Bagian 56 - Gadis Suci Sekte Iblis

Yingying si Gadis Suci dari Sekte Iblis.

Melihat Linghu Chong diam saja, gadis itu kembali bicara, “Kau marah lagi, ya? Seorang laki-laki sejati mengapa begitu sempit jalan pikirannya?”

“Aku tidak marah. Aku hanya takut dibunuh olehmu,” jawab Linghu Chong.

“Asalkan untuk selanjutnya kau tidak sembarangan bicara, siapa pula yang akan membunuhmu?” kata si nona.

“Sifatku memang suka ugal-ugalan seperti ini. Tampaknya sudah menjadi suratan takdir bahwa aku akan mati di tanganmu. Apa boleh buat?” ujar Linghu Chong.

“Tadi sewaktu kau masih memanggil ‘Nenek’ kepadaku, sikapmu sangat patuh dan penuh hormat. Untuk selanjutnya, kau harus tetap hormat dan patuh seperti tadi,” kata gadis itu dengan tersenyum manis.

“Tidak bisa!” sahut Linghu Chong sambil menggeleng. “Setelah aku tahu kalau kau hanya seorang gadis cilik, maka aku tidak bisa menganggapmu sebagai nenek lagi.”

“Kau … kau ….” belum selesai ucapannya, tiba-tiba wajah gadis itu berubah merah. Entah kenapa tiba-tiba ia teringat sesuatu sehingga tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Linghu Chong menundukkan kepala dan melihat wajah gadis yang sedang tersipu malu itu tampak begitu cantik. Seketika perasaannya pun terguncang. Tanpa sadar ia lalu mencium pipi si nona yang sedang merona merah tersebut. Kontan saja gadis itu terperanjat. Tiba-tiba saja timbul kekuatan entah dari mana yang membuatnya mampu mengangkat tangan dan menampar muka Linghu Chong dengan cukup keras, menyusul kemudian ia pun melompat bangun.

Akan tetapi, lompatan gadis itu terlalu lemah, sehingga tubuhnya kembali jatuh ke dalam pangkuan Linghu Chong dengan keadaan semakin lemas dan tidak sanggup bergerak lagi.

Gadis itu sangat takut kalau-kalau Linghu Chong berbuat lancang lagi. Dengan perasaan cemas, ia berkata terputus-putus, “Jika … jika kau berani berbuat kurang ajar lagi, aku akan segera … segera membunuhmu.”

“Kau akan membunuhku atau tidak, juga bukan masalah bagiku. Tidak lama lagi nyawaku pun akan segera melayang. Aku justru ingin berbuat kurang ajar lagi,” jawab Linghu Chong menggoda.

Tentu saja gadis itu bertambah khawatir. Ia hanya bisa berkata, “Aku … aku ….” Tenaganya begitu lemah untuk dapat bangkit dan melawan.

Linghu Chong mengerahkan tenaga sekuatnya dan perlahan-lahan mengangkat bahu si nona. Ia kemudian memiringkan tubuhnya sendiri dan menggelinding ke pinggir sehingga berpisah dengan gadis itu. Sambil tertawa ia berkata, “Bagaimana … keadaanmu?” Kemudian mulutnya terbatuk-batuk sampai mengeluarkan darah segar.

Sebenarnya Linghu Chong hanya menggoda saja. Melihat kecantikan gadis itu, hatinya sempat terpikat sehingga tanpa sadar berbuat lancang mencium pipi satu kali. Namun demikian, ia langsung menyesal, dan semakin menyesal ketika gadis itu membalas dengan tamparan, karena memang perbuatan itu tidak pantas dilakukan. Walaupun ia tetap keras kepala tidak mau mengakui kesalahannya, namun ia juga tidak berani lagi dekat-dekat dengan gadis itu.

Di lain pihak, hati si nona menjadi terkejut bercampur lega melihat Linghu Chong berguling ke samping dengan tenaga sendiri. Namun begitu melihat pemuda itu muntah darah, ia langsung merasa kasihan. Hanya saja, ia merasa malu untuk meminta maaf dan merasa perlu untuk menjaga harga diri. Dengan suara lembut, ia hanya berkata, “Apakah … apakah dadamu terasa sakit?”

“Dada tidak sakit, tapi bagian tubuh yang lain terasa sakit,” jawab Linghu Chong.

“Bagian mana yang sakit?” tanya gadis itu. Suaranya terdengar penuh perhatian.

“Bagian ini,” jawab Linghu Chong sambil mengusap pipinya yang terkena tamparan tadi.

Si nona tersenyum. “Kau ingin aku minta maaf padamu, bukan? Baiklah, sekarang juga aku … aku minta maaf kepadamu.”

“Aku sendiri yang salah. Mohon Nenek maafkan aku,” jawab Linghu Chong.

Mendengar dirinya dipanggil lagi sebagai nenek, gadis itu tak kuasa menahan geli. Ia pun tertawa cekikikan.

“Bagaimana dengan obat busuk pemberian si biksu tua? Kau belum meminumnya, bukan?” tanya Linghu Chong.

“Tidak sempat lagi. Masih ketinggalan di sana,” jawab si nona sambil menunjuk ke atas tebing. Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Akan kuturuti permintaanmu. Aku akan naik ke atas untuk mengambilnya kembali dan akan kuminum tanpa peduli apakah obat itu busuk atau tidak?”

Begitulah, kedua orang itu hanya bisa berbaring bersama di tepi sungai kecil itu. Jika dalam keadaan biasa, cukup sekali loncat saja mereka sudah bisa mendaki ke atas bagaikan terbang. Namun sekarang tebing itu terasa bagaikan puncak terjal yang tingginya mencapai ribuan meter dan sukar didaki. Keduanya memandang sejenak ke atas, kemudian saling pandang dan sama-sama menghela napas.

