Bagian 114 - Cinta di Ujung Pedang

Lao Denuo ternyata masih hidup.

Yue Lingshan berkata, “Kakak Kedua, di Kota Fuzhou dulu apa kau pura-pura mati dibunuh musuh? Kalau begitu, tentu … tentunya kau juga yang telah membunuh Kakak Kedelapan, bukan?”

“Bukan,” sahut Lao Denuo. “Ying Bailuo hanya seorang bocah ingusan. Apa untungnya aku membunuh dia?”

“Kau masih juga menyangkal?” desak Yue Lingshan gusar. “Kau juga telah melukai punggung Adik Ping waktu itu. Padahal selama ini ... selama ini aku telah menuduh Kakak Pertama. Huh, perbuatanmu sungguh keji! Kau telah memalsukan kematianmu dengan cara membunuh seorang tua dan merusak wajahnya hingga hancur, lalu kau dandani dia dengan pakaianmu. Akibatnya, kami semua mengira kau telah mati dibunuh musuh.”

“Dugaanmu memang tidak salah,” jawab Lao Denuo. “Kalau tidak, mana mungkin Yue Buqun membiarkan aku lolos? Hanya saja, luka di punggung Pendekar Lin itu bukanlah hasil perbuatanku.”

“Bukan kau? Memangnya masih ada orang lain?” kata Yue Lingshan.

“Memang bukan orang lain, karena pelakunya adalah ayahmu sendiri,” jawab Lao Denuo.

“Omong kosong!” teriak Yue Lingshan. “Kau sendiri yang berbuat, tapi masih memfitnah orang lain. Tanpa sebab yang jelas untuk apa ayahku melukai Adik Ping?”

“Masalahnya waktu itu ayahmu baru saja mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis dari tubuh Linghu Chong,” jawab Lao Denuo. “Kitab pusaka itu adalah milik Keluarga Lin, maka orang pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu tentu saja Adik Ping-mu ini. Bila Pendekar Lin masih hidup di dunia, mana mungkin ayahmu dapat mendalami ilmu itu dengan leluasa?”

Yue Lingshan berkata, “Omong kosong! Omong kosong! Jika ayahku hendak membunuh Adik Ping, mana mungkin dalam sekali serang tidak langsung membuatnya meninggal?”

Tiba-tiba Lin Pingzhi menukas, “Luka di punggungku waktu itu memang benar-benar hasil perbuatan Yue Buqun. Ucapan Kakak Kedua sama sekali tidak salah.”

“Kau ... kau juga percaya kepadanya?” ujar Yue Lingshan.

“Punggungku terluka sangat parah akibat serangan itu. Aku sadar tidak mampu melawan. Maka, begitu roboh aku langsung pura-pura mati dan tidak bergerak lagi. Waktu itu aku belum tahu kalau si penyerang adalah Yue Buqun sendiri,” ujar Lin Pingzhi. “Dalam keadaan setengah sadar, samar-samar kudengar suara Kakak Kedelapan memanggil ‘Guru!’. Kemudian ia tidak bersuara lagi.”

“Jadi menurutmu ... Kakak Kedelapan juga … juga dibunuh oleh ayahku?” sahut Yue Lingshan menegas.

“Memang begitulah adanya,” jawab Lin Pingzhi. “Aku mendengar Kakak Kedelapan menjerit, ‘Guru!’ dan kemudian roboh. Aku sendiri lantas jatuh pingsan. Ucapan Kakak Kedelapan telah menolong nyawaku, tetapi dia harus kehilangan nyawanya sendiri.”

Lao Denuo menyambung, “Sebenarnya waktu itu Yue Buqun hendak menambah satu tusukan lagi padamu. Kebetulan aku sendiri baru saja menaruh mayat orang lain sebagai pengganti diriku di halaman rumahmu. Aku sempat mengintai perbuatan Yue Buqun itu. Di tempat persembunyianku, aku perlahan mendehem sehingga membuat Yue Buqun gentar dan lekas-lekas kembali ke kamarnya. Ternyata suara dehemku itulah yang menyelamatkan nyawamu, Pendekar Lin.”

Yue Lingshan semakin gugup dan berkata, “Kalau ... kalau Ayah benar berniat membunuhmu, kesempatan selanjutnya bukankah cukup banyak? Mengapa Ayah tidak turun tangan lagi?”

“Hm, setelah kejadian itu aku menjadi lebih waspada, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Yue Buqun untuk turun tangan,” ujar Lin Pingzhi. “Keberadaanmu juga sangat menguntungkan bagiku. Setiap hari kita selalu bersama, sehingga membuat ayahmu tidak leluasa untuk membunuhku.”

“Ternyata … selain kau menikah denganku hanya untuk mengelabui banyak orang, kau juga mendekati aku ... hanya untuk menjadikanku sebagai tameng belaka,” kata Yue Lingshan sambil menangis tersedu-sedu.

Lin Pingzhi tidak peduli dengan tangisan istrinya itu. Ia lalu berkata, “Saudara Lao, sejak kapan kau berhubungan dengan Ketua Zuo?”

Lao Denuo menjawab, “Ketua Zuo adalah guruku yang mulia. Aku adalah muridnya yang nomor tiga.”

“O, ternyata kau sudah berganti perguruan?” kata Lin Pingzhi.

“Aku tidak pindah perguruan,” jawab Lao Denuo. “Sejak dulu aku memang murid Perguruan Songshan. Hanya saja, selama ini aku ditugasi guruku untuk menyusup ke dalam Perguruan Huashan. Tujuannya adalah untuk menyelidiki ilmu silat Yue Buqun serta gerak-gerik setiap orang Huashan.”

