Bagian 99 - Melampiaskan Dendam

Dongfang Bubai merawat Yang Lianting.
Tong Baixiong tidak tahan melihatnya. Ia melangkah maju dan berseru, “Adik Dongfang, kau … kau ini sedang apa?”

Dongfang Bubai mengangkat kepalanya dan bertanya dengan wajah cemberut, “Apakah kau termasuk orang yang mencelakai Adik Lian-ku?”

“Adik Dongfang, mengapa kau terima dipermainkan orang bermarga Yang ini?” balas Tong Baixiong. “Dia telah menyuruh seorang tolol untuk memalsukan dirimu. Dia juga memberi perintah serta main kuasa sesuka hati. Apakah kau sudah mengetahui itu semua?”

“Tentu saja aku tahu,” jawab Dongfang Bubai. “Justru demi kebaikanku inilah Adik Lian sedemikian rajin mengurus segalanya. Dia tahu aku malas mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang membosankan itu, maka dia sengaja mengerjakannya untukku. Lantas, apa jeleknya?”

“Orang ini hendak membunuhku, apakah kau pun tahu?” tanya Tong Baixiong sambil menuding Yang Lianting.

“Aku tidak tahu,” sahut Dongfang Bubai sambil menggeleng perlahan. “Tapi kalau Adik Lian mau membunuhmu, tentu kau yang bersalah. Lalu mengapa kau tidak membiarkan dirimu dibunuh saja olehnya?”

Tong Baixiong tercengang bingung. Namun ia lantas mendongak dan bergelak tawa. Suara tawanya penuh rasa penasaran dan sedih. Ia kemudian berkata, “Jadi, kalau dia ingin membunuhku, maka kau lantas membiarkan dia membunuh sesukanya, begitu?”

“Benar. Apa yang ingin dilakukan oleh Adik Lian tentu akan kuusahakan agar keinginannya tercapai. Di dunia ini hanya dia seorang yang benar-benar baik padaku, maka aku pun akan selalu berbuat baik kepadanya,” kata Dongfang Bubai. “Kakak Tong, kita pernah hidup bersama senasib sepenanggungan. Selama ini kita bersahabat dengan akrab. Hanya saja, tidak seharusnya kau menyinggung Adik Lian.”

Dengan wajah merah padam Tong Baixiong berteriak, “Tadinya kukira kau sudah sinting, tapi ternyata kau cukup sadar dan masih ingat kalau kita adalah sahabat karib dan punya hubungan akrab di masa lampau.”

“Ya. Jika kau bersalah padaku, aku masih bisa menerima. Tapi kalau kau bersalah kepada Adik Lian, hal ini yang tidak bisa kubiarkan,” kata Dongfang Bubai.

“Dan sekarang aku sudah menyinggung dia, lantas kau mau apa?” teriak Tong Baixiong. “Keparat ini hendak membunuhku. Hm, kukira dia tidak akan mampu.”

Perlahan-lahan Dongfang Bubