Bagian 100 - Kabar Pernikahan

Ren Woxing menduduki singgasananya.

Ren Yingying segera mendekati Linghu Chong dan memegang tangannya. Gadis itu pun berkata, “Ayah, hari ini adalah hari bahagiamu karena kau berhasil menduduki kembali singgasanamu. Kenapa Ayah harus ribut untuk urusan kecil seperti ini? Tentang bagaimana dia bisa bergabung ke dalam agama kita biarlah dibicarakan kelak saja.”

Ren Woxing memiringkan wajah ke kanan sehingga mata kirinya terlihat memandang tajam kedua muda-mudi itu. “Hm, Yingying, sekarang yang kau inginkan hanya suami dan tidak peduli lagi pada ayah, begitu?”

Xiang Wentian ikut bicara, “Ketua, Adik Linghu ini seorang kesatria muda yang keras hati. Biarlah nanti aku yang memberi pengertian kepadanya ….”

Belum selesai ia bicara, tiba-tiba terdengar suara belasan orang berseru di luar balairung, “Kami, para tetua balai, wakil tetua balai, pengurus lima cabang dupa, wakil pengurus lima cabang dupa, dengan ini menyampaikan sembah bakti kepada Ketua yang bijaksana, murah hati, ahli sastra berwatak kesatria yang melindungi rakyat jelata, cahaya agama suci kita. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.”

“Masuklah!” bentak Ren Woxing.

Sebanyak belasan laki-laki kekar melangkah masuk ke dalam balairung. Serentak mereka berlutut dan menyembah secara berjajar-jajar. Ketika Ren Woxing menjabat sebagai ketua yang dahulu, saat itu ia menyapa para anggota Sekte Matahari dan Bulan dengan sebutan “saudara”, dan pada saat bertemu dengannya mereka cukup memberi hormat saja. Kini melihat orang-orang itu berlutut dan menyembah kepadanya, ia pun bangkit dan berkata, “Tidak perlu ....” Akan tetapi tiba-tiba terpikir olehnya, “Rasanya tidak ada salahnya kalau aku menerima sembah mereka. Seorang pimpinan harus berwibawa dan menetapkan peraturan-peraturan ketat. Dulu aku terlalu lunak dan percaya kepada bawahan sehingga berhasil dijebak mentah-mentah oleh Dongfang Bubai. Hm, peraturan menyembah pimpinan seperti ini tidak ada salahnya untuk diteruskan.”

Tidak lama kemudian, kembali satu rombongan lain masuk dan menyembah pula. Kali ini Ren Woxing tidak berdiri lagi dari tempat duduknya. Sembah dan pujian muluk-muluk itu diterimanya dengan senang hati sambil kepalanya manggut-manggut.

Sementara itu, Linghu Chong sudah mengundurkan diri sampai ke ambang pintu balairung. Kini ia berdiri pada jarak yang cukup jauh dengan singgasana Sang Ketua. Cahaya lilin yang remang-remang membuat wajah Ren Woxing tampak samar-samar. Tiba-tiba timbul suatu pikiran dalam benak Linghu Chong, “Yang duduk di atas singgasana itu Ren Woxing atau Dongfang Bubai? Memangnya ada perbedaan apa di antara mereka?”

Kemudian terdengar para anggota Sekte di dalam balairung itu ramai memberikan sanjung puji kepada Sang Ketua. Rupanya di antara mereka banyak yang ketakutan karena selama belasan tahun ini mengabdi kepada Dongfang Bubai. Kalau sekarang Ren Woxing tiba-tiba mengusut perbuatan mereka dan menagih hutang, tentu ini sangat berbahaya. Sebagian lagi mungkin adalah orang baru, yang sama sekali tidak kenal siapa Ren Woxing. Namun mereka sudah terbiasa menyanjung dan memuji Dongfang Bubai serta Yang Lianting agar terhindar dari bahaya dan bisa naik pangkat. Maka, seperti biasa mereka pun berteriak-teriak memuji untuk menarik perhatian sang ketua baru.

Saat itu sang surya sudah muncul di ufuk timur. Sinarnya yang lembut menembus ke dalam balairung sehingga terlihat bayangan punggung ratusan anggota Sekte yang berlutut sedang menyerukan sanjung puji memuakkan.

Linghu Chong berpikir, “Yingying sangat baik padaku. Kalau dia memintaku masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan, mana mungkin aku bisa menolaknya? Tapi lebih dulu aku harus pergi ke Gunung Songshan demi perjanjianku dengan Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, yaitu untuk mencegah Zuo Lengchan melebur dan menguasai Serikat Pedang Lima Gunung. Setelah itu aku akan memilih seorang murid wanita yang pantas untuk menggantikan kedudukanku sebagai Ketua Perguruan Henshan. Kalau aku sudah tidak punya ikatan, tentu urusan masuk Sekte bisa dibicarakan lagi. Lagipula kelak aku akan menjadi menantu Ketua Ren, sehingga bersujud kepadanya setiap hari jelas bukan masalah. Akan tetapi, kalau setiap hari harus mengucap sanjung puji ‘ahli sastra berwatak kesatria’, ‘cahaya agama suci’, ‘pelindung rakyat jelata’, sungguh menjijikkan. Kalau seorang laki-laki setiap hari mengucapkan sanjung puji seperti itu, apa masih bisa disebut kesatria? Tadinya aku kira ini semua hanya ulah Dongfang Bubai dan Yang Lianting untuk menekan anak buah mereka. Namun, kini kulihat Ketua Ren ternyata sangat menikmati sanjung puji macam ini tanpa merasa muak.”

