Bagian 54 - Mengawal Nenek Aneh

Linghu Chong mengawal Si Nenek tanpa melihat ke belakang.

Setelah mengusap mulutnya yang berdarah, Linghu Chong berkata, “Nenek, bagaimana kabarmu setelah beberapa hari ini kita berpisah?”

“Tuan Muda sudah banyak kehilangan tenaga. Silakan duduk beristirahat saja,” kata Si Nenek dari dalam gubuk.

Linghu Chong memang merasa seluruh badannya sudah lemas lunglai. Mendengar ucapan Si Nenek, ia pun duduk di tanah. Lalu terdengar kembali suara kecapi mengalun dari dalam gubuk tersebut. Suaranya bening dan merdu. Linghu Chong merasa badannya segar bagaikan dialiri oleh suatu aliran dari mata air pegunungan, yang perlahan-lahan dituang ke seluruh anggota badannya sampai ke tulang belulang. Tubuhnya kini terasa sangat ringan seperti melayang-layang tinggi di angkasa, bagaikan kapas tertiup angin.

Selang agak lama, suara kecapi itu makin lama makin rendah, sampai-sampai tak terdengar lagi dan entah mulai berhenti sejak kapan. Ketika Linghu Chong merasa semangatnya sudah bangkit, segera ia berdiri dan memberi hormat dalam-dalam, sambil berkata, “Terima kasih banyak atas alunan musik Nenek yang anggun sehingga aku banyak mendapat manfaat darinya.”

Si Nenek berkata, “Tanpa kenal bahaya kau telah menghalau musuh untukku sehingga aku tidak sampai dihina oleh kawanan bangsat itu. Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu.”

“Mengapa Nenek berkata demikian? Aku hanya melakukan sesuatu yang harus dilakukan,” ujar Linghu Chong.

Nenek itu tidak bicara lagi. Hanya kecapinya yang terdengar mengeluarkan suara denting yang lembut dan perlahan. Sepertinya tangan Si Nenek tetap memetik kecapinya, namun pikirannya sedang melayang-layang seolah sedang memikirkan suatu permasalahan rumit. Selang agak lama barulah ia bertanya, “Sekarang kau akan … akan pergi ke mana?”

Pertanyaan itu membuat darah Linghu Chong kembali bergolak memenuhi rongga dadanya. Dunia ini begitu luas tetapi seakan-akan tidak ada lagi tempat berpijak untuknya. Tanpa terasa ia pun terbatuk-batuk, dan setelah bersusah payah menghentikan batuknya, pemuda itu menjawab, “Aku … aku tidak tahu harus ke mana lagi.”

“Apa kau tidak ingin mencari guru dan ibu-gurumu? Tidak pergi mencari adik perguruanmu serta … serta adik kecilmu?” tanya Si Nenek.

“Aku tidak tahu mereka pergi ke mana. Dengan luka seperti ini, aku tidak sanggup mencari atau menyusul mereka. Andai saja dapat menemukan mereka juga … juga, aih!” jawab Linghu Chong. Sambil menghela napas panjang, ia berpikir, “Seandainya aku dapat menemukan mereka, lantas bagaimana? Mereka juga tidak menginginkan aku.”

Si Nenek bertanya, “Lukamu tidak ringan, mengapa kau tidak mencari tempat yang indah untuk menghibur hatimu yang lara daripada harus berduka dan menyesal percuma?”

“Hahaha! Ucapan Nenek benar juga,” jawab Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Sejak dulu Linghu Chong tidak pernah memikirkan soal hidup dan mati. Kalau begitu sekarang juga aku mohon diri untuk turun gunung. Aku akan pergi berpesiar mengunjungi tempat yang indah dan bersenang-senang.” Usai berkata demikian, ia lantas memberi hormat ke arah gubuk, kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi.

Baru saja berjalan tiga langkah, mendadak terdengar seruan Si Nenek, “Apakah kau … kau akan pergi sekarang?”

“Benar!” jawab Linghu Chong setelah menghentikan langkahnya.

Si Nenek berkata, “Tapi lukamu tidak ringan. Kau berjalan seorang diri, kalau kau letih di tengah jalan, tentu tak ada orang yang akan merawatmu. Ini tidak baik.”

Linghu Chong merasa terharu. Dadanya terasa hangat mendengar perkataan Si Nenek. Ia pun menjawab, “Terima kasih banyak atas perhatian Nenek. Penyakitku ini jelas tak bisa disembuhkan lagi. Mati sekarang atau lusa, atau mati di mana saja bagiku tidak ada bedanya.”

“Oh, ternyata demikian,” kata Si Nenek. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Hanya saja … hanya saja, kalau kau sudah pergi, lalu orang jahat dari Biara Shaolin itu kembali ke sini dan membuatku susah, bagaimana? Juga orang Perguruan Kunlun bernama Tan Diren yang pingsan itu bagaimana kalau dia siuman dan mencari perkara denganku?”

“Nenek, kau hendak ke mana? Bagaimana kalau aku mengawalmu untuk beberapa waktu?” tanya Linghu Chong.

