Bagian 14 - Pertempuran di Rumah Pelacuran


Tian Boguang dan Qu Feiyan adu mulut dari kamar masing-masing.
Tiba-tiba dari kamar sebelah terdengar suara gelak tawa seorang laki-laki. Yilin sangat terkejut karena mengenali suara tersebut, yang tidak lain adalah suara Tian Boguang, si Pengelana Tunggal Selaksa Li. Seketika kakinya terasa lemas dan tubuhnya terkulai di atas kursi.
“Ada apa?” Qu Feiyan bertanya.
“Itu... itu suara Tian Boguang,” jawab Yilin.
“Benar sekali. Aku juga tahu kalau itu suara Tian Boguang, muridmu yang lucu,” ujar Qu Feiyan sambil tertawa.
“Hei, siapa yang menyebut-nyebut namaku?” teriak Tian Boguang dari kamar sebelah.
“Tian Boguang, gurumu ada di sini!” seru Qu Feiyan balas berteriak. “Lekas kau kemari dan memberi hormat kepadanya.”
“Guru apa pula?” sahut Tian Boguang. Sepertinya ia sangat marah. “Perempuan hina, jika kau mengoceh sembarangan lagi, akan kurobek mulutmu!”
Qu Feiyan berteriak, “Bukankah kau telah mengangkat Biksuni Yilin dari Perguruan Henshan sebagai gurumu? Dia ada di sini. Lekaslah kemari dan menyembahnya.”
“Mana mungkin dia bisa berada di tempat ini?” sahut Tian Boguang menegas. “Hei, bagaimana... bagaimana kau tahu? Siapa sebenarnya kau ini? Awas, aku akan segera membunuhmu!” Suaranya yang keras itu terkesan bernada khawatir.
“Cepatlah kau datang ke sini dan berlutut menyembah Biksuni Yilin!” bentak Qu Feiyan.
Buru-buru Yilin mencegah, “Jangan, jangan kau suruh dia kemari!”
Tian Boguang berseru kaget mendengar suara Yilin. Ia pun melompat turun dari ranjangnya diikuti suara seorang perempuan bertanya, “Tuan hendak ke mana?”
Qu Feiyan kembali berteriak, “Tian Boguang, kau jangan kabur! Gurumu ada di sini untuk menyelesaikan perhitungan.”
“Guru apa? Murid apa?” bentak Tian Boguang dengan nada gusar. “Aku telah ditipu oleh Linghu Chong. Sekali biksuni cilik itu datang menemuiku, aku akan segera memenggal kepalanya.”
“Bagus, bagus!” sahut Yilin dengan suara gemetar. “Aku tidak akan ke sana dan... dan kau tidak perlu kemari.”
Qu Feiyan kembali berteriak, “Tian Boguang, kau punya nama besar di dunia persilatan. Kenapa kau tidak bersikap layaknya seorang laki-laki sejati? Apa kau mau mengingkari janji yang telah kau ucapkan sendiri? Lekas kemari dan berlutut kepada gurumu!”
Tian Boguang terdengar hanya mendengus, tidak menjawab.
Yilin buru-buru menyahut, “Aku tidak mau menerima penghormatannya. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Dia bukan... dia bukan muridku.”
Tian Boguang terdengar melompat senang dan berkata, “Kau dengar sendiri, bukan? Biksuni cilik itu tidak ingin melihatku.”
Qu Feiyan menyahut, “Boleh saja. Kau tidak perlu datang kemari untuk menyembah gurumu. Hanya saja, sewaktu datang ke rumah ini, kami dibuntuti oleh dua orang. Sebaiknya kau segera membersihkan jalan dan membereskan mereka berdua. Gurumu dan aku hendak beristirahat di sini, dan kau bisa berjaga di luar. Jika kau bisa bekerja dengan baik, mungkin aku tidak akan mengumumkan perjanjianmu dengan Linghu Chong. Sebaliknya, jika kau tidak becus bekerja, maka seluruh dunia akan tahu bahwa Tian Boguang telah berjanji akan mengangkat Biksuni Yilin dari Perguruan Henshan sebagai gurunya.”
Tian Boguang diam sejenak kemudian membentak ke arah lain, “Hei, sedang apa kalian bersembunyi di situ? Mau mengintip, hah?” Usai berseru demikian lantas terdengar suara jendela terbuka disusul suara penjahat cabul itu melompat ke atas.
Yilin dan Qu Feiyan mendengar suara dua buah senjata jatuh di atas genting, disusul suara jeritan seorang laki-laki dan langkah kaki seorang lainnya melarikan diri. Kemudian kembali terdengar suara jendela ditutup. Rupanya Tian Boguang sudah masuk kembali ke dalam kamarnya.
“Aku telah membunuh salah seorang di antara mereka. Ternyata dia murid Perguruan Qingcheng. Sementara, yang satunya lagi melarikan diri,” ujar penjahat itu memberi laporan.
“Dasar tidak berguna! Kenapa kau biarkan dia lolos?” sahut Qu Feiyan.
“Aku tidak bisa membunuhnya,” jawab Tian Boguang. “Karena... karena dia seorang biksuni dari Henshan.”
“Oh, ternyata dia adalah bibi perguruanmu,” kata Qu Feiyan sambil tertawa. “Pantas saja kau tidak berani membunuhnya.”
Yilin sangat gugup mendengarnya. Ia pun bertanya, “Jadi, yang lolos itu kakakku? Bagaimana ini? Dia pasti melapor kepada Guru.”
Tian Boguang berseru, “Hei, gadis kecil, siapa namamu?”
“Sebaiknya kau tidak perlu menanyakan itu,” sahut Qu Feiyan sambil tertawa. “Jika kau tetap diam, maka gurumu tidak akan mempersoalkan lagi masalah perjanjian kemarin.”
Merasa tidak ada gunanya bertanya, Tian Boguang pun diam seketika.
Yilin buru-buru berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini secepatnya!”
“Tapi kau belum mengobati orang itu,” sahut Qu Feiyan. “Bukankah ada yang hendak kau tanyakan kepadanya? Tapi, kalau kau memang takut gurumu tidak senang, maka kau boleh pergi. Tidak ada ruginya bagiku.”
Yilin terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Aku sudah terlanjur masuk ke sini. Sebaiknya... sebaiknya kita segera pergi menemui orang itu.”
Qu Feiyan tersenyum dan melangkah mendekati sisi ranjang. Di situ ia mendorong dinding kamar sebelah timur. Perlahan-lahan, sebuah pintu rahasia terbuka di salah satu bagian dinding. Gadis kecil itu kemudian mengajak Yilin masuk ke dalamnya.
Yilin merasa rumah pelacuran tersebut benar-benar aneh. Untungnya, Tian Boguang berada di dalam kamar sebelah barat. Yilin merasa semakin jauh dari penjahat cabul itu tentu akan semakin baik. Maka, ia pun memberanikan diri berjalan mengikuti Qu Feiyan memasuki lorong gelap di balik pintu rahasia tersebut.
Di ujung lorong rahasia terdapat sebuah kamar yang lebih sempit dan gelap gulita. Di dalam kamar itu terdapat sebuah ranjang dengan kelambu tertutup serta sebuah jendela. Samar-samar Yilin mengetahui kalau ada seseorang tidur di atas ranjang tersebut. Menyadari hal itu, ia hanya berhenti di pintu sementara Qu Feiyan sudah masuk ke dalam.
“Kakak, masuklah kemari. Ini adalah orang yang harus kau obati dengan Salep Penyambung Langit,” ujar Qu Feiyan memanggil.
“Apakah dia benar-benar tahu di mana jasad Kakak Linghu berada?” tanya Yilin ragu-ragu.
“Mungkin tahu, mungkin juga tidak.” sahut Qu Feiyan ringan. “Aku tidak berani menjamin.”
“Tapi... tapi kau tadi berkata dia mengetahuinya,” ujar Yilin dengan nada kesal.
“Aku ini bukan laki-laki sejati. Aku tidak punya keharusan untuk menepati ucapanku,” sahut Qu Feiyan sambil tertawa. “Sekarang begini saja; kau boleh mengobatinya, boleh tidak. Kalau tidak mau silakan pergi dari sini. Tidak ada seorang pun yang akan merintangimu.”
Yilin terdiam. Mengingat ini adalah peluang untuk menemukan jasad Linghu Chong, maka ia pun menjawab, “Baiklah, aku akan mengobati lukanya.”
Biksuni muda itu lantas kembali ke kamar pertama untuk mengambil lilin. Setelah itu ia berjalan lagi menyusuri lorong rahasia dan masuk ke dalam kamar sempit tadi. Perlahan-lahan ia mendekati tempat tidur dan menyingkap kelambu. Tampak seorang laki-laki tertidur dengan wajah ditutupi sehelai sapu tangan berwarna hijau. Menyadari orang itu tidak bisa melihat dirinya, Yilin pun merasa lebih leluasa.
“Bagian mana yang terluka?” tanya Yilin kepada Qu Feiyan.
“Coba lihat dadanya,” sahut Qu Feiyan. “Lukanya sangat dalam, hampir saja mengenai jantung.”
Perlahan-lahan Yilin membuka selimut yang menutupi tubuh orang itu. Tampak sebuah luka cukup lebar menganga di dadanya. Darah sudah berhenti namun bisa saja kambuh sewaktu-waktu. Keadaan orang ini begitu parah. Dalam hati Yilin berkata, “Tidak peduli siapa dia, aku harus segera menolongnya.”
Setelah menyerahkan lilin di tangannya kepada Qu Feiyan, Yilin lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik bajunya. Di dalam kotak itu tersimpan Salep Penyambung Langit, obat luka buatan Perguruan Henshan yang sangat mujarab. Setelah membuka kotak dan meletakkannya di atas meja dekat ranjang, ia pun mengoleskan salep tersebut di sekitar luka orang itu.
Terdengar Qu Feiyan berkata lirih, “Beberapa titik nadi orang ini sudah ditotok untuk menghentikan pendarahan. Jika tidak, mungkin sekarang dia sudah mati.”
Yilin mengangguk. Orang itu memang sudah dalam keadaan tertotok sehingga darahnya berhenti mengucur. Ia lantas mengambil kapas yang menutup luka orang itu. Seketika darah kembali memancar keluar. Untungnya, Yilin pernah belajar mengobati luka dari kakak seperguruannya. Dengan tangan kiri ia menekan luka itu, kemudian dengan tangan kanan ia mengoleskan Salep Penyambung Langit tepat pada luka tersebut. Kemudian, ia kembali meletakkan sejumlah kapas di atasnya.
Salep Penyambung Langit merupakan harta pusaka Perguruan Henshan. Obat ini sangat manjur karena dibuat dari bahan-bahan bermutu tinggi dengan resep yang sangat dirahasiakan. Sekali obat ini dioleskan, luka akan langsung mengering dan pendarahan berhenti dalam waktu singkat.