Baru sekarang Linghu Chong paham permasalahannya. Ketika Lao Denuo masuk Perguruan Huashan memang ia sudah mahir beberapa ilmu silat. Hanya saja, yang diperlihatkannya adalah ilmu silat campuran dari berbagai golongan. Sungguh tak disangka kalau ia sebenarnya murid Perguruan Songshan. Rupanya memang sudah lama Zuo Lengchan merencanakan pencaplokan terhadap keempat perguruan yang lain. Ia telah menaruh mata-matanya di mana ia merasa perlu. Maka, kenapa Lao Denuo tega membunuh Lu Dayou serta mengapa ia mencuri Kitab Awan Lembayung kini terjawab sudah. Bahkan, seorang yang cerdik dan waspada seperti Yue Buqun ternyata dapat dikelabui juga oleh Lao Denuo.

Kembali terdengar Lin Pingzhi berkata, “Saudara Lao telah berhasil membawa Kitab Pedang Penakluk Iblis ke Gunung Songshan sehingga Ketua Zuo berhasil mendalami ilmu sakti tersebut. Jasa Saudara Lao terhadap perguruan sungguh besar.”

Linghu Chong dan Ren Yingying manggut-manggut sependapat dengan ucapan Lin Pingzhi itu. Kini terjawab pula mengapa Zuo Lengchan dan Lao Denuo dapat memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis, meskipun tidak sempurna. Ternyata, pikiran Lin Pingzhi dapat bekerja dengan cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat pula.

Lao Denuo menjawab, “Saudara Lin, kita berdua, juga guruku yang mulia telah sama-sama ditipu mentah-mentah oleh si keparat Yue Buqun. Orang itu benar-benar culas dan keji. Kita semua telah diperdaya olehnya.”

“Hm, aku paham,” ujar Lin Pingzhi. “Tentu Kitab Pedang Penakluk Iblis yang dicuri Saudara Lao adalah palsu, yaitu hasil tulisan tangan Yue Buqun. Maka itu ….”

“Maka itu, dalam pertandingan di Panggung Fengshan tempo hari si bangsat Yue Buqun mampu mengalahkan guruku, begitu?” sahut Lao Denuo sambil mengertakkan gigi.

Lin Pingzhi mengangguk, “Aku paham sekarang. Jadi, Kitab Pedang Penakluk Iblis yang dicuri Saudara Lao adalah kitab palsu hasil tulisan tangan Yue Buqun sendiri, dengan mengubah beberapa bagian di dalamnya.”

Lao Denuo berkata dengan gemas, “Rupanya sudah sejak lama Yue Buqun menaruh curiga kepadaku. Selama di Gunung Huashan dia diam saja tidak pernah menunjukkan kecurigaannya. Waktu itu di Kota Fuzhou aku telah melarikan diri setelah ketahuan mencuri Kitab Awan Lembayung. Karena kegagalan itu, aku merasa tidak bisa kembali ke Perguruan Songshan begitu saja. Aku menyusup lagi ke rumah keluargamu sambil menaruh mayat palsu di halaman. Aku berharap bisa mencuri kembali Kitab Awan Lembayung, atau bahkan mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis yang telah dikuasai Yue Buqun. Tak disangka, Yue Buqun telah menyalin isi kitab milik keluargamu itu dengan banyak pengurangan di sana-sini. Kitab Pedang Penakluk Iblis yang kuperoleh itu ternyata palsu dan banyak bagiannya yang hilang. Itu sebabnya jurus-jurus pedang yang kami latih meskipun bagus, ternyata tidak secepat Yue Buqun dan Pendekar Lin. Kemudian pada pertandingan di Panggung Fengshan yang menentukan waktu itu, Yue Buqun telah memancing guruku untuk memainkan ilmu pedang palsu tersebut. Kalau tidak, mana mungkin dia mampu memenangkan pertandingan dan merebut jabatan ketua Perguruan Lima Gunung?”

“Benar, Yue Buqun memang sangat licik dan culas. Kita sama-sama telah masuk ke dalam perangkapnya,” ujar Lin Pingzhi menghela napas.

“Guruku sendiri seorang yang bijaksana. Meski aku telah membuat urusannya yang mahabesar menjadi kacau-balau, namun Beliau tidak pernah menyalahkanku,” kata Lao Denuo kemudian. “Namun, sebagai seorang murid jelas hatiku merasa tidak tenteram. Biarpun masuk lautan api atau mendaki gunung pedang juga aku akan berusaha membinasakan keparat Yue Buqun untuk membalaskan sakit hati Guru.” Ucapan yang terakhir ini dilontarkannya dengan tegas dan gemas. Sepertinya ia memang benar-benar sangat dendam luar biasa terhadap Yue Buqun.

Lin Pingzhi tidak menanggapi. Ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang tua itu.

Lao Denuo pun melanjutkan, “Kedua mata guruku telah rusak. Saat ini Beliau menyepi di puncak barat Gunung Songshan bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Linghu Chong tempo hari. Bila Pendekar Lin sudi ikut bersamaku ke sana sebagai satu-satunya ahli waris Jurus Pedang Penakluk Iblis, tentu Beliau akan menyambutmu dengan penuh penghormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat disembuhkan, kalau tidak, tinggal saja di sana bersama kami untuk bersama-sama memikirkan bagaimana cara menuntut balas sakit hati yang mendalam ini. Bukankah ini adalah jalan yang terbaik?”

Lin Pingzhi tertarik juga mendengarnya. Kedua matanya yang telah rusak tentu sukar untuk bisa sembuh kembali. Maka, apabila bisa berkumpul dengan orang-orang senasib yang sama-sama buta, tentu manfaatnya dapat saling bertukar pikiran demi menuntut balas. Sepertinya ini memang jalan yang paling baik. Hanya saja, ia pun kenal sifat Zuo Lengchan, bila tidak menyimpan maksud dan tujuan tertentu mustahil tiba-tiba begitu baik kepadanya. Maka, ia pun menjawab, “Terhadap maksud baik Ketua Zuo sungguh aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Saudara Lao dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap?”

