Bagian 41 - Keluarga Golok Emas Wang

Wang Yuanba menyambut kedatangan Yue Buqun.

Beberapa hari kemudian rombongan orang-orang Huashan itu sudah sampai di kota Luoyang dan bermalam di sebuah penginapan yang cukup besar. Seorang diri Lin Pingzhi mendahului berangkat menuju ke rumah kakeknya.

Sementara itu Yue Buqun dan yang lain sudah mengganti pakaian mereka dengan yang lebih bersih. Sebaliknya, Linghu Chong yang memang sejak awal tanpa persiapan untuk mengikuti perjalanan masih tetap memakai pakaian kotor yang ia gunakan pada pertempuran di kuil tua tempo hari.

Yue Lingshan kemudian datang ke kamar Linghu Chong sambil membawa seperangkat pakaian bersih. Gadis itu berkata, “Kakak Pertama, silakan pakai baju ini!”

“Bukankah ini pakaian Guru?” sahut Linghu Chong. “Mengapa kau berikan kepadaku?”

“Sebentar lagi kita diundang pergi ke rumah keluarga kakek Lin Kecil. Lekas kau ganti pakaianmu dengan pakaian ayah yang lebih bersih ini,” pinta Yue Lingshan.

“Siapa bilang kalau ke rumah orang harus memakai pakaian yang bagus?” sahut Linghu Chong sambil mengamati penampilan Yue Lingshan dari atas ke bawah.

Ternyata hari itu Yue Lingshan berdandan begitu rapi, memakai baju sutera berbungkus kain kapas tipis dan berkain satin warna hijau muda. Wajahnya berbedak dan bergincu tipis sehingga makin menambah kecantikannya. Rambutnya yang hitam pun tersisir rapi mengkilap, dengan tusuk kundai yang berhias bunga dengan untaian mutiara.

Biasanya Yue Lingshan berdandan sedemikian rupa hanya sewaktu merayakan tahun baru. Namun sekarang hanya pergi ke rumah keluarga Lin Pingzhi saja ia sudah tampil secantik ini. Ingin sekali Linghu Chong mengeluarkan kata-kata sindiran, namun kemudian ia berpikir bahwa seorang laki-laki sejati tidak sepantasnya berbuat sedemikian picik.

Sebaliknya, Yue Lingshan merasa rikuh karena dipandangi seperti itu. Ia pun berkata, “Jika kau tidak mau berganti pakaian, ya sudah!”

“Benar. Aku tidak biasa memakai baju baru. Aku pakai ini saja. Terima kasih,” jawab Linghu Chong.

Yue Lingshan tidak ingin adu pendapat lebih lama lagi. Ia pun membawa kembali pakaian tersebut ke kamar sang ayah.

Tidak lama kemudian terdengar suara seseorang yang nyaring dan keras sedang berseru di luar penginapan, “Jauh-jauh Ketua Yue berkunjung kemari, tapi saya tidak melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Sungguh sangat tidak sopan.”

Yue Buqun yakin kalau itu adalah suara Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding. Setelah tersenyum kepada istrinya, ia pun melangkah keluar. Tampak kemudian olehnya seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun yang menyambut dengan penuh hormat. Laki-laki tua itu berwajah kemerah-merahan dan bercahaya, dengan janggut berwarna putih panjang. Sungguh sosok yang terlihat sehat dan berwibawa. Tangan kiri orang tua itu sibuk memainkan dua butir bola emas yang masing-masing sebesar telur angsa. Jika orang lain pada umumnya hanya memainkan bola dari besi atau baja untuk melatih tangannya, namun Wang Yuanba menggunakan bola dari emas murni. Tidak hanya ukurannya yang dua kali lebih besar daripada bola besi yang biasa dijumpai, tetapi harganya juga tentu lebih mahal.

Begitu melihat Yue Buqun keluar dari kamar, segera Wang Yuanba tertawa dan berseru, “Selamat berjumpa! Nama besar Ketua Yue sudah terkenal di dunia persilatan. Hari ini Ketua Yue sudi berkunjung ke Luoyang, sungguh suatu kehormatan bagi kawan-kawan persilatan di daerah tengah sini.” Sambil berkata demikian, Wang Yuanba menyambut tangan Yue Buqun dan menjabatnya dengan penuh rasa gembira. Sikapnya terlihat tulus dan penuh simpati.

Yue Buqun tersenyum dan menjawab, “Kami suami-istri bersama para murid sengaja berkelana keluar dan berkunjung kepada para sahabat untuk mencari pengalaman. Justru tokoh pertama yang kami kunjungi adalah pendekar besar dari daerah tengah ini, Tuan Besar Wang si Golok Emas Tanpa Tanding. Kedatangan kami ini benar-benar terlalu mendadak dan sungguh lancang.”

Dengan suara keras Wang Yuanba berkata, “Julukan Si Golok Emas Tanpa Tanding tidak boleh diucapkan di depan Ketua Yue oleh siapa pun juga. Bagiku ini bukan sanjungan, tapi semacam penghinaan. Jika ada yang berani menyebut julukanku di depan Ketua Yue, sama saja dengan menempatkan diriku dalam masalah besar, hahaha. Ketua Yue sudi menerima cucuku sebagai murid. Budi baik Ketua Yue sungguh sulit dibalas. Mulai saat ini Perguruan Huashan dan Golok Emas adalah satu keluarga. Harap Ketua Yue beserta rombongan berkenan tinggal di rumahku sekurang-kurangnya selama setengah tahun. Siapa pun tidak boleh pergi meninggalkan Luoyang. Nah, Ketua Yue, biarlah kubawakan barang-barangmu!”

“Tidak, tidak! Saya tidak berani menerima penghormatan seperti ini. Mana mungkin kami berani merepotkan Tuan Besar Wang?” sahut Yue Buqun cepat.

Wang Yuanba segera berpaling dan berkata kepada dua orang putranya dan berkata, “Bofen dan Zhongqiang, lekas kalian memberi hormat kepada Paman dan Bibi Yue!”

Wang Bofen dan Wang Zhongqiang segera memenuhi perintah sang ayah. Mereka pun berlutut untuk memberi hormat kepada Yue Buqun suami-istri. Yue Buqun dan Ning Zhongze merasa rikuh. Buru-buru mereka berlutut pula untuk membalas penghormatan.

Yue Buqun berkata, “Sebutan ‘paman’ sama sekali aku tidak berani menerima. Kita ini satu angkatan. Aku adalah guru Lin Pingzhi, sedangkan kalian berdua adalah paman Lin Pingzhi.”

Wang Bofen dan Wang Zhongqiang adalah dua bersaudara yang memiliki nama besar di daerah Henan dan Hubei. Meskipun mereka sangat menghormati Yue Buqun, namun dalam hati sebenarnya merasa rikuh kalau harus memanggil “paman” kepadanya. Mereka memberikan penghormatan dengan berlutut adalah semata-mata karena perintah sang ayah. Maka ketika melihat Yue Buqun dan Ning Zhongze balas berlutut dan memberi hormat, kedua bersaudara itu merasa sangat gembira. Usai saling memberi hormat, keempat orang itu pun kembali berdiri.

Yue Buqun dapat melihat bahwa dua bersaudara di hadapannya sama-sama bertubuh tinggi. Hanya saja, Wang Zhongqiang terlihat lebih gemuk daripada Wang Bofen. Selain itu keduanya sama-sama bertubuh kekar dengan tonjolan otot yang terlihat jelas. Dapat dipastikan, mereka berdua memiliki kekuatan besar, baik itu tenaga dalam maupun tenaga luar.

Yue Buqun kemudian berkata kepada murid-muridnya, “Kalian semua lekas beri hormat kepada Kakek Guru dan kedua Paman Wang. Keluarga Golok Emas memiliki nama besar di antara kaum persilatan di kawasan tengah. Leluhur perguruan kita juga sangat menghormati Keluarga Golok Emas Wang. Kalian sangat beruntung apabila Kakek Guru dan kedua Paman Wang berkenan memberikan beberapa petunjuk. Aku yakin tentu sangat bermanfaat untuk kemajuan ilmu silat kalian.”

“Baik, Guru!” jawab para murid Huashan bersamaan. Serentak mereka pun berlutut di lantai dan memberikan penghormatan kepada Wang Yuanba dan kedua putranya. Wang Yuanba tampak tersenyum membalas hormat sambil berkata, “Adik Yue, kau mengolok-olok kami.” Kedua putranya pun membalas hormat pula.

Lin Pingzhi yang berdiri di sebelah sang kakek segera memperkenalkan para murid Huashan satu per satu. Keluarga Wang sungguh kaya raya. Wang Yuanba sudah mempersiapkan hadiah untuk para murid Huashan. Masing-masing dari mereka menerima empat tahil perak.

Ketika Lin Pingzhi memperkenalkan Yue Lingshan, Wang Yuanba pun tersenyum lebar dan berkata kepada Yue Buqun, “Adik Yue, putrimu ini benar-benar cantik. Apakah Adik Yue sudah mempunyai calon besan?”

“Ah, anak perempuan saya mash kecil. Lagipula anak gadis keluarga persilatan seperti kita ini hanya terkenal suka main golok dan mengayun pedang saja,” jawab Yue Buqun sambil tertawa. “Bicara tentang kepandaian menyulam, menjahit, atau memasak sama sekali dia tidak becus. Mana mungkin ada yang mau mengambil perawan liar seperti dia sebagai menantu?”

“Adik Yue terlalu merendah,” ujar Wang Yuanba. “Seorang pendekar hebat sudah pasti memiliki putri yang hebat pula. Pemuda dari keluarga biasa mana berani coba-coba mendekati putri Adik Yue? Tapi pendapatmu benar juga; anak perempuan memang sudah sepantasnya belajar sedikit keterampilan rumah tangga.”

Sampai di sini suara Wang Yuanba tiba-tiba terdengar serak dan lirih. Yue Buqun menyadari kalau orang tua itu sedang teringat pada putrinya yang telah meninggal, yaitu ibu Lin Pingzhi. Ia pun mengangguk setuju dengan menampilkan wajah prihatin.

Wang Yuanba yang berifat terbuka segera dapat mengatasi perasaannya. Ia pun tertawa dan berkata, “Adik Yue memiliki putri yang cantik dan berbakat. Rasanya akan sangat sulit menemukan pendekar muda yang pantas menjadi pendampingnya.”

Pada saat itu, Lao Denuo muncul dari dalam sambil memapah Linghu Chong. Secara mengejutkan, Linghu Chong tidak berlutut memberi hormat kepada Wang Yuanba dan kedua putranya, melainkan hanya membungkuk saja sambil berkata, “Linghu Chong memberi hormat kepada Kakek Guru Wang dan kedua Paman.”

“Kenapa kau tidak berlutut?” bentak Yue Buqun.

Sebelumnya Wang Yuanba sudah mendengar cerita dari Lin Pingzhi bahwa si kakak pertama sedang menderita luka dalam yang cukup parah. Maka, orang tua itu pun tersenyum dan menjawab, “Keponakan Linghu sedang sakit, tidak perlu baginya untuk terlalu banyak adat. Adik Yue, kabarnya ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan adalah yang paling hebat di antara Serikat Pedang Lima Gunung. Maka, kekuatanmu minum arak sudah tentu bagus pula. Oleh karena itu, aku mengundangmu minum beberapa cawan di rumah kami.”

Usai berkata demikian, Wang Yuanba segera menggandeng lengan Yue Buqun lalu keduanya pun melangkah keluar dari penginapan. Ning Zhongze, Wang Bofen, Wang Zhongqiang, dan yang lain mengikuti di belakang. Di luar ternyata sudah tersedia sejumlah kereta dan kuda; kereta untuk rombongan wanita, dan kuda untuk rombongan laki-laki. Jika dihitung baru dua jam sebelumnya Lin Pingzhi mengabarkan kedatangan rombongan Perguruan Huashan di kota Luoyang kepada sang kakek, namun keluarga Wang sudah mampu menyediakan kereta dan kuda sebanyak itu dan menempatkannya di depan penginapan untuk menghormati para tamu. Dari hal ini dapat dilihat betapa besar wibawa dan kekuasaan Wang Yuanba di kota Luoyang.

Akhirnya rombongan pun sampai di rumah keluarga Wang. Tampak sebuah gedung megah dengan pintu besar berwarna merah. Dua buah gelang tembaga terpasang pada tiap-tiap daun pintu dan tergosok bersih hingga terlihat mengkilap. Delapan laki-laki berbadan tegap tampak berdiri rapi di depan pintu dengan sikap penuh hormat. Mereka semua terdiam dengan kedua tangan di balik punggung yang menunjukkan sikap siap menerima perintah majikan.

Begitu masuk ke dalam terlihat sebuah papan besar terpampang pada sebuah belandar. Papan tersebut bertuliskan kalimat: “Turun Tangan Membela Keadilan”, yang merupakan hadiah dari gubernur Henan. Ternyata keluarga Wang bukan hanya terkenal di dunia persilatan, namun juga berhubungan baik dengan pembesar negeri setempat.

Malam itu Wang Yuanba mengadakan jamuan besar-besaran untuk menghormati Yue Buqun dan rombongannya. Ia juga mengundang tokoh-tokoh penting di kota Luoyang seperti kaum pendekar, kaum pengusaha, juga kaum seniman untuk ikut meramaikan acara dan menyambut kedatangan para tamu kehormatan. Linghu Chong selaku murid pertama Yue Buqun terlihat berwajah lesu dan berpenampilan kotor, compang-camping membuat para hadirin sempat bertanya-tanya dalam hati. Namun mereka berusaha memakluminya karena di dunia persilatan banyak tokoh sakti berpenampilan aneh. Bukankah para pemuka Partai Pengemis juga berpakaian kotor? Selain itu sebagai murid pertama Perguruan Huashan sudah tentu Linghu Chong memiliki ilmu silat tinggi, sehingga wajar kalau bersikap sesuka hati. Demikian pikir para hadirin membuat mereka tidak berani berpikiran macam-macam lagi.

Linghu Chong sendiri duduk semeja dengan Wang Bofen. Sudah tiga kali mereka meneguk arak, namun Linghu Chong tetap terlihat murung tanpa tersenyum sedikit pun. Bila Wang Bofen mengajak bicara, pemuda itu hanya menjawab dengan dingin dan cepat, seolah-olah tidak memedulikan si tuan rumah. Wang Bofen pun teringat kejadian di penginapan siang tadi di mana Linghu Chong adalah satu-satunya murid Huashan yang tidak berlutut pada Keluarga Wang, namun tidak menolak saat menerima hadiah empat puluh tahil perak. Hal ini membuatnya kurang senang. Buru-buru Wang Bofen mengganti tema pembicaraan dan kali ini seputar ilmu silat. Namun lagi-lagi Linghu Chong hanya menjawab “ya” atau “tidak” tanpa berkomentar lebih panjang.

Sesungguhnya Linghu Chong tidak bermaksud kurang sopan kepada Wang Bofen. Justru sebaliknya, ia merasa rendah diri melihat kekayaan Keluarga Wang. Sungguh bagaikan langit dan bumi. Apalagi melihat Lin Pingzhi yang mengenakan pakaian serbamahal dan serbabagus, membuatnya semakin rendah diri. Lin Pingzhi yang berwajah tampan dengan pakaian seperti itu sudah pasti terlihat semakin tampan.

Linghu Chong semakin prihatin dan berpikir, “Andai saja Adik Kecil tidak berjodoh dengan Adik Lin, dan memilih bersamaku, apa mungkin ia bisa hidup bahagia bersanding dengan orang miskin seperti aku ini?”

Karena pikirannya terbayang-bayang pada Yue Lingshan, membuat apa yang diucapkan Wang Bofen sama sekali tidak dihiraukannya. Padahal, di wilayah tengah setiap orang persilatan sangat segan kepada Wang Bofen, dan ingin mengambil hati putra Wang Yuanba tersebut. Tapi malam ini ia sangat merasa terhina oleh perlakuan seorang pemuda dekil yang acuh tak acuh kepadanya.

Andai saja tidak teringat pada saudarinya yang telah meninggal, yaitu ibu Lin Pingzhi, tentu Wang Bofen tidak sudi menjamu Linghu Chong yang duduk di sampingnya. Di samping itu ayahnya juga sangat menghormati Perguruan Huashan membuat Wang Bofen berjuang keras menahan amarah ketika menuangkan arak untuk Linghu Chong sambil pura-pura tersenyum.

Meskipun acuh tak acuh jika diajak berbicara, namun Linghu Chong tidak pernah menolak cawan arak yang disuguhkan kepadanya. Tanpa terasa ia sudah meneguk habis empat puluh cawan arak yang disodorkan Wang Bofen. Biasanya Linghu Chong sangat kuat minum. Namun karena saat ini ia sudah kehilangan tenaga dalam, serta pikirannya sedang kalut, maka kekuatannya pun berkurang banyak. Maka, baru saja melewati cawan kelima puluh, ia sudah mulai terlihat pusing.

Diam-diam Wang Bofen berpikir, “Dasar bocah tak tahu diri. Keponakanku adalah adik seperguruanmu, sehingga sudah seharusnya kau memanggilku paman. Baiklah, terserah kau memanggilku apa, tapi berani sekali kau bersikap acuh tak acuh kepadaku? Tidak masalah! Biarlah kucekoki mulutmu sampai mabuk berat, sehingga kau menjadi bahan tertawaan dalam perjamuan malam ini.”

Melihat mata Linghu Chong sudah berwarna merah dan kesadarannya juga semakin menurun, Wang Bofen pun tertawa dan berkata, “Adik Linghu adalah murid nomor satu Perguruan Huashan, seorang pendekar tangguh. Bukan hanya memiliki ilmu silat tinggi, namun kekuatan minumnya juga sangat hebat. Hei, pelayan! Singkirkan cawan kecil ini, dan bawakan mangkuk besar untuk Adik Linghu minum arak!”

Para pelayan pun datang membawa mangkuk dan langsung mengisinya dengan arak. Linghu Chong yang selama ini pantang menolak arak dari siapa saja segera menghabiskan isi mangkuk itu. Dalam waktu singkat, ia telah meneguk habis arak sebanyak enam mangkuk. Dalam keadaan mabuk, pemuda itu menyapu piring dan cangkir di atas meja dengan tangannya sehingga berjatuhan di lantai.

Para hadirin yang duduk semeja dengan Wang Bofen dan Linghu Choing segera berkata, “Pendekar Linghu sudah mabuk. Lekas minum secangkir teh panas sebagai penawar arak.”

“Mana mungkin murid pertama Perguruan Huashan mabuk secepat ini?” kata Wang Bofen. “Mari kita minum lagi, Adik Linghu!”

“Siapa bilang aku mabuk? Ayo kita minum lagi!” jawab Linghu Chong menanggapi. Ia kembali menuang arak semangkuk penuh dan meneguknya. Tampak setengah isi mangkuk itu berceceran membasahi baju pemuda itu.

Tiba-tiba Linghu Chong menggeliat. Mulutnya terbuka, dan mulai muntah-muntah. Dalam sekejap makanan dan minuman yang sudah masuk ke dalam perutnya keluar semua sehingga mengotori meja. Para hadirin yang semenja dengannya pun terkejut dan segera menyingkir. Sementara Wang Bofen hanya tertawa dingin. Dalam hati ia merasa senang karena tujuannya berhasil.

Serentak semua mata dalam ruangan tersebut memandang ke arah Linghu Chong. Demikian pula dengan Yue Buqun dan Ning Zhongze. Mereka berpikir, “Anak ini memang tidak cocok bergaul dengan kalangan atas. Membuat malu saja di depan tamu sebanyak ini.”

Lao Denuo dan Lin Pingzhi bergegas mendekat dan memapah Linghu Chong. “Kakak Pertama, mari kuantar beristirahat di kamar,” kata Lin Pingzhi.

“Aku tidak mabuk... aku tidak mabuk. Aku ingin minum lagi. Ambilkan... ambilkan arak!” sahut Linghu Chong tidak lancar.

“Baiklah! Baiklah!” seru Lin Pingzhi. “Pelayan, tolong ambilkan arak!”

Dengan matanya yang merah, Linghu Chong melirik Lin Pingzhi, dan berkata, “Kau... kau... Lin Kecil, kenapa tidak menemani Adik Kecil? Untuk apa kau memegangi aku?”

Dengan cepat Lao Denuo membujuk, “Kakak Pertama, marilah kembali ke kamar saja. Di sini banyak orang. Sebaiknya kita jangan sembarangan bicara.”

“Kau bilang apa? Sembarangan bicara?” bentak Linghu Chong. “Guru menugasimu mengawasi aku.... Bukti apa yang telah kau temukan?”

Khawatir Linghu Chong berbicara macam-macam lagi, Lao Denuo pun menarik tubuh kakak pertamanya itu dengan bantuan Lin Pingzhi dan membawanya masuk ke dalam kamar dengan agak memaksa. Yue Buqun sendiri terlihat gusar meskipun ia terkenal pandai mengendalikan perasaan.

“Adik Yue,” kata Wang Yuanba sambil tertawa. “Ocehan anak muda yang sedang mabuk untuk apa dihiraukan? Mari kita lanjutkan minum!”

 “Dia itu anak desa yang tidak berpengalaman. Hanya membuat malu saja. Mohon Tuan Besar Wang sudi memaafkan,” ujar Yue Buqun sambil memaksa tersenyum.

Setelah acara perjamuan berakhir, Yue Buqun melarang Lao Denuo mendekati Linghu Chong, tetapi cukup mengawasinya secara diam-diam saja.

Siang harinya Linghu Chong baru bangun dari tidur. Semua yang ia ucapkan tadi malam sama sekali tidak teringat olehnya. Yang ia rasakan hanyalah sakit kepala berdenyut-denyut sampai terasa seperti mau pecah. Ia kemudian melangkah keluar kamar. Tidak seorang pun adik seperguruannya yang terlihat. Dari para pelayan ia mendapat berita bahwa guru suami-istri dan adik-adiknya sedang berkumpul bersama murid-murid Keluarga Wang di ruang latihan.

“Untuk apa aku berkumpul bersama mereka? Lebih baik aku keluar saja,” ujar Linghu Chong dalam hati. Ia kemudian berangkat seorang diri.

Luoyang adalah bekas ibu kota kerajaan beberapa dinasti di masa lalu. Di kota itu terdapat banyak bangunan megah meskipun tidak terlalu ramai. Linghu Chong sendiri kurang terpelajar sehingga pengetahuannya tentang sejerah dan kebudayaan kuna juga sangat terbatas. Oleh karena itu, ia sama sekali tidak tertarik meskipun di kota itu banyak terdapat tempat-tempat bersejarah.

Pemuda itu hanya berjalan-jalan tanpa tujuan yang jelas hingga memasuki suatu lorong sempit. Di sebuah kedai kecil dilihatnya tujuh atau delapan orang gelandangan sedang bermain dadu. Ia lantas mendesak mereka untuk ikut bermain dengan bermodalkan beberapa tahil perak pemberian Wang Yuanba kemarin. Tidak sampai petang ia sudah kembali dalam keadaan mabuk, dan pulang dengan langkah sempoyongan.

Hari-hari berikutnya Linghu Chong menghabiskan waktunya dengan bermain dadu dan minum arak bersama kawanan gelandangan tersebut. Jika hari-hari pertama ia selalu menang, namun pada hari keempat ia kalah habis-habisan. Para gelandangan pun melarangnya bertaruh lebih lanjut.

Linghu Chong marah dan kemudian memesan arak. Namun setelah menghabiskan dua poci, pelayan kedai pun mendatanginya dan bertanya, “Hei, anak muda, kau sudah kalah judi. Uangmu sudah habis. Dengan cara apa kau akan membayar arak ini nanti?”

“Hutang dulu. Buatkan bon, besok aku bayar,” jawab Linghu Chong.

“Tidak bisa,” kata si pelayan sambil menggeleng. “Modal kedai kami kecil. Bahkan kenalan ataupun saudara, semuanya juga tidak boleh berhutang.”

Linghu Chong semakin gusar. Ia membentak, “Kurang ajar! Apa kau kira majikanmu ini tidak punya uang, hah?”

“Aku tidak peduli. Tunjukkan uangmu dulu, tidak boleh hutang! Pendek kata, ada uang ada arak,” sahut si pelayan galak.

Linghu Chong mengamati dirinya sendiri. Keadaan tubuh dan pakaiannya yang dekil sudah pasti tidak dapat meyakinkan si pelayan kalau ia seorang berharta. Selain pedang yang tergantung di pinggang, tidak ada lagi harta benda yang ia bawa karena uangnya sudah habis sama sekali. Maka ia pun meletakkan pedang itu di atas meja sambil berkata, “Baiklah, aku gadaikan ini saja!”

Seorang gelandangan yang ingin mengeruk keuntungan dari Linghu Chong buru-buru menukas, “Sini, biar aku bantu menggadaikannya.”

Linghu Chong pun menyerahkan pedang itu kepada si gelandangan. Dengan adanya jaminan itu, si pelayan pun membawakan dua poci arak kepadanya. Beberapa saat kemudian setelah Linghu Chong menghabiskan satu poci, si gelandangan datang dengan membawa uang perak dari pegadaian.

“Pedangmu laku tiga tahil dan empat ons perak,” ujar si gelandangan sambil memberikannya kepada Linghu Chong.

Linghu Chong menimbang-nimbang perak di tangannya yang terasa tidak lebih dari tiga tahil beratnya. Namun ia tidak peduli dan langsung memakainya untuk kembali bermain dadu. Ketika hari petang, uang tiga tahil empat ons tersebut sudah habis untuk membayar arak dan bermain dadu. Linghu Chong berkata pada salah seorang gelandangan yang bernama Chen si Sumbing, “Pinjami aku tiga tahil. Kalau menang akan kukembalikan dua kali lipat.”

“Kalau kau kalah bagaimana?” tanya Chen si Sumbing tertawa menyeringai.

“Kalau kalah akan kukembalikan besok,” jawab Linghu Chong.

“Huh, mana aku tahu kau ini punya uang di rumah atau tidak?” sahut Chen si Sumbing mengejek. “Kalau kau kalah lagi, apa kau akan menjual istrimu, atau adik perempuanmu?”

Kemarahan Linghu Chong meledak dan ia langsung menampar pipi Chen si Sumbing. Dalam keadaan mabuk berat, ia tidak mampu lagi menahan diri. Tangannya pun merampas beberapa tahil perak di depan mata geandangan itu.

“Bangsat! Bocah ini mau merampok!” seru Chen sambil mendekap mulutnya yang berdarah.

Para gelandangan serentak bangkit dan maju mengeroyok Linghu Chong. Mereka menghujani pemuda itu dengan pukulan dan tendangan. Kali ini Linghu Chong benar-benar tidak bisa berkutik. Selain tenaganya yang lemah, ia juga tidak memegang pedang. Hanya sekejap saja tubuhnya sudah babak belur dan hidungnya pun berdarah. Seorang pendekar sakti dikeroyok kaum gelandangan, bagaikan harimau dikeroyok kawanan anjing.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki rombongan berkuda. Salah seorang penunggangnya membentak keras, “Minggir! Minggir!” Bersamaan dengan itu ia melecutkan cambuknya mebuat para gelandangan berlari ketakutan.

Linghu Chong sendiri tergeletak tak berdaya di atas tanah. Mendadak terdengar suara seorang perempuan berteriak, “Hei, bukankah ini Kakak Pertama?” Suara yang lembut ini jelas suara Yue Lingshan.

“Coba aku lihat,” sahut seorang pemuda di sebelahnya, yang tidak lain adalah Lin Pingzhi.

Lin Pingzhi pun turun dari kuda untuk memeriksa Linghu Chong. “Kakak Pertama, apa yang terjadi padamu?” tanya pemuda itu.

Linghu Chong menggeleng dan menjawab singkat sambil tersenyum hambar, “Aku mabuk dan kalah judi.”

Lin Pingzhi buru-buru memapah kakak pertamanya itu naik ke atas kuda. Selain itu tampak pula sepupu-sepupu Lin Pingzhi, yaitu dua orang putri Wang Bofen dan dua orang putra Wang Zhongqiang. Rupanya mereka berenam berkuda sejak pagi mengunjungi tempat-tempat terkenal di Kota Luoyang. Pada sore harinya saat perjalanan pulang secara kebetulan menemukan Linghu Chong tersebut. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau akan bertemu Linghu Chong dalam keadaan babak belur di sebuah gang sempit yang kumuh.

Dalam hati keempat sepupu Lin Pingzhi itu merasa heran. Mereka berpikir, “Perguruan Huashan adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung yang sangat dihormati Kakek. Selama beberapa hari ini kami berlatih bersama murid-murid Huashan, ternyata hasilnya luar biasa. Mereka memperlihatkan ilmu silat yang sangat lihai. Bukankah Linghu Chong adalah murid pertama di Huashan? Tapi kenapa ia tidak bisa melawan para gelandangan itu? Apakah ia hanya berpura-pura? Tapi kalau dilihat tubuhnya yang babak belur, jelas ia tidak berpura-pura. Sungguh aneh!”

Setelah dibawa pulang ke kediaman Wang Yuanba, berangsur-angsur Linghu Chong pulih setelah beberapa hari beristirahat. Yue Buqun dan Ning Zhongze sangat marah mendengar ulah murid pertama mereka itu yang kalah berjudi dan juga berkelahi melawan para gelandangan sehingga keduanya tidak mau datang menjenguk.

Pada hari kelima putra bungsu Wang Zhongqiang yang bernama Wang Jiaju, masuk ke dalam kamar Linghu Chong dengan penuh semangat. Ia berkata, “Kakak Linghu, hari ini aku telah membalaskan dendammu. Tujuh orang gelandangan yang mengeroyokmu tempo hari sudah kuberi pelajaran yang setimpal.”

Dengan nada datar Linghu Chong menjawab, “Ah, sebenarnya tidak perlu seperti itu. Peristiwa tempo hari adalah salahku karena aku sedang mabuk. Aku juga yang memulai masalah itu.”

“Mana boleh begitu?” ujar Wang Jiaju. “Kakak Linghu adalah tamu Keluarga Golok Emas Wang, mana boleh sembarangan dipukuli orang di kota Luoyang ini? Jika kami tidak membalas kaum gelandangan itu, ke mana lagi muka Keluarga Golok Emas Wang harus ditaruh?”

Dalam hati Linghu Chong tidak pernah menyukai Keluarga Wang. Kini ia mendengar Wang Jiaju berkali-kali menonjolkan nama besar keluarganya seolah-olah sang kakek adalah penguasa nomor satu dunia persilatan. Dengan kesal ia pun berkata, “Terhadap kaum gelandangan itu apa perlu anggota Keluarga Wang turun tangan?”

Begitu ucapannya keluar, Linghu Chong sadar kalau hal ini akan berakibat kurang baik. Belum sempat ia meminta maaf, Wang Jiaju sudah menyahut dengan wajah kurang senang, “Kakak Linghu, apa maksud ucapanmu? Kalau tempo hari kami tidak menolongmu membubarkan kaum gelandangan itu, apakah kau masih hidup sampai sekarang?”

“Ya, aku memang berhutang budi pada kalian,” ujar Linghu Chong dengan senyum hambar.

Ucapan itu terdengar sebagai ejekan di telinga Wang Jiaju. Anak muda itu pun berkata mencemooh, “Kakak Linghu adalah murid nomor satu di Perguruan Huashan, tapi ternyata tidak mampu menghadapi beberapa gelandangan di kota Luoyang. Hehe, kalau sampai diketahui orang luar bukankah ini sangat memalukan?”

Linghu Chong yang sudah tidak peduli dengan dirinya hanya menjawab enteng, “Aku tidak peduli. Aku merasa tidak punya nama baik di dunia persilatan, untuk apa dipermasalahkan?”

Pada saat itulah dari luar kamar terdengar suara menyahut, “Adik, apa kau sedang berbicara dengan Kakak Linghu?” Ketika pintu terbuka ternyata yang datang adalah putra sulung Wang Zhongqiang, yang bernama Wang Jiajun.

Wang Jiaju menjawab, “Kakak, aku bermaksud baik mewakili dia menghajar kaum gelandangan itu. Eh, ternyata... Pendekar Linghu ini malah menuduhku suka ikut campur masalahnya.”

“Ah, rupanya Adik belum tahu,” kata Wang Jiajun. “Tadi aku mendengar dari Adik Yue, bahwa Kakak Linghu ini sebenarnya sangat sakti. Konon sewaktu kejadian di halaman sebuah kuil Budha Jamu, seorang diri ia bersenjatakan pedang bisa membutakan mata lima belas orang musuh tangguh dalam sekaligus. Ilmu pedangnya sungguh hebat. Hahaha. Sungguh hebat! Hahaha.” Dari suara tawanya jelas terlihat kalau ia sama sekali tidak percaya pada cerita Yue Lingshan.

Wang Jiaju ikut tertawa pula. Ia pun berkata, “Bisa jadi ilmu silat kelima belas musuh tangguh itu kalau dibandingkan dengan kaum gelandangan di kota Luoyang ini masih kalah jauh. Hahahaha!”

Menanggapi ejekan itu Linghu Chong bukannya marah tapi malah ikut tertawa dan kemudian duduk santai di atas kursi sambil memukul-mukul lututnya.

Melihat sikap Linghu Chong yang acuh tak acuh itu diam-diam Wang Jiajun merasa kesal. Sebenarnya ia diutus ayah dan pamannya untuk menanyai Linghu Chong. Baik Wang Bofen ataupun Wang Zhongqiang berpesan kepadanya supaya menggunakan bahasa yang sopan untuk mengorek keterangan karena bagaimanapun juga Linghu Chong adalah tamu Keluarga Wang. Namun melihat raut muka Linghu Chong yang seenaknya membuat Wang Jiajun tidak bisa menahan perasaan lagi. Ia pun bertanya dengan suara lantang, “Saudara Linghu, ada suatu urusan yang ingin kutanyakan padamu.”

“Bicara saja, jangan segan-segan,” sahut Linghu Chong.

Wang Jiajun melanjutkan, “Menurut cerita sepupuku Pingzhi, sebelum ayah dan ibunya meninggal, hanya Saudara Linghu saja yang menunggui Beliau berdua, benar begitu?”

“Benar sekali,” jawab Linghu Chong.

“Lalu apakah wasiat Paman Lin sebelum meninggal juga disampaikan kepada Saudara Linghu untuk diteruskan kepada Sepupu Pingzhi?” tanya Wang Jiajun lebih lanjut.

“Benar, tidak salah,” jawab Linghu Chong.

“Kalau begitu, di mana kitab Pedang Penakluk Iblis milik pamanku itu?”

“Apa katamu?” bentak Linghu Chong sambil melonjak bangun.

Khawatir Linghu Chong menyerang dirinya, Wang Jiajun pun mundur dua langkah, lalu berkata, “Kitab Pedang Penakluk Iblis yang diminta Paman Lin untuk kau serahkan pada Sepupu Pingzhi, kenapa sampai sekarang belum kau lakukan?”

