Bagian 63 - Mengalahkan Tiga Majikan

Danqingsheng bertanding dengan Linghu Chong.

“Maaf, Tuan Feng!” kata Ding Jian. Ia kemudian mengayunkan pedang secara melintang, menimbulkan suara desiran lirih. Para hadirin melihat gerakan pedang itu bagaikan kilat panjang yang berkelebat dengan cepat. Meskipun sudah belasan tahun mengasingkan diri di Wisma Mei Zhuang, tapi kepandaiannya ternyata tidak berkurang sedikit pun. Setiap jurus “Pedang Kilat Satu Kata” yang ia lancarkan bagaikan kilat membelah angkasa, menggetarkan jiwa dan menimbulkan kengerian bagi siapa saja yang melihatnya. Beberapa tahun silam, Ding Jian pernah kalah sekali melawan seorang pendekar buta. Itu semua dikarenakan pihak lawan tidak dapat melihat kelebatan sinar “Pedang Kilat Satu Kata” sehingga tidak muncul rasa takut di hatinya.

Kali ini, Ding Jian mengerahkan jurus andalannya dan membuat seluruh ruangan seolah dipenuhi cahaya kilat yang menyilaukan. Namun ilmu “Sembilan Pedang Dugu” yang telah dipelajari Linghu Chong juga bukan ilmu sembarangan. Begitu jurus pertama “Pedang Kilat Satu Kata” dikerahkan, Linghu Chong segera dapat menemukan tiga celah kelemahan di dalamnya.

Ding Jian sendiri tidak buru-buru melancarkan serangan. Pedangnya hanya menebas kian-kemari seolah memberi hormat kepada tamu. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah ia hendak membuat silau mata Linghu Chong agar sukar menangkis serangan selanjutnya.

Tak disangka, ketika sampai pada jurus kelima, Linghu Chong telah menemukan delapan belas titik kelemahan pada ilmu pedang lawannya itu. Segera ia berkata, “Maaf!” Bersamaan itu pedangnya lantas menusuk miring ke depan.

Saat itu Ding Jian sedang mengayunkan pedangnya secepat kilat dari kiri ke kanan. Jarak ujung pedang Linghu Chong masih ada satu meter jauhnya, namun gerakan Ding Jian itu seakan-akan mengantar tangan sendiri ke ujung pedang lawan. Gerakan itu teramat cepat dan sukar dihentikan atau ditarik kembali secara mendadak.

Melihat itu, para hadirin serentak berseru, “Awas!”

Heibaizi kebetulan sedang menggenggam dua buah biji catur, hitam dan putih. Ia bermaksud melemparkan biji-biji catur itu untuk menyelamatkan pergelangan tangan Ding Jian dari ancaman pedang Linghu Chong, namun lantas terpikir olehnya jika sampai ikut turun tangan berarti dua orang melawan satu, dan Wisma Mei Zhuang akan dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Dalam keragu-raguannya itu terlihat tangan Ding Jian semakin mendekati pedang Linghu Chong.

“Aiiih!” teriak Shi Lingwei khawatir.

Siapa sangka, pada detik yang menegangkan itu tiba-tiba tangan Linghu Chong sedikit berputar sehingga ujung pedang menjadi miring. Pada detik selanjutnya, tangan Ding Jian membentur bilah pedang sehingga tidak terluka sama sekali.

Ding Jian terperanjat. Ia baru sadar kalau pihak lawan sengaja bermurah hati sehingga pergelangan tangannya tidak sampai terpotong. Kalau sampai ia kehilangan sebelah tangan, maka ilmu silatnya akan musnah pula. Seketika itu ia pun gemetar dan berkeringat dingin. Sambil membungkuk, orang tua itu berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan hati Pendekar Feng.”

Linghu Chong membalas hormat dan menjawab, “Aku tidak berani.”

Pihak lawan berusaha tidak melukai Ding Jian membuat Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng merasa senang. Danqingsheng segera menuang secawan arak dan berkata, “Adik Feng, ilmu pedangmu sangat bagus. Terimalah secawan dariku.”

“Terima kasih. Aku tidak berani menerima pujian ini,” jawab Linghu Chong sambil menerima cawan itu dan meminum habis isinya.

Danqingsheng juga mengiringi dengan minum satu cawan, lalu menuangkan arak lagi ke dalam cawan Linghu Chong dan berkata, “Adik Feng, hatimu sangat baik sehingga tangan Ding Jian tidak sampai buntung. Biarlah aku bersulang lagi secawan padamu.”

“Ah, ini hanya kebetulan saja,” ujar Linghu Chong sambil menghabiskan isi cawan keduanya.

Danqingsheng kembali mengiringi minum secawan, lalu menuang lagi secawan dan berkata, “Cawan ketiga ini jangan kita minum dulu. Marilah kita main-main sebentar. Barangsiapa yang kalah dialah yang minum arak ini.”

“Jelas aku yang kalah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Biarlah aku meminumnya sekarang saja.”

“Jangan buru-buru!” seru Danqingsheng sambil menaruh cawan araknya di atas meja batu. Ia mengambil pedang dari tangan Ding Jian, lalu berkata, “Adik Feng, silakan mulai lebih dulu!”

Pada saat minum arak tadi diam-diam Linghu Chong menimbang-nimbang pula, “Dia mengaku mempunyai tiga kegemaran, yaitu minum arak, seni lukis, dan ilmu pedang. Maka, dapat dipastikan ilmu pedangnya tentu sangat lihai. Dari lukisan yang terpasang di ruang depan sana kulihat goresannya kuat dan cepat. Tapi sepertinya ia bersifat kurang sabaran dan suka terburu-buru. Kalau ilmu pedangnya juga begitu, tentu akan banyak celah kelemahan dapat kutemukan.”

