Bagian 126 - Mengajukan Lamaran

Telapak tangan raksasa.

Ren Woxing berkata kepada Linghu Chong, “Adik cilik, begitu mendengar panggilanku, kau langsung naik ke sini, sungguh bagus sekali! Bagus sekali!” Ia lalu berpaling kepada Xiang Wentian dan bertanya, “Mengapa orang-orang keempat perguruan yang lain hingga kini masih belum datang juga?”

“Hamba akan mendesaknya lagi!” jawab Xiang Wentian. Ia lantas mengangkat tangan kiri sebagai isyarat. Segera delapan orang tua berseragam kuning berbaris ke depan puncak tersebut dan berteriak bersama, “Ketua Ren, pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang perkasa dan bijaksana memberikan titah agar semua ketua dan murid Perguruan Taishan, Hengshan, Huashan, dan Songshan segera menghadap ke puncak ini. Para ketua balai diperintahkan untuk mendesak mereka secepatnya, jangan sampai lalai!”

Kedelapan orang tua itu masing-masing memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Suara mereka serentak berkumandang hingga jauh dan terdengar di setiap puncak gunung sekitarnya. Sesaat kemudian terdengarlah suara balasan dari berbagai penjuru, yaitu berpuluh-puluh orang menjawab bersamaan, “Kami menerima titah! Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan sepanjang masa!” Suara jawaban ini jelas berasal dari para ketua balai tersebut.

Ren Woxing lalu berkata dengan tersenyum, “Ketua Linghu, silakan duduk di sebelahku sini.”

Linghu Chong melihat di sebelah barat telapak tangan batu itu berbaris lima buah kursi, dan pada setiap kursi tampak dilapisi kain sutra dengan warna-warna yang berbeda, yaitu hitam, putih, hijau, merah, dan kuning. Masing-masing kain sutra tersebut bersulamkan gambar sebuah puncak gunung. Kursi yang disediakan untuk Linghu Chong dilapisi kain sutra berwarna hitam yang bersulamkan gambar Puncak Jianxing, yaitu puncak utama Gunung Henshan. Ini menunjukkan betapa rapi Sekte Matahari dan Bulan mempersiapkan segala sesuatunya.

Dalam urutan Serikat Pedang Lima Gunung, yang biasanya disebut pertama kali adalah Perguruan Songshan, sedangkan Perguruan Henshan selalu disebut paling akhir. Namun, kini tempat duduk ketua Perguruan Henshan justru diputar balik menjadi yang paling dekat dengan Ren Woxing, kemudian disusul Perguruan Huashan, Hengshan, Taishan, hingga akhirnya Perguruan Songshan diletakkan pada urutan paling belakang. Jelas Ren Woxing sengaja hendak merendahkan Zuo Lengchan.

Mengingat Zuo Lengchan, Yue Buqun, Tuan Besar Mo, dan Pendeta Tianmen sudah meninggal semua, maka Linghu Chong merasa tidak perlu segan-segan lagi. Ia pun membungkukkan badan dan menjawab, “Baik, aku akan duduk di sana.” Usai berkata demikian pemuda itu lantas duduk di kursi berlapis sutra hitam yang disediakan untuknya.

Suasana di Puncak Menyongsong Mentari sunyi senyap. Tidak seorang pun yang datang ke tempat itu. Selang agak lama Xiang Wentian kembali memberi perintah agar kedelapan orang tua tadi berteriak sekali lagi. Namun demikian, tetap saja tiada seorang pun yang datang.

Xiang Wentian berkata, “Orang-orang ini benar-benar tidak tahu diri. Sudah sekian lama mereka masih juga belum datang memberikan sembah pada Ketua. Lekas perintahkan orang-orang kita naik lebih dulu kemari!”

Kedelapan orang tua berseragam kuning tadi lantas berseru serentak, “Saudara-saudara dari pulau-pulau, gua-gua, gunung-gunung, dan berbagai perkumpulan sungai dan laut, dipersilakan naik ke atas Puncak Menyongsong Mentari untuk menghadap Ketua!”

Baru saja kata “Ketua” selesai diucapkan, serentak di sekitar puncak gunung itu bergema suara jawaban, “Kami menerima perintah!” Begitu dahsyat suara ini hingga bergemuruh dan menggetarkan lembah pegunungan tersebut.

Linghu Chong terperanjat mendengar suara yang riuh ramai itu. Dari suara gemuruh tersebut dapat diperkirakan paling tidak diteriakkan oleh dua-tiga puluh ribu orang. Padahal tadinya suasana begitu sunyi senyap, tahu-tahu bergema suara orang sebanyak ini. Jelas sebelumnya mereka sengaja disembunyikan oleh Ren Woxing dengan tujuan muncul secara tiba-tiba untuk membuat gentar pihak Serikat Pedang Lima Gunung supaya tidak berani melakukan perlawanan.

Dalam sekejap saja ribuan orang telah muncul dan membanjir menuju Puncak Menyongsong Mentari dari berbagai penjuru. Meski jumlah orang itu sangat banyak, namun sama sekali tidak mengeluarkan suara berisik. Setiap orang berdiri di tempat masing-masing secara rapi dan teratur. Sepertinya mereka sudah terlatih dengan baik sebelumnya. Yang naik ke atas puncak itu hanya dua-tiga ribu orang saja, dan masing-masing memiliki kedudukan semacam ketua perkumpulan, ketua pulau, ketua gunung, dan sebagainya. Sementara itu, anak buah mereka tetap menunggu di lereng gunung.

Sekilas pandang Linghu Chong melihat dalam barisan itu terdapat Lan Fenghuang, Zu Qianqiu, Lao Touzi, Ji Wushi, Sima Da, dan Huang Boliu. Meskipun tidak tinggal di Tebing Kayu Hitam, namun mereka berada di bawah pengaruh Sekte Matahari dan Bulan. Sewaktu Linghu Chong memimpin para jagoan silat golongan hitam menyerbu Biara Shaolin waktu itu, orang-orang ini ikut mengambil bagian, bahkan menjadi orang-orang penting yang ikut mengatur siasat. Begitu melihat Linghu Chong duduk di kursi kehormatan, orang-orang itu memandang sekilas dengan sedikit tersenyum. Sedikit pun mereka tidak berani bersuara, apalagi menyapa.

Xiang Wentian lantas mengangkat tangan kanan dan menggambar setengah lingkaran di udara. Serentak beribu-ribu orang itu pun berlutut dan berteriak, “Hamba sekalian menyampaikan sembah bakti kepada Ketua Ren, pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, sang juruselamat yang mahabijaksana. Semoga Ketua Suci panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya!”

Orang-orang ini masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga teriakan mereka pun disertai tenaga dalam pula. Teriakan satu orang saja bagaikan teriakan sepuluh manusia biasa. Begitu mereka mengucapkan “semoga Ketua panjang umur dan seterusnya” serentak anak buah masing-masing yang tersebar di segenap penjuru ikut berteriak. Akibatnya tentu luar biasa. Suasana di tempat itu pun bergemuruh seakan-akan menggetarkan langit dan mengguncangkan bumi.

Ren Woxing duduk diam dengan tenang di tempatnya. Setelah sanjung puji yang diteriakkan orang-orang itu benar-benar selesai, barulah ia mengangkat sebelah tangan dan berkata, “Saudara-saudaraku telah bekerja keras, sekarang silakan bangun!”

“Terima kasih, Ketua Suci!” seru beribu-ribu orang itu sambil bangkit bersama-sama.

Melihat ini Linghu Chong berpikir, “Sewaktu datang ke Tebing Kayu Hitam dulu aku benar-benar ingin muntah melihat sanjung puji anggota Sekte Matahari dan Bulan terhadap Dongfang Bubai. Tak kusangka, setelah Ren Woxing menjadi ketua, keadaan benar-benar semakin buruk. Mereka bahkan menambahkan sebutan “ketua suci” segala. Aku seperti melihat para sarjana dan perwira kerajaan datang menghadap dan merendahkan diri demi menyembah kaisar. Aku hanyalah seorang pendekar biasa. Kalau aku sampai melakukan perbuatan menjijikkan seperti ini, apakah aku masih pantas disebut laki-laki sejati?”

Saat berpikir demikian tiba-tiba perutnya merasa kesakitan, pandangan menjadi gelap, kepala terasa pusing pula, dan hampir saja ia jatuh pingsan. Lekas-lekas ia pun memegang tepi kursi dengan kencang sambil menggigit bibir hingga berdarah demi menahan rasa sakit yang luar biasa itu. Sejak mempelajari Jurus Penyedot Bintang, ia telah bersumpah tidak akan menggunakan ilmu kejam tersebut. Namun, ketika terperangkap di dalam jala yang dilemparkan Yue Buqun tadi, terpaksa ia menggunakan ilmu itu untuk menghisap tenaga dalam sang guru. Akibatnya justru menyiksa diri sendiri seperti ini.

Sekuat tenaga ia menahan rasa sakit agar mulut tidak sampai mengeluarkan suara rintihan. Tampak butir-butir keringat berjatuhan di keningnya, sekujur tubuh gemetar, otot wajahnya berkerut-kerut, pertanda betapa berat penderitaan yang ia rasakan. Setiap orang dapat melihat hal ini dengan jelas. Zu Qianqiu dan yang lain tampak memandangnya dengan penuh perhatian dan rasa khawatir.

Ren Yingying berjalan mendekati dan berkata lirih, “Kakak Chong, aku ada di sisimu!”

Andaikan mereka berada di tempat yang sepi tentu ia sudah memegang tangan sang kekasih untuk memberikan semangat. Namun, di bawah tatapan beribu-ribu pasang mata, terpaksa ia hanya dapat mengucapkan kata-kata tersebut, itu pun dengan wajah merah menahan malu.

Linghu Chong lantas menoleh dan memandang Ren Yingying sekejap. Ia merasa agak terhibur dan rasa sakitnya sedikit berkurang. Teringat olehnya apa yang pernah dikatakan Ren Woxing di Hangzhou dahulu, bahwa setelah mempelajari Jurus Penyedot Bintang dan menghisap bermacam-macam tenaga dalam milik orang lain ke dalam tubuh sendiri, maka pada suatu hari kelak himpunan hawa murni tersebut pasti akan bergolak hebat. Setiap kali penyakit ini kambuh tentu akan semakin hebat daripada sebelumnya, dan ini berarti tubuh pun akan semakin tersiksa.

Itulah sebabnya mengapa Ren Woxing menyerahkan urusan agama kepada Dongfang Bubai. Ia merasa penyakitnya itu sering kambuh dan sangat menyiksa. Dengan mengambil cuti dari jabatannya, ia berusaha mencari cara untuk bisa memusnahkan gangguan berbagai macam hawa murni liar tersebut. Akibatnya, kesempatan ini justru dimanfaatkan Dongfang Bubai untuk memberontak dan mengurungnya di bawah Danau Barat.