“Tentu saja itu sangat baik,” jawab Si Nenek. “Hanya saja, untuk ini ada suatu persyaratan dan mungkin akan menyusahkan dirimu.”

“Menyusahkan aku bagaimana? Nenek telah menyelamatkan jiwaku, kenapa harus takut menyusahkan diriku atau tidak? Bagiku tidak ada yang merepotkan,” ujar Linghu Chong.

Si Nenek menghela napas, kemudian berkata, “Aku mempunyai seorang musuh yang sangat hebat. Dia telah mencariku sampai ke Kota Luoyang sana, sehingga aku terpaksa harus menyingkir kemari. Tapi, siang malam dia selalu mencari jejakku, sehingga rasanya tidak lama lagi ia akan datang ke sini. Aku hanya ingin mencari tempat terpencil untuk menghindarinya sementara waktu. Kelak jika bala bantuan sudah datang, barulah aku akan keluar untuk membuat perhitungan dengannya. Aku terpaksa meminta kau mengantar dan mengawal diriku, namun aku takut hal ini akan membuatmu susah. Pertama, kau sendiri sedang terluka; kedua, kau seorang pemuda yang lincah dan penuh semangat, apakah mengiringi seorang nenek sepertiku tidak membuatmu bosan?”

“Hahaha, aku kira Nenek hendak meminta tolong apa, ternyata hanya soal enteng seperti itu,” seru Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Nenek hendak ke mana pun, aku akan mengantarmu. Bahkan ke ujung dunia sekalipun, asalkan aku belum mati pasti akan kukawal juga.”

“Jika demikian tentu akan membuatmu letih,” kata Si Nenek. Dari nada suaranya terlihat kalau ia merasa sangat gembira. “Apakah benar ke ujung dunia sekalipun, kau tetap akan mengantarku ke sana?”

“Benar, tak peduli ke ujung dunia atau ke pojok samudera pasti Linghu Chong akan mengantar Nenek ke sana.”

“Tapi ada lagi satu persyaratan yang lain.”

“Persyaratan apa lagi?”

“Wajahku ini sangat jelek. Siapa pun yang melihat mukaku pasti akan kaget setengah mati. Oleh sebab itu aku tidak ingin memperlihatkan wajah asliku kepada orang lain. Jika tidak, mana mungkin aku menolak ketiga orang tadi masuk ke dalam gubuk? Sekarang kau harus berjanji untuk menerima syaratku, bahwa di mana pun dan dalam keadaan apa pun juga, kau tidak boleh memandang padaku, meskipun hanya sekejap. Tidak boleh memandang mukaku, tidak boleh melihat tubuhku, tidak boleh melihat kaki dan tanganku, juga tidak boleh memandang bajuku atau sepatuku.”

Linghu Chong menjawab, “Aku menghormati Nenek sepenuh hati. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Nenek kepadaku. Tapi kalau boleh tahu, ada hubungan apa dengan wajah Nenek?”

“Jika kau tidak bisa menerima syaratku ini, maka kau boleh pergi sesukamu,” sahut Si Nenek.

“Baik, baik, di mana pun dan dalam keadaan apa pun juga aku pasti tidak akan memandang kepada Nenek,” tukas Linghu Chong.

“Punggungku juga tidak boleh kau lihat,” kata Si Nenek menambahkan.

Linghu Chong terdiam kebingungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Apakah punggungmu juga sangat buruk? Di dunia ini punggung yang paling buruk adalah milik orang kerdil dan orang bungkuk. Tetapi bagiku juga tidak menjadi masalah. Kau dan aku akan melakukan perjalanan yang jauh dan berat. Kalau punggung saja tidak boleh dilihat, tentu ini sangat merepotkan.”

Melihat pemuda itu merasa ragu-ragu dan tidak segera menjawab, Si Nenek pun menegas, “Apa kau tidak sanggup?”

“Sanggup, pasti sanggup. Bila aku sampai memandang sekejap saja kepada Nenek, biarlah nanti aku mencongkel biji mataku sendiri,” jawab Linghu Chong.

“Kau ingat baik-baik saja janjimu ini. Nah, sekarang kau berjalanlah di depan, biar aku mengikutimu dari belakang,” kata Si Nenek.

“Baik,” jawab Linghu Chong yang segera mendahului berjalan menuju kaki bukit. Sejenak kemudian terdengar suara langkah di belakangnya, yaitu suara langkah Si Nenek yang menyusulnya.

Belasan meter kemudian, tiba-tiba Si Nenek menyodorkan sebatang ranting kayu, sambil berkata, “Gunakan ini sebagai tongkat. Jalan perlahan-lahan saja.”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil menerima tongkat itu tanpa menoleh ke belakang. Setelah cukup jauh berjalan, tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan bertanya, “Nenek, kenapa kau bisa mengenal nama lengkap si marga Tan dari Perguruan Kunlun itu?”

Si Nenek menjawab, “Ya, Tan Diren itu merupakan jago nomor tiga di antara murid-murid angkatan kedua Perguruan Kunlun. Dalam hal ilmu pedang ia sudah menguasai enam atau tujuh bagian dari kepandaian gurunya. Namun dibandingkan kakak pertama dan keduanya, ia masih kalah jauh. Kalau ilmu pedang orang Shaolin bersuara nyaring yang bernama Xin Guoliang tadi juga sedikit lebih hebat daripada dia.”

