Bagian 123 - Malapetaka di Gua Maut

Zuo Lengchan memimpin kawanan orang buta menyerbu gua.

Jarak antara tempat Linghu Chong berdiri dengan dinding gua sebenarnya hanya belasan meter saja. Akan tetapi, karena terhalang oleh hujan sambaran senjata yang bertubi-tubi, terpaksa ia harus berhati-hati kalau tidak mau lekas-lekas kehilangan nyawa. “Jika aku mati terkena pedang seorang tokoh persilatan papan atas rasanya masih berharga,” pikirnya kemudian. “Tapi keadaan seperti sekarang ini sungguh gawat. Bisa jadi aku mati secara mendadak tanpa mengetahui siapa dan bagaimana musuh menyerang. Bisa jadi yang membunuhku hanyalah seorang jago kelas kambing. Menghadapi keadaan seperti ini, sekalipun Pendekar Dugu hidup kembali juga akan mati akal dan tidak berdaya.”

Teringat kepada Dugu Qiubai, sang pencipta ilmu sakti Sembilan Pedang Dugu, seketika pikiran Linghu Chong menjadi terang. “Benar sekali. Keadaan saat ini sangat genting, dan hanya tersisa dua pilihan saja, aku terbunuh secara tidak jelas atau aku yang membunuh orang lain secara membabi buta. Semakin banyak orang yang kubunuh, akan semakin berkurang pula bahaya yang mengancam.”

Segera ia pun memutar pedangnya dengan cepat. Yang ia mainkan adalah Jurus Mematahkan Senjata Rahasia, bagian dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Berturut-turut ia menebas ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Gerakan Jurus Mematahkan Senjata Rahasia ini sedemikian cepat dan rapat. Sekalipun terjadi hujan panah menerjang juga sulit untuk mengenai tubuhnya.

Begitulah, sekali pedangnya bergerak, segera diikuti suara jeritan beberapa orang di dekatnya. Sampai pada akhirnya pedangnya kembali menusuk tubuh seseorang. Namun, dari suara jeritannya yang tertahan, sepertinya yang tertusuk kali ini seorang perempuan.

Seketika Linghu Chong pun terkejut. Tangannya menjadi lemas dan pedang hampir-hampir terlepas dari genggaman. “Jangan-jangan dia Yingying! Apakah aku telah membunuh Yingying?” demikian hatinya bertanya-tanya. Perasaannya kembali gelisah, dan ia pun berteriak, “Yingying! Yingying! Apakah kau Yingying?” Akan tetapi, perempuan itu sudah tidak bersuara lagi.

Sebenarnya Linghu Chong sangat hafal suara Ren Yingying. Namun, karena suasana di dalam gua sedemikian kacaunya, hiruk-pikuk, serta riuh bergemuruh, sementara jeritan perempuan tadi juga sangat pelan, membuat Linghu Chong sulit untuk membedakannya. Karena perasaannya juga sangat cemas ia menjadi agak linglung dan merasa suara itu seperti suara kekasihnya.

Kembali ia memanggil beberapa kali dan tetap tidak mendapatkan jawaban. Ia lantas berjongkok untuk meraba tanah. Tak disangka, entah dari mana datangnya, tiba-tiba pantatnya ditendang orang. Seketika tubuhnya pun terpental ke depan. Selagi ia melayang di udara, tahu-tahu paha kirinya terasa sakit pula. Rupanya ia baru saja terkena sabetan cambuk seseorang.

Sesaat kemudian kepala Linghu Chong pun membentur dinding batu. Untung sebelumnya ia sempat melindungi dengan tangan kiri. Jika tidak, mungkin kepalanya itu sudah pecah. Meskipun demikian, baik kepala maupun tangan, paha serta pantat, semua terasa sakit dan nyeri, serta tulang-tulangnya terasa remuk redam pula.

Setelah menenangkan diri, kembali ia berseru memanggil, “Yingying! Yingying!”

Namun, tetap tak terdengar suatu jawaban. Sebaliknya, ia mendengar suaranya sendiri terasa serak seperti suara orang merintih dan menangis tanpa air mata. Tak terlukiskan betapa cemas dan sedih rasa hatinya. Dalam keadaan bingung tiba-tiba ia berteriak, “Aku telah membunuh Yingying! Aku telah membunuh Yingying!” Dengan kalap ia memutar pedang dan menerjang maju. Kontan beberapa orang jatuh terguling menjadi korban.

Di tengah suara yang ribut itu, tiba-tiba terdengar suara petikan kecapi sebanyak dua kali. Meskipun suara kecapi ini sangat lirih dan tenggelam dalam riuh gemuruhnya teriakan banyak orang, namun dalam pendengaran Linghu Chong benar-benar bagaikan halilintar menggelegar yang menggetarkan perasaannya.

“Yingying! Yingying!” ia berteriak dengan sangat gembira. Karena terdorong perasaan, ia pun bermaksud menerjang ke arah suara kecapi tersebut. Namun, segera ia sadar bahwa tempat suara kecapi itu jaraknya tidak dekat. Untuk mendekati tempat yang berjarak hanya belasan meter itu rasanya jauh lebih berbahaya daripada berkelana ribuan kilo di dunia persilatan.

Suara kecapi itu jelas dipetik oleh Ren Yingying. Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Yingying masih selamat. Aku tidak boleh menempuh bahaya dan mati konyol begitu saja. Bila harus mati biarlah kami berdua mati bersama bergandeng tangan. Dengan demikian tentu tidak akan menyesal sampai di alam sana.”