Selama terpenjara di dasar Danau Barat di daerah Hangzhou itulah, Ren Woxing akhirnya berhasil melatih cara memusnahkan gabungan hawa murni liar yang mengamuk di dalam tubuhnya. Ia lantas menawarkan diri kepada Linghu Chong untuk mengajarkan ilmu tersebut dengan syarat pemuda itu harus masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan. Namun, Linghu Chong dengan tegas menolak tawaran Ren Woxing tersebut, karena sejak kecil ia telah dididik untuk membenci Sekte Matahari dan Bulan sebagai aliran sesat dan tidak boleh bergaul dengan agama iblis tersebut.

Seiring berjalannya waktu, Linghu Chong menyaksikan sendiri bagaimana Zuo Lengchan dan Yue Buqun yang selama ini menamakan diri sebagai guru besar dari aliran lurus bersih, namun perbuatan mereka ternyata jauh lebih culas dan keji daripada orang-orang aliran sesat. Kini baginya, perbedaan antara golongan hitam dan golongan putih menjadi rancu dan tidak jelas lagi. Terkadang timbul pula pikiran dalam benaknya, andaikan Ren Woxing kembali mengharuskannya masuk agama sebagai syarat untuk menikahi Ren Yingying, tentu ajakan tersebut akan diterimanya tanpa membantah.

Dasar watak Linghu Chong memang suka apa adanya, segala macam persoalan tidak pernah dianggapnya sungguh-sungguh. Baginya apakah harus masuk agama atau tidak sama, sekali bukan persoalan penting. Namun, tempo hari sewaktu ia menyaksikan secara langsung bagaimana para anggota Sekte Iblis menjilat dan memuja Dongfang Bubai dan kemudian Ren Woxing secara berlebihan, seketika timbul rasa muak di dalam hatinya. Sebagai seorang bebas merdeka, ia sama sekali tidak sudi diperbudak dan mengucapkan sanjung puji dengan merendahkan diri seperti pengemis.

Hari ini, ia pun melihat betapa Ren Woxing mengagungkan diri sendiri. Lagaknya jauh lebih hebat dan berkuasa daripada seorang kaisar maharaja. Padahal, dulu ia sangat menderita sewaktu terkurung di dasar Danau Barat. Kini setelah berkuasa, ia memperlakukan segenap kaum kesatria dunia persilatan dengan sedemikian hina, sedemikian rendahnya, seolah-olah mereka bukan manusia.

Ketika Linghu Chong larut dalam lamunannya, tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berseru, “Lapor kepada Ketua Suci, murid-murid Perguruan Henshan telah tiba!”

Linghu Chong terkejut seketika. Ia melihat Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang lain bahu-membahu naik ke atas puncak tersebut. Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang juga ikut di belakang mereka.

Segera seorang tetua Sekte Matahari dan Bulan berseru, “Kawan-kawan sekalian, silakan memberi hormat kepada Ketua Suci!” Yang bicara ini tidak lain adalah Bao Dachu.

Melihat Linghu Chong juga ada di sana, Yiqing dan yang lain sadar bahwa Ren Woxing adalah calon mertua ketua mereka itu. Meskipun mereka berpikir bahwa golongan hitam dan putih tidak seharusnya berdampingan, namun demi menghargai sang ketua, tiada salahnya sebagai kaum muda memberi hormat kepada angkatan tua.

Maka, Yiqing pun memimpin saudara-saudaranya berjalan mendekati telapak tangan batu raksasa tersebut, lantas membungkukkan tubuh dan berkata, “Kami dari Perguruan Henshan memberi salam hormat kepada Ketua Ren!”

“Berlutut dan menyembah!” bentak Bao Dachu.

“Kaum biarawati seperti kami hanya menyembah kepada Sang Buddha, menyembah kepada Boddhisatwa, dan menyembah kepada guru,” sahut Yiqing lantang. “Kami sama sekali tidak menyembah manusia biasa.”

“Ketua Suci bukan manusia biasa,” seru Bao Dachu. “Beliau seorang nabi, seorang dewa, seorang buddha, seorang boddhisatwa!”

Yiqing lantas berpaling ke arah Linghu Chong. Tampak pemuda itu menggeleng kepala. Maka, Yiqing pun kembali berkata lantang, “Kalau mau bunuh silakan bunuh saja kami semua. Yang pasti murid-murid Perguruan Henshan tidak menyembah manusia biasa!”

“Ucapan bagus, ucapan bagus!” seru Biksu Bujie sambil bergelak tawa.

Xiang Wentian langsung membentak gusar, “Kau berasal dari perguruan mana? Untuk apa kau datang kemari?”

Rupanya Xiang Wentian melihat adanya bibit keributan karena murid-murid Perguruan Henshan tidak mau menyembah kepada Ren Woxing. Apabila orang-orang Henshan ini sampai diperlakukan kasar, tentu rasanya tidak enak kepada Linghu Chong. Oleh karena itu, ia sengaja membentak Biksu Bujie untuk mengalihkan perhatian Ren Woxing sehingga melupakan sikap membantah murid-murid Henshan tadi.

Bujie pun menjawab dengan tertawa, “Aku seorang biksu liar, tidak diterima biara besar, tidak diterima biara kecil. Maka itu, aku tidak memiliki aliran atau perguruan yang jelas. Hanya saja, aku mendengar di Gunung Huashan ini sedang berkumpul banyak orang. Kedatanganku kemari hanya untuk melihat keramaian.”