Sejenak kemudian ia berpikir kembali, “Beberapa waktu yang lalu di Puncak Huashan aku melihat ukiran ilmu silat para Tetua Sekte Matahari dan Bulan. Jelas dalam sekte ini banyak terdapat orang-orang sakti dan perkasa. Pada zaman ini yang aku kenal adalah Kakak Xiang, Shangguan Yun, Jia Bu, Tong Baixiong, serta Empat Sekawan dari Jiangnan. Mereka adalah orang-orang hebat, tapi apa semuanya tunduk begitu saja pada peraturan menjijikkan ini? Para kesatria ini dipaksa berlutut merendahkan diri dan mengumandangkan kata-kata pujian yang mungkin saja hati mereka sedang berontak. Mengucapkan sanjung puji seperti ini benar-benar menjijikkan. Apakah para kesatria ini masih pantas disebut kesatria?”

Kemudian terdengar suara Ren Woxing berkumandang dari ujung balairung, “Tentang segala perbuatan kalian di bawah kepemimpinan Dongfang Bubai, diam-diam aku telah menyelidiki dan kucatat pula satu per satu dengan jelas. Namun aku seorang ketua yang murah hati. Aku tidak akan mengusut kejadian yang sudah-sudah, juga tidak akan menagih hutang lama. Apa yang kulihat hanyalah perbuatan kalian di masa depan. Asalkan untuk selanjutnya kalian setia dan berbakti kepadaku sampai mati, maka aku akan memperlakukan kalian dengan penuh kemakmuran dan kekayaan.”

Mendengar itu serentak para anggota Sekte mengucapkan sanjung puji beraneka ragam sehingga suasana menjadi bergemuruh. Mereka mengatakan bahwa Sang Ketua sangat murah hati, adil dan bijaksana. Ada yang memuji hati Ketua lapang bagai luasnya samudera, ada yang mengatakan Ketua mahaagung memang tidak pantas melakukan perbuatan rendah. Mereka pun serentak berjanji akan selalu setia pada Ketua, meski harus lebur melewati lautan api juga rela demi kejayaan Sekte Matahari dan Bulan.

Ren Woxing menunggu sampai semua puji-pujian itu selesai. Setelah keadaan berangsur-angsur menjadi hening, ia pun melanjutkan, “Tapi bila ada seseorang yang berani membangkang dan berkhianat, maka dosa yang sudah-sudah akan diperhitungkan semua. Ada satu orang berbuat salah, maka segenap keluarganya harus ikut bertanggung jawab dan dihukum mati semua.”

Serentak para anggota Sekte berseru, “Kami akan selalu setia kepada Ketua.”

Linghu Chong terkesiap melihat pemandangan itu. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang dilakukan Ketua Ren ini tidak ada bedanya dengan Dongfang Bubai, menegakkan wibawa melalui ancaman kekerasan. Meski dari luar orang-orang ini terlihat tunduk, tapi dalam hati mereka tentu memberontak. Lalu dari mana mereka mampu mengucapkan kata ‘setia’?”

Menyusul kemudian ada anggota Sekte yang membongkar dosa-dosa Dongfang Bubai. Katanya, bekas ketua itu suka marah-marah jika mendengar nasihat baik, dan lebih memilih percaya kepada Yang Lianting, serta ia juga suka main bunuh seenaknya. Ada pula yang mengadu, katanya Dongfang Bubai suka melakukan korupsi, menumpuk kekayaan demi kepentingan diri sendiri. Ada lagi yang mengoceh, katanya Dongfang Bubai suka bertindak ceroboh, menyerahkan Lencana Kayu Hitam kepada sembarang orang, dan memaksa para anggota menelan Pil Penghancur Otak. Ada juga yang mengatakan kalau Dongfang Bubai sangat rakus. Setiap kali makan ia menyembelih tiga ekor sapi, lima babi, dan sepuluh domba.

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Mereka benar-benar suka menjilat. Kalau Dongfang Bubai dikatakan rakus dan suka makan, apa mungkin seorang diri bisa menghabiskan hewan sembelihan sebanyak itu? Dia seorang ketua aliran besar. Mungkin ia menyembelih banyak hewan adalah untuk sesama kawan. Apa ini dianggap suatu kejahatan?”

Semakin lama para anggota semakin banyak yang melontarkan tuduhan kepada Dongfang Bubai. Tuduhan yang mereka ucapkan pun terdengar sepele dan tidak masuk akal. Ada yang memaki Dongfang Bubai suka berubah-ubah sikap, kadang tertawa kadang menangis tanpa sebab. Ada yang memakinya suka berpakaian mewah dan enggan menerima penghadapan anggota. Ada yang memakinya sebagai orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Bahkan ada pula yang memakinya tidak memiliki kepandaian apa-apa, dan ilmu silat yang ia miliki hanya omong kosong belaka untuk menakut-nakuti para anggota.