Samar-samar terdengar suara napas orang itu, pertanda ia sudah mulai terjaga dan keadaannya membaik. Yilin pun memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan, apakah kau sudi memberikan sedikit keterangan padaku?”
Tiba-tiba Qu Feiyan sedikit memiringkan badannya sehingga lilin di tangannya bergoyang-goyang dan api pun padam. Seketika ruangan sempit tersebut kembali kehilangan penerangan.
“Aduh, maaf! Lilinnya padam,” seru gadis kecil itu dengan sikap polos.
Suasana begitu gelap sampai-sampai Yilin tidak dapat melihat jari tangannya sendiri. Hatinya merasa gugup. Diam-diam ia berpikir, “Tempat ini sangat gelap. Tidak sepantasnya seorang biksuni seperti aku berada di sini bersama seorang pria; apalagi di dalam sebuah rumah pelacuran. Setelah mengetahui kabar tentang jasad Kakak Linghu, aku harus segera pergi.”
Maka dengan suara gemetar ia kembali bertanya, “Tuan, apakah keadaanmu sudah lebih baik?”
Orang itu tidak menjawab, hanya merintih perlahan.
“Rupanya ia masih demam. Coba kau pegang dahinya, panasnya bukan main,” kata Qu Feiyan sambil memegang tangan Yilin dan menyentuhkannya pada dahi pria tersebut. Sebelumnya, Qu Feiyan sudah menyingkirkan sapu tangan yang menutupi wajah orang itu. Namun, keadaan begitu gelap sehingga Yilin tetap tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Yilin merasa dahi orang itu benar-benar panas seperti terbakar. Rasa kasihan langsung timbul dalam hatinya. Ia lalu berkata, “Aku masih punya obat yang lain. Tolong nyalakan lilinnya.”
“Baik, aku akan mengambil pemantik api,” jawab Qu Feiyan sambil melangkah pergi.
Dengan cepat Yilin menarik lengan baju gadis itu dan berkata, “Jangan tinggalkan aku sendirian di sini.”
Qu Feiyan tertawa dan berkata, “Kalau begitu keluarkan saja obatmu sekarang.”
Yilin pun mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari balik bajunya dan menuangkan tiga butir pil, lalu berkata, “Ini adalah Pil Empedu Beruang Putih. Kau saja yang memberikan kepadanya.”
“Dalam keadaan gelap begini, sayang sekali kalau obatmu sampai jatuh ke lantai dan hilang,” jawab Qu Feiyan. “Ini menyangkut nyawa seseorang. Kakak, jika kau takut berada di dalam kamar ini, maka sebaiknya kau saja yang pergi mencari pemantik api.”
Di satu sisi Yilin merasa takut berada di dalam kamar gelap bersama seorang laki-laki tidak dikenal, namun di sisi lain ia juga takut berkeliaran sendiri di dalam sebuah rumah pelacuran. Maka, biksuni muda itu pun menjawab, “Tidak, tidak... aku tidak mau pergi.”
“Jika kau berniat menolong nyawa seseorang, maka kau tidak boleh melakukannya dengan setengah-setengah,” ujar Qu Feiyan. “Kakak yang baik, masukkan saja obatmu ke dalam mulutnya, lalu minumkan teh dalam cangkir ini untuk membantu dia agar mudah menelan. Keadaan kamar ini gelap gulita; kenapa kau harus takut dia mengenalimu? Terimalah cangkir teh ini, jangan sampai tumpah.”
Perlahan-lahan Yilin meraba tangan Qu Feiyan dan menerima cangkir teh tersebut. Dalam hati ia merenung, “Guru selalu mengajarkan kepadaku bahwa seorang pengikut Buddha harus mengutamakan sifat welas asih. Menolong satu nyawa jauh lebih mulia daripada membangun tujuh tempat ibadah. Meskipun orang ini tidak tahu di mana jasad Kakak Linghu berada, aku harus tetap mengobatinya.”
Perlahan-lahan Yilin menyentuh wajah pria itu dan merabanya sampai bertemu bagian mulut. Dimasukkannya ketiga butir Pil Empedu Beruang Putih di tangannya ke dalam mulut orang itu dan kemudian diminumkannya secangkir teh tadi sampai beberapa teguk. Samar-samar ia mendengar orang itu berkata lirih, “Terima... kasih.”
Yilin tertegun sejenak, kemudian kembali bertanya, “Tuan Pendekar, aku tahu lukamu sangat parah. Tidak sepantasnya aku mengganggu istirahatmu. Tapi, aku terpaksa harus bertanya sekarang juga. Apakah Tuan mengetahui di mana jasad Kakak Linghu Chong berada?”
“Jasad... jasad siapa?” sahut orang itu lirih. Suaranya menggumam tidak jelas.
“Jasad Pendekar Linghu Chong. Apakah kau mengetahuinya?” ujar Yilin sambil mendekatkan telinganya di depan mulut orang itu.
Orang itu kembali bergumam dengan suara tidak jelas. Yilin kembali mengulangi pertanyaan dengan lebih mendekatkan telinganya, namun orang itu bergumam semakin tidak jelas. Hanya suara napasnya yang terdengar naik turun. Sepertinya ia sudah berusaha keras menjawab pertanyaan Yilin namun suaranya tidak bisa dikeluarkan lagi.

Yilin mengobati pria tak dikenal.
