Bagian 83 - Kakek Tua Penunggang Keledai

Kakek tua penunggang keledai beserta dua keponakannya.

Linghu Chong yang pernah menyaksikan murid-murid Perguruan Henshan disergap musuh di atas Pegunungan Xianxia segera mengatur siasat berama Ji Wushi dan yang lain. Maka, dalam perjalanan kali ini ia mengatur pasukan dalam tujuh kelompok. Dua kelompok berjalan di depan sebagai pelopor, dua kelompok menjaga sayap kiri, dan dua kelompok menjaga sayap kanan. Satu kelompok lagi berjalan di belakang sebagai bala bantuan, dan selebihnya berjalan di tengah sebagai pasukan induk. Selain itu ia juga menugasi Partai Gagak Sakti dari Sungai Hanshui sebagai penghubung antarkelompok yang hilir-mudik ke sana-kemari menyampaikan berita.

Partai Gagak Sakti adalah perkumpulan persilatan setempat yang memiliki daerah kekuasaan cukup luas di wilayah Hubei Utara sampai Henan Selatan, sehingga segala kabar berita dan tanda-tanda bahaya dapat mereka ketahui dengan cepat. Melihat bagaimana cara Linghu Chong mengatur pasukan yang sedemikian besar dengan begitu rapi membuat orang-orang terkagum-kagum dan semakin tunduk kepadanya, tentu saja tidak termasuk Enam Dewa Lembah Persik.

Selama beberapa hari berjalan, semakin banyak kelompok-kelompok baru yang bergabung dari berbagai tempat. Panji-panji yang berkibar dan genderang yang ditabuh juga semakin bertambah banyak. Bahkan tidak sedikit pula para pendekar yang membawa gong dan memukulnya berkali-kali sehingga suasana bertambah ramai. Ditambah pula dengan teriakan-teriakan keras pasukan tersebut yang kini memiliki anggota tidak kurang dari tiga ribu orang.

Suatu hari akhirnya mereka sampai di kaki Gunung Wudang. Linghu Chong berkata, “Perguruan Wudang adalah perguruan terbesar kedua di dunia persilatan. Kekuatan dan nama besarnya hanya setingkat di bawah Shaolin. Perjalanan kita adalah untuk menjemput pulang Gadis Suci yang sedapat mungkin menghindari percekcokan dengan Perguruan Shaolin. Maka dengan sendirinya, kita pun sebaiknya jangan mengganggu Perguruan Wudang pula. Bagaimana kalau kita memutar dan mengambil jalan lain untuk menunjukkan penghormatan kita terhadap Pendeta Chongxu, Ketua Perguruan Wudang yang hebat itu? Bagaimana pendapat kalian?”

Lao Touzi menjawab, “Apa pun yang diperintahkan Tuan Muda Linghu, pasti kami patuhi. Tujuan kita hanyalah untuk menjemput pulang Gadis Suci, itu sudah cukup. Kita tidak perlu mencari perkara dengan pihak lain dan menambah musuh tangguh. Seandainya kita bisa menginjak-injak Perguruan Wudang juga tidak ada gunanya kalau tidak bisa menemui Gadis Suci.”

Linghu Chong lalu berkata, “Bagus kalau begitu. Sekarang mohon siarkan perintahku agar menggulung panji-panji dan menghentikan bunyi genderang. Kita berbelok ke arah timur untuk kemudian memutar lagi ke utara.”

Orang-orang pun mematuhi perintahnya dan segera menggulung panji-panji dan menghentikan tetabuhan. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, tampak dari depan muncul seorang penunggang keledai yang diikuti dua orang petani berjalan kaki. Yang satu memikul sayuran, yang satu lagi memikul kayu bakar. Sementara itu si penunggang keledai tampak sudah tua renta dengan pakaian dekil penuh tambalan. Punggungnya bungkuk dan tiada hentinya terbatuk-batuk.

Melihat kemunculan mereka, serentak beberapa pendekar melolos senjata untuk menakut-nakuti. Di sepanjang perjalanan, kawanan itu selalu bergembar-gembor dengan ramainya untuk unjuk kekuatan. Setiap orang di jalanan yang bertemu mereka tentu ketakutan dan lekas-lekas menyingkir, jika mereka tidak ingin celaka. Namun ketiga orang ini ternyata lain daripada yang lain. Mereka tetap saja berjalan mendekat seolah-olah tidak melihat adanya barisan besar di depan.

“Hei, kau cari mampus, ya?” bentak Dewa Akar Persik sambil tangannya mendorong ke depan. Seketika keledai itu meringkik dan jatuh terhempas ke tanah dengan tulang patah.

Si kakek penunggang keledai juga ikut terbanting jatuh. Ia merintih kesakitan dan sampai sekian lamanya tidak mampu bangkit kembali.

Linghu Chong sangat menyesalkan kejadian ini. Ia segera melompat menghampiri orang itu untuk memapahnya bangun, sambil berkata, “Pak Tua, apakah kau terluka? Mohon maafkan kami.”

“Ini … ini ... apalah artinya? Aku … aku … aku hanya orang miskin,” kata orang tua itu tergagap-gagap sambil meringis.

Kedua petani yang mengiringi si kakek segera menaruh pikulan masing-masing, lalu berdiri tegak di tengah jalan sambil berkacak pinggang. Wajah mereka terlihat sangat gusar. Si pemikul sayur berseru dengan napas tersengal-sengal, “Ini adalah kaki Gunung Wudang. Berani-beraninya kalian sembarangan mengganggu dan memukul orang di sini? Memangnya kalian siapa?”