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Kalian seenaknya memaki dan menuduh Dongfang Bubai, padahal kalian sendiri yang tidak tahu apa-apa. Baru saja kami berlima mati-matian menghadapi kehebatan Dongfang Bubai bagaikan bisa lolos dari lubang jarum. Apabila Dongfang Bubai disebut tidak memiliki kehebatan apa-apa, maka di dunia ini tidak ada lagi orang hebat. Sungguh omong kosong yang keterlaluan!”

Yang paling menggelikan adalah seseorang yang memaki Dongfang Bubai sebagai manusia cabul, suka main perempuan dan memerkosa anak istri para anggota Sekte.

Linghu Chong kembali berpikir, “Dongfang Bubai sudah merelakan dirinya menjadi banci berpakaian wanita. Dia tidak suka lagi pada perempuan dan lebih suka melayani laki-laki. Mana bisa kalian seenaknya menuduh dia sebagai manusia cabul?” Mendengar laporan lucu ini ia tak kuasa lagi menahan geli sampai akhirnya terbahak-bahak sehingga suaranya berkumandang memenuhi balairung. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arahnya dengan mata melotot gusar.

Melihat pemuda itu mulai berbuat onar, Ren Yingying segera menarik tangannya dan berkata, “Mereka sedang membicarakan urusan Dongfang Bubai. Tidak ada yang menarik di sini. Mari kita turun ke bawah saja.”

“Benar juga. Jangan-jangan ayahmu menjadi marah dan kepalaku dipenggal,” ujar Linghu Chong sambil menjulurkan lidah. Segera mereka keluar dari balairung dan turun ke bawah menggunakan keranjang kerekan.

Keduanya duduk bersanding di dalam keranjang bambu. Awan putih tampak mengambang di sekeliling mereka. Dibandingkan dengan suasana di dalam balairung tadi, Linghu Chong merasa saat ini bagaikan berada di dunia lain. Ia pun berpikir, “Apa yang baru kami alami rasanya seperti mimpi belaka. Bagaimanapun juga, aku tidak akan sudi lagi naik ke atas Tebing Kayu Hitam ini.”

“Apa yang sedang kau renungkan, Kakak Chong?” tanya Ren Yingying tiba-tiba.

“Apakah kau mau pergi bersamaku?” kata Linghu Chong.

Muka Ren Yingying menjadi merah. Dengan tergagap ia menjawab, “Tapi kita … kita .…”

“Kita apa?” desak Linghu Chong.

Ren Yingying menunduk dan menjawab, “Kita belum … belum menikah. Mana boleh aku ikut pergi denganmu?”

“Bukankah dahulu kita pernah berkelana berdua di dunia persilatan?” ujar Linghu Chong.

“Yang dahulu itu karena terpaksa. Justru karena kebersamaan kita itu timbul banyak omongan-omongan iseng di dunia persilatan,” kata Ren Yingying. “Apalagi tadi Ayah mengatakan bahwa aku … aku hanya memikirkan dirimu dan tidak mau Ayah lagi. Kalau sekarang aku benar-benar ikut pergi bersamamu tentu Ayah akan bertambah marah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan selama belasan tahun agaknya watak Ayah mengalami perubahan. Aku harus melayaninya dengan baik untuk meredam kemarahannya. Asalkan hatiku dan hatimu tidak berubah, asalkan umur kita masih panjang, untuk selanjutnya kita masih bisa bertemu lagi.” Kata-kata terakhir itu diucapkannya dengan lirih, hampir-hampir tak terdengar.

Kebetulan waktu itu segumpal awan putih melayang tiba sehingga mereka seperti terbungkus di dalamnya. Meskipun duduk bersanding, namun karena suasana remang-remang, jarak keduanya pun seperti sangat jauh. Sesampainya di bawah tebing dan keluar dari keranjang bambu, Ren Yingying bertanya dengan suara berat, “Apakah kau akan langsung berangkat?”

“Ya,” jawab Linghu Chong. “Zuo Lengchan telah mengundang segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung untuk berkumpul pada tanggal lima belas bulan tiga, dalam acara memilih Ketua Perguruan Lima Gunung. Ambisinya sangat besar dan dapat mengancam keselamatan dunia persilatan. Maka itu, pertemuan di Gunung Songshan ini harus kuhadiri.”

Ren Yingying mengangguk dan berkata, “Kakak Chong, ilmu pedangmu lebih hebat daripada Zuo Lengchan, tapi kau harus berhati-hati terhadap tipu muslihatnya.”

“Ya,” jawab Linghu Chong.

Ren Yingying menyambung, “Sebenarnya aku ingin pergi juga, tapi aku seorang perempuan aliran sesat. Jika aku pergi ke Gunung Songshan bersamamu tentu hanya akan merintangi urusanmu.” Ia diam sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada cemas, “Bila nanti kau berhasil menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, namamu akan termasyhur di seluruh dunia, sedangkan golongan putih dan hitam selamanya tidak pernah bersatu. Kurasa urusan kita akan … akan lebih sulit.”

Linghu Chong memegang tangan Ren Yingying erat-erat dan menjawab halus, “Kau masih belum percaya padaku?”