Lao Denuo paham maksud pertanyaan Lin Pingzhi. Dengan bergelak tawa ia pun berkata, “Pendekar Lin ternyata seorang yang suka berpikir secara terbuka dan terus terang. Baiklah, agar kelak kita dapat bekerja sama dengan lebih baik, tentu akan kujelaskan maksud guruku secara terus terang. Kami, guru dan murid telah tertipu mentah-mentah karena mendapatkan kitab palsu. Akan tetapi, di sepanjang jalan aku telah menyaksikan bagaimana Pendekar Lin memperlihatkan ilmu pedang yang sangat hebat untuk membunuh Mu Gaofeng, Yu Canghai, dan para begundal Qingcheng. Jelas sekali kau telah memperoleh ilmu pedang yang asli dari Kitab Pedang Penakluk Iblis yang sesungguhnya. Sungguh aku sangat kagum dan juga … dan juga sangat tertarik ….”

Lin Pingzhi dapat menangkap maksud orang tua itu. Ia pun menjawab, “Apakah maksud Saudara Lao hendak memintaku untuk memperlihatkan kitab pusaka yang asli kepada kalian?”

“Sebenarnya orang luar seperti kami tidaklah pantas mengincar harta pusaka milik keluargamu itu,” jawab Lao Denuo. “Tapi, kiranya Pendekar Lin dapat memaklumi, bahwa keadaan guruku dan Pendekar Lin saat ini jelas tidak mampu untuk membunuh keparat Yue Buqun itu, kecuali kalau guruku dan aku dapat ikut mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli.”

Sesungguhnya Lin Pingzhi memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan buta seperti itu. Apalagi sekarang kalau dirinya menolak, tentu Lao Denuo akan menggunakan kekerasan untuk membunuhnya dan juga terhadap Yue Lingshan. Maka, ia lantas berkata, “Ketua Zuo sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Keluarga Lin kami hancur dan aku menjadi cacat memang gara-gara perbuatan Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Akan tetapi, tipu muslihat yang dirancang Yue Buqun juga terhitung sebagai penyebab utama pula. Sudah tentu, keinginanku membunuh Yue Buqun tidak ubahnya seperti kalian berdua, guru dan murid. Maka itu jika kita bersatu padu, Jurus Pedang Penakluk Iblis akan kuperlihatkan kepada kalian secara keseluruhan.”

Lao Denuo sangat senang dan berkata, “Pendekar Lin ternyata sudi berbaik hati, sungguh kami sangat berterima kasih bila dapat melihat secara langsung Kitab Pedang Penakluk Iblis yang asli. Untuk selanjutnya, Adik Lin tak ubahnya seperti saudara sendiri bagi kami.”

“Terima kasih,” kata Lin Pingzhi. “Setelah sampai di Gunung Songshan, aku akan segera menguraikan Kitab Pedang Penakluk Iblis yang asli di luar kepala.”

“Menguraikannya di luar kepala?” Lao Denuo menegas.

“Ya,” jawab Lin Pingzhi. “Mungkin Saudara Lao tidak tahu kalau kitab pusaka yang asli itu telah ditulis leluhurku pada selembar jubah biksu. Jubah itu telah dikangkangi oleh Yue Buqun, dan dari situ dia dapat mencuri ilmu pedang keluargaku. Namun, secara kebetulan jubah biksu itu bisa jatuh kembali ke tanganku. Karena aku khawatir Yue Buqun mengetahuinya, maka aku pun menghafalkan isi kitab itu di luar kepala, lalu jubah biksu itu kumusnahkan. Bila aku masih menyimpan jubah biksu tersebut, padahal aku selalu didampingi seorang istri setia seperti dia, hehe, mana mungkin aku dapat hidup sampai sekarang?”

Sejak tadi Yue Lingshan hanya diam tanpa bicara. Kini begitu mendengar sindiran itu, kembali ia menangis sedih. Dengan suara terputus-putus ia berkata, “Kau … kau kenapa ….” Namun ia tidak sanggup melanjutkan lagi.

Karena Lao Denuo sejak awal telah bersembunyi di dalam kereta, maka ia pun mendengar semua percakapan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tadi. Ia pun percaya apa yang dikatakan Lin Pingzhi itu bukanlah omong kosong semata. Maka, ia lantas menjawab, “Baiklah kalau begitu. Apakah sekarang juga kita bisa berangkat ke Gunung Songshan?”

Tanpa pikir panjang Lin Pingzhi menjawab, “Tentu saja!”.

“Kita harus membuang kereta keledai ini dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil. Aku khawatir bertemu Yue Buqun jika tetap melewati jalan raya, karena kita bukan tandingannya,” kata Lao Denuo. Kemudian ia berpaling kepada Yue Lingshan dan bertanya, “Adik Kecil, apakah kau akan membantu ayah atau membantu suami?”

“Aku tidak akan membantu siapa pun!” sahut Yue Lingshan tegas. “Aku … aku memang bernasib buruk. Besok pagi aku akan mencukur rambut dan menjadi biksuni. Apakah dia ayah atau suami, selanjutnya aku tidak akan menemui mereka lagi.”

“Memang sangat tepat kalau kau menjadi biksuni di Henshan,” sahut Lin Pingzhi mengejek.

“Lin Pingzhi!” teriak Yue Lingshan gusar. “Dulu kau hampir mampus di Kota Hengshan, kalau bukan karena ditolong Ayah, bukankah jiwamu sudah melayang di tangan Mu Gaofeng? Andaikan ayahku berbuat suatu kesalahan, aku, Yue Lingshan tetap saja tidak berbuat suatu hal yang keliru padamu. Apa maksudmu dengan berkata seperti itu?”