“Oh, ternyata orang bersuara nyaring tadi bernama Xin Guoliang. Dia masih kenal aturan daripada si marga Yi, saudaranya,” kata Linghu Chong.

“Adik seperguruannya itu bernama Yi Guozi. Orang ini memang kurang ajar. Sekali tusuk kau bisa menembus telapak tangannya, lalu melukai pergelangan kirinya pula. Kedua seranganmu tadi sungguh bagus,” puji Si Nenek.

“Ah, itu hanya karena terpaksa saja. Aku tidak punya pilihan lain,” jawab Linghu Chong. “Kini aku jadi bermusuhan dengan Biara Shaolin. Kelak di kemudian hari tentu akan banyak masalah menghadangku.”

“Apanya yang hebat dari Biara Shaolin?” ejek Si Nenek. “Kita belum tentu kalah dengan mereka. Tadi aku sama sekali tidak mengira kalau Tan Diren akan memukulmu. Lebih-lebih tidak menyangka kalau kau akan muntah darah.”

“Eh, Apa Nenek melihat semua kejadian tadi? Apa kau tahu mengapa Tan Diren itu tiba-tiba jatuh pingsan?” tanya Linghu Chong.

“Apa kau benar-benar tidak tahu?” Si Nenek menegas. “Lan Fenghuang dan keempat gadis Miao bawahannya sudah memberikan darah mereka kepadamu. Siang dan malam mereka bergaul dengan benda-benda beracun, tidak heran kalau darah mereka pun mengandung racun. Ditambah lagi dengan Arak Obat Lima Dewi yang jelas-jelas mengandung racun dan kini sudah merasuk ke dalam tubuhmu. Tadi mulut Tan Diren terciprat darah yang kaumuntahkan, mana mungkin dia bisa bertahan?”

“Oh, ternyata begitu!” seru Linghu Chong setelah mengetahui duduk perkaranya. “Tapi aku sendiri merasa heran. Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan Ketua Lan dari Sekte Lima Dewi itu. Entah mengapa dia sengaja meracuniku?”

“Siapa bilang dia sengaja meracunimu?” sahut Si Nenek. “Dia justru bermaksud baik kepadamu. Hm, dia berkhayal bisa menyembuhkan penyakitmu yang aneh itu. Dia sengaja menyalurkan racun ke dalam darahmu agar jiwamu tidak terancam. Cara demikian adalah cara kesukaan Sekte Lima Dewi.”

“Benar juga. Aku juga berpikir kalau Ketua Lan tidak ingin mencelakaiku,” ujar Linghu Chong. “Tabib Ping juga berkata bahwa arak beracun pemberian Ketua Lan adalah obat penguat yang sangat hebat.”

Si Nenek berkata, “Dia tidak bermaksud mencelakaimu, bahkan bermaksud baik kepadamu.”

Linghu Chong tersenyum, lalu bertanya, “Entah Tan Diren itu akan mati atau tidak?”

“Itu tergantung kekuatan tenaga dalamnya,” kata Si Nenek. “Selain itu, darahmu yang masuk ke dalam mulutnya itu sedikit atau banyak.”

Membayangkan muka Tan Diren yang kejang dan berkerut-kerut tadi, tanpa terasa Linghu Chong bergidik sendiri. Setelah kembali berjalan belasan meter, tiba-tiba pemuda itu berhenti karena teringat sesuatu. Ia pun berkata, “Aih, Nenek, mohon tunggu sebentar di sini. Aku harus naik bukit lagi.”

Si Nenek bertanya, “Ada apa?”

“Jasad Tabib Ping masih di sana dan belum dikubur,” jawab Linghu Chong.

“Tidak perlu kembali ke sana. Aku sudah membereskannya,” kata Si Nenek.

Linghu Chong berkata, “Ah, ternyata Nenek sudah menguburkannya.”

“Aku tidak menguburkannya, tapi memusnahkan jasadnya dengan menggunakan obat. Memangnya aku sudi semalaman di dalam gubuk memandangi mayat? Semasa hidup saja Ping Yizhi sudah tidak enak dilihat, apalagi kalau sudah mati. Bisa kau bayangkan sendiri seperti apa rupanya?” ujar Si Nenek.

Linghu Chong hanya bisa mendengus mendengar hal itu. Ia merasa tingkah laku Si Nenek benar-benar aneh dan sulit ditebak. Ia telah berhutang budi kepada Ping Yizhi dan setelah si tabib wafat, ia ingin menguburkannya secara baik-baik, namun Si Nenek justru melenyapkannya dengan obat. Semakin lama ia pikirkan, hatinya semakin merasa tidak tenang. Namun ia sendiri tidak mampu menemukan alasan mengapa melenyapkan jasad dengan cara seperti itu adalah perbuatan tidak benar.

Setelah berjalan beberapa kilo, sampailah mereka pada tempat yang datar. Tiba-tiba Si Nenek berkata, “Coba kau buka telapak tanganmu!”