Sungguh gusar perasaan Linghu Chong mendengar tuduhan itu. “Siapa... siapa yang bilang kalau... kitab Pedang Penakluk Iblis ada padaku? Siapa yang bilang... kalau wasiat Paman Lin berupa kitab itu?” teriaknya dengan suara gemetar.

“Jika tidak benar, kenapa kau terlihat begitu khawatir? Cara bicaramu saja sudah gemetaran,” ujar Wang Jiajun sambil tertawa mengejek.

Linghu Chong berusaha menahan diri. Ia pun bertanya, “Saudara Wang berdua, saat ini aku adalah tamu keluarga kalian. Apa yang kau lakukan ini apakah karena disuruh kakekmu, ayahmu, atau kalian sendiri?”

“Aku hanya iseng bertanya, kenapa harus panik?” ujar Wang Jiajun. “Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kakek dan ayahku. Hanya saja ilmu Pedang Penakluk Iblis sangat disegani di dunia persilatan. Secara mendadak Paman Lin meninggal dunia dan kitab pusaka yang selalu dibawanya ikut lenyap. Sebagai keluarga terdekat sudah tentu kami ingin mengusutnya.”

“Apakah Adik Lin yang menyuruhmu bertanya kepadaku? Kenapa bukan dia yang bertanya langsung?” desak Linghu Chong.

“Hehe, Sepupu Pingzhi adalah adik seperguruanmu. Mana mungkin dia berani bertanya terus terang kepadamu?” ujar Wang Jiajun sambil tertawa.

Linghu Chong pun berkata sambil tertawa dingin, “Dengan mengandalkan nama besar Keluarga Golok Emas Wang yang termasyhur di kota Luoyang ini, kalian bersama-sama hendak memaksa pengakuanku? Silakan, panggil Lin Pingzhi kemari!”

“Kau adalah tamu kehormatan Keluarga Wang kami. Istilah ‘memaksa pengakuan’ sungguh tidak bisa kami terima,” kata Wang Jiajun. “Kami bersaudara hanya terdorong rasa ingin tahu saja. Kami hanya iseng bertanya. Kalau Saudara Linghu sudi menjawab ya syukur, kalau tidak mau, ya apa boleh buat.”

“Baik. Aku tidak mau menjawab. Kalian boleh pergi,” sahut Linghu Chong ketus.

Wang Jiajun dan Wang Jiaju saling pandang dengan perasaan rikuh. Mereka tidak mengira Linghu Chong begitu kaku dan secepat itu mengakhiri pembicaraan. Setelah berdehem dua kali, Wang Jiajun mencoba membuka suara, “Saudara Linghu, kabarnya dalam sekali serang kau bisa membutakan mata lima belas orang musuh tangguh. Jurus serangan yang kau mainkan tersebut sangat hebat, dan bisa jadi berasal dari kitab Pedang Penakluk Iblis, bukan?”

Betapa terkejut hati Linghu Chong mendengar tuduhan Wang Jiajun. Keringat dingin pun membasahi sekujur tubuhnya saat ia berpikir, “Selama ini aku hanya bisa heran, mengapa Guru, Ibu Guru, dan adik-adikku semuanya tidak berterima kasih kepadaku karena telah aku selamatkan nyawa mereka di halaman kuil tempo hari, tetapi mereka justru menaruh curiga kepadaku? Sekarang semuanya sudah jelas. Ya, aku tahu sekarang! Ternyata mereka yakin kalau aku telah menggelapkan kitab Pedang Penakluk Iblis milik Lin Zhennan. Dikarenakan mereka tidak tahu menahu soal ilmu Sembilan Pedang Dugu, serta aku sendiri juga menolak menceritakan bahwa ilmu tersebut diajarkan oleh Kakek Guru Feng, maka sewaktu menyaksikan ilmu pedangku yang secara tiba-tiba berkembang sedemikian pesat setelah aku diasingkan di puncak Tebing Perenungan, dengan sendirinya mereka mengira aku telah mempelajari ilmu Pedang Penakluk Iblis secara diam-diam. Peristiwa meninggalnya Lin Zhennan dan munculnya Kakek Guru Feng boleh dibilang hampir bersamaan. Mereka tidak tahu menahu mengenai kemunculan Kakek Guru Feng, sedangkan sewaktu Lin Zhennan dan istrinya meninggal, hanya aku seorang diri yang menunggui mereka, dan hal ini hampir setiap orang Huashan mengetahuinya. Dengan sendirinya, setiap orang akan menuduh diriku telah menggelapkan kitab Pedang Penakluk Iblis yang merupakan warisan Lin Zhennan untuk Lin Pingzhi. Sayang sekali, Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil yang telah mengenal sifatku sejak lama mengapa tidak percaya kepadaku?  Hm, kalian benar-benar memandang rendah kepada Linghu Chong.”

Perjamuan makan malam di kediaman Keluarga Wang.
Lin Pingzhi dan Yue Lingshan menemukan Linghu Chong di jalanan.

Linghu Chong dituduh menggelapkan warisan Lin Zhennan.

(Bersambung)