perasaan sang suami, maka ia hanya berkata, “Tapi mengapa kau berkomplot dengan gembong Sekte Iblis Xiang Wentian dan banyak membunuh orang-orang golongan lurus? Kedua tanganmu telah berlumuran darah kesatria-kesatria aliran lurus, maka sebaiknya, lekas … lekas kau pergi saja!”

Linghu Chong merinding begitu teringat kejadian di mana ia bersama Xiang Wentian bahu membahu menghadapi kepungan beratus-ratus orang. Walaupunnya tangannya tidak ikut membunuh, tapi memang tidak sedikit orang golongan lurus yang menjadi korban mereka ketika tiba di jurang yang berbahaya itu. Sekalipun waktu itu dalam keadaan terdesak, di mana hanya ada pilihan antara membunuh atau dibunuh, tapi dalam peristiwa berdarah itu bagaimanapun juga dirinya ikut bertanggung jawab.

Ning Zhongze menyambung lagi, “Di bawah Lembah Lima Tiran kau juga bekerja sama dengan Nona Ren menewaskan beberapa murid Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun. Chong’er, dulu aku sayang padamu seperti anak kandung sendiri. Tapi sekarang urusan sudah terlanjur begini, ibu … ibu-gurumu tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku tidak sanggup membelamu lagi.” Bicara sampai di sini air matanya lantas berlinang-linang.

“Saya telah berbuat salah. Seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab. Saya tidak mungkin membiarkan nama baik Perguruan Huashan ikut ternoda,” kata Linghu Chong. “Saya mohon Guru berdua mengadakan sidang dan mengundang para kesatria dari berbagai perguruan untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri saya. Dengan demikian tata tertib Perguruan Huashan dapat ditegakkan.”

Yue Buqun menghela napas panjang, dan berkata, “Pendekar Linghu, jika hari ini kau masih murid Huashan, tentu saranmu dapat dilaksanakan dan biarpun jiwamu melayang juga nama baik Perguruan Huashan takkan tercemar. Namun aku sudah telanjur menyebarkan surat pemecatanmu ke segala penjuru. Setiap tindak tandukmu sudah lama tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Perguruan Huashan. Maka, atas dasar apa aku berhak menghukummu? Kecuali … hehe, antara lurus dan sesat memang tidak pernah ada kecocokan. Maka, lain kali jika kau berbuat kejahatan dan kepergok olehku, tentunya aku pun tidak segan-segan membinasakanmu. Tak akan kubiarkan kau berbuat seenakmu lagi.”

Bicara sampai di sini tiba-tiba di luar terdengar seseorang berseru, “Guru, Ibu Guru!” Ternyata itu suara Lao Denuo, murid nomor dua.

“Ada apa?” sahut Yue Buqun.

“Di luar ada orang mencari Guru dan Ibu Guru, katanya ia bernama Zhong Zhen dari Perguruan Songshan, disertai dua orang adik seperguruannya,” jawab Lao Denuo.

“Si Pedang Berlekuk Sembilan Zhong Zhen juga datang ke Fujian sini?” kata Yue Buqun heran. “Baiklah, aku segera keluar.” Ia kemudian meninggalkan kamar tanpa berpamitan.

Ning Zhongze memandang sekejap kepada Linghu Chong dengan tatapan lembut, seakan-akan berpesan kepadanya supaya menunggu sebentar, karena nanti pembicaraan masih akan dilanjutkan. Habis itu ia pun keluar menyusul suaminya.

Sejak kecil Linghu Chong menganggap sang ibu guru sudah seperti ibu kandung sendiri. Melihat tatapan penuh kasih sayang itu, seketika timbul penyesalan dalam hatinya. “Semua yang terjadi ini dikarenakan sifatku yang gegabah dan suka membantah. Baik dan buruk, benar dan salah, tidak dapat kubedakan dengan tegas. Sudah jelas Kakak Xiang bukan orang baik-baik, tapi tanpa pikir aku turun tangan membantu dia. Kematianku tidak menjadi soal, tapi nama baik Guru dan Ibu Guru tetap saja ikut tercemar. Gara-gara Perguruan Huashan memiliki murid durhaka sepertiku, adik-adik seperguruan pun ikut menanggung malu.”