“Baik!” jawab Linghu Chong. Dalam hati ia bertanya-tanya tipuan apa lagi yang akan dilakukan Si Nenek kepadanya. Begitu menuruti perintah wanita itu, tiba-tiba saja terdengar suara berdesir dari belakang dan tahu-tahu sebutir benda mungil sudah mendarat tepat di atas telapak tangannya yang terbuka. Benda itu ternyata sebutir pil berwarna kuning yang ukurannya tidak lebih dari ujung kelingking.

“Telanlah obat itu dan beristirahatlah di bawah pohon besar sana,” kata Si Nenek.

“Baik!” jawab Linghu Chong yang kemudian memasukkan pil tersebut ke dalam mulutnya.

Si Nenek berkata, “Aku hanya memerlukan ilmu pedangmu yang hebat untuk mengawal keselamatanku. Maka itu, aku memberikan obatku ini untuk memperpanjang umurmu supaya kau tidak mati mendadak dan aku kehilangan pengawal yang kuandalkan. Sama sekali aku tidak ada maksud hendak … hendak berbaik hati kepadamu, lebih-lebih aku tidak bermaksud menolong jiwamu. Hendaknya kau ingat hal ini baik-baik.”

Kembali Linghu Chong hanya mengiakan. Setelah sampai di tempat yang ditunjuk, ia segera duduk bersandar di batang pohon tersebut. Dari titik Dantian di bawah perutnya tiba-tiba terasa suatu hawa hangat yang perlahan-lahan mengalir ke atas. Seakan-akan timbul tenaga baru yang tak terbatas menyusup ke berbagai organ tubuh serta pembuluh darahnya.

Dalam hati ia merenung, “Pil kecil tadi jelas banyak memberi manfaat kepadaku, tapi Nenek justru tidak mau mengaku terus terang. Ia berkata bahwa dirinya tidak punya maksud tulus kepadaku, tetapi hanya memperalat diriku sebagai pengawalnya saja. Sungguh aneh, padahal di dunia ini umumnya orang tidak mau mengaku kalau dia sedang memperalat orang lain. Tapi, dia justru sengaja menyatakan hendak memperalat diriku. Aneh sekali.” Lalu terpikir pula olehnya, “Tadi sewaktu dia melemparkan pil ke dalam tanganku, pil itu mendarat dengan telak tanpa terpental lagi. Caranya melempar tentu menggunakan semacam tenaga dalam halus yang sangat tinggi. Jelas, ilmu silatnya jauh lebih tinggi dibanding aku. Tapi mengapa dia meminta aku menjadi pengawalnya? Tapi, ah, biarlah! Apa yang dia inginkan aku turuti saja.”

Baru saja duduk sebentar Linghu Chong lantas bangkit kembali dan bertanya, “Apakah Nenek masih letih? Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan?”

“Aku sangat letih. Aku ingin beristirahat sebentar lagi,” jawab Si Nenek.

“Baik!” sahut Linghu Chong. Diam-diam ia berpikir, “Usia Nenek sudah sangat tua. Sekalipun ilmu silatnya sangat tinggi, dalam hal tenaga tentu tidak sama dengan kaum muda. Hm, aku hanya memikirkan diri sendiri tapi tidak mau mengerti keadaan orang lain.” Usai berpikir demikian ia pun kembali duduk di tempat semula.

Selang agak lama barulah Si Nenek berkata, “Mari berangkat!”

Linghu Chong mengiakan dan segera mendahului berjalan di depan. Sesudah makan obat tadi, ia merasa langkah kakinya jauh lebih ringan dan cepat daripada sebelumnya. Meskipun ia berjalan di depan, namun Si Nenek yang selalu memilih jalan kecil yang sepi untuk dilewati. Pemuda itu hanya menurut saja.

Kira-kira belasan kilo kemudian, mereka memasuki kawasan pegunungan yang berliku-liku dan berbatu terjal. Napas Linghu Chong terdengar payah dan terengah-engah. Kembali Si Nenek berkata, “Aku sudah letih berjalan. Aku ingin beristirahat lagi.”

“Baik!” jawab Linghu Chong. Ia segera duduk sambil berpikir, “Napas Nenek sepertinya tetap teratur, sama sekali tidak terlihat letih. Bahkan sebenarnya akulah yang letih, tapi dia yang mengaku lelah dan ingin beristirahat.”

Selang agak lama Si Nenek kembali mengajak melanjutkan perjalanan. Keduanya pun bangkit dan mulai melangkah. Setelah melewati sebuah bukit, tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, “Lekas kita makan, dan secepatnya meninggalkan tempat ini.” Lalu terdengar suara belasan orang lain mengiakan.

Linghu Chong menghentikan langkahnya. Dilihatnya di tanah rumput di tepi tebing sana terdapat lebih dari sepuluh orang laki-laki sedang duduk melingkar sambil makan dan minum bersama. Pada saat itulah seseorang di antaranya lantas berkata, “Itu Tuan Muda Linghu!”