“Memang di sini kaki Gunung Wudang, lantas kenapa?” sahut Dewa Akar Persik sambil tertawa.

“Di kaki Gunung Wudang ini setiap orang bisa bermain silat. Kalian orang dari daerah lain berani main gila di sini, itu sama saja dengan cari penyakit,” kata orang itu.

Usia kedua petani itu rata-rata sudah lima puluhan, dengan wajah pucat dan badan kurus pula. Sewaktu berbicara, si pemikul sayur tampak terengah-engah, tapi ia mengaku mahir silat. Tentu saja membuat puluhan orang tertawa kepadanya.

Dewa Bunga Persik lantas bertanya, “Memangnya kau sendiri mahir ilmu silat?”

Si pemikul sayur menjawab, “Di kaki Gunung Wudang ini anak umur tiga tahun sudah bisa ilmu pukulan, umur lima tahun sudah bisa ilmu pedang. Apanya yang aneh?”

“Bagaimana dengan dia? Apakah dia juga bisa silat?” tanya Dewa Bunga Persik sambil menunjuk si pemikul kayu bakar.

“Aku … aku … di waktu kecil aku memang pernah belajar beberapa bulan lamanya,” kata si pemikul kayu. “Tapi sudah puluhan tahun aku tidak pernah berlatih, mungkin … mungkin sekali sekarang sudah lupa.”

Si pemikul sayur menukas, “Ilmu silat Perguruan Wudang nomor satu di dunia. Cukup berlatih beberapa bulan saja kalian sudah tidak mampu melawannya.”

“Bagus, jika begitu cobalah kau tunjukkan beberapa jurus kepadaku,” sahut Dewa Daun Persik dengan tertawa.

“Jurus apa? Biar kumainkan juga kalian tidak paham,” ujar si pemikul kayu bakar.

Kembali bergemuruhlah suara gelak tawa orang banyak. Sebagian berseru, “Kami memang tidak paham. Kami hanya ingin tahu!”

“Aih, jika demikian terpaksa akan kumainkan beberapa jurus saja, entah masih ingat atau tidak?” kata pemikul kayu itu. “Eh, tuan besar mana yang sudi meminjamkan pedang kepadaku?”

Segera seorang pendekar menyodorkan sebilah pedang kepadanya sambil tertawa. Si pemikul kayu bakar menyambutnya dan melangkah ke tengah sawah kering di sebelahnya. Ia lalu menusukkan pedang itu ke kanan dan ke kiri secara kacau. Setelah tiga atau empat jurus, mendadak ia berhenti karena lupa lanjutannya. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan mencakar-cakar telinga sambil mengingat-ingat, lalu main lagi beberapa jurus.

Melihat permainannya yang kacau balau itu, juga gerak-geriknya yang kaku dan tampak bodoh, membuat semua orang dalam rombongan semakin terpingkal-pingkal.

“Apanya yang lucu? Kenapa kalian tertawa?” sahut si pemikul sayur. “Coba pinjami aku pedang juga. Aku pun akan main beberapa jurus.”

Setelah menerima pedang, orang itu segera menebas dan menusuk serabutan. Gerakannya sangat cepat dan caranya bermain seperti orang gila, membuat orang banyak bertambah geli dan menertawakannya.

Semula Linghu Chong juga ikut tersenyum sambil kedua tangannya membelakang. Tapi setelah melihat beberapa jurus ia menjadi terkejut. Dilihatnya gerak pedang kedua laki-laki itu berbeda, yang satu sangat lamban dan yang lain sangat cepat, tapi dalam permainan mereka ternyata sedikit sekali ditemukan celah kelemahan, bahkan sangat sulit ditemui adanya kelemahan. Memang gerak-gerik kedua orang itu sangat lucu dan mengundang tawa penonton, serta jurus pedang mereka juga sederhana. Namun sepertinya kedua orang itu baru mengeluarkan sepuluh persen dari kepandaian masing-masing. Memang kepandaian sejati tidak sembarangan diperlihatkan pada orang lain.

Maka di tengah gelak tawa orang banyak itulah Linghu Chong lantas melangkah maju. Sambil memberi hormat ia berkata, “Sungguh beruntung hari ini aku dapat menyaksikan ilmu pedang mahasakti dari Sesepuh berdua. Kepandaian sehebat ini sungguh sukar ditemukan sekalipun menjelajahi seluruh dunia.”

Kata-kata Linghu Chong ini diucapkan dengan nada yang sungguh-sungguh dan setulus hati, sama sekali berbeda dengan kata-kata para pendekar dalam barisan yang bernada mengejek tadi.

Kedua laki-laki itu lantas menyimpan pedang dan menghentikan permainan mereka. Si pemikul kayu menjawab dengan mata melotot, “Bocah, memangnya kau paham ilmu pedang kami?”

“Dibilang paham juga tidak,” jawab Linghu Chong. “Ilmu pedang Sesepuh berdua mahasakti dan sangat luas. Untuk ‘memahaminya’ tidak mungkin begitu gampang. Yang jelas, ilmu pedang Perguruan Wudang yang termasyhur ternyata memang hebat. Semua orang mengaguminya.”

“Bocah, siapa namamu?” tanya si pemikul sayur.

Belum sempat Linghu Chong menjawab, di tengah barisan sudah ada yang berteriak, “Bocah bagaimana? Dia adalah ketua perserikatan kami, namanya Tuan Muda Linghu.”

“Dasar orang gunung, kalau bicara sopan sedikit!” sahut yang lain.