“Aku akan bersemadi sebentar, jangan kau ganggu aku,” kata si nona.

“Baik!” jawab Linghu Chong. Dilihatnya gadis itu telah duduk bersandar di tanah yang miring tersebut sambil memejamkan kedua mata. Tiga jarinya, yaitu ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah menekan di atas tanah dengan gaya yang aneh.

Diam-diam Linghu Chong merenung, “Umumnya orang bersemadi dengan duduk bersila. Tapi cara duduknya ini benar-benar lain dari yang lain.”

Sebenarnya Linghu Chong juga ingin beristirahat sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Namun hawa murni dalam tubuhnya terus saja bergolak, sehingga perasaannya sulit dibuat tenang.

Tiba-tiba terdengar suara seekor kodok hijau yang kemudian melompat keluar dari dalam sungai. Kontan saja Linghu Chong merasa gembira. Setelah semua hal yang ia alami hari ini, sekarang perutnya terasa sangat lapar. Makanan lezat yang disodorkan kepadanya ini benar-benar suatu keberutungan baginya. Tanpa pikir lagi tangannya pun menjulur berusaha mencengkeram kodok hijau tersebut.

Tak disangka tenaganya masih sangat lemah, lengan pun terasa nyeri tak berdaya. Cengkeramannya itu ternyata hanya mengenai tempat kosong. “Kok”, bunyi kodok itu yang kemudian melompat pergi seakan-akan mengejek ketidakbecusan Linghu Chong.

Linghu Chong pun menghela napas. Yang lebih menjengkelkan lagi adalah di tepi sungai kecil itu ternyata banyak terdapat kodok hijau yang gemuk-gemuk. Seekor melompat pergi segera datang pula dua ekor yang lain. Namun Linghu Chong tetap tidak mampu menangkapnya meski tangannya sudah menubruk ke sini dan menyambar ke sana.

Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang menjulur sebuah tangan yang putih dan halus. Sekali tangkap dengan perlahan tahu-tahu seekor kodok hijau sudah dicengkeramnya. Begitu Linghu Chong menoleh, ternyata itu tangan si nona. Hanya duduk semadi sebentar saja kini ia sudah bisa bergerak lagi. Walaupun tenaganya masih lemah, tapi untuk menangkap beberapa ekor kodok bukanlah pekerjaan yang sulit baginya.

“Bagus sekali!” seru Linghu Chong girang. “Kita akan menikmati daging kodok bakar.”

Nona itu tersenyum. Sekali tangannya menjulur, kembali tertangkap seekor kodok. Hanya sekejap saja ia sudah menangkap lebih dari dua puluh ekor kodok hijau.

“Sudah cukup!” seru Linghu Chong. “Tolong kau pergi mencari ranting kayu dan membuat api, biar aku saja yang menyembelih kodok-kodok ini.”

Gadis itu menurut dan segera pergi. Linghu Chong lantas mencabut pedang untuk memotong kepala dan membuang isi perut kodok-kodok itu, lalu mengulitinya satu per satu.

Melihat itu si nona tertawa, “Hihihihi. Pepatah mengatakan, ‘Untuk apa menyembelih ayam menggunakan golok penyembelih kerbau?’, tapi Pendekar Besar Linghu menyembelih kodok menggunakan ilmu Sembilan Pedang Dugu.”

Linghu Chong terbahak-bahak pula, “Hahahaha. Jika Sesepuh Dugu di alam sana mengetahui bahwa ahli warisnya ternyata begini bodoh, menyalahgunakan ilmu pedangnya yang mahasakti untuk menyembelih kodok, wah, mungkin beliau bisa marah ….” Sebenarnya ia hendak mengatakan “marah setengah mati”, tapi segera diurungkannya.

Dengan masih tertawa si nona berkata, “Pendekar Besar Linghu ….”

Sambil memegangi kodok yang telah disembelihnya, Linghu Chong berkata, “Sebutan ‘Pendekar Besar’ sama sekali aku tidak berani menerima. Di dunia ini mana ada pendekar besar menyembelih kodok?”

“Kalau di zaman dulu ada Jenderal Fan Kuai, seorang kesatria yang pernah menjadi jagal anjing, maka di zaman sekarang tidak boleh ada pendekar besar tukang sembelih kodok?” balas si nona dengan tertawa. “Eh, ilmu Sembilan Pedang Dugu benar-benar hebat, sampai-sampai biksu tua dari Shaolin tadi tidak mampu melawanmu. Dia bilang orang yang mengajarkan ilmu pedang itu kepadamu adalah sesepuh bermarga Feng yang pernah berbuat baik kepadanya. Sebenarnya bagaimana duduk perkara masalah ini?”

“Orang yang mengajarkan ilmu Sembilan Pedang Dugu kepadaku adalah angkatan tua dari Perguruan Huashan kami sendiri,” jawab Linghu Chong.

“Ilmu pedang sesepuh itu sungguh hebat bagaikan dewa, mengapa di dunia persilatan tidak pernah terdengar namanya?” tanya si nona.

“Ini … ini karena … ah, aku sudah berjanji kepada Beliau untuk tidak membocorkan jejaknya. Aku … aku ….” Kata Linghu Chong gugup.

“Huh, memangnya aku ingin tahu?” sahut si nona mendengus. “Biarpun kau memberi tahu kepadaku juga aku tidak sudi mendengarkan. Apakah kau sendiri tahu siapa aku ini dan bagaimana asal-usulku?”

“Aku tidak tahu,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng. “Sampai-sampai nama Nona juga aku belum mengetahuinya.”

“Kau sengaja merahasiakan urusanmu, maka aku juga tidak mau memberi tahu urusanku kepadamu,” kata si nona.