“Apa maksudku? Aku hanya ingin membuktikan tekadku kepada Ketua Zuo,” sahut Lin Pingzhi. Suaranya mendadak terdengar bengis dan kejam.

“Ah!” tiba-tiba Yue Lingshan menjerit ngeri.

“Celaka!” teriak Linghu Chong. Tanpa pikir panjang ia dan Ren Yingying melompat keluar dari tempat persembunyian. Linghu Chong lantas berteriak, “Lin Pingzhi, jangan kau sakiti Adik Kecil!”

Keduanya dalam keadaan menyamar serta suasana masih gelap pula. Sebenarnya Lao Denuo tidak mengenali mereka. Namun, begitu mendengar suara Linghu Chong itu seketika ia menjadi sangat terkejut. Hampir-hampir sukmanya lepas meninggalkan raga.

Saat ini yang paling ditakuti Lao Denuo selain Yue Buqun hanyalah Linghu Chong seorang. Maka, tanpa pikir lagi segera ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi lantas melompat hinggap di atas punggung kuda peninggalan orang-orang Qingcheng tadi. Dengan sekali hentak, ia pun memacu hewan itu melaju sekencang-kencangnya.

Karena mengkhawatirkan keselamatan Yue Lingshan, Linghu Chong tidak sempat berpikir untuk mengejar kedua musuh tersebut. Dilihatnya Yue Lingshan tersandar di tempat duduk kusir kereta. Pada bagian dada nyonya muda itu tampak menancap sebilah pedang. Keadaannya begitu parah, pernapasannya sudah sangat lemah, begitu pula denyut nadinya.

“Adik Kecil! Adik Kecil!” Linghu Chong berseru.

“Apakah … apakah Kakak Pertama?” jawab Yue Lingshan lemah.

“Ya … ya, ini aku!” sahut Linghu Chong senang.

Segera ia bermaksud mencabut pedang yang menancap di dada Yue Lingshan itu, tapi Ren Yingying lebih dulu mencegahnya. Ternyata hampir separuh batang pedang itu telah masuk ke dalam tubuh Yue Lingshan sampai tembus ke punggung. Kalau pedang itu dicabut hanya akan mempercepat kematiannya.

Mengetahui adik kecilnya sukar diselamatkan lagi, Linghu Chong sangat berduka. Sambil menangis ia berkata, “Adik Kecil … Adik Kecil!”

“Kakak Pertama, kau berada di sini, sungguh baik sekali,” kata Yue Lingshan dengan suara lemah. “Adik Ping, apakah … apakah ia sudah pergi?”

“Jangan khawatir, aku pasti membunuhnya untuk membalas sakit hatimu,” kata Linghu Chong gemas.

“Tidak, jangan!” sahut Yue Lingshan. “Matanya sudah buta. Kalau kau hendak membunuhnya, tentu dia tidak sanggup melawan. Aku … aku ingin kembali ke tempat Ibu.”

“Baik, akan kubawa kau menemui Ibu Guru,” kata Linghu Chong.

Melihat keadaan Yue Lingshan yang semakin lemah itu, jelas jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa terasa Ren Yingying juga ikut mengucurkan air mata.

“Kakak Pertama,” kata Yue Lingshan lirih. “Kau senantiasa sangat baik padaku, tapi aku … aku banyak bersalah padamu. Aku … akan mati sebentar lagi. Aku ingin memohon se… sesuatu padamu, hendaknya kau dapat … dapat meluluskan permintaanku ini.”

“Kau takkan meninggal. Aku akan berusaha menyembuhkanmu,” ujar Linghu Chong. “Silakan bicara, aku pasti akan memenuhi permintaanmu.”

“Tetapi … tapi kau tentu tak dapat menerimanya. Ini hanya akan menyusahkanmu …” suaranya semakin lirih, napasnya juga makin lemah.

“Aku pasti meluluskan permintaanku, katakan saja,” jawab Linghu Chong.

“Kakak Pertama, … Adik Ping, suamiku, dia … dia sudah buta. Kas… kasihanilah dia,” kata Yue Lingshan terputus-putus.

“Ya, aku tahu,” jawab Linghu Chong.

“Dia sebatang kara di dunia ini,” lanjut Yue Lingshan. “Semua … semua orang me… memusuhinya. Kakak Pertama … sesudah aku mati, tolong … tolong kau menjaganya dengan baik. Jangan … sampai dia dianiaya orang lagi ….”

Linghu Chong tercengang. Sama sekali tak disangka bahwa Yue Lingshan yang sudah dekat ajalnya itu tetap tidak melupakan cintanya terhadap Lin Pingzhi, sang suami yang tega menurunkan tangan keji terhadapnya secara telengas. Padahal, kalau bisa Linghu Chong malah ingin segera membekuk Lin Pingzhi dan mencincangnya hingga hancur luluh. Bagaimanapun juga tidak mungkin ia sudi mengampuni jiwa manusia rendah bermarga Lin itu. Namun, Yue Lingshan malah memintanya untuk mengampuni pemuda tersebut, mana mungkin ia sudi mengabulkannya?

“Kakak Pertama,” kata Yue Lingshan, “dia … dia tidak sengaja hendak membunuhku. Dia hanya … karena takut pada Ayah, dia terpaksa … terpaksa memihak Zuo Lengchan. Aku … aku pun ditusuknya sekali … Kakak Pertama, aku mohon … mohon padamu … agar men… menjaganya dengan baik ….”

Dengan gusar Linghu Chong menjawab, “Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak berbudi itu, mengapa … mengapa kau masih memikirkannya?”