Samar-samar Linghu Chong juga masih dapat mengenali orang-orang itu yang tidak lain adalah mereka yang tadi malam beramai-ramai ikut datang ke atas Lembah Lima Tiran. Baru saja ia bermaksud menyapa, tiba-tiba suasana berubah menjadi hening, sunyi senyap. Semuanya diam membisu. Mereka terbelalak memandang ke arah belakang pemuda itu. Wajah orang-orang itu terlihat sangat ketakutan, ada pula yang gugup seakan-akan menemukan suatu masalah yang sukar dilukiskan. Sesuatu yang sukar dihadapi sehingga mereka tidak tahu harus berbuat apa.

Melihat keadaan demikian Linghu Chong bermaksud menoleh untuk melihat apa yang berada di belakangnya. Tapi ia segera sadar bahwa orang-orang itu bersikap demikian tentu karena terkejut melihat Si Nenek yang berada di belakangnya. Padahal ia sendiri telah berjanji untuk tidak akan memandang Si Nenek sekejap pun.

Maka dengan cepat Linghu Chong pun mengembalikan arah pandangannya ke depan. Karena gerakannya itu sangat mendadak dan agak dipaksa membuat lehernya terasa nyeri dan rasa penasaran di hatinya semakin bertambah. Ia pun berpikir, “Mengapa mereka sangat ketakutan begitu melihat Nenek? Apakah wujud Nenek memang sedemikian menyeramkan?”

Tiba-tiba seorang laki-laki di antaranya bangkit dan mengangkat belati untuk kemudian menusuk kedua matanya sendiri. Seketika itu pula darah segar pun mengucur deras.

Sungguh Linghu Chong terkejut luar biasa. “Apa yang kau lakukan?” teriaknya.

“Mata hamba ini sudah buta sejak tiga hari yang lalu dan tidak dapat melihat apa-apa lagi!” teriak orang itu.

Menyusul kemudian dua orang lagi lantas mencabut golok masing-masing untuk membutakan mata mereka sendiri. Keduanya berseru, “Mata hamba sudah lama buta. Hamba tidak tahu apa-apa!”

Semakin heran dan ngeri perasaan Linghu Chong tak terkatakan. Dilihatnya laki-laki yang lain pun beramai-ramai hendak membutakan mata masing-masing. Segera ia berseru, “Hei, hei! Tunggu dulu! Apa pun masalahnya, tentu dapat dibicarakan baik-baik. Tolong jangan menusuk mata kalian sendiri. Sebenarnya ada … ada apa ini?”

Seorang di antaranya menjawab dengan sedih, “Sebenarnya hamba bisa saja bersumpah bahwa hamba tidak akan banyak bicara. Hanya saja, hamba khawatir tidak dipercaya.”

Linghu Chong segera berkata kepada Si Nenek, “Nenek, harap kau menolong mereka dan suruh mereka supaya jangan menusuk mata sendiri.”

“Baik, aku percaya pada kalian,” tiba-tiba Si Nenek bersuara. “Di seberang lautan timur ada sebuah pulau bernama Pulau Naga Melingkar, apakah di antara kalian ada yang tahu?”

Seorang tua menyahut, “Hamba pernah mendengar cerita orang bahwa kira-kira dua ratus kilometer di sebelah tenggara Quanzhou di Provinsi Fujian terdapat Pulau Naga Melingkar yang konon tidak pernah diinjak manusia. Keadaan pulau itu sunyi senyap dan terpencil.”

“Nah, memang pulau itulah yang kumaksudkan,” kata Si Nenek. “Sekarang juga kalian berangkatlah ke sana. Bermain-mainlah di sana. Setelah tujuh atau delapan tahun barulah kalian boleh pulang ke Daratan Tengah sini lagi.”

Serentak belasan orang itu mengiakan dengan wajah riang gembira. Mereka berseru, “Baik, kami segera berangkat!”

Seorang di antaranya menyahut, “Sepanjang jalan kami pasti tidak akan bicara apa pun juga kepada orang lain!”

“Kalian bicara atau tidak, apa peduliku?” kata Si Nenek.

“Ya, benar! Hamba bicara salah!” seru orang itu sambil mengangkat tangan dan menempeleng muka sendiri sekeras-kerasnya.

“Enyahlah!” seru Si Nenek.

Tanpa bersuara lagi belasan laki-laki itu bergegas pergi seperti kesetanan. Tiga orang di antaranya yang sudah buta berjalan dengan dipapah yang lain. Dalam sekejap saja mereka semua sudah menghilang di kejauhan.

Diam-diam Linghu Chong tercengang. Ia berpikir, “Hanya sepatah kata dari Nenek sudah membuat orang-orang itu pergi mengasingkan diri ke pulau terpencil selama tujuh atau delapan tahun. Anehnya, orang-orang itu malah kegirangan seperti mendapat pengampunan. Seluk-beluk urusan ini benar-benar membuat aku tak habis mengerti.”