“Meski aku tidak tahu, tapi aku dapat menebak sampai delapan atau sembilan puluh persen,” kata Linghu Chong.

Si nona terlihat penasaran dan berkata, “Kau dapat menebak? Bagaimana bisa?” tanya si nona dengan wajah penasaran.

“Sekarang masih belum tahu, kalau sudah malam baru aku bisa tahu dengan jelas,” kata Linghu Chong.

Si nona bertambah heran dan terkejut. Ia bertanya, “Mengapa setelah malam kau baru tahu dengan jelas?”

Linghu Chong menjawab, “Aku akan menengadah ke langit untuk menghitung bintang. Bila ada bintang yang kurang, maka bintang itulah yang telah turun ke bumi menjelma menjadi Nona. Gadis secantik bidadari seperti dirimu, mana mungkin berasal dari dunia fana ini?”

Wajah si nona merona merah. “Huh!” katanya. Meski begitu hatinya merasa senang. Ia berkata, “Kau kembali mengoceh sembarangan.”

Pada saat itu ia sudah menyalakan api. Segera ia menyunduk kodok-kodok yang telah dibersihkan itu menggunakan ranting kayu, lalu dipanggangnya di atas api unggun. Ketika lemak kodok menetes di atas api, terdengar suara berisik yang diikuti bau sedap menyeruak pula.

Sambil memandangi asap yang mengepul dari api unggun, perlahan-lahan si nona berkata, “Aku bernama Yingying. Sekarang aku memberi tahu dirimu, entah kelak kau masih ingat atau tidak?”

“Yingying? Namamu sangat bagus dan enak didengar,” ujar Linghu Chong. “Bila sejak dulu aku mengetahui namamu Yingying, tentu aku tidak akan memanggil Nenek.”

“Kenapa?” tanya Yingying.

“Sebab Yingying jelas nama seorang gadis kecil, tidak pantas menjadi nama nenek-nenek peot,” jawab Linghu Chong.

“Kelak jika aku sudah tua, aku tidak akan mengganti nama dan tetap bernama Yingying,” kata gadis itu.

“Kau tidak bisa menjadi nenek-nenek. Kau begitu cantik. Sampai usia delapan puluh juga masih tetap seperti gadis kecil yang sangat cantik,” ujar Linghu Chong.

“Wah, berarti menurutmu aku ini siluman?” sahut Yingying sambil tertawa. Selang sejenak, ia menyambung dengan sungguh-sungguh, “Aku sudah beri tahukan siapa namaku. Selanjutnya kau tidak boleh sembarangan memanggilku.”

“Mengapa?” tanya Linghu Chong.

“Tidak boleh ya tidak boleh,” kata Yingying galak. “Aku tidak suka.”

Linghu Chong menjulurkan lidah dan berkata, “Wah, ini tidak boleh, itu tidak boleh, kelak orang yang menjadi ….” sampai di sini ia tidak berani melanjutkan lagi karena dilihatnya muka gadis itu terlihat kurang senang.

“Huh!” demikian Yingying mendengus.

“Kenapa kau marah? Maksudku, kelak orang yang akan menjadi muridmu tentu akan kerepotan,” kata Linghu Chong mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya ia bermaksud mengatakan “kelak orang yang akan menjadi suamimu.” Namun melihat keadaan semakin runyam, ia segera menggantinya menjadi “muridmu”.

Yingying sendiri sudah mengetahui maksud perkataannya. Ia pun berkata, “Kau ini memang angin-anginan, tidak jujur pula. Dari tiga perkataanmu, dua di antaranya tidak benar. Tapi aku sendiri tidak suka memaksa. Orang lain boleh mendengarkan kata-kataku, kalau tidak suka boleh tidak mendengarkan. Terserah padanya.”

“Tapi aku suka mendengarkan ucapanmu,” kata Linghu Chong sambil tertawa. Ucapannya ini bernada menggoda. Dahi Yingying tampak berkerut seperti hendak marah, tapi pipinya lantas merona merah dan wajahnya pun berpaling ke arah lain.

Untuk sejenak keduanya terdiam tanpa suara. Tiba-tiba tercium bau hangus. “Aiiiih!” Yingying menjerit. Ternyata kodoknya telah terpanggang hangus.

“Gara-gara dirimu!” omel gadis itu.

“Kau pasti bilang gara-gara aku membuat kau marah sehingga menghasilkan kodok panggang hangus sebaik ini,” sahut Linghu Chong tertawa.

Segera ia mendahului memutus sepotong paha kodok hangus itu dan memasukkannya ke dalam mulut. “Hmmm, alangkah lezatnya! Kodok panggang hangus begini ini yang sangat sedap. Di tengah rasa manis terdapat rasa pahit, dan di tengah rasa pahit timbul rasa manis. Rasa selezat ini boleh dikata nomor satu di dunia.”

Yingying merasa geli mendengarnya. Sambil tertawa cekikikan ia pun ikut memakan panggang kodok hangus tersebut. Linghu Chong sendiri selalu memilih bagian yang hangus untuk dimakan sendiri dan memberikan bagian yang tidak hangus kepada Yingying. Sesudah kenyang, cahaya matahari menghangatkan badan mereka. Begitu lelahnya tanpa terasa keduanya sama-sama rebah dan tertidur.