“Tentu saja aku percaya,” sahut Ren Yingying dengan tersenyum. Selang sejenak ia berkata lagi dengan nada khawatir, “Namun semakin tinggi ilmu silat seseorang, semakin besar pula namanya di dunia persilatan. Hal seperti ini sering pula mengubah wataknya. Dia sendiri mungkin tidak sadar, tapi sikapnya telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Paman Dongfang seperti itu. Aku khawatir Ayah juga bisa seperti itu.”

Linghu Chong tersenyum menanggapi, “Ayahmu tidak akan menjadi seperti Dongfang Bubai. Bukankah Kitab Bunga Mentari sudah dicabik-cabiknya hingga hancur berkeping-keping? Kalau pun ingin belajar juga terlambat.”

“Aku tidak bicara soal ilmu silat, tapi sedang membicarakan watak manusia.” jawab Ren Yingying, “Meskipun Paman Dongfang tidak mempelajari Kitab Bunga Mentari, tetap saja ia memberontak dan merebut kedudukan Ketua Sekte Matahari dan Bulan apabila menemukan kesempatan.”

“Kau jangan khawatir, Yingying,” kata Linghu Chong. “Orang lain mungkin seperti itu, tapi aku pasti tidak. Sifatku suka berterus terang, tidak bisa berpura-pura. Andaikan aku menjadi sombong dan besar kepala, tapi di hadapanmu akan tetap seperti sekarang.”

“Baguslah kalau begitu,” ujar Ren Yingying. “Maksudmu, seperti sekarang itu seperti apa?”

Linghu Chong menjawab dengan sungguh-sungguh, “Untuk seribu tahun, seribu musim semi, selamanya Linghu Chong akan selalu menjadi cucumu yang manis.”

Ren Yingying tersenyum manis dan berkata, “Kalau begitu aku adalah perempuan paling beruntung di dunia. Terlahir menjadi seorang berwajah cantik dan berusia muda tidaklah penting. Yang paling penting adalah Ren Yingying bisa seribu tahun seribu musim semi berada di sisi Pendekar Besar Linghu.”

Linghu Chong terdiam sejenak, kemudian teringat sesuatu dan berkata, “Semua orang di dunia persilatan telah mengetahui hubungan kita. Kawan-kawan yang kau asingkan di salah satu pulau di laut selatan apakah bisa kau maafkan?”

Ren Yingying tersenyum menjawab, “Aku akan mengirim orang untuk membawa mereka kembali ke sini.”

Linghu Chong menarik tubuh gadis itu lebih dekat, dan perlahan-lahan memeluk pinggangnya. “Sekarang aku mohon diri padamu. Setelah urusan penting di Gunung Songshan beres, aku akan segera datang mencarimu. Setelah itu kita berdua takkan berpisah lagi.”

Sorot mata Ren Yingying berbinar-binar, memancarkan perasaan gembira. Dengan suara berat ia berkata, “Semoga usahamu berhasil dengan baik dan bisa secepatnya kembali kemari. Siang dan malam aku … aku akan selalu menunggumu di sini.”

“Baiklah,” kata Linghu Chong sambil perlahan-lahan mencium pipi gadis itu.

Wajah Ren Yingying langsung merah merona. Dengan tersipu malu ia mendorong perlahan. Linghu Chong bergelak tawa kemudian berjalan mendekati kudanya. Sekali lompat ia langsung hinggap di atas kuda itu dan memacunya meninggalkan markas Sekte Matahari dan Bulan tersebut.

Beberapa hari kemudian Linghu Chong sampai di Gunung Henshan. Para murid yang ditugasi menjaga kaki gunung segera mengirim laporan ke atas. Beramai-ramai para murid lainnya turun menyambut kedatangan sang ketua dengan gembira. Tidak lama kemudian para anggota laki-laki yang tinggal di Lembah Tongyuan juga berdatangan menyambut pula.

Linghu Chong menanyakan keadaan para jagoan itu selama keepergiannya. Zu Qianqiu menjawab, “Para murid laki-laki semuanya hidup prihatin, giat berlatih dengan tertib. Tak seorang pun yang berani datang ke biara induk.”

Linghu Chong menjawab senang, “Syukur kalau begitu.”

Yihe tertawa menyahut, “Memang benar mereka tidak pernah datang ke biara induk. Tapi soal hidup prihatin, apa benar demikian?”

Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Apa maksudmu?”

Yihe menjawab, “Sepanjang hari, siang dan malam aku mendengar suara gaduh dari arah Lembah Tongyuan. Ramai sekali suara mereka.”

Linghu Chong tertawa menanggapi, “Hahaha, menyuruh kawan-kawan ini duduk diam tidaklah mudah.”

Linghu Chong kemudian bercerita tentang keberhasilan Ren Woxing merebut kembali kedudukannya sebagai Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Para jagoan sangat gembira mendengarnya. Suara sorak-sorai mereka bergemuruh menggetarkan lembah. Dalam hati mereka membayangkan, jika Ren Woxing menjadi ketua lagi, itu berarti Ren Yingying pun mendapat kedudukan penting pula di dalam Sekte. Ini berarti keadaan akan menjadi lebih baik untuk semua orang.

