Bagian 35 - Mengosongkan Perguruan

Enam Dewa Lembah Persik mementang tubuh Ning Zhongze.

“Tunggu dulu!” seru Yue Buqun mencegah istrinya. Ia lalu memberi salam kepada Enam Dewa Lembah Persik dan berkata, “Maafkan jika kami tidak mengadakan sambutan yang sepantasnya atas kunjungan Anda berenam di Gunung Huashan ini. Kalau boleh tahu, siapakah nama Anda berenam yang mulia ini dan dari mana kiranya berasal?”

Mendengar itu Enam Dewa merasa marah bercampur kecewa karena sudah terlanjur senang dengan cerita Linghu Chong bahwa gurunya sangat mengagumi kehebatan mereka. Siapa sangka kalimat pertama yang diucapkan Yue Buqun adalah menanyakan nama mereka. Ini pertanda Yue Buqun tidak tahu menahu perihal Enam Dewa Lembah Persik. 

Maka Dewa Akar Persik pun berkata, “Katanya kalian berdua, suami-istri, sangat mengagumi kami enam bersaudara? Apa itu semua hanya kebohongan? Ternyata kalian sama sekali tidak mengenal  kami. Sungguh memalukan!”

Dewa Dahan Persik ikut bicara, “Bukankah kau pernah bilang bahwa Enam Dewa Lembah Persik adalah jagoan paling sakti di dunia persilatan? Ah, aku tahu! Kau sudah lama mendengar nama besar Enam Dewa Lembah Persik, tapi kau tidak tahu seperti apa rupa mereka.  Apa kau tidak tahu kalau keenam orang hebat itu adalah kami?”

Dewa Ranting Persik berkata, “Kau benar, Kakak Kedua. Dia bilang sangat ingin bertemu dan bersahabat dengan kita untuk minum arak bersama-sama. Sekarang kami datang kemari, kau justru tidak merasa gembira dan tidak pula mengundang kami minum arak. Ini pertanda dia memang sudah mendengar nama besar Enam Dewa Lembah Persik tapi tidak tahu seperti apa wajah kita. Hahaha, sunguh menyenangkan.”

Yue Buqun semakin terheran-heran. Dengan bersikap dingin ia berkata, “Kalian mengaku sebagai Enam Dewa Lembah Persik, sementara aku ini hanya manusia biasa, jelas tidak berani bersahabat dengan para dewa.”

Enam Dewa tertawa riang. Mereka menganggap sindiran Yue Buqun sebagai pujian. Dengan senang hati mereka berkata, “Tidak masalah. Kami Enam Dewa sudah bersahabat dengan muridmu. Untuk bersahabat denganmu juga suatu hal yang mudah.”

Dewa Buah Persik menambahkan, “Meskipun ilmu silatmu rendah, kami tetap tidak akan memandang hina kepadamu. Untuk itu kau tidak perlu merasa khawatir.”

Dewa Bunga Persik berkata, “Misalkan dalam ilmu silat ada yang kurang jelas bagimu, kau boleh bertanya kepada kami. Silakan saja, kami siap memberikan petunjuk seperlunya.”

Ucapan Enam Dewa Lembah Persik yang polos dan apa adanya sangat menyinggung perasaan Yue Buqun. Namun kesabaran Yue Buqun sungguh luar biasa. Meskipun hatinya panas namun mulutnya tetap tersenyum dan berkata, “Terima kasih atas maksud baik kalian!”

“Tidak perlu berterima kasih,” kata Dewa Dahan Persik. “Bila Enam Dewa Lembah Persik sudah menganggapmu sebagai sahabat, sudah tentu segala apa yang kami ketahui akan kami ajarkan kepadamu.”

Dewa Buah Persik menambahkan, “Baiklah, sekarang juga akan kuperlihatkan beberapa gerakan agar segenap warga Perguruan Huashan kalian bertambah pengalaman.”

Ning Zhongze tidak sesabar suaminya. Ia tidak tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik punya sifat kekanak-kanaan dan polos. Apa yang mereka ucapkan sebenarnya bersifat apa adanya, namun bagi Ning Zhongze diangap sebagai sebuah penghinaan. Karena tidak kuasa menahan amarah, wanita itu  pun mencabut pedangnya dan secepat kilat sudah menodong ulu hati Dewa Buah Persik.

Ning Zhongze berkata, “Baik, aku ingin belajar seperti apa kehebatan senjatamu.”

Dewa Buah Persik menjawab, “Selamanya Enam Dewa Lembah Persik tidak menggunakan senjata. Katanya kau kagum dengan ilmu silat kami, tapi mengapa kau tidak tahu tentang hal ini?”

Ning Zhongze semakin gusar mendengar ucapan yang bernada menghina itu. “Aku memang tidak tahu soal itu,” bentak Ning Zhongze sambil menusukkan pedangnya ke depan. Tusukan ini sangat cepat dan tiba-tiba, dan disertai tenaga yang sangat kuat.

Dewa Buah Persik sama sekali tidak menduga kalau wanita yang dianggapnya sebagai teman itu benar-benar menusukkan pedangnya. Dalam sekejap pedang Nyonya Yue sudah menancap di dadanya. Sebenarnya Dewa Buah Persik masih punya kesempatan untuk melakukan balasan. Namun karena pada dasarnya ia bersifat penakut sehingga hanya berdiam diri sambil memandang ngeri ketika pedang itu sudah menancap di dadanya.

Dewa Ranting Persik menerjang Nyonya Yue dan memukul bahu wanita itu. Ning Zhongze jatuh terhuyung-huyung dan pedangnya pun terlepas dari genggaman.

