Bagian 9 - Lolos dari Penjahat Cabul


Lin Pingzhi memasuki aula Kediaman Liu.
Xiang Danian dan Mi Weiyi lantas membagi-bagikan payung yang mereka bawa, kemudian mendahului berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Biksuni Dingyi menarik lengan Lingshan, kemudian berjalan bersama He Sanqi yang memikul barang dagangannya. Sementara itu, murid-murid Huashan dan Henshan berjalan di belakang mereka.
Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Sebaiknya aku mengikuti mereka dari jarak yang agak jauh. Siapa tahu aku mendapat berita tentang Ayah dan Ibu dengan cara menyelinap ke dalam rumah Keluarga Liu.”
Setelah rombongan tersebut membelok di tikungan, Lin Pingzhi segera berdiri dan mengikuti dari belakang. Rombongan itu tampak berjalan menuju utara. Karena tidak membawa payung, Lin Pingzhi berjalan di pinggir sambil sesekali berteduh di atap rumah penduduk untuk menjaga jarak. Setelah berjalan cukup jauh melewati tiga jalan raya, rombongan itu akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang sangat megah. Tampak di depan pintu gedung terpajang lampion-lampion beraneka warna, serta sepuluh orang yang masing-masing memegang payung dan lampu kerudung sedang menyambut ramah setiap tamu yang datang. Selain rombongan dari Huashan dan Henshan, tampak pula tamu-tamu lain berdatangan dari kedua ujung jalan.
Lin Pingzhi mengumpulkan keberaniannya, untuk kemudian melangkah masuk ke dalam gedung bersamaan dengan masuknya sebuah rombongan yang dipandu seorang murid Keluarga Liu. Para murid Hengshan yang bertugas menyambut tamu ternyata menganggapnya sebagai bagian dari rombongan itu dan mempersilakannya masuk dengan ramah. “Silakan masuk! Silakan menikmati teh di dalam!” sambut mereka.
Sesampainya di aula utama, Lin Pingzhi menyaksikan banyak sekali meja dan kursi yang ditata rapi. Jumlah tamu yang hadir dan duduk di kursi-kursi itu kurang lebih mencapai dua ratus orang. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain. Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Jumlah tamu yang datang sekian banyaknya. Tidak seorang pun dari mereka yang peduli kepadaku. Dengan menyamar seperti ini, aku bisa mengawasi ke sekeliling ruangan ini untuk menemukan orang-orang Qingcheng. Setelah menemukan mereka, tentu aku bisa menemukan Ayah dan Ibu pula.”
Pemuda itu lantas mengambil tempat duduk di salah satu meja kecil di sudut ruangan. Segera seorang pelayan membawa nampan datang menghampirinya, untuk kemudian menghidangkan teh, makanan ringan, dan handuk hangat. Lin Pingzhi lalu memandang ke segala penjuru ruangan. Ia melihat kelompok murid-murid Henshan duduk di sebelah kiri balai tersebut, sementara murid-murid Huashan duduk tidak jauh dari mereka. Lingshan juga terlihat berada di antara mereka. Sepertinya Dingyi telah membebaskan gadis burik itu. Namun demikian, Lin Pingzhi tidak melihat di mana sang biksuni tua berada, begitu juga He Sanqi si penjual pangsit.
Kembali Lin Pingzhi menyapukan pandangannya. Seketika jantungnya pun berdebar kencang melihat Fang Renzhi dan Yu Renhao duduk bersama sekelompok laki-laki yang berseragam sama. Tidak diragukan lagi, mereka ini adalah kelompok murid-murid Perguruan Qingcheng. Melihat itu ia pun berpikir, “Ayah dan Ibu di tangan mereka. Ini kesempatanku untuk membebaskan Ayah dan Ibu. Tapi, jangan-jangan kedua orang tuaku telah meninggal pula?”
Dengan perasaan marah bercampur sedih dan khawatir, Lin Pingzhi berniat pindah tempat duduk, agar bisa lebih jelas mendengarkan pembicaraan orang-orang Qingcheng itu. Namun, ia takut jangan-jangan hal ini malah menimbulkan kecurigaan Fang Renzhi dan kawan-kawan. Jika sampai terjadi demikian, tidak hanya semua perjuangannya yang berakhir sia-sia, bahkan nyawanya juga bisa melayang.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari arah luar, disusul dengan munculnya beberapa orang berseragam biru tampak menggotong dua papan pintu ke dalam aula. Di atas papan pintu tersebut masing-masing tergeletak seorang laki-laki. Kedua orang itu tampak diselimuti kain putih dengan tubuh berlumuran darah. Para tamu yang hadir buru-buru mendekat supaya bisa melihat dengan lebih jelas.
“Hei, mereka dari Perguruan Taishan!” sahut seseorang.
“Yang lebih tua itu bernama Pendeta Tiansong. Entah siapa yang telah membuatnya terluka seperti ini? Apa kalian tahu siapa yang satunya lagi?”
“Kalau yang lebih muda ini adalah murid Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan. Kalau tidak salah dia bermarga Chi. Sepertinya dia sudah meninggal.”
“Benar sekali. Dia sudah meninggal. Coba lihat, luka di dadanya panjang dan lebar. Sepertinya ia terkena sabetan golok. Siapa pula orangnya yang sanggup bertahan hidup dengan luka seperti ini?”
Di tengah keramaian itu tubuh Pendeta Tiansong dan jasad Pendeta Chi dibawa masuk ke ruang belakang. Para tamu di aula depan bertambah ramai membicarakan kejadian ini. Mereka bertanya-tanya siapakah orangnya yang telah melakukan itu semua.