Lantaran semalam suntuk tidak tidur, juga sama-sama terluka, maka keduanya pun tidur dengan sangat nyenyak. Di alam mimpi, Linghu Chong merasa dirinya sedang berlatih pedang bersama Yue Lingshan di tengah derasnya air terjun. Tiba-tiba di tengah mereka datang satu orang lagi, yaitu Lin Pingzhi. Menyusul kemudian antara dirinya dan Lin Pingzhi terlibat perkelahian. Namun kedua tangannya terasa lemas sama sekali tak bertenaga. Susah payah ia berusaha mengerahkan ilmu Sembilan Pedang Dugu, tapi tak satu pun jurus yang bisa dikeluarkan. Sebaliknya, serangan-serangan Lin Pingzhi semakin gencar dan berulang-ulang menusuk ulu hati, perut, kepala, dan bahunya. Sementara itu Yue Lingshan tampak bergelak tawa. Melihat itu ia merasa sangat gusar dan berteriak-teriak, “Adik Kecil, Adik Kecil!”

Setelah berteriak beberapa kali, akhirnya Linghu Chong terbangun dari tidurnya. Terdengar suara lembut berkata di sampingnya, “Kau mimpi bertemu adik kecilmu? Apa yang ia lakukan kepadamu?”

“Ada orang hendak membunuhku, tapi Adik Kecil tidak ambil peduli. Ia justru … justru tertawa,” jawab Linghu Chong dengan perasaan gelisah.

Yingying menghela napas dan berkata, “Dahimu penuh keringat.”

Segera Linghu Chong mengusap dahinya dengan lengan baju. Tiba-tiba angin dingin bertiup sehingga tubuhnya menggigil. Waktu menengadah, tampak langit penuh dengan bintang-bintang, ternyata hari sudah lewat tengah malam.

Setelah pikiran kembali jernih, Linghu Chong bisa tertawa. Baru saja ia hendak bicara, mendadak Yingying mendekap mulutnya dan mendesis, “Ssst, ada orang datang.”

Linghu Chong segera diam membisu, tapi telinganya tidak mendengar sesuatu. Sejenak kemudian barulah terdengar olehnya suara langkah kaki beberapa orang dari kejauhan. Kemudian terdengar seseorang di antara mereka berkata, “Di sini ada lagi dua sosok mayat.”

Linghu Chong dapat mengenali suara orang itu yang tidak lain adalah Zu Qianqiu, si sastrawan dekil.

“Hah, ini bukannya biksu dari Biara Shaolin?” seru rekannya yang tidak lain adalah Lao Touzi, si cebol bulat. Sepertinya ia baru saja menemukan mayat Jueming.

Perlahan-lahan Yingying menarik tangannya yang mendekap mulut Linghu Chong.

Kemudian terdengar satu suara lagi, yang tidak lain adalah Si Burung Hantu Malam Ji Wushi yang berkata, “Ketiga mayat lainnya adalah murid Biara Shaolin dari golongan awam. Mengapa mereka bisa terbunuh di sini? Eh, orang ini bernama Xin Guoliang. Dia adalah salah satu jago dari Biara Shaolin.”

“Benar, siapa yang punya kemampuan sehebat ini sehingga bisa membunuh empat orang jago Shaolin sekaligus?” kata Zu Qianqiu.

“Jangan-jangan … jangan-jangan ini perbuatan tokoh dari Tebing Kayu Hitam?” ujar Lao Touzi ragu-ragu. “Bisa jadi … bisa jadi ini perbuatan Ketua Dongfang sendiri?”

“Bisa jadi begitu,” kata Ji Wushi. “Mari kita kubur keempat mayat ini sebelum ketahuan orang-orang Shaolin.”

“Jika memang benar tokoh Tebing Kayu Hitam yang melakukannya, tentu mereka tidak takut diketahui oleh pihak Shaolin,” ujar Zu Qianqiu. “Malah bukan mustahil mayat-mayat ini memang sengaja ditinggalkan begitu saja di sini supaya diketahui oleh orang-orang Shaolin lainnya.”

“Kukira kalau mau unjuk gigi tidak perlu meninggalkan mayat-mayat ini di tempat sunyi seperti ini,” jawab Ji Wushi. “Coba pikir, jika kita tidak lewat di sini secara kebetulan, tentu mayat-mayat ini akan dimakan oleh burung-burung atau binatang buas, sehingga tidak akan ketahuan orang lagi. Kalau memang hendak unjuk gigi, bukankah lebih baik mayat-mayat ini digantung di tengah jalan ramai saja dengan tulisan bahwa mereka adalah murid-murid Shaolin? Dengan cara itu pamor Biara Shaolin pasti akan runtuh habis-habisan.”

“Benar juga, benar juga,” kata Zu Qianqiu. “Kemungkinan besar setelah tokoh Tebing Kayu Hitam membunuh keempat orang ini, ia lalu buru-buru pergi mengejar musuh yang lain dan tidak sempat mengubur mayat-mayat ini.”

Usai berkata demikian ketiga orang itu lantas menggali liang untuk mengubur mayat Xin Guoliang dan yang lain.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Ketiga orang ini tentu mempunyai hubungan baik dengan Ketua Dongfang dari Tebing Kayu Hitam. Kalau tidak, mengapa mereka bersusah payah seperti ini?”

Tiba-tiba terdengar Zu Qianqiu bersuara, “Hei, apa ini? Ada sebutir obat.”

Ji Wushi mengendus-endus beberapa kali, lalu berkata, “Ini adalah obat mujarab buatan Biara Shaolin. Kabarnya obat ini ampuh sekali, konon bisa menghidupkan orang mati. Tentu obat ini tercecer dari saku mereka.”

“Dari mana kau tahu kalau obat ini milik Biara Shaolin?” tanya Zu Qianqiu.

“Beberapa tahun yang lalu aku pernah melihat obat semacam ini di tempat seorang biksu Shaolin tua,” jawab Ji Wushi.

“Jika benar ini obat mujarab, sungguh sangat kebetulan. Kakak Lao, obat ini bisa kau ambil untuk diberikan kepada Nona Busi, putrimu, supaya lekas sembuh,” ujar Zu Qianqiu.