“Pertemuan ini hanya untuk dihadiri orang-orang Sekte Matahari dan Bulan dan Serikat Pedang Lima Gunung. Orang luar tidak boleh ikut mengacau di sini. Lekas kau segera turun gunung saja!” kata Xiang Wentian. Ucapannya ini boleh dikata sudah cukup sopan demi untuk menjaga perasaan Linghu Chong. Ia sadar kedatangan Biksu Bujie adalah bersama dengan orang-orang Perguruan Henshan, tentu sedikit-banyak memiliki hubungan baik dengan mereka. Maka, ia pun tidak mau mempersulit biksu besar tersebut.

Tak disangka Bujie malah menjawab, “Gunung Huashan ini bukan milik Sekte Iblis kalian. Aku mau datang ke sini, peduli apa dengan kalian? Kecuali orang-orang Perguruan Henshan, tidak seorang pun berhak mengusir aku.”

Istilah “Sekte Iblis” merupakan nama ejekan bagi Sekte Matahari dan Bulan. Kaum persilatan pada umumnya tidak berani mengucapkan istilah ini secara terang-terangan di hadapan anggota sekte, kecuali kalau memang sengaja hendak mencari permusuhan.

Namun, pada dasarnya sifat Biksu Bujie memang tidak memiliki pantangan. Apa yang ia pikirkan, itu pula yang ia ucapkan. Apalagi ketika Xiang Wentian mengusirnya, seketika hatinya menjadi kesal. Tanpa pikir panjang ia langsung membantah tanpa menghiraukan siapa yang sedang dihadapinya. Sedikit pun dirinya tidak merasa gentar.

Dengan menahan gusar Xiang Wentian berpaling kepada Linghu Chong dan bertanya, “Adik Linghu, siapa sebenarnya biksu sinting ini? Ada hubungan apa dengan perguruan kalian?”

Linghu Chong sendiri sedang merasa kesakitan. Perutnya terasa seperti disayat-sayat puluhan pisau. Dengan suara terputus-putus ia menjawab, “Biksu Bujie … biksu besar ini ….”

Sementara itu, Ren Woxing benar-benar murka begitu mendengar Bujie berani menyebut “Sekte Iblis” tadi. Ia khawatir Linghu Chong lebih dulu mengatakan bahwa biksu besar tersebut memiliki hubungan baik dengan Perguruan Henshan. Jika itu sampai terjadi tentu akan sukar untuk membunuhnya. Maka, sebelum Linghu Chong selesai menjawab, segera ia membentak, “Bunuh saja biksu sinting itu!”

Delapan orang tua berseragam kuning segera menjawab, “Kami menerima perintah!” Serentak mereka menerjang maju dan mengerubut Bujie.

“Hei, kalian hendak main keroyok rupanya?” teriak Bujie. Selanjutnya ia tidak sempat bicara lagi karena harus menghadapi serangan kedelapan orang itu.

“Tidak tahu malu!” teriak si nenek, ibu Yilin. Segera ia pun melompat maju menggabungkan diri dengan sang suami. Dengan punggung menempel punggung mereka bertarung melayani serangan musuh.

Kedelapan orang tua berseragam kuning itu adalah delapan tetua agama yang rata-rata berilmu tinggi. Masing-masing ilmu silat mereka setara dengan Bujie. Namun, karena jumlah yang tidak seimbang, yaitu delapan melawan dua, maka dalam waktu singkat saja kedelapan orang itu sudah berada di atas angin. Melihat ini Tian Boguang tidak bisa tinggal diam. Segera ia mengangkat golok dan ikut menerjang ke dalam pertempuran. Disusul kemudian Yilin juga melolos pedang dan membantu ayah-ibunya. Dua di antara kedelapan tetua itu lantas memisahkan diri untuk menghadapi mereka. Tentu saja ilmu silat Tian Boguang dan Yilin kalah jauh menghadapi kedua tetua itu. Dengan ilmu goloknya yang cepat Tian Boguang masih cukup lumayan bisa mempertahankan diri, sementara Yilin dalam waktu singkat sudah terdesak kewalahan menghadapi serangan lawan yang gencar. Andai saja si tetua tidak menghormati Linghu Chong, tentu Yilin sudah tewas sejak tadi.

Linghu Chong semakin merasa kesakitan melihat kejadian itu. Ia menunduk dan mendekap perut dengan tangan kiri, sementara tangan kanan melolos pedang sambil berseru, “Hentikan … hentikan!”

Dengan menahan sakit ia menerjang maju ke dalam pertempuran. Begitu pedangnya berkelebat, sekaligus delapan gerakan dilancarkan. Serentak empat orang tetua terpaksa mundur. Kembali ia melancarkan delapan serangan dan memaksa keempat lainnya mundur pula. Semua gerakan ini berasal dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang selalu mengarah ke tempat mematikan di tubuh lawan. Bagaimanapun hebatnya kedelapan tetua itu, namun masing-masing sudah mendengar betapa lihai ilmu pedang Linghu Chong sehingga tiada seorang pun yang berani menyerang lebih lanjut.

Sambil setengah berjongkok, Linghu Chong berkata dengan suara terputus-putus, “Ketua … Ketua Ren, harap sudi memandang diriku dan ... membiarkan mereka ….” Karena terlalu sakit pada bagian perutnya, sehingga kata “pergi” pun tidak sanggup ia ucapkan.

Ren Woxing paham saat itu berbagai macam hawa murni dalam tubuh Linghu Chong sedang kambuh dan bergolak lagi. Ia sadar pemuda ini adalah kekasih idaman putrinya, dan ia sendiri juga suka dan sayang kepadanya. Selain itu, dirinya tidak mempunyai anak laki-laki. Kelak, ia bahkan mengharapkan Linghu Chong bisa mewarisi jabatan ketua sekte dari tangannya.