Maka, ia pun membalas hormat sambil berkata, “Mohon Tuan Keempat sudi mengalah sedikit.”

“Tidak perlu banyak adat. Silakan!” kata Danqingsheng.

“Baik,” begitu Linghu Chong berseru, pedangnya lantas bergerak menusuk ke arah bahu lawan.

Tusukan ini tampaknya miring, geyat-geyot tak bertenaga, dan tidak sesauai dengan aturan ilmu pedang yang lazim. Belum pernah ada ilmu pedang di dunia persilatan yang memiliki jurus serangan seperti itu.

Kontan saja Danqingsheng tercengang dan berkata, “Apa-apaan ini?”

Danqingsheng memiliki wawasan sangat luas dalam persoalan ilmu pedang. Begitu mengetahui Linghu Chong adalah murid Perguruan Huashan, maka yang ia pikirkan sejak tadi adalah bermacam-macam jurus serangan ilmu pedang Huashan. Siapa sangka permainan Linghu Chong kali ini ternyata sama sekali di luar dugaannya? Serangan pertama tersebut bukan termasuk jurus pedang Huashan, bahkan sama sekali bukan termasuk jenis ilmu pedang.

Pengalaman berharga Linghu Chong saat bertemu Feng Qingyang adalah memperoleh dua ilmu istimewa, yaitu “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” dan “Ilmu Pedang Tanpa Jurus”. Kedua ilmu pedang ini saling melengkapi satu di antara yang lain. “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” sangat halus dan mendalam, dan merupakan puncak dari seni ilmu pedang. Namun demikian, secara keseluruhan, jurus-jurus di dalam ilmu pedang ini masih bisa ditelusuri. Apabila “Ilmu Pedang Tanpa Jurus” dimasukkan ke dalamnya, maka “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” semakin istimewa, bebas alami, juga gencar, tanpa mampu ditebak lagi arah gerakannya oleh pihak lawan.

Menghadapi serangan pertama yang aneh tersebut, Danqingsheng kebingungan dan merasa tidak bisa menangkisnya. Terpaksa ia mundur dua langkah untuk menghindar.

Heibaizi dan Tubiweng yang menonton mau tidak mau ikut terperanjat pula. Sewaktu Linghu Chong dapat mengalahkan Ding Jian hanya dengan satu jurus, mereka tidak terlalu heran karena bagaimanapun juga, Linghu Chong berani menantang Wisma Mei Zhuang pasti berbekal ilmu pedang yang luar biasa. Jika melawan pelayan saja ia tidak mampu, tentu hal itu akan sangat menggelikan. Namun kini hanya dengan serangan pertama ia sudah dapat membuat Danqingsheng melangkah mundur, jelas ini pemandangan yang jarang ada dan membuat kedua majikan yang lain terkesima.

Setelah mundur dua langkah Danqingsheng segera maju kembali sehingga tetap berhadapan dengan Linghu Chong pada jarak yang sama. Menyusul Linghu Chong menusuk lagi. Kali ini yang diincar adalah bahu sebelah kiri dengan cara tetap seperti tadi, geyat-geyot tidak teratur, seperti sungguh-sungguh, seperti main-main. Danqingsheng mengangkat pedang hendak menangkis. Tapi sebelum kedua pedang beradu ia menyadari arah serangan Linghu Chong sudah berubah ke sebelah kanan dan bisa-bisa melubangi iga kanannya. Maka, pada detik terakhir itulah ia berganti haluan. Sekali hentak kedua kakinya kembali melompat mundur sejauh dua meter lebih.

“Jurus pedang bagus!” serunya memuji. Bersamaan itu ia kembali menerjang maju dan menusuk secepat kilat ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong dapat melihat titik kelemahan di bawah lengan kanan Danqingsheng. Segera pedangnya pun menjulur ke depan. Jika Danqingsheng tidak segera berganti haluan tentu sikunya akan termakan lebih dulu. Namun pada dasarnya ilmu pedang Danqingsheng memang hebat. Dalam keadaan genting, pedangnya segera dibelokkan menusuk ke lantai. Dengan meminjam tenaga pentalan itulah ia lalu berjumpalitan ke belakang dan mendarat di lantai sejauh tiga-empat meter. Saat itu punggungnya sudah hampir menyentuh dinding. Apabila sedikit saja ia menambah tenaga saat bersalto ke belakang tadi, tentu tubuhnya akan menghantam dinding dan nama baiknya sebagai jago sepuh akan tercoreng. Meskipun dapat mendarat dengan sempurna, mau tidak mau muka Danqingsheng terlihat merah padam.

Sebagai seorang yang berjiwa periang dan suka bergurau, Danqingsheng sama sekali tidak gusar, tetapi justru bergelak tawa sambil mengacungkan ibu jari dan memuji, “Ilmu pedang bagus!”

Kembali ia mengayunkan pedang dengan melancarkan jurus “Pelangi Putih Menembus Cahaya Matahari”, yang kemudian berubah menjadi jurus “Angin Musim Semi Meniup Pohon Liu”, lalu berubah lagi menjadi jurus “Naga Mengangkasa, Burung Feng Terbang Tinggi”. Tiga kali serangan itu dilancarkan sekaligus menjadi satu kesatuan yang begitu halus, sampai-sampai gerakan kakinya yang bergeser tidak terlihat. Kini tahu-tahu, ujung pedangnya sudah menyambar ke muka Linghu Chong.

Linghu Chong segera memiringkan pedangnya dan memukul pelan tepat mengenai bilah pedang lawan. Pukulan ini sungguh tepat waktu dan jitu, karena saat itu Danqingsheng sedang mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya ke ujung pedang, sedangkan pada bagian bilah pedangnya kurang bertenaga.