Si pemikul kayu bakar memiringkan kepalanya sambil menegas, “Linghu Kuaci? Linghu Kacang? Namanya aneh sekali. Kenapa bukan Ah Mao atau Ah Gao saja?” Demikian ia memelesetkan sebutan Linghu Gongzhi menjadi Linghu Kuaci, juga mengejek dengan nama Ah Mao dan Ah Gao yang bermakna Si Meong dan Si Guk-guk.

Linghu Chong kembali memberi hormat dan berkata, “Hari ini Linghu Chong dapat menyaksikan ilmu pedang sakti Perguruan Wudang. Sungguh sangat beruntung dan kagum dibuatnya. Lain hari tentu saya akan naik gunung dan berkunjung untuk memberi hormat kepada Pendeta Chongxu. Sungguh saya benar-benar mengagumi Beliau. Tentang nama kedua Sesepuh yang mulia, apakah boleh saya mengetahuinya?”

Kedua orang itu tidak menjawab, bahkan si pemikul kayu justru meludah ke tanah lalu berkata, “Hei, kalian sebanyak ini berbaris dan membunyikan genderang segala. Apakah kalian sedang mengantar jenazah?”

Linghu Chong tahu kedua orang itu pasti tokoh Perguruan Wudang yang sedang menyamar. Dengan penuh hormat ia menjawab, “Ada seorang teman kami yang ditahan oleh Perguruan Shaolin. Kami sekarang hendak menuju ke sana untuk memohon kemurahan hati Mahabiksu Fangzheng agar sudi mengampuni teman kami itu dan membebaskannya.”

“O, ternyata bukan sedang mengantar jenazah,” ujar si pemikul sayur. “Tapi kalian telah melukai keledai paman kami. Kalian mau ganti atau tidak?”

Segera Linghu Chong menuntun maju tiga ekor kuda, lalu berkata, “Kuda-kuda ini sudah pasti tidak bisa dibandingkan dengan keledai Sesepuh itu. Namun dengan terpaksa aku mohon Sesepuh bertiga sudi menerima seadanya. Sungguh kami tidak tahu kalau Sesepuh bertiga hendak lewat sini dan sempat membuat Sesepuh bertiga tersinggung. Atas kecerobohan kami tadi, mohon para Sesepuh sudi memaafkan.”

Melihat sikap Linghu Chong yang makin lama makin hormat dan rendah hati terhadap petani-petani itu, membuat para pendekar dalam barisan melongo keheranan.

Si pemikul sayur berkata, “Setelah kau mengetahui kehebatan ilmu pedang kami, apakah kau tidak ingin mencobanya?”

Linghu Chong menjawab, “Aku jelas bukan tandingan Sesepuh berdua.”

“Kau tidak ingin mencoba kami, tapi aku ingin mencobamu,” kata si pemikul kayu. Bersamaan itu pedangnya lantas menusuk ke arah Linghu Chong dengan posisi agak miring dan melenceng.

“Ilmu pedang bagus!” seru Linghu Chong ketika melihat serangan orang itu mencakup sembilan titik berbahaya pada tubuhnya. Sungguh suatu jurus serangan yang amat indah luar biasa. Segera ia pun melolos pedang dan balas menusuk.

Ketika laki-laki itu menusuk satu kali ke tempat kosong, Linghu Chong juga memutar pedangnya dan menebas ke tempat yang kosong pula. Berturut-turut kedua orang itu sama-sama menyerang puluhan kali, tapi yang diarah semuanya hanyalah tempat kosong belaka. Kedua pedang belum pernah beradu. Namun demikian, si pemikul kayu tampak selangkah demi selangkah bergerak mundur.

“Kuaci ini ternyata boleh juga,” ujar si pemikul sayur. Segera ia mengangkat pedangnya dan menusuk serta menebas serabutan. Dalam sekejap saja ia sudah memainkan lebih dari dua puluh jurus serangan. Tapi tiap-tiap jurusnya selalu berselisih satu atau dua meter jauhnya dari tubuh Linghu Chong. Begitu pula Linghu Chong juga terkadang menusuk dari jauh ke arah si pemikul kayu, dan di saat lain menusuk si pemikul sayur dari jarak jauh pula.

Anehnya, setiap kali Linghu Chong menyerang dari jarak jauh, seketika kedua laki-laki itu tampak tegang dan dengan cepat memutar pedang untuk menangkis atau melompat menghindar. Kontan para penonton terheran-heran. Padahal jarak antara ujung pedang Linghu Chong dengan sasarannya lumayan jauh, juga tanpa disertai tenaga yang menghasilkan kesiuran angin, tapi mengapa kedua orang itu berusaha menghindar sebisanya?

Sampai di sini barulah kawanan pendekar itu mengetahui bahwa kedua laki-laki tersebut sama sekali bukan orang desa biasa, tapi merupakan tokoh-tokoh silat yang memiliki kepandaian tinggi. Di waktu menyerang, yang satu kelihatan lamban dan yang lain seperti orang gila kesetanan, tapi ketika menghindar, gerak-gerik mereka terlihat begitu lincah dan mantap. Satu sama lain saling melindungi. Menyaksikan itu para pendekar dalam barisan tidak ada yang berani tertawa lagi.

Tiba-tiba terdengar kedua orang itu bersuit serentak, ilmu pedang mereka pun berubah sama sekali. Si pemikul kayu bergerak dengan tenaga yang sangat kuat, sedangkan si pemikul sayur meloncat mundur ke sana-sini dengan cepat. Ujung pedang mereka bergetar memantulkan titik-titik sinar perak seperti bintang-bintang kecil di langit.