Berpikir demikian Ren Woxing lantas mengangguk dan berkata, “Baiklah, karena Ketua Linghu yang memintakan ampun bagi kalian, maka aku memberi kelonggaran.”

Segera Xiang Wentian melompat maju. Kedua tangannya bekerja cepat. Berturut-turut ia menotok Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang dan Yilin. Betapa cepat gerakan tangannya sungguh luar biasa. Meskipun si nenek terkenal gesit ternyata tidak dapat meloloskan diri dari tangan Xiang Wentian itu.

Linghu Chong terkejut dan berseru, “Kakak … Kakak Xiang ….”

“Jangan khawatir,” segera Xiang Wentian menjawab dengan tertawa. “Ketua sudah menyatakan memberi ampun kepada mereka.” Ia lalu berpaling kepada anak buahnya dan berseru, “Majulah ke sini delapan orang!”

“Kami menerima perintah Pelindung Kiri Xiang!” sahut delapan orang laki-laki berseragam hijau sambil melangkah maju ke depan.

“Empat laki-laki dan empat perempuan!” kata Xiang Wentian.

Empat orang di antaranya segera mengundurkan diri dan empat orang anggota perempuan ganti maju ke depan.

Xiang Wentian lantas berkata, “Keempat orang ini berbicara tidak pantas. Dosa mereka sungguh besar dan sudah seharusnya dihukum mati. Tapi Ketua Suci sangat bijaksana dan bermurah hati. Dengan memandang wajah emas Ketua Linghu, mereka pun tidak diberi hukuman. Maka itu, gotong saja mereka turun gunung. Sesampainya di bawah lepaskan totokan mereka dan bebaskan semua.”

Kedelapan orang itu membungkuk hormat dan berkata, “Kami siap melaksanakan perintah!”

Xiang Wentian lantas melanjutkan dengan suara lirih, “Mereka adalah teman baik Ketua Linghu, jadi kalian jangan berbuat kasar.”

“Baik!” jawab mereka serentak. Kedelapan orang itu lantas bekerja cepat. Setiap dua orang menggotong satu orang meninggalkan puncak tersebut.

Melihat Bujie sekeluarga sudah lolos dari maut, Linghu Chong dan Ren Yingying merasa lega. Masing-masing menghela napas panjang dan bersyukur dalam hati.

Segera Linghu Chong berkata, “Terima ... terima kasih!” Namun setelah itu ia tidak mampu berdiri tegak. Karena sakit di perutnya bertambah parah tanpa kuasa ia pun jatuh terjongkok di atas tanah.

Demi untuk memukul mundur kedelapan tetua tadi, Linghu Chong telah melancarkan enam belas serangan dalam sekejap mata. Tentu saja hal ini membutuhkan tenaga yang tidak sedikit dan membuat penderitaannya semakin bertambah parah. Kini bukan hanya perut yang terasa seperti ditusuk-tusuk pisau, bagian dada juga terasa ikut sakit luar biasa.

Diam-diam Xiang Wentian merasa khawatir, namun wajahnya tampak biasa-biasa saja. Sambil pura-pura tertawa ia bertanya, “Adik Linghu, apakah kau sedang tidak enak badan?”

Hampir setahun yang lalu Linghu Chong pernah membantu Xiang Wentian bertempur menghadapi kepungan para kesatria dari golongan hitam dan putih. Setelah lolos dari maut, keduanya pun saling mengangkat saudara. Meskipun untuk selanjutnya kedua orang ini jarang bertemu, namun hubungan batin di antara mereka tetaplah abadi.

Segera Xiang Wentian memegang tangan Linghu Chong dan memapahnya duduk kembali di atas kursi tadi. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam untuk membantu Linghu Chong menolak pergolakan hawa murni liar di dalam tubuh pemuda itu. Padahal Linghu Chong jelas-jelas memiliki Jurus Penyedot Bintang. Ini berarti Xiang Wentian membiarkan tenaga dalamnya terhisap keluar. Jika hal ini diteruskan bisa-bisa Xiang Wentian kehilangan semua ilmu silatnya. Maka itu, Linghu Chong pun mengibaskan tangannya sambil berkata, “Jangan, Kakak Xiang! Aku … aku sudah sembuh!”

Sementara itu, Ren Woxing sedang bertanya kepada anak buahnya, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya Perguruan Henshan saja yang hadir dalam pertemuan ini. Para anggota dari keempat perguruan yang lain ternyata berani membangkang perintah. Oleh sebab itu, kita tak perlu segan lagi kepada mereka!”

Pada saat itulah Shangguan Yun datang dengan langkah cepat ke atas puncak tersebut. Setibanya di depan telapak batu raksasa ia lantas menyembah dan berkata, “Lapor kepada Ketua Suci, di dalam gua Tebing Perenungan, hamba menemukan sekitar dua ratus mayat. Di antaranya terdapat ketua Perguruan Songshan, Zuo Lengchan. Selain itu banyak pula tokoh-tokoh penting Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan ikut menjadi korban. Sepertinya mereka mati karena saling bunuh satu sama lain.”

“Hah?” sahut Ren Woxing terkejut. “Bagaimana dengan ketua Perguruan Hengshan? Apakah Tuan Besar Mo juga terbunuh?”

“Hamba telah memeriksa semuanya dengan teliti,” jawab Shangguan Yun. “Namun, hamba tidak menemukan Tuan Besar Mo di sana. Hamba juga tidak menemukan jejaknya di segenap penjuru Gunung Huashan.”