Kemudian terpikir pula olehnya, “Ternyata Yingying adalah putri kandung Ketua Ren. Pantas saja Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan yang lain begitu hormat kepadanya. Hanya satu ucapannya saja sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman pengasingan selama delapan tahun di pulau tandus kepada jago-jago persilatan yang tidak sedikit jumlahnya. Aih, hal ini harusnya sudah kusadari sejak lama. Selain gembong utama Sekte Iblis, siapa lagi di dunia persilatan yang mempunyai kekuasaan sebesar itu? Tapi sewaktu Yingying bersamaku, sifat malu-malunya bahkan lebih tinggi dibanding Adik Kecil. Siapa yang menyangka kalau dia seorang tokoh penting dalam Sekte Iblis? Akan tetapi saat itu Ketua Ren masih disekap Dongfang Bubai di penjara bawah Danau Xihu, lantas bagaimana putrinya bisa berpengaruh seperti itu?”

Ketika berbagai pikiran terlintas timbul tenggelam di benaknya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang berjalan cepat, dan kemudian menyelinap masuk ke dalam kamar. Ternyata yang datang adalah si adik kecil yang selama ini dirindukannya siang dan malam.

Segera Linghu Chong berseru, “Adik Kecil, kau ….” Namun ucapannya ini tak sanggup ia lanjutkan lagi.

“Kakak Pertama,” kata Yue Lingshan, “lekas … lekas kau tinggalkan tempat ini. Orang-orang Perguruan Songshan datang kemari mencarimu.”

Suara gadis itu terdengar bernada cemas. Linghu Chong sendiri begitu melihat adik kecilnya, maka segala masalah menjadi ringan, bahkan sekalipun langit runtuh juga tidak ia hiraukan, apalagi hanya soal Perguruan Songshan segala. Ia pun memandangi Yue Lingshan dengan termangu-mangu. Segala macam perasaan, manis, kecut, getir, semuanya berkecamuk di dalam hatinya.

Wajah Yue Lingshan menjadi bersemu merah melihat Linghu Chong memandangnya tanpa berkedip. Ia lalu berkata, “Ada seorang bermarga Zhong datang bersama dua adik seperguruannya. Katanya kau telah membunuh anggota Perguruan Songshan.”

Linghu Chong terperanjat, “Aku telah membunuh orang Perguruan Songshan? Mana mungkin?”

“Brak!” tiba-tiba pintu kamar didobrak orang. Sekejap kemudian Yue Buqun melangkah masuk dengan wajah sangat gusar. Dengan suara bengis ia berkata, “Linghu Chong, bagus benar perbuatanmu! Kau telah membunuh sesepuh Perguruan Songshan, tapi kau katakan kepadaku bahwa yang kau bunuh adalah penjahat Sekte Iblis!”

Linghu Chong menjawab dengan kebingungan, “Murid … murid … aku … aku membunuh orang Songshan? Bagaimana … bagaimana itu bisa terjadi?”

“Bo Chen si Dewa Rambut Putih dan Sha Tianjang si Elang Gundul, apa kau yang telah membunuh mereka?” bentak Yue Buqun.

Begitu mendengar julukan kedua orang itu, seketika Linghu Chong teringat pada si tua botak yang sebelum bunuh diri mengucapkan, “Selamanya Elang Gundul tidak sudi menyerah kepada musuh.” Jika benar demikian, tentu Si Dewa Rambut Putih adalah rekannya yang mati lebih dulu.

Linghu Chong kemudian menjawab, “Benar, aku telah membunuh seorang tua berambut putih dan seorang tua berkepala botak. Tapi … tapi aku tidak tahu kalau mereka adalah orang Perguruan Songshan. Mereka bersenjatakan golok pendek, jelas bukan ilmu silat Perguruan Songshan.”

“Jadi kedua orang itu benar-benar kau yang membunuh?” sahut Yue Buqun semakin bengis.

“Benar,” jawab Linghu Chong.

Tiba-tiba Yue Lingshan menyahut, “Ayah, dua orang tua ubanan dan botak itu ….”

“Keluar kau!” bentak Yue Buqun seketika. “Siapa suruh kau masuk ke sini? Aku sedang bicara, perlu apa kau ikut menyela?”

Dengan kepala menunduk Yue Lingshan keluar dari kamar dan berdiri di pintu. Hati Linghu Chong menjadi pilu sekaligus senang. Ia berpikir, “Meskipun Adik Kecil sangat baik kepada Adik Lin, tapi ternyata masih tetap memiliki perhatian kepadaku. Ia rela dimarahi ayahnya demi untuk memberi peringatan agar aku lekas-lekas pergi menghindari bahaya.”

Sementara itu Yue Buqun kembali berkata, “Memangnya kau kenal semua ilmu silat Perguruan Songshan? Bo Chen dan Sha Tianjang berasal dari cabang Perguruan Songshan. Entah dengan cara rendah bagaimana kau bisa membunuh mereka, tapi yang jelas kau telah membawa ceceran darah sampai ke rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang. Pihak Perguruan Songshan kemudian melakukan penyelidikan dan akhirnya menuntun mereka sampai kemari. Sekarang Saudara Zhong telah berada di luar sebagai tamuku dan meminta pertanggungjawaban kepadaku. Apa lagi yang dapat kau katakan?”

