Bagian 10 - Munculnya Sang Penolong


Tian Boguang hendak memerkosa Yilin.
Pendeta Tianmen lantas melolos pedang yang tergantung di pinggang muridnya, lalu mematahkan ujungnya sepanjang dua senti pula. “Seperti ini?” katanya kemudian.
“Wah, ternyata Paman Pendeta juga bisa,” jawab Yilin polos.
“Huh!” Tianmen mendengus sambil menyarungkan kembali pedang muridnya itu. Kemudian tangan kirinya melemparkan potongan ujung pedang tersebut ke atas meja sampai amblas ke dalam dan tidak terlihat lagi.
“Tenaga dalam Paman Pendeta sungguh luar biasa. Saya yakin, penjahat itu pasti tidak dapat melakukannya. Namun sayang....” ujar Yilin sambil kemudian menundukkan kepala. “Andai saja waktu itu Paman Pendeta berada di sana, mungkin Kakak Linghu tidak akan terluka parah.”
“Terluka parah bagaimana? Bukankah tadi kau bilang dia sudah mati?” tanya Tianmen.
“Justru itu. Gara-gara terluka parah, maka Kakak Linghu akhirnya bisa dibunuh oleh si penjahat Luo Renjie,” jawab Yilin.
Kembali Yu Canghai merasa tersinggung karena muridnya disebut sebagai “penjahat” seperti Tian Boguang. Ini berarti, Yilin menganggap Luo Renjie sama rendahnya dengan maling cabul tersebut.
Sementara itu para hadirin lainnya bertanya-tanya mengapa air mata Yilin kembali mengalir begitu teringat kepada nasib Linghu Chong. Andai saja Yilin bukan seorang biksuni, pasti Pendeta Tianmen, Liu Zhengfeng, He Sanqi, ataupun Tuan Wen sudah membelai kepala atau menepuk-nepuk punggung gadis itu untuk menghiburnya.
Sambil mengusap air matanya menggunakan lengan baju, Yilin melanjutkan cerita, “Penjahat bernama Tian Boguang itu mendorong tubuh saya lalu mencoba membuka pakaian saya. Saya pun menamparnya, tapi kedua tangan saya justru dapat ditangkapnya.
Pada saat itulah tiba-tiba kami mendengar suara tawa seorang laki-laki di luar gua. Orang itu tertawa tiga kali, ‘Hahaha!’ Setelah berhenti sejenak kembali ia tertawa, ‘Hahaha!’
Tian Boguang pun membentak kasar, ‘Siapa itu?’
Namun orang di luar kembali tertawa tanpa menjawab.
Tian Boguang memaki, ‘Sebaiknya kau pergi saja. Lebih cepat lebih baik. Berani membuat Tuan Tian marah bisa membuatmu kehilangan nyawa.’
Namun orang itu kembali tertawa tiga kali. Tian Boguang mencoba mengabaikannya dan kembali melucuti pakaian saya. Orang itu kembali tertawa dengan suara yang lebih keras. Semakin sering ia tertawa, semakin membuat Tian Boguang marah. Saya berharap orang itu datang untuk menolong saya. Namun dia ternyata mengetahui kehebatan Tian Boguang dan tidak berani masuk ke dalam gua. Hanya suara tawanya yang makin lama makin keras membuat Tian Boguang bertambah gusar.
Tian Boguang memaki-maki orang itu dengan kata-kata kotor. Ia kembali menotok titik nadi saya dan kemudian melangkah keluar gua. Akan tetapi, orang itu sudah lebih dulu bersembunyi. Ketika Tian Boguang masuk ke dalam, orang itu kembali tertawa. Tian Boguang semakin gusar dan berlari keluar, namun orang itu sudah menyembunyikan dirinya kembali. Waktu itu saya tertawa karena merasa sangat geli melihat sikap Tian Boguang....”
Dingyi menukas, “Kau ini berada di antara hidup dan mati tapi masih juga bisa tertawa.”
“Benar, Guru,” jawab Yilin. “Saya sendiri juga tidak tahu kenapa. Saya hanya merasa senang melihat Tian Boguang dikerjai orang di luar gua itu. Sampai akhirnya, Tian Boguang pura-pura masuk ke dalam padahal ia bersembunyi di dekat mulut gua, dengan harapan bisa menyergap orang itu jika kembali tertawa. Karena merasa khawatir, saya pun menjerit, ‘Awas, dia mau keluar!’
Tapi orang itu tertawa di tempat yang lebih jauh dan berkata, ‘Terima kasih banyak; tapi kau tidak perlu khawatir. Dia tidak mungkin bisa menangkapku. Ilmu ringan tubuhnya terlalu rendah.’”
Para hadirin merasa heran karena ada orang yang berani mengejek ilmu ringan tubuh Tian Boguang. Padahal, ilmu ringan tubuh si maling cabul terkenal tiada bandingannya di dunia persilatan. Rupanya orang di luar gua itu bermaksud memancing amarah penjahat yang bergelar Si Pengelana Tunggal Selaksa Li tersebut.
Yilin melanjutkan cerita, “Si penjahat Tian Boguang masuk ke dalam dan tiba-tiba mencubit pipi saya. Saya pun menjerit kesakitan. Kemudian ia berlari keluar dan berteriak, ‘Hei, Bangsat! Kau berani menantang ilmu ringan tubuh Tian Boguang, hah?’ Namun maling cabul itu tertipu. Orang yang tertawa tadi ternyata bersembunyi di dekat mulut gua. Begitu melihat Tian Boguang keluar, ia segera menyelinap masuk.