Linghu Chong dan Ren Yingying sama-sama terkejut sekaligus gembira. Keduanya saling pandang dan berpikir, “Paman Guru Mo datang bagaikan angin, pergi bagaikan bayangan. Beliau pasti bisa menghindarkan diri dari marabahaya di gua tadi. Kemungkinan besar ketika kekacauan itu terjadi, Beliau membaur bersama mayat dan menahan napas, kemudian keluar dari gua setelah keadaan benar-benar aman.”

Terdengar Shangguan Yun melanjutkan, “Dua orang pejabat sementara ketua Perguruan Taishan, yaitu Yuqingzi dan Yuyinzi juga tewas di dalam gua.”

Ren Woxing merasa kurang senang mendengarnya. Ia bertanya, “Siapa lagi ... siapa lagi?”

“Bahkan di luar gua juga ditemukan sesosok mayat ….” lanjut Shangguan Yun.

“Mayat siapa?” tukas Ren Woxing penasaran.

“Setelah hamba periksa dengan teliti, akhirnya dapat diketahui dengan pasti bahwa mayat itu adalah ketua Perguruan Huashan,” jawab Shangguan Yun. “Dia adalah Yue … Tuan Yue alias Si Pedang Budiman yang baru-baru ini terpilih sebagai ketua Perguruan Lima Gunung.”

Shangguan Yun sadar bahwa kelak Linghu Chong akan menjadi ahli waris sang ketua. Oleh karena itu, ia tidak berani sembarangan menyebut nama Yue Buqun dengan kasar, mengingat pemuda itu pernah menjadi murid Perguruan Huashan.

Begitu Ren Woxing mendengar Yue Buqun juga mati, perasaannya semakin kecewa. Ia lantas bertanya, “Siapa … siapakah yang telah membunuhnya?”

Shangguan Yun  menjawab, “Ketika sedang memeriksa keadaan di dalam gua, hamba mendengar ada suara beberapa orang bertempur di luar. Begitu hamba memeriksa, ternyata ada sekelompok murid-murid Huashan sedang bertempur mati-matian melawan sekelompok murid Taishan. Kedua pihak saling mencaci maki menuduh pihak lawan telah membunuh guru mereka. Kedua pihak tersebut bertempur dengan sengit dan sama-sama kehilangan banyak korban. Tidak sedikit yang terluka dan tewas. Hamba berhasil menawan sisa-sisa dari mereka dan membawa orang-orang itu kemari untuk menunggu keputusan Ketua Suci.”

“Jadi, Yue Buqun dibunuh oleh orang Perguruan Taishan?” ujar Ren Woxing setengah bergumam. “Memangnya di dalam Perguruan Taishan ada jago sehebat itu yang mampu membunuh Yue Buqun?”

Dari kalangan murid-murid Henshan tiba-tiba Yiqing berseru lantang, “Tidak benar! Yue Buqun telah dibunuh oleh adik seperguruan kami dari Perguruan Henshan!”

“Siapa adikmu itu?” tanya Ren Woxing.

“Dia adalah Adik Yilin, salah seorang yang baru saja dibawa turun gunung tadi,” jawab Yiqing. “Yue Buqun telah menewaskan Biksuni Ketua dan Bibi Guru Dingyi. Setiap murid dalam perguruan kami membencinya sampai ke tulang sumsum. Hari ini, atas berkah Sang Buddha, arwah kedua biksuni sepuh telah meminjam tangan Adik Yilin yang berilmu silat biasa-biasa saja untuk menghukum penjahat itu.”

“Oh, ternyata begitu!” kata Ren Woxing. “Jaring Langit begitu luas, seorang pun tak akan lolos. Dosa tak berampun, hutang harus dibayar.” Nada ucapannya ini terdengar sangat hambar dan penuh rasa kecewa.

Xiang Wentian dan para tetua agama juga saling pandang dengan perasaan kurang senang.

Kedatangan Sekte Matahari dan Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah dipersiapkan dengan rencana matang dan pengaturan sangat rapi. Semua jago-jago terkemuka dalam agama beserta anak buah masing-masing, serta segenap perkumpulan dan perguruan yang tersebar di berbagai tempat juga dikerahkan seluruhnya. Tujuannya adalah untuk menaklukkan Serikat Pedang Lima Gunung dalam sekaligus. Apabila kelima perguruan tersebut berani melawan, maka mereka akan ditumpas dan dimusnahkan tanpa ampun. Sasaran selanjutnya tentu saja menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang. Baru setelah itu Sekte Matahari dan Bulan akan berjaya dan menguasai dunia persilatan. Tentu tidak ada lagi suatu golongan atau perguruan yang mengaku sebagai aliran lurus berani melawannya lagi. Semboyan “merajai dunia persilatan” akan terbangun kuat melalui pertemuan di Puncak Menyongsong Mentari saat ini.

Tak disangka, tokoh-tokoh terkemuka dari keempat perguruan, yaitu Zuo Lengchan, Yue Buqun, Yuqingzi, dan Yuyinzi telah tewas, sementara Tuan Besar Mo menghilang entah ke mana. Selain itu, murid-murid keempat perguruan tersebut yang tersisa juga tinggal sedikit. Ini berarti rencana mahabesar yang telah diatur rapi oleh Ren Woxing tidak berguna lagi.

Semakin dipikir semakin gusar rasa hati Ren Woxing. Ia pun berseru, “Bawa ke sini kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa itu!”

“Baik!” jawab Shangguan Yun. Ia lantas berbalik dan melangkah cepat ke bawah puncak untuk memanggil mereka.

Sementara itu, pergolakan hawa murni di dalam tubuh Linghu Chong sudah mulai reda. Ketika mendengar Ren Woxing menyebut “kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa”, hatinya merasa kurang senang. Meskipun Ren Woxing tidak bermaksud memaki dirinya, namun bagaimanapun juga Perguruan Henshan adalah bagian dari Perguruan Lima Gunung tersebut.