Ning Zhongze menyusul masuk ke dalam kamar dan berkata, “Kakak, bukankah mereka tidak menyaksikan sendiri kalau Chong’er yang telah membunuh kedua orang itu? Kalau hanya menuruti ceceran darah mana mungkin bisa dipakai sebagai bukti bahwa orang di dalam kantor biro ini yang melakukannya? Kita tolak saja tuduhan mereka, habis perkara.”

Yue Buqun menjawab tegas, “Adik, ternyata sampai sekarang kau masih membela bajingan ini! Sebagai Ketua Perguruan Huashan mana mungkin aku harus berdusta demi melindungi binatang cilik seperti dia? Kalau … kalau itu kita lakukan, maka nama baik Perguruan Huashan akan hancur.”

Selama ini Linghu Chong sangat mengagumi hubungan rumah tangga guru dan ibu-gurunya yang juga saudara seperguruan itu. Ia berpikir kalau dirinya dengan Yue Lingshan kelak bisa menjadi suami-istri, tentu tidak ada lagi keinginan lain dalam hatinya. Sekarang begitu melihat Sang Guru bicara bengis kepada Ibu Guru, tiba-tiba timbul pikiran dalam benaknya, “Jika Adik Kecil menjadi istriku, maka segala apa yang hendak diperbuatnya pasti akan kuturuti semua. Meskipun dia menyuruhku melakukan kejahatan tak berampun juga takkan kutolak tanpa ragu.”

Sepasang mata Yue Buqun menatap tajam ke arah Linghu Chong yang melamun sambil tersenyum lembut memandang Yue Lingshan yang masih berdiri di luar pintu kamar. Ia pun membentak gusar, “Binatang cilik, pada saat seperti ini pun kau masih berani punya pikiran jahat, hah?”

Bentakan keras Yue Buqun membuat Linghu Chong tersadar dari lamunannya. Begitu ia berpaling, dilihatnya wajah Sang Guru sangat murka dengan memancarkan rona ungu lembayung. Sebelah tangannya sudah terangkat pula dan siap menghantam ke arah batok kepala. Seketika tiba-tiba timbul rasa bahagia di dalam hati Linghu Chong. Ia merasa kehidupan di dunia teramat pahit dan getir, sehingga apabila hari ini bisa mati di tangan Sang Guru maka itu berarti pembebasan dari segala derita. Lebih-lebih Adik Kecil ikut menyaksikan kematiannya di tangan sang ayah, justru hal ini yang sangat ia harapkan.

Terasa kesiuran angin menyambar tiba, pertanda telapak tangan Yue Buqun sudah bergerak menghantam ke bawah. Mendadak Ning Zhongze menjerit, “Jangan!” Ia lantas menerjang maju, kemudian jarinya menotok titik Yuzhen di belakang kepala sang suami. Sebagai kakak beradik seperguruan yang berlatih bersama sejak kecil, ia cukup kenal di mana letak kelemahan sang kakak. Titik yang ditotoknya itu adalah titik mematikan yang membuat Yue Buqun terpaksa harus menunda serangannya untuk menyelamatkan diri lebih dulu. Maka ketika Yue Buqun membalik tangannya untuk menangkis, dengan cepat Ning Zhongze menyelinap maju dan menghadangkan tubuhnya di depan Linghu Chong.

Dengan muka merah padam Yue Buqun membentak, “Kau … kau mau apa?”

Ning Zhongze berseru kepada Linghu Chong dengan nada cemas, “Chong’er, lekas lari … lekas lari!”

“Tidak, aku takkan lari,” jawab Linghu Chong menggeleng. “Kalau Guru ingin membunuhku, maka biarlah aku dibunuh saja. Memang dosaku pantas mendapat hukuman mati.”

“Selama ada aku di sini, dia takkan membunuhmu,” seru Nyonya Yue sambil menghentakkan kaki. “Lekas pergi, lekas pergi! Pergilah sejauh-jauhnya dan selamanya jangan kembali lagi.”

Yue Buqun menyahut, “Huh, kalau dia bisa pergi seenaknya, lantas bagaimana cara kita menghadapi tiga orang Songshan di depan itu?”

Linghu Chong berpikir, “Ternyata Guru khawatir tidak bisa menghadapi Zhong Zhen bertiga. Kalau begitu, biarlah aku yang keluar melayani mereka.” Segera ia pun berseru lantang sambil melangkah lebar, “Baiklah, aku yang akan menemui mereka!”