Maka terdengarlah suara benturan logam perlahan. Pedang Danqingsheng terpukul ke bawah, sebaliknya sinar pedang Linghu Chong lantas berkelebat, tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya. Danqingsheng menjerit terkejut dan melompat ke samping kiri.

Rupanya ia belum jera juga. Kembali pedangnya berputar dan menerjang maju. Kali ini ia mengayunkan pedang sekuat tenaga dari atas sambil berseru, “Awas!” Sengaja ia memberi peringatan supaya Linghu Chong berjaga-jaga. Jurus “Naga Kumala Menggelantung” ini sangat ganas dan kuat. Kalau pihak lawan tidak berjaga-jaga bisa-bisa pertandingan persahabatan ini berakhir dengan darah yang tertumpah.

“Baik!” jawab Linghu Chong menanggapi peringatan itu. Pedangnya lantas menjungkit ke atas, dan mata pedangnya pun menyerempet lurus ke atas melalui mata pedang lawan.

Dalam keadaan demikian, jika serangan Danqingsheng diteruskan, sebelum pedangnya mengenai ubun-ubun lawan, tentu kelima jarinya sudah lebih dulu terpotong oleh pedang Linghu Chong. Tapi kepandaian Danqingsheng memang jauh lebih tinggi daripada Ding Jian. Begitu dilihatnya pedang lawan telah menempel pada batang pedangnya, terpaksa tangan kirinya memukul ke lantai. Dengan meminjam tenaga tolakan tersebut, ia berhasil melompat ke belakang sejauh dua-tiga meter. Selagi badannya masih terapung di udara pedangnya berulang-ulang berputar tiga kali sehingga berwujud tiga lingkaran sinar perak.

Lingkaran-lingkaran sinar itu mirip seperti benda hidup, berputar-putar sejenak di udara, lalu perlahan-lahan menggeser maju ke arah Linghu Chong.

Lingkaran-lingkaran sinar pedang itu sepertinya tidak selihai sinar pedang Ding Jian tadi, tapi hawa pedang ini lebih tebal dan angin dingin yang ditimbulkan membuat tubuh menggigil. Pedang Linghu Chong lantas menjulur ke depan, ditusukkan ke dalam lingkaran-lingkaran sinar tersebut. Di situlah tempat lowong antara serangan pertama Danqingsheng yang mulai lemah tenaganya dengan tenaga serangan kedua belum sempat dikerahkan. Tentu saja Danqingsheng kembali terkejut heran sambil melangkah mundur.

Lingkaran sinar pedang juga ikut berputar mundur dan menyusut, tapi tiba-tiba mengembang kembali dan meluas ke depan. Lingkaran sinar itu tampak semakin besar, dan untuk selanjutnya menerjang ke arah Linghu Chong.

Kembali Linghu Chong menusukkan pedangnya ke tengah lingkaran itu dan kembali Danqingsheng berseru heran sambil mundur lagi dan begitu sampai beberapa kali ia maju dan mundur. Semakin cepat ia menyerang maju, semakin cepat pula ia mundur. Hanya dalam waktu sekejap ia sudah menyerang sebelas kali dan mundur sebelas kali. Kumis dan janggutnya yang panjang melambai-lambai, dengan wajah seperti dilapisi cahaya kebiru-biruan karena terpantul oleh sinar pedang yang ia kerahkan.

Tiba-tiba Danqingsheng menggertak keras. Puluhan lingkaran sinar besar dan kecil serentak menerjang ke arah Linghu Chong. Inilah puncak kemahiran Danqingsheng yang tiada taranya. Ia telah mempersatukan puluhan jurus serangan menjadi satu sehingga sukar diduga oleh musuh. Setiap jurus dalam serangan gabungan itu sangat mematikan, dan masing-masing mengandung gerak perubahan yang beraneka ragam. Aapbila disatukan tentu menghasilkan kerumitan yang benar-benar sukar dipecahkan.

Namun gerakan Linghu Chong untuk mengatasinya tetap sederhana. Kembali pedangnya menusuk lemah ke depan sebatas dada. Yang dituju adalah ulu hati Danqingsheng. Lagi-lagi Danqingsheng menjerit dan melompat mundur sekuat tenaga. Kali ini ia sampai jatuh terduduk di atas meja batu, menyusul terdengar suara riuh pertanda jatuhnya cawan arak yang hancur berantakan.

Walaupun sudah kalah, tapi Danqingsheng tidak menjadi gusar. Sebaliknya, ia tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Bagus, sungguh bagus! Adik Feng, ilmu pedangmu memang jauh lebih tinggi dariku. Mari, mari, aku menyuguh kau tiga cawan lagi!”

Heibaizi dan Tubiweng telah mengetahui kalau adik keempat mereka sudah mencapai puncak tertinggi dalam ilmu pedang. Namun kini mereka menyaksikan Danqingsheng telah menyerang enam belas kali namun kedua kaki Linghu Chong tetap di berada di tempat yang ditentukan Xiang Wentian tanpa bergeser sedikit pun. Sebaliknya, adik keempat mereka justru melompat mundur sebanyak delapan belas kali. Hal ini menunjukkan betapa tinggi ilmu pedang Linghu Chong benar-benar membuat ngeri sekaligus hormat.

Sementara itu Danqingsheng sudah menuang arak dan mengajak Linghu Chong minum sebanyak tiga cawan. Ia lalu berkata, “Di antara Empat Sekawan dari Jiangnan, ilmu silatku adalah yang paling rendah. Meski aku sudah mengaku kalah, tapi Kakak Kedua dan Kakak Ketiga belum tentu mau terima. Kemungkinan besar mereka juga ingin mencoba ilmu pedangmu.”