“Terima kasih banyak,” sahut Lao Touzi. “Aku tidak terlalu memikirkan penyakit putriku. Yang penting sekarang kita harus segera pergi mencari Tuan Muda Linghu dan mempersembahkan obat ini kepadanya.”

Betapa terharu perasaan Linghu Chong mendengar ucapan Lao Touzi itu. Ia berpikir, “Obat itu jelas milik Yingying yang jatuh tadi. Bagaimana caranya agar aku bisa memintanya kembali dari tangan Lao Touzi untuk diberikan kepada Yingying?”

Ia kemudian menoleh. Di bawah sinar rembulan tampak Yingying sedang tersenyum dan mencibir kepadanya dengan sikap polos dan kekanak-kanakan. Sungguh sukar dipercaya seorang nona cilik yang cantik dan menawan ini baru saja membunuh empat orang jago pilihan Biara Shaolin dalam sebuah pertempuran sekaligus.

Sementara itu, ketiga orang tersebut telah mengubur jasad keempat murid Shaolin tadi. Lao Touzi kemudian berkata, “Sekarang kita sedang menghadapi suatu persoalan sulit. Burung Hantu Malam, tolong kau bantu aku memikirkannya.”

“Persoalan apa?” tanya Ji Wushi.

“Saat ini Tuan Muda Linghu tentu sedang bersama … bersama Gadis Suci,” kata Lao Touzi. “Jika aku mengantarkan obat ini kepadanya tentu akan bertemu Gadis Suci pula. Nah, kalau Gadis Suci sampai marah dan membunuhku, hal ini tidak menjadi soal. Namun dengan demikian berarti aku telah mengetahui keadaannya. Membuatnya tersinggung adalah persoalan runyam bagiku.”

Linghu Chong melirik ke arah Yingying. Dalam hati ia berkata, “Ternyata mereka memanggil gadis ini dengan sebutan Gadis Suci. Mereka juga terlihat begitu takut kepadanya. Memangnya, kenapa kau begitu gampang membunuh orang?”

Terdengar Ji Wushi berkata, “Tadi pagi kita berjumpa tiga orang buta di tengah jalan. Mereka bisa kita gunakan. Besok pagi bagaimana kalau kita mencari ketiga orang buta itu dan menyuruh mereka mengantarkan obat ini kepada Tuan Muda Linghu? Mata mereka buta. Jika mereka berjumpa Gadis Suci sedang bersama Tuan Muda Linghu, tentu mereka tidak akan dibunuh.”

“Tapi aku justru merasa curiga, jangan-jangan mereka buta karena memergoki Gadis Suci sedang bersama Tuan Muda Linghu,” sahut Zu Qianqiu.

Lao Touzi menepuk paha dan berseru, “Benar juga! Jika tidak, mengapa secara tiba-tiba mereka menjadi buta? Jangan-jangan keempat murid Shaolin ini juga bernasib sial karena memergoki Gadis Suci sedang bersama Tuan Muda Linghu.”

Sejenak ketiga orang itu terdiam. Sebaliknya, rasa heran dan ragu-ragu semakin berkecamuk di dalam benak Linghu Chong.

Terdengar Lao Touzi kembali bersuara sambil menghela napas, “Semoga penyakit Tuan Muda Linghu lekas sembuh, supaya Gadis Suci dan dirinya bisa segera menjadi pasangan yang berbahagia. Selama mereka berdua tidak menikah, selama itu pula suasana di dunia persilatan tidak bisa tenang.”

Linghu Chong tercengang. Kembali ia melirik Yingying. Samar-samar terlihat wajah gadis itu bersemu merah dengan sorot mata memancarkan kemarahan. Khawatir kalau-kalau Lao Touzi bertiga dicelakai, Linghu Chong segera memegangi lengan kiri Yingying. Terasa tubuh gadis itu agak gemetar, entah karena marah atau malu.

Terdengar Zu Qianqiu menanggapi, “Sewaktu mengetahui kita berkumpul di Lembah Lima Tiran, Gadis Suci sangat marah. Padahal cinta kasih antara muda-mudi adalah hal yang biasa. Pemuda baik hati dan berbudi luhur seperti Tuan Muda Linghu itu sungguh serasi jika berjodoh dengan nona cantik seperti Gadis Suci. Entah kenapa seorang hebat seperti Gadis Suci bersikap malu-malu seperti perawan desa? Sudah jelas Gadis Suci menyukai Tuan Muda Linghu, tapi Beliau justru melarang orang lain menyinggung hal ini. Lebih-lebih Beliau juga tidak suka dipergoki orang lain. Bukankah ini agak … agak janggal?”

Mendengar pembicaraan itu, Linghu Chong baru tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun ia juga bertanya-tanya apa benar demikian? Tiba-tiba tangan Yingying yang digenggamnya itu terasa bergerak seakan-akan meronta ingin lolos dari pegangan. Maka, ia pun menggenggam tangan gadis itu lebih erat, karena khawatir Yingying bertindak nekat membunuh Zu Qianqiu bertiga.

Terdengar Ji Wushi berkata, “Gadis Suci adalah tokoh terkemuka dalam Tebing Kayu Hitam, bahkan Ketua Dongfang pun tidak pernah menentang keinginannya. Namun bagaimanapun juga, Beliau tetap saja seorang gadis belia. Setiap nona muda di dunia ini ketika pertama kali jatuh cinta, tentu tidak berani mengutarakan isi hatinya. Kali ini kita bermaksud menyanjung Gadis Suci, tapi malah kena batunya. Memang salah kita sendiri. Kita adalah lelaki kasar yang tidak paham perasaan anak perempuan sehingga bukannya menyenangkan hati Gadis Suci, sebaliknya justru membuatnya marah. Para pendekar perempuan yang ikut berkumpul di Lembah Lima Tiran juga kaum kasar seperti kita, sehingga mereka tidak bisa memberi saran. Kalau kejadian ini sampai tersiar tentu akan menjadi bahan tertawaan kawanan anjing dari kalangan yang menamakan dirinya aliran lurus bersih.”