Segera Linghu Chong mundur dua langkah sehingga punggungnya merapat pada dinding gua. “Begini lebih aman,” pikirnya. Tiba-tiba terasa ada angin tajam menyambar. Rupanya seseorang sedang memutar senjata menerjang di depannya. Tanpa pikir Linghu Chong langsung menusuk ke depan. Namun, baru saja pedangnya bergerak, ia merasa tindakannya ini tidak benar.

Intisari Ilmu Sembilan Pedang Dugu adalah bagaimana mengincar titik kelemahan ilmu silat lawan. Namun, dalam keadaan gelap gulita seperti ini, jangankan gerak serangannya, wajah musuh saja tidak dapat ia lihat. Karena sulit melihat gerakan lawan maka titik kelemahannya pun sulit pula untuk diketahui. Dengan demikian, dalam keadaan seperti ini Ilmu Sembilan Pedang Dugu menjadi tidak berguna sama sekali.

Untungnya, Linghu Chong dengan cepat dapat menguasai keadaan. Begitu pedangnya bergerak segera ia mengelak pula ke samping. Benar juga, segera ia mendengar suara tusukan yang keras, disusul suara benturan dan jeritan ngeri. Dapat diduga senjata si penyerang itu lebih dulu menusuk dinding, kemudian patah dan menancap pada tubuhnya sendiri.

Sejenak Linghu Chong tertegun. Ia menduga orang itu tentu sudah mati karena tidak mengeluarkan suara lagi. Ia berpikir, “Dalam keadaan gelap gulita seperti ini, setinggi apa pun ilmu silatku juga tidak berbeda dengan para jago silat kelas kambing. Terpaksa aku harus bersabar menunggu kesempatan untuk bergabung dengan Yingying.”

Sementara itu, suara sambaran senjata dan teriakan-teriakan sudah mulai banyak berkurang. Tentunya dalam waktu singkat ini telah jatuh sejumlah korban yang tidak sedikit. Ia kembali memutar pedang di depan untuk menjaga diri kalau-kalau mendadak diserang orang secara serabutan. Suara kecapi kembali terdengar kemudian lenyap pula tanpa irama. Kembali Linghu Chong merasa khawatir. “Jangan-jangan Yingying terluka atau mungkin pemetik kecapi itu bukan dia? Tapi kalau bukan dia, memangnya siapa lagi yang datang ke tempat ini dengan membawa kecapi?”

Selang agak lama kemudian suara teriakan dan bentakan mulai mereda. Namun, di atas tanah tidak sedikit orang yang merintih-rintih dan mencaci maki. Terkadang masih juga ada suara benturan senjata dan suara bentakan yang timbul dari tempat dekat dinding. Sepertinya banyak pula yang berdiri merapat dinding sehingga dapat menyelamatkan diri. Tentu orang-orang ini termasuk tokoh terkemuka yang cerdas dan berpikiran panjang.

“Yingying, di mana kau?” seru Linghu Chong.

Kembali terdengar suara kecapi berbunyi dari arah depan seolah memberi jawaban. Tanpa pikir lagi Linghu Chong lantas melompat ke arah itu. Ketika kaki kirinya menyentuh tanah terasa menginjak sesuatu yang lunak. Ternyata tubuh seseorang telah diinjaknya. Seketika angin tajam pun menyambar. Rupanya senjata seseorang telah menyerang ke arahnya.

Untungnya, tenaga dalam Linghu Chong sangat tinggi sehingga menambah kepekaannya. Meski serangan lawan tidak dapat dilihat, namun ia dapat merasakan tepat pada waktunya sehingga sempat melompat kembali ke tempat semula. Ia berpikir, “Di atas tanah penuh bergeletakan banyak orang. Ada yang sudah mati, ada yang hanya terluka. Sungguh sukar untuk dilewati begitu saja.”

Terdengar pula suara angin menyambar kian-kemari. Rupanya orang-orang yang berdiri merapat dinding sedang memutar senjata masing-masing untuk menjaga diri. Dalam sekejap kembali beberapa orang roboh di tanah, entah tewas atau hanya terluka.

Tiba-tiba terdengar suara seorang tua berseru, “Wahai kawan-kawan, dengarkan dulu kata-kataku! Kita sama-sama terjebak oleh tipu muslihat Yue Buqun. Menghadapi bahaya seperti ini kita harus bersatu padu untuk mencari selamat. Tidak boleh memutar senjata dan saling bunuh kawan sendiri!”

Serentak beberapa orang menanggapi, “Benar! Benar!”

Dari suara-suara itu Linghu Chong dapat memperikirakan ada enam sampai tujuh puluh orang yang berdiri merapat di dinding gua. Rupanya mereka sudah bisa berpikir dengan tenang sehingga tidak menyerang lagi secara serabutan.

Orang tua tadi lantas berkata, “Aku adalah Yuzhongzi dari Perguruan Taishan. Nah, sekarang tolong kawan-kawan sekalian kembali menyimpan senjata masing-masing. Kita sama-sama berada dalam kegelapan. Apabila di antara kita bertabrakan, tolong jangan sampai saling menyerang. Apakah kawan-kawan dapat mengabulkan permintaanku ini?”

Serentak banyak orang menjawab, “Tentu saja bisa! Memang demikian seharusnya!”

Setelah itu tak terdengar lagi suara bergeraknya senjata. Menyusul kemudian terdengar suara puluhan senjata kembali disarungkan. Kini keadaan menjadi sunyi senyap.