“Jangan keluar! Mereka akan membunuhmu!” seru Ning Zhongze khawatir. Namun langkah kaki Linghu Chong sungguh cepat. Dalam sekejap saja ia sudah memasuki ruang tamu.

Benar juga, di tempat itu sudah menunggu Zhong Zhen si Pedang Berlekuk Sembilan, Teng Bagong si Cambuk Sakti, dan Gao Kexin si Singa Berbulu Pirang. Ketiga orang Perguruan Songshan itu sedang duduk dengan angkuh di sebelah barat ruangan. Linghu Chong segera mengambil duduk di kursi utama paling besar di hadapan mereka, kemudian berkata dengan sinis, “Kalian bertiga, ada perlu apa ke sini?”

Kali ini Linghu Chong memakai baju pelayan penginapan dan telah membuang semua kumis dan cambang palsu dari wajahnya, sehingga ketiga orang itu tidak mengenalinya sebagai perwira sinting yang telah mengalahkan mereka di Nianbapu tempo hari. Melihat seorang pemuda bermuka pucat dan berpakaian kotor penuh bercak darah yang berlagak seperti tuan besar, kontan saja Zhong Zhen bertiga menjadi gusar bukan kepalang.

Gao Kexin segera membentak, “Kurang ajar, kau ini makhluk macam apa?”

“Kalian bertiga ini kutu macam apa?” balas Linghu Chong dengan tertawa.

“Kutu apa maksudmu?” tanya Gao Kexin semakin gusar. Ia lantas berteriak, “Suruh Tuan Yue keluar! Untuk apa jongos macam dirimu bicara dengan kami?”

Saat itu Yue Buqun, Ning Zhongze, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan yang lain sudah berada di belakang pintu angin dan ikut mendengarkan pembicaraan. Yue Lingshan merasa geli di dalam hati ketika mendengar Linghu Chong menjawab dengan nada yang kocak sesukanya. Ia tahu ketiga jago Perguruan Songshan ini sangatlah sakti. Kakak Pertama sudah membunuh kedua kawan mereka dan sekarang bersikap sedemikian angkuh, tentu sebentar lagi akan terjadi pertarungan dan kemungkinan besar Ayah dan Ibu terpaksa tidak ikut campur. Memikirkan itu membuat hatinya khawatir sehingga tidak sanggup tertawa meskipun perasaannya geli.

Sementara itu Linghu Chong telah menjawab, “Siapa itu Tuan Yue? Oh, mungkin maksudmu Ketua Perguruan Huashan? Kebetulan kedatanganku ke sini juga hendak mencari perkara dengannya. Dua murid keparat dari Perguruan Songshan bernama Setan Rambut Putih Bo Chen dan Kokokbeluk Gundul Sha Tianjang sudah kubunuh. Mereka telah berbuat lancang mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis dan menotok dua muda mudi. Kabarnya ada lagi tiga orang Perguruan Songshan yang sekarang bersembunyi di sini, maka aku minta Tuan Yue lekas menyerahkan mereka kepadaku, tapi dia justru menolak. Menyebalkan, sungguh menyebalkan!” Lalu ia sengaja berteriak-teriak keras, “Hei, Tuan Yue, tiga orang bodoh dari Perguruan Songshan itu bernama Si Pedang Rongsokan Zhong Zhen, Si Cambuk Setan Teng Bagong, dan Si Kucing Kurap Gao Kexin. Lekas kau seret mereka keluar, supaya aku bisa membereskan mereka! Kau tidak perlu melindungi mereka. Kalian Serikat Pedang Lima Gunung punya banyak cabang. Kalau macam-macam, akan kubereskan kalian semua!”

Yue Buqun saling pandang dengan istrinya. Mereka tahu Linghu Chong sengaja berteriak-teriak untuk menegaskan bahwa Perguruan Huashan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kematian kedua orang Songshan tadi malam itu. Hanya saja, Zhong Zhen bertiga adalah tokoh terkemuka di mana mereka termasuk dalam “Tiga Belas Pelindung Songshan”. Memang dalam pertempuran di depan kuil tua beberapa bulan silam, Linghu Chong telah mengalahkan Feng Buping dan lima belas musuh bercadar. Akan tetapi kali ini ia dalam keadaan terluka parah, mungkin berdiri saja tidak akan kuat lama. Anehnya, mengapa ia begitu berani mengolok-olok dan memancing kemarahan tiga orang itu? Lebih-lebih ia sepertinya sudah mengenal julukan mereka bertiga sehingga tahu saat ini berhadapan dengan siapa.