“Kita berdua telah bertanding belasan jurus, dan satu jurus pun Tuan Keempat belum kalah. Mengapa mengatakan aku yang menang?” ujar Linghu Chong.

“Ah, sejak jurus pertama aku sudah kalah. Jurus-jurus selanjutnya sudah tidak ada artinya lagi,” kata Danqingsheng sambil menggeleng. “Biasanya Kakak Pertama mengatakan aku berjiwa sempit. Ternyata ia memang tidak salah.”

“Tuan Keempat berjiwa besar. Kekuatan minum arak pun setinggi langit,” kata Linghu Chong tertawa.

“Benar, benar! Aku hanya kuat minum. Tapi soal ilmu pedang masih kalah darimu!” seru Danqingsheng.

Padahal biasanya Danqingsheng sangat membanggakan ilmu pedangnya. Sekarang ia kalah telak di tangan seorang pemuda yang belum terkenal. Anehnya, sedikit pun ia tidak marah juga menyesal. Memiliki jiwa besar dan periang seperti ini sungguh sikap seorang manusia kelas atas. Melihat budi pekertinya yang luhur, diam-diam Xiang Wentian dan Linghu Chong menaruh kekaguman.

Tubiweng lantas berkata kepada Shi Lingwei, “Tolong ambilkan pena gundulku.”

“Baik!” jawab Shi Lingwei yang kemudian pergi mengambilkan semacam senjata untuk diserahkan kepada Tubiweng.

Linghu Chong melihat senjata itu adalah sebuah pena yang terbuat dari baja, dengan tangkai sepanjang belasan senti. Biasanya orang yang bersenjata pena memiliki ujung keras untuk menotok titik nadi. Namun pena milik Tubiweng benar-benar pena asli yang memiliki ujung terbuat dari bulu domba, bahkan ada bekas tercelup tinta hitam seperti baru saja dipakai untuk menulis.

Melihat senjata Tubiweng berujung lemas, Linghu Chong yakin ilmu silat orang ini tentu sangat istimewa dan tenaga dalamnya juga pasti sangat kuat, sehingga melalui bulu domba yang lemas itu sudah dapat untuk melukai orang.

Setelah menerima senjatanya, Tubiweng tersenyum dan berkata, “Saudara Feng, apakah kau tetap berdiri di situ tanpa berganti tempat?”

Lekas-lekas Linghu Chong mundur dua langkah dan menjawab sambil membungkuk, “Saya ingin meminta petunjuk dari Tuan Ketiga, mana berani banyak lagak?”

Danqingsheng menanggapi, “Benar, benar! Jika melawanku kau bisa tetap terpaku tanpa berpindah sedikit pun. Tapi kalau menghadapi Kakak Ketiga tentu kau tidak dapat melakukan itu.”

Tubiweng lantas mengangkat penanya dan berkata sambil tersenyum, “Beberapa jurus goresanku ini adalah mengikuti gaya tulisan para ahli kaligrafi ternama. Saudara Feng pandai ilmu silat dan sastra, tentu dapat mengenali alur goresan penaku ini. Saudara Feng sudah kami anggap sebagai sahabat. Maka, ujung penaku ini tidak perlu dicelup tinta.”

Linghu Chong terperanjat. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Apa maksudnya? Kalau aku bukan sahabat apakah ujung penanya harus dicelup tinta? Untuk apa?” Ia tidak tahu kalau tinta hitam yang digunakan Tubiweng untuk bertempur melawan musuh terbuat dari berbagai ramuan obat istimewa, yang apabila mengenai kulit manusia akan berbekas dan tidak bisa dibersihkan selama bertahun-tahun, bahkan dikerik menggunakan pisau juga tetap sulit dihilangkan. Dahulu ketika sejumlah jago persilatan bermusuhan dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, mereka merasa pena gundul Tubiweng inilah yang paling memusingkan. Asal lengah sedikit saja, maka pena gundul itu akan mencoreng-coreng wajah mereka membentuk palang, garis, bahkan tulisan. Hal ini tentu saja menjadi suatu penghinaan besar. Bagi mereka, lebih baik dibacok golok atau dibuntungi sebelah lengannya daripada muka dicoreng-coreng seperti itu.

Saat pertandingan melawan Ding Jian dan Danqingsheng tadi, Tubiweng melihat Linghu Chong selalu bersikap jujur dan bermurah hati. Maka, ia sengaja tidak mencelupkan pena gundulnya untuk membalas penghormatan dari pemuda itu. Meskipun tidak paham maksudnya, tapi Linghu Chong dapat menduga pihak lawan tentu bermaksud baik kepadanya. Maka, sambil membungkuk ia berkata, “Terima kasih banyak. Hanya saja saya ini kurang berpendidikan, sehingga tulisan Tuan Ketiga mungkin sulit untuk saya kenali.”

Tubiweng agak kecewa. Ia berkata, “Kau tidak paham seni kaligrafi? Baiklah, jika begitu biar kujelaskan dulu kepadamu. Goresan-goresan penaku ini disebut ‘Syair Jenderal Pei’, yaitu perubahan-perubahannya berdasarkan pada kitab kaligrafi Yang Zhenqing. Seluruhnya ada dua puluh tiga huruf, dan pada setiap huruf terdapat tiga sampai enam belas goresan. Hendaklah kau perhatikan dengan baik! Begini bunyinya: ‘Jenderal Pei! Penguasa enam penjuru, jenderal perwira yang membersihkan sembilan ladang. Kuda perangnya bagai naga dan harimau. Betapa gagahnya menunggang mendaki bukit!’”

