Bagian 42 - Seniman dari Timur Kota

Wang Bersaudara merebut kitab dari baju Linghu Chong.

Melihat wajah Linghu Chong memancarkan kemarahan, Wang Jiajun kembali mendesak, “Nah, ucapanku tadi benar, bukan? Di mana kitab pusaka itu? Kami tidak bermaksud mengincarnya. Kami hanya ingin mengembalikannya kepada yang berhak, yaitu Sepupu Pingzhi. Selesai sudah.”

“Tidak! Aku tidak pernah melihat kitab Pedang Penakluk Iblis,” jawab Linghu Chong gusar. “Paman dan Bibi Lin berturut-turut ditawan dan disiksa oleh orang-orang Perguruan Qingcheng, kemudian oleh Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Jika Paman Lin menyimpan kitab tersebut, tentu sejak awal sudah diambil orang-orang itu.”

“Benar juga,” ujar Wang Jiajun. “Kitab Pedang Penakluk Iblis tak ternilai harganya, mana mungkin Paman Lin menyimpannya di saku dan membawanya ke mana-mana? Sudah tentu kitab tersebut disimpan di suatu tempat rahasia. Sebelum mereka wafat, mereka berniat memberitahukan tempat penyimpanannya kepada Sepupu Pingzhi melalui dirimu. Siapa tahu... siapa tahu, hehe....”

“Siapa tahu secara diam-diam kau malah pergi sendiri untuk mengangkangi kitab tersebut?” tukas Wang Jiaju melanjutkan ucapan kakaknya.

Linghu Chong semakin gusar mendengarnya. Sebenarnya ia tidak sudi untuk berdebat lebih lanjut. Namun karena masalah ini sungguh penting, ia pun berusaha menahan diri dan berkata, “Jika benar Paman Lin memiliki kitab pusaka sehebat itu, tentu Beliau menjadi orang yang berjaya di dunia persilatan. Tapi mengapa Beliau bisa dikalahkan dan ditangkap hanya oleh beberapa orang murid Perguruan Qingcheng?”

“Hal ini... hal ini....” sahut Wang Jiaju gelagapan tidak bisa menjawab.

Wang Jiajun yang lebih pintar bicara menyahut, “Itu semua hanya kebetulan. Saudara Linghu sendiri sudah memelajari ilmu Pedang Penakluk Iblis dan mampu mengalahkan lima belas penjahat tangguh, tetapi mengapa melawan kaum gelandangan saja tidak mampu, bahkan dihajar mereka sampai babak belur? Hahahaha, kau memang pandai berpura-pura. Tapi sandiwaramu agak keterlaluan, Saudara Linghu. Mana mungkin seorang murid pertama Perguruan Huashan bisa dihajar kaum gelandangan di kota Luoyang tanpa perlawanan? Tentu di balik itu semua ada penjelasan yang masuk akal. Nah, Saudara Linghu, kami rasa lebih baik kau mengaku saja.”

Biasanya Linghu Chong tidak peduli dengan segala tuduhan dan menjawab seenaknya. Namun apa yang terjadi sudah menempatkan dirinya sebagai pihak tersangka. Sebenarnya ia tidak takut dicurigai oleh Keluarga Golok Emas Wang, tetapi yang ia takutkan adalah dicurigai oleh guru, ibu-guru, dan adik kecilnya. Menanggapi itu, ia pun berkata dengan tegas, “Aku bersumpah selama ini aku, Linghu Chong, belum pernah melihat yang namanya kitab Pedang Penakluk Iblis. Wasiat Paman Lin juga sudah kusampaikan kepada Adik Lin tanpa mengurangi satu kalimat pun. Jika aku ternyata berbohong dan menipu, aku pantas dihukum mati dan menerima kutukan.” Wajahnya terlihat bersungguh-sungguh saat mengucapkan sumpah tersebut.

Wang Jiajun tersenyum dan berkata, “Urusan penting yang menyangkut dunia persilatan tidak cukup diselesaikan hanya dengan bersumpah saja. Apa kau kira dengan bersumpah maka persoalan ini bisa selesai begitu saja? Saudara Linghu terlalu kekanak-kanakan dan menganggap orang lain bodoh.”

“Kalau begitu, bagaimana menurutmu?” tanya Linghu Chong sambil berusaha tetap tenang.

“Maafkan atas kelancangan kami. Namun kami terpaksa harus menggeledah badanmu, Saudara Linghu,” kata Wang Jiaju. Setelah terdiam sejenak, anak muda itu melanjutkan sambil tersenyum mengejek, “Anggap saja kami seperti para gelandangan yang kemarin mengeroyokmu. Bukankah mereka juga menggerayangi badanmu?”

“Huh, kalian mau menggeledahku? Memangnya aku ini seperti maling?” sahut Linghu Chong.

“Mana mungkin kami berani beranggapan demikian?” ujar Wang Jiajun. “Tapi kalau Saudara Linghu benar-benar tidak mengambil kitab itu, kenapa harus takut digeledah? Jika kami tidak menemukannya, itu berarti nama baikmu bisa bebas dari segala tuduhan.”

“Baik,” sahut Linghu Chong sambil mengangguk. “Tapi Adik Lin dan Adik Yue harus dipanggil ke sini biar mereka menjadi saksi.”