“Tidak ... tidak,” sahut Yue Lingshan. “Dia hanya ... tangannya hanya ... hanya lepas kendali dan tidak sengaja ... menusukku. Aku mohon ... aku mohon jaga dia.”

Di bawah cahaya rembulan, wajah Yue Lingshan tampak pucat, sinar matanya suram, namun memancarkan permohonan sepenuh hati. Padahal, sejak kecil apa pun permintaan yang diucapkan Yue Lingshan belum pernah ditolak oleh Linghu Chong. Meskipun permintaan tersebut sangat sulit, Linghu Chong pasti berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya. Apalagi permintaan Yue Lingshan sekarang ini adalah permintaan pada saat menjelang ajalnya, suatu permintaan terakhir dan juga permintaan yang paling sungguh-sungguh.

Seketika darah dalam rongga dada Linghu Chong menjadi bergolak. Ia sadar, sekali menerima permintaan Yue Lingshan itu, maka untuk selanjutnya pasti akan berakibat besar dan mungkin akan banyak memaksa dirinya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya. Namun, menghadapi wajah dan suara Yue Lingshan yang penuh rasa memohon itu, Linghu Chong tidak tega untuk menolak. Terpaksa ia pun mengangguk dan berkata, “Baiklah, aku menerima permintaanmu. Jangan khawatir!”

Mendengar itu, tanpa terasa Ren Yingying menyela, “Mana … mana bisa kau menyanggupinya?”

Yue Lingshan menggenggam erat tangan Linghu Chong dan berkata, “Kakak Pertama, terima … terima kasih banyak … Aku tidak perlu … tak perlu khawatir lagi ….” Tiba-tiba sorot matanya memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum pertanda puas.

Linghu Chong yang melihat wajah gembira Yue Lingshan itu pun berpikir, “Melihat wajahnya berbahagia seperti ini, aku rela jika harus menghadapi kesulitan apa pun juga.”

Tiba-tiba terdengar Yue Lingshan bernyanyi perlahan. Seketika dada Linghu Chong seperti dipalu godam, karena lagu yang dinyanyikan Yue Lingshan itu ternyata lagu rakyat daerah Fujian. Lagu tersebut berjudul “Mendaki Gunung Memetik Teh” yang pernah diajarkan Lin Pingzhi kepadanya. Dahulu ketika Linghu Chong dihukum kurung di Puncak Huashan, perasaannya sangat pedih mendengar Yue Lingshan menyanyikan lagu tersebut. Kini sang adik kecil kembali menyanyikan lagu yang sama, jelas sedang mengenang masa percintaannya dengan Lin Pingzhi di Huashan dulu. Suara Yue Lingshan makin melemah, tangannya yang menggenggam tangan Linghu Chong juga semakin kendur dan akhirnya terbuka. Perlahan matanya terpejam, nyanyiannya berhenti pula. Akhirnya, ia pun berhenti bernapas.

Perasaan Linghu Chong seperti hancur. Seketika langit seakan-akan runtuh pula. Dengan segala upaya ia berusaha melindungi Yue Lingshan dari serangan orang-orang Qingcheng, namun sang adik kecil justru meninggal di tangan suami sendiri. Ia ingin menangis sekeras-kerasnya, tapi tak dapat bersuara. Dipeluknya tubuh Yue Lingshan yang sudah tak bernyawa itu dan perlahan ia bergumam, “Adik Kecil, jangan khawatir, Adik Kecil! Akan kubawa kau ke tempat ibumu. Pasti tiada seorang pun yang berani mengganggumu.”

Ren Yingying melihat punggung Linghu Chong basah kuyup oleh darah. Baju pemuda itu semakin lama semakin basah, jelas lukanya kambuh kembali. Namun, dalam keadaan demikian Ren Yingying tidak tahu bagaimana cara untuk menghiburnya.

Sambil menggendong jenazah Yue Lingshan, dengan langkah sempoyongan Linghu Chong maju ke depan sambil menggumam, “Jangan khawatir, Adik Kecil, akan kubawa kau kepada ibumu!” Tapi mendadak kakinya menjadi lemas dan ia pun jatuh terguling tak sadarkan diri.

Entah sudah berapa lama Linghu Chong pingsan, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara denting kecapi yang membuat pikirannya terasa segar. Suara kecapi itu mengalun lembut berulang-ulang. Lagu yang dimainkan seperti sudah dikenalnya dengan baik. Sungguh nyaman sekali rasa hatinya. Seluruh tubuh terasa lemas sampai-sampai kelopak mata pun malas untuk dibuka. Ia berharap senantiasa dapat mendengarkan suara kecapi tersebut tanpa berhenti.

Suara kecapi itu ternyata benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Tak lama kemudian, sayup-sayup Linghu Chong kembali tertidur pulas. Ketika untuk kedua kalinya ia terjaga, telinganya tetap mendengar suara denting kecapi yang merdu itu, malah hidungnya mencium semerbak bau wangi bunga. Sewaktu membuka mata, di depannya ternyata penuh dengan bunga beraneka warna. Ada merah, kuning, putih, dan biru. Ia kemudian melihat punggung Ren Yingying yang sedang duduk dan memainkan kecapi membawakan lagu “Kahyangan Biru”.

Linghu Chong kemudian menjumpai dirinya sedang terbaring di atas tumpukan rumput empuk di dalam sebuah gua pegunungan. Sinar matahari menyorot masuk melalui mulut gua tersebut. Segera ia bermaksud bangkit untuk duduk, tapi Ren Yingying lebih dulu menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira penuh kasih sayang. Saat itu Linghu Chong merasa sangat bahagia. Ia tahu Ren Yingying yang telah membawa tubuhnya ke dalam gua tersebut ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian sang adik kecil yang mengenaskan itu. Kembali hatinya berduka, tapi lambat laun dari sorot mata Ren Yingying yang lembut dan mesra itu ia merasa terhibur. Mereka berdua hanya saling pandang tanpa bicara sampai sekian lama.