Dewa Akar Persik dan yang lain menjerit kaget melihat pemandangan itu. Dewa Ranting Persik segera melesat mengangkat tubuh Dewa Buah Persik dan membawanya lari secepat kilat, sedangkan keempat saudaranya yang lain maju menerjang ke arah Ning Zhongze. Dengan kecepatan tak terbayangkan, mereka menangkap tangan dan kaki wanita itu untuk kemudian dipentangkan ke empat arah yang berbeda.

Yue Buqun ngeri membayangkan nasib istrinya tentu akan seperti Cheng Buyou yang mati dalam keadaan terbelah menjadi empat potong. Ia pun mencabut pedangnya dan bergerak menyerang Dewa Akar Persik dan Dewa Daun Persik sekaligus. Sehebat apapun kesabaran Yue Buqun tetap saja gemetar saat mengayunkan pedangnya sehingga kedua orang yang menjadi sasaran itu bisa menghindar.

Melihat sang ibu-guru dalam bahaya, Linghu Chong yang masih terbaring di atas tandu berusaha bangkit dengan susah payah. Entah dari mana kekuatannya berasal, ia mendadak bisa bangun sambil berteriak, “Jangan melukai ibu-guruku! Jika tidak, aku akan segera memutuskan urat nadiku sendiri!” Usai berkata demikian pemuda itu muntah darah dan akhirnya jatuh pingsan.

Mendengar teriakan itu Dewa Akar Persik berseru sambil menghindari tusukan Yue Buqun, “Celaka! Bocah itu mau memutuskan urat nadinya sendiri. Urusan bisa runyam. Lebih baik kita ampuni saja perempuan ini.”

Tanpa banyak bicara lagi keempat orang tua aneh itu langsung melepaskan tubuh Ning Zhongze dan melesat pergi menyusul Dewa Ranting Persik yang melarikan Dewa Buah Persik.

Yue Buqun dan Yue Lingshan berlari menghampiri Ning Zhongze yang lolos dari maut. Sebelum mereka meraih tubuh Ning Zhongze, wanita itu sudah melompat dan mendarat di tanah dengan perasaan marah bercampur ngeri. Tubuh Ning Zhongze tampak gemetar dan wajahnya pucat pasi.

Yue Buqun berkata, “Adik, kau jangan gusar. Kita pasti akan membalas kejadian ini. Keenam orang itu benar-benar lawan yang tangguh. Untung kau berhasil membinasakan salah satu dari mereka.”

Ning Zhongze termangu-mangu. Jantungnya berdebar-debar membayangkan kematian tragis Cheng Buyou beberapa hari yang lalu dan kini hampir saja terjadi padanya. “Aku… aku… aku….” Demikian ia hanya bisa menggumam tidak jelas karena perasaannya masih terguncang.

Menyadari hal itu Yue Buqun segera berkata kepada putrinya, “Shan’er, antar ibumu masuk ke dalam untuk beristirahat!”

Setelah Yue Lingshan membawa ibunya masuk ke dalam, Yue Buqun segera memeriksa keadaan tubuh Linghu Chong yang berlumuran darah. Murid pertamanya itu tampak begitu lemah, nafasnya lirih dengan udara yang keluar lebih banyak daripada yang masuk, sepertinya sebentar lagi akan mati. Segera Yue Buqun menyalurkan tenaga dalam melalui telapak tangannya yang ditempelkan pada titik Ling-Tai di punggung Linghu Chong. Tiba-tiba ia merasakan di dalam tubuh pemuda itu terdapat beberapa arus tenaga aneh yang melawan tenaga dalam kirimannya. Hampir saja tangan Yue Buqun terlepas karena arus tenaga tersebut mendorong keluar. Dalam keterkejutannya, Yue Buqun segera menguasai diri dan kemudian menambahkan tenaga dalam untuk melawan arus hawa murni tersebut. Yue Buqun kemudian menempelkan telapak tangan yang lain pada titik Tan-Zhong di dada Linghu Chong. Tiba-tiba saja suatu arus tenaga menghantam tangannya, bahkan membuat dada Yue Buqun terasa sesak seperti dipukul dengan pentungan.

Yue Buqun terheran-heran untuk sementara waktu. Ia bisa merasakan betapa di dalam tubuh Linghu Chong sedang bertarung beberapa arus hawa murni yang bertumbuk kian kemari. Hawa murni yang berkeliaran di dalam tubuh Linghu Chong jelas berasal dari tingkatan tinggi namun bukan dari golongan putih dalam dunia persilatan. Meskipun tenaga dalam Kabut Lembayung Senja lebih tinggi, namun dua saja di antara hawa-hawa murni tersebut adakalanya bergabung sudah cukup untuk mendesaknya keluar.

Yue Buqun mengobati Linghu Chong dengan tenaga dalam.

Setelah dirasakan dengan seksama, Yue Buqun menemukan ada enam jenis hawa murni liar yang berkeliaran kian kemari di dalam tubuh Linghu Chong. Khawatir kalau-kalau tenaganya akan terbuang sia-sia, Yue Buqun menarik tangannya dan tidak berani lagi meraba tubuh murid pertamanya itu. Ia pun berpikir, “Enam hawa murni ini pasti berasal dari enam orang aneh itu. Hm, mereka sungguh keji, menyalurkan tenaga dalam masing-masing melalui urat nadi Chong’er sehingga anak ini kenyang menderita, mati tak bisa, hidup pun sulit.”