Linghu Chong akhirnya sampai di Puncak Xianxing. Yang pertama kali ia lakukan di biara induk adalah menyampaikan sembah bakti di depan altar ketiga biksuni sepuh. Pertemuan di Gunung Songshan pada tanggal lima belas bulan tiga sudah semakin dekat. Bersama murid-murid tertua seperti Yihe dan Yiqing, ia membicarakan undangan Zuo Lengchan tersebut. Mereka memutuskan untuk pergi ke Henan terlebih dulu sebelum menuju Gunung Songshan. Yihe dan yang lain tidak setuju apabila mereka harus melibatkan para jagoan yang tinggal di Lembah Tongyuan untuk membantu melawan pihak Songshan. Meskipun para jagoan itu bisa menambah kekuatan mereka, namun hal itu justru akan menjadi bahan olok-olok bagi pihak Henshan sendiri.

Yihe berkata, “Kakak Ketua, ilmu pedangmu lebih tinggi daripada Zuo Lengchan, maka untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, para jagoan di Lembah Tongyuan bisa merepotkan kita.”

Linghu Chong tersenyum berkata, “Tujuan kita adalah mencegah Zuo Lengchan supaya tidak mencaplok keempat perguruan lain. Aku sama sekali tidak pantas menjadi Ketua Perguruan Henshan, apalagi menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Apabila kalian menghendaki untuk tidak mengajak para jagoan itu, maka kita tidak akan mengajak mereka.”

Ia kemudian berjalan menuju Lembah Tongyuan untuk berunding dengan Ji Wushi, Zu Qianqiu, dan Lao Touzi. Ternyata ketiga orang itu juga tidak setuju apabila rombongan mereka ikut serta ke Gunung Songshan. Ketiganya meminta Linghu Chong memimpin para murid perempuan untuk berangkat lebih dulu, sementara mereka akan memberi pengertian kepada para jagoan lainnya sambil menghimpun kekuatan dan menunggu kabar. Nanti apabila pihak Perguruan Songshan berusaha menekan Perguruan Henshan dengan mengandalkan kekuatan mereka yang lebih besar, maka para jagoan yang jumlahnya ribuan pun akan berangkat memberikan bantuan.

Malam itu, Linghu Chong minum arak bersama para jagoan di Lembah Tongyuan tersebut. Keberangkatan menuju ke Gunung Songshan telah direncanakan esok paginya. Namun, Linghu Chong sendiri ternyata tidur pulas sampai bangun kesiangan. Terpaksa, keberangkatan menuju Gunung Songshan harus ditunda sehari kemudian. Esok paginya barulah ia memimpin para murid perempuan berangkat menuju ke sana.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di sebuah kota dan beristirahat dalam sebuah kuil bobrok yang cukup besar. Zheng E dan enam murid lain meronda di luar menghadapi kemungkinan serangan licik pihak Songshan. Namun tidak lama kemudian Zheng E dan Qin Juan berlari memasuki kuil sambil berteriak, “Kakak Ketua, cepat kemari dan lihatlah itu!” Keduanya melapor dengan wajah menahan geli.

Yihe bertanya, “Ada apa sebenarnya?”

Qin Juan menjawab cekikikan, “Kakak, sebaiknya kau lihat sendiri saja.”

Linghu Chong dan yang lain segera keluar dan mengikuti kedua murid muda tersebut yang membawa mereka menuju ke sebuah penginapan. Mereka langsung melihat enam orang bertumpuk-tumpuk seperti batu bata di sebuah rumah kecil di sisi barat rumah penginapan tersebut. Mereka tidak lain adalah Enam Dewa Lembah Persik yang tidak bisa berkutik karena tubuh mereka masing-masing tertotok.

Linghu Chong sangat terkejut melihatnya. Segera ia menarik turun Dewa Akar Persik yang berada paling atas di tumpukan itu. Dilihatnya segumpal biji buah persik menyumpal mulut Dewa Akar Persik.

Begitu Linghu Chong mengeluarkan sumpalan itu, seketika Dewa Akar Persik langsung memaki-maki, “Nenekmu, semua keluargamu akan kubuat menderita, anak turunmu sampai delapan belas keturunan akan kusiksa, kau ….”

Linghu Chong tertawa berkata, “Kakak Akar Persik, aku tidak berbuat salah kepadamu, bukan?”

“Aku tidak memakimu! Jangan ikut campur!” bentak Dewa Akar Persik. “Anjing itu, jika kelak aku melihatnya, akan kurobek tubuhnya menjadi delapan, enam belas, tiga puluh empat .…”

“Siapa yang kau caci maki itu?” tanya Linghu Chong.

“Nenekmu, jika aku tidak mencaci maki dia, lantas siapa lagi yang sedang kumaki ini?” sahut orang tua itu galak.

Linghu Chong kemudian menarik turun Dewa Bunga Persik dan mengeluarkan sumpalan di mulutnya. Rupanya Dewa Bunga Persik sudah tidak tahan untuk tidak ikut bicara. Saat sumpalan di mulutnya baru tertarik separuh, ia sudah menggumam tak keruan. Maka, begitu mulutnya terbebas sepenuhnya, ia langsung saja berkata, “Kakak Pertama, yang kau katakan tadi salah. Delapan potong dikalikan dua jadi enam belas, dikalikan dua lagi jadi tiga puluh dua. Kenapa kau tadi bilang jadi tiga puluh empat?”