Perlahan Linghu Chong mengelus tangan Ren Yingying. Tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu tercium pula bau sedap daging panggang. Ren Yingying lantas mengangkat setangkai kayu, dan di atas tangkai itu tertusuk beberapa ekor kodok panggang. “Wah, hangus lagi!” katanya dengan tersenyum.

Linghu Chong bergelak tawa teringat kejadian dahulu ketika mereka sedang makan kodok panggang di tepi sungai. Kini mereka hendak memakan kodok panggang lagi untuk yang kedua kalinya. Dalam selang waktu sekian lama itu mereka telah banyak mengalami bermacam-macam kejadian, namun sungguh bersyukur keduanya masih tetap berkumpul menjadi satu.

Sejenak kemudian Linghu Chong kembali berduka karena teringat kepada Yue Lingshan. Ren Yingying memapahnya bangun. Sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua ia berkata, “Di situlah Nona Yue beristirahat untuk selamanya.”

“Terima kasih ... terima kasih banyak padamu,” kata Linghu Chong dengan menahan air mata. Dalam hati ia merasa rikuh, lalu menyambung, “Yingying, aku tidak pernah bisa melupakan perasaanku kepada Adik Kecil, hendaknya kau jangan marah.”

“Sudah tentu aku takkan marah,” jawab Ren Yingying. “Masing-masing orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan pengalaman suka-duka pula,” Lalu dengan suara lirih ia melanjutkan, “Pertama kali bertemu di luar Kota Luoyang dulu, aku jatuh hati kepadamu justru karena kau menceritakan kisah cintamu terhadap adik kecilmu itu. Andai saja kau seorang pemuda tak berbudi yang mudah bergonta-ganti perasaan, tentu aku takkan menghargaimu.”

Setelah terdiam sejenak, Ren Yingying melanjutkan, “Sebenarnya … sebenarnya Nona Yue seorang gadis yang baik, hanya saja ia tidak … tidak ada jodoh denganmu. Andai saja kau tidak dibesarkan bersamanya sejak kecil, kemungkinan besar dalam sekali pandang dia akan jatuh hati kepadamu.”

Linghu Chong merenung sejenak, kemudian menyahut, “Tidak mungkin. Adik Kecil sangat mengagumi kepribadian Guru. Laki-laki yang dia suka harus pendiam dan santun seperti ayahnya. Aku hanyalah teman bermain baginya. Selamanya dia tidak … tidak pernah menghormati aku.”

“Mungkin kau benar. Lin Pingzhi memang mirip gurumu,” jawab Ren Yingying. “Dari luar tampak alim, tapi jiwanya begitu kotor.”

Linghu Chong berkata, “Tapi pada saat-saat terakhirnya Adik Kecil tetap tidak percaya kalau Lin Pingzhi benar-benar sengaja membunuhnya. Dia masih tetap mencintai Lin Pingzhi sepenuh hati. Tapi ini juga ada … ada baiknya. Dia tidak meninggal dalam kesedihan. Aku ingin ... aku ingin melihat kuburannya.”

Segera Ren Yingying memapahnya keluar gua. Terlihat sebuah kuburan yang bagian atasnya ditumpuki batu dengan rapi, pertanda Ren Yingying tidak sembarangan menguburkan jenazah Yue Lingshan. Dalam hati Linghu Chong merasa sangat berterima kasih. Dilihatnya pula di depan kuburan itu terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipangkas tangkai dan daunnya. Pada kulit dahan itu terukir tulisan, “Tempat istirahat pendekar wanita dari Perguruan Huashan, Nona Yue Lingshan.”

Kembali Linghu Chong mencucurkan air mata. “Mungkin Adik Kecil lebih suka dipanggil Nyonya Lin,” katanya sedih.

“Lin Pingzhi manusia rendah dan tidak berbudi. Di alam baka Nona Yue pasti sadar dan tidak sudi disebut Nyonya Lin lagi,” ujar Ren Yingying. Dalam hati ia berpikir, “Sayang sekali kau tidak tahu bahwa Nona Yue dan Lin Pingzhi hanya sekadar menikah saja, tapi belum menjadi suami-istri yang sesungguhnya.”

Tempat di mana mereka berada adalah sebuah lembah yang dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi. Suara burung berkicau merdu merayu, sungguh suatu tempat yang sangat permai.

“Biarlah untuk sementara ini kita tinggal di sini sambil menyembuhkan lukamu. Kita juga bisa menemani kuburan Nona Yue,” kata Ren Yingying.

“Benar,” sahut Linghu Chong senang. “Adik Kecil sendirian di sini. Meskipun menjadi hantu tetap saja ia penakut.”

Ren Yingying hanya menghela napas menanggapi Linghu Chong yang bercanda di dalam kedukaan itu.

Begitulah, mereka berdua pun tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Berkat obat-obatan manjur dari Perguruan Henshan, ditambah tenaga dalamnya yang bagus, luka Linghu Chong akhirnya sembuh sembilan puluh persen dalam waktu dua puluh hari. Linghu Chong lalu melanjutkan belajar memetik kecapi kepada Yue Lingshan yang sempat tertunda lama. Pada dasarnya ia memang cerdas, serta tekun dan sabar pula, sehingga kemajuannya dalam seni musik pun cukup pesat.

Beberapa hari kemudian, ketika Linghu Chong bangun dari tidur di pagi hari, ia melihat pada kuburan Yue Lingshan telah tumbuh beberapa tunas rumput liar. Dengan sedih ia berpikir, “Ada rumput tumbuh di atas kuburan Adik Kecil. Entah bagaimana perasaannya di dalam sana?”