Di lain pihak, ujung pedang Linghu Chong sedikit demi sedikit mengacung miring ke atas, kemudian diam tak bergerak lagi. Sepasang mata pemuda itu memandang tajam, terkadang melotot ke arah si pemikul kayu, dan terkadang melirik si pemikul sayur. Siapa pun yang terkena sorot matanya, seketika langsung berganti gaya. Terkadang mereka berteriak dan melompat mundur dengan cepat, atau bahkan mengubah serangan menjadi bertahan.

Beberapa jago berilmu tinggi seperti Ji Wushi, Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan yang lain, sedikit demi sedikit akhirnya dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Rupanya kedua laki-laki itu menghindar kelabakan karena apa yang disorot oleh tatapan mata Linghu Chong adalah titik-titik penting di tubuh mereka.

Misalnya ketika si pemikul kayu hendak menyabetkan pedangnya, sorot mata Linghu Chong menatap ke titik Shanggu di bagian perutnya, sehingga orang itu membatalkan serangan lekas-lekas menarik kembali pedangnya untuk melindungi titik itu. Pada saat yang hampir sama si pemikul sayur hendak menusuk beberapa kali ke arah Linghu Chong, namun tiba-tiba sorot mata Linghu Chong mengarah ke titik Tianding di bagian lehernya. Lekas-lekas ia pun menunduk ke bawah sehingga tusukan pedangnya menancap tanah sawah yang sudah mengeras dan kering. Apa yang terjadi seolah mata Linghu Chong bisa mengeluarkan senjata rahasia dan kedua laki-laki itu selalu buru-buru melindungi bagian tubuh mereka yang dipandang olehnya.

Begitulah, untuk sekian lamanya kedua laki-laki itu terus berkelit dan menangkis sehingga pakaian mereka basah kuyup oleh keringat sendiri seperti baru saja tercebur ke sungai.

Si kakek penunggang keledai yang dari tadi hanya diam menonton tiba-tiba berdehem, lalu berkata, “Hebat, sungguh sangat mengagumkan! Kalian berdua mundur saja.”

“Baik!” jawab kedua laki-laki itu bersamaan. Namun sorot mata Linghu Chong masih terus memandang bagian-bagian penting di tubuh mereka. Meski mereka memutar pedang ke sana kemari sambil berjalan mundur tetap saja sukar melepaskan diri dari sorot mata pemuda itu.

“Ilmu pedang bagus!” seru si kakek. “Tuan Muda Linghu, biarlah aku yang minta petunjuk beberapa jurus kepadamu.”

“Aku tidak berani!” sahut Linghu Chong sambil berpaling dan memberi hormat kepada si kakek.

Baru sekarang kedua laki-laki itu dapat membebaskan diri dari incaran sorot mata Linghu Chong. Serentak mereka melompat mundur bersama dengan langkah ringan bagaikan burung terbang. Terdengarlah sorak-sorai kawanan pendekar. Para hadirin memang tidak memahami ilmu silat kedua laki-laki itu, namun saat melihat mereka melompat jarak jauh dengan gerakan indah, terlihat jelas kalau keduanya adalah pendekar papan atas berilmu tinggi.

Si kakek terbatuk-batuk beberapa kali, lalu berkata, “Tuan Muda Linghu sengaja bermurah hati kepada kalian. Jika pertempuran tadi sungguh-sungguh, tentu tubuh kalian sudah penuh dengan lubang tusukan. Mana mungkin kalian mampu menyelesaikan permainan pedang ini? Lekas kalian maju mengucapkan terima kasih kepadanya.”

Segera kedua laki-laki itu berjalan maju dan kemudian membungkuk di hadapan Linghu Chong. Si pemikul sayur berkata, “Hari ini aku baru sadar kalau di atas langit masih ada langit. Di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Kepandaian Tuan Muda yang sangat hebat jarang ada bandingannya di dunia ini. Harap Tuan Muda sudi memaafkan ucapan kami yang kurang sopan tadi.”

Linghu Chong membalas hormat mereka, dan berkata, “Ilmu pedang Perguruan Wudang benar-benar mahasakti. Permainan pedang kalian tadi melambangkan yin dan yang. Satu lembut, satunya keras. Apakah itu tadi yang disebut ilmu Pedang Taiji?”

“Ah, sungguh membuat malu saja. Yang kami mainkan tadi hanyalah Ilmu Pedang Dua Upacara. Memang terdiri dari jurus lunak dan keras, tapi belum dapat kami gabungkan jadi satu,” sahut si pemikul sayur.

“Aku tadi hanya memperhatikan ilmu pedang kalian dan sulit sekali memahaminya,” ujar Linghu Chong. “Tapi kalau kita benar-benar bertempur jelas aku tidak sanggup menghadapinya.”

“Tuan Muda Linghu teramat rendah hati,” tukas si kakek. “Padahal sorot mata Tuan Muda selalu menatap titik kelemahan dari setiap jurus Pedang Dua Upacara. Aih, ilmu pedang ini ternyata … ternyata ….” sampai di sini orang tua itu bicara sambil menggeleng-geleng kepala. Sejenak kemudian barulah ia menyambung, “Lima puluh tahun yang lalu dalam Perguruan Wudang ada dua pendeta yang berusaha menyempurnakan ilmu Pedang Dua Upacara secara mendalam. Beliau-beliau itu merasa di dalam ilmu pedang ini ada keras juga ada lembut. Tapi, aih!” Ia menghela napas seolah hendak mengatakan, “Ternyata ilmu pedang yang dianggap sudah sempurna itu langsung hancur dalam sekali gempur di tangan seorang ahli pedang zaman sekarang.”