Yue Buqun hanya menggelengkan kepala, kemudian menyuruh Gao Genming dan Lu Dayou untuk menggotong tubuh Linghu Chong masuk ke dalam kamar. Ia sendiri lantas pergi menjenguk sang istri.

Keadaan Ning Zhongze masih terguncang. Wajahnya tampak pucat pasi saat duduk di tepi ranjang dengan berpengang pada lengan putrinya. Begitu melihat suaminya datang, Ning Zhongze langsung bertanya, “Bagaimana keadaan Chong’er? Apa lukanya berbahaya?”

Yue Buqun diam sejenak. Ia kemudian menceritakan apa yang baru saja ia temukan di dalam tubuh Linghu Chong, bahwa ada enam macam hawa murni yang berkeliaran di urat nadi pemuda itu. Keenamnya sama-sama kuat dan saling bertumbukan.

Ning Zhongze menanggapi dengan nada khawatir, “Jika demikian, keenam hawa murni itu harus dipunahkan satu per satu. Tapi, apa waktunya masih mencukupi?”

Yue Buqun termenung sambil menengadah. Lama kemudian ia baru berkata, “Adik, menurut pendapatmu, ada maksud dan tujuan apa sampai keenam siluman itu menyiksa Chong’er sedemikian rupa?”

“Sepertinya mereka mencoba memaksa Chong’er menyerah. Mungkin mereka ingin memaksa Chong’er membocorkan rahasia perguruan kita,” jawab Ning Zhongze menduga-duga. “Tentunya Chong’er lebih baik mati dan bersikeras tidak mau mengaku sehingga keenam siluman itu lantas menyiksanya dengan kejam.”

“Sepertinya masuk akal juga,” ujar Yue Buqun. “Tapi dalam perguruan kita tidak terdapat rahasia apa-apa. Keenam siluman itu juga tidak mengenal kita, juga tidak punya permusuhan dengan kita. Apa sebabnya mereka menculik Chong’er dan kemudian mengembalikannya ke sini?”

“Aku khawatir jangan-jangan... Ah, tidak mungkin….” sahut Nyonya Yue namun terhenti begitu saja. Ia kemudian saling pandang dengan sang suami dan mengerutkan kening.

Tiba-tiba Yue Lingshan ikut bicara, “Ayah, Ibu, meskipun dalam perguruan kita tidak terdapat rahasia apa pun, tapi ilmu silat Perguruan Huashan amat terkenal. Dengan menangkap Kakak Pertama mungkin mereka berniat memaksanya membocorkan intisari ilmu tenaga dalam dan jurus pedang perguruan kita.”

“Aku pun sempat berpikir demikian,” ujar Yue Buqun. “Tapi tingkatan tenaga dalam Chong’er masih terbatas. Dengan kehebatan enam siluman itu, mereka bisa langsung mengetahui kekuatan Chong’er. Lagipula jenis tenaga dalam mereka berbeda dengan tenaga dalam perguruan kita. Tentu bukan ini yang mereka incar. Begitu pula dengan ilmu pedang juga sepertinya tidak menarik perhatian mereka. Misalkan mereka hendak memaksa Chong’er mengakui sesuatu, tentunya dapat dibawa ke tempat lain untuk disiksa dengan lebih kejam. Kenapa harus dikembalikan ke sini?”

Mendengar nada pembicaraan sang suami yang yang tegas, Ning Zhongze dapat melihat bahwa suaminya itu telah meyakini sesuatu. Ia pun mendesak, “Jadi, menurutmu, mereka memiliki tujuan apa?”

“Memanfaatkan luka parah Chong’er untuk menguras tenaga dalamku,” jawab Yue Buqun dengan wajah serius.

Ning Zhongze hampir melonjak bangun dan berseru, “Benar juga! Demi menyelamatkan nyawa Chong’er kau tentu akan menyalurkan tenaga dalammu untuk mengusir hawa murni mereka. Nah, pada saat kau dalam keadaan payah, keenam siluman itu akan datang kembali dan dengan mudah membinasakan kita semua.”

Wanita itu terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Untung sekarang mereka tinggal berlima. Anehnya, kenapa tadi begitu mendengar bentakan Chong’er, mereka langsung melepaskan diriku?” Usai berkata demikian Ning Zhongze menggigil ngeri karena teringat saat-saat berbahaya tadi.

“Justru itu yang membuatku curiga. Mereka takut Chong’er benar-benar bunuh diri dengan memutus urat nadi sendiri. Nah, jika Chong’er mati, maka rencana mereka tentu sia-sia, bukan?” jawab Yue Buqun. “Kau telah membunuh seorang dari mereka. Sepantasnya mereka menyimpan dendam terhadap kita. Namun saat Chong’er mengancam hendak bunuh diri dengan memutus urat nadi, mereka segera melepaskan dirimu. Coba pikir, mana mungkin mereka membiarkan Chong’er tetap hidup kalau tidak ada maksud tersembunyi?”

Ning Zhongze menggerutu dalam hati, “Huh, mereka berenam sungguh kejam dan licik! Mereka merobek tubuh Cheng Buyou tanpa berkedip. Sungguh kekejaman yang jarang ada di dunia persilatan. Setiap kali teringat kebrutalan mereka, jantungku berdebar kencang. Apa yang mereka lakukan telah membuat Feng Buping menunda rencananya untuk merebut Perguruan Huashan kita. Karena peristiwa itu, Feng Buping meninggalkan Huashan dengan sangat kecewa bersama Lu Bai dan yang lain. Memang apa yang dilakukan keenam orang aneh itu cukup membantu perguruan kita. Tapi, siapa sangka mereka kini datang kembali untuk membuat onar? Dalam hal ini aku pun sependapat dengan Kakak mengenai rencana licik mereka.”