Wang Jiajun khawatir mendengar permintaan itu. Jika ia pergi memanggil Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, jangan-jangan Linghu Chong akan menyergap Wang Jiaju sendirian. Tapi jika mereka pergi bersama, jangan-jangan Linghu Chong mendapat kesempatan untuk menyembunyikan kitab tersebut. Maka, ia pun menolak, “Kalau Saudara Linghu tidak bersalah, kenapa harus takut digeledah?”

Linghu Chong pun berpikir, “Sebenarnya aku mengizinkan kalian menggeledah diriku adalah untuk membuktikan bahwa diriku tidak bersalah di hadapan Guru, Ibu Guru, atau Adik Kecil. Aku tidak peduli pada tuduhan kalian. Akan tetapi, kalau salah satu dari mereka tidak menyaksikan penggeledahan ini, maka tidak akan kuizinkan tangan kotor kalian menggerayangi badanku.”

Maka, ia pun berkata, “Hanya kalian berdua? Hm, kalian berdua tidak pantas menggeledah badanku.”

Semakin Linghu Chong menolak, maka kedua bersaudara itu semakin yakin kalau kitab Pedang Penakluk Iblis benar-benar ada padanya. Selain itu, mereka berdua juga mengincar pujian dari sang kakek, paman, serta ayah mereka. Bahkan jika kitab tersebut berhasil ditemukan, Lin Pingzhi pasti berterima kasih dan mengizinkan mereka untuk ikut mempelajari ilmu pedang hebat tersebut.

Wang Jiajun telah menyaksikan sendiri bagaimana Linghu Chong dapat dikalahkan para gelandangan tempo hari. Maka ia pun menyimpulkan kalau Linghu Chong hanya hebat dalam permainan pedang, tetapi kurang pandai jika bertarung tangan kosong. Melihat kali ini Linghu Chong tidak bersenjata, Wng Jiajun pun melirik adiknya, kemudian berkata, “Saudara Linghu, kau menolak diajak bicara baik-baik tapi memilih menggunakan kekerasan. Jika sampai terjadi apa-apa tentu akan merusak hubungan baik kita.”

Setelah bicara demikian, Wang Jiajun bersama Wang Jiaju pun mendesak maju. Wang Jiaju mendahului menerjang ke depan sambil membusungkan dada. Linghu Chong mengangkat tangan hendak menolaknya. Tapi Wang Jiaju berteriak, “Hei, kau berani memukul?”

Bersamaan dengan itu tangannya terus maju untuk mengunci pergelangan lawan. Karena Linghu Chong adalah murid pertama Perguruan Huashan, maka Wang Jiaju tidak berani meremehkannya. Ia pun mengerahkan segenap kekuatannya saat mengerahkan jurus Keluarga Wang tersebut.

Linghu Chong lebih berpengalaman dalam pertarungan. Begitu melihat Wang Jiaju menyerang dengan sepenuh hati, ia pun mempersiapkan segala macam jurus untuk menangkisnya. Saat pihak lawan mengunci lengannya, sebenarnya ia dapat memutar lengan tersebut dan melakukan serangan balasan. Namun celakanya, ia tidak memiliki tenaga dalam. Meskipun tangannya bergerak sesuai rencana, namun tiada daya sama sekali sehingga dengan mudah ditangkap oleh Wang Jiaju. Tahu-tahu lengan Linghu Chong dipuntir sampai terdengar bunyi patah.

Wang Jiaju tidak berhenti sampai di situ. Setelah mematahkan lengan kanan Linghu Chong, tengannya pun bergerak mencengkeram bahu lawannya itu sampai lepas dari sendi. “Lekas geledah dia, Kakak!” serunya kepada Wang Jiajun.

Segera Wang Jiajun maju dan menjulurkan sebelah kakinya untuk menahan bagian bawah perut Linghu Chong untuk berjaga-jaga agar tidak balas menendang. Menyusul kemudian ia menjulurkan tangan untuk menggerayangi baju Linghu Chong dan mengeluarkan semua isinya.

“Ini dia!” seru Wang Jiajun ketika menemukan sebuah kitab kecil. “Ini dia! Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Paman Lin sudah kita temukan!”

Kedua bersaudara itu segera membuka buku tersebut. Pada halaman pertama terdapat tulisan dalam huruf kuna, berbunyi “Menertawakan Dunia Persilatan”. Namun sayangnya, kedua bersaudara itu tidak paham sastra. Mereka tidak mengerti huruf kuna sehingga tidak dapat membacanya dengan jelas. Ketika dibuka lembar-lembar selanjutnya yang mereka lihat hanyalah simbol-simbol aneh pada setiap halaman. Karena mereka juga tidak paham notasi musik, dan mereka pun sudah terlanjur yakin dengan penemuan mereka, maka keduanya pun kembali berteriak, “Kitab Pedang Penakluk Iblis telah kita temukan!”

“Ayo kita tunjukkan kepada Kakek,” seru Wang Jiajun sambil berlari membawa kitab kecil tersebut.

Wang Jiaju yang belum puas segera menendang pinggang Linghu Chong, sembil memaki, “Dasar maling licik! Tak tahu malu!” Ia kemudian meludahi wajah Linghu Chong dan segera pergi menyusul kakaknya.

Linghu Chong sangat marah atas perlakuan kasar kedua anak muda tadi. Namun ia kemudian berpikir bahwa kakek dan ayah mereka tentu tidak sebodoh itu dan berharap mereka mengetahui kalau kitab tersebut berisi notasi musik sehingga sudi meminta maaf atas kekeliruan ini. Namun yang sangat disesali Linghu Chong adalah bahu dan lengannya yang terkilir dan lepas dari sendi, terasa sakit bukan kepalang. Ia hanya bisa mengeluh, “Tenaga dalamku sudah punah. Melawan beberapa gelandangan saja aku tidak sanggup. Keadaanku sudah mirip orang cacad. Huh, apa artinya hidup seperti ini?”