Laki-laki itu lantas mendekati saya dan berkata, ‘Jangan takut. Aku datang untuk menolongmu. Bagian mana yang ditotok?’
Saya menjawab, ‘Dia menotok titik Jianzhen dan Dazhui di badanku. Tapi, kau ini siapa?’
Orang itu tidak menjawab, hanya meminta izin membuka totokanku.’”
Dingyi tertegun mendengar cerita muridnya karena titik Jianzhen terletak di paha. Padahal, tidak sepantasnya seorang laki-laki menyentuh paha perempuan, apalagi terhadap seorang biksuni. Namun dalam keadaan terdesak seperti itu, semua pelanggaran bisa dimaklumi.
Terdengar Yilin melanjutkan cerita, “Laki-laki itu berusaha memijat sekuat tenaga namun tetap saja tidak mampu membebaskan totokan saya. Jelas tenaga dalam Tian Boguang begitu hebat. Kemudian kami mendengar suara Tian Boguang semakin mendekat. Saya pun berkata kepadanya, ‘Lekas lari dari sini! Jika ketahuan kau pasti akan dibunuh olehnya.’
Tapi orang itu menjawab, ‘Serikat Pedang Lima Gunung adalah satu kesatuan; bagaikan cabang-cabang dalam satu pohon. Adik dalam kesulitan, mana mungkin aku tega pergi begitu saja?’”
“Hah,” seru Dingyi menyela. “Jadi dia berasal dari Serikat Pedang Lima Gunung?”
“Benar, Guru!” jawab Yilin. “Orang itu adalah Kakak Linghu Chong.”
“Oh,” sahut Dingyi, Liu Zhengfeng, Tianmen, Yu Canghai, He Sanqi, dan Tuan Wen bersama-sama. Lao Denuo terlihat menghela napas lega. Sebenarnya beberapa hadirin sudah menduga kalau si penolong itu adalah Linghu Chong, namun tidak seorang pun yang yakin sampai mendengar sendiri dari ucapan Yilin.
Yilin melanjutkan, “Mendengar suara Tian Boguang semakin dekat dan dekat, Kakak Linghu lantas meminta maaf dan langsung menggendong tubuh saya keluar gua. Kami pun bersembunyi di dalam semak-semak ilalang. Baru saja kami keluar, Tian Boguang sudah masuk ke dalam gua. Begitu mengetahui saya sudah menghilang, ia pun marah-marah dan mencaci maki dengan kata-kata kotor. Entah apa saja yang ia ucapkan, saya tidak bisa menirukannya.
Penjahat itu kemudian keluar dari gua sambil menghunus pedang patah milik saya. Untungnya waktu itu hari sudah cukup gelap. Langit juga dalam keadaan mendung dan tiada bulan atau bintang yang bersinar. Dalam keadaan gelap gulita itu Tian Boguang menebaskan pedang ke segala arah. Rupanya dia yakin kalau kami berdua belum pergi jauh dan bersembunyi di dalam ilalang. Sempat satu kali pedangnya lewat di atas kepala saya, hanya selisih beberapa senti saja. Kemudian ia pun berjalan ke arah lain sambil terus menebas dan mengayunkan pedang.
Tiba-tiba beberapa tetes cairan berbau anyir mengenai wajah saya. Ternyata itu adalah darah Kakak Linghu. Saya terkejut dan bertanya, ‘Apakah kau terluka?’
Akan tetapi, Kakak Linghu langsung membungkam mulut saya. Selang agak lama – setelah mendengar suara ayunan pedang semakin jauh dan jauh – barulah ia berbisik, ‘Aku tidak apa-apa.’ Tangannya lalu melepaskan mulut saya, sementara darahnya masih tetap mengucur membasahi wajah saya.
Saya sangat khawatir dan berbisik, ‘Hei, kau terluka cukup dalam. Pendarahannya harus dihentikan. Aku membawa Salep Penyambung Langit.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Jangan bicara dulu. Sedikit saja kita bergerak, maka dia akan langsung menemukan kita.’
Tiba-tiba terdengar suara Tian Boguang berseru keras, ‘Aha, di sana kalian rupanya! Ayo keluar, Tuan Tian sudah melihat persembunyian kalian!’
Mendengar teriakan penjahat itu saya langsung putus asa. Saya pun mencoba berdiri tapi kaki terasa lumpuh, tak bisa bergerak sama sekali....”
Biksuni Dingyi menukas, “Hm, kau tertipu mentah-mentah. Sebenarnya Tian Boguang tidak melihatmu. Dia hanya menggertak supaya kau keluar dengan sendirinya.”
“Benar sekali,” sahut Yilin agak heran. “Bagaimana Guru bisa mengetahuinya? Bukankah Guru tidak berada di sana?”
“Apanya yang aneh?” jawab Dingyi balik bertanya. “Jika dia benar-benar melihat kalian, untuk apa masih berteriak-teriak? Bukankah lebih baik kalau dia mendekati kalian secara diam-diam dan langsung membunuh Linghu Chong? Hm, ternyata Linghu Chong sendiri masih hijau.”
“Tidak demikian. Kakak Linghu juga berpikiran seperti Guru.” sahut Yilin. “Dia segera membungkam mulut saya agar tidak bersuara. Benar juga, ternyata Tian Boguang masih saja berteriak-teriak sambil membabat semak belukar. Setelah orang itu menjauh, Kakak Linghu perlahan berbisik, ‘Adik, asalkan kau sanggup bertahan setengah jam lagi, maka titik nadimu yang tertotok akan kembali terbuka dengan sendirinya. Tapi aku khawatir penjahat itu akan kembali ke sini dan menemukan kita. Untuk itu, marilah kita bersembunyi di dalam gua.’”
Mendengar kalimat terakhir itu Liu Zhengfeng dan He Sanqi bertepuk tangan; sementara Tuan Wen memuji, “Bagus sekali! Berani juga cerdik!”

Yilin dibawa bersembunyi di dalam semak.
Yilin melanjutkan, “Sebenarnya saya sangat takut masuk kembali ke dalam gua. Tapi karena sudah terlanjur kagum terhadap kepandaian Kakak Linghu, saya pun mengikuti ajakannya. Ia lantas menggendong tubuh saya menyelinap ke dalam gua. Sesampainya di dalam, tubuh saya diletakkannya di bawah.
Saya pun berkata, ‘Di dalam bajuku ada Salep Penyambung Langit, obat luka buatan Perguruan Henshan yang sangat manjur. Silakan... silakan kau ambil sendiri.’
Tapi Kakak Linghu menolak, ‘Tidak perlu. Ini bukan saat yang tepat untuk mengambil obatmu. Nanti saja kalau totokanmu sudah terbuka, biar kau saja yang mengambilkan.’ Perlahan-lahan ia lantas mengiris lengan bajunya menggunakan pedang untuk membalut luka di bahu.
Saya baru menyadari kalau bahu Kakak Linghu itu terluka oleh sabetan pedang Tian Boguang di semak-semak tadi. Demi menjaga keselamatan saya, Kakak Linghu menahan sakit dalam waktu yang cukup lama. Andai sedikit saja ia bersuara, tentu Tian Boguang langsung mengetahui persembunyian kami. Akan tetapi saya juga merasa heran, kenapa dia merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk mengambil obat....”
“Hm, ternyata Linghu Chong seorang kesatria sejati,” sahut Dingyi dengan nada mengejek.
Yilin memandangi gurunya dengan perasaan heran. Ia lantas berkata, “Tentu saja Kakak Linghu seorang kesatria sejati. Saya tidak mengenalnya, tapi dia berusaha menolong saya tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri.”
Yu Canghai berkata sinis, “Mungkin kau memang belum pernah mengenalnya. Tapi, bisa jadi dia pernah melihatmu sebelumnya. Kalau tidak, mana mungkin dia mati-matian berusaha menolongmu?” Ucapan ini seolah menuduh Linghu Chong menolong Yilin hanya karena tertarik pada kecantikan biksuni muda tersebut.
“Tidak. Kakak Linghu berkata belum pernah melihat diriku sama sekali. Dia tidak mungkin berbohong kepadaku,” jawab Yilin. Meskipun suaranya lemah lembut, namun bernada penuh keyakinan. Para hadirin ikut terkesan melihatnya dan diam-diam membenarkan pernyataan tersebut.
Sementara itu Yu Canghai berpikir, “Si keparat Linghu Chong biasanya bertingkah ugal-ugalan dan suka mencari keributan. Bisa jadi dia menantang Tian Boguang bukan karena tertarik pada kecantikan, tapi untuk memperoleh nama besar di dunia persilatan.”
Yilin melanjutkan, “Setelah membalut lukanya, Kakak Linghu kembali memijat-mijat beberapa titik nadi di punggung dan pinggang saya untuk membuka totokan. Namun kemudian terdengar suara ayunan pedang semakin mendekat. Rupanya Tian Boguang sudah mendekati mulut gua, namun tidak langsung masuk ke dalam. Orang itu hanya duduk di atas sebongkah batu di luar gua. Sepertinya ia sangat penasaran.
Waktu itu saya sangat ketakutan dan menahan napas dengan jantung berdebar-debar. Tiba-tiba totokan di bagian bahu saya terbuka dan menimbulkan rasa sakit. Tanpa sadar, saya pun meringis kesakitan sampai menarik napas. Tentu saja hal ini merusak semuanya. Tian Boguang yang sangat cermat langsung mendengar dan segera bangkit sambil tertawa. Ia pun masuk ke dalam gua dengan langkah lebar. Kakak Linghu sendiri masih tetap terdiam tanpa bergerak sedikit pun.
Dalam kegelapan itu, terdengar suara Tian Boguang berkata sambil tertawa, ‘Domba kecilku, ternyata kau bersembunyi di dalam gua ini, ya?’ Usai berkata tangannya lantas menjulur hampir meraih tubuh saya.
Tiba-tiba saya mendengar suara pedang berkelebat. Rupanya Kakak Linghu menusuk Tian Boguang dan tepat mengenai sasaran. Penjahat itu terkejut dan menjatuhkan pedang patah milik saya di tangannya. Namun demikian, tusukan itu tidak terlalu dalam dan juga tidak mengenai bagian berbahaya. Tian Boguang lantas melompat ke belakang dan melolos goloknya. Kemudian ia mengayunkan senjata untuk membalas Kakak Linghu. Sekejap kemudian, terdengar suara logam beradu; Kakak Linghu dan Tian Boguang telah terlibat pertarungan seru di dalam gua. Keadaan waktu itu benar-benar gelap dan keduanya sama-sama tidak bisa saling melihat. Saya hanya mendengar setiap kali senjata mereka beradu, keduanya langsung melompat mundur dan menghimpun napas.”
Pendeta Tianmen menyela, “Berapa jurus Linghu Chong bisa menandingi Tian Boguang itu?”
“Waktu itu saya sangat bingung dan tidak tahu harus bagaimana,” jawab Yilin. “Entah berapa jurus mereka lalui, sampai akhirnya saya mendengar Tian Boguang tertawa dan berkata, ‘Aha, rupanya kau berasal dari Perguruan Huashan! Ilmu pedang perguruanmu tidak sebanding dengan golokku. Lekas katakan, siapa namamu!’
Kakak Linghu menjawab, ‘Namaku tidak penting. Setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung adalah keluarga sendiri. Baik Huashan maupun Henshan adalah musuh besar penjahat cabul seperti dirimu....’ Belum selesai Kakak Linghu menjawab, tiba-tiba Tian Boguang sudah menerjang maju. Rupanya dia hanya memancing Kakak Linghu berbicara supaya bisa mengetahui di mana lawannya itu berada. Sesaat kemudian terdengar suara Kakak Linghu berseru kesakitan. Rupanya dia kembali terluka oleh golok Tian Boguang.
Tian Boguang lantas berkata, ‘Sudah kubilang, ilmu pedang Huashan tidak dapat menandingi ilmu golok Tuan Tian. Meskipun gurumu, si tua Yue yang datang kemari juga tidak akan menang.’
Namun demikian, Kakak Linghu tetap terdiam tidak menjawab sama sekali.
Setelah totokan di bahu terbuka, saya kembali merasa kesakitan karena totokan di punggung juga terbuka. Setelah bisa bergerak kembali, saya pun merangkak untuk mencari pedang saya yang sudah patah tadi untuk membantu Kakak Linghu. Namun Kakak Linghu justru berteriak, ‘Rupanya kau sudah terbebas. Lekas kau pergi dari sini! Cepat lari!’
Saya pun menjawab, ‘Kakak dari Huashan, biarkan aku membantumu! Mari kita bertempur bersama melawan penjahat itu!’
Namun Kakak Linghu tetap melarang dan berkata, ‘Tidak! Kau pergi saja sekarang! Kita berdua tetap bukan tandingan orang ini.”
Terdengar Tian Boguang kembali tertawa dan berkata, ‘Senang sekali mendengarmu menyadari kehebatanku. Untuk apa kau membuang-buang waktu di sini? Namun, aku kagum juga pada keberanianmu. Katakan siapa namamu, orang Huashan!’
Kakak Linghu menyahut, ‘Kalau kau bertanya dengan sopan tentu akan kujawab. Tapi karena kau bersikap kurang ajar, maka orang tuamu ini tidak perlu merasa segan.’
Guru, bukankah ini menggelikan? Kakak Linghu bukan ayahnya, tapi dia mengaku sebagai orang tua Tian Boguang?”
Dingyi menjawab sambil mendengus, “Ini hanya kata-kata ejekan, jangan diambil pusing.”
“Ah, begitu rupanya,” ujar Yilin. “Kemudian Kakak Linghu berkata kepada saya, ‘Hei, Adik dari Henshan, lekas kau pergi ke Hengshan. Saudara-saudara kita sudah berkumpul di sana. Keparat ini tidak akan berani mengejarmu.’
Saya bertanya, ‘Bagaimana kalau dia nanti membunuhmu?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Dia tidak mampu membunuhku. Aku akan merintanginya di sini... Hei, kenapa kau masih di sini juga? Lekas pergi!’ Kembali terdengar suara logam beradu, disusul Kakak Linghu berseru, ‘Aduh!’ Rupanya dia kembali terluka.
Meskipun demikian, Kakak Linghu tidak peduli dan kembali berteriak kepada saya, ‘Adik, jika kau tidak segera pergi dari sini, maka aku akan memaki dirimu!’
Saat itu saya sudah menghunus pedang patah dan berseru kepadanya, ‘Kakak dari Huashan, mari kita hadapi orang ini bersama-sama!’
Tian Boguang tertawa dan menyahut, ‘Bagus sekali, Tuan Tian seorang diri bersenjata golok menghadapi Perguruan Huashan dan Henshan. Namun, kalian tetap tidak mungkin menang.’
Sementara itu Kakak Linghu mulai marah-marah dan memaki saya, ‘Dasar biksuni cilik tak tahu adat! Dasar biksuni tolol! Cepat kau pergi! Kalau tidak juga pergi akan kutempeleng wajahmu!’
Tian Boguang kembali tertawa dan berkata, ‘Biksuni cilik ini ingin bermesraan denganku. Dia tidak akan pergi.’
Kakak Linghu menegas, ‘Kau pergi atau tidak?’
Saya menjawab, ‘Aku tidak mau pergi!’
Kakak Linghu semakin gusar dan berkata, ‘Jika kau tidak mau pergi, maka aku akan memaki gurumu; Dasar Dingxian biksuni tua pikun dan bodoh, lihat bagaimana hasil didikanmu terhadap biksuni cilik ini!’
Saya menjawab, ‘Bibi Dingxian bukan guruku.’
Kakak Linghu berkata, ‘Kalau begitu akan kumaki si tua Dingjing!’
Saya menjawab, ‘Bibi Dingjing juga bukan guruku.’
Kakak Linghu menyahut, ‘Oh, kalau begitu kau adalah murid Dingyi, si pikun bodoh....”’
Mendengar ini raut muka Dingyi berubah merah dan terlihat gusar.
Yilin buru-buru menjelaskan, “Guru jangan marah dulu. Kakak Linghu hanya bermaksud mengusir saya. Dia tidak bersungguh-sungguh hendak memaki Guru. Saya pun menjelaskan kepadanya, ‘Jangan kau maki guruku. Aku tolol karena kebodohanku sendiri. Guruku sudah mendidik dengan baik.’
Tiba-tiba Tian Boguang melompat ke arah saya dan berusaha menangkap saya lagi. Dalam keadaan gelap gulita saya mengayunkan pedang ke segala arah membuat penjahat itu terpaksa mundur kembali.
Kemudian terdengar kembali Kakak Linghu berkata, ‘Kenapa tidak juga pergi dari sini? Apa kau mau aku memaki gurumu lagi?’
Saya menjawab, ‘Jangan memaki lagi. Lebih baik kita pergi bersama-sama.’
Kakak Linghu berkata, ‘Kau hanya akan menggangguku saja kalau masih berada di sini. Aku menjadi tidak leluasa mengerahkan jurus pedang Huashan yang paling ampuh. Begitu kau pergi, maka aku bisa langsung membunuh bangsat keparat ini.’
Tian Boguang ikut menyahut, ‘Hahaha, kasih sayangmu pada biksuni cilik ini sungguh luar biasa. Hanya sayang, dia tidak tahu siapa namamu.’
Diam-diam saya merasa ucapan Tian Boguang ini benar juga. Maka itu, saya pun bertanya, ‘Kakak dari Huashan, tolong katakan siapa namamu? Biar aku bisa bercerita kepada Guru tentang kebaikanmu.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Namaku Lao Denuo. Sudah, sana pergi! Kau ini terlalu banyak adat!’”
Mendengar sampai di sini, Lao Denuo terkejut. Dengan perasaan bingung ia berpikir, “Mengapa Kakak Pertama memakai namaku?”
Di sisi lain Tuan Wen berkata, “Linghu Chong benar-benar berwatak kesatria. Ia bertaruh nyawa menolong orang lain tanpa mencari kejayaan diri sendiri. Sungguh luar biasa.”
Akan tetapi Biksuni Dingyi berpendapat lain. Sambil melirik ke arah Lao Denuo ia menggerutu, “Ah, Linghu Chong telah memaki diriku ini pikun dan bodoh. Mungkin dia takut aku membalas perbuatannya. Maka, dengan sengaja dia melimpahkan kesalahan kepada orang lain.” Biksuni tua itu lantas berseru kepada Lao Denuo, “Hm, rupanya kau orangnya yang berani memaki diriku pikun dan tua, hah?”
Buru-buru Lao Denuo membungkuk dan menjawab, “Bukan saya, Bibi Biksuni! Mana mungkin saya berani?”
Liu Zhengfeng tersenyum menengahi, “Kakak Dingyi, sudah jelas yang bertarung melawan Tian Boguang adalah Linghu Chong, bukan Lao Denuo ini. Meskipun murid nomor dua, namun usia Keponakan Lao jauh lebih tua. Keponakan Linghu sengaja memakai nama adik seperguruannya ini karena Keponakan Lao memang sepantasnya menjadi kakek Yilin.”
Seketika Dingyi langsung paham begitu mendengar ucapan Liu Zhengfeng tersebut. Ternyata Linghu Chong berusaha menjaga nama baik Yilin dalam peristiwa ini. Saat itu memang keadaan gelap gulita sehingga Linghu Chong, Yilin, dan Tian Boguang tidak bisa saling melihat satu sama lain. Apabila Yilin berhasil meloloskan diri dan bercerita kepada banyak orang bahwa yang telah menyelamatkan dirinya adalah si tua Lao Denuo, tentu tidak akan ada komentar miring terhadap peristiwa ini. Jelas-jelas tubuh Yilin telah digendong dan dipijat oleh penolongnya di dalam gua gelap. Apabila tersiar kabar bahwa sang penolong adalah pemuda bernama Linghu Chong, tentu akan menimbulkan desas-desus kurang sedap. Dengan menggunakan nama Lao Denuo, ini berarti Linghu Chong tidak hanya menjaga nama baik Yilin, tapi juga menjaga kehormatan Perguruan Henshan.
Menyadari maksud di balik ini semua, Biksuni Dingyi tersenyum dan berkata, “Hm, bocah Linghu Chong itu ternyata boleh juga. Selanjutnya bagaimana, Yilin?”
Yilin menjawab, “Saya tetap tidak mau pergi. Saya berkata, ‘Kakak Lao, kau telah mempertaruhkan nyawa demi untuk menolongku; mana mungkin aku meninggalkanmu di sini? Jika Guru sampai tahu kalau aku kabur seperti pengecut, tentu Beliau akan membunuhku. Guru selalu mengatakan bahwa, meskipun murid-murid Perguruan Henshan semua adalah kaum wanita, namun kami selalu mengutamakan sikap kesatria yang tidak berbeda dengan laki-laki.”
“Bagus sekali, bagus sekali!” sahut Dingyi memuji. “Ucapanmu benar sekali. Kaum persilatan yang tidak mengutamakan rasa setia kawan, lebih baik mati saja; tidak peduli laki-laki atau perempuan.”
Melihat raut muka sang biksuni tua sedemikian bersungguh-sungguh, diam-diam para hadirin memuji keberanian dan semangat Dingyi yang tidak kalah dibandingkan kaum laki-laki.
Terdengar Yilin menjawab, “Akan tetapi, Kakak Linghu justru memarahi saya. Dia berkata, ‘Dasar biksuni cilik sialan, persetan denganmu! Yang kau lakukan hanya omong kosong panjang lebar. Gara-gara kau masih di sini aku jadi tidak leluasa memainkan ilmu pedang Huashan yang mahasakti. Aku yang tua ini ternyata harus menerima takdir mati di tangan penjahat cabul di dalam sini. Jangan-jangan kau sudah bersekongkol dengan Tian Boguang untuk menjebakku di gua ini. Aku, Lao Denuo, memang bernasib sial karena bertemu biksuni sial seperti dirimu. Gara-gara kau masih berada di sini, aku tidak berani mengerahkan ilmu pedang Huashan yang paling ampuh. Aku takut kau ikut celaka menjadi korban kekuatan pedangku yang tidak pandang bulu. Baiklah kalau demikian. Tian Boguang, silakan kau penggal leherku dengan gerakan terbaikmu untuk mengakhiri semua ini. Aku yang tua tidak akan menolak takdir....”’
Semua kata-kata kotor yang diucapkan Linghu Chong diceritakan kembali oleh Yilin, namun menggunakan suara yang lembut dan manis sehingga terdengar menggelikan. Para hadirin mau tidak mau tersenyum juga mendengarnya.
Yilin melanjutkan, “Mendengar ucapannya itu, saya pun sadar tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Kakak Linghu karena ilmu silat saya sangat rendah. Justru dengan keberadaan saya di sana, Kakak Linghu semakin terdesak dan tidak mampu mengerahkan ilmu pedang Huashan yang mahasakti....”

Tian Boguang dan Linghu Chong bertarung di gua.
Dingyi menukas, “Huh, ilmu pedang bocah itu biasa-biasa saja! Memangnya bagian mana yang disebutnya mahasakti?”
Yilin menjawab, “Guru, dia hanya ingin menakut-nakuti Tian Boguang. Saya lantas berkata kepadanya, ‘Kakak Lao, aku pergi sekarang. Semoga kita bertemu kembali.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Lekas pergi dari sini, telur bebek busuk! Semakin jauh semakin bagus! Bertemu biksuni hanya membuatku kalah berjudi. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku ini gemar berjudi. Bertemu denganmu hanya membawa kesialan saja!’”
Dingyi yang sempat kagum kepada Linghu Chong kini kembali gusar. Ia bangkit dari duduk dan bertanya, “Dasar bocah keparat! Yilin, apakah kau lantas pergi?’
“Saya terpaksa pergi karena khawatir membuat Kakak Linghu bertambah marah,” jawab Yilin. “Begitu saya pergi meninggalkan gua, segera terdengar kembali suara logam beradu, pertanda Kakak Linghu dan Tian Boguang melanjutkan pertarungan mereka. Jika Tian Boguang yang menang, tentu dia akan segera mengejar saya; namun jika Kakak Linghu yang menang, tentu dia akan kalah berjudi jika masih melihat saya. Maka, saya pun berlari sekencang-kencangnya. Waktu itu saya ingin sekali segera bertemu Guru. Saya ingin meminta Guru menghadapi si penjahat Tian Boguang itu.”
Dingyi mendengus sambil mengangguk.
Yilin lalu bertanya, “Guru, akhirnya Kakak Linghu mati dibunuh Luo Renjie. Apakah dia bernasib sial karena... karena bertemu saya?”
“Omong kosong!” jawab Dingyi gusar. “Untuk apa kau percaya dengan bualannya? Setiap hari banyak orang yang melihat kita. Memangnya mereka semua bernasib sial?”
Para hadirin tersenyum geli mendengar pertanyaan Yilin yang polos itu. Namun demikian, tidak seorang pun berani bersuara karena segan terhadap Dingyi.
Yilin lalu melanjutkan ceritanya, “Saya pun berlari secepat mungkin tanpa berhenti sedikit pun. Ketika marahari terbit barulah saya memasuki Kota Hengyang. Saya merasa lega karena mengira bisa berjumpa Guru di sana. Baru saja memperlambat langkah, tahu-tahu Tian Boguang sudah berada di belakang saya. Seketika kaki saya terasa lemas dan lunglai. Saya kembali berlari namun baru beberapa langkah saja orang itu sudah menangkap saya. Waktu itu saya sangat sedih memikirkan Kakak Linghu tentu sudah mati di dalam gua.
Pagi itu suasana Kota Hengyang sudah ramai. Banyak orang berlalu-lalang di jalanan sehingga Tian Boguang tidak berani berbuat kurang ajar terhadap saya. Ia hanya mengancam, ‘Jika kau tidak menimbulkan masalah, maka aku tidak akan berbuat kasar terhadapmu. Tapi kalau kau tidak menuruti perintahku, maka akan kulepaskan semua pakaianmu di sini biar jadi tontonan banyak orang.’
Saya sangat ketakutan dan terpaksa menuruti penjahat itu. Dia berkata, ‘Biksuni cilik, kau ini sangat cantik bagaikan... bagaikan seorang dewi yang turun dari langit. Rumah Makan Dewa Mabuk terbuka untukmu. Marilah kita minum di sana sambil bersenang-senang.’
Saya menjawab, ‘Seorang biksuni tidak boleh minum arak dan makan daging. Ini juga menjadi larangan keras di Biara Awan Putih.’
Dia berkata, ‘Huh, di tempatmu banyak sekali peraturan aneh-aneh. Apa kau benar-benar ingin mematuhi semuanya? Hari ini akan kuajari kau bagaimana caranya melanggar peraturan. Semua peraturan dan tata tertib hanya untuk menipu orang saja. Gurumu itu... gurumu itu....’” Sampai di sini Yilin melirik ke arah Dingyi dan tidak berani melanjutkan.
“Ocehan keparat itu tidak perlu kau ceritakan,” sahut Dingyi gusar. “Selanjutnya bagaimana?”
Yilin menjawab, “Saya pun berkata kepadanya, ‘Guruku tidak seperti yang kau tuduhkan. Beliau tidak pernah minum arak atau makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi!’”
Mendengar jawaban Yilin meledaklah tawa para hadirin yang sejak tadi tertahan sekian lama. Meskipun Yilin memotong ceritanya tetap saja mereka bisa menebak kalau Tian Boguang telah menuduh Dingyi diam-diam suka melanggar pantangan. Dingyi sendiri tampak sangat malu dan berpikir, “Anak ini sungguh polos; tidak tahu mana yang pantas diceritakan, mana yang tidak.”
Yilin melanjutkan, “Penjahat itu kemudian menarik baju saya dan berkata, ‘Jika kau tidak mengikuti langkahku, maka jubahmu ini akan kutarik sampai robek.’
Saya terpaksa mengikuti Tian Boguang masuk ke dalam sebuah kedai besar yang bernama Rumah Makan Dewa Mabuk tadi. Kami duduk semeja di loteng atas. Guru, orang itu benar-benar jahat. Sudah tahu saya seorang biksuni masih saja dia memaksa supaya saya menemaninya minum arak dan makan daging. Kita ini pengikut Buddha, dilarang makan daging; dan tidak mungkin saya melanggarnya. Biarlah dia menelanjangi saya di depan umum, asalkan itu semua bukan niat saya.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang pemuda mendatangi kami. Wajahnya terlihat pucat dan pakaiannya berlumuran darah. Sebilah pedang tergantung pula di pinggangnya. Tanpa banyak bicara ia langsung duduk semeja dengan kami dan langsung meneguk semangkuk arak yang dihidangkan Tian Boguang untuk saya. Begitu habis, mangkuk itu kemudian diisinya lagi dan diminumnya dalam sekali teguk. Ketika hendak minum untuk yang ketiga kalinya dia mengangkat mangkuknya dan berkata pada kami, ‘Mari, semuanya!’
Mendengar suaranya itu perasaan saya terkejut dan sangat gembira. Ternyata dia adalah kakak dari Huashan yang berusaha menolong saya di dalam gua tadi. Buddha memberkatinya. Ternyata Kakak Linghu selamat dari tangan jahat Tian Boguang. Akan tetapi, luka di tubuhnya sangat parah. Tian Boguang sendiri mengamatinya dari atas ke bawah dengan seksama. Penjahat itu lalu berkata, ‘Kau rupanya!’
Kakak Linghu menjawab, ‘Benar, ini aku!’
Tian Boguang mengacungkan jempol dan memuji, ‘Laki-laki hebat!’
Kakak Linghu mengacungkan jempol pula dan menjawab, ‘Ilmu golok hebat!’
Keduanya pun bergelak tawa dan minum bersama. Saya benar-benar terkejut. Semalam mereka bertarung mati-matian, tapi pagi itu minum bersama dengan akrab. Saya senang melihat Kakak Linghu tidak mati; tapi saya juga khawatir jangan-jangan dia adalah teman Tian Boguang.
Tian Boguang lantas berkata, ‘Aku pernah mendengar bahwa Lao Denuo sudah tua bangka. Dia memiliki kakak seperguruan yang usianya jauh lebih muda bernama Linghu Chong. Melihat usiamu ini, sudah pasti kau bukan Lao Denuo.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Aku memang bukan Lao Denuo.’
Tian Boguang memukul meja sambil berseru, ‘Aha, kalau demikian kau ini pasti Linghu Chong, pemuda dari Huashan yang terkenal gagah berani.’
Pada saat itulah saya baru mengetahui kalau nama asli penolong saya adalah Linghu Chong, bukan Lao Denuo. Dia sama sekali belum tua. Mungkin usianya belum ada dua puluh lima.
Kemudian Kakak Linghu menjawab, ‘Saudara Tian terlalu memuji. Linghu Chong yang kau sebut gagah berani ini telah bertekuk lutut di bawah ilmu golokmu yang luar biasa. Sungguh memalukan.’
Tian Boguang tertawa dan berkata, ‘Tanpa bertarung, tidak akan terjadi perkenalan. Bagaimana kalau kita berteman saja? Kalau Saudara Linghu menyukai biksuni cilik ini, aku bersedia mengalah. Kaum laki-laki seperti kita lebih mengutamakan persahabatan daripada urusan perempuan.’”
“Kurang ajar!” sahut Dingyi menukas dengan muka merah padam. “Bajingan itu... bajingan itu....”
Yilin hampir saja menangis ketika melanjutkan, “Kakak Linghu kemudian berkata, ‘Saudara Tian, biksuni cilik ini wajahnya pucat sepeti mayat. Tiap hari dia hanya makan sayuran dan kacang. Percuma wajahnya cantik kalau tidak menarik. Apalagi aku paling tidak suka dengan kaum biksuni. Bahkan, aku ingin membantai habis semua biksuni yang ada di muka bumi.’
‘Mengapa?’ tanya Tian Boguang.
Kakak Linghu berkata, ‘Terus terang, aku punya suatu kegemaran, yaitu berjudi. Aku sangat senang berjudi. Judi adalah hidupku. Setiap bertemu dadu, aku langsung lupa segalanya, bahkan namaku sendiri. Namun jika melihat biksuni, aku selalu kalah bertaruh. Kejadian ini tidak hanya sekali dua kali, namun sudah berkali-kali. Tidak hanya aku saja, saudara-saudaraku dari Huashan sebenarnya juga muak kalau bertemu para bibi dan saudari dari Henshan. Kelihatannya kami bersikap ramah tamah, padahal sebenarnya dalam hati kami merasa sial.’”
Mendengar itu Dingyi tidak tahan lagi. Tanpa ampun dia langsung menampar pipi Lao Denuo satu kali. Gerakan tangannya ini sangat cepat dan juga keras. Lao Denuo yang bernasib sial itu tidak sempat menghindar. Seketika kepalanya terasa pusing dan hampir saja ia jatuh di lantai.
Liu Zhengfeng tersenyum dan berkata, “Kakak Dingyi, mengapa kau harus marah? Keponakan Linghu bicara sembarangan hanya untuk menyelamatkan muridmu yang jelita ini saja. Ia hanya berusaha agar Tian Boguang bersedia melepaskan Yilin.”
Dingyi menyahut, “Jadi menurutmu, ini semua demi menolong Yilin?”
“Aku yakin demikian,” jawab Liu Zhengfeng sambil mengangguk. “Keponakan Yilin, bagaimana menurutmu?”
Yilin menunduk dan berkata lirih, “Sebenarnya... sebenarnya Kakak Linghu sangat baik. Hanya saja, ia suka bicara kotor. Tapi kalau Guru marah, saya tidak berani bercerita lagi.”
“Ceritakan saja, ceritakan saja semuanya!” sahut Dingyi gusar. “Aku jadi ingin tahu apa saja yang dikatakan bocah sialan itu. Jika dia memang benar-benar bajingan, aku akan membuat perhitungan dengan si tua Yue, gurunya.”
Yilin masih menundukkan kepala. Sedikit pun ia tidak berani bercerita kembali.
Dingyi berseru, “Lekas lanjutkan! Kau jangan terlalu membelanya. Kami bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk berdasarkan ceritamu.”
“Baik, Guru” sahut Yilin. “Kemudian Kakak Linghu kembali berkata, ‘Saudara Tian, kita hidup di dunia persilatan ini setiap saat tidak luput dari adu senjata. Meskipun memiliki ilmu silat tinggi, tapi kalau bernasib sial tentu jiwanya akan celaka. Betul, tidak? Apabila kita bertemu musuh yang berkepandaian sama, tentu hasil akhirnya sangat tergantung pada nasib dan keberuntungan. Biksuni cilik ini kurus kering seperti ayam. Meskipun wajahnya cantik seperti dewi kahyangan, tetap saja aku tidak tertarik sama sekali. Sebagai manusia sudah tentu aku lebih mementingkan keselamatan nyawa. Lebih mementingkan perempuan daripada persahabatan adalah salah; lebih memntingkan perempuan daripada keselamatan adalah keliru. Kaum biksuni adalah pembawa sial, maka sebaiknya jangan sekali-kali kita menyentuh dia.’
Tian Boguang tertawa dan menjawab, ‘Saudara Linghu, aku kira kau ini seorang pria yang tidak kenal takut. Hm, ternyata kau begitu ketakutan melihat biksuni cilik ini.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu saja. Aku punya banyak pengalaman buruk dengan biksuni. Setiap kali melihat biksuni lewat aku pasti bernasib sial. Hal ini sudah terjadi berkali-kali. Sebagai contoh, tadi malam aku hanya mendengar suara biksuni ini saja namun harus merasakan tiga kali sabetan golokmu. Apa ini bukan nasib sial namanya?’
Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dan berkata, ‘Benar juga ucapanmu, Saudara Linghu!’
Kakak Linghu melanjutkan, ‘Saudara Tian, aku ini tidak sudi bicara dengan kaum biksuni. Sebaiknya kau biarkan saja dia pergi sejauh-jauhnya agar kita bisa menikmati arak ini sampai puas. Setulus hati aku memberikan nasihat kepadamu. Sedikit saja kau menyentuh seorang biksuni, maka nasib sial akan selalu menyertaimu. Sepanjang perjalanan kau berkelana di dunia persilatan, masalah demi masalah akan selalu mendatangimu. Kecuali, kalau kau menjadi seorang biksu. Aku heran, mengapa kau berani bermain-main dengan salah satu dari tiga racun paling berbahaya di dunia?’
Tian Boguang bertanya, ‘Tiga racun paling berbahaya? Apa saja itu?’
Kakak Linghu terihat heran dan balik bertanya, ‘Aneh, padahal kau ini sudah berkelana ke mana-mana, tapi ternyata belum mengetahui tiga jenis racun paling berbahaya di muka bumi. Baiklah aku katakan kepadamu, tiga racun tersebut adalah biksuni, warangan, dan ular belang emas. Aku bersumpah demi kahyangan, bahwa biksuni adalah yang paling beracun di antara semua jenis racun. Semua murid laki-laki dalam Serikat Pedang Lima Gunung sudah mengetahui akan hal ini, memangnya kau tidak takut?’”
Kemarahan Dingyi meledak bagaikan gunung meletus. Tangannya menggebrak meja dan mulutnya memaki, “Dasar kepa....” Namun demikian, ia sempat menahan diri sehingga tidak sampai mengeluarkan kata-kata kotor.
Lao Denuo yang baru saja ditampar sang biksuni tua kini berusaha menjaga jarak dengannya. Melihat Dingyi kembali marah-marah, ia pun mundur semakin jauh.

Tian Boguang dan Linghu Chong saling memuji.
(Bersambung)

bagian 9 ; halaman muka ; bagian 11