Usai berpikir demikian Ning Zhongze berkata, “Jika begitu, kau tidak boleh menyalurkan tenaga dalam untuk Chong’er. Biar aku saja! Meskipun tenaga dalamku tidak sehebat dirimu, tapi semoga dapat menyelamatkan jiwanya untuk sementara.

Usai berkata demikian Ning Zhongze melangkah pergi keluar kamar, namun suaminya langsung mencegah, “Adik, jangan kau lakukan itu!”

Ning Zhongze berhenti melangkah dan menoleh ke arah sang suami.

“Jangan kau lakukan itu, karena hawa murni keenam siluman itu sungguh dahsyat,” kata Yue Buqun sambil menggeleng.

Ning Zhongze termenung sejenak. Ia kemudian duduk kembali dan berkata, “Hanya ilmu Kabut Lembayung Senja saja yang bisa menyembuhkannya. Jadi, bagaimana baiknya?”

“Kita usahakan sebisa-bisanya untuk menyelamatkan nyawa Chong’er. Tapi, untuk hal ini tidak perlu membuang banyak tenaga dalam,” ujar Yue Buqun.

Pasangan suami-istri tersebut beserta Yue Lingshan kemudian masuk ke dalam kamar Linghu Chong. Tampak pemuda itu terbaring tak berdaya dengan napas sangat lemah, membuat air mata Ning Zhongze bercucuran tak bisa dibendung lagi. Ia mencoba memeriksa denyut nadi Linghu Chong namun suaminya mencegah dan menggelengkan kepala.

Yue Buqun lalu menggunakan kedua telapak tangannya untuk menyalurkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja. Namun begitu tenaga dalam tersebut berbenturan dengan hawa murni yang bergejolak di dalam tubuh sang murid pertama, seketika badan Yue Buqun terlihat bergetar. Ia pun mundur dan mengerahkan tenaga dalam lebih kuat sampai wajahnya memancarkan cahaya ungu.

Tiba-tiba terdengar suara Linghu Chong merintih, “Adik Lin... di mana Adik... Lin?”

Yue Lingshan heran dan bertanya, “Ada apa kau mencari Lin Kecil?”

Dengan mata terpejam Linghu Chong berkata lirih, “Sebelum... sebelum ayahnya meninggal... sempat menitipkan... wasiat kepadaku.... Aku harus... aku harus menyampaikannya sebelum... sebelum terlambat... Tolong… tolong panggilkan dia….”

Yue Lingshan bergegas keluar kamar sambil menutup muka untuk menyembunyikan air matanya yang berlinang-linang. Murid-murid Huashan lainnya sebenarnya sudah menunggu di luar karena mencemaskan keadaan sang kakak pertama. Begitu Yue Lingshan memanggil, Lin Pingzhi pun bergegas masuk dan segera mendekati Linghu Chong berbaring. “Kakak Pertama, hendaklah kau jaga badanmu baik-baik,” kata pemuda itu.

“Apa... apa kau Adik Lin?” tanya Linghu Chong dengan mata masih terpejam.

“Benar, ini aku,” sahut Lin Pingzhi.

“Sebelum... sebelum ayahmu wafat, aku... aku berada di sampingnya,” ujar Linghu Chong dengan suara terputus-putus. Suaranya terdengar semakin lemah. Lin Pingzhi dan yang lain sampai-sampai menahan napas tak bersuara sama sekali. Keadaan kamar tersebut menjadi sunyi senyap.

Selang agak lama, Linghu Chong berhasil menghirup napas dan melanjutkan bicara, “Beliau minta... minta kepadaku supaya... menyampaikan wasiat... wasiat kepadamu. Katanya... di  rumah lama Keluarga Lin… di Gang Matahari... terdapat benda pusaka... yang harus dijaga, tetapi… tetapi kau tidak boleh membacanya... karena bisa... mendatangkan... malapetaka.”

Lin Pingzhi terheran-heran dan bertanya, “Apa? Rumah lama Keluarga Lin di Gang Matahari? Tapi, tapi di sana tidak ada benda pusaka. Memangnya benda pusaka macam apa yang dimaksudkan ayahku?”

“Aku tidak tahu… Hanya... hanya itu wasiat ayahmu... Aku tidak mendengar... kalimat selain itu....” sahut Linghu Chong lirih.

Yue Buqun, Ning Zhongze, Yue Lingshan, dan terutama Lin Pingzhi menunggu kalimat selanjutnya, namun  Linghu Chong terdiam tidak bicara lagi.

Yue Buqun menghela napas kemudian berkata kepada Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, “Kalian berdua boleh menemani Kakak Pertama. Bila penyakitnya ada perubahan, segera laporkan kepadaku.”

Kedua muda-mudi itu mengangguk dan mengiakan.

Linghu Chong menyampaikan wasiat ayah Lin Pingzhi.

Yue Buqun dan istrinya melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Mereka kemudian masuk ke kamar sendiri. Sesudah pintu kamar ditutup, Ning Zhongze kembali meneteskan air mata.

“Jangan terlalu sedih. Kita yang akan membalaskan dendam Chong’er,” kata Yue Buqun.

Ning Zhongze menjawab, “Keenam manusia aneh itu telah menyusun rencana jahat pada kita. Aku yakin mereka pasti akan kembali ke sini. Jika kita menghadapi mereka, mungkin kita tidak akan kalah, tapi keadaan juga bisa saja berbalik…”

“Mungkin kita tidak akan kalah bagaimana?” tukas Yue Buqun. “Mudah diucapkan tapi sulit untuk dibuktikan. Jika menghadapi tiga dari mereka, mungkin pertarungan akan berlangsung imbang. Tapi kalau menghadapi empat orang dari mereka, rasanya kita yang akan terdesak. Dan apabila lima dari mereka maju bersama-sama, hm….” Sampai di sini ia hanya menggeleng perlahan.

Sebenarnya Ning Zhongze menyadari kalau ia dan sang suami bukan tandingan kelima orang aneh itu, namun ia berharap Yue Buqun bisa menghadapi mereka dengan menggunakan ilmu Kabut Lembayung Senja. Kini, begitu mendengar pengakuan jujur dari Yue Buqun membuat perasaan wanita itu menjadi gelisah. Ia pun berkata, “Lalu, bagaimana baiknya? Apa kita hanya berpeluk tangan menunggu kehancuran saja?”

Yue Buqun menjawab, “Adik, kau jangan putus asa. Seorang laki-laki sejati harus berani melihat kenyataan. Tahu kapan waktunya maju, kapan waktunya mundur. Kalah atau menang tidak ditentukan dari pertarungan sekali atau dua kali saja. Balas dendam meskipun ditunda sepuluh tahun juga tidak terlambat.”

“Jadi, menurutmu kita sebaiknya melarikan diri saja?” tanya Ning Zhongze.

“Bukan lari,” sahut Yue Buqun. “Kita hanya menghindar untuk sementara waktu. Musuh berjumlah banyak, sedangkan kita hanya berdua. Kau sendiri sudah membunuh salah satu di antara mereka. Jadi, sekalipun kita menghindar juga tidak terlalu merusak nama baik Perguruan Huashan. Selain itu, kalau kita tidak membocorkan masalah ini, pihak luar juga tidak akan tahu.”

“Meskipun sudah kubunuh seorang di antara mereka, tapi tetap saja jiwa Chong’er terancam bahaya. Kedudukan kita dengan mereka tetap saja imbang. Oh, Chong’er....” kata Ning Zhongze. Dengan suara serak ia melanjutkan, “Kakak, aku menuruti ajakanmu. Tapi, apakah kita bisa membawa serta Chong’er dan menyembuhkannya perlahan-lahan?”

Yue Buqun diam saja tidak menjawab.

“Apa kita tidak bisa membawa serta Chong’er?” Ning Zhongze kembali bertanya.

“Luka Chong’er terlalu parah,” jawab Yue Buqun. “Kalau dia kita paksakan ikut serta dalam perjalanan ini, tentu tidak sampai satu jam nyawanya bisa melayang.”

“Lantas... bagaimana baiknya?” tanya Ning Zhongze setengah meratap. “Apa benar sudah tidak ada cara lagi untuk menyelamatkan jiwanya?”

Yue Buqun menghela napas dan berkata, “Aih, beberapa waktu yang lalu aku sudah berniat untuk mengajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya. Tapi aku menundanya karena dia terjerumus menuju jalan sesat yang dianut Kelompok Pedang sewaktu kau mengujinya. Andai saja waktu itu ia tidak salah jalan tentu saat ini sudah bisa mempelajari ilmu Kabut Lembayung Senja. Meskipun hanya mempelajari beberapa bagian saja, sudah cukup baginya untuk melakukan penyembuhan terhadap diri sendiri serta mampu menangkal gangguan enam hawa murni liar itu.”

Tiba-tiba Ning Zhongze bangkit dan berkata, “Kakak, masalah ini belum terlambat. Mengapa tidak sekarang saja kau ajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya? Sekalipun ia dalam keadaan payah dan sulit memahaminya, tetap saja lebih baik daripada tidak sama sekali. Atau, kau bisa meninggalkan kitab ilmu Kabut Lembayung Senja biar ia mempelajarinya sendiri.”

“Adik,” kata Yue Buqun dengan suara halus sambil memegangi tangan sang istri, “kasih sayangku kepada Chong’er tidak ubahnya seperti kepadamu. Akan tetapi, coba kau pikirkan lagi, saat ini Chong’er sedang terluka parah, apa mungkin ia bisa menerima pelajaran dariku dengan baik? Jika aku menyerahkan kitab ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya supaya ia pelajari sendiri saat sudah bangun nanti, lantas bagaimana jika kelima siluman itu datang lagi kemari? Apakah Chong’er sudah mampu menghadapi mereka? Lalu bagaimana dengan nasib kitab pusaka paling berharga dalam Perguruan Huashan kita? Jika mereka sampai merebut kitab itu dan mempelajarinya, maka ini sama artinya dengan harimau tumbuh sayap. Dunia persilatan dalam bahaya besar. Jika kejadian seperti ini benar-benar terjadi, tentu aku, Yue Buqun, akan merasa sangat berdosa di hadapan kawan-kawan persilatan.”

Ning Zhongze tidak bisa membantah ucapan sang suami. Tak terasa air matanya kembali meleleh membasahi pipi.

Yue Buqun melanjutkan, “Tingkah laku kawanan siluman itu sukar ditebak dan tidak jelas. Kita tidak boleh membuang-buang waktu. Daripada terlambat lebih baik kita berangkat sekarang juga.”

“Apakah kita pergi sekarang dan meninggalkan Chong’er begitu saja menerima siksaan dari kelima siluman itu? Tidak, tidak! Aku akan tinggal di sini untuk menjaganya,” kata Ning Zhongze. Begitu mengucapkan kalimat ini, ia langsung sadar bahwa ini adalah ucapan seorang ibu rumah tangga biasa, dan bukan ucapan seorang pendekar wanita ternama dari Perguruan Huashan. Jika ia tetap tinggal demi menuruti perasaan, apakah mungkin bisa melindungi Linghu Chong? Apakah bukan berarti hanya akan menambah jumlah korban? Apakah Yue Buqun dan Yue Lingshan rela meninggalkan Gunung Huashan tanpa dirinya? Menyadari hal itu membuat hatinya bertambah sedih dan air matanya semakin deras keluar.

Yue Buqun menggeleng dan menghela napas panjang. Ia memindahkan bantal di atas ranjang dan mengeluarkan sebuah kotak besi berukuran tipis. Begitu dibuka di dalamnya terdapat sebuah kitab kecil yang dibungkus kain beludru. Setelah memasukkan kitab tersebut di balik baju, Yue Buqun membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Tak disangka ternyata Yue Lingshan sudah berdiri menunggu di depan pintu.

Gadis itu langsung berkata, “Ayah, keadaan Kakak Pertama tampaknya... tampaknya... tampaknya sudah sulit ditolong lagi.”

“Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya?” sahut Yue Buqun menegas.

“Dia... dia mengigau tidak jelas. Pikirannya semakin tidak jernih,” jawab Yue Lingshan.

“Dia mengigau apa?” tanya Yue Buqun.

Muka Yue Lingshan bersemu merah. Ia hanya menjawab, “Entahlah. Aku tidak tahu dia bicara apa.”

Yue Lingshan tidak berani berterus terang bahwa Linghu Chong mengigau tentang dirinya. Bergolaknya enam arus hawa murni telah membuat pemuda itu tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ketika samar-samar ia melihat Yue Lingshan berdiri di samping ranjangnya, ia pun berkata tanpa sengaja, “Oh, Adik Kecil, aku sangat... aku sangat merindukanmu. Apakah karena kau telah mencintai... Adik Lin, maka... maka tidak peduli lagi kepadaku?”

Yue Lingshan waktu itu terperanjat dan tersipu malu karena Linghu Chong tiba-tiba mengutarakan perasaannya di hadapan Lin Pingzhi. Bahkan, Linghu Chong juga berkata, “Adik Kecil, kita dibesarkan bersama, berlatih ilmu silat bersama, sungguh aku tidak tahu... apa salahku padamu. Jika kau marah padaku, silakan memaki dan memukul diriku. Bahkan, sekalipun kau tusuk... badanku dengan pedangmu... aku takkan menolak. Hanya saja... hanya saja janganlah kau bersikap dingin... kepadaku!”

Ucapan Linghu Chong tersebut sudah dipendamnya selama berbulan-bulan. Kali ini pikirannya sedang tidak sadar sehingga isi hatinya pun tercurahkan begitu saja. Lin Pingzhi sendiri merasa rikuh dan berkata lirih kepada Yue Lingshan, “Biar aku keluar sebentar.”

“Jangan, kau di sini saja menjaga Kakak Pertama,” seru Yue Lingshan sambil bergegas keluar menuju kamar yang lain tempat ayah dan ibunya berunding. Kebetulan sewaktu ia sampai di depan kamar tersebut, kedua orang tuanya sedang membicarakan kitab ilmu Kabut Lembayung Senja yang bisa digunakan untuk menyembuhkan Linghu Chong. Maka, ia pun hanya menunggu di depan pintu tanpa berani masuk ke dalam kamar untuk menyela.

Begitulah, setelah menerima laporan dari Yue Lingshan, Yue Buqun segera memberi perintah, “Kumpulkan semua orang di aula utama Gedung Kebajikan.”

Yue Lingshan menjawab, “Baik, Ayah! Tapi, bagaimana dengan Kakak Pertama? Siapa yang harus menjaganya?”

“Biar Dayou yang menjaganya,” jawab Yue Buqun.

Yue Lingshan pun bergegas pergi menyampaikan perintah ayahnya itu kepada saudara-saudara seperguruannya yang lain. Sebentar kemudaian seluruh murid Huashan kecuali Linghu Chong dan Lu Dayou berkumpul di aula utama menunggu keputusan sang guru. Yue Buqun sendiri duduk di kursi tengah, sedangkan Ning Zhongze duduk di sampingnya.

Setelah memandang sekilas kepada murid-muridnya itu, Yue Buqun berkata, “Sebagian angkatan tua perguruan kita ada yang tersesat lebih mengutamakan latihan jurus pedang daripada tenaga dalam. Mereka tidak mau tahu bahwa ilmu silat paling tinggi di dunia ini pasti disertai tenaga dalam yang hebat pula. Bagaimanapun bagusnya ilmu silat yang dilatih apabila tenaga dalamnya kurang baik tetap saja tidak akan mencapai kesempurnaan. Sungguh sayang, para sesepuh itu tidak mau sadar dan memilih mendirikan aliran sendiri yang mereka namakan Perguruan Huashan Kelompok Pedang, sedangkan aliran kita yang murni disebut Perguruan Huashan Kelompok Tenaga Dalam. Perselisihan antara Kelompok Pedang dan Kelompok Tenaga Dalam sudah berlangsung selama puluhan tahun. Sudah pasti hal ini mengganggu perkembangan perguruan kita. Benar-benar sebuah malapetaka bagi kita.” Berkata sampai di sini ia pun menghela napas panjang.