Ia berbaring di tempat tidurnya sambil menahan sakit. Air matanya meleleh namun segera diusap setelah membayangkan kedua bersaudara itu akan datang kembali untuk minta maaf. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka.

Selang agak lama, terdengar suara langkah kaki dua orang agak terburu-buru sedang menuju ke arah kamar. Jelas kedua bersaudara itu datang kembali. Begitu memasuki kamar, Wang Jiajun pun berkata, “Ayo pergi menemui kakekku!”

“Tidak sudi,” jawab Linghu Chong. “Kakekmu yang harusnya datang kemari meminta maaf padaku. Aku tidak sudi pergi menemuinya.”

Wang Jiajun dan Wang Jiaju tertawa bersamaan. “Hah? Kakek yang mohon maaf padamu? Jangan mimpi! Ayo lekas berangkat!” seru Wang Jiaju.

Kedua bersaudara itu pun menarik baju Linghu Chong, dan menyeretnya keluar dari kamar dengan paksa.

“Huh, Keluarga Golok Emas Wang mengaku sebagai kesatria pembela kebenaran, tapi perbuatan kalian sewenang-wenang seperti ini. Sungguh kotor dan tak tahu malu!” bentak Linghu Chong memaki-maki.

Wang Jiajun pun membalas dengan menampar wajah Linghu Chong sampai bibirnya mengeluarkan darah.

Namun Linghu Chong masih terus memaki. Kedua bersaudara itu tanpa ampun menyeretnya masuk ke dalam sebuah ruangan besar, di mana di dalamnya sudah duduk menunggu Wang Yuanba, Yue Buqun, Ning Zhongze, Wang Bofen, dan Wang Zhongqiang.

Linghu Chong tidak peduli dan masih terus memaki, “Keluarga Golok Emas Wang ternyata rendah dan kotor! Kalian adalah keluarga paling hina dalam dunia persilatan!”

“Tutup mulutmu, Chong’er!” bentak Yue Buqun dengan wajah bengis.

Linghu Chong langsung berhenti berbicara. Namun matanya tetap memandang tajam ke arah Wang Yuanba. Tampak orang tua itu memegang kitab musik Menertawakan Dunia Perilatan pemberian kedua cucunya tadi.

“Keponakan Linghu, dari mana kau peroleh kitab Pedang Penakluk Iblis ini?” tanya Wang Yuanba dengan suara berwibawa.

Linghu Chong terperanjat. Ia kemudian menengadah dan tertawa terbahak-bahak.

“Chong’er, kau bisa bersikap sopan atau tidak? Sesepuh bertanya kepadamu, jawab dengan baik! Di mana tata kramamu?” bantak Yue Buqun.

Linghu Chong menjawab, “Guru, saya sedang terluka parah dan tak bertenaga. Tapi kedua bocah ingusan itu memperlakukan saya dengan sangat kasar. Hehe, apa seperti ini cara Keluarga Wang menghormati tamu?”

“Terhadap tamu yang terhormat kami pasti berlaku sopan dan tak kurang adat,” ujar Wang Zhongqiang. “Tapi kau telah mengingkari wasiat orang dan menyimpan kitab Pedang Penakluk Iblis di balik bajumu sendiri. Perbuatanmu ini jelas-jelas mencuri. Keluarga Golok Emas Wang selalu mengutamakan kebenaran. Dengan kejadian ini, rasanya kami tak perlu menghormatimu lagi.”

Linghu Chong menjawab angkuh, “Kalian dari kakek sampai cucu bersikeras mengatakan kalau kitab itu adalah kitab Pedang Penakluk Iblis. Memangnya kalian pernah melihat secara langsung bagaimana wujud kitab Pedang Penakluk Iblis? Bagaimana kalian bisa yakin kalau kitab tersebut adalah kitab Pedang Penakluk Iblis?”

Wang Zhongqiang terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Kitab ini ditemukan pada dirimu. Saudara Yue telah melihatnya dan berkata bahwa kitab ini bukan milik Perguruan Huashan. Lantas, apa lagi kalau bukan kitab Pedang Penakluk Iblis?”

Karena semakin gusar Linghu Chong pun tertawa dan berkata, “Jika benar kitab tersebut berisi rahasia ilmu Pedang Penakluk Iblis, maka silakan saja kalian pelajari. Semoga kalian bisa mendapatkan banyak petunjuk dari kitab itu. Maka untuk selanjutnya, Keluarga Wang di Luoyang akan disegani di dunia persilatan karena bertambah gelar menjadi Keluarga Golok Emas dan Pedang Emas Wang. Hahahaha!”

“Keponakan Linghu,” sahut Wang Yuanba. “Jika ada kesalahan yang dilakukan kedua cucuku padamu, hendaknya kau jangan membenci mereka. Setiap manusia tentu pernah melakukan kesalahan. Yang baik adalah menyadari kesalahannya dan memperbaikinya. Kau telah menyerahkan kitab pedang ini kepada kami. Demi memandang pada gurumu, mana mungkin kami tega mengusutnya lebih jauh? Untuk selanjutnya, persoalan ini tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Sekarang biar kubetulkan lenganmu yang terkilir.” Usai berkata demikian orang tua itu melangkah maju mendekati Linghu Chong sambil menjulurkan tangannya.