“Terserah aku mau merobeknya menjadi tiga puluh empat atau berapa. Apa aku tadi berkata akan selalu membaginya dua? Terserah aku jika membaginya dua lalu menambah dua sobekan lagi,” jawab Dewa Akar Persik tidak mau kalah.

Dewa Bunga Persik berkata, “Kenapa kau membaginya dua lantas menambah dua sobekan lagi? Apa alasannya?”

Totokan pada tubuh mereka belum lagi lepas, namun begitu ada kesempatan berbicara mereka langsung saja mengoceh memperdebatkan hal-hal yang tidak penting.

Linghu Chong bertanya, “Berhenti bertengkar! Sebenarnya ada kejadian apa?”

Dewa Bunga Persik berkata, “Kedua biksu sinting itu, Bujie dan Bukebujie, kedelapan belas leluhur mereka adalah biksu sinting semua.”

Linghu Chong kembali tertawa bertanya, “Mengapa kau memaki mereka?”

Dewa Akar Persik menjawab, “Jika bukan memaki mereka lantas aku memaki siapa? Kau pergi tanpa pamit dan kami mendengar itu semua dari Zu Qianqiu. Bagaimana mungkin kami enam bersaudara tidak ikut pergi ke Gunung Songshan untuk melihat keramaian? Tentu saja kami memutuskan untuk menyusul. Tapi di tengah jalan kami bertemu si biksu sinting Bukebujie. Dia mengajak kami minum dan bercerita tentang enam ekor anjing yang mati disengat serangga. Kami tertarik pada ceritanya sehingga tidak menyadari kalau Biksu Bujie bersembunyi di dekat kami dan langsung melumpuhkan kami dengan totokan. Biksu Bujie berkata, kalau kami ikut ke Gunung Songshan tentu hanya akan mengacaukan rencana Ketua Linghu saja. Huh, dari mana dia tahu kalau kami akan mengacaukan rencanamu?”

Linghu Chong memaklumi apa yang terjadi dan tertawa menjawab, “Sebenarnya saat ini Enam Dewa Lembah Persik sudah menang, dan Biksu Bujie kalah. Jika kalian bertemu Biksu Bujie dan Biksu Bukebujie masalah ini tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kalian juga tidak perlu bertarung melawan mereka. Sebaliknya, kalau para kesatria di dunia persilatan bertanya tentang hal ini, tentu mereka tidak bisa mengingkari kekalahan kedua biksu itu di tangan Enam Dewa Lembah Persik.”

Dewa Akar Persik dan Dewa Bunga Persik mengangguk lalu menjawab, “Untuk selanjutnya jika bertemu dengan dua biksu sinting itu kami tidak akan mengungkit masalah ini lagi sehingga mereka berdua tidak akan kehilangan muka.”

Linghu Chong tertawa menjawab, “Yang paling penting saat ini adalah membuka totokan kalian, enam bersaudara. Kalian pasti sangat menderita sekarang.” Usai berkata ia lantas membuka totokan pada tubuh Dewa Bunga Persik dan menutup pintu supaya suara perdebatan mereka tidak sampai terdengar dari luar.

Zheng E terkekeh dan bertanya, “Kakak Ketua, apa yang sedang mereka lakukan?”

Qin Juan menjawab, “Mereka sedang membangun kuil.”

Dewa Bunga Persik langsung memaki dari dalam, “Biksuni cilik sembarangan! Kenapa kau bilang kami sedang membangun kuil?”

Qin Juan tertawa menjawab, “Hei, aku bukan biksuni!”

Dewa Akar Persik berkata, “Kau hidup bersama para biksuni, jadi kau pun termasuk biksuni.”

Qin Juan menjawab, “Kakak Ketua juga hidup bersama kami, tapi dia bukan biksuni.”

Zheng E menambahkan, “Kalian juga hidup bersama kami, tapi kalian juga bukan biksuni.”

Dewa Akar Persik dan Dewa Bunga Persik terdiam tidak bisa membalas. Keduanya sama-sama bingung mencari alasan yang tepat untuk melawan perkataan kedua murid muda itu.

Linghu Chong dan para murid perempuan lantas menunggu di luar sampai sekian lama, namun Enam Dewa Lembah Persik tidak juga muncul keluar. Linghu Chong lalu membuka pintu dan melihat Dewa Bunga Persik mondar-mandir dengan sikap malu-malu, sementara kelima saudaranya masih dalam keadaan tertotok. Linghu Chong bergelak tawa dan segera membuka totokan kelima orang tua aneh tersebut, kemudian buru-buru melangkah keluar kamar.

Tidak lama kemudian terdengar suara berisik dari dalam rumah kecil itu. Linghu Chong tertawa senang dan melangkah menjauhi penginapan tersebut. Beberapa puluh langkah selanjutnya ia melewati jalan yang membelah suatu lahan pertanian. Satu pohon persik tampak tumbuh subur dengan ranting-ranting dipenuhi bunga bermekaran. Melihat itu ia berpikir, “Pohon bunga persik memang sangat indah dan memesona, tapi Enam Dewa Lembah Persik hanya bisa membuat gaduh dan berisik saja. Nama julukan mereka sama sekali berbeda dengan kenyataan pohon bunga persik.”