Rupanya dalam pertandingan tadi, mula-mula Linghu Chong menggunakan pedangnya untuk menyerang tempat-tempat berbahaya di tubuh kedua lawan dari jarak jauh. Tempat yang diarah adalah titik-titik kelemahan permainan pedang mereka. Tapi kemudian ia tidak perlu lagi menggerakkan pedangnya, melainkan cukup hanya sorot matanya saja yang berpindah-pindah mengincar ke titik-titik tersebut. Setiap kali salah seorang lawannya menyerang, selalu saja merasakan titik kelemahannya sedang diincar Linghu Chong sehingga terpaksa ia harus menarik kembali pedangnya untuk menangkis atau berkelit, dan begitulah seterusnya.

Linghu Chong lantas berkata dengan penuh hormat, “Entah apa kedudukan kedua paman ini dalam Perguruan Wudang, namun ilmu pedang Beliau berdua sudah sedemikian bagusnya. Jika demikian, kepandaian Pendeta Chongxu serta para sesepuh Perguruan Wudang yang lain tentu sukar untuk dibayangkan. Hari ini kami secara kebetulan harus melewati kaki Gunung Wudang dan karena ada urusan mendesak sehingga terpaksa tidak sempat berkunjung dan memberi hormat kepada Pendeta Chongxu. Kelak bila urusan sudah selesai tentu saya akan berkunjung ke Kuil Zhenwu untuk bersembahyang serta menyampaikan hormat kepada Pendeta Chongxu.”

Biasanya Linghu Chong bersifat angkuh dan urakan. Namun terhadap ketiga tokoh Perguruan Wudang tersebut ia benar-benar kagum dan menaruh hormat. Memang ia telah berhasil menemukan kelemahan ilmu pedang tadi. Namun, bagaimanapun juga setiap ilmu silat pasti memiliki kelemahan dan Ilmu Pedang Dua Upacara tadi termasuk yang sulit untuk dipatahkan dan mengandung kekuatan keras dan lembut yang luar biasa. Melihat kedua laki-laki tersebut sangat patuh kepada si kakek tua, Linghu Chong pun ikut menaruh hormat setulus hati karena merasa kakek ini tentu memiliki kedudukan tinggi di antara para sesepuh Perguruan Wudang.

Kakek tua itu manggut-manggut dan berkata, “Usiamu masih muda dan memiliki kepandaian tinggi, tapi sama sekali tidak sombong. Orang sepertimu sungguh sulit ditemukan. Tuan Muda Linghu, apakah kau pernah mendapat didikan langsung dari sesepuh Perguruan Huashan, Feng Qingyang?”

Linghu Chong terkesiap dan mengakui betapa tajam penglihatan kakek tua itu. Sebenarnya ia sudah berjanji untuk tidak mengatakan keberadaan Feng Qingyang. Namun karena kakek itu bisa menebak asal-usul ilmu pedangnya tadi, maka ia merasa tidak perlu menutup-nutupinya lagi. Segera ia membungkuk dan menjawab, “Saya beruntung pernah mempelajari seujung kuku kepandaian Kakek Guru Feng.” Perkataannya ini sengaja dibuat samar-samar karena ia sudah berjanji untuk tidak mengatakan bahwa Feng Qingyang telah mengajarinya secara langsung.

“Seujung kuku? Hehehe, seujung kuku ilmu pedang Sesepuh Feng saja sudah begitu hebat,” kata si kakek dengan tersenyum. Ia berpaling dan mengambil pedang dari tangan si pemikul kayu, lalu memegangnya di tangan kiri sambil berkata, “Sekarang aku ingin belajar seujung kuku ilmu pedang Sesepuh Feng itu.”

“Mana berani saya bertanding melawan Sesepuh?” ujar Linghu Chong rendah hati.

Kembali kakek itu tersenyum. Tubuhnya sedikit memutar ke kanan, lalu tangan kirinya perlahan-lahan mengangkat pedang mengacung ke atas dan melintang di depan dada. Sementara itu, tangan kanannya diletakkan berhadapan dengan tengan kiri, seperti sedang memegang bola.

Linghu Chong tidak berani gegabah. Dilihatnya orang tua itu meskipun belum menyerang namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat tak terbatas. Maka ia pun mengikuti gerak-gerik kakek itu dengan seksama. Tiba-tiba pedang si kakek bergerak ke depan dengan perlahan dalam bentuk setengah lingkaran.

Seketika Linghu Chong merasa suatu arus hawa dingin menyambar ke arahnya. Kalau ia tidak balas menyerang sekarang rasanya sukar untuk terus bertahan. Maka ia pun berkata, “Maaf!” dan mulai menyerang. Karena belum menemukan titik kelemahan pada jurus pedang si kakek, terpaksa pedangnya pun menusuk sekenanya ke depan.

Tiba-tiba si kakek memindahkan pedang ke tangan kanan. Sinar pedangnya berkelebat menyilaukan, menebas ke leher Linghu Chong. Karena gerakan yang teramat cepat ini, para hadirin yang menonton sampai menjerit kaget bersamaan.

Namun karena melakukan serangan yang keras dan mendadak itu, titik kelemahan si kakek yang terletak di bawah ketiak menjadi terbuka. Linghu Chong segera menusukkan pedangnya ke arah titik Yuanye di bawah iga orang tua itu.

Terpaksa si kakek menegakkan pedangnya. Kedua pedang pun berbenturan mengeluarkan suara nyaring. Keduanya sama-sama mundur selangkah. Linghu Chong dapat merasakan tenaga lawan halus seakan-akan menyelubungi pedangnya dan tangannya sampai kesemutan. Sebaliknya, si kakek juga berseru heran, “Oh!” seolah tidak percaya atas apa yang baru saja dialaminya.