Tiba-tiba terdengar suara seruling yang sangat merdu. Begitu menoleh, tampak Ren Yingying sedang meniup seruling sambil duduk di atas batu cadas. Lagu yang dimainkannya adalah “Kahyangan Biru” yang biasanya ia mainkan menggunakan kecapi. Linghu Chong pun melangkah mendekati gadis itu. Tampak seruling itu terbuat dari bambu yang masih segar, sepertinya baru saja diraut oleh Ren Yingying menggunakan pedang.

Segera Linghu Chong memangku kecapi dan mulai memetiknya mengikuti irama seruling Ren Yingying. Selesai membawakan sebuah lagu, ia merasa lebih bersemangat dan perasaannya jauh lebih segar. Kedua muda-mudi itu pun saling pandang dan tertawa bersama.

Ren Yingying berkata, “Kau sudah mahir memainkan lagu Kahyangan Biru. Bagaimana kalau kita berlatih lagu ‘Menertawakan Dunia Persilatan’ mulai hari ini?”

“Lagu itu sangat sukar. Entah sampai kapan aku baru bisa menyamaimu?” ujar Linghu Chong.

Ren Yingying tersenyum berkata, “Lagu ini memang sangat bagus. Aku sendiri masih belum paham secara keseluruhan. Ada sesuatu yang istimewa dalam lagu ini, namun sulit untuk dijelaskan. Sepertinya lagu ini memang harus dimainkan oleh dua orang, karena sifatnya saling melengkapi. Aku pernah memainkannya seorang diri namun rasanya seperti meraba-raba dalam kegelapan. Jika kita berlatih bersama pasti akan mendapatkan banyak kemajuan. Mungkin lagu ini memang menggambarkan perasaan mendalam Nie Zheng kepada kakak perempuannya di mana dua hati mereka telah bertaut.”

Linghu Chong bertepuk tangan dan menjawab, “Kau benar. Dulu aku pernah mendengar lagu ini dimainkan oleh Paman Liu dari Perguruan Hengshan dan Tetua Qu dari Sekte Ib... eh, Sekte Matahari dan Bulan kalian. Paduan seruling dan kecapi mereka sungguh selaras dan sangat enak didengar. Menurut Paman Liu, lagu Menertawakan Dunia Persilatan memang seharusnya dimainkan dengan paduan seruling dan kecapi.”

“Ya, kau memetik kecapi dan aku meniup seruling. Kita mulai berlatih setahap demi setahap,” kata Ren Yingying.

Linghu Chong menyahut, “Sayang sekali yang kau pegang itu seruling, bukan sitar. Kalau kecapi dan sitar pasti akan serasi seperti suami-istri.”

Wajah Ren Yingying memerah, dan ia pun menanggapi, “Beberapa hari ini kau jarang bercanda, kukira sifatmu sudah berubah.”

Linghu Chong buru-buru memasang wajah jenaka. Meskipun mereka hanya tinggal berdua di dalam lembah permai yang sunyi itu, namun keduanya tidak pernah bersenda gurau, apalagi mengucapkan lelucon nakal. Selama ini Linghu Chong hanya sibuk meminta petunjuk seni musik kepada Ren Yingying. Sekarang tanpa sengaja ia bergurau soal rumah tangga dan khawatir gadis yang pemalu itu tidak mau bicara lagi dengannya. Maka, ia pun kembali memasang wajah serius saat melihat Ren Yingying membuka kitab notasi lagu Menertawakan Dunia Persilatan dan memberikan penjelasan kepadanya.

Begitulah, sejak hari itu Linghu Chong dan Ren Yingying mulai berlatih lagu Menertawakan Dunia Persilatan bersama-sama. Kemampuan seni musik Linghu Chong memang lebih rendah, namun karena pada dasarnya ia seorang pemuda cerdas sehingga cepat menangkap pelajaran yang diberikan Ren Yingying. Apalagi ia sudah mempelajari dasar-dasar bermain kecapi sejak di Hutan Bambu Hijau di luar Kota Luoyang dulu. Maka, sekitar sepuluh hari kemudian permainan Linghu Chong sudah semakin bagus, hampir mampu mengimbangi Ren Yingying. Meskipun paduan musik mereka masih kalah indah dibandingkan dengan permainan Qu Yang dan Liu Zhengfeng, namun bisa dikatakan sudah mampu menangkap makna yang terkandung di dalam lagu tersebut.

Semakin dekat hubungan mereka, paduan musik yang mereka hasilkan pun semakin indah. Lembah sunyi dan permai yang mereka tinggali itu seolah-olah berada di luar dunia nyata. Untuk sesaat mereka lupa akan kilatan pedang dan percikan darah di dunia persilatan. Kedua muda-mudi ini sama-sama membayangkan dapat hidup berdampingan di lembah tersebut hingga hari tua, tentu rasanya akan sangat bahagia.

Pada suatu siang, setelah Linghu Chong berlatih musik sekian lamanya dengan Ren Yingying, tiba-tiba hawa murni liar di dalam tubuhnya sedikit mengganggu. Pikirannya terasa kusut dan sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya terdengar salah.

“Tentu kau lelah. Silakan istirahat dulu saja,” ujar Ren Yingying.

“Dikatakan lelah juga tidak. Entah apa yang terjadi aku tidak tahu,” kata Linghu Chong. “Aku ingin mencari buah persik dulu. Kita berlatih lagi nanti malam.”

“Baiklah, tapi jangan terlalu jauh,” kata Ren Yingying.

Linghu Chong mengetahui ada banyak pepohonan persik tumbuh di sebelah timur lembah tersebut. Apalagi saat itu adalah musim buah persik matang. Segera ia bergegas menuju ke sana. Kira-kira berjalan sepuluh li jauhnya, ia pun tiba di depan pepohonan persik yang lebat dengan buahnya yang sudah berwarna merah menggoda.

Tanpa pikir panjang ia lantas memetik sebanyak dua buah. Pada pohon selanjutnya ia memetik tiga buah. Lama-lama ia berpikir bahwa buah-buah tersebut beberapa hari lagi pasti akan bergururan di tanah dan membusuk. Maka, ia pun terus saja memetik sampai puluhan buah banyaknya.

“Nanti setelah memakan daging buah-buah ini, aku dan Yingying akan menebarkan biji-bijinya sehingga kelak lembah ini akan dikenal orang sebagai Lembah Persik. Aku dan Yingying akan dijuluki Sepasang Majikan Lembah Persik. Lalu kami memiliki enam orang anak, dan mereka akan disebut sebagai Enam Dewa Lembah Persik Cilik. Entah bagaimana kacaunya apabila Enam Dewa Lembah Persik Cilik bertemu dan berdebat dengan Enam Dewa Lembah Persik Tua?” pikirnya sambil mulut tersenyum-senyum sendiri.

Pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik bergeseknya ranting-ranting pohon. Segera ia pun bersembunyi di dalam semak belukar sambil berpikir, “Bagus sekali. Aku sudah bosan memakan kodok panggang dan buah-buahan. Mungkin ada hewan sebangsa kijang atau rusa yang datang dan bisa kutangkap.”

Ternyata dugaan Linghu Chong keliru, karena yang terdengar kemudian adalah suara langkah kaki beberapa orang berjalan.  Ia pun terkejut dan berpikir, “Mengapa ada orang lain di lembah sunyi ini? Jangan-jangan mereka ke sini untuk mencariku dan Yingying?”

Sejenak kemudian, sayup-sayup terdengar salah seorang yang datang itu berkata, “Apakah kau tidak salah? Apakah benar keparat Yue Buqun itu sedang menuju kemari?”

Linghu Chong terkesiap dan berpikir, “Mereka menyebut-nyebut nama Guru. Siapa sebenarnya orang-orang ini?”

Kemudian terdengar suara seorang lagi menjawab, “Menurut penyelidikan Pengawas Shi, putri dan menantu Yue Buqun tiba-tiba menghilang entah ke mana. Jejak mereka sama sekali tidak ditemukan di kota, di pasar, di desa, ataupun di sungai mana pun juga. Kemungkinan besar mereka bersembunyi di lembah ini untuk merawat luka. Cepat atau lambat, Yue Buqun pasti akan ke sini untuk mencari mereka.”

Linghu Chong kembali berpikir, “Ternyata mereka mengetahui kalau Adik Kecil terluka, namun tidak mengetahui kalau ia sudah meninggal. Sepertinya banyak sekali yang mencari Adik Kecil dan Lin Pingzhi, terutama Guru dan Ibu Guru. Andai saja lembah ini tidak terpencil, pasti mereka sudah ke sini sejak lama.”

Lalu terdengar suara orang yang pertama tadi berkata, “Jika dugaanmu tidak salah dan Yue Buqun benar-benar kemari, maka kita perlu memasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini.”

Orang kedua yang bersuara agak serak menjawab, “Andaikan Yue Buqun tidak segera datang, kita tetap punya rencana untuk memancing kedatangannya.”

“Akalmu sungguh hebat Saudara Xue. Tadinya aku memandangmu sebelah mata. Tak disangka, ternyata kau menyimpan banyak kepandaian,” kata orang yang pertama.

Si marga Xue menjawab, “Terima kasih, Tetua Ge. Saya sangat mengharapkan bantuan Tetua Ge. Apapun perintah Tetua Ge kepada saya pasti akan saya laksanakan dengan sepenuh hati.”

Linghu Chong kecewa mendengarnya dan berpikir, “Hm, ternyata orang-orang Sekte Matahari dan Bulan. Sebaiknya mereka segera pergi dari sini dan jangan mengganggu kami.” Sejenak kemudian ia berpikir kembali, “Rupanya mereka berniat mengincar Guru. Meskipun orang-orang ini mungkin memiliki kepandaian tinggi, rasanya tetap bukan tandingan Guru yang telah mengalami kemajuan pesat. Apalagi mengenai tipu muslihat, melawan guru sama seperti peribahasa ‘bertanding kapak melawan Lu Ban’. Sungguh tidak tahu diri.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara tepuk tangan tiga kali. Si marga Xue lantas berkata, “Tetua Du sudah tiba pula.”

Tetua Ge segera membalas dengan tiga kali tepuk tangan pula. Lalu terdengar suara langkah kaki sekitar empat orang berjalan dengan cepat. Dua orang di antaranya agak tertinggal di belakang, sepertinya ilmu meringankan tubuh mereka lebih rendah. Namun setelah dekat, Linghu Chong dapat mendengar bahwa kedua orang yang di belakang itu ternyata sedang menggotong sesuatu.

Tetua Ge merasa senang dan berseru, “Tetua Du, ternyata kau berhasil menangkap anak gadis keluarga Yue? Sungguh jasamu ini sangat besar!”

Lalu terdengar orang yang bermarga Du itu menjawab dengan suara lantang, “Orang ini memang berasal dari keluarga Yue. Namun, ini bukan anak gadisnya, melainkan induknya!”

“Hah!” terdengar Tetua Ge terkejut namun sangat senang. “Jadi ... jadi, orang ini istri Yue Buqun? Kau telah menangkap istri Yue Buqun?” 

Lin Pingzhi menikam istri sendiri.
Yue Lingshan meninggal di pangkuan Linghu Chong.

Menemani kuburan Yue Lingshan.
Berlatih lagu Menertawakan Dunia Persilatan.

(Bersambung)