“Terima kasih banyak atas petunjuk Tuan Ketiga,” jawab Linghu Chong. Diam-diam ia berpikir, “Peduli apa kau akan menulis syair atau kaligrafi segala? Aku tetap tidak paham sama sekali.”

Segera Tubiweng mengangkat penanya yang besar kemudian menotol tiga kali ke arah pipi Linghu Chong. Ini adalah tiga titik permulaan dari huruf “pei”. Tiga kali serangan ini hanya gerak tipu saja. Ketika penanya diangkat hendak menggores dari atas ke bawah, tiba-tiba pedang Linghu Chong sudah menyambar lebih dulu ke bahu kanannya.

Tubiweng tidak punya piihan lain kecuali harus menarik penanya ke bawah untuk menangkis serangan itu. Namun pedang Linghu Chong juga sudah ditarik kembali. Senjata kedua orang itu belum sampai terbentur, dan yang mereka mainkan tadi hanya serangan kosong belaka. Namun Tubiweng tadi baru menjalankan setengah gerakan pertama dari “Syair Jenderal Pei” dan belum lengkap ia selesaikan.

Sesudah penanya menangkis tempat kosong, Tubiweng segera melancarkan jurus kedua. Namun Linghu Chong tidak memberinya kesempatan untuk bergerak lebih dulu. Pedangnya langsung menyerang ke celah yang terbuka dan harus dipertahankan pihak lawan, membuat Tubiweng mau tidak mau harus mengayunkan penanya ke belakang untuk menangkis. Namun pedang Linghu Chong tahu-tahu sudah ditarik kembali. Pada jurus kedua ini pun Tubiweng tidak bisa menuntaskannya dengan sempurna, hanya setengah jalan saja.

Tubiweng merasa sangat kesal karena kedua jurus serangannya sudah diputus oleh Linghu Chong, sehingga serangkaian kaligrafi yang sangat dibanggakannya itu tidak dapat ia selesaikan. Ini seperti seorang sastrawan yang baru saja mengangkat pena untuk menulis, tahu-tahu diganggu seorang anak kecil yang datang mengacau sehingga tuliannya menjadi hancur berantakan.

Dalam hati Tubiweng berpikir, “Aku telah membacakan ‘Syair Jenderal Pei’ kepadanya, sehingga ia bisa menebak ke arah mana penaku akan bergerak. Baiklah, untuk selanjutnya aku akan menulis secara tidak berurutan.”

Karena berpikir demikian, Tubiweng segera berganti haluan. Penanya bergerak dari pojok kanan atas menyerong ke pojok kiri bawah dengan tenaga penuh. Rupanya yang ia gores adalah huruf “ji” dalam gaya caoshu yang terkesan sembarangan. Namun pedang Linghu Chong tetap menusuk ke depan, menuju ke iga kanan. Tubiweng terkejut, dan penanya menangkis ke bawah dengan cepat. Ternyata tusukan Linghu Chong itu tetap hanyalah serangan tipuan belaka. Lagi-lagi jurus serangan Tubiweng hanya sempat dimainkan setengah saja.

Sebenarnya coretan-coretan Tubiweng selalu diikuti dengan tenaga penuh dan semangat tinggi. Namun sampai di tengah jalan mendadak terhalang, bahkan berganti haluan. Akibatnya, tenaga dalam pun ikut beralih. Hal ini membuat napasnya terasa sesak dan darah di dalam rongga dada menjadi bergolak hebat dan sungguh menyakitkan.

Setelah mengambil napas panjang, Tubiweng kembali memutar cepat penanya untuk menulis huruf “teng”. Namun, lagi-lagi Linghu Chong menggagalkan serangannya di tengah jalan. Tubiweng menjadi gusar dan membentak, “Kurang ajar, kau mengacau saja!”

Segera penanya berputar lebih cepat. Namun tetap saja, paling banyak ia hanya dapat menggores dua kali, setelah itu selalu ditutup mati jalannya oleh pedang Linghu Chong. Tubiweng menggertak sekali, gaya tulisannya segera berubah, tidak lagi menulis liar seperti tadi, tapi mencoret ke sana ke sini dengan tebal dan kuat penuh tenaga. Sudut-sudutnya tajam bagaikan pedang dan terlihat sangat lugas.

Linghu Chong tidak tahu kalau gaya tulisan ini adalah menirukan “Prasasti Gunung Bameng” yang ditulis oleh Zhang Fei, panglima perkasa Kerajaan Shu Han pada Zaman Tiga Negara. Pemuda itu hanya dapat melihat kalau gaya tulisannya sudah berbeda dari yang tadi. Pada dasarnya ia tidak peduli tipu serangan apa yang dilancarkan pihak lawan. Asalkan pena Tubiweng bergerak, segera ia mendahului menyerang titik kelemahannya. Tubiweng berteriak keras-keras dengan perasaan kesal. Namun bagaimanapun juga tetap saja setiap tulisannya tidak dapat diselesaikan dengan baik, hanya setengah jalan saja sudah gagal.

Kembali gaya tulisannya berubah lagi. Kali ini ia menulis dengan gaya caoshu dalam karya “Riwayat Pribadi Huai Shu” dari zaman Dinasti Tang. Pena di tangannya bergerak cepat dan bebas, berputar-putar tanpa aturan. Sambil menyerang ia berpikir, “Gaya caoshu dalam kaligrafi Huai Shu memang sulit dibaca, dan kini akan aku buat semakin sulit dibaca. Aku yakin bocah ini tidak akan mampu mengatasi gaya kuangcao ciptaanku.”