Dengan perasaan gusar Gao Kexin melompat bangun, kemudian menusukkan pedangnya ke arah Linghu Chong. Tapi Zhong Zhen lebih dulu melambaikan tangan mencegah adik seperguruannya itu, lalu bertanya kepada Linghu Chong, “Siapakah Tuan ini?”

“Hahahaha, aku kenal kalian, tapi kalian tidak kenal aku,” sahut Linghu Chong sambil tertawa. “Kalian dari Perguruan Songshan bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, sehingga Perguruan Songshan bisa mencaplok empat perguruan yang lain. Kedatangan kalian bertiga ke Fujian ini, pertama untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin, dan yang kedua ingin mencelakai tokoh-tokoh penting Perguruan Huashan dan Perguruan Henshan. Berbagai tipu muslihat kalian yang licik itu sudah kuketahui semua. Rasanya perbuatan kalian akan sia-sia belaka, tak ada gunanya sama sekali. Hehehehe, sungguh menggelikan, sungguh menggelikan!”

Kembali Yue Buqun dan istrinya saling pandang. Mereka berpikir ucapan Linghu Chong itu meskipun seenaknya tetapi memiliki alasan yang masuk akal.

Di lain pihak, Zhong Zhen sangat terkejut dan bertanya, “Dari aliran manakah Saudara ini sebenarnya?”

“Kau tanya dari mana aku? Haha, aku hanyalah gelandangan biasa, yang ditolak kuil besar dan diusir kuil kecil. Aku seorang hina kelana sebatang kara yang bergentayangan di hutan belantara. Tenang saja, aku sama sekali tidak akan berebut rezeki dengan Perguruan Songshan kalian. Hahahaha,” jawab Linghu Chong sambil bergelak tawa, namun penuh dengan perasaan pilu.

“Karena Saudara bukan orang Perguruan Huashan, maka kita tidak boleh mengganggu ketenangan Tuan Yue. Mari kita bicara di luar saja,” kata Zhong Zhen dengan nada datar, namun sorot matanya memancarkan nafsu membunuh. Dikarenakan Linghu Chong telah membongkar rencana rahasianya, maka ia pun bertekad harus membunuhnya. Namun di sisi lain ia juga segan terhadap Yue Buqun dan tidak berani sembarangan membunuh orang di dalam kantor Biro Ekspedisi Fuwei, sehingga Linghu Chong lebih dulu diajak keluar untuk kemudian dibereskan di sana.

Hal ini justru sesuai dengan harapan Linghu Chong. Segera ia berseru kepada pihak Perguruan Huashan, “Tuan Yue, untuk selanjutnya kau harus selalu waspada. Ketua Sekte Iblis yang terdahulu, Ren Woxing telah muncul kembali di dunia persilatan. Orang ini memiliki Jurus Penyedot Bintang yang khusus digunakan menghisap tenaga dalam lawan. Dia sudah menyatakan akan mengadakan perhitungan dengan Perguruan Huashan. Selain itu Perguruan Songshan juga berniat mencaplok Perguruan Huashan-mu. Kau seorang kesatria berbudi, maka harus berhati-hati terhadap pihak lain yang berhati jahat.” Jauh-jauh ia datang ke Fuzhou adalah untuk menyampaikan hal ini kepada Sang Guru. Maka begitu tujuannya terkabul, ia lantas melangkah keluar disusul Zhong Zhen dan kedua rekannya.

Setibanya di luar gedung Biro Fuwei, Linghu Chong melihat serombongan biksuni dan wanita awam berdiri di depan gerbang. Mereka tidak lain adalah murid-murid Perguruan Henshan. Yihe dan Zheng E berjalan paling depan dengan membawa kotak hadiah. Sepertinya mereka datang ke Biro Fuwei untuk mengunjungi Yue Buqun suami-istri.

Linghu Chong terperanjat dan lekas-lekas menyelinap ke arah lain agar tidak dilihat oleh murid-murid Perguruan Henshan itu. Walaupun Yihe, Zheng E, dan beberapa lainnya sudah terlanjur memandang ke arahnya, tapi untungnya Yilin berada di barisan belakang sehingga tidak melihat kehadirannya.

Namun ketika Zhong Zhen, Teng Bagong, dan Gao Gexin yang keluar dari pintu, Zheng E langsung mengenali mereka. Gadis itu terperanjat dan seketika berhenti melangkah.

Linghu Chong diam-diam berpikir, “Murid-murid Henshan itu sudah tahu Guru dan Ibu Guru berada di sini. Mereka datang kemari jelas untuk berkunjung. Ada Guru dan Ibu Guru di sini, tentu mereka akan mendapat perlindungan. Sebelum Adik Yilin melihatku, aku harus segera menyingkir dari sini.”