Seorang diri ia berjalan santai sambil berpikir keenam orang tua bersaudara itu pasti baru saja selesai bertengkar sekarang, dan berniat mengajak mereka minum arak bersama. Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki di belakangnya, dan satu suara perempuan menyapa dengan lembut, “Kakak Linghu!”

Linghu Chong menoleh dan melihat rupanya Yilin yang datang menghampirinya.

Biksuni muda itu berkata, “Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”

“Tentu saja boleh,” jawab Linghu Chong. “Tanya urusan apa?”

Yilin bertanya, “Menurutmu siapa yang lebih baik, Nona Ren ataukah adik kecilmu?”

Linghu Chong terkesiap. Dengan agak rikuh ia menjawab, “Mengapa tiba-tiba kau bertanya masalah ini?”

“Kakak Yihe dan Kakak Yiqing yang menyuruhku bertanya ini kepadamu,” jawab Yilin.

Linghu Chong bertambah heran, lalu menjawab dengan tersenyum, “Mereka adalah kaum biarawati, mengapa bertanya hal-hal demikian?”

Yilin menunduk dan berkata, “Kakak Linghu, aku tidak pernah bercerita kepada orang lain tentang hubunganmu dengan adik kecilmu. Namun Kakak Yihe pernah melukai Nona Yue sehingga antara kedua pihak timbul perselisihan. Waktu itu Kakak Yizhen dan Kakak Yiling pergi untuk mengantarkan obat luka, namun mereka ditolak oleh pihak Huashan, bahkan diusir pula. Hal ini sengaja tidak kami ceritakan kepadamu supaya kau tidak tersinggung. Kemudian ketika Kakak Yu Sao dan Kakak Yiwen pergi ke Gunung Huashan untuk menyampaikan berita pelantikanmu sebagai Ketua Perguruan Henshan, mereka telah ditahan di sana.”

Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Hah? Dari mana kau mendapat kabar ini?”

“Dari Tian … eh, Bukebujie yang melapor padaku,” jawab Yilin dengan malu-malu.

“Tian Boguang?” sahut Linghu Chong.

“Benar,” jawab Yilin, “ketika kau ke Tebing Kayu Hitam, para kakak telah menyuruhnya ke Gunung Huashan untuk mencari berita.”

Linghu Chong mengangguk, “Dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, Tian Boguang memang tepat jika disuruh menyelidiki sesuatu. Dan kedua kakakmu itu apakah bisa dijumpai olehnya?”

“Bisa. Namun penjagaan Perguruan Huashan terlalu ketat, dia tidak sanggup menolong mereka. Syukurlah kedua kakak tidak menderita. Aku juga telah menulis pesan kepadanya supaya jangan main kekerasan dan memusuhi Perguruan Huashan supaya tidak membuatmu marah,” ujar Yilin.

Linghu Chong tersenyum berkata, “Kau menulis surat kepadanya? Kau sudah benar-benar pantas menjadi seorang guru.”

Wajah Yilin merona, lalu ia menjawab, “Aku tinggal di Puncak Xianxing, sedangkan dia tinggal di Lembah Tongyuan. Cara yang paling baik tentu saja melalui surat. Aku lalu meminta tolong Nenek Fu mengantarkan surat itu ke sana.”

“Aku hanya bercanda,” sahut Linghu Chong menggoda. “Lantas, apa yang dilaporkan Tian Boguang?”

Yilin menjawab dengan ragu-ragu, “Katanya di sana ia kebetulan melihat suatu perayaan. Sepertinya gurumu sedang menikahkan putrinya ….”

Tiba-tiba wajah Linghu Chong berubah hebat begitu mendengarnya. Seketika Yilin terkejut dan segera menutup mulutnya. Linghu Chong terlihat sangat susah. Napasnya memburu dan tenggorokannya seperti tersumbat. Sekuat tenaga ia berkata, “Teruskan … teruskan ceritamu. Aku tidak … apa-apa.”

Yilin menjawab lirih, “Kakak Linghu, kau jangan bersedih. Kakak Yihe dan Kakak Yiqing juga mengatakan meskipun Nona Ren adalah orang aliran sesat, tapi dia sangat cantik jelita dan memiliki ilmu silat tinggi. Ia juga mencintaimu dengan sepenuh hati. Dalam setiap hal Nona Ren sepuluh kali lebih baik daripada Nona Yue.”

“Untuk apa aku bersedih?” ujar Linghu Chong dengan tersenyum getir. “Bila Adik Kecil mendapatkan jodoh yang baik, aku justru ikut merasa gembira. Apakah Tian … Tian Boguang juga melihat adik kecilku?”

“Tian Boguang hanya melihat suasana begitu ramai di sana. Puncak Huashan dihias segala rupa. Banyak tamu-tamu dari berbagai golongan datang memberi selamat, sedangkan Tuan Yue ternyata sama sekali tidak memberi tahu Perguruan Henshan kita. Sepertinya kita telah dipandang sebagai musuh olehnya.”