Rupanya Tubiweng tidak tahu kalau pada hakikatnya Linghu Chong tidak ambil pusing terhadap gaya kaligrafi jenis apa pun yang dimainkan olehnya. Ia mengira Linghu Chong dapat mematahkan gerak tulisannya karena pemuda itu dapat membaca ke arah mana pena di tangannya akan bergerak. Padahal Linghu Chong sama sekali tidak paham mengenai tulisan indah atau apa pun itu. Yang ia lihat di tangan Tubiweng bukanlah pena, melainkan senjata yang harus diserang titik-titik lemahnya pada setiap gerakan.

Setelah jurus terakhir mengalami kegagalan pula, rasa gusar Tubiweng pun mencapai puncaknya. Tiba-tiba ia berteriak-teriak, “Sudahlah, aku tidak mau bertanding lagi! Aku tidak mau bertanding lagi!”

Bersamaan itu ia melompat mundur. Gentong arak anggur milik Danqingsheng diangkatnya dan dituang isinya hingga memenuhi meja catur. Penanya yang besar itu dicelup pada cairan yang membasahi meja, lalu mulai digunakan untuk menulis pada dinding ruangan yang putih. Yang ia tulis adalah “Syair Jenderal Pei” tadi. Seluruhnya ada dua puluh tiga huruf ditulisnya dengan hidup dan penuh semangat, terutama pada huruf “ruo” yang mirip seekor naga terbang ke angkasa.

Usai menulis barulah ia menghembuskan napas lega dan tertawa terbahak-bahak. Kepalanya lalu sedikit dimiringkan untuk mengamat-amati kembali tulisannya sendiri yang berwarna kuning gading seperti minyak itu. “Bagus sekali, bagus sekali! Selama hidupku, tulisan inilah hasil karyaku yang paling bagus!” pujinya kepada diri sendiri dengan puas.

Semakin memandangi tulisannya, hati Tubiweng semakin bangga. Ia lalu berkata kepada Heibaizi, “Kakak Kedua, berikanlah kamar catur ini kepadaku. Aku merasa berat berpisah dengan tulisan ini. Aku khawatir setelah ini aku tidak mampu lagi menghasilkan tulisan sebagus ini.”

“Boleh saja,” jawab Heibaizi. “Dalam kamarku ini hanya terdapat sebuah meja catur dan tiada benda lain. Seandainya kau tidak meminta juga aku tetap akan pindah dari sini. Huh, melihat tulisanmu yang besar-besar seperti naga dan burung feng itu, mana bisa aku tenang bermain catur?”

Tubiweng mengangguk-angguk puas dan kembali memuji tulisannya, “Andaikan Adipati Yan dari Lu hidup kembali, belum tentu ia bisa membuat kaligrafi seindah ini.” Kemudian ia berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Saudara Feng, berkat ilmu pedangmu yang memaksa diriku, segenap ilham kaligrafi yang terpendam di dalam perut seketika membanjir keluar dan jadilah tulisan indah yang tiada bandingannya ini. Di muka bumi tidak ada kaligrafi sebagus ini. Ilmu pedangmu memang bagus, tulisanku juga bagus. Ini namanya masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri. Di antara kita tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kita seri!”

“Benar, masing-masing mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah,” tukas Xiang Wentian.

“Dan ini juga berkat arak anggurku yang lezat,” sambung Danqingsheng.

Heibaizi terlihat serbasalah dan berkata, “Adik Ketiga memang polos dan kekanak-kanakan. Ia suka lupa daratan jika sudah bicara tentang kaligrafi. Sama sekali bukan maksudnya untuk mengingkari kekalahan.”

“Aku paham,” ujar Xiang Wentian. “Lagipula taruhan kita adalah di dalam Wisma Mei Zhuang ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng. Seandainya kedua pihak dinyatakan seri, tetap saja pihak kami tidak dinyatakan kalah taruhan.”

“Benar,” kata Heibaizi mengangguk. Ia lalu mengulurkan tangannya ke bawah meja batu dan menarik keluar lempengan besi berbentuk papan segi empat. Pada permukaan papan itu terukir sembilan belas garis jalur catur. Rupanya benda itu adalah sebuah papan catur yang terbuat dari besi. Sambil memegangi ujung papan catur tersebut, Heibaizi lantas berkata, “Saudara Feng, papan catur ini adalah senjataku. Mohon petunjuk darimu mengenai langkah-langkah yang hebat.”

Xiang Wentian menyahut, “Kabarnya papan catur Tuan Kedua ini adalah sebuah benda pusaka yang dapat menyedot bermacam-macam senjata musuh.”

Heibaizi menatap tajam ke arah Xiang Wentian untuk beberapa saat, lalu berkata, “Saudara Tong benar-benar berwawasan luas dan berpengetahuan tinggi. Sangat kagum, aku sangat kagum kepadamu. Sebenarnya senjataku ini bukan benda pusaka, hanya terbuat dari besi sembrani yang dapat menghisap biji-biji catur yang terbuat dari besi supaya tidak jatuh terguncang ketika dulu aku suka bercatur dengan orang di atas punggung kuda atau sambil menumpang perahu. Ada guncangan apa pun tidak akan membuat posisi biji-biji catur berantakan.”

“Oh, ternyata begitu,” kata Xiang Wentian.

Sambil mendengar dengan seksama, diam-diam Linghu Chong berpikir, “Untung saja Kakak Xiang memberi petunjuk. Jika tidak, bisa-bisa pedangku langsung tertarik oleh papan caturnya. Kalau sudah demikian, tanpa bertanding aku langsung dinyatakan kalah. Untuk bertanding melawan orang ini, aku tidak boleh membiarkan pedangku bersentuhan dengan senjatanya.”

Ia lalu memberi hormat dan berkata, “Mohon Tuan Kedua sudi memberi petunjuk!”