Setelah berpikir demikian ia pun menyelinap ke samping dan bermaksud pergi jauh-jauh. Tapi Zhong Zhen bertiga lantas menghunus senjata dan menghadang di depannya. Serentak mereka membentak, “Apa kau ingin lari?”

Sementara itu Yue Buqun, Ning Zhongze, dan murid-murid Perguruan Huashan telah keluar pula di depan pintu untuk menyaksikan bagaimana cara Linghu Chong menghadapi ketiga lawannya.

Linghu Chong berkata, “Aku tidak punya senjata, bagaimana bisa berkelahi?”

Melihat itu Yue Lingshan segera melolos pedangnya dan berseru, “Kakak ….”

Ia bermaksud melemparkan pedangnya kepada Linghu Chong, tapi Yue Buqun telah menjulurkan kedua jarinya untuk menahan batang pedang anak gadisnya itu sambil menggelengkan kepala.

“Ayah!” seru Yue Lingshan cemas.

Tapi Yue Buqun kembali menggelengkan kepala.

Kejadian itu dapat dilihat oleh Linghu Chong, membuat hatinya sangat terhibur. Ia berpikir, “Ternyata Adik Kecil masih mempunyai perhatian kepadaku seperti dulu.”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget beberapa orang. Linghu Chong tahu tentu ada musuh yang menyerangnya dari belakang. Tanpa menoleh, ia segera melompat ke depan. Karena tenaga dalamnya melimpah ruah, lompatannya pun menjadi tinggi dan jauh pula. Namun demikian tetap saja terasa ada kesiuran angin tajam menyambar di belakang kepalanya. Rupanya pedang lawan telah menebas dengan ganas. Andai saja lompatannya ke depan tadi terlambat sedetik saja, atau tenaga dalamnya kurang kuat sehingga lompatannya kurang jauh, dapat dipastikan tubuhnya saat ini telah terpotong menjadi dua. Benar-benar berbahaya.

Begitu kakinya mantap berdiri, Linghu Chong segera menoleh ke belakang. Sungguh mengejutkan karena tampak olehnya berkelebat belasan sinar pedang disertai suara bentakan ramai. Rupanya murid-murid Perguruan Henshan telah turun tangan untuk membantu. Sebanyak tiga regu yang masing-masing terdiri dari tujuh orang telah menerjang maju. Setiap regu masing-masing mengepung Zhong Zhen, Teng Bagong, dan Gao Gexin. Gerakan mereka saat menghunus pedang, melangkah maju, melancarkan jurus, dan mengepung musuh, semuanya dilakukan dengan cepat dan lincah, tapi juga indah dipandang. Jelas mereka sudah berlatih lama untuk membentuk formasi tujuh pedang tersebut. Setiap ujung pedang menodong titik vital musuh, yaitu kepala, tenggorokan, dada, perut, pinggang, punggung, dan iga. Setelah ketiga lawan terkepung rapat, para wanita dan biksuni itu pun diam tanpa bergerak.

Yang tadi melakukan serangan gelap terhadap Linghu Chong adalah Zhong Zhen. Perkataan Linghu Chong yang membahayakan Perguruan Songshan membuatnya nekad menyerang saat itu juga. Zhong Zhen memanfaatkan ketidaksiapan Linghu Chong untuk melancarkan serangan keji demi melenyapkan saksi mata secepat-cepatnya. Bagaimanapun juga ia tidak ingin Yue Buqun menaruh curiga apabila terus-menerus mendengarkan perkataan Linghu Chong. Akan tetapi, serangannya yang ganas dan keji itu ternyata masih bisa dihindari lawan. Secara tidak terduga, kali ini justru dirinya yang terkepung formasi tujuh murid Perguruan Henshan. Meskipun ilmu silatnya tinggi, namun tetap saja tidak dapat lolos dari kepungan tersebut. Begitu ia bergerak sedikit saja, tentu pedang-pedang itu langsung bergerak menusuk tubuhnya.

Rupanya Zheng E, Yilin, dan Qin Juan telah bercerita kepada kakak-kakak seperguruan mereka tentang bagaimana Zhong Zhen telah mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksa mendiang Biksuni Dingjing supaya menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Mereka semua marah atas pemaksaan itu, dan kini begitu melihat Zhong Zhen menyerang Linghu Chong dari belakang, serentak mereka pun membentuk tiga formasi barisan dan langsung turun tangan membantu.