Lao Touzi berseru lantang, “Kita semua pernah berhutang budi kepada Gadis Suci. Selama ini kita berharap bisa membalas kebaikannya dan bermaksud menyembuhkan penyakit kekasih jantung hatinya. Seorang laki-laki sejati harus dapat membedakan secara tegas antara budi dan dendam. Ada budi harus dibalas, ada dendam harus dituntut, kenapa kita harus merasa bersalah? Hm, kawanan anjing mana yang berani menertawai biar aku yang merobek kulitnya dan menarik ususnya.”

Baru sekarang Linghu Chong merasa jelas seluk-beluk pengalamannya selama ini. Ternyata di sepanjang jalan dirinya sedemikian disanjung puji oleh orang-orang gagah itu adalah berkat seorang “Gadis Suci” dari Tebing Kayu Hitam yang bernama Yingying ini. Kemudian para jago yang sudah berkumpul di atas Lima Lembah Tiran tiba-tiba saja bubar mungkin karena takut pada Gadis Suci yang tiba-tiba datang. Rupanya Gadis Suci tidak ingin mereka mengetahui isi hatinya dan menyiarkannya di dunia persilatan.

Namun lantas terpikir pula olehnya, “Gadis Suci ini seorang nona muda jelita, namun ia bisa membuat sekian banyak jago dan tokoh ternama ingin menyenangkan hatinya, tentu ia bukan tokoh sembarangan. Apalagi tadi Ji Wushi berkata bahwa Dongfang Bubai yang digelari ‘Pendekar Nomor Satu di Kolong Langit’ ternyata tidak pernah menentang keinginannya, jelas ia seorang tokoh terkemuka di dalam Sekte Iblis. Padahal aku hanya orang biasa yang tidak punya apa-apa. Perkenalanku dengannya terjadi secara kebetulan karena belajar musik di pinggiran Kota Luoyang. Bisa dikatakan tidak melibatkan cinta kasih segala. Apa barangkali Luzhuweng telah salah paham dan menyiarkan kejadian itu sehingga membuat Gadis Suci sangat marah?”

Kemudian terdengar Zu Qianqiu berkata, “Ucapan Kakak Lao memang tidak salah. Kita banyak berhutang budi kepada Gadis Suci. Asalkan kita dapat mempersatukan mereka dalam perjodohan ini sehingga seumur hidup Gadis Suci dapat berbahagia, maka meskipun badan kita hancur lebur juga tidak akan menyesal. Meskipun kemarin Gadis Suci memarahi kita di atas Lima Lembah Tiran juga tidak menjadi soal. Hanya saja … hanya saja, Tuan Muda Linghu adalah murid pertama Perguruan Huashan yang merupakan musuh bebuyutan Tebing Kayu Hitam. Untuk menciptakan perjodohan ini rasanya tidak sedikit kesulitan yang harus kita dihadapi.”

“Aku ada akal,” kata Ji Wushi. “Bagaimana kalau kita tangkap saja Ketua Perguruan Huashan, Yue Buqun, lalu mengancam akan membunuhnya jika dia tidak mau menjadi wali perjodohan ini.”

“Akal Burung Hantu Malam sungguh sangat bagus,” seru Zu Qianqiu dan Lao Touzi bersamaan. “Urusan ini jangan sampai tertunda. Sekarang juga kita berangkat untuk menangkap Yue Buqun.”

“Nanti dulu,” ujar Ji Wushi. “Perlu dipikirkan pula bahwa Yue Buqun adalah ketua dari suatu perguruan terkemuka. Tenaga dalam dan ilmu pedangnya setinggi langit. Kalau kita main kasar padanya, pertama kita belum tentu menang; kedua, andaikan bisa menawan dia, kemungkinan dia tetap berkepala batu dan tidak mau menurut. Lantas kita harus bagaimana?”

“Jika begitu kita bisa menculik pula istri dan putrinya supaya dia lebih tertekan,” ujar Lao Touzi.

“Betul,” sahut Zu Qianqiu mendukung. “Hanya saja urusan ini harus dikerjakan dengan sangat rahasia, dan tidak boleh diketahui orang luar sehingga membuat malu pihak Huashan. Sebab, Tuan Muda Linghu adalah murid pertama Perguruan Huashan. Jika dia tahu kalau kita telah membuat susah gurunya, tentu dia akan merasa tidak senang.”

Begitulah, ketiga orang itu lantas berunding bagaimana cara untuk menangkap Ning Zhongze dan Yue Lingshan demi memaksa Yue Buqun agar menyerah.

Tiba-tiba Yingying berseru dengan suara lantang dari tempatnya berada, “Hei, ketiga orang yang tidak takut mati, lekas enyah yang jauh dan jangan membuat nonamu marah melulu!”

Linghu Chong sangat terkejut. Sekuat tenaga ia memegangi tangan gadis itu. Ji Wushi bertiga jelas lebih terkejut lagi.

Dengan suara gemetar Lao Touzi menjawab, “Ya, ya, hamba … hamba ….” begitu khawatirnya sampai-sampai ia tidak sanggup meneruskan ucapannya lagi.

Ji Wushi juga berkata, “Kami sembarangan mengoceh. Harap Gadis Suci jangan memasukkannya ke dalam hati. Biarlah besok pagi kami mengasingkan diri ke benua barat dan tidak kembali ke Daratan Tengah sini lagi.”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Wah, lagi-lagi ada tiga orang yang harus mengasingkan diri.”