Setelah gebrakan itu, pedang si kakek kembali berpindah ke tangan kiri. Ujung pedangnya kemudian diayun ke depan membentuk dua lingkaran.

Melihat gerakan pedang yang bertenaga dan melindungi seluruh tubuh dengan rapat tanpa celah sedikit pun, diam-diam Linghu Chong terkejut dan heran. Ia berpikir, “Sudah banyak musuh kuhadapi, belum pernah kulihat permainan silat yang begini rapat pertahanannya. Bila ia menyerang dengan cara demikian, lalu bagaimana aku bisa mematahkannya? Mungkin ilmu pedang Ketua Ren lebih hebat, tetapi ilmu pedang kakek ini lebih rapat.” Karena dalam hati merasa sangsi, tanpa terasa butiran keringat pun merembes di dahinya.

Ketika itu tangan kanan si kakek sedang memainkan jurus, sedangkan pedang di tangan kirinya tampak bergetar. Tiba-tiba pedang itu menusuk ke depan dengan cepat sehingga tidak diketahui arah mana yang dituju. Yang pasti, serangan pedang itu mengancam tujuh titik penting pada tubuh Linghu Chong.

Akan tetapi, serangan cepat itu justru membuat Linghu Chong dapat melihat tiga celah kelemahan pada tubuh si kakek. Tidak perlu ketiga-tiganya diserang, cukup salah satu saja yang diserang sudah bisa untuk menamatkan jiwanya. Linghu Chong pun bernapas lega saat berpikir, “Saat bertahan kelemahannya tidak terlihat sama sekali. Tapi ketika menyerang, ada celah yang bisa kumanfaatkan.”

Segera pedangnya pun ditusukkan ke depan, menuju alis kiri si kakek. Dalam keadaan demikian bila si kakek tetap menusukkan pedangnya ke depan, maka lebih dulu pelipis kirinya yang akan tertusuk pedang Linghu Chong.

Ternyata si kakek cukup menyadari hal itu. Mendadak ia memutar balik pedangnya sebelum tuntas jurus yang ia lancarkan. Tiba-tiba pandangan Linghu Chong silau melihat lingkaran-lingkaran sinar perak besar dan kecil, bulat dan lonjong, yang tak terhitung banyaknya. Karena matanya kabur, terpaksa ia pun menarik kembali pedangnya, lalu menusuk miring ke tengah lingkaran sinar pedang tersebut. Kedua pedang kembali berbenturan menimbulkan suara keras. Karena begitu kerasnya sampai-sampai lengan Linghu Chong terasa nyeri.

Lingkaran sinar perak yang tercipta dari kilatan pedang si kakek makin lama makin banyak. Hanya sebentar saja seluruh badannya seakan-akan menghilang di balik lingkaran sinar yang tak terhitung jumlahnya itu. Lingkaran-lingkaran sinar itu saling susul-menyusul. Yang satu belum hilang, sudah muncul lingkaran baru lagi. Meskipun gerakan pedangnya sangat cepat namun sama sekali tidak terdengar suara kesiuran angin, pertanda kepandaian kakek tua itu dalam mengatur tenaga dan mengendalikan senjata sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

Linghu Chong tidak sanggup mengincar celah kelemahan di tengah ilmu pedang si kakek. Ia hanya merasa lawan seakan-akan dibungkus oleh ribuan batang pedang yang sukar untuk ditembus. Orang tua itu kini hanya bertahan, sehingga ilmu pedangnya sama sekali tidak memiliki celah kelemahan. Mata pedangnya bagaikan benteng yang dapat bergerak, di mana kilatan sinar pedangnya bagaikan ombak bergulung mengalir tanpa henti.

Orang tua itu tidak hanya memainkan pedangnya dalam satu jenis jurus berurutan, tetapi ia menggabungkan beberapa jurus secara bervariasi untuk bertahan, dan secara cepat diubahnya menjadi serangan. Karena tidak sanggup menghadapinya, tanpa sadar Linghu Chong melangkah mundur. Setiap kali ia mundur satu langkah, lingkaran-lingkaran sinar itu lantas mendesak maju selangkah pula. Dalam sekejap saja, ia sudah mundur hampir sepuluh langkah dan tampaknya masih akan terus terdesak mundur.

Melihat pimpinan mereka berada di bawah angin, para pendekar dalam barisan ikut prihatin dan sama-sama menahan napas mengikuti pertarungan hebat itu. Mendadak Dewa Akar Persik berseru, “Hei, ilmu pedang macam apa itu? Seperti anak kecil menggambar lingkaran saja. Aku juga bisa kalau cuma begitu!”

“Kalau aku yang menggambar tentu bisa lebih bulat daripada dia,” sahut Dewa Bunga Persik.

“Jangan takut, Saudara Linghu! Jika kau kalah, kami akan segera merobek tubuh tua bangka itu menjadi empat untuk melampiaskan rasa kesalmu,” seru Dewa Ranting Persik.

“Ucapanmu salah besar!” kata Dewa Daun Persik. “Pertama, dia adalah Ketua Linghu dan bukan Saudara Linghu. Kedua, dari mana kau tahu kalau dia takut?”

Dewa Ranting Persik menanggapi, “Meskipun Linghu Chong sudah menjadi ketua perserikatan, tapi umurnya lebih muda daripada aku. Memangnya kalau sudah menjadi ketua, umurnya langsung bertambah tua pula dan harus dipanggil Kakak Linghu, Paman Linghu, atau Kakek Linghu segala?”

Saat itu Linghu Chong tampak kembali terdesak mundur. Para hadirin ikut cemas melihatnya. Kini mendengar Enam Dewa Lembah Persik mengoceh tak keruan membuat perasaan mereka bertambah geram.