“Tidak perlu! Linghu Chong tidak sudi menerima permainanmu!” jawab Linghu Chong sambil mundur dua langkah.

“Permainan apa?” tanya Wang Yuanba.

“Aku bukan boneka yang tidak punya perasaan,” bentak Linghu Chong. “Lenganku ini tidak dapat kalian perlakukan seenaknya. Ingin dipatahkan lantas dipatahkan, ingin disambung lantas disambung. Huh!” Ia kemudian melangkah ke hadapan Ning Zhongze dan berkata, “Ibu Guru, lenganku ini....”

Ning Zhongze paham maksud Linghu Chong. Dengan menghela nafas panjang ia pun membetulkan ruas lengan dan bahu murid pertama suaminya yang terkilir itu.

Linghu Chong kemudian berkata, “Ibu Guru, kitab tersebut berisi notasi musik kecapi dan seruling. Tapi ternyata Keluarga Wang sudah buta huruf semua dan bersikeras mengatakan kalau kitab tersebut berisi rahasia ilmu Pedang Penakluk Iblis. Sungguh lelucon mahabesar di dunia persilatan.”

“Tuan Wang,” kata Ning Zhongze kemudian. “Apakah kitab itu boleh kulihat?”

“Silakan kalau Nyonya Yue ingin melihatnya,” jawab Wang Yuanba sambil menyodorkan kitab tersebut.

Ning Zhongze menerima kitab itu dan membuka beberapa halaman. Ia kemudian berkata, “Aku sendiri kurang paham tentang musik. Tapi kalau kitab ilmu silat sudah sering kubaca. Kitab ini sama sekali tidak mirip kitab ilmu pedang. Tuan Wang, apakah di rumah ini ada orang yang mahir bermain musik? Jika ada kita bisa menanyakan pendapatnya.”

Wang Yuanba merasa sangsi. Ia khawatir jangan-jangan kitab tersebut memang benar-benar berisi notasi musik. Jika benar demikian, tentu ia akan menderita malu luar biasa. Maka itu, ia hanya termangu-mangu tidak segera menjawab.

Tanpa menghiraukan perasaan sang kakek, Wang Jiaju yang lugu langsung saja menyahut dengan suara lantang penuh rasa bangga, “Kakek, jurutulis kita yang bermarga Yi bukankah pandai meniup seruling? Apa perlu kita panggil dia untuk mencobanya? Sudah jelas kitab ini adalah kitab pedang, mengapa disebut kitab musik segala?”

Wang Yuanba menanggapi, “Ada bermacam-macam jenis kitab di dunia persilatan. Sering ada orang yang sengaja merahasiakan kepandaiannya dengan cara menyamarkan pelajaran ilmu silat dengan cara ditulis seperti notasi musik. Hal seperti ini sebenarnya tidak perlu diherankan.”

Ning Zhongze berkata, “Tapi kalau memang di sini ada Jurutulis Yi yang pandai meniup seruling, apa salahnya kalau kita panggil dia kemari? Tentu dia bisa membedakan antara kitab pedang dan kitab musik.”

Wang Yuanba terpaksa menuruti permintaan Ning Zhongze. Ia pun memerintahkan Wang Jiaju untuk memanggil Jurutulis Yi. Tidak lama kemudian, cucunya itu sudah kembali ditemani seorang laki-laki kurus berusia lima puluhan, berjanggut tipis dan berpenampilan rapih.

“Tuan Yi, coba kau periksa apakah kitab ini berisi notasi musik?” tanya Wang Yuanba memberi perintah.

Jurutulis Yi membolak-balik bagian depan kitab tersebut yang berisi notasi kecapi, kemudian berkata, “Yang ini saya kurang begitu paham.”

Namun begitu membaca bagian belakang yang berisi notasi seruling, wajahnya langsung berseri-seri. Mulutnya tampak bersenandung dan dua jarinya mengetuk-ngetuk di atas meja sesuai irama. Sejenak kemudian pria itu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Tidak mungkin! Sungguh tidak mungkin!”

Mulutnya kembali bersenandung. Nadanya meninggi, tiba-tiba menjadi rendah sekali, sampai-sampai suaranya serak tidak bisa diteruskan lagi. Ia mengerutkan kening dan berkata, “Tidak mungkin... Ini sungguh sukar dimengerti... sukar dimengerti....”

“Apa ada yang aneh dengan kitab ini? Apa ada perbedaan dengan kitab musik pada umumnya?” tanya Wang Yuanba dengan nada senang.

Jurutulis Yi kembali membalik-balik halaman yang berisi notasi seruling, kemudian menjawab, “Silakan Tuan melihat sendiri. Musik ini dimulai dengan nada Gong mayor, mendadak berubah menjadi nada Wei minor. Sungguh sangat bertentangan dengan teori umum seni musik. Notasi ini sangat mustahil untuk dimainkan. Kemudian nadanya berubah lagi menjadi Jiao mayor. Sungguh belum pernah saya melihat ada notasi seruling yang aneh seperti ini.”

Linghu Chong menanggapi sambil mencibir, “Huh, kau tidak becus memainkannya, bukan berarti orang lain juga tidak mampu memainkannya.”

“Benar juga ucapanmu,” sahut Jurutulis Yi sambil mengangguk. “Jika di dunia ini ada orang yang sanggup memainkan lagu ini, maka aku sungguh sangat kagum tak terlukiskan. Ya, kecuali... kecuali dia di timur kota....”

“Apa maksud perkataanmu?” sela Wang Yuanba. “Kau bilang notasi lagu seruling dalam kitab ini beda dengan yang biasanya? Kau bilang notasi dalam kitab ini mustahil dimainkan?”

“Ini memang lain dari yang lain! Lain dari yang lain!” jawab Jurutulis Yi. “Yang jelas saya tidak mampu memainkannya. Kecuali dia yang tinggal di timur kota....”

“Kecuali siapa? Seniman di timur kota siapa yang mampu memainkan lagu ini?” sahut Nyonya Yue menegas.

“Saya tidak berani menjamin,” ujar Jurutulis Yi. “Tapi… tapi dia yang bernama Lu Zhuweng, yang tinggal di timur kota pandai meniup seruling dan memetik kecapi. Kepandaiannya dalam meniup seruling sangat jauh di atas saya. Sungguh dia jauh lebih hebat daripada saya! Mungkin dia bisa memainkan lagu ini.”

“Kalau bukan notasi lagu biasa, di dalamnya tentu terdapat suatu rahasia,” kata Wang Yuanba.

Wang Bofen ikut bicara, “Ayah, bukankah ilmu Golok Empat Jalur Enam Laras dari Perguruan Golok Bagua di Zhengzhou juga ditulis di dalam kitab musik?”

Wang Yuanba sempat tertegun. Ia akhirnya paham kalau Wang Bofen sengaja berbohong. Ketua Perguruan Golok Bagua yang bernama Mo Xing masih ada hubungan keluarga dengan Keluarga Golok Emas Wang. Wang Yuanba mengetahui bahwa di dalam perguruan tersebut tidak terdapat ilmu Golok Empat Jalur Enam Laras sebagaimana yang diucapkan putranya tadi. Namun karena Perguruan Huashan tidak mempelajari ilmu golok, mungkin Yue Buqun tidak akan tahu ilmu itu ada atau tidak. Maka dengan licik Wang Yuanba pun membenarkan ucapan putranya, “Benar juga. Beberapa waktu yang lalu Saudara Mo sempat menyinggung hal ini. Menulis pelajaran silat dalam notasi musik adalah hal yang biasa dalam dunia persilatan.”

Linghu Chong pun menyahut, “Kalau benar itu merupakan hal yang biasa, lantas bagaimana wujudnya pelajaran ilmu pedang yang tertulis dalam notasi musik kitab ini? Seperti apa ilmu silat yang ada dalam notasi seruling dan kecapi ini? Mohon Tuan Wang sudi memberi keterangan kepadaku.”

“Mengenai hal ini... hal ini... aih, menantuku sudah meninggal dunia. Rahasia dalam kitab musik ini selain Adik Linghu sudah tidak ada lagi yang tahu,” ujar Wang Yuanba. Orang tua itu rupanya sangat pandai bersilat lidah. Ia bisa berkelit sekaligus memojokkan Linghu Chong.

Linghu Chong semakin gusar. Sebenarnya ia bisa saja membersihkan nama dengan cara berterus terang mengatakan kalau kitab tersebut berisi notasi lagu Menertawakan Dunia Persilatan, tulisan tangan Qu Yang dan Liu Zhengfeng. Namun jika ia sampai berterus terang maka akibatnya akan sangat berbahaya. Bisa jadi dunia persilatan akan mengetahui tentang kematian Fei Bin dari Perguruan Songshan di tangan Tuan Besar Mo ketua Perguruan Hengshan. Juga apabila Yue Buqun mengetahui kalau kitab tersebut adalah peninggalan Qu Yang dari Sekte Iblis, maka kitab tersebut pasti akan segera dihancurkannya. Jika itu terjadi berarti Linghu Chong tidak bisa menjaga wasiat orang dengan baik.

Setelah berpikir demikian, Linghu Chong pun berusaha menahan amarah. Ia hanya berkata, “Tadi Jurutulis Yi mengatakan bahwa di timur kota ada seorang bernama Lu Zhuweng yang pandai bermain musik. Kenapa kita tidak memperlihatkan kitab ini kepadanya dan minta pertimbangan?”

Wang Yuanba menggeleng dan berkata, “Lu Zhuweng bersifat sangat aneh. Tingkah lakunya angin-anginan seperti orang sinting. Terhadap orang lain ia acuh tak acuh. Orang seperti itu mana bisa dipercaya?”

Mendengar itu Nyonya Yue menukas, “Tapi bagaimanapun juga urusan ini harus jelas. Chong’er adalah murid kami, Pingzhi juga murid kami. Kami tidak boleh pilih kasih dan membela salah satu pihak. Untuk mengetahui siapa yang benar, siapa yang salah, maka tidak ada salahnya kalau kita mencoba meminta pertimbangan dari Lu Zhuweng itu.” Karena tidak ingin menyinggung Keluarga Golok Emas Wang, Ning Zhongze secara bijaksana berusaha mengalihkan dengan cara mengatakan kalau masalah ini adalah antara Linghu Chong dengan Lin Pingzhi.

Ning Zhongze kemudian berkata kepada Jurutulis Yi, “Tuan Yi, bagaimana kalau kita kirimkan orang membawa tandu untuk menjemput Lu Zhuweng kemari?”

“Orang tua bernama Lu Zhuweng itu memiliki sifat yang sangat aneh,” jawab Jurutulis Yi. “Jika orang lain minta pertolongannya, ia menolak. Sebaliknya jika ia sudah turut campur, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya.”

“Sifat demikian itu sama dengan sifat kita kaum pendekar,” sahut Ning Zhongze yang kemudian menoleh ke arah suaminya. “Kiranya Lu Zhuweng juga seorang tokoh sepuh dalam dunia persilatan. Kakak, sepertinya kita ini terlalu picik dan sempit wawasan.”

“Lu Zhuweng bukan orang dunia persilatan,” tukas Wang Yuanba sambil tertawa mencibir. “Dia hanya seorang tukang bambu yang kerjanya membuat keranjang dan tikar. Hanya saja karena ia pandai memainkan seruling dan kecapi, serta mahir melukis dan mengukir bambu, membuat para penduduk menaruh hormat kepadanya. Ia hanya pengrajin bambu tua yang cinta terhadap kesenian, namun enggan berbaur dengan masyarakat.”

“Sungguh sayang kalau kami harus melewatkan tokoh seperti dia begitu saja?” ujar Nyonya Yue semakin penasaran. “Tuan Wang, sudilah kiranya mengiringi kami pergi mengunjungi tukang bambu istimewa itu.”

Wang Yuanba tidak bisa menolak lagi. Bersama dengan anak dan cucunya, ia pun berangkat menemani Yue Buqun, Ning Zhongze, Linghu Chong, Lin Pingzhi, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan lainnya. Jurutulis Yi berjalan paling depan sebagai penunjuk arah.

Setelah melalui beberapa jalan lebar dan kecil, akhirnya rombongan tersebut sampai di suatu gang yang agak sempit. Ujung gang tersebut dipenuhi semak-semak bambu yang rimbun dan luas. Pemandangan di sana cukup indah. Terdengar pula alunan suara kecapi yang merdu. Rombongan pun merasa tenteram dan damai seolah berada di dunia lain yang bebas dari bisingnya kota.

“Orang tua bernama Lu Zhuweng itu benar-benar tahu caranya menikmati hidup,” bisik Ning Zhongze kepada sang suami.

Tiba-tiba alunan suara kecapi berhenti. Kemudian terdengar suara seorang tua berkata dari dalam semak bambu, “Gubukku yang kotor ini rupanya kedatangan para tamu terhormat. Apakah ada yang bisa kubantu?”

Jurutulis Yi yang berada paling depan berseru lantang, “Sesepuh Lu, kami datang membawa sebuah kitab berisi notasi musik kecapi dan seruling yang sangat aneh. Kami ingin meminta pendapat Sesepuh Lu.”

“Kau punya sebuah kitab notasi seruling dan kecapi? Wah, kalian terlalu menyanjung si tukang bambu tua,” sahut Lu Zhuweng sambil tertawa dari kejauhan.

Belum sempat Jurutulis Yi menjawab, Wang Jiaju lebih dulu menyahut, “Tuan Besar Wang dari keluarga Golok Emas yang datang berkunjung kemari.”

Mengingat sang kakek adalah tokoh yang sangat terhormat di kota Luoyang, maka ia pun sengaja memamerkan nama besar keluarganya agar Lu Zhuweng segan dan buru-buru keluar menyambut kedatangan mereka. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan.

“Hm, golok emas atau golok perak juga tidak ada artinya jika dibandingkan dengan golok besi tua yang kupakai untuk membelah bambu ini. Tukang bambu tua tidak perlu menemui Tuan Wang, maka Tuan Wang juga tidak perlu menemuiku,” jawab Lu Zhuweng dengan angkuh.

Wang Jiaju gusar mendengarnya. Ia pun berteriak, “Kakek, tukang bambu tua ini tidak tahu adat. Untuk apa bertemu dengannya? Lebih baik kita pulang saja.”

Ning Zhongze buru-buru menukas, “Kita sudah di sini. Tidak ada salahnya kita minta pendapat Sesepuh Lu tentang kitab notasi musik ini.”

Wang Yuanba hanya mendengus saat menyerahkan kitab tersebut kepada Jurutulis Yi. Segera Jurutulis Yi berjalan masuk ke dalam semak bambu yang rimbun itu. Tak lama kemudian terdengar suara Lu Zhuweng berkata, “Baiklah, kau boleh meletakkannya di situ.”

Terdengar Jurutulis Yi bertanya, “Menurut Sesepuh Lu, apakah kitab ini benar-benar berisi catatan notasi musik, atau rahasia ilmu silat yang sengaja disamarkan dalam bentuk notasi musik?”

“Rahasia ilmu silat apanya? Apa kau sudah gila?” sahut Lu Zhuweng. “Sudah jelas ini kitab notasi musik.” Sejenak kemudian terdengar suara petikan kecapi menggema, dan mengalun merdu. Mendengarkan itu, Linghu Chong segera terkenang pada lagu yang dimainkan oleh Qu Yang tempo hari. Lagu ciptaannya masih ada, namun orangnya sudah meninggal, membuat hati Linghu Chong terasa pilu.

Tidak lama kemudian suara kecapi terdengar meninggi, makin keras dan makin tinggi. Suaranya tajam dan melengking. Setelah mencapai nada yang lebih tinggi, terdengar suara seutas senar terputus. Tidak berhenti sampai di sini, suara kecapi terdengar semakin tinggi. Akhirnya kembali terdengar suara seutas senar yang terputus diikuti suara Lu Zhuweng berseru penuh rasa heran, “Aneh sekali! Not kecapi ini sungguh aneh dan sukar dimengerti.”