Yue Buqun, Ning Zhongze, dan murid-murid Perguruan Huashan sudah tentu tidak mengetahui bahwa rombongan Perguruan Henshan telah bertemu dan berselisih dengan rombongan Perguruan Songshan yang dipimpin Zhong Zhen di Nianbapu. Itu sebabnya mereka menjadi terheran-heran ketika tiba-tiba melihat kedua pihak yang merupakan satu rumpun itu entah mengapa kini berhadapan sendiri. Menyaksikan formasi pedang pihak Perguruan Henshan yang amat indah tersebut sungguh membuat mereka kagum. Dua puluh satu orang secara serentak langsung membagi diri menjadi tiga regu dan mengacungkan pedang masing-masing. Kecuali lengan baju mereka yang berkibar-kibar, masing-masing tidak bergerak sedikit pun. Meskipun demikian, dalam formasi tiga regu ini tetap mengandung daya serang dan kekuatan membunuh yang tidak terbatas.

Linghu Chong mengamati formasi pedang Perguruan Henshan itu dengan seksama. Begitu terbentuk dan mengepung lawan, mereka langsung diam tidak bergerak. Tujuh mata pedang telah menodong titik vital musuh serta menjadi perlindungan pula, bagaikan cincin yang sama sekali tidak memiliki celah kelemahan. Sepertinya formasi pedang ini dibuat berdasarkan prinsip “tanpa jurus mengalahkan jurus” dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Sambil terengah-engah, Linghu Chong pun berteriak memuji, “Bagus sekali! Formasi pedang ini sangat cemerlang!”

Melihat pihaknya sudah tidak bisa berkutik lagi, Zhong Zhen pun tertawa dan berkata, “Kita adalah kawan sendiri, untuk apa bercanda seperti ini? Biarlah aku mengaku kalah saja, bagaimana?” Habis itu ia lantas membuang pedangnya ke tanah.

Formasi tujuh pedang yang mengepungnya dipimpin oleh Yihe. Melihat lawan sudah membuang senjata dan mengaku kalah, ia pun segera menarik kembali pedangnya diikuti keenam anggota yang lain.

Tak disangka-sangka, ujung kaki kiri Zhong Zhen tiba-tiba menjungkit pedangnya yang tergeletak di tanah itu. Begitu terlempar ke udara, secepat kilat tangannya menepuk gagang pedang itu sehingga meluncur deras ke depan.

Yihe menjerit kaget karena pedang itu telah menusuk lengan kanannya, sehingga pedangnya sendiri sampai terlepas dari genggaman dan terjatuh ke tanah. Zhong Zhen bergelak tawa dan menyambar pedangnya itu lalu mengayunkannya dengan gencar. Dalam sekejap sinar dingin berkelebat dan murid-murid Henshan yang lain berturut-turut terluka pula.

Karena regu Yihe mengalami kekacauan, kedua regu yang lain pun terpecah pikirannya sehingga kepungan mereka menjadi longgar. Teng Bagong dan Gao Kexin segera memanfaatkan kesempatan dengan melancarkan serangan balik. Dalam sekejap pun terdengar suara dentang senjata beradu ramai.

Linghu Chong buru-buru memungut pedang Yihe di tanah, dan mengayunkannya ke depan. Terdengar suara dentang logam beradu satu kali disertai jeritan kaget beberapa kali. Dalam sekejap tahu-tahu pergelangan tangan Gao Kexin sudah terluka dan pedangnya pun jatuh ke tanah. Cambuk Teng Bagong yang lemas itu juga berputar balik dan melibat lehernya sendiri, sementara punggung tangan Zhong Zhen juga terketuk oleh pedang Linghu Chong sampai tergetar dan ia pun mundur beberapa langkah. Meskipun pedangnya tidak sampai terlepas dari pegangan, namun lengannya terasa lemas tak bertenaga.

Pada saat itulah terdengar dua orang perempuan berteriak bersamaan. Yang satu berseru, “Jenderal Wu!” dan yang satu lagi berseru, “Kakak Linghu!”

Yang memanggil “Jenderal Wu” adalah Zheng E. Rupanya ia mengenali jurus yang digunakan Linghu Chong untuk mengalahkan tiga lawannya itu ternyata mirip dengan yang ia lihat di Nianbapu tempo hari. Pemandangan yang ia lihat sama persis: Gao Kexin kebingungan tidak tahu harus berbuat apa, Teng Bagong tercekik oleh cambuknya sendiri, sedangkan Zhong Zhen tampak terkejut sekaligus gusar. Zheng E berwatak cerdas dan berpandangan jeli. Tempo hari ia melihat jurus ini digunakan untuk mengalahkan ketiga orang itu, sehingga meskipun Linghu Chong sekarang tidak memakai pakaian perwira dan juga tidak memakai kumis dan cambang, namun ia langsung mengenalinya sebagai “Jenderal Wu”.