Dalam pada itu Linghu Chong kembali mundur satu langkah dan “Byur!”, tiba-tiba sebelah kakinya menginjak lumpur sawah. Kejadian ini seketika mengusik pikirannya, “Dulu Kakek Guru Feng telah berpesan kepadaku bahwa ilmu silat di dunia ini beraneka ragam dan selalu berkembang. Namun tak peduli bagaimana bagusnya gerak serangan lawan, asalkan ada jurus tentu ada celah kelemahannya. Pendekar Besar Dugu semasa hidupnya dapat merajai dunia persilatan tanpa tanding adalah karena kemampuannya dalam menemukan celah kelemahan pada setiap jurus serangan musuh. Sekarang ilmu pedang sesepuh ini berputar begini cepat, sedikit pun tidak memiliki kelemahan. Ah, mungkin sebenarnya bukan jurus pedang ini yang tidak memiliki kelemahan, tetapi aku sendiri yang tidak mampu mencari titik kelemahannya.”

Saat itu Linghu Chong kembali terdesak mundur beberapa langkah. Sepasang matanya terus-menerus memperhatikan lingkaran-lingkaran yang ditimbulkan kilatan pedang lawan tersebut. Tiba-tiba terpikir olehnya, “Jangan-jangan di tengah lingkaran-lingkaran inilah letak titik kelemahannya. Tapi kalau aku keliru dan pedangku menusuk masuk ke tengah lingkaran itu, sekali digiling pedangnya tentu tanganku bisa buntung.”

Tiba-tiba terlintas dalam benaknya, “Gaya serangan macam itu hanya dapat dilakukan setahap demi setahap. Kalau sesepuh ini hendak mencabut nyawaku tidaklah mudah. Tapi kalau terus-menerus mundur, pada akhirnya aku akan kalah pula. Kekalahanku itu pasti akan menghancurkan semangat kawan-kawan semua. Mana mungkin mereka berani lagi pergi menyerbu Biara Shaolin dan menolong Yingying?”

Teringat kepada budi baik Ren Yingying kepadanya, kalau cuma mengorbankan sebelah lengan apalah artinya? Tiba-tiba hatinya merasa sangat terhibur dan lega jika dapat mengorbankan sebelah lengan untuk Ren Yingying. Ia merasa betapa dirinya terlalu banyak berhutang budi kepada gadis itu, sehingga jika ia benar-benar mengalami luka parah dan sampai menderita cacat badan demi dia, barulah rasanya dapat membalas sedikit budi kebaikannya itu.

Berpikir demikian membuat rasa takutnya berubah menjadi pengharapan agar pihak lawan menebas lengannya sampai putus. Tanpa ragu lagi ia lantas menjulurkan tangannya dan menusukkan pedangnya masuk ke tengah lingkaran sinar pedang si kakek. “Trang!”, terdengar suara nyaring berdentang. Linghu Chong merasa dadanya terguncang keras, napas terasa sesak, dan darah pun bergolak. Ia sangat terkejut dan ketakutan, namun ternyata lengannya masih utuh tidak terluka sama sekali.

Si kakek mundur dua langkah. Pedangnya yang berbenturan dengan pedang Linghu Chong telah ditarik kembali dan ia pun berdiri tegak. Raut mukanya tampak aneh seperti terheran-heran bercampur malu. Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Ilmu pedang Tuan Muda Linghu benar-benar hebat. Pengetahuan dan keberanianmu juga melebihi orang biasa. Sungguh hebat, sungguh mengagumkan!”

Baru sekarang Linghu Chong menyadari bahwa tindakannya yang penuh risiko tadi ternyata telah berhasil memecahkan titik kelemahan jurus pedang lawan. Ilmu silat kakek ini sangatlah tinggi, sehingga kelemahannya justru disembunyikan di balik tempat yang terlihat paling berbahaya, yaitu pada pusat lingkaran cahaya pedangnya. Mungkin di antara sepuluh ribu orang tiada satu pun yang berani mengambil risiko seperti Linghu Chong. Dalam hati pemuda itu hanya bisa berkata, “Sungguh beruntung! Sungguh beruntung!” Tak terasa keringat pun bercucuran membasahi punggungnya.

Setelah bisa menenangkan diri, Linghu Chong segera membungkuk dan menjawab, “Ilmu pedang Sesepuh teramat sakti. Sungguh hari ini saya sangat beruntung bisa memperoleh banyak manfaat dari petunjuk-petunjuk tadi.”

Ucapan Linghu Chong ini bukanlah basa-basi. Dalam pertandingan kali ini ia benar-benar telah mendapatkan banyak pelajaran. Ia menjadi tahu kalau titik kekuatan serangan musuh bisa jadi merupakan titik yang paling lemah pula. Kalau daerah paling kuat dapat dihancurkan, maka bagian-bagian lain tentu lebih mudah untuk ditangani.

Pertandingan di antara jago-jago kelas tinggi cukup ditentukan dalam satu jurus saja. Melihat Linghu Chong berani menerobos pusat lingkaran sinar pedangnya, maka kakek itu merasa tidak perlu melanjutkan pertarungan. Sejenak ia menatap tajam kepada Linghu Chong, kemudian menghela napas dan berkata, “Tuan Muda Linghu, si tua ini ingin bicara sebentar denganmu.”

“Baik, saya siap mendengarkan petunjuk dari Sesepuh yang mulia,” jawab Linghu Chong.

Orang tua itu lantas mengembalikan pedang di tangannya kepada si pemikul sayur. Linghu Chong buru-buru membuang pedangnya ke tanah lalu berjalan di belakang si kakek menuju ke sebuah pohon besar di sebelah timur.