Mendengar itu Wang Yuanba saling pandang dengan anak dan cucunya. Diam-diam mereka merasa senang.

“Biar kucoba not seruling ini,” ujar Lu Zhuweng. Kemudian terdengar alunan suara seruling yang merdu menawan hati. Namun nadanya lantas menjadi rendah, dan semakin rendah, bahkan sampai-sampai tidak terdengar. Irama seruling tersebut menjadi parau dan tidak enak didengar lagi.

Lu Zhuweng menghela nafas dan berkata, “Adik Yi, kau sendiri pandai meniup seruling. Tentu kau paham kalau nada sedemikian rendah mana mungkin bisa ditiup keluar? Notasi kecapi dan seruling ini tidak palsu, tapi orang yang menggubah lagu ini sepertinya sengaja bermain-main dan bersenda gurau. Sebaiknya kau pulang dulu. Kitab ini akan kupinjam untuk kupelajari lebih mendalam.”

“Baik!” jawab Jurutulis Yi yang kemudian berjalan keluar meninggalkan semak bambu.

Sesampainya di luar, Wang Zhongqiang langsung menyambut, “Mana kitab pedangnya?”

“Kitab pedang?” tanya Jurutulis Yi bingung. “Oh, Lu Zhuweng bilang untuk sementara sebaiknya ditinggalkan di sana saja supaya ia bisa mempelajari lebih lanjut.”

“Hei, lekas kau ambil kembali!” perintah Wang Zhongqiang. “Itu adalah kitab ilmu pedang yang tidak ternilai harganya. Entah berapa orang persilatan yang mengincar untuk memilikinya? Kenapa kau tinggalkan kitab berharga itu pada orang yang tidak pantas?”

“Baik!” jawab Jurutulis Yi. Baru saja ia hendak melangkah kembali menuju semak bambu tersebut, tiba-tiba terdengar suara Lu Zhuweng berkata, “Eh, Bibi, mengapa kau keluar?”

Kontan saja semua merasa heran. Wang Yuanba pun berbisik, “Berapa kira-kira usia Lu Zhuweng itu?”

Jurutulis Yi menjawab, “Saya rasa sudah mendekati delapan puluh tahun.”

Diam-diam semua orang berpikir kalau bibi Lu Zhuweng pasti berusia sekitar seratus tahun.

“Bibi, silakan lihat ini. Kitab ini sungguh aneh,” ujar Lu Zhuweng.

Sang bibi hanya menjawab, “Hm.” Sejenak kemudian terdengar kecapi mulai berbunyi. Mula-mula permainannya sama dengan Lu Zhuweng tadi. Namun kemudian mulai berbeda. Nada kecapi makin lama makin tinggi, namun tidak terputus di tengah jalan. Nadanya berjalan begitu lancar dan mudah.

Linghu Chong merasa terkejut bercampur gembira tak terkatakan. Samar-samar ia teringat permainan Qu Yang pada malam di lereng Pegunungan Hengshan dulu. Suara alunan kecapi kadang terdengar lesu, kadang terdengar anggun dan lembut. Meskipun Linghu Chong tidak tahu menahu soal seni musik, namun ia bisa merasakan kalau lagu yang dibawakan nenek tersebut begitu segar dan menyenangkan. Rasanya begitu berbeda dengan irama yang dimainkan Qu Yang dulu, meskipun memainkan not yang sama. Permainan si nenek terdengar lembut dan tenang, membuat para pendengar dapat menikmati dan menghargai keindahan musik. Mereka merasa dibawa tenggelam ke dalam alunan suara kecapi tersebut, bagaikan berkelana ke tempat yang sangat jauh dalam khayalan.

Selang agak lama, suara kecapi terdengar berangsur-angsur merendah, seperti makin menjauh. Seolah-olah si pemetik kecapi berjalan pergi belasan meter jauhnya, bahkan terasa sudah pergi beberapa Li. Lagu tersebut terdengar makin lirih namun tidak sampai putus. Hanya saja suaranya terlalu rendah dan sukar didengar.

Ketika pada akhirnya suara kecapi telah pudar dan tidak terdengar lagi, langsung disambung dengan suara seruling yang begitu merdu pula. Suara seruling itu terdengar berputar-putar di udara, dan kemudian semakin keras bagaikan si peniup berjalan mendekat. Suaranya begitu bening dan mendayu-dayu, kadang melengking tinggi dan kadang merendah; kadang berbunyi keras dan kadang terdengar lembut. Saat para pendengar mengira suara seruling sudah mencapai nada terendah, ternyata si peniup bisa membuatnya lebih rendah lagi, tetapi tidak serak dan masih terdengar jelas dan merdu.

Berangsur-angsur, beberapa nada tinggi terdengar memecah nada rendah, bagaikan sejumlah mutiara yang jatuh di atas piring kumala dan saling berbenturan satu sama lain. Kemudian suara-suara itu saling bergabung dan bergema, bagaikan suara gemuruh air terjun di pegunungan, yang berkumandang saat membentur sungai kecil di bawahnya. Kemudian suara seruling tersebut terdengar bagaikan berubah menjadi taman indah yang penuh dengan bunga beraneka warna yang semerbak harum menggoda kawanan kupu-kupu yang terbang menari-nari. Selain itu terdengar pula alunan musik yang berkicauan bagaikan nyanyian burung yang memuji keindahan taman bunga tersebut dan menikmati kedamaian alam. Berangsur-angsur pula kawanan burung itu terbang kesana kemari bagaikan tarian sedih daun-daun kering yang berguguran ke tanah sewaktu musim gugur tiba. Hujan pun datang menyapu daun-daun yang berguguran tersebut hingga menimbulkan suara suram dan gemerisik. Demikianlah gambaran para hadirin saat mendegar irama seruling yang muncul untuk menggantikan irama yang lain. Lambat laun macam-macam suara itu berkurang satu per satu dan akhirnya lenyap semua. Suara seruling pun akhirnya berhenti.

Lama setelah suara seruling berhenti barulah semua orang tersadar, bagaikan bangun dari mimpi. Meskipun Wang Yuanba, Yue Buqun, dan yang lain tidak terlalu paham soal musik, namun secara ajaib mereka seperti terlena oleh alunan suara seruling dan kecapi tersebut. Sementara itu, Jurutulis Yi yang paham kesenian merasa jiwanya bagaikan telah bersatu dengan suara musik tadi dan melayang-layang di udara meninggalkan raga.

Ning Zhongze menghela nafas penuh kekaguman. Ia pun berkata, “Sungguh hebat! Sungguh hebat! Apa judul lagu itu tadi, Chong’er?”

Linghu Chong menjawab, “Lagu itu berjudul Menertawakan Dunia Persilatan. Kepandaian nenek itu sungguh luar biasa. Sepertinya di dunia ini sukar menemukan orang lain yang bisa memetik kecapi ataupun meniup seruling seperti dia.”

“Si penggubah lagu ini telah menghasilkan karya yang luar biasa, tetapi diperlukan seorang ahli musik yang luar biasa pula untuk memainkannya, seperti halnya nenek itu,” kata Ning Zhongze. “Aku yakin baru kali ini kau mendengar alunan musik sebagus ini.”

“Justru saya pernah mendengarkan lagu ini dimainkan secara lebih bagus daripada tadi,” kata Linghu Chong.

“Apa benar?” tanya Nyonya Yue tidak percaya. “Mana mungkin di dunia ini ada orang yang lebih pandai daripada nenek itu dalam memainkan kecapi dan seruling?”

Bukannya lebih pandai,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja yang pernah saya dengarkan dulu adalah paduan suara dari dua orang pemain sekaligus. Yang satu memetik kecapi, yang satunya meniup seruling. Keduanya memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan secara bersama-sama dan bersahut-sahutan....”

Belum selesai ia berkata mendadak terdengar suara si nenek berkata lirih dari balik semak-semak bambu sambil diiringi tiga petikan senar kecapi, “Seruling dan kecapi dimainkan bersama. Di dunia ini ke mana lagi mencari seseorang yang bisa seperti itu?”

Lalu terdengar suara Lu Zhuweng berseru, “Adik Yi, kitab ini benar-benar berisi notasi kecapi dan seruling. Semua baru saja dimainkan oleh bibiku. Sekarang kau boleh mengambilnya kembali.”

Jurutulis Yi mengiakan lalu masuk kembali ke dalam semak bambu. Begitu keluar ia sudah membawa kitab musik tersebut.

Lu Zhuweng kembali berkata, “Batapa bagusnya lagu ini tiada bandingannya di muka bumi. Kitab ini adalah benda pusaka, jangan sekali-kali jatuh ke tangan orang biasa. Kau sendiri tidak dapat memainkannya jadi jangan coba-coba untuk memaksakan diri. Kalau kau bersikeras tentu akan merugikan dirimu sendiri.”

“Baik! Baik! Aku sama sekali tidak berani,” jawab Jurutulis Yi. Ia kemudian menyerahkan kitab tersebut kepada Wang Yuanba.

Dengan telinga sendiri Wang Yuanba mendengar permainan kecapi dan seruling yang dibawakan oleh sang nenek tadi. Sekarang ia percaya kalau kitab tersebut memang benar-benar berisi notasi musik, bukan pelajaran ilmu silat. Maka, kitab itu pun diserahkannya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Keponakan Linghu, kami benar-benar minta maaf.”

Linghu Chong menjawab dengan senyuman sinis. Sebenarnya ia sudah mempersiapkan kata-kata sindiran, namun dilihatnya sang ibu-guru mengedipkan mata tanda tidak setuju. Maka, ia pun mengurungkan niatnya tersebut.

Merasa sangat malu, Wang Yuanba beserta kedua anak dan kedua cucunya mendahului pergi meninggalkan tempat itu, disusul oleh Yue Buqun dan para murid Huashan, kecuali Linghu Chong yang berdiri termangu-mangu memandangi kitab musik yang ada di tangannya.

Ning Zhongze yang hendak menyusul pergi pun bertanya, “Chong’er, kau tidak pulang?”

“Nanti saya akan menyusul pulang. Saya ingin di sini sebentar,” jawab Linghu Chong.

“Jangan terlambat. Hendaknya kau lekas pulang untuk beristirahat,” pesan Nyonya Yue. “Oh ya, lenganmu baru saja terkilir. Kau jangan menggunakannya terlalu keras.”

“Baik!” jawab Linghu Chong singkat. Ibu-gurunya kemudian melangkah pergi menyusul rombongan. 

Linghu Chong dihadapkan kepada Wang Yuanba.
Jurutulis Yi meminta pendapat Lu Zhuweng.

Rombongan Wang Yuanba dan Yue Buqun tenggelam dalam alunan lagu.

(Bersambung)