Tidak lama kemudian, terdengar suara bentakan dan makian. Tampak dua orang tetua agama sedang memimpin anak buahnya menggiring sekitar tiga puluh orang murid Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan naik ke puncak tersebut.

Di antara kelima perguruan, Huashan memiliki jumlah murid yang paling sedikit. Kini jumlah itu semakin banyak berkurang. Sementara itu, sebagian besar para kesatria terkemuka dari Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan juga sudah mati terbunuh di dalam gua. Dengan demikian ketiga puluh orang yang tersisa ini adalah jago-jago kelas bawah dan sama sekali tidak terkenal, bahkan sebagian tampak sedang terluka. Kalau saja bukan karena dibimbing orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, tentu mereka akan sangat kesulitan naik ke puncak tersebut.

Ren Woxing sangat kesal melihat ini semua. Tanpa menunggu rombongan itu mendekati tempatnya, ia pun membentak gusar, “Untuk apa aku menginginkan kawanan anjing ini dibawa kemari? Sudah, bawa saja mereka turun ke sana! Bawa mereka turun!”

“Baik, Ketua Suci!” jawab kedua tetua tadi serentak. Mereka lantas menggiring kembali rombongan tawanan tersebut menuju ke bawah.

Ren Woxing terus saja mencaci maki untuk beberapa saat. Tiba-tiba ia bergelak tawa dan berkata, “Serikat Pedang Lima Gunung telah banyak melakukan kejahatan di dunia persilatan. Langit tidak mengampuni dosa mereka. Lihatlah, kita tidak perlu keluar tenaga, tidak perlu turun tangan, tahu-tahu mereka sudah saling bunuh dan mampus semua. Mulai hari ini nama Serikat Pedang Lima Gunung sudah terhapus di dunia persilatan.”

Serentak para tetua Sekte Matahari dan Bulan membungkuk dan berseru, “Ini semua berkat perbawa Ketua Suci yang bersinar terang, sehingga kawanan tikus celurut itu musnah dengan sendirinya.”

Xiang Wentian berkata pula, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang berdiri tegak. Semua ini berkat kepemimpinan Ketua Linghu yang bijaksana. Untuk selanjutnya, Perguruan Henshan dan Sekte Suci kita menjadi sahabat, senapas seirama. Saling merasakan kebahagiaan bersama-sama. Untuk itu, selamat kepada Ketua Suci karena telah mendapatkan seorang kesatria muda yang berbakat tiada bandingannya sebagai pembantu utama.”

Ren Woxing bergelak tawa dan berkata, “Benar sekali, benar sekali. Ucapan Saudara Xiang sama sekali tidak salah. Nah, Adik Linghu, mulai hari ini kau bisa membubarkan Perguruan Henshan. Para biksuni dan murid perempuan dari perguruanmu itu kalau mau ikut ke Tebing Kayu Hitam tentu akan kami sambut dengan tangan terbuka. Namun, kalau mereka ingin tetap tinggal di Gunung Henshan juga tidak menjadi soal. Para jagoan yang pernah tinggal di Lembah Tongyuan di Gunung Henshan juga boleh dijadikan sebagai pasukan pengawal Wakil Ketua. Hahahahaha!” Dengan terbahak-bahak ia menengadah ke langit. Suara gelak tawanya itu terasa menggetarkan lembah pegunungan dan menimbulkan gema yang tidak ada habisnya.

Mendengar istilah “wakil ketua” serentak semua orang tekesiap. Namun, sejenak kemudian mereka lantas bersorak-sorai dengan suara riuh bergemuruh. Dari segenap penjuru, berkumandanglah seruan, “Pendekar Linghu menjadi wakil ketua sekte suci kita, sungguh bagus sekali! Sungguh bagus sekali!”

“Selamat untuk Ketua Suci yang mendapatkan seorang pembantu hebat!”

“Selamat untuk Ketua Suci! Selamat untuk Wakil Ketua!”

“Hidup Ketua Suci! Hidup Wakil Ketua!”

Rupanya para anggota Sekte Matahari dan Bulan yang bersorak gembira itu terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah anggota sekte yang tinggal di Tebing kayu Hitam. Mereka mengetahui bahwa Linghu Chong adalah calon menantu Sang Ketua Suci dan kini ditunjuk pula sebagai wakil ketua. Kelak dapat dipastikan pemuda itu akan menggantikan kedudukan Ren Woxing sebagai pemimpin agama. Mereka kenal watak Linghu Chong sangat ramah dan mudah bergaul. Kelak bila ia naik takhta menjadi ketua tentu semua anak buahnya akan merasa lebih aman. Saat ini setiap saat mereka selalu khawatir jangan-jangan ada yang main fitnah untuk saling menjatuhkan, atau takut membuat marah Ketua Ren dan dihukum mati.

Golongan kedua adalah para jago silat yang dahulu pernah dipimpin Linghu Chong menyerbu Biara Shaolin, dan juga pernah tinggal di Lembah Tongyuan di Gunung Henshan. Bisa dikatakan mereka telah memiliki ikatan batin cukup kuat dengan pemuda itu, sehingga sorak-sorai mereka pun tulus dari lubuk hati yang paling dalam.

Sementara itu, golongan ketiga adalah mereka yang pernah menerima budi baik Ren Yingying. Dengan diangkatnya calon suami Sang Gadis Suci sebagai wakil ketua tentu saja mereka merasa senang dan ikut bersorak. Dengan latar belakang yang berbeda ketiga golongan tersebut sama-sama bergembira merayakan pengangkatan Linghu Chong sebagai wakil ketua dengan setulus hati.