Tapi Yingying menyahut, “Siapa yang menyuruh kalian harus menyingkir ke benua barat? Aku ada satu masalah, hendaklah kalian menyelesaikannya untukku.”

Bagaikan mendapat pengampunan besar, dengan perasaan gembira luar biasa Ji Wushi bertiga serentak berkata, “Silakan Gadis Suci memberi perintah, sudah pasti kami akan melaksanakannya sepenuh hati.”

“Aku ingin membunuh satu orang, tapi sukar menemukan orangnya,” kata Yingying. “Tugas kalian adalah menyiarkan keinginanku ini. Siapa pun yang bisa membunuh orang itu pasti akan kuberi balas jasa yang setimpal.”

“Kami tidak berani mengharapkan balas jasa,” ujar Zu Qianqiu. “Tentang orang itu, meskipun kami bertiga harus mengejarnya sampai di ujung dunia juga akan kami lakukan. Hanya saja kami tidak tahu siapa keparat yang berani membuat marah Gadis Suci itu?”

“Hanya kalian bertiga rasanya tidak mampu membunuhnya. Kalian harus lekas menyebarluaskan perintahku ini kepada segenap kawan persilatan,” kata Yingying.

“Baik, baik,” jawab Zu Qianqiu. “Kalau boleh tahu, siapa bangsat keparat yang harus kami bunuh itu?”

“Hm,” Yingying mendengus. “Orang itu bermarga ganda Linghu dan bernama tunggal Chong. Dia adalah murid nomor satu dari Perguruan Huashan.”

Ucapan ini sangat mengejutkan Lao Touzi bertiga, lebih-lebih Linghu Chong sendiri. Tiada seorang pun di antara mereka yang berani membuka suara. Sampai agak lama barulah Lao Touzi berkata, “Hal ini … hal ini ….”

“Hal ini apa?” sahut Yingying ketus. “Apakah kalian takut kepada Serikat Pedang Lima Gunung?”

“Sekalipun naik ke langit dan turun ke neraka juga kami berani,” sahut Ji Wushi. “Kami akan segera pergi menangkap Tuan Mu … eh, Linghu Chong untuk diserahkan kepada Gadis Suci agar mendapat hukuman yang setimpal. Saudara Lao dan Saudara Zu, marilah kita berangkat sekarang juga!”

Diam-diam Lao Touzi berpikir, “Mungkin Tuan Muda Linghu telah menyinggung perasaan Gadis Suci. Sudah wajar dalam pergaulan di antara muda-mudi, semakin rapat dan erat justru semakin gampang cekcok pula. Dulu aku dan ibunya Busi juga bagaikan air dan minyak. Tiap hari kami sering beradu mulut dan saling memukul. Aih, Busi-ku menderita sakit sejak lahir juga karena kesalahanku memukul perut ibunya keras-keras sewaktu mengandung. Ya, apa boleh buat? Kami terpaksa harus pergi mencari Tuan Muda Linghu dan membawanya ke sini. Biarlah Gadis Suci sendiri yang menangani dia.”

Di luar dugaan, Yingying justru berseru lantang dengan nada gusar, “Siapa yang menyuruh kalian pergi menangkap dia? Selama Linghu Chong masih hidup di dunia ini, dia hanya akan merusak nama baikku yang suci bersih ini. Lekas bunuh saja dia sehingga rasa benciku bisa terlampiaskan.”

Zu Qianqiu hendak berkata, “Gadis Suci ….”

Tapi Yingying menukas, “Sudahlah. Aku tahu kalian mempunyai hubungan baik dengan Linghu Chong dan tidak mau melaksanakan perintahku ini. Tidak masalah, biar aku menugasi orang lain saja.”

Mendengar ucapan Yingying yang sangat serius itu, Ji Wushi bertiga tidak berani ragu-ragu lagi. Mereka segera memberi hormat dan berkata, “Baiklah, kami akan melaksanakan perintah Gadis Suci sebaik-baiknya.”

Diam-diam Lao Touzi merenung, “Tuan Muda Linghu seorang pemuda yang luhur budinya. Hari ini aku terpaksa harus melaksanakan perintah Gadis Suci. Mau tidak mau aku harus ikut membunuh dia. Tapi setelah dia mati, aku pun akan bunuh diri untuk mati bersamanya.” Usai berpikir demikian ia lantas meletakkan pil milik Biara Shaolin tadi di atas tanah.

Begitulah, ketiga orang itu pun berbalik dan melangkah pergi.

Linghu Chong memandang ke arah Yingying. Melihat nona itu sedang menunduk dan termenung-menung, ia pun berpikir, “Ternyata demi menjaga nama baiknya sendiri, ia tega ingin mencabut nyawaku. Ah, biarlah keinginannya aku penuhi.”

Maka Linghu Chong pun berkata, “Kalau kau ingin membunuhku, silakan lakukan sendiri saja. Untuk apa kau harus merepotkan banyak orang? Apa aku harus membunuh diriku sendiri?” Usai berkata demikian perlahan-lahan ia lantas mencabut pedang dan menyodorkan gagangnya kepada Yingying.

Yingying memegang gagang pedang itu. Kepalanya miring sambil memandangi wajah Linghu Chong. Dengan tertawa Linghu Chong pun membusungkan dada.

“Kematian sudah di depan mata, kenapa kau tertawa?” gerutu Yingying.

“Justru karena kematianku sudah di depan mata, maka itu aku ingin tertawa,” sahut Linghu Chong.

Yingying mengangkat pedangnya dan menodong dada Linghu Chong. Lengannya ditarik mundur seolah hendak menikam, tetapi mendadak ia memutar badan, lalu melemparkan pedang itu jauh-jauh. Pedang pun jatuh di atas tanah disertai suara berdenting yang nyaring.