Melihat itu Ning Zhongze diam-diam berpikir, “Kelima siluman itu bisa datang setiap saat, tapi kau masih sempat-sempatnya bercerita soal masa lalu.” Meskipun merasa kesal, namun ia hanya berani melirik ke arah sang suami tanpa berani menyela sedikit pun. Saat pandangan matanya tertuju pada langit-langit aula di mana terdapat papan nama bertuliskan “Gedung Kebajikan”, kembali wanita itu berpikir, “Saat pertama kali aku bergabung dengan Perguruan Huashan, tulisan yang terdapat pada papan nama itu berbunyi ‘Tenaga Pedang Menghempas Awan’, tapi mengapa sekarang berubah menjadi ‘Gedung Kebajikan’? Tidak seorang pun yang tahu di mana papan nama yang lama kini berada. Aih, saat itu aku hanya gadis kecil berusia tiga belas tahun.”

Terdengar Yue Buqun melanjutkan, “Meskipun demikian, kebenaran pada akhirnya selalu menang. Sekitar dua puluh lima tahun silam Kelompok Pedang mengalami kekalahan habis-habisan dan terpaksa mengundurkan diri dari Perguruan Huashan. Sejak saat itu aku pun diangkat sebagai ketua perguruan yang baru. Tidak disangka-sangka beberapa hari yang lalu kalian melihat sendiri beberapa orang anggota Kelompok Pedang yang dipimpin Feng Buping datang kemari. Entah bagaimana caranya mereka berhasil membujuk ketua Serikat Pedang Lima Gunung sehingga memperoleh Panji Pancawarna untuk memaksaku menyerahkan kedudukan ketua Perguruan Huashan. Sebenarnya, aku sendiri sudah berniat ingin mengundurkan diri setelah puluhan tahun memimpin dan menghadapi berbagai macam permasalahan rumit, baik itu urusan dalam perguruan maupun yang berkaitan dengan Serikat Pedang Lima Gunung. Sekarang ada orang yang datang untuk menggantikan kedudukanku, sungguh hal seperti ini sangat aku harapkan.”

Mendengar itu Gao Genming menyela, “Guru, murid buangan seperti Feng Buping sudah lama tersesat ke jalan yang salah. Mereka tidak ada bedanya seperti anggota Sekte Iblis. Kami tidak akan mengizinkan mereka mengaku sebagai murid Huashan lagi, apalagi seenaknya mengambil jabatan ketua. Jika hal ini sampai terjadi, bukankah Perguruan Huashan akan hancur dalam sekejap saja?”

“Benar, kita tidak boleh tinggal diam. Tipu muslihat para jahanam itu harus kita gagalkan,” sahut Lao Denuo, Liang Fa, Shi Daizi, dan yang lain.

Melihat semangat murid-muridnya itu, Yue Buqun tersenyum dan melanjutkan, “Masalah jabatan ketua bagiku hanya masalah kecil. Tapi, kalau Kelompok Pedang dibiarkan menguasai perguruan kita, tentu ilmu silat Perguruan Huashan yang terkenal selama ratusan tahun akan hancur dalam waktu singkat. Lalu, bagaimana cara kita harus bertanggung jawab kepada para leluhur yang telah tiada jika kelak bertemu di alam sana?”

“Benar, ucapan Guru benar! Kami tidak akan membiarkan mereka berbuat seenaknya!” sahut para murid.

Yue Buqun melanjutkan, “Aku tidak takut dengan Feng Buping dan Kelompok Pedangnya. Tapi mereka sudah berhasil mendapatkan Panji Pancawarna dari Serikat Pedang Lima Gunung, serta bersekongkol dengan para jago dari Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Hal seperti ini yang tidak boleh dianggap enteng. Oleh sebab itu....” Sampai di sini ia diam sejenak untuk memandang tajam ke arah murid-muridnya, kemudian berkata, “Hari ini kita berangkat ke Gunung Songshan untuk menemui Ketua Zuo. Kita akan menuntut keadilan padanya.”

Mendengar itu para murid terperanjat. Perguruan Songshan adalah pemimpin dari Serikat Pedang Lima Gunung, sedangkan ketuanya, yaitu Zuo Lengchan, termasuk tokoh nomor satu di dunia persilatan saat ini. Selain memiliki ilmu silat yang sangat tinggi juga terkenal cerdas dan banyak akal. Setiap orang di dunia persilatan bila mendengar namanya disebut pasti merasa gentar dan segan. Di dunia persilatan, perselisihan antara dua pihak sangat sulit diselesaikan hanya dengan pembicaraan saja. Setiap permusuhan hampir pasti diselesaikan dengan pertarungan. Mendengar sang guru mengajak pergi ke Songshan, para murid hanya diam tanpa bersuara sambil berpikir, “Ilmu silat Guru memang sangat tinggi, namun sepertinya belum bisa menandingi kehebatan Ketua Zuo. Di samping itu, Ketua Zuo juga memiliki dua belas adik seperguruan yang juga berilmu hebat. Kaum persilatan menyebut mereka sebagai Tiga Belas Penjaga Gunung Songshan. Meskipun Fei Bin si Tapak Songyang Besar telah meninggal, namun tetap saja tersisa dua belas orang lainnya yang masing-masing mempunyai kepandaian tinggi. Sebaliknya, para murid dari pihak Huashan kami mana ada yang mampu menandingi mereka? Bukankah rencana Guru untuk mendatangi Gunung Songshan sama artinya dengan mencari masalah?”