Sementara itu yang memanggil “Kakak Linghu” tentu saja Yilin seorang. Tadinya ia berada dalam regu yang dipimpin Yizhen mengepung Teng Bagong. Setiap anggota regu dalam formasi mencurahkan segenap perhatiannya untuk menodong musuh yang dikepung, tanpa pernah mengalihkan pandangan kepada hal lainnya. Yang menodong kepala hanya melihat kepala, yang menodong leher hanya melihat leher, yang menodong dada hanya melihat dada, demikian pula yang lainnya. Jangankan melihat adanya orang lain, bahkan bagian tubuh lawan yang tidak ditodong pun tidak menjadi perhatian. Begitu kekacauan terjadi barulah Yilin sempat melihat adanya Linghu Chong. Seketika seluruh tubuh biksuni muda itu tergetar hebat karena berjumpa laki-laki yang selalu dirindukannya itu. Hampir-hampir saja ia jatuh lemas dibuatnya.

Karena keberadaannya sudah diketahui, Linghu Chong pun tertawa dan mengomel, “Nenekmu, kalian bertiga kutu busuk benar-benar kurang ajar. Para biksuni dari Perguruan Henshan sudah mengampuni jiwa kalian, tapi kalian justru membalas air susu dengan air tuba. Terpaksa aku … aku ….” sampai di sini mendadak kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang dan tubuhnya lantas roboh di tanah.

Yilin segera memburu maju untuk memapahnya sambil berseru cemas, “Kakak Linghu! Kakak Linghu!” Dilihatnya pundak dan lengan Linghu Chong mengucurkan darah, pertanda luka tadi malam kembali terbuka. Lekas-lekas ia menyingsingkan lengan baju dan mengeluarkan Pil Empedu Beruang Putih buatan perguruannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulut Linghu Chong.

Zheng E, Yizhen, dan yang lain juga ramai-ramai mendekat. Mereka mengeluarkan Salep Penyambung Kahyangan untuk dioleskan pada luka-luka tersebut. Karena sudah mengetahui kalau Linghu Chong adalah si perwira gadungan, mereka pun merasa berhutang budi kepadanya. Andai saja tempo hari Linghu Chong tidak datang menolong, tentu mereka sudah tewas semua. Mungkin mereka tidak hanya tewas mengenaskan tapi juga mengalami bermacam-macam penghinaan dari pihak musuh. Maka dengan penuh rasa syukur sekaligus cemas mereka pun beramai-ramai mengobati Linghu Chong. Ada yang mengambil obat, ada yang menyeka darah, ada yang mengusap keringat, ada yang membalut luka, semuanya dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Pada umumnya kaum wanita memang ceriwis, apalagi di saat menghadapi suatu peristiwa, pasti berebutan bicara dan tak henti-hentinya berkomentar. Meskipun murid-murid Perguruan Henshan tersebut adalah kaum pesilat, namun mereka tidak dapat menutupi sifat dasar itu. Mereka pun saling berbisik, ada yang menghela napas penyesalan, ada yang tampak cemas, ada yang bertanya-tanya gelisah mengapa tuan jenderal penolong mereka sampai terluka, ada yang bertanya-tanya siapakah musuh yang keji itu, dan ada pula yang memaki-maki sendiri. Mereka saling berebut bicara dengan suara berisik, sambil sesekali diselingi ucapan “Amitabha”.

Melihat keadaan demikian, orang-orang Perguruaan Huashan menjadi terheran-heran. Yue Buqun berpikir, “Sejak dulu tata tertib Perguruan Henshan sangat ketat, tapi sekarang entah mengapa murid-murid perempuan ini sampai tergoda kepada berandalan yang kelakuannya tidak beres macam Linghu Chong? Bahkan di depan banyak orang mereka tidak menjaga tata krama, ada yang memanggil ‘kakak’ kepadanya dengan begitu mesra, ada yang memanggilnya ‘jenderal’ pula. Sejak kapan bangsat cilik ini menjadi perwira? Sungguh tidak patut. Mengapa para sesepuh Perguruan Henshan tidak melakukan pengawasan?”

Sementara itu Zhong Zhen telah memberi isyarat kepada kedua adik seperguruannya untuk mempersiapkan senjata. Serentak mereka bertiga menerjang maju bersama-sama karena tahu bila Linghu Chong dibiarkan hidup tentu kelak akan banyak mendatangkan masalah. Lagipula sudah dua kali mereka kalah olehnya. Maka saat ini begitu melihat Linghu Chong mendadak roboh tak berdaya, mereka pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menghabisi nyawanya.

Ning Zhongze melindungi Linghu Chong.

Formasi tujuh pedang Henshan mengepung Zhong Zhen.

(Bersambung)