Linghu Chong mengangguk-angguk. Lalu Yilin melanjutkan, “Kakak Yu Sao dan Kakak Yiwen dengan maksud baik menyampaikan undangan kepada Perguruan Huashan. Tidak masalah kalau mereka tidak mau mengirim utusan untuk mengucapkan selamat kepadamu sebagai ketua baru. Tapi, mengapa juga mereka harus menahan utusan kita. Maka menurut pendapat Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, kita juga tidak perlu segan-segan lagi terhadap Perguruan Huashan yang tidak tahu aturan itu. Kelak kalau kita bertemu mereka di Gunung Songshan, secara tegas kita akan bertanya di depan umum kepada mereka dan menyuruh mereka membebaskan Kakak Yiwen dan Kakak Yu Sao. Kalau tidak, maka kita akan turun tangan lebih dulu untuk mengambil tindakan.”

Kembali Linghu Chong hanya mengangguk-angguk saja.

Melihat sikap Linghu Chong yang linglung itu, Yilin menghela napas dan menambahkan, “Kakak Linghu, hendaknya kau berhati-hati.” Usai berkata ia lantas berjalan meninggalkannya.

Melihat Yilin pergi semakin lama semakin jauh, tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Adik Yilin!”

Yilin berhenti dan menoleh ke belakang.

Linghu Chong bertanya padanya, “Yang menikah dengan Adik Kecil apakah … apakah ….”

Yilin mengangguk. “Benar, laki-laki itu bermarga Lin.”

Dengan langkah cepat ia pun berbalik menghampiri Linghu Chong lalu memegang lengan baju pemuda itu sambil berkata, “Kakak Linghu, orang bermarga Lin itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganmu. Nona Yue memang ceroboh sehingga salah memilih suami. Para kakak khawatir kau bersedih, sehingga hal ini tetap dirahasiakan sampai sekarang. Akan tetapi, Enam Dewa Lembah Persik mengatakan kalau ayahku dan Tian Boguang ada di dekat sini. Meskipun seandainya Tian Boguang tidak bercerita kepadamu, saat tiba di Gunung Songshan nanti juga kemungkinan besar kita akan bertemu dengan Nona Yue serta suaminya. Jika kau tiba-tiba melihat dandanan Nona Yue telah berubah menjadi seorang pengantin baru, bisa jadi kau akan … akan bingung dan urusan menjadi runyam. Menurut pendapat para kakak, akan sangat baik jika Nona Ren berada di sampingmu. Para kakak juga menyuruhku agar menasihatimu supaya jangan memikirkan Nona Yue yang tidak punya pendirian itu.”

Linghu Chong tersenyum getir. Ia merasa bersyukur atas perhatian para murid Henshan terhadapnya. Pantas saja selama perjalanan ini mereka sangat baik dalam memberikan pelayanan. “Rupanya mereka khawatir hatiku berduka,” pikirnya. Tiba-tiba terasa pada telapak tangannya tertetes beberapa titik air. Ia terkejut dan berpaling, ternyata air mata Yilin yang berlinang-linang. “Hei, kenapa … kenapa kau menangis?”

Yilin menjawab, “Aku … aku tidak tega melihat kau bersedih. Kakak Linghu, jika kau ingin menangis, silakan menangis saja sepuasnya.”

“Hahaha, kenapa aku harus menangis?” ujar Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Linghu Chong seorang pemuda bandel, sampai-sampai Guru dan Ibu Guru mengusirku dari Huashan. Mana mungkin hanya karena … hanya karena … hahahaha!”

Sambil tertawa ia lantas berlari cepat ke depan. Sekali berlari ia tidak berhenti sehingga tanpa terasa sudah melewati lima puluh li jauhnya. Sampai di suatu tempat yang sepi, hatinya terasa sedih tak tertahankan lagi. Ia pun menjatuhkan diri di tanah rumput dan menangis sekeras-kerasnya.

Setelah menangis sekian lama barulah hatinya terasa lega. Ia pun berpikir, “Bila aku kembali sekarang tentu kedua mataku tampak merah sembap. Hal ini bisa menjadi bahan tertawaan Yihe dan yang lain. Lebih baik aku kembali kalau hari sudah gelap saja.” Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Tentu mereka sedang mencariku dan merasa khawatir bila tidak bisa menemukan aku. Sedih atau gembira adalah hal yang biasa. Seorang laki-laki sejati ingin menangis ya menangis, ingin tertawa ya tertawa. Bagaimana aku mati-matian mencintai Adik Kecil juga sudah diketahui semua orang. Sekarang dia menikah dengan orang lain, bila aku tidak bersedih malah orang lain akan menuduh perasaanku palsu.”

Segera ia berlari kembali ke kuil bobrok tempat rombongannya menginap tadi. Dilihatnya Yihe, Yiqing, dan yang lain sedang sibuk mencari-cari dirinya. Melihat sang ketua pulang, para murid perempuan itu menjadi lega dan gembira. Namun melihat matanya yang merah dan sembap, semua orang pun diam tidak ada yang berani bertanya.

Linghu Chong melihat di atas meja sudah tersedia arak dan makanan. Malam itu ia minum sepuas-puasnya sampai mabuk berat, kemudian ia pun tertidur pulas di atas meja.

Linghu Chong berpamitan kepada Ren Yingying.
Linghu Chong kembali ke Henshan disambut para murid.
Linghu Chong dan Yilin.

(Bersambung)