“Semua ini gara-gara dirimu, gara-gara dirimu!” gerutu Yingying sambil membanting-banting kaki. “Gara-gara dirimu orang-orang persilatan menertawakan aku, seolah-olah selamanya aku tidak … aku tidak laku. Seolah tidak ada laki-laki yang mau padaku lagi. Mereka mengira dengan segala daya upaya aku sengaja berusaha memikat dirimu. Padahal apamu yang … yang hebat? Untuk selanjutnya aku tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan orang lain.”

Tiba-tiba Linghu Chong bergelak tawa.

Yingying menjadi gusar. Ia membentak, “Kau malah menertawai aku. Kau mengejek aku? Huhuhu ….” Mendadak gadis itu lantas menangis tersedu-sedu.

Melihat itu, timbul rasa penyesalan di hati Linghu Chong. Dalam hati ia merenung, “Dia mempunyai kedudukan dan nama besar serta terhormat. Sedemikian banyak orang-orang gagah yang sangat segan kepadanya, sudah tentu ia mempunyai harga diri yang tinggi pula. Apalagi dia seorang anak perempuan, sudah pasti memiliki sifat pemalu. Ketika mendadak semua orang mengatakan dia suka padaku, tentu saja hal ini membuatnya merasa direndahkan. Dia menyuruh Lao Touzi bertiga menyiarkan perintah untuk membunuhku, mungkin saja itu tidak sungguh-sungguh, hanya sebagai bantahan saja tentang rasa sukanya kepadaku. Dengan perintahnya itu, tentu siapa pun tidak akan curiga bahwa aku justru bersama dirinya.”

Segera Linghu Chong bangkit dan berkata dengan lembut, “Ya, memang akulah yang bersalah sehingga membuat nama baik Nona tercemar. Biarlah sekarang aku mohon pamit saja.”

Yingying mengusap air matanya, dan berkata, “Kau hendak ke mana?”

“Tiada tempat tujuan, ke mana pun boleh,” jawab Linghu Chong.

“Kau telah berjanji akan mengawalku. Mengapa sekarang hendak kau tinggalkan aku sendirian?”

“Ah, sesungguhnya aku tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, sehingga sembarang bicara. Ucapanku kemarin hanya jadi bahan tertawaan saja,” ujar Linghu Chong dengan tersenyum. “Padahal ilmu silat Nona sedemikian hebat, mengapa perlu pengawalanku segala? Biarpun ada seratus orang Linghu Chong juga tidak mampu mengimbangi Nona seorang.” Usai berkata ia terus saja memutar tubuh hendak melangkah pergi.

“Kau tidak boleh pergi,” seru Yingying gugup.

“Kenapa?” tanya Linghu Chong.

“Zu Qianqiu bertiga sudah menyiarkan perintahku tadi. Dalam waktu beberapa hari saja setiap orang persilatan pasti akan tahu semua. Setiap orang tentu ingin membunuhmu. Jangankan dalam keadaan terluka, sekalipun kau sehat juga sukar untuk menghindarkan diri dari kematian.”

Linghu Chong tersenyum hambar dan menjawab, “Jika aku mati di bawah perintah Nona, rasanya tidak masalah.” Usai berkata ia memungut pedang dan memasukkannya kembali ke dalam sarung. Ia merasa tenaganya masih lemah dan tidak sanggup mendaki tanah tanjakan itu. Maka langkahnya pun diarahkan ke sepanjang tepi sungai kecil tersebut.

Melihat Linghu Chong benar-benar hendak pergi dan semakin jauh, Yingying lantas mengejarnya dan berseru, “Hei, hei! Kau jangan pergi!”

“Jika aku tetap tinggal di sini tentu hanya membuat susah Nona saja. Maka itu, aku lebih baik pergi saja,” jawab Linghu Chong.

“Tidak, kau … kau ….” hanya demikian saja ucapannya. Segera Yingying menggigit bibir dengan perasaan risau dan cemas. Ketika dilihatnya Linghu Chong masih saja melangkah, dengan cepat ia memburu maju sambil berkata, “Linghu Chong, apakah kau sengaja memaksaku untuk mengucapkannya terus terang baru kau merasa puas, begitu?”

“Aih, ada apa sebenarnya? Sungguh aku tidak paham?” sahut Linghu Chong heran dan menghentikan langkahnya.

Kembali Yingying menggigit bibir, kemudian berkata, “Aku telah menyuruh Zu Qianqiu bertiga menyiarkan perintahku, supaya … supaya kau selamanya bisa berada di sisiku dan tidak meninggalkan aku selangkah pun.” Usai berkata demikian tubuh gadis itu tampak gemetar, bahkan berdiri pun terhuyung-huyung.

Linghu Chong terheran-heran dan bertanya, “Kau … kau ingin aku selalu mendampingimu?”

“Benar,” sahut Yingying. “Setelah Zu Qianqiu bertiga menyiarkan perintahku tadi, mau tidak mau kau harus mendampingiku untuk dapat menyelamatkan jiwamu. Tak kusangka kau ternyata tidak tahu apa artinya kematian. Sedikit pun kau tidak takut. Bukankah nantinya, akulah … akulah yang membuatmu celaka?”

Hati Linghu Chong terharu mendengarnya. Ia berkata dalam hati, “Ternyata perasaanmu benar-benar dalam kepadaku, tapi di depan orang-orang tadi kau tidak mau mengaku.”

Yingying bersemadi memulihkan diri.
Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji Wushi menemukan mayat Xin Guoliang.
 
Linghu Chong menyodorkan pedang kepada Yingying.

(Bersambung)