Tidak lama kemudian Xiang Danian muncul dengan tergesa-gesa dari dalam ruang belakang. Ia bergegas menghampiri meja murid-murid Huashan dan berkata, “Kakak Lao, guruku ingin bicara denganmu. Silakan ikut bersamaku.”
“Tentu,” jawab Lao Denuo. Ia lantas berdiri dan berjalan di belakang Xiang Danian.
Keduanya menyusuri lorong tengah yang cukup panjang, kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan di samping kiri. Di dalam ruangan itu tersusun lima buah kursi megah, namun hanya satu saja yang sudah terisi. Tampak seorang pendeta bertubuh gagah dengan wajah kemerah-merahan duduk di kursi tersebut yang terletak paling timur dari deretan. Orang ini tidak lain adalah Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan. Adapun empat kursi lainnya masing-masing disediakan untuk ketua Perguruan Songshan, Hengshan, Huashan, dan Henshan, yang kesemuanya belum terlihat datang.
Sementara itu sebanyak sembilan belas orang lainnya duduk di kursi yang berjajar di sisi lain ruangan. Rupanya mereka ini adalah para tamu istimewa yang termasuk golongan ahli silat papan atas. Di antara sembilan belas orang itu terdapat Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan, Pendeta Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng, dan He Sanqi dari Gunung Yandang. Di sisi selatan ruangan, duduk pula seorang pria berusia lima puluhan bertubuh gemuk, mengenakan baju sutra halus berwarna merah kecoklatan. Ia tidak lain adalah sang tuan rumah yaitu Liu Zhengfeng.
Lao Denuo mula-mula memberi hormat kepada Liu Zhengfeng, kemudian berlutut dan memberi hormat kepada Pendeta Tianmen, sambil berkata, “Lao Denuo dari Huashan memberi hormat kepada Paman Pendeta Tianmen.”
Tianmen tampak begitu gusar. Wajahnya bertambah merah seolah-olah hendak meledak. Dengan suara keras ia membentak, “Di mana Linghu Chong?” Sambil berseru demikian tangannya juga memukul pinggiran kursi tempat duduknya sehingga mengejutkan semua orang.
Suara bentakan Tianmen ini menggelegar bagaikan halilintar membelah angkasa. Begitu kerasnya sampai-sampai terdengar oleh para tamu di aula utama.
Lingshan si gadis burik berkata, “Kakak Ketiga, sepertinya mereka kembali mencari Kakak Pertama.”
Liang Fa hanya mengangguk. Selang agak lama barulah ia menjawab, “Tetaplah bersikap tenang. Di sini banyak orang dari berbagai golongan. Jangan sampai mereka menaruh curiga terhadap Perguruan Huashan kita.”
Di sisi lain, Lin Pingzhi sedang berpikir, “Lagi-lagi mereka mencari Linghu Chong. Hm, si tua ini memang seorang pembuat onar.”
Lao Denuo yang berhadapan langsung dengan Pendeta Tianmen sampai merasa tuli untuk sekian lamanya. Setelah menenangkan diri, perlahan-lahan ia bangkit dan menjawab, “Paman Pendeta, mengenai Kakak Pertama, dia berpisah dengan kami di Kota Hengyang. Jika hari ini dia tidak datang ke Kota Hengshan sini, mungkin esok hari baru dia datang kemari untuk memberikan selamat kepada Paman Liu.”
“Apa? Dia masih berani datang? Dia masih punya nyali untuk kemari?” sahut Tianmen semakin gusar. “Perbuatannya benar-benar memalukan! Linghu Chong adalah murid pertama Perguruan Huashan. Tapi mengapa dia suka bergaul dengan penjahat bernama Tian Boguang? Apa yang dilakukannya bersama manusia cabul itu?”
Lao Denuo menjawab, “Dari yang saya tahu, Kakak Pertama tidak mengenal Tian Boguang. Mungkin saja Kakak Pertama sedang mabuk ketika secara kebetulan mereka bertemu. Kemudian mereka minum bersama di sebuah kedai tanpa mengenal satu sama lain.”
Sambil menghentakkan kakinya dengan keras di lantai, Tianmen bangkit berdiri lalu kembali membentak, “Kau masih berani mengoceh untuk membela Linghu Chong?” Dengan mata berkilat-kilat, pendeta bertubuh gagah itu menoleh kepada Tiansong yang masih terbaring lemah, “Adik, coba kau... kau ceritakan bagaimana dirimu bisa terluka. Ceritakan kepadanya apakah Linghu Chong dan Tian Boguang saling mengenal.”
Tiansong terbaring lemah dengan tubuh berlumuran darah. Janggutnya yang panjang sudah basah pula dan berwarna merah. Dengan suara gemetar pendeta itu lantas berkata, “Pagi itu... aku... aku bersama Keponakan Chi sedang berada di Rumah Minum Pemabuk Dewa di... Kota Hengyang. Kami melihat Linghu Chong... sedang bersama Tian Boguang, dan juga seorang... biksuni muda....”

Liu Zhengfeng membimbing Pendeta Tiansong.
Melihatnya bercerita sambil terengah-engah seperti itu, Liu Zhengfeng pun berkata, “Kakak Tiansong, kau jangan bicara lagi. Biarlah aku saja yang menceritakan kepadanya apa yang telah kau alami tadi.” Usai berkata demikian, ia lantas menoleh kepada Lao Denuo dan berkata, “Keponakan Lao, kalian semua dan juga Keponakan Linghu datang kemari untuk mengucapkan selamat kepadaku; dalam hal ini aku sangat berterima kasih dan juga menaruh penghormatan yang sangat besar kepada Kakak Yue, guru kalian. Namun kita juga tidak tahu bagaimana Keponakan Linghu bisa sampai bertemu dengan Tian Boguang. Hal inilah yang perlu kita selidiki. Serikat Pedang Lima Gunung bagaikan keluarga sendiri, jika Keponakan Linghu memang benar-benar bersalah, maka sebagai orang tua sudah sepantasnya kami memberikan nasihat....”
“Nasihat apanya? Lebih baik bersihkan perserikatan ini dengan cara memenggal kepalanya,” bentak Tianmen.
Liu Zhengfeng menghela napas dan berkata, “Kakak Yue selalu menerapkan peraturan yang ketat di dalam perguruannya. Selain itu Perguruan Huashan juga memiliki nama besar di dunia persilatan. Kali ini Keponakan Linghu melakukan sedikit kesalahan....”
“Apa? Kau masih memanggilnya ‘keponakan’? Keponakan bangsat!” sahut Tianmen kembali menyela. Seketika ia teringat kalau dirinya adalah ketua perguruan ternama sehingga tidak sepantasnya mengucapkan kata-kata makian seperti itu, apalagi di hadapan Biksuni Dingyi. Namun karena kata-katanya tidak bisa ditarik kembali, ia hanya menghela napas dan duduk kembali dengan gusar.
Lao Denuo berkata, “Paman Liu, mohon ceritakan kepada saya apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Liu Zhengfeng menjawab, “Begini, Kakak Tiansong telah bercerita kepada kami bahwa tadi pagi ia bersama seorang murid Kakak Tianmen yang bernama Chi Baicheng singgah di sebuah rumah arak bernama Pemabuk Dewa di Kota Hengyang. Begitu naik ke loteng atas, mereka melihat ada dua orang laki-laki dan seorang biksuni muda duduk bersama minum arak dalam satu meja. Mereka adalah si penjahat cabul Tian Boguang, Keponakan Linghu, dan murid Biksuni Dingyi yang bernama Yilin.
Pemandangan itu mau tidak mau membuat Kakak Tiansong penasaran. Semula ia hanya mengenali mereka sebagai murid Huashan, murid Henshan, dan seorang pria berpakaian rapi bersih. Biksuni Dingyi, tolong jaga perasaanmu; Keponakan Yilin dalam keadaan terdesak. Sepertinya ia ada di sana juga bukan atas kehendaknya sendiri.
Menurut Kakak Tiansong, Tian Boguang seorang laki-laki berusia tiga puluhan dan berpakaian serbarapi. Tadinya ia tidak tahu kalau orang itu adalah Tian Boguang, sampai akhirnya terdengar Keponakan Linghu berkata, ‘Saudara Tian, mari kita minum lagi. Meskipun ilmu meringankan tubuhmu tidak ada bandingannya di dunia persilatan, namun dalam hal kekuatan minum, kau tidak bisa mengalahkan aku.’
Tanpa ragu, Kakak Tiansong langsung menyimpulkan bahwa orang bermarga Tian yang ahli meringankan tubuh sudah pasti hanya Tian Boguang seorang. Kakak Tiansong sejak lama membenci sepak terjang penjahat cabul yang berjuluk Si Pengelana Tunggal Selaksa Li itu. Maka begitu melihat mereka bertiga duduk semeja dan minum bersama, Kakak Tiansong marah bukan main.”
Lao Denuo menunduk termenung membayangkan pemandangan di rumah minum tersebut. Tiga orang duduk semeja; yang satu seorang penjahat cabul, yang satu seorang biksuni muda, dan satunya lagi seorang murid pertama Perguruan Huashan. Siapa pun yang melihat sudah pasti merasa aneh.
Liu Zhengfeng melanjutkan cerita, “Kakak Tiansong semakin yakin setelah mendengar pria berpakaian rapi itu berkata, “Aku, Tian Boguang, datang dan pergi ke mana aku suka. Aku berkelana ke segala penjuru seorang diri. Tidak ada satu pun yang aku takuti. Kita telah menemukan biksuni cilik ini; kenapa tidak kita biarkan saja dia menemani kita minum di sini?’”
Saat Liu Zhengfeng bercerita, diam-diam Lao Denuo melirik ke arah Pendeta Tiansong. Tampak pendeta itu berbaring lemah namun matanya menatap tajam ke arah Liu Zhengfeng, khawatir kalau-kalau sang tuan rumah salah bicara.
Liu Zhengfeng menyadari hal itu dan segera berkata, “Kakak Tiansong terluka parah sehingga tidak bisa bercerita kepadamu dengan lancar dan jelas. Maka itu, aku pun bercerita dengan kata-kataku sendiri; namun secara garis besar seperti itulah yang disampaikan Kakak Tiansong tadi. Bukan begitu, Kakak Tiansong?”
“Betul... betul....” jawab Tiansong lemah.
Setelah mendengar persetujuan itu, Liu Zhengfeng melanjutkan, “Keponakan Chi tidak bisa menahan kesabaran lagi. Ia pun berdiri dan menggebrak meja, lalu memaki, ‘Apa benar kau ini si maling cabul Tian Boguang? Setiap orang ingin membinasakanmu untuk membersihkan dunia dari sampah bejat macam dirimu. Akan tetapi, kau malah enak-enakan berlagak di sini tak tahu malu. Hm, barangkali kau ini sudah bosan hidup, hah?’ Usai berkata, ia pun menghunus senjata menyerang penjahat itu. Namun sebaliknya, golok Tian Boguang justru lebih dulu merenggut nyawanya. Sungguh sayang, seorang pendekar muda yang gagah berani harus mati di tangan si maling cabul Tian Boguang.
Kakak Tiansong lantas menerjang Tian Boguang dan melancarkan serangan. Setelah bertarung beberapa jurus, Tian Boguang akhirnya berhasil melukai Kakak Tiansong dengan cara licik. Kejadian itu disaksikan semua oleh Keponakan Linghu. Namun, sedikit pun ia tidak bangkit dari duduk untuk membantu. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan rasa setia kawan sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Itulah yang menyebabkan Kakak Tianmen marah.”
“Huh, setia kawan apanya?” sahut Pendeta Tianmen semakin gusar. “Seorang pendekar harus bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk. Bergaul dengan maling cabul sudah pasti... sudah pasti ikut menjadi cabul.” Wajah pendeta gagah ini semakin berwarna merah dan janggutnya meremang.
Pada saat itu tiba-tiba datang seorang laki-laki datang dan berkata, “Guru, izinkan saya memberi laporan!”
“Ada apa lagi ini?” sahut Tianmen.
Laki-laki itu ternyata murid Perguruan Taishan yang masih berusia tiga puluhan. Mula-mula ia memberi hormat kepada sang tuan rumah, Liu Zhengfeng, kemudian kepada para tamu lainnya. Setelah berada di depan Tianmen ia berkata, “Guru, Paman Tianbai saat ini sedang memimpin para saudara untuk mencari kedua maling cabul Tian Boguang dan Linghu Chong ke seluruh pelosok Kota Hengyang, namun belum berhasil menemukan mereka....”
Lao Denuo diam-diam merasa kesal karena kakak seperguruannya juga disebut sebagai maling cabul. Namun apa boleh buat, pada kenyataannya Linghu Chong memang pernah duduk semeja dengan Tian Boguang.
Murid Taishan itu melanjutkan, “Akan tetapi di luar Kota Hengyang, kami menemukan sesosok mayat yang pada bagian perutnya tertusuk sebilah pedang. Pada gagang pedang itu tertulis nama si maling cabul Linghu Chong.”
“Lalu, siapa pula yang mati?” tanya Tianmen sambil mencondongkan posisi duduknya.
Si murid Taishan menoleh ke arah Yu Canghai sambil menjawab, “Yang tewas adalah murid Pendeta Yu. Waktu itu kami tidak mengenalinya. Namun, setelah dibawa masuk ke Kota Hengshan, barulah ada orang yang mengenali mayat tersebut sebagai Luo Renjie....”
“Apa?” sahut Yu Canghai sambil bangkit dari tempat duduknya. “Jadi yang mati itu Renjie? Mana, mana jasadnya?”
“Di sebelah sini,” sahut seseorang di luar ruangan.
Yu Canghai benar-benar pandai menahan perasaan. Meskipun berita buruk ini sangat tiba-tiba dan mengejutkannya, serta yang terbunuh adalah salah satu dari Ying Xiong Hao Jie, atau Empat Jagoan Qingcheng, namun ia tetap terlihat tenang.
“Tolong, jenazah muridku dibawa masuk kemari,” katanya kemudian.
“Baik,” jawab suara dari luar. Tidak lama kemudian dua orang laki-laki yang masing-masing berseragam Hengshan dan Qingcheng masuk ke dalam ruangan. Mereka terlihat mengusung selembar papan pintu di mana sesosok mayat terbaring di atasnya. Sebilah pedang tampak menusuk perut mayat itu mulai bagian perut kemudian miring ke atas sampai menembus tenggorokan. Pedang tersebut panjangnya lebih dari satu meter, namun yang terlihat hanya tinggal gagangnya saja. Pemandangan tersebut mau tidak mau membuat ngeri para hadirin, meskipun banyak di antara mereka yang berpengalaman luas di dunia persilatan.
“Linghu Chong, hm, Linghu Chong, betapa biadab kau....” gerutu Yu Canghai sambil berjongkok di samping mayat Luo Renjie.
Si murid Taishan kembali berkata, “Paman Tianbai saat ini melanjutkan pencarian terhadap kedua maling cabul itu. Namun, sebaiknya satu atau dua paman dari sini ikut pergi memberi bantuan.”
Biksuni Dingyi dan Yu Canghai serentak menjawab, “Aku saja yang berangkat!”
Tiba-tiba dari luar terdengar suara lembut seorang perempuan berteriak, “Guru, saya datang!”
Dingyi yang mengenali suara itu langsung menjawab, “Apakah itu Yilin? Lekas masuk kemari!”
Serentak semua orang menoleh ke arah pintu untuk melihat seperti apa wajah biksuni belia yang konon diculik dua maling cabul tersebut. Begitu pintu ruangan terbuka, mereka langsung terbelalak menyaksikan seorang biksuni muda melangkah masuk ke dalam ruangan. Ternyata wajah biksuni bernama Yilin ini memang benar-benar cantik jelita. Tidak seorang pun dari para hadirin yang merasa keberatan andaikata ada yang memuji betapa kecantikan Yilin tidak kalah dibandingkan bidadari kahyangan. Usia biksuni muda ini baru sekitar enam belas tahun, dan tubuhnya terlihat langsing meskipun tertutup jubah longgar.
Begitu sampai di hadapan Dingyi, segera Yilin berlutut dengan lemah gemulai. Ia kemudian berkata, “Guru....” Namun baru satu kata terucap ia langsung menangis.
Dingyi menyahut, “Kau... apa yang terjadi denganmu? Bagaimana kau bisa meloloskan diri?”
“Guru, kali ini... kali ini hampir saja saya tidak bisa bertemu Guru lagi,” jawabnya sambil mencucurkan air mata. Suaranya terdengar lembut, sementara kedua tangannya yang memegangi lengan baju Dingyi tampak putih bersih dan sangat menawan.
Diam-diam para hadirin banyak yang berpikir, “Bagaimana gadis secantik ini bisa menjadi biksuni?”
Hanya Yu Canghai saja yang melihat biksuni muda itu dengan sekilas pandang. Kedua matanya lantas kembali mengamati pedang yang menancap di perut Luo Renjie. Pada gagang pedang itu teruntai hiasan benang berwarna hijau, dan pada permukaan bilah pedang di dekat gagang terukir beberapa huruf yang berbunyi: “Huashan – Linghu Chong”.
Yu Canghai kemudian membandingkannya dengan pedang yang tergantung di pinggang Lao Denuo. Keduanya sama persis. Tanpa banyak bicara, pendeta bertubuh pendek itu melompat maju untuk mencolok mata Lao Denuo menggunakan jari tangan kirinya. Serangan ini begitu cepat dan juga sangat keji. Tahu-tahu kedua ujung jari Yu Canghai sudah menempel di pelupuk mata murid Huashan nomor dua tersebut.
Lao Denuo terkesiap dan langsung menangkis menggunakan jurus Obor Menerangi Langit. Namun Yu Canghai menyeringai dan segera memutar tangan kirinya sehingga kedua tangan Lao Denuo berhasil ditangkapnya. Menyusul kemudian tangan kanannya bergerak pula merebut pedang yang tergantung di pinggang lawan.
Lao Denuo meronta untuk membebaskan diri dari cengkeraman Yu Canghai namun sia-sia. Dalam waktu sekejap pedang miliknya itu sudah dipergunakan Yu Canghai untuk mengancam dadanya.
“Saya... saya....” ujar Lao Denuo kebingungan.
Sambil menodong, Yu Canghai mengamati pula pedang di tangannya itu. Tampak sebuah ukiran beberapa huruf di batang pedang berbunyi: “Huashan – Lao Denuo”. Bentuk dan ukuran pedang ini pun sama persis dengan yang menancap di perut Luo Renjie. Perlahan-lahan, ia menggeser pedang di tangannya agak ke bawah sehingga ujungnya menempel di perut Lao Denuo sambil berkata, “Hm, apa nama jurus yang dipakai Perguruan Huashan kalian yang mulia untuk membunuh muridku?”
Keringat dingin mengalir membasahi dahi Lao Denuo. Namun demikian, ia masih tetap berusaha tenang, meskipun menjawab dengan suara gemetar, “Perguruan... perguruan kami tidak memiliki jurus seperti itu.”
Dalam hati Yu Canghai merasa heran membayangkan bagaimana cara Linghu Chong menusuk Luo Renjie. Ia berpikir, “Apakah Linghu Chong berjongkok terlebih dulu untuk kemudian menusuk perut Renjie sampai menembus tenggorokan? Yang lebih mengherankan, mengapa dia meninggalkan pedangnya begitu saja sehingga mudah dikenali orang? Apakah Linghu Chong sengaja menantang Perguruan Qingcheng terang-terangan?”
Tiba-tiba Yilin berseru, “Mohon Paman Yu mengampuni Kakak Linghu. Jurus yang ia gunakan sungguh bukan jurus pedang Perguruan Huashan.”
Yu Canghai menoleh ke arah Dingyi dan berkata dengan wajah mengejek, “Biksuni, apa kau dengar ucapan muridmu tadi? Bagaimana cara dia memanggil si bajingan Linghu Chong tadi?”
Dingyi justru menyahut dengan galak, “Apa kau pikir aku ini tuli, hah? Sudah jelas aku mendengarnya sendiri!”
Biksuni tua ini benar-benar memiliki sifat tak mau kalah. Sebenarnya ia hampir saja membentak Yilin karena menyebut “Kakak Linghu”. Namun karena Yu Canghai lebih dulu menegur dengan lagak kurang sopan, ia pun tersinggung dan berbalik membela Yilin.
Dingyi melanjutkan, “Lima perguruan pedang telah berserikat menjadi satu dan saling mengangkat saudara. Wajar saja kalau muridku yang masih muda ini memanggil Linghu Chong dengan sebutan ‘kakak’. Memangnya menurutmu ada yang aneh?”
“Boleh juga, boleh juga,” ujar Yu Canghai mencibir sambil menghimpun tenaga. Sekejap kemudian tangannya mendorong tubuh Lao Denuo ke belakang. Seketika pria tua berambut putih itu melayang dan membentur dinding ruangan. Dinding itu langsung retak dan debu pun bertaburan di udara.
“Huh, apa kau pikir aku tidak tahu perbuatanmu?” bentak Yu Canghai. “Kenapa kau buntuti aku sepanjang jalan? Apa sebenarnya tujuanmu mengintai diriku?”
Lao Denuo mencoba bangkit namun kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh kembali. Perutnya terasa mual dan matanya berkunang-kunang akibat dorongan Yu Canghai tadi. Tanpa daya, ia pun duduk di lantai sambil berpikir, “Celaka, ternyata keparat pendek ini mengetahui kalau aku dan Adik Kecil telah mengintai perbuatannya.”
Dingyi tidak terlalu peduli terhadap kemarahan Yu Canghai. Ia kembali bertanya kepada muridnya, “Yilin, coba kau ceritakan dengan jelas bagaimana dirimu bisa jatuh ke tangan Tian Boguang dan Linghu Chong?” Usai berkata demikian ia pun menggandeng tangan Yilin menuju pintu keluar.
Para hadirin merasa maklum atas sikap Dingyi. Muridnya yang masih muda dan cantik telah jatuh ke tangan penjahat cabul bernama Tian Boguang, sudah tentu sulit mempertahankan kesuciannya. Cerita yang selengkapnya jelas tidak pantas jika disampaikan di depan umum. Maka itu, wajar saja jika Yilin hendak dibawa menuju ke suatu tempat yang lebih tertutup untuk ditanyai secera terperinci.
Akan tetapi, Yu Canghai tiba-tiba melompat ke dekat pintu menghadang kedua biksuni tersebut. Ia berkata, “Masalah ini sudah merenggut dua nyawa. Hendaknya Biksuni Yilin bicara di sini saja agar kami semua ikut mendengarnya. Kalau yang terbunuh adalah Keponakan Chi, mungkin Pendeta Tianmen tidak terlalu memikirkannya; karena di antara murid-murid Serikat Pedang Lima Gunung sudah saling mengangkat saudara. Akan tetapi, muridku yang bernama Luo Renjie memang tidak sebanding untuk mengaku saudara terhadap Linghu Chong.”
Biksuni Dingyi seorang perempuan tua berwatak keras. Bahkan kedua kakak seperguruannya, yaitu Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingxian biasa mengalah kepadanya. Kali ini di depan umum ia disindir secara langsung oleh Yu Canghai, sudah tentu amarahnya terusik. Wajahnya terlihat merah padam dan tangannya bersiap melayangkan pukulan.
Liu Zhengfeng sudah lama mengenal Dingyi sehingga hafal dengan perilaku biksuni tua ini. Baik Dingyi maupun Yu Canghai sama-sama tokoh papan atas di dunia persilatan. Apabila keduanya sampai bertarung, tentu akibatnya benar-benar mengerikan. Maka itu, sang tuan rumah tersebut segera bergegas menengahi kedua pihak sambil membungkuk hormat.
“Kakak berdua adalah tamu kehormatanku. Bagaimanapun juga hendaknya kalian memandang kepadaku. Tolong jangan bertengkar sekarang. Memang kuakui pelayananku sangat jauh dari memuaskan. Untuk itu, mohon dimaafkan,” ujar Liu Zhengfeng.
“Adik Liu, kau ini bicara apa?” sahut Dingyi. “Aku benar-benar muak terhadap si hidung kerbau ini yang mencoba merintangi jalanku. Padahal, aku hanya ingin bicara empat mata dengan muridku seorang.”
Hidung kerbau adalah sebutan untuk mengejek kaum pendeta agama Tao.
Sebenarnya Yu Canghai sendiri juga agak segan terhadap Dingyi dan tidak yakin menang apabila benar-benar bertarung melawannya. Andaikata hari ini ia bisa mengalahkan Dingyi, tetap saja kakak seperguruan sang biksuni yang bernama Dingxian tidak akan tinggal diam begitu saja. Meskipun Dingxian terkenal ramah dan rendah hati, namun kesaktiannya jauh lebih hebat daripada sang adik. Jika Perguruan Henshan sampai mengangkat senjata, tentu Perguruan Qingcheng berada dalam masalah besar.
Menyadari hal itu Yu Canghai pun tersenyum pahit sambil berkata, “Aku hanya berharap Biksuni Yilin sudi menceritakan kematian muridku di sini. Sama sekali Yu Canghai tidak berani merintangi tokoh besar dari Biara Awan Putih.” Perlahan-lahan ketua Perguruan Qingcheng itu kembali duduk di atas kursinya.
Dingyi sendiri juga kembali ke tempat duduknya sambil menggandeng Yilin. Ia kemudian berkata, “Coba kau ceritakan apa yang telah terjadi.” Khawatir muridnya yang masih belia itu bercerita melampaui batas sehingga mencemarkan nama baik Perguruan Henshan, ia pun menambahkan, “Ceritakan seperlunya saja. Ambil bagian-bagian yang kau anggap penting.”
“Baik, Guru!” jawab Yilin sambil mengangguk. “Mohon Guru sudi membunuh penjahat bernama Tian Boguang itu. Dia sudah... dia sudah....”
“Ya, aku paham. Kau tidak perlu menjelaskannya secara rinci. Aku sudah paham maksudmu,” sela Dingyi menukas. “Aku pasti akan membunuh si keparat Tian Boguang dan Linghu Chong....”
“Hah, Kakak Linghu?” tanya Yilin dengan sorot mata tajam. “Mengapa Guru ingin membunuh Kakak Linghu? Dia....” Mendadak air matanya berlinang-linang di pipi saat melanjutkan, “Dia sudah... dia sudah meninggal....”
Seketika semua orang terkejut mendengar ucapan Yilin. Pendeta Tianmen langsung bangkit dan bertanya dengan suara keras, “Bagaimana dia bisa mati? Siapa yang telah membunuhnya?”
“Pembunuhnya adalah....” jawab Yilin sambil menunjuk mayat Luo Renjie. “Pembunuhnya adalah dia... orang jahat dari Qingcheng itu!”

Yilin menunjuk mayat Luo Renjie.
Mendengar berita itu kemarahan Tianmen langsung reda. Sebaliknya, Yu Canghai merasa senang karena Luo Renjie tidak mati sia-sia. Diam-diam ia berpikir, “Jadi, keduanya bertarung habis-habisan sampai mati bersama. Hm, Renjie memang pantas disebut sebagai salah satu dari Empat Jagoan Qingcheng. Benar-benar tidak mengecewakan perguruan.”
Tiba-tiba Yu Canghai terkesiap dan memandang Yilin dengan sorot mata tajam. Ia lantas berkata, “Jadi menurutmu, semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung adalah orang baik, sedangkan murid Perguruan Qingcheng adalah orang jahat, begitu?”
“Entahlah,” jawab Yilin sambil menangis. “Aku tidak berbicara tentang Paman Yu. Yang kumaksud orang jahat adalah dia.” Kali ini ia menunjuk mayat Luo Renjie sekali lagi.
Dingyi kembali naik darah dan membentak Yu Canghai, “Memangnya kau mau menakut-nakuti anak kecil?” Biksuni tua itu lalu menepuk-nepuk punggung Yilin dan berkata, “Yilin, kau jangan takut; gurumu ada di sini. Tidak seorang pun boleh menyakitimu.”
Yu Canghai kembali berkata, “Seorang biarawati tidak boleh berdusta. Apa kau berani bersumpah atas nama Sang Buddha bahwa ceritamu benar, Biksuni kecil?” Rupanya ia khawatir jangan-jangan Yilin bercerita atas desakan gurunya sehingga berkata yang tidak-tidak mengenai Luo Renjie. Meskipun Linghu Chong dan Luo Renjie sama-sama terbunuh, namun tidak ada seorang pun di antara para hadirin yang menyaksikannya; sehingga cerita dari Yilin benar-benar menjadi sumber utama.
“Jangankan di hadapan Sang Buddha, di hadapan Guru sekalipun saya tidak berani berdusta,” jawab Yilin. Ia kemudian berlutut dengan wajah menghadap pintu keluar, kemudian menguncupkan kedua tangannya sambil berkata, “Di hadapan Guru dan Paman Guru sekalian, Yilin bersumpah akan menceritakan kejadian yang sebenar-benarnya. Sang Buddha mahaadil apabila Yilin sampai berdusta.”
Setiap orang dapat melihat dengan jelas ketulusan dan kejujuran Yilin di balik gerak-geriknya yang serbalembut itu. Seorang tamu berjanggut hitam, berusia lima puluhan, serta berpakaian sarjana menyahut, “Jika Nona Biksuni berkata demikian, sudah pasti kami percaya.”
Dingyi pun berkata sambil memandang Yu Canghai, “Kau dengar itu, hidung kerbau? Tuan Wen pun berkata demikian. Apa lagi yang membuatmu sangsi?”
Rupanya Dingyi mengenali pria berpakaian sarjana itu bermarga Wen. Siapa nama lengkapnya tidak seorang pun yang tahu, dan semua orang hanya memanggilnya Tuan Wen. Tokoh ini merupakan jago silat terkenal dari Provinsi Shanxi yang bersenjatakan sepasang pena logam. Para pesilat yang bersenjatakan seperti ini pada umunya mahir dalam ilmu menotok titik nadi lawan.
Kini semua mata tertuju kepada Yilin. Wajahnya yang agung tampak bercahaya seolah menerangi segenap penjuru ruangan. Hampir semua para hadirin membayangkan wajah biksuni muda ini bagaikan mutiara yang halus licin tanpa cacad. Bahkan, Yu Canghai pun berpikir, “Biksuni cilik ini sepertinya memang berhati bersih. Kata-katanya tentu bisa dipercaya.”
Suasana begitu hening. Tak seorang pun dari para hadirin yang mencoba bersuara. Masing-masing menunggu cerita yang akan disampaikan Yilin.
Selang sejenak Yilin mengawali kisahnya, “Kemarin siang, saya ikut dalam rombongan Guru dan para kakak menuju ke rumah Paman Liu ini. Sempat turun hujan deras ketika rombongan kami hampir sampai di Kota Hengyang. Ketika menuruni jalanan perbukitan, saya kurang hati-hati sehingga terpeleset jatuh dengan tangan menyangga tubuh. Akibatnya, kedua tangan saya kotor terkena lumpur. Begitu sampai di bawah bukit, saya memisahkan diri dari rombongan untuk membersihkan tangan karena melihat ada sungai kecil di sana.
Tiba-tiba saya melihat bayangan seorang laki-laki di permukaan sungai, berdiri di belakang bayangan saya. Saya terkejut dan mencoba berdiri namun punggung terasa sakit dan kesemutan. Rupanya orang itu telah menotok titik nadi di punggung saya sehingga tubuh pun lumpuh seketika. Saya ingin berteriak tapi tidak bisa bersuara. Tidak hanya titik gerak, orang itu juga menotok titik bisu saya. Kemudian, tubuh saya diangkat dan dibawanya berjalan sejauh ratusan meter. Sampai akhirnya, orang itu membawa saya masuk ke dalam gua. Waktu itu saya benar-benar takut, namun sedikit pun tidak mampu bergerak ataupun bersuara.
Tidak lama kemudian saya mendengar suara tiga orang kakak seperguruan berpencar memanggil-manggil nama saya, ‘Yilin, Yilin, di mana kau?’. Orang itu hanya tertawa pelan dan berkata lirih, ‘Jika kakak-kakakmu masuk kemari, mereka akan kutangkap sekalian.’ Namun ketiga kakak ternyata tidak masuk ke dalam gua tetapi menuju ke arah lain.
Setelah keadaan kembali sepi, orang itu membuka totokannya sehingga saya bisa bergerak bebas. Sekuat tenaga saya mencoba melarikan diri namun orang itu tahu-tahu sudah berdiri di mulut gua. Akibatnya, saya pun menabrak dadanya dan dia berkata, ‘Apa kau pikir bisa lari dari sini, hah?’
Saya lantas melompat mundur dan melolos pedang. Namun karena orang itu tidak menyakiti saya, saya pun tidak mungkin menyakitinya. Apalagi sebagai seorang pengikut Buddha harus mengutamakan sifat welas asih. Maka itu saya hanya mengancam, ‘Pergi kau! Kenapa menggangguku? Cepat menyingkir! Jika kau merintangi jalanku, maka aku... aku akan menusukmu!’
Orang itu hanya tertawa dan menjawab, ‘Biksuni cilik, kau ini sangat baik hati. Mana mungkin kau tega melukai kulitku? Kalau kau berani, tikam saja dadaku ini.’
Saya menjawab, ‘Kita tidak saling mengenal dan tidak saling bermusuhan. Kenapa pula aku harus membunuhmu?’
Orang itu tertawa dan berkata, ‘Bagus sekali! Kalau begitu, marilah kita duduk dan bercakap-cakap di sini.’
Saya berkata, ‘Guru dan para kakak sedang mencariku. Lagipula, Guru tidak mengizinkan aku bercakap-cakap dengan sembarang laki-laki.’
Orang itu menyahut, ‘Tapi bukankah kau sudah melakukannya? Apa bedanya berbicara lama atau sebentar?’
Orang itu terus mendesak, sehingga saya kembali mengancam, ‘Jangan mendekat! Apa kau tidak tahu guruku sangat sakti? Jika Guru sampai tahu perbuatanmu, maka Beliau pasti akan mematahkan kedua kakimu. Guruku yang sakti akan datang mencarimu.’
Tapi orang itu menjawab, ‘Silakan saja kalau dia ingin mencariku. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik kepadanya. Dia sudah tua. Aku tidak suka....’”
“Omong kosong!” bentak Dingyi menukas cerita Yilin. “Kau bahkan mengingat semua perkatannya; sampai-sampai ocehan gila juga kau ceritakan di sini!”
Para hadirin merasa geli dan ingin sekali tertawa. Namun, mereka tidak berani tersenyum sedikit pun karena segan terhadap Dingyi yang bermuka merah menahan malu. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha memasang wajah serius menunggu kelanjutan cerita Yilin.
Yilin sendiri tampak menanggapi sang guru dengan nada polos, “Tapi dia benar-benar bicara seperti itu.”
“Baiklah, baiklah, kata-kata seperti ini jangan kau ulangi lagi,” ujar Dingyi setelah agak tenang. “Ceritakan saja secara ringkas dan jelas. Ceritakan bagaimana kau bisa bertemu Linghu Chong.”
“Baiklah,” lanjut Yilin. “Orang itu kemudian bicara macam-macam; antara lain, dia bilang kalau wajah saya sangat cantik. Dia juga mengajak saya tidur bersama....”
“Hentikan!” kembali Dingyi membentak. “Anak kecil tidak boleh bicara sembarangan!”
“Tapi dia yang bicara seperti itu, Guru” sahut Yilin polos. “Saya sendiri tidak mau menerima ajakannya itu, dan saya tidak tidur....”
“Diam kataku!” bentak Dingyi lebih keras.
Murid Qingcheng yang membawa masuk jasad Luo Renjie tadi tak kuasa menahan geli. Ia pun tertawa terbahak-bahak mengejutkan semua orang. Tentu saja ini membuat Dingyi semakin murka. Biksuni tua itu lantas menyambar cawan teh di atas meja dan menyiramkan isinya ke arah pemuda itu. Gerakan tersebut disertai tenaga dalam sehingga air teh di dalam cangkir secara cepat dan tepat menyiram wajah si murid Qingcheng tanpa tercecer di lantai sedikit pun. Sebaliknya, pemuda itu tidak sempat menghindar sehingga ia pun menjerit kepanasan.
Yu Canghai marah melihat perbuatan Dingyi. Ia pun membentak, “Apa-apaan ini? Muridmu boleh bercerita tapi muridku tidak boleh tertawa. Dasar ingin menang sendiri.”
Dingyi memandangi Yu Canghai sambil memiringkan wajah, kemudian berkata galak, “Dingyi dari Henshan sudah sejak dulu suka menang sendiri. Memangnya baru sekarang kau tahu?” Usai berkata demikian ia lantas mengangkat cawan kosong untuk dilemparkan ke arah Yu Canghai. Namun ketua Perguruan Qingcheng itu memalingkan muka seolah tak peduli.
Melihat kepercayaan diri Yu Canghai yang begitu besar, ditambah ilmu silatnya yang sangat tinggi, diam-diam Dingyi merasa segan juga. Perlahan, ia pun meletakkan kembali cawan teh di atas meja dan berkata, “Yilin, lanjutkan ceritamu kembali. Kalimat yang tidak penting tidak perlu kau sampaikan!”
“Baik, Guru,” sahut Yilin. “Beberapa kali saya mencoba melarikan diri namun orang itu selalu dapat menghadang saya. Hari pun semakin gelap dan saya semakin gelisah. Akhirnya, saya nekad menusuk orang itu menggunakan pedang. Terpaksa saya melanggar pantangan membunuh karena terdesak, meskipun dalam hati merasa tidak tega. Namun orang itu dengan cepat menghindar dan meraih... meraih pinggang saya. Saya terkesiap dan berkelit ke samping. Tahu-tahu, pedang saya sudah berhasil direbutnya. Guru, ilmu silat orang itu sangat hebat. Dia memegang pedang saya dengan tangan kanan, lalu mematahkan ujung pedang saya menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Ujung pedang saya pun patah sepanjang dua senti.”
“Dia mematahkan ujung pedangmu sepanjang dua senti?” sahut Dingyi tak percaya.
“Benar,” jawab Yilin.
Biksuni Dingyi dan Pendeta Tianmen saling pandang. Keduanya sama-sama berpikir bahwa penjahat ini benar-benar hebat. Apabila yang dipatahkannya adalah bagian tengah pedang, maka hal itu sudah biasa. Akan tetapi orang ini bisa mematahkan ujung pedang dengan dua jari sepanjang dua senti saja; sungguh kekuatan yang menakjubkan.

Yilin mengancam si maling cabul.
(Bersambung)

bagian 8 ; halaman muka ; bagian 10