Sebaliknya, Ning Zhongze dapat membaca rencana suaminya. Wanita itu berpikir, “Ini benar-benar rencana yang bagus. Sebenarnya kami meninggalkan Gunung Huashan adalah untuk menghindari serangan lima orang aneh dari Lembah Persik. Namun, kalau berita ini sampai tersebar luas, entah harus ke mana kami menyembunyikan wajah? Sebaliknya, kalau dunia persilatan mendengar kami naik ke Gunung Songshan adalah untuk menuntut keadilan, maka yang kami dapatkan adalah pujian dan penghormatan atas keberanian kami. Ketua Zuo bukan seorang picik, pasti Beliau sudi mendengar kami. Aku rasa permasalahan ini tidak perlu harus diselesaikan dengan pertempuran dan adu senjata.”

Setelah berpikir demikian, Nyonya Yue pun berkata, “Feng Buping dan begundalnya datang kemari dengan membawa Panji Pancawarna. Bisa jadi panji tersebut telah ia curi, atau ia rebut dari orang lain. Namun, jika panji tersebut benar-benar diperoleh dari Ketua Zuo, maka kita tidak bisa tinggal diam begitu saja karena Perguruan Songshan sudah berani melanggar batas-batas urusan internal Perguruan Huashan kita. Kita akan ke sana menuntut keadilan. Meskipun Ketua Zuo berilmu sangat tinggi dan Perguruan Songshan memiliki banyak murid, namun kita orang-orang Huashan tidak takut mati dan pantang menyerah begitu saja menghadapi ketidakadilan. Nah, barangsiapa yang bernyali kecil dan pengecut, lebih baik tinggal di sini saja. Tidak perlu ikut.”

Mendengar ucapan sang ibu-guru seperti itu sudah tentu tidak seorang pun murid Huashan yang mau disebut sebagai pengecut. Serentak mereka menjawab, “Asalkan Guru dan Ibu Guru memberikan perintah, sekalipun menyeberangi lautan api juga kami tidak akan mundur.”

“Bagus kalau begitu,” sahut Ning Zhongze. “Urusan ini tidak boleh ditunda. Segera kalian berbenah, satu jam lagi kita berangkat.”

Pertemuan pun bubar. Ning Zhongze bergegas menjenguk Linghu Chong. Dilihatnya pemuda itu bernapas terputus-putus, seolah nyawanya hanya tinggal hitungan detik saja. Hati Ning Zhongze bertambah pedih. Namun ia harus memaksa diri untuk tega meninggalkan murid pertama suaminya itu demi keselamatan orang banyak dari serangan Lima Dewa Lembah Persik yang bisa datang setiap saat. Lu Dayou kemudian diperintahkan untuk memindahkan tubuh Linghu Chong ke kamar samping bagian belakang dan menjaganya baik-baik.

Ning Zhongze kemudian berkata, “Dayou, demi masa depan Perguruan Huashan, kami terpaksa berangkat ke Gunung Songshan untuk meminta keadilan pada Ketua Zuo. Perjalanan ini sangat berbahaya. Keadaan kakak pertamamu sangat parah. Hendaknya kau jaga dia baik-baik. Bila musuh datang kalian boleh bersembunyi. Terimalah penghinaan untuk sementara dan tidak perlu membuang nyawa dengan percuma.”

Dengan mata berkaca-kaca Lu Dayou mengangguk menyanggupi perintah tersebut. Ia kemudian ikut mengantar kepergian guru, ibu-guru, dan saudara-saudara seperguruan yang lain, dan setelah itu kembali ke kamar tempat Linghu Chong berbaring di dalamnya.

Saat itu bisa dikatakan bahwa di Perguruan Huashan hanya tinggal dua orang saja, yaitu Linghu Chong yang sedang pingsan dan Lu Dayou yang berjaga. Keadaan mulai gelap membuat perasaan Lu Dayou mulai timbul rasa takut.

Setelah memberanikan diri ke dapur untuk memasak bubur, Lu Dayou kemudian membawa bubur yang telah matang ke kamar dan menyuapkannya kepada Linghu Chong. Baru suapan ketiga Linghu Chong sudah menyemburkan bubur itu keluar. Warna muntahannya berubah merah karena bercampur darah. Lu Dayou kembali membaringkan tubuh kakak pertamanya di ranjang, kemudian menaruh mangkuk buburnya di atas meja. Pemuda itu termangu-mangu memandang keluar jendela yang gelap gulita. Suara burung hantu yang mengerikan tiba-tiba terdengar berkumandang dari kejauhan.

Mendengar itu Lu Dayou pun berpikir, “Kata orang-orang, burung hantu yang berbunyi pada waktu malam pertanda sedang menghitung jumlah bulu alis orang yang sedang sakit. Bila jumlahnya terhitung jelas olehnya, maka orang yang sakit itu akan mati.”

Maka, dengan cepat Lu Dayou menjilat ujung jari kemudian mengoleskannya ke alis Linghu Chong dengan harapan agar burung hantu tersebut kesulitan menghitung. Namun suara burung hantu itu tetap saja masih terdengar. Perasaan pemuda itu bertambah ngeri. Tanpa sadar ia memoles alisnya sendiri dengan air ludah pula.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah ringan seseorang mendekati kamar tersebut. Dengan cepat Lu Dayou meniup padam api pelita dan mencabut pedang serta berjaga di samping Linghu Chong. Suara langkah tersebut semakin dekat. Jantung Lu Dayou semakin berdebar-debar. “Celaka! Musuh ternyata mengetahui Kakak Pertama dirawat di sini. Aduh, bagaimana caraku melindungi Kakak Pertama?” demikian pikirnya.

Murid-murid Huashan beramai-ramai turun gunung.
(Bersambung)