“Ilmu pedang Saudara Feng sangat hebat, seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan,” ujar Heibaizi. “Silakan kau mulai lebih dulu!”

Tanpa bicara lagi Linghu Chong lantas memutar pedangnya dengan ringan, kemudian secara melingkar-lingkar pedangnya bergetar dan menusuk ke depan.

Heibaizi tertegun dan berpikir, “Jurus macam apa ini?”

Melihat ujung pedang Linghu Chong telah mengarah ke tenggorokannya, segera ia mengangkat papan catur untuk menangkis. Namun cepat sekali Linghu Chong sudah memutar ujung pedangnya untuk menusuk bahu kanan lawan. Kembali Heibaizi berusaha menangkis, tapi di tengah jalan Linghu Chong sudah menarik kembali pedangnya kemudian menusuk ke arah perutnya.

Heibaizi berusaha menangkis lagi sambil berpikir, “Jika aku tidak balas menyerang, bagaimana aku bisa mendahului langkah?”

Menurut teori catur, kemenangan dapat diperoleh dari keberhasilan mendahului langkah musuh. Dalam ilmu silat juga begitu; mendahului langkah musuh sangatlah penting. Sebagai seorang ahli catur sudah tentu Heibaizi paham apa artinya mendahului menyerang. Maka ia tidak mau melulu bertahan saja. Segera ia mengangkat papan caturnya dan menghantam ke arah bahu kanan Linghu Chong.

Papan catur itu berbentuk segi empat dengan luas sekitar setengah meter persegi, dan tebalnya kira-kira dua senti, tergolong semacam senjata berat. Andaikan papan itu terbuat dari besi biasa yang tidak punya kemampuan menghisap, tetap saja dapat menghantam pedang sampai patah.

Linghu Chong hanya sedikit mengelak saja, bersamaan pedangnya menusuk miring ke arah iga kanan lawan. Maksud hati ingin mendahului menyerang, namun Heibaizi melihat pihak lawan justru melancarkan serangan juga. Meskipun terlihat sepele, tapi tusukan Linghu Chong mengarah ke titik yang harus dipertahankan. Maka, dengan cepat ia memutar papan catur untuk menangkis, menyusul dengan sodokan ke depan. Jurus ini merupakan jurus bertahan sekaligus menyerang. Kalau pihak lawan menanggapi jurus ini, maka serangan-serangan selanjutnya akan membanjir dengan cepat.

Di luar dugaan, Linghu Chong sama sekali tidak peduli terhadap jurus Heibaizi tersebut. Ia lebih dulu membelokkan pedang dan kembali menyerang ke atas. Akibatnya, jurus Heibaizi hanya berhenti pada posisi bertahan, sedangkan serangan lanjutan putus di tengah jalan.

Begitulah, berturut-turut Linghu Chong melancarkan serangan sampai lebih dari empat puluh kali. Heibaizi dipaksa menangkis ke kiri dan ke kanan, menjaga bagian depan dan belakang.  Ia bertahan dengan begitu rapat, seakan lalat pun tak bisa masuk. Ternyata dalam pertandingan itu Heibaizi dipaksa bertahan melulu tanpa sempat membalas serangan.

Tubiweng, Danqingsheng, Ding Jian, dan Shi Lingwei tercengang menyaksikan pertarungan keduanya. Mereka dapat melihat dengan jelas bahwa ilmu pedang Linghu Chong itu sebenarnya tidak terlalu cepat, juga tidak teramat ganas. Perubahan-perubahan gerakannya tidak terlalu istimewa, tapi setiap serangannya selalu membuat Heibaizi merasa kewalahan dan terpaksa harus melindungi titik-titik yang terbuka pada tubuhnya.

Tubiweng dan Danqingsheng memahami bahwa pada setiap jurus pasti ada kelemahannya. Namun kalau seseorang dapat mendahului menyerang titik lemah lawan, tentu titik lemah sendiri tak harus menjadi kelemahan. Meskipun seseorang mempunyai ribuan titik lemah, hal ini tidak akan banyak berarti jika ia lebih dulu menyerang secara gencar. Apa yang dilakukan Linghu Chong, yaitu menyerang secara susul-menyusul sampai empat puluh kali lebih adalah berdasarkan prinsip ini.

Heibaizi sendiri jelas merasa cemas. Ingin sekali ia menyerang balik, namun begitu papan caturnya bergerak sedikit saja, ujung pedang Linghu Chong langsung mengarah ke titik lemahnya yang terbuka. Dalam pertarungan empat puluh jurus lebih itu, ia sama sekali tidak bisa menyerang balik. Apa yang ia alami seperti sedang bermain catur melawan seorang lawan yang jauh lebih cerdas. Ketika lawan melakukan lebih dari empat puluh langkah secara susul-menyusul, ia terpaksa hanya mengikuti langkah-langkah itu dan sama sekali tak dapat berbuat menurut kehendak hatinya sendiri.

Dalam pertarungan seperti ini, meskipun diteruskan sampai seratus atau dua ratus jurus lagi juga tidak ada artinya. Heibaizi tetap berada di pihak yang terserang melulu. Diam-diam ia berpikir, “Kalau hari ini aku tidak berani menempuh bahaya, maka nama besarku yang sudah kubangun seumur hidup akan hancur berantakan.”