Pohon itu berjarak puluhan meter dengan kawanan pendekar. Meskipun masih dapat saling melihat, namun suara pembicaraan mereka sukar didengar lagi. Si kakek lebih dulu duduk di bawah bayangan pohon, lalu berkata sambil menunjuk sebongkah batu bundar, “Silakan Tuan Muda Linghu duduk pula untuk bicara.”

Linghu Chong duduk perlahan-lahan di atas batu bundar tersebut. Orang tua itu lalu bicara dengan suara lirih, “Tuan Muda Linghu, di antara tokoh-tokoh angkatan muda zaman sekarang yang memiliki kepandaian seperti dirimu boleh dikata sangatlah jarang.”

“Ah, terima kasih atas pujian Sesepuh,” sahut Linghu Chong. “Tingkah laku saya terkenal buruk dan ugal-ugalan sehingga tidak diberi tempat oleh perguruan. Saya merasa tidak pantas mendapatkan pujian semacam itu.”

“Kaum persilatan seperti kita harus sikap jujur dan terus terang. Segalanya harus sesuai dengan hati nurani,” kata si kakek. “Meskipun tingkah lakumu kadang terlalu berani dan ugal-ugalan, serta tidak menuruti tradisi yang berlaku, tapi masih dapat diakui sebagai perbuatan laki-laki sejati. Secara diam-diam aku telah mengirim orang untuk menyelidiki kelakuanmu yang sebenarnya dan ternyata kami tidak menemukan sesuatu yang buruk pada dirimu. Ini jelas berbeda dengan kabar yang tersiar luas di kalangan persilatan.”

Diam-diam Linghu Chong merasa sangat berterima kasih mendengar pembelaan si kakek terhadap dirinya. Setiap perkataan orang tua itu benar-benar mengena di lubuk hatinya. “Sesepuh ini pasti memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Perguruan Wudang. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa mengirim orang secara diam-diam untuk menyelidiki perbuatan dan tingkah lakuku?” demikian ia merenung sendiri. Dengan perasaan haru ia pun bangkit dan berkata, “Mohon petunjuk dari Sesepuh!”

Si kakek menjawab, “Duduklah, duduklah! Sebenarnya sudah biasa kaum muda suka pamer dan menonjolkan kepandaian. Hm, Tuan Yue itu dari luar terlihat ramah, tapi ternyata memiliki pandangan yang sempit ....”

Mendengar itu, Linghu Chong kembali bangkit dan berkata, “Guru yang berbudi telah memperlakukan saya seperti anak kandung sendiri. Mohon maaf, saya tidak berani bicara tentang kekurangannya.”

Kakek itu tersenyum dan berkata, “Kau tidak melupakan asal-usulmu, sungguh baik. Aku yang salah bicara.” Tiba-tiba raut mukanya berubah serius saat melanjutkan, “Sudah berapa lama kau mempelajari Jurus Penyedot Bintang?”

Linghu Chong menjawab, “Tanpa sengaja saya mempelajarinya kira-kira setengah tahun yang lalu. Mula-mula saya tidak tahu kalau ilmu ini adalah Jurus Penyedot Bintang.”

Si kakek berkata, “Pantas kalau begitu. Tadi saat kita mengadu senjata untuk yang ketiga kalinya, aku merasakan tenaga dalamku telah kau hisap. Tapi sepertinya kau masih belum mahir memanfaatkan ilmu iblis celaka itu. Untuk ini aku ingin memberi nasihat, entah Pendekar Muda Linghu sudi mendengarkan atau tidak?”

Linghu Chong terlihat gugup. Segera ia menjawab sambil memberi hormat, “Kata-kata bijak dari Sesepuh sudah tentu akan saya terima dengan sepenuh hati.”

Si kakek melanjutkan, “Jurus Penyedot Bintang ini walaupun sangat ampuh dalam pertempuran, tapi bisa mendatangkan banyak kerugian bagi orang yang melatihnya. Semakin mendalam penguasaannya terhadap ilmu iblis ini, semakin besar pula bahaya yang diakibatkan. Tentu sangatlah baik jika Pendekar Muda Linghu bisa melupakan ilmu ini. Namun jika tidak bisa, paling tidak kau harus berhenti berlatih saat ini juga.”

Ketika di Wisma Meizhuang tempo hari Linghu Chong telah mendengar sendiri ucapan Ren Woxing bahwa Jurus Penyedot Bintang dapat mendatangakan bencana bagi siapa saja yang mempelajarinya. Untuk itu dirinya pun diminta masuk menjadi anggota Sekte Iblis, baru Ren Woxing sudi mengajarkan cara memusnahkan gangguan penyakit yang ditimbulkan oleh ilmu tersebut. Saat itu Linghu Chong dengan tegas menolak. Kini setelah mendengar ucapan si kakek yang ternyata cocok dengan perkataan Ren Woxing, seketika membuat dirinya bertambah percaya sehingga keringat dingin pun bercucuran.

“Segala petunjuk Sesepuh tidak akan saya lupakan seumur hidup. Saya juga tahu kalau ilmu ini tidak baik, dan juga pernah bertekat takkan menggunakannya lagi untuk mencelakai sesama. Hanya saja, setelah ilmu ini meresap di dalam tubuh, sukar rasanya untuk tidak menggunakannya,” demikian ia berkata.

Linghu Chong terdesak oleh gempuran lawan.
Linghu Chong nekat menerobos lingkaran sinar pedang.
Bercakap-cakap di bawah pohon.

(Bersambung)