Tanpa bersuara Linghu Chong melanjutkan perjalanan. Pikirannya terus saja bergolak hebat. Ia merasa nenek yang ada di belakangnya itu benar-benar manusia aneh yang selamanya belum pernah didengar dan dilihatnya. Ia berpikir, “Semoga di sepanjang jalan nanti jangan bertemu lagi dengan kawan-kawan yang pernah berkumpul di Lembah Lima Tiran tadi malam. Padahal dengan penuh ketulusan mereka datang hendak menyembuhkan penyakitku. Tapi kalau mereka sampai bertemu dengan Nenek, tentu mereka akan membutakan mata sendiri atau mengasingkan diri ke pulau terpencil. Ini sungguh tidak adil. Sepertinya yang menyebabkan Huang Boliu, Sima Da, dan Zu Qianqiu memohon kepadaku supaya mengatakan kalau aku tidak mengenal mereka, serta yang menyebabkan ribuan pendekar gagah yang berkumpul di Lembah Lima Tiran tiba-tiba menghilang tanpa bekas adalah karena takut kepada nenek ini. Sebenarnya … sebenarnya dia ini iblis mengerikan macam apa?” Berpikir sampai di sini membuat tubuhnya bergidik ngeri.

Setelah belasan kilometer terlewati, jalanan semakin berliku dan terjal. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang berteriak, “Hah, yang berjalan di depan itulah yang bernama Linghu Chong.”

Suara orang itu sangat nyaring dan keras, membuat Linghu Chong langsung mengenalinya sebagai suara Xin Guoliang dari Biara Shaolin yang bertemu tadi malam.

Si Nenek berkata pelan, “Aku tidak ingin bertemu dengannya. Kau saja yang melayani dia sekadarnya.”

Linghu Chong mengiakan. Kemudian terdengar suara berisik. Rupanya Si Nenek telah menyusup masuk ke dalam semak-semak.

Terdengar suara Xin Guoliang berkata, “Paman Guru, Linghu Chong itu sedang terluka. Tentu dia tidak bisa berjalan cepat.”

Meskipun saat itu jaraknya masih jauh, namun suara Xin Guoliang yang nyaring dapat terdengar jelas oleh Linghu Chong. Pemuda itu pun berpikir, “Ternyata dia tidak sendirian, tapi datang bersama paman gurunya. Nenek bersembunyi di dekat sini. Lebih baik aku berhenti saja dan duduk di tepi jalan menunggu mereka.”

Selang agak lama terdengar suara langkah kaki yang disusul kemudian dengan munculnya beberapa orang menyusuri jalanan lembah. Di dalam rombongan itu terdapat Xin Guoliang dan Yi Guozi, serta dua orang biksu dan seorang laki-laki setengah baya. Dari dua biksu tersebut, yang satu berusia lanjut dengan wajah penuh keriput, sedangkan yang satu lagi baru berumur tiga puluhan dengan tangan memegang tongkat Fangbian.

Linghu Chong segera bangkit menyambut dan memberi hormat, sambil berkata, “Linghu Chong dari Perguruan Huashan menyampaikan salam hormat kepada para Sesepuh dari Biara Shaolin. Jika boleh tahu, siapakah nama Buddha Sesepuh yang mulia ini?”

“Bocah sia….” sahut Yi Guozi hendak mendamprat.

“Nama Buddha saya adalah Fangsheng,” jawab si biksu tua.

Begitu paman gurunya yang berbicara, Yi Guozi langsung menutup mulutnya. Meskipun demikian, wajahnya tetap terlihat merah padam menahan marah dan dendam atas kekalahannya tadi pagi.

“Terimalah hormatku, Biksu yang mulia,” sapa Linghu Chong sambil membungkuk penuh hormat.

Biksu Fangsheng manggut-manggut, lalu berkata dengan ramah, “Pendekar muda tidak perlu banyak adat. Apakah gurumu, Tuan Yue baik-baik saja?”

Tadinya Linghu Chong merasa cemas dan ngeri melihat rombongan itu datang dengan penuh ancaman. Namun begitu melihat sikap Biksu Fangsheng yang ramah, ia langsung merasa lega. Raut muka Fangsheng terlihat teduh dan mencerminkan pembawaan seorang biksu terkemuka yang telah mencapai pencerahan. Selain itu, sang biksu yang memiliki nama Buddha dengan unsur “Fang” jelas adalah angkatan paling tua di Biara Shaolin pada zaman ini. Biksu Fangsheng dapat dipastikan adalah saudara seperguruan Kepala Biara yang bergelar Mahabiksu Fangzheng. Maka dengan penuh sopan santun Linghu Chong pun menjawab, “Berkat doa restu dari Biksu, guruku yang terhormat dalam keadaan sehat.”

Fangsheng berkata, “Keempat orang ini adalah keponakanku. Biksu muda ini bergelar Jueming, sedangkan mereka bertiga adalah murid dari golongan awam. Yang ini adalah Huang Guobo, dan yang itu adalah Xin Guoliang serta Yi Guozi. Kedua keponakanku yang kusebut belakangan tentu pernah bertemu denganmu, bukan?”

“Benar. Sesepuh berempat, terimalah hormatku!” kata Linghu Chong. “Aku dalam keadaan terluka parah sehingga tidak bisa menjalankan tata krama dengan sempurna. Mohon Sesepuh sekalian sudi memberi maaf.”

“Hm, kau terluka?” sahut Yi Guozi mencibir.

“Apa kau benar-benar terluka?” Fangsheng menegas. “Guozi, apakah kau yang melukai dia?”