Xiang Wentian juga lantas berkata, “Selamat untuk Wakil Ketua! Marilah kita minum satu cawan dahulu sebagai ucapan selamat atas bergabungnya dirimu ke dalam agama suci kita. Setelah itu kita minum lagi arak bahagia atas perkawinanmu dengan Nona Besar. Ini namanya kebahagiaan berganda! Kebahagiaan berganda!”

Akan tetapi, perasaan Linghu Chong sendiri ternyata sedang bingung. Dalam hati ia memberontak dan berharap urusan ini tidak boleh sampai terjadi. Namun demikian, ia tidak tahu bagaimana cara untuk menolaknya. Apabila ia sampai menolak kehendak Ren Woxing, itu berarti perjodohannya dengan Ren Yingying juga akan gagal dan berantakan. Bukan mustahil Ren Woxing juga akan sangat murka dan membunuhnya pula.

Sebenarnya ia sendiri tidak takut mati. Namun, membayangkan murid-murid Perguruan Henshan ikut menjadi korban membuat hatinya menjadi bimbang. Ia merasa bingung apakah harus menolak dengan tegas ataukah menerima kedudukan itu untuk sementara waktu, sampai murid-murid Henshan terhindar dari bahaya.

Perlahan ia berpaling ke arah murid-murid Henshan tersebut. Tampak sebagian dari mereka ada yang berwajah gusar, ada yang menunduk lesu tak bersemangat, ada pula yang bingung kehilangan akal. Tidak seorang pun dari mereka yang tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba terdengar Shangguan Yun berseru lantang, “Di bawah kepemimpinan Ketua Suci dan dengan bantuan Wakil Ketua yang bijaksana, kita hancurkan Perguruan Shaolin, kita musnahkan Perguruan Wudang, Kunlun, dan Emei, kita basmi pula Partai Pengemis. Semuanya dapat kita lakukan dengan mudah. Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Hidup Wakil Ketua, hidup sembilan ribu tahun, bahagia untuk selamanya!”

Sebenarnya perasaan Linghu Chong sedang kusut dan sukar menentukan sikap. Namun, begitu mendengar sanjung puji Shangguan Yun, seketika pikirannya menjadi terbuka. Ia merasa bila dirinya menerima kehendak Ren Woxing sebagai wakil ketua, maka setiap hari tentu akan mendengar sanjung puji muluk-muluk yang memuakkan itu. Meskipun sanjung puji untuknya tidak sebanyak yang diterima Ren Woxing, tetap saja dalam hati ia merasa geli. Tanpa terasa ia pun tertawa sendiri.

Suara gelak tawanya itu terkesan menghina, penuh dengan nada mengolok-olok. Hal ini dapat dirasakan oleh setiap orang yang berpikiran jernih. Seketika suasana di puncak Puncak Menyongsong Mentari menjadi sunyi senyap.

“Ketua Linghu,” sahut Xiang Wentian membuka suara, “Ketua Suci telah mengangkatmu sebagai wakil ketua. Itu berarti kedudukanmu dalam dunia persilatan hanya di bawah seorang saja, dan di atas ratusan ribu orang. Atas kemurahan hati Ketua Suci tersebut, lekaslah berterima kasih kepada Beliau.”

Seketika pikiran Linghu Chong menjadi terang. Tanpa ragu-ragu ia pun bangkit dan berseru lantang menghadap ke atas, “Ketua Ren, ada dua persoalan ingin kusampaikan.”

“Silakan bicara,” sahut Ren Woxing dengan tersenyum.

“Yang pertama, aku telah menerima tugas berat untuk memimpin Perguruan Henshan berdasarkan wasiat ketua terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian. Aku merasa tidak dapat membawa kemajuan apa-apa bagi Perguruan Henshan, namun yang pasti juga tidak mungkin membubarkan Perguruan Henshan dan membawanya masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan. Kalau sampai itu terjadi, tentu aku akan sangat malu bertemu muka dengan Biksuni Dingxian di alam sana. Yang kedua adalah urusan pribadi. Aku mohon Ketua Ren sudi merestui putri kesayanganmu sebagai istriku.”

Sewaktu mendengarkan Linghu Chong menguraikan persoalan pertama, setiap orang merasa khawatir jangan-jangan Ren Woxing murka dan urusan bisa menjadi runyam. Namun, begitu mendengar persoalan kedua ternyata lamaran untuk Ren Yingying, seketika semua orang saling pandang dengan tersenyum.

Ren Woxing sendiri bergelak tawa dan berkata, “Masalah pertama mudah untuk diselesaikan. Kau bisa menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada salah seorang biksuni, dan setelah itu kau sendiri masuk ke dalam agama suci kami. Mengenai Perguruan Henshan untuk selanjutnya bergabung dengan agama suci kami atau tidak, bisa dirundingkan belakangan. Tentang persoalan kedua, bahwasanya kau dan Yingying sudah cocok satu sama lain, siapa pula yang tidak tahu soal hubungan kalian berdua ini? Baiklah, sudah tentu aku mengizinkan dia menjadi istrimu, kenapa kau masih sangsi? Hahahahaha!”

Serentak orang-orang Sekte Matahari dan Bulan mengikuti sang ketua bergelak tawa sambil bersorak sorai dengan gembira.

Shangguan Yun menyampaikan laporan.

Ren Woxing yang kecewa.

Linghu Chong melamar Ren Yingying.

(Bersambung)