Berpikir demikian membuat Heibaizi nekat mengayunkan papan caturnya untuk menghantam pinggang kiri Linghu Chong. Namun Linghu Chong tidak berkelit, juga tidak menghindar. Sebaliknya, ia tetap menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kali ini Heibaizi tidak lagi menarik papan caturnya untuk membela diri, tapi tetap menghantamkannya ke depan. Sepertinya ia sudah berniat mengadu jiwa, hancur bersama. Ketika ujung pedang semakin mendekat, ia pun menjulurkan tangan kirinya untuk menjepit senjata lawan tersebut menggunakan jari tengah dan telunjuknya. Ia telah mempelajari ilmu Jari Langit Mahasakti, membuat jari-jari tangannya kuat bagaikan baja.

Melihat Heibaizi nekat mengambil risiko, kelima penonton sampai berseru kaget. Mereka merasa pertarungan kali ini sudah bukan lagi pertandingan persahabatan, tapi lebih mirip pertarungan hidup dan mati. Jika jepitan jari Heibaizi meleset, tentu pedang Linghu Chong akan terus meluncur menembus perutnya. Membayangkan itu mereka berlima sama-sama menahan napas dengan keringat dingin membasahi tangan.

Kedua jari tangan Heibaizi sudah hampir menyentuh ujung pedang. Tak peduli jepitan itu berhasil atau tidak, seseorang pasti akan celaka. Jika jepitan itu tepat, maka pedang Linghu Chong akan terhenti dan pinggangnya yang akan terhantam papan catur. Sebaliknya, jika jepitan itu meleset –atau bisa menjepit tetapi tidak kuat menahan tenaga tusukan pedang tersebut– maka Heibaizi sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk menghindar atau melompat mundur, sehingga perutnya bisa dipastikan akan berlubang.

Namun apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Tepat ketika jari Heibaizi sudah hampir menyentuh pedang Linghu Chong, tiba-tiba ujung pedang itu mengungkit ke atas dan berganti menusuk ke arah tenggorokan.

Perubahan ini sama sekali tidak terbayangkan oleh siapa pun juga. Dalam ilmu silat dari zaman dulu hingga sekarang belum pernah ada jurus serangan semacam ini. Ternyata tusukan pertama ke arah perut tadi hanyalah serangan palsu, yang nilainya hanya lelucon kalau dipakai dalam pertarungan para jago. Apa yang dilakukan Linghu Chong memang di luar aturan ilmu pedang, namun jelas sangat berbahaya. Dalam keadaan demikian jika papan catur Heibaizi tetap dihantamkan ke depan, maka tenggorokannya pasti lebih dulu tertembus oleh pedang lawan.

Sebagai seorang ahli catur, Heibaizi terbiasa berpikir cepat. Ia menduga jika papan caturnya itu tidak jadi dihantamkan ke pinggang lawan, tentu ujung pedang juga tidak akan menusuk ke depan lagi. Ternyata memang benar. Ketika ia menahan papan caturnya sehingga berhenti mendadak, Linghu Chong juga segera menghentikan laju pedangnya. Jarak ujung pedangnya dengan tenggorokan Heibaizi saat itu hanya tinggal satu sampai dua senti saja. Sebaliknya, jarak papan catur Heibaizi dengan pinggangnya juga sekitar empat sampai lima senti. Keduanya sama-sama berdiri diam tanpa bergerak sedikit pun.

Meskipun kedua pihak sama-sama tidak sudi mengalah, para penonton dapat melihat Linghu Chong berada di atas angin. Papan catur adalah senjata berat. Untuk bisa melukai musuh sedikitnya harus dihantamkan dari jarak satu atau setengah meter, sedangkan saat ini jaraknya dengan tubuh lawan terlalu dekat; sehingga meski disodokkan dengan kuat, paling-paling hanya membuat sakit sedikit. Sebaliknya, pedang Linghu Chong cukup didorong perlahan saja sudah bisa membuat tenggorokan Heibaizi berlubang.

Namun demikian, Xiang Wentian berkata dengan tertawa, “Masing-masing tidak berani mendahului bergerak. Dalam seni catur, keadaan seperti ini disebut ‘shuang huo’ atau ‘remis’. Tuan Kedua memang cerdas dan pemberani. Pertarungan kali ini tidak ada yang menang atau kalah.”

Linghu Chong lantas menarik kembali pedangnya dan melangkah mundur sambil berkata, “Mohon maaf, Tuan Kedua!”

Heibaizi berkata, “Saudara Tong pandai bercanda. Kenapa kau sebut ini remis? Ilmu pedang Saudara Feng teramat lihai. Aku sudah kalah habis-habisan.”

Danqingsheng tiba-tiba menyahut, “Hei, Kakak Kedua, bukankah kau punya senjata rahasia berupa biji catur yang terkenal di dunia persilatan? Sebanyak 361 biji hitam-putih jika ditebarkan sekaligus maka tiada seorang pun mampu menangkisnya. Mengapa kau tidak mencoba kepandaian Saudara Feng dalam menghalau senjata rahasia?”

Tergerak juga hati Heibaizi mendengar saran itu. Ia kemudian melihat Xiang Wentian yang manggut-manggut perlahan-lahan dengan yakin. Sewaktu melirik ke arah Linghu Chong, tampak pemuda itu hanya tenang-tenang saja, sama sekali tidak berubah raut wajahnya. Maka ia pun berpikir, “Ilmu pedang orang bermarga Feng ini sungguh hebat. Jangan-jangan di dunia tidak ada yang mampu mengunggulinya. Mereka berdua tetap terlihat penuh percaya diri, sama sekali tidak gentar sedikit pun. Andaikan aku bertanding senjata rahasia mungkin hanya akan menambah malu saja.”

Maka, sambil menggelengkan kepala Heibaizi pun tersenyum dan berkata, “Tidak, tidak. Aku sudah mengaku kalah, untuk apa bertanding senjata rahasia segala?”

Linghu Chong melawan Tubiweng.

Linghu Chong melawan Heibaizi.

(Bersambung)