Seketika Yilin teringat bahwa Salep Penyambung Langit dan Pil Empedu Beruang Putih memiliki efek samping yang cukup keras selain khasiatnya yang manjur. Lebih-lebih, Pil Empedu Beruang Putih yang berguna mengobati luka dari dalam akan membuat si pengguna kehilangan kesadaran sampai beberapa jam. Menyadari hal ini diam-diam Yilin merasa malu. Tidak sepantasnya ia memaksakan diri bertanya demikian kepada orang itu. Perlahan ia menghela napas lalu melangkah mundur dan berkata, “Biarlah dia beristirahat dulu. Akan kutunggu di sini.”
“Apa nyawa orang ini bisa diselamatkan?” tanya Qu Feiyan.
“Aku berharap demikian,” jawab Yilin. “Luka di dadanya terlalu dalam, hampir mengenai jantung. Nona Qu, sebenarnya.... siapa sebenarnya orang ini?”
Qu Feiyan tidak menjawab. Ia justru mengalihkan pembicaraan, “Ternyata benar apa yang dikatakan kakekku; kau ini belum bisa mengesampingkan urusan duniawi. Kau tidak seharusnya menjadi biksuni.”
Yilin terheran-heran dan bertanya, “Jadi, kakekmu mengenal aku? Bagaimana... bagaimana dia bisa mengetahui sifatku?”
Qu Feiyan menjawab, “Kemarin Kakek dan aku menyaksikan pertandingan antara Linghu Chong dan Tian Boguang di Rumah Arak Huiyan.”
“Oh, jadi yang duduk semeja denganmu kemarin adalah kakekmu?” tanya Yilin menegas.
“Benar sekali,” sahut Qu Feiyan. “Kakak Linghu-mu itu memang pandai bersilat lidah. Saat dia mengaku sebagai ahli silat sambil duduk nomor dua di dunia, Kakek sempat percaya dan penasaran ingin melihat sampai tuntas. Kakek ingin tahu bagaimana Jurus Pedang Kakus bisa mengalahkan Tian Boguang. Tidak tahunya... hahahaha!”
Meskipun keadaan gelap gulita, sehingga Yilin tidak bisa melihat dengan jelas wajah Qu Feiyan, namun ia dapat membayangkan gadis kecil itu sedang tertawa terpingkal-pingkal. Tentu saja ini membuat perasaannya bertambah sedih.
Qu Feiyan melanjutkan, “Setelah Tian Boguang meninggalkan tempat pertarungan, Kakek menyebutnya sebagai pengecut yang tidak dapat dipercaya. Jelas-jelas dia sudah kalah, tapi tidak mau menyembahmu sebagai guru. Bagaimana bisa dia kabur begitu saja dan mengingkari janjinya?”
“Kakak Linghu hanya main akal-akalan saja,” jawab Yilin. “Dia tidak menang dalam arti yang sebenarnya.”
Qu Feiyan berkata, “Kakak Yilin, kau ini benar-benar baik. Meskipun Tian Boguang sudah berbuat jahat tapi kau masih saja membelanya.”
Yilin hanya terdiam tidak menjawab.
Qu Feiyan melanjutkan, “Setelah Kakak Linghu-mu saling bunuh dengan murid Qingcheng, kau segera menggendong tubuhnya meninggalkan rumah arak tanpa tujuan yang jelas. Waktu itu Kakek berkata, ‘Biksuni cilik ini mudah jatuh cinta. Aku khawatir kematian Linghu Chong bisa membuatnya gila. Mari kita ikuti dari belakang.’
Diam-diam kami pun mengikutimu yang berjalan entah ke mana. Kakek kembali berkata, ‘Feifei, coba kau lihat biksuni itu. Andai saja Linghu Chong tidak mati, tentu dia akan memelihara rambut dan menjadi istrinya.’”
Seketika wajah Yilin bersemu merah. Untungnya keadaan sangat gelap sehingga Qu Feiyan tidak bisa melihatnya.
“Kakak, apakah perkataan kakekku benar?” sahut Qu Feiyan bertanya.
“Aih, bukan begitu,” jawab Yilin. “Aku sungguh merasa bersalah karena menyebabkan kematian Kakak Linghu. Aku berharap bukan dia yang mati, tetapi diriku saja. Andai Sang Buddha bersedia mencabut nyawaku untuk menggantikan Kakak Linghu, aku rela. Asalkan Kakak Linghu bisa hidup kembali, meskipun harus masuk neraka paling dasar dan tidak dilahirkan kembali... aku beredia.”
Yilin mengucapkan sumpahnya dengan suara agak keras dan bersungguh-sungguh, sehingga orang yang terluka di atas ranjang itu pun terbangun dan merintih perlahan.
“Nona Qu, dia sudah bangun,” seru Yilin gembira. “Coba kau tanyakan apakah keadaannya sudah lebih baik?”
“Kenapa harus aku yang bertanya? Memangnya kau sendiri tidak punya mulut?” ujar Qu Feiyan.
Sejenak Yilin merasa ragu-ragu. Ia kemudian melangkah maju dan menyingkap kelambu. Perlahan ia bertanya, “Tuan, apakah...?
Tiba-tiba orang itu kembali merintih. Yilin merasa belum saatnya untuk mengajukan pertanyaan. Maka itu, ia pun mundur kembali. Sayup-sayup terdengar napas orang itu mulai teratur, pertanda keadaannya sudah jauh lebih baik. Sepertinya ia kembali tertidur.
Qu Feiyan melanjutkan pembicaraan, “Kakak, mengapa kau rela mati demi Linghu Chong? Apakah dirimu benar-benar menyukainya?”
“Tidak, tidak!” sahut Yilin cepat. “Aku ini seorang biarawati, tidak boleh memikirkan urusan duniawi. Kakak Linghu dan aku sama sekali belum pernah bertemu, tapi... tapi dia rela mengorbankan nyawa demi untuk melindungi kehormatanku. Aku hanya... aku hanya merasa berhutang budi kepadanya.”
Qu Feiyan bertanya, “Lantas, apabila dia hidup kembali, apakah kau bersedia melakukan apa saja untuknya?”
“Tentu saja!” sahut Yilin. “Meskipun harus mati seribu kali aku tidak akan menolak.”
Tiba-tiba Qu Feiyan berseru dengan suara keras, “Kakak Linghu, kau dengar itu tidak? Kakak Yilin telah menyatakan perasaannya....”
“Nona Qu, kau jangan bercanda?” sela Yilin dengan perasaan gusar.
Qu Feiyan tidak peduli. Ia tetap saja berteriak, “Kakak Linghu, dia telah berkata bahwa jika kau tidak mati, maka dia akan melakukan segalanya untukmu.”
Dari nada ucapan Qu Feiyan yang tegas, Yilin dapat merasakan kalau gadis kecil ini tidak sedang bercanda. Seketika jantung biksuni muda itu berdebar kencang dan perasaannya gelisah. Ia hanya bisa berkata, “Kau... kau....”
Tiba-tiba Qu Feiyan mengeluarkan pemantik api yang sejak tadi disembunyikannya di dalam baju. Setelah menyalakan lilin, ia tersenyum lebar sambil meraih lengan Yilin dan mengajaknya mendekati ranjang. Pada saat gadis kecil itu menyingkap kelambu, jantung Yilin berdebar semakin kencang. Matanya berkunang-kunang menyaksikan wajah pria yang baru saja diobatinya itu. Seketika kakinya terasa lemas dan hampir saja ia jatuh di lantai.
Qu Feiyan buru-buru meraih bahu Yilin dan membantunya berdiri tegak. Ia lantas berkata, “Aku tahu ini akan menjadi kejutan besar untukmu. Sekarang lihatlah dengan jelas, siapa sebenarnya orang ini!”
Yilin hanya bisa berkata, “Dia... dia adalah....” Suaranya terdengar sangat lirih. Dilihatnya pria yang berbaring di atas ranjang tersebut ternyata seorang pemuda berwajah bersih, beralis lentik, dan berbibir tipis. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah sang pahlawan penolong yang kemarin berjuang mati-matian di Rumah Arak Huiyan. Dia adalah Linghu Chong.
Yilin kembali berkata dengan suara gemetar sambil menarik lengan Qu Feiyan, “Jadi, dia... dia... dia belum mati?”
Qu Feiyan menjawab, “Dia memang belum mati. Tapi kalau obatmu tidak manjur, dia pasti akan mati.”
“Tidak, dia tidak akan mati. Dia tidak akan mati! Dia... dia pasti selamat,” seru Yilin. Karena terlalu gembira, ia pun menangis pula.
“Hei, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?” tanya Qu Feiyan terheran-heran.
Kedua kaki Yilin terasa lemas. Ia lalu duduk di atas ranjang sambil tetap menangis. “Aku sungguh bahagia. Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadamu. Nona Qu, ternyata kau telah... kau telah menyelamatkan nyawa Kakak Linghu.”
Qu Feiyan menjawab, “Bukan aku, tapi kau sendiri yang telah menolongnya. Aku tidak tahu cara mengobati orang, dan aku juga tidak memiliki Salep Penyambung Langit.”
Seketika Yilin menyadari sesuatu. Ia pun bangkit dan memegang lengan Qu Feiyan, lalu berkata, “Pasti kakekmu yang telah melakukan ini semua. Kakekmu yang telah membawa Kakak Linghu kemari.”
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil-manggil di luar, “Yilin! Yilin!”
Yilin sangat terkejut karena suara tersebut adalah suara Biksuni Dingyi. Ia berniat menjawab namun Qu Feiyan segera membungkam mulutnya dan mematikan lilin.
“Apa kau lupa ini tempat apa?” bisik Qu Feiyan. “Jangan menjawab panggilan gurumu!”
Yilin terdiam. Ia merasa serbasalah. Di satu sisi ia malu berada di tempat pelacuran, dan di sisi lain perbuatan tidak menjawab panggilan sang guru adalah sesuatu yang tidak pernah ia lakukan seumur hidup.
Biksuni Dingyi kembali berteriak, “Tian Boguang, keluar kau! Bebaskan Yilin!”
Maka terdengarlah suara Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dari arah kamar sebelah barat. Penjahat itu kemudian berkata, “Hei, mungkinkah yang datang ini Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih?” Setelah melanjutkan gelak tawa, ia kembali berkata, “Seharusnya aku keluar untuk memberi hormat. Tapi, di sampingku sedang ada teman-teman cantik. Mohon maaf aku tidak bisa keluar untuk menemuimu. Hahaha!”
Menyusul kemudian terdengar suara tawa para perempuan yang menemani Tian Boguang di kamar itu. Sudah pasti mereka adalah para pelacur penghuni Wisma Kumala tersebut. Salah seorang dari mereka berkata, “Sayangku, jangan pedulikan nenek itu. Beri aku ciuman lagi....”
Dingyi semakin gusar mendengar suara-suara genit dari dalam kamar tersebut yang semakin keras dan keras. Ia pun berteriak, “Tian Boguang, kalau tidak segera keluar, aku akan mencincang tubuhmu hingga hancur lebur!”
“Kalau aku keluar, kau akan mencincang tubuhku; kalau aku tetap di sini, kau juga akan mencincang tubuhku,” sahut Tian Boguang. “Ah, kalau begitu lebih baik aku tetap di sini saja, bersama teman-teman manis ini... Ayo, sayang!”
Tian Boguang kembali bergelak tawa bersama para pelacur tersebut. Ia kemudian berseru, “Biksuni Dingyi, tempat seperti ini tidak pantas didatangi oleh biarawati sepertimu. Lebih baik kau lekas pulang saja. Muridmu tidak ada di sini. Dia seorang biksuni muda yang alim dan taat agama. Kalau dia sampai main ke sini tentu ini suatu kejadian yang aneh bin ajaib. Mengapa kau tidak merasa risih mencarinya di tempat seperti ini?”
Dingyi sudah hilang kesabaran. Ia berteriak kepada murid-muridnya, “Bakar saja! Bakar saja sarang anjing ini! Kita lihat sampai kapan binatang itu bisa bertahan!”
“Hei, Biksuni Dingyi,” seru Tian Boguang sambil tetap bergelak tawa. “Tempat ini bernama Wisma Kumala, salah satu tempat terkenal di Kota Hengshan. Jika kau sampai membakarnya, maka dalam sekejap akan tersiar kabar di seluruh dunia persilatan bahwa seorang alim bernama Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih telah mendatangi sebuah rumah pelacuran. Orang-orang akan bertanya, ‘Mengapa seorang biksuni sepuh mendatangi tempat mesum?’ – Jawabnya, ‘Untuk mencari muridnya.’ – Selanjutnya mereka akan bertanya, ‘Kenapa seorang murid Perguruan Henshan sampai datang ke rumah pelacuran?’ – Nah, bukankah ini akan menjatuhkan nama baik perguruanmu?”
Tian Boguang tertawa semakin keras lalu melanjutkan, “Biksuni Dingyi, aku terpaksa mengatakan sesuatu kepadamu. Seumur hidup, Tian Boguang tidak pernah takut terhadap langit, tidak pernah gentar terhadap bumi. Tapi sekarang aku sangat takut bila bertemu muridmu yang satu itu. Kalau sampai bertemu dengannya lebih baik aku menyingkir jauh-jauh. Jadi, mana mungkin aku berani kurang ajar kepadanya?”
Dingyi menjadi bimbang mendengar perkataan Tian Boguang. Namun menurut laporan muridnya yang bertugas membuntuti, jelas-jelas Yilin masuk ke dalam Wisma Kumala bersama Qu Feiyan. Bahkan kemudian Tian Boguang muncul dan menyerang murid pengintai tersebut. Untung saja murid Henshan tersebut berhasil meloloskan diri karena si penjahat cabul tidak tega membunuhnya.
Karena merasa bingung tidak tahu harus berbuat apa, Biksuni Dingyi hanya bisa menendang tiang bendera di depan rumah pelacuran itu dengan persaan gusar.
Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dari arah genting Wisma Kumala yang bertanya dengan nada dingin, “Tian Boguang, apa benar kau yang telah membunuh Peng Renqi, muridku?” Suara ini tidak lain adalah suara Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
“Wah, wah, ketua Perguruan Qingcheng juga datang ke sini. Hari ini Wisma Kumala benar-benar laris. Pasti sebentar lagi namanya akan terkenal di seluruh dunia. Tentu majikan tempat ini akan sangat bergembira. Hahaha!” seru Tian Boguang tertawa. “Aku memang telah membunuh seorang bocah berseragam ungu. Ilmu pedangnya sangat rendah, mirip ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Tapi aku sendiri tidak tahu apakah namanya Peng Renqi atau bukan. Maklum saja, kami belum sempat berkenalan, tahu-tahu dia sudah mati.”
Tanpa banyak bicara Yu Canghai langsung merusak atap di atas kamar Tian Boguang dan meloncat turun ke bawah. Sekejap kemudian terdengar suara senjata beradu, pertanda telah terjadi pertarungan seru antara ketua Perguruan Qingcheng tersebut melawan si penjahat cabul.
Sambil berdiri di dekat atap yang berlubang tadi, Biksuni Dingyi menyaksikan pertarungan antara mereka berdua. Diam-diam ia memuji kehebatan ilmu golok Tian Boguang. “Ilmu silat bajingan ini hebat juga. Serangan goloknya yang cepat mampu mengimbangi pedang seorang ketua Perguruan Qingcheng.”
Tiba-tiba terdengar suara keras berdentum. Karena cemas, Yilin segera memegangi lengan Qu Feiyan. Ia bertanya-tanya, siapakah yang kalah, Yu Canghai atau Tian Boguang? Meskipun dirinya pernah hampir saja diperkosa oleh Tian Boguang, namun dalam pertarungan tersebut ia justru mengharapkan kekalahan Yu Canghai. Ia ingin Yu Canghai segera pergi dari tempat itu supaya tidak mengganggu ketenangan Linghu Chong. Apalagi kalau Yu Canghai menang dan menemukan ruang rahasia tersebut, tentu ia akan menyakiti Linghu Chong dan membunuhnya pula.
Ternyata suara dentuman keras tadi adalah hancurnya dinding kamar akibat dijebol oleh Tian Boguang. Penjahat cabul itu sengaja mencari jalan keluar supaya bisa bertarung di tempat yang lebih leluasa, karena di dalam kamar terdapat beberapa orang pelacur yang terjebak ketakutan.
“Pendeta Yu, mari kita lanjutkan pertarungan di tempat yang lebih luas. Kalau aku kalah kau boleh memiliki Si Giok Kecil. Tapi kalau aku yang menang, maka kau tidak boleh mengincar dia lagi! Hahaha!” demikian ujar Tian Boguang sambil berlari menjauhi Wisma Kumala.
Hampir saja kemarahan Yu Canghai meledak mendengar ejekan itu. Si Giok Kecil adalah primadona Wisma Kumala, yaitu salah satu dari para pelacur yang tadi berada di kamar bersama Tian Boguang. Diam-diam ketua Perguruan Qingcheng itu berpikir, “Pertarungan di dalam kamar tadi telah membuktikan kalau ilmu golok penjahat itu benar-benar lihai. Lebih dari lima puluh jurus berlalu namun aku tidak dapat menjatuhkannya. Goloknya dapat bertahan dan menyerang dalam waktu bersamaan. Ilmu silatnya tidak lebih rendah dariku. Jika pertarungan ini dilanjutkan di tempat terbuka, aku tidak yakin apakah bisa menang melawan dia.”

Yu Canghai menjebol atap dan memburu Tian Boguang.
Untuk sementara waktu suasana berubah sunyi senyap. Yilin seolah-olah bisa mendengar bunyi detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang. Ia mendekati wajah Qu Feiyan dan berbisik, “Apakah... apakah mereka akan masuk kemari?”
Meskipun usia Qu Feiyan lebih muda, namun dalam keadaan gawat seperti ini ia tetap berusaha tenang. Gadis kecil itu tidak menjawab dan segera membungkam mulut Yilin.
Kemudian terdengar suara Liu Zhengfeng berkata, “Pendeta Yu, meskipun kejahatan Tian Boguang sudah setinggi gunung, kita tidak perlu repot-repot membereskannya sekarang. Kita bisa membuat perhitungan dengannya lain waktu. Rumah mesum ini merupakan tempat hina di dalam Kota Hengshan. Sudah lama aku ingin membersihkannya. Biarlah aku yang menggeledah tempat ini. Seorang pun tidak akan kubiarkan lolos.”
Liu Zhengfeng kemudian menyuruh Xiang Danian dan Mi Weiyi untuk menggeledah seluruh penjuru Wisma Kumala. Tidak ketinggalan, Yu Canghai segera memerintahkan murid-murid Qingcheng ikut menyerbu ke dalam. Biksuni Dingyi yang semula ragu-ragu lantas memerintahkan pula murid-murid Henshan untuk membantu.
Mendengar itu Yilin semakin cemas. Murid-murid Hengshan, Henshan, dan Qingcheng menyebar ke segala arah. Terdengar jerit tangis para pelacur dan germo wisma tersebut karena diberi pelajaran oleh Xiang Danian dan yang lain. Murid-murid Qingcheng bertindak lebih kasar lagi. Mereka mengobrak-abrik Wisma Kumala sebagai upaya balas dendam atas kematian Peng Renqi. Terdengar suara mereka membentak-bentak sambil membanting perabotan wisma.
Sadar bahwa orang-orang itu cepat atau lambat akan menemukan tempatnya, Yilin semakin takut dan hampir jatuh pingsan. Dalam hati ia meratap, “Bagaimana ini? Tadi sewaktu Guru memanggil, aku diam tidak menjawab. Sebentar lagi mereka akan menemukan diriku berada di dalam kamar bersama seorang pria. Apalagi ini adalah rumah pelacuran. Meskipun Kakak Linghu dalam keadaan terluka parah, tetap saja mereka menuduhku berbuat yang tidak baik. Sekalipun aku memiliki seribu mulut, tetap saja aku tidak bisa membela diri. Nama baik Perguruan Henshan akan tercemar olehku. Aku... aku tidak akan mempunyai muka lagi untuk bertemu Guru dan para kakak sekalian.”
Diam-diam Yilin melolos pedangnya untuk bunuh diri. Namun begitu pedang itu hampir menggorok lehernya, tahu-tahu lengannya sudah dipegang erat oleh Qu Feiyan. Gadis kecil itu berbisik, “Jangan gila!”
Ternyata begitu mendengar suara pedang dicabut dari sarungnya, Qu Feiyan langsung bisa menebak apa yang hendak dilakukan Yilin. Dalam kegelapan, tangannya bergerak cepat mencegah lengan Yilin berbuat lebih lanjut. “Lebih baik kita menerjang keluar saja,” demikian ia berkata.
Tiba-tiba terdengar suara perlahan dari arah ranjang. Rupanya Linghu Chong sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Ia berkata perlahan, “Nyalakan lilin!”
“Untuk apa?” tanya Qu Feiyan.
“Aku bilang nyalakan lilin!” sahut Linghu Chong lirih tapi dengan nada tegas. Qu Feiyan tidak berani membantah lagi. Ia pun memenuhi permintaan murid Huashan tersebut.
Di bawah cahaya lilin Yilin melihat wajah Linghu Chong pucat pasi seperti mayat. Ia sangat terkejut dan hampir saja menjerit karenanya.
“Ambilkan... itu,” ujar Linghu Chong sambil menunjuk bajunya yang tertaruh di atas ranjang. “Pakaikan di bahuku.”
Dengan tangan gemetar, Yilin mengambil baju seragam Huashan tersebut dan memakaikannya di pundak Linghu Chong. Dengan demikian luka dan darah di dada pemuda itu tidak terlihat lagi.
“Kalian berdua, tidurlah di ranjang ini,” perintahnya kemudian.
“Aha, ini pasti menyenangkan,” ujar Qu Feiyan sambil tersenyum. Ia pun menarik Yilin yang masih kebingungan dan membawa biksuni lugu itu naik ke atas ranjang. Keduanya lalu berlindung di balik selimut.
Rupanya para penggeledah sudah mulai menemukan cahaya lilin yang terpancar samar-samar dari dalam kamar rahasia tersebut. “Hei, di sini ada kamar. Mari kita periksa!” seru seseorang. Dalam waktu singkat, terdengar suara langkah kaki beberapa orang menuju ke kamar rahasia tersebut.
Linghu Chong menghirup napas dalam-dalam. Ia membuka jendela untuk mendapatkan udara segar, kemudian mengunci pintu dengan palang kayu. Setelah itu, ia kembali ke tempat tidur dan menutup kelambu. “Kalian berdua bersembunyilah di dalam selimut!” ujarnya memberi perintah.
Yilin menyahut, “Jangan banyak bergerak. Hati-hati... hati-hati dengan lukamu.”
Linghu Chong segara menata Yilin dan Qu Feiyan supaya berpelukan menjadi satu. Tubuh mereka ditutup dengan selimut, namun rambut Qu Feiyan yang panjang dibiarkan terurai di atas bantal. Hanya karena bergerak demikian, luka di dada pemuda itu pecah kembali dan mengucurkan darah. Seketika kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh terduduk di tepi ranjang.
Sementara itu, murid-murid tiga perguruan sudah berteriak-teriak dan menggedor pintu. “Buka pintu! Lekas buka pintu!” Tidak lama kemudian, pintu kamar tersebut hancur karena ditendang dari luar.
Di antara orang-orang yang datang itu terdapat Hong Renxiong dari Qingcheng. Tanpa sadar, ia pun melompat mundur karena terkejut melihat Linghu Chong duduk di tepi ranjang.
“Kau... kau Linghu Chong!” ujarnya gugup.
Xiang Danian, Mi Weiyi, dan yang lain belum pernah bertemu dengan Linghu Chong. Namun mendengar sepak terjang pemuda itu yang pernah menantang Tian Boguang dan membunuh Luo Renjie, mau tidak mau mereka merasa gentar dan melangkah mundur. Kini semua mata hanya memandang tajam ke arah murid Huashan nomor satu itu tanpa berbicara sedikit pun.
Linghu Chong bangkit perlahan-lahan dan berkata, “Kalian.... semua, ada perlu apa?”
Hong Renxiong berkata gemetar, “Linghu... Linghu Chong, kau... kau belum mati?”
“Mana mungkin aku mati semudah itu?” jawab Linghu Chong datar.
Tiba-tiba Yu Canghai muncul di belakang mereka dan melangkah maju ke depan. “Jadi, kau ini yang bernama Linghu Chong? Bagus sekali, bagus sekali!” ujarnya sambil tersenyum menyeringai.
Linghu Chong memandang tajam ke arah ketua Perguruan Qingcheng tersebut tanpa menjawab sepatah kata pun.
“Untuk apa kau berada di tempat ini?” tanya Yu Canghai.
Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Apa kau pura-pura tidak tahu? Menurutmu, apa yang dilakukan seorang laki-laki di dalam rumah pelacuran?”
“Hm, konon kabarnya tata tertib Perguruan Huashan terkenal ketat,” ujar Yu Canghai dengan nada dingin. “Kau adalah murid Huashan nomor satu, murid terbaik Tuan Yue, si Pedang Budiman. Tapi, kau malah tidur di sini bersama pelacur. Sungguh menggelikan, sungguh memalukan!”
“Tata tertib Perguruan Huashan adalah urusan kami,” sahut Linghu Chong. “Orang luar seperti dirimu tidak perlu ikut campur.”
Yu Canghai berpengalaman luas di dunia persilatan. Melihat keadaan Linghu Chong yang pucat pasi dan gemetaran, jelas kalau pemuda ini sedang terluka parah. Diam-diam ketua Qingcheng itu berpikir, “Bocah ini ternyata masih hidup. Padahal, si biksuni cilik dari Henshan bercerita kalau dia dan Renjie saling bunuh dan mati bersama. Mungkin saja biksuni cilik itu sengaja mengarang cerita palsu. Selama bercerita, dia menyebut bocah ini dengan panggilan ‘Kakak Linghu’ begitu mesra. Mungkin saja di antara mereka berdua sudah terjalin hubungan gelap. Hm, jelas-jelas tadi ada laporan kalau biksuni cilik itu masuk ke tempat ini. Namun sampai kini belum ada yang bisa menemukannya. Aku yakin, dia pasti disembunyikan oleh si bocah Linghu Chong entah di mana. Hehe, Serikat Pedang Lima Gunung selalu menyebut diri sendiri sebagai kaum lurus bersih di dunia persilatan, dan memandang rendah terhadap Perguruan Qingcheng. Jika malam ini aku berhasil menyeret biksuni cilik itu keluar dari persembunyiannya, maka bukan hanya nama baik Perguruan Huashan dan Henshan yang tercemar, tapi seluruh Serikat Pedang Lima Gunung juga akan kehilangan muka di dunia persilatan. Mereka tidak akan berani sombong lagi.”

Linghu Chong bangun dari pingsan.
(Bersambung)

bagian 13 ; halaman muka ; bagian 15