“Sekarang hendaknya kawan-kawan bersumpah bahwa kita tidak akan saling mencelakai di dalam gua ini. Barangsiapa yang melanggar sumpah tentu akan mati tak terkubur di sini,” seru Yuzhongzi memecah keheningan. “Sebagai pelopor, maka aku, Yuzhongzi dari Perguruan Taishan mendahului bersumpah demikian.”

Segera orang-orang yang lain pun ikut bersumpah pula. Mereka berpikir, “Pendeta Yuzhongzi ini termasuk angkatan tua yang berpengalaman. Tindakannya sungguh tepat. Kalau kita bersatu padu mungkin masih ada harapan untuk keluar dengan selamat. Kalau tidak, tentu semuanya akan mati konyol di sini.”

“Bagus sekali. Terima kasih, kawan-kawan semua. Sekarang silakan memberitahukan nama kalian masing-masing,” kata Yuzhongzi kemudian.

Seketika terdengar suara teriakan menanggapi, “Aku dari Perguruan Hengshan, namaku ....”

“Aku dari Perguruan Songshan, namaku ....”

“Aku dari Perguruan Taishan, namaku ....”

Begitulah, masing-masing lantas saling menyebut asal perguruan dan nama masing-masing. Ternyata orang-orang yang tersisa ini memang benar-benar para tokoh terkemuka dari ketiga perguruan besar tersebut. Namun demikian, Linghu Chong tidak mendengar suara Tuan Besar Mo sama sekali.

Setelah semua orang memperkenalkan diri, akhirnya tiba giliran Linghu Chong untuk berseru pula, “Aku dari Perguruan Henshan, namaku Linghu Chong.”

“Hah, ternyata ketua Perguruan Henshan ada di sini! Pendekar Linghu ada di sini! Bagus sekali, bagus sekali!” seru para pendekar itu dengan nada gembira.

Dalam kegelapan Linghu Chong hanya menyeringai. Ia berpikir, “Apanya yang bagus? Aku sendiri juga tidak becus dan ikut konyol di sini.” Namun, ia segera paham bahwa para kesatria itu sangat kagum terhadap ilmu pedangnya yang teramat tinggi. Dengan keberadaannya di dalam gua seolah menambah harapan bagi mereka untuk bisa lolos dengan selamat.

Tiba-tiba Yuzhongzi bertanya, “Izinkan aku bertanya kepada Ketua Linghu, mengapa dari Perguruan Henshan hanya kau seorang yang datang kemari?” Pendeta tua ini memang sangat berpengalaman. Ia merasa sangsi jangan-jangan Linghu Chong menyembunyikan sesuatu dan bermaksud merugikan mereka semua, mengingat dirinya adalah murid pertama Yue Buqun. Mau tidak mau hal ini memang menimbulkan kecurigaan karena dari dua ratus orang yang terkurung di dalam gua tersebut tidak seorang pun yang berasal dari Perguruan Huashan ataupun Henshan. Sementara itu, Linghu Chong jelas memiliki hubungan dengan kedua perguruan tersebut.

Maka, Linghu Chong pun menjawab, “Aku sedang mencari seorang teman, dia adalah Ying…” sampai di sini ia segera teringat bahwa Ren Yingying adalah putri tunggal Ren Woxing, ketua Sekte Iblis yang selama ini dimusuhi oleh golongan yang menamakan dirinya aliran lurus, terutama Serikat Pedang Lima Gunung. Maka, ia merasa lebih baik menghentikan pembicaraan supaya tidak menimbulkan masalah yang lebih rumit lagi.

Sementara itu, Yuzhongzi terdengar membicarakan hal lain, “Apakah kawan-kawan ada yang masih memegang obor dan pemantik api? Tolong segera dinyalakan!”

“Betul juga, betul juga!” sorak banyak orang dengan gembira.

“Hei, mengapa kita menjadi pikun dan tidak memikirkan hal ini sejak tadi?”

“Ayo, lekas kita nyalakan obor!”

Dalam keadaan kacau seperti tadi yang terpikir oleh mereka hanyalah bagaimana bisa segera menyelamatkan diri. Tidak seorang pun yang berkesempatan menyalakan obor, karena begitu lengah sedikit saja tentu akan segera terbunuh oleh orang di dekatnya.

Sejenak kemudian terdengar suara pemantik api beberapa kali, dan setelah itu beberapa titik cahaya kembali bermunculan. Rupanya orang-orang itu telah menyalakan beberapa obor. Sorak gembira pun terdengar seketika.

Sekilas pandang Linghu Chong melihat pada dinding gua itu penuh berdiri banyak orang. Semuanya dalam keadaan berlumur darah. Sebagian tampak masih menghunus senjata. Rupanya orang-orang ini lebih suka berhati-hati daripada mengambil risiko dibunuh orang. Meskipun mereka semua telah bersumpah, tapi tiada salahnya menjaga diri terhadap segala kemungkinan.

Linghu Chong kemudian melangkah ke dinding di depannya dengan maksud untuk mencari Ren Yingying.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak, “Sekarang saatnya!”

Sekejap kemudian dari dalam terowongan sempit muncul beberapa orang bersenjata dan langsung membunuh beberapa orang di depan mereka. Rupanya orang-orang inilah yang tadi telah memenggal kepala laki-laki bertubuh kekar yang berusaha menerobos ke dalam terowongan sempit tersebut.

“Hei, siapa kalian?” teriak para pendekar sambil melolos senjata untuk melawan. Hanya beberapa jurus saja keadaan kembali gelap gulita. Obor yang menyala tadi telah padam satu persatu. Entah disebabkan oleh sambaran angin para penyerang itu atau terkena debu yang berhamburan.