“Ah, hanya sedikit salah paham tidak perlu menjadi soal,” ujar Linghu Chong. “Angin kebasan lengan baju Sesepuh Yi telah membanting jatuh diriku, ditambah dengan pukulan satu kali. Untungnya tidak sampai mati. Untuk hal ini Mahabiksu tidak perlu menegur Sesepuh Yi.”

Linghu Chong memang pandai bermain kata-kata. Mengingat Fangsheng adalah biksu sepuh yang terkemuka, tentu tidak akan membiarkan keempat keponakannya untuk berbuat sesuka hati kepada dirinya. Berpikir demikian ia pun melanjutkan, “Apa yang terjadi tadi disaksikan juga oleh Sesepuh Xin. Namun karena Mahabiksu sudah berkenan datang kemari, ini sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Mahabiksu tidak perlu khawatir. Meskipun lukaku parah dan sulit disembuhkan, namun aku tidak akan menceritakannya kepada guruku. Hal ini tidak akan menimbulkan perselisihan di antara Biara Shaolin dengan Serikat Pedang Lima Gunung.” Kata-katanya ini bertujuan untuk memojokkan Yi Guozi sebagai pihak yang telah menyebabkan ia terluka parah.

Mendengar itu Yi Guozi pun berkata dengan gemas, “Omong … kosong … kau bicara omong kosong! Kau memang sudah terluka parah sebelumnya.”

Linghu Chong menghela napas pura-pura menampilkan wajah menyesal. Ia berkata, “Perkataan Sesepuh Yi ini jangan sampai tersiar ke orang lain. Jika tidak, tentu ini akan mencoreng nama baik Biara Shaolin?”

Xin Guoliang, Huang Guobo, dan Jueming sedikit manggut-manggut mendengar ucapan Linghu Chong. Mereka bertiga sama-sama mengetahui kalau Biara Shaolin memiliki kedudukan di atas Serikat Pedang Lima Gunung. Para biksu angkatan “Fang” pun dianggap sebagai angkatan tertua di dunia persilatan saat ini. Meskipun tidak ada hubungan persaudaraan, namun para ketua dari Serikat Pedang Lima Gunung menganggap mereka dari angkatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, angkatan Xin Guoliang dan Yi Guozi bisa dianggap sejajar dengan Yue Buqun, dan setingkat di atas Linghu Chong. Pertarungan antara Yi Guozi dan Linghu Chong tadi dapat dikatakan angkatan tua menyerang angkatan yang lebih muda. Apalagi pertarungan itu disaksikan seorang murid Shaolin lainnya, dan setelah pertarungan itu Linghu Chong mengalami luka parah. Tata tertib di Biara Shaolin sangat ketat. Jika benar Yi Guozi terbukti memukul seorang murid Perguruan Huashan sampai terluka parah atau mati, meskipun ia sendiri tidak sampai menebus dengan nyawa, paling tidak ilmunya akan dimusnahkan dan ia pun dikeluarkan dari Biara. Membayangkan hal ini membuat raut muka Yi Guozi berubah pucat pasi.

Biksu Fangsheng pun berkata, “Cobalah kemari, Pendekar Muda. Biar kuperiksa lukamu.”

Linghu Chong melangkah maju mendekat. Fangsheng segera menjulurkan tangan kanan untuk memegang pergelangan pemuda itu. Jari-jarinya menekan di titik Dayuan dan Jinggu. Tapi mendadak jari-jarinya itu bergetar sampai terpental pula. Ia merasakan dalam tubuh Linghu Chong terdapat tujuh jenis aliran hawa murni yang sangat aneh.

Fangsheng merasa sangat heran. Ia termasuk jago terkemuka di antara para biksu angkatan tua di Biara Shaolin, namun jari-jarinya terpental setelah menyentuh pergelangan tangan seorang anak muda. Benar-benar kejadian yang tidak masuk akal. Ia sendiri tidak tahu kalau aliran hawa murni dalam tubuh Linghu Chong berasal dari tujuh macam tenaga dalam yang dulu disalurkan Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie. Begitulah, meskipun memiliki ilmu silat tinggi, namun Fangsheng tidak mempersiapkan diri sehingga tidak menduga kalau ketujuh hawa murni dalam tubuh si pemuda akan mendorong dan membuat jarinya terpental.

“Oh!” seru biksu tua itu sambil menatap tajam ke arah Linghu Chong dengan mata terbelalak. “Pendekar Muda, kau bukan murid Perguruan Huashan.”

“Saya benar-benar murid Huashan, bahkan murid pertama Tuan Yue,” jawab Linghu Chong.

“Tapi mengapa kau mengikuti aliran sesat dan belajar ilmu silat dari golongan liar itu?” tanya Fangsheng.

Tiba-tiba Yi Guozi menyela, “Paman Guru, ilmu silat yang digunakan bocah ini memang benar-benar dari aliran sesat. Malah tadi kita juga melihat di belakangnya ada seorang perempuan, dan mengapa sekarang perempuan itu menghilang? Di mana wanita itu sekarang bersembunyi? Melakukan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, jelas kalau dia bukan orang baik-baik.”

Mendengar kata-kata itu, Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, “Kau adalah murid golongan terkemuka, mengapa ucapanmu tidak kenal sopan santun? Beliau memang tidak sudi melihatmu supaya amarah Beliau tidak bangkit.”

“Suruh dia keluar! Paman guruku memiliki pandangan yang tajam. Hanya dengan sekali lihat saja Beliau sudah bisa mengetahui apakah wanita itu dari aliran lurus atau aliran sesat.”

“Kita tadi pagi berkelahi adalah karena kau kurang ajar kepada nenekku. Sekarang kau berani omong kosong lagi?” bentak Linghu Chong.

Biksu Jueming ikut berbicara, “Pendekar Linghu, dari atas bukit tadi kami melihat ada perempuan ikut di belakangmu. Langkahnya sangat ringan dan gesit. Sama sekali tidak mirip seorang nenek seperti ucapanmu.”

“Nenekku orang persilatan. Sudah tentu langkahnya ringan dan gesit. Kenapa harus heran?” sahut Linghu Chong.

“Jueming, kita ini pengikut ajaran Sang Buddha, mana boleh memaksa perempuan sepuh dari keluarga lain untuk keluar menemui kita?” tukas Fangsheng sambil menggeleng, Ia kemudian berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, “Baiklah, Pendekar Linghu. Memang dalam masalah ini banyak hal-hal aneh yang tidak kumengerti. Badanmu terluka parah tidak mungkin disebabkan oleh serangan Keponakan Yi. Pertemuan kita ini karena takdir. Semoga kesehatanmu lekas pulih kembali. Luka dalam yang kau derita benar-benar parah. Aku punya dua butir pil yang dapat kauminum, namun mungkin tidak dapat menyembuhkanmu.” Usai berkata demikian, ia pun merogoh saku di balik bajunya.

Dalam hati Linghu Chong merasa kagum terhadap pembawaan biksu sepuh yang memang berbeda jauh dengan para keponakannya tersebut. Segera ia membungkuk memberi hormat sambil berkata, “Saya sungguh beruntung bisa bertemu Mahabiksu ….”

Tiba-tiba Yi Guozi mencabut pedang dan membentak, “Itu dia ada di sini!” Kemudian ia menyusup masuk ke dalam semak-semak tempat Si Nenek bersembunyi.

Lekas-lekas Fangsheng berseru, “Keponakan Yi, jangan kurang ajar!”

Tapi apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Tahu-tahu tubuh Yi Guozi sudah melayang kembali dan keluar dari tengah semak-semak itu, kemudian terbanting kaku di atas tanah dengan wajah menghadap langit. Tampak kaki dan tangannya menggelepar beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.

Seketika semua mata terbelalak kaget. Tampak luka menganga di dahi Yi Guozi yang mengeluarkan darah segar. Tangan pria itu masih memegangi pedangnya dengan erat, namun hidungnya sudah tidak bernapas lagi.

Xin Guoliang, Huang Guobo, dan Jueming berteriak gusar. Mereka menghunus senjata hendak menerjang masuk ke dalam semak-semak. Akan tetapi Fangsheng lebih dulu mengibaskan lengan bajunya sehingga menimbulkan angin lembut yang menghadang ketiga keponakannya itu berbuat lebih jauh. Mereka bertiga serentak berhenti karena seperti membentur tembok yang tak terlihat. Fangsheng kemudian berseru lantang ke arah semak-semak, “Saudara dari Tebing Kayu Hitam siapa yang berada di sini?”

Tapi keadaan semak-semak itu tampak sunyi senyap tiada gerakan sedikit pun.

Segera Fangsheng berseru kembali, “Biara Shaolin tidak memiliki permusuhan dengan Saudara-Saudara dari Tebing Kayu Hitam. Mengapa Tuan menggunakan cara sedemikian kejam atas diri Keponakan Yi kami?”

Dari dalam semak-semak itu tetap saja tidak terdengar suara apa pun serta tidak ada seorang pun yang menjawab.

Mendengar itu, Linghu Chong sangat terkejut. Ia berpikir, “Tebing Kayu Hitam? Bukankah Tebing Kayu Hitam adalah markas besar Sekte Iblis? Apakah … apakah … Nenek seorang sesepuh dari Sekte Iblis?”

Fangsheng kembali berkata, “Dahulu saya pernah bertemu dengan Ketua Dongfang. Karena Saudara sudah turun tangan membunuh orang, maka hari ini juga kita harus menyelesaikan masalah yang melibatkan kedua pihak ini. Mengapa kau tidak juga keluar untuk menemui kami?”

Jantung Linghu Chong berdebar kencang. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ketua Dongfang? Apakah yang dimaksud adalah Dongfang Bubai, Ketua Sekte Iblis? Orang itu disebut-sebut sebagai jago nomor satu di dunia persilatan zaman ini. Kalau begitu … kalau begitu … nenek ini benar-benar anggota Sekte Iblis.”

Para pendekar membutakan mata sendiri.

Si Nenek memerintahkan para pendekar ke Pulau Naga Melingkar.


Linghu Chong menyambut kedatangan Biksu Fangsheng.

Mayat Yi Guozi terpental ke udara.

(Bersambung)