Secepat kilat Linghu Chong melompat dan melayang ke dinding di depannya. Terasa dari sebelah kanan ada senjata yang menyerang tiba. Dalam kegelapan itu ia sukar untuk menangkis, sehingga terpaksa harus mendekam ke bawah. Sesaat kemudian terdengar suara pedang membentur dinding.

Linghu Chong berpikir orang itu belum tentu hendak menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Mungkin karena dirinya tiba-tiba melompat maka orang itu pun mengayunkan senjata untuk berjaga-jaga. Maka, untuk beberapa saat ia pun mendekam ke bawah tanpa bergerak. Setelah mengayunkan senjata beberapa kali dan tidak mengenai sasaran, orang itu akhirnya berhenti.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak memberi aba-aba, “Bunuh semua kawanan anjing ini! Jangan ada yang dibiarkan hidup seorang pun!”

“Baik!” jawab belasan lainnya menanggapi.

Menyusul kemudian terdengar beberapa orang berteriak, “Hei, itu suara Zuo Lengchan! Benar, itu suara Zuo Lengchan!”

Lalu beberapa orang lainnya berteriak pula, “Guru! Guru! Muridmu ada di sini!”

Linghu Chong sendiri juga mengenali suara orang yang baru saja memerintahkan pembantaian tadi memang suara Zuo Lengchan, ketua Perguruan Songshan yang sudah buta kedua matanya. Ia pun berpikir, “Mengapa Zuo Lengchan ada disini? Apakah perangkap ini sengaja dipersiapkan olehnya? Ah, ternyata ini semua bukan perbuatan Guru!”

Meskipun beberapa kali Yue Buqun bermaksud jahat, namun kedudukannya sebagai guru sekaligus orang tua angkat begitu mendalam di hati Linghu Chong. Sedikit pun pemuda itu tidak pernah melupakan hubungan baik ini. Maka, begitu terpikir olehnya bahwa tipu muslihat ini bukan diatur oleh Yue Buqun, tanpa terasa Linghu Chong pun merasa senang dan terhibur. Ia merasa ratusan kali lebih menyenangkan jika mati di tangan Zuo Lengchan daripada di tangan guru sendiri.

Terdengar Zuo Lengchan menjawab dengan suara dingin, “Hm, kalian masih punya muka untuk memanggil ‘guru’ kepadaku? Tanpa meminta izin lebih dulu, kalian berani datang ke Puncak Huashan ini. Perbuatan kalian yang durhaka dan lancang ini mana mungkin dapat kuampuni? Dalam Perguruan Songshan mana boleh ada murid murtad macam kalian?”

Salah seorang menjawab dengan suara lantang, “Guru, di tengah jalan kami mendengar kabar bahwa di gua Puncak Huashan ini terdapat ukiran jurus-jurus ilmu silat peninggalan leluhur kita. Kami khawatir apabila pulang dulu ke Songshan untuk melapor kepada Guru tentu memakan waktu terlalu lama, dan mungkin ukiran di dinding telanjur sudah dihapus orang. Karena itulah kami cepat-cepat memburu kemari. Kami bermaksud bila sudah melihat semua ilmu pedang Perguruan Songshan yang terukir di sini, maka kami akan segera pulang untuk melapor kepada Guru.”

“Hm, kalian tahu aku sudah buta, dan kalian mengambil keuntungan dari cacatku ini, hah?” sahut Zuo Lengchan bengis. “Aku tahu kalian mengira diriku ini sudah tidak berguna lagi. Nanti apabila sudah berhasil mempelajari ilmu pedang bagus tersebut, memangnya kalian masih mau menganggapku sebagai guru? Aku juga tahu kalian telah bersumpah setia lebih dulu kepada Yue Buqun, karena hanya dengan begitu barulah dia mengizinkan kalian melihat ukiran ilmu silat di sini. Bukan begitu?”

“Be… benar. Kami memang pantas mati,” sahut si murid Songshan. “Namun, kami terpaksa melakukannya. Bagaimanapun juga kelima perguruan telah dilebur, dan Yue Buqun telah dilantik sebagai ketua. Mau tidak mau kami harus tunduk kepada perintahnya. Tapi itu hanyalah siasat belaka. Kami berniat akan membangkitkan kembali kejayaan Perguruan Songshan di bawah bimibingan Guru.”

“Guru, sungguh tidak disangka bangsat itu telah menjebak kami di sini,” sambung seorang lainnya. “Mohon bebaskanlah kami dari sini. Pimpinlah kami untuk mencari keparat Yue Buqun dan membalas sakit hati ini kepadanya.”

“Hm, enak sekali cara berpikirmu itu,” sahut Zuo Lengchan mencibir. Setelah diam sejenak, tiba-tiba ia berkata, “Linghu Chong, ternyata kau juga datang. Memangnya apa yang kau kerjakan di sini?”

Linghu Chong menjawab, “Aku pernah tinggal di sini. Mau datang ke sini atau tidak adalah urusanku, peduli apa denganmu? Kau sendiri sedang apa di sini?”

“Huh, kematian sudah di depan mata, tapi kau masih berlagak di depan angkatan tua,” ujar Zuo Lengchan sambil tertawa dingin.

“Kau memakai tipu muslihat keji dan mencelakai para kesatria di dunia persilatan,” balas Linghu Chong. “Dosamu terlalu banyak. Setiap orang berhak membinasakanmu. Tapi kau masih berani mengaku angkatan tua segala, hah?”

“Pingzhi,” kata Zuo Lengchan tiba-tiba. “Cepat bunuh dia!”

“Baik!” jawab seseorang dalam kegelapan. Suara ini jelas suara Lin Pingzhi.

Linghu Chong terkejut dan berpikir, “Ternyata Lin Pingzhi juga berada di sini. Zuo Lengchan dan ia sudah sama-sama buta. Selama beberapa waktu ini tentu mereka sudah terbiasa berlatih memainkan pedang tanpa melihat, menggunakan telinga sebagai pengganti mata. Ketajaman telinga mereka pasti sudah sangat hebat. Dalam kegelapan seperti sekarang ini keadaan menjadi terbalik, aku bagaikan orang buta, sebaliknya mereka yang diuntungkan. Entah bagaimana caraku dapat menandingi mereka?” Seketika ia pun berkeringat dingin dan tidak berani bersuara lagi. Hatinya berharap semoga mereka tidak tahu di mana dirinya kini berdiri.

Terdengar Lin Pingzhi berseru, “Linghu Chong, selama ini kau merajalela di dunia persilatan. Nama besarmu terkenal di mana-mana. Tapi hari ini akhirnya kau akan mati di tanganku, haha, hahaha!”

Sungguh seram dan mengerikan suara gelak tawa pemuda itu. Selangkah demi selangkah ia semakin mendekati tempat Linghu Chong berada.

Rupanya ketika Linghu Chong bertanya jawab dengan Zuo Lengchan tadi, diam-diam Lin Pingzhi memperhatikan di mana letak keberadaan dirinya itu. Kini Lin Pingzhi tinggal berjalan ke arah sasarannya dengan pedang di tangan. Seketika suasana di dalam gua menjadi sunyi senyap. Yang terdengar hanya suara langkah kaki Lin Pingzhi yang mendirikan bulu roma. Setiap pemuda itu maju satu langkah, membuat Linghu Chong merasa jiwanya semakin dekat dengan pintu akhirat.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak. “Keparat Linghu Chong itu telah membutakan kedua mataku sehingga aku tidak bisa melihat dunia untuk selamanya. Biarlah aku … aku yang membunuh bangsat ini.”

“Benar! Benar!” sahut belasan orang lainnya beramai-ramai. Sejenak kemudian terdengar pula mereka melangkah maju ke arah Linghu Chong.

Seketika jantung Linghu Chong terasa berdebar kencang. Ia sadar dirinya pernah membutakan lima belas pasang mata saat bertempur di halaman kuil bobrok pada suatu malam beberapa bulan yang lalu. Pertempuran itu terjadi karena mereka mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis. Pertemuan kedua juga terjadi ketika Linghu Chong datang ke Gunung Songshan menghadiri peresmian Perguruan Lima Gunung tempo hari. Saat itu kelima belas orang tersebut bermaksud membalas dendam, namun mereka dapat diringkus oleh Biksu Bujie.

Dalam hal ini Linghu Chong berpikir, “Belasan orang ini sudah lama buta. Ketajaman telinga mereka tentu jauh lebih hebat lagi. Menghadapi seorang Lin Pingzhi saja sudah sukar, apalagi ditambah dengan belasan orang ini? Benar-benar sulit untuk dilawan.”

Terdengar suara langkah mereka semakin detik semakin dekat. Dengan menahan napas diam-diam Linghu Chong menggeser tubuhnya beberapa langkah ke samping. Seketika terdengar suara benturan senjata beberapa kali. Rupanya pedang orang-orang itu telah menusuk dinding tempat Linghu Chong berdiri tadi. Untungnya belasan orang itu menyerang bersama, sehingga suara mereka bercampur aduk dan menyebabkan suara langkah Linghu Chong menggeser diri luput dari perhatian mereka. Kini tidak seorang pun yang tahu ke mana pemuda itu berpindah tempat.

Perlahan-lahan Linghu Chong berjongkok dan meraba tanah. Begitu tangannya menemukan sebilah pedang, segera ia melemparkannya ke depan. Terdengar pedang itu membentur dinding gua. Serentak belasan orang buta pun menerjang maju ke arah suara. Sesaat kemudian terdengar suara benturan senjata yang ramai. Rupanya mereka langsung terlibat pertempuran melawan para kesatria tiga perguruan yang masih hidup. Berkali-kali terdengar bentakan dan jeritan ngeri. Dalam sekejap saja sudah ada beberapa orang yang roboh binasa.

Sebenarnya kepandaian para kesatria ini tidaklah lemah. Namun, di dalam kegelapan jelas mereka bukan tandingan kawanan orang buta itu.

Di tengah suasana ribut tersebut Linghu Chong lantas bergeser lagi beberapa langkah ke kiri dan meraba-raba dinding gua di sekitar situ. Setelah yakin tiada orang lain maka ia lantas berjongkok dan merenung, “Zuo Lengchan membawa Lin Pingzhi dan kawanan orang buta itu kemari. Jelas dia sengaja memasang perangkap untuk mengurung semua orang di dalam gua ini. Kemudian dalam keadaan gelap gulita, ia mengerahkan kawanan orang buta itu untuk membinasakan semuanya. Hanya saja, dari mana dia dapat mengetahui letak gua rahasia ini?”

Sejenak kemudian ia pun menemukan jawaban, “Ah, benar sekali. Tempo hari di Gunung Songshan Adik Kecil memainkan jurus-jurus yang terukir di dinding gua ini untuk mengalahkan para tokoh terkemuka dari Perguruan Taishan dan Hengshan. Kalau Adik Kecil pernah datang kemari, tentu Lin Pingzhi juga pernah kemari.”

Tiba-tiba terdengar suara Lin Pingzhi berteriak mengolok-olok,  “Linghu Chong, kenapa kau tidak berani memperlihatkan diri? Huh, dasar pengecut! Orang gagah macam apa kau ini?”

Seketika Linghu Chong merasa gusar. Segera ia bermaksud melabrak pemuda itu, namun dengan cepat dapat menahan diri. Ia berpikir, “Sebelum aku dapat menemukan Yingying, untuk apa aku harus mengadu nyawa dengannya? Apalagi aku sudah berjanji kepada Adik Kecil untuk menjaga baik-baik orang bermarga Lin ini. Bila aku bertempur dengannya dan mati terbunuh tentu rasanya konyol. Sebaliknya, kalau sampai dia yang mati juga aku akan merasa bersalah.”

“Semua orang di sini adalah bangsat pengecut. Bunuh semua pengkhianat di sini!” seru Zuo Lengchan memberi perintah. “Kalau semua sudah mati, si bocah Linghu Chong mau bersembunyi di mana lagi?”

Dalam sekejap suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini terdengar semakin ramai. Linghu Chong tetap bertiarap sehingga tidak seorang pun yang dapat menyerangnya. Ia memasang telinga dengan seksama kalau-kalau terdengar suara Ren Yingying. Ia berpikir gadis itu sangat cerdik. Dalam keadaan bahaya seperti ini tentu tidak akan membunyikan kecapi.

Linghu Chong semakin cermat dalam mendengarkan keadaan di dalam gua maut tersebut. Ternyata pertempuran antara para kesatria melawan kawanan orang buta ini terjadi sedemikian hebatnya. Sambil bertempur riuh ramai terdengar pula suara bentakan dan caci maki. Berkali-kali ia mendengar orang memaki dengan kata-kata: “Persetan nenekmu!”

Linghu Chong merasa heran. Kata-kata “persetan nenekmu” itu terdengar lain daripada yang lain. Pada umumnya kata-kata makian yang sering diucapkan orang adalah “persetan ibumu” atau cukup “nenekmu” saja. Namun, istilah “persetan nenekmu” benar-benar baru didengarnya kali ini. Ia berpikir apakah mungkin orang yang memaki itu berasal dari suatu daerah tertentu, yang biasa menggunakan istilah demikian?

Namun, setelah diperhatikan lagi, akhirnya Linghu Chong menemukan sesuatu yang aneh. Apabila ucapan “persetan nenekmu” itu dilontarkan oleh dua orang secara bersamaan, maka untuk selanjutnya senjata kedua orang itu lantas berhenti. Sebaliknya, kalau yang memaki “persetan nenekmu” hanya satu orang, maka pertarungan pun terus saja berlangsung. Setelah dipikir lagi, Linghu Chong akhirnya paham. “Rupanya makian ini adalah semacam kata sandi di antara orang-orang buta itu untuk membedakan mana kawan dan mana lawan,” demikian ia berpikir.

Dalam kegelapan tersebut semua orang bertempur secara serabutan. Tentu saja sangat sulit membedakan kawan atau lawan. Namun, orang-orang buta itu telah menggunakan kata sandi sebelum mereka menyerang. Apabila dua orang bertemu dan sama-sama mengucapkan “persetan nenekmu”, maka itu berarti mereka saling bertemu kawan sendiri. Namun, apabila ucapan “persetan nenekmu” tidak dibalas dengan istilah yang sama, maka tanpa ragu si orang buta pun melancarkan serangannya, dan tak lama setelah itu korban kembali berjatuhan.

Setelah mengetahui rahasia serangan kawanan orang buta itu, perlahan-lahan Linghu Chong berdiri sambil menyilangkan pedangnya di depan dada. Didengarnya suara makian “persetan nenekmu” itu semakin lama semakin ramai. Sebaliknya, suara benturan senjata dan suara bentakan dengan istilah lain semakin mereda. Jelas orang-orang Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan semakin banyak yang terbunuh. Namun, selama ini ia tetap tidak mendengar suara Ren Yingying sedikit pun. Ia menjadi khawatir jangan-jangan Ren Yingying benar-benar telah terbunuh olehnya dirinya sendiri. Namun, di sisi lain ia juga bersyukur gadis itu tidak menjadi korban keganasan kawanan orang buta tersebut.

Linghu Chong lantas merenung, “Murid-murid Songshan telah mendengar tentang gambar-gambar jurus pedang leluhur perguruan mereka terukir di dinding gua ini. Mereka pun berbondong-bondong datang kemari untuk melihat. Hanya karena tidak meminta izin terlebih dulu, mereka lantas dihukum mati tanpa ampun oleh Zuo Lengchan. Pasti ia juga bermaksud membunuhku, namun tidak tahu kalau aku berada di mana. Hm, sungguh kasihan murid-murid Songshan ini, juga yang lainnya. Mereka harus mati di tangan manusia gila semacam Zuo Lengchan.”

Tidak lama kemudian suara pertempuran akhirnya berhenti sudah. Terdengar Zuo Lengchan berseru, “Semuanya, sisir seluruh gua ini! Kalau ada yang masih hidup, segera dibunuh saja!”

“Baik,” sahut kawanan orang buta itu. Mereka lantas berpencar sambil menebas dan mengayunkan senjata ke segala arah. Suara sambaran angin tajam terdengar menderu-deru di sana-sini. Sebanyak dua kali pedang orang-orang buta itu hampir mengenai tubuh Linghu Chong, namun dapat ditangkisnya sambil ikut memaki, “Persetan nenekmu!”

Ternyata suaranya yang dibuat-buat agak serak dan kata-kata makiannya yang meniru itu telah membuat jiwa Linghu Chong lolos dari maut. Suara sambaran pedang dan caci maki kawanan orang buta itu terus saja berlangsung sampai sekian lamanya. Linghu Chong benar-benar sangat cemas dan hampir saja ia menangis memikirkan keselamatan Ren Yingying. Sungguh ingin sekali ia berteriak memanggil, “Yingying, Yingying, di mana kau?”

“Berhenti!” teriak Zuo Lengchan memberi aba-aba. Kawanan orang buta itu serentak berhenti di tempat masing-masing. Dengan terbahak-bahak Zuo Lengchan lantas berkata, “Para murid pengkhianat ini sudah mampus semua. Mereka sungguh tidak tahu malu. Hanya karena ingin belajar ilmu pedang, mereka rela bersumpah setia kepada si keparat Yue Buqun. Hahaha! Hahaha! Bangsat cilik Linghu Chong tentu sudah mampus pula di bawah pedang kalian. Hahahaha! Linghu Chong, di mana kau? Apa kau sudah mampus, hah?”

Linghu Chong terdiam tanpa menjawab sedikit pun sambil menahan napas.

Zuo Lengchan melanjutkan, “Pingzhi, hari ini orang yang paling kau benci sudah mampus. Tentu kau merasa puas, bukan?”

“Semua ini berkat rencana matang dari Saudara Zuo,” jawab Lin Pingzhi. “Benar-benar perangkap yang sempurna.”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Jadi Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi sudah mengangkat saudara. Huh, mereka memang pantas menjadi saudara. Rupanya demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, Zuo Lengchan bersikap sedemikian baik kepada bocah ini.”

Terdengar Zuo Lengchan berkata, “Tapi kalau terowongan rahasia menuju gua ini tidak kau ceritakan padaku, maka sulit bagiku untuk menyusun rencana dan membalas dendam.”

Lin Pingzhi menyahut, “Sayang sekali, dalam kekacauan tadi aku tidak dapat membunuh si bangsat Linghu Chong dengan tanganku sendiri.”

Linghu Chong merasa heran mengapa Lin Pingzhi begitu membencinya. Terdengar Zuo Lengchan menjawab dengan suara tertahan, “Tidak penting siapa yang telah membunuhnya, semua sama saja.” Sejenak kemudian ia kembali memberi aba-aba. “Sekarang marilah kita keluar dari sini. Mungkin si keparat Yue Buqun sedang berada di luar gua. Selagi matahari belum terbit marilah kita beramai-ramai mengeroyoknya. Dalam kegelapan malam tentu kita bisa menang.”

“Baik!” jawab Lin Pingzhi setuju. Sejenak kemudian terdengar kawanan orang buta itu melangkah pergi. Rupanya mereka kembali masuk ke dalam terowongan sempit di belakang gua. Semakin lama suara mereka terasa semakin menjauh, dan akhirnya tak terdengar apa-apa lagi.

“Yingying, di mana kau?” seru Linghu Chong dengan suara berbisik.

Tiba-tiba di atas kepalanya terdengar suara seseorang mendesis, “Sssst, jangan keras-keras! Aku ada di sini.”

Betapa bahagia perasaan Linghu Chong sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh terduduk di tanah.

Ketika kawanan orang buta tadi mengamuk secara ganas, maka yang paling aman adalah bersembunyi di tempat yang tinggi sehingga tidak terjangkau oleh pedang musuh. Hal ini sebenarnya sangat mudah diketahui. Namun, dalam keadaan sedemikian gawat semacam tadi, pikiran semua orang menjadi bingung sehingga sama sekali tidak memikirkan hal demikian.

Ren Yingying lantas melompat turun. Segera Linghu Chong membuang pedangnya dan langsung memeluk erat-erat tubuh kekasihnya itu. Keduanya sama-sama bahagia dan saling mencucurkan air mata. Perlahan-lahan Linghu Chong mencium pipi si nona dan berbisik, “Kau benar-benar membuatku khawatir setengah mati.”

Dalam kegelapan Ren Yingying tidak menghindari ciuman tersebut. Dengan perlahan ia menjawab, “Ketika kau memaki dengan kata-kata ‘persetan nenekmu’, seketika aku lantas mengenali suaramu.”

Linghu Chong tertawa geli dan kemudian bertanya, “Kau sendiri tidak terluka, bukan?”

“Tidak,” jawab Ren Yingying.

“Tadinya aku sangat khawatir karena menusuk seorang perempuan. Aku takut kalau-kalau telah menusukmu. Tapi setelah itu aku lega karena mendengar suara kecapi yang terputus-putus,” ujar Linghu Chong.

“Kau sama sekali tidak dapat membedakan suaraku dengan suara perempuan lain. Sudah seperti ini kau masih berani bilang senantiasa memikirkanku?” jawab Ren Yingying sambil tersenyum.

“Tapi setelah itu suara kecapi tidak terdengar lagi. Aku takut jangan-jangan kau memang terluka parah sehingga tidak mampu memetik kecapi lagi,” lanjut Linghu Chong.

Ren Yingying berkata, “Sebenarnya sejak tadi aku sudah melompat ke tempat tinggi itu. Khawatir diketahui orang, aku tidak berani bersuara memanggilmu. Maka, aku hanya bisa melemparkan uang logam ke arah kecapi yang tertinggal di tanah, dengan harapan kau akan mengetahui keberadaanku.”

“Oh, ternyata demikian. Aku tidak pernah menduganya. Aku sungguh bodoh, pantas dipukul, pantas dipukul,” ujar Linghu Chong sambil menampar pelan pipinya sendiri. “Aih, Nona Ren sungguh bernasib sial mendapatkan calon suami yang bodoh ini. Waktu itu aku hanya merasa heran, mengapa kecapi yang kau bunyikan itu tanpa irama? Kenapa pula tidak kau mainkan Lagu Kahyangan Biru, atau Menertawakan Dunia Persilatan?”

Ren Yingying masih membiarkan tubuhnya dipeluk Linghu Chong. Ia menjawab, “Memangnya aku seorang dewi kahyangan, bisa memainkan lagu hanya dengan melemparkan uang logam dalam kegelapan?’

“Kau memang seorang dewi kahyangan,” sahut Linghu Chong sambil tertawa.

Begitu mendengar pujian ini Ren Yingying berusaha meronta namun Linghu Chong memeluknya lebih erat. Pemuda itu lantas bertanya, “Mengapa lemparanmu tadi hanya terdengar beberapa kali saja? Mengapa kau tidak membunyikan kecapi lagi?”

“Aku terlalu miskin,” jawab Ren Yingying dengan tertawa. “Hanya itu saja uangku yang tersisa di saku. Setelah kulemparkan ke bawah, habis sudah.”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Sayang sekali di gua ini tidak ada pegadaian, juga tidak ada pasar uang. Andaikan ada, tentu Nona Ren bisa meminjam beberapa keping.”

Ren Yingying kembali tertawa dan berkata, “Setelah persediaan uangku habis, aku lantas melemparkan jepit rambut, tusuk konde emas, juga anting-anting mutiara pula. Namun, ketika orang-orang buta itu mulai mengganas, aku tidak berani melempar lagi. Pendengaran mereka sudah pasti jauh lebih tajam.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa sinis di mulut terowongan sempit. Seketika Linghu Chong dan Ren Yingying berteriak kaget. Dengan tangan kiri ia merangkul si nona sedangkan tangan kanannya memungut kembali pedangnya di tanah. Setelah itu Linghu Chong lantas membentak, “Siapa di situ?”

“Pendekar Linghu, ini aku!” sahut orang itu dengan nada dingin. Suara ini jelas suara Lin Pingzhi. Menyusul kemudian terdengar pula suara langkah kaki banyak orang muncul dari terowongan sempit tersebut. Rupanya kawanan orang buta tadi telah kembali lagi ke dalam gua utama.

Diam-diam Linghu Chong memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh. Seharusnya terpikir olehnya bahwa Zuo Lengchan adalah bajingan tua yang sangat licik. Setelah membantai para kesatria di dalam gua mana mungkin dia pergi begitu saja? Tentu tadi dia hanya pura-pura berlalu bersama para begundalnya, namun diam-diam bersembunyi di terowongan untuk mendengarkan gerak-gerik di dalam gua. Lantaran dapat berkumpul kembali dengan Ren Yingying setelah melewati saat-saat berbahaya tadi, Linghu Chong menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa musuh tangguh setiap saat mungkin akan muncul kembali.

Tiba-tiba Ren Yingying berbisik sambil menarik lengan pemuda itu, “Naik ke atas!” Bersama-sama mereka berdua pun meloncat ke atas.

Sejak tadi Ren Yingying bersembunyi di atas batu karang yang mencuat pada dinding gua. Maka, meski dalam kegelapan ia masih ingat di mana letak batu karang tersebut dan dapat hinggap lagi di atasnya dengan tepat. Sebaliknya, Linghu Chong yang tidak tahu menahu hanya meloncat mengikuti si nona. Tanpa sadar kakinya telah menginjak tempat kosong, dan tubuhnya pun jatuh kembali ke bawah. Untungnya, Ren Yingying sempat menarik sebelah tangannya dan membawanya naik ke atas.

Batu karang yang menonjol pada dinding gua itu luasnya kurang dari satu meter. Linghu Chong dan Ren Yingying berkumpul di situ bisa dikatakan kurang leluasa. Diam-diam Linghu Chong merasa bersyukur kekasihnya dapat bertindak dengan cepat. Dengan berdiri di atas karang tersebut tentu tidak mudah dikepung dan dikerubut oleh kawanan orang buta itu.

“Kedua setan cilik itu meloncat ke atas,” terdengar Zuo Lengchan berkata.

“Ya, di depan sana!” sahut Lin Pingzhi.

“Linghu Chong, apakah kau akan terus bersembunyi di sana seumur hidup?” seru Zuo Lengchan membentak.

Namun, Linghu Chong diam saja tanpa menjawab. Ia sadar sedikit saja bersuara tentu tempat persembunyiannya bersama Ren Yingying akan segera diketahui musuh. Tangan kanannya tetap menghunus pedang dan tangan kiri merangkul pinggang Ren Yingying yang ramping. Sebaliknya, Ren Yingying juga memegang pedang pendek di tangan kiri, dan merangkul pinggang Linghu Chong dengan tangan kanan. Kedua orang itu merasa sangat puas dan terhibur, karena mereka dapat berkumpul bersama. Sekalipun hari ini harus mati juga takkan menyesal.

Kawanan orang buta melakukan pembantaian.

Linghu Chong dan Ren Yingying bersembunyi di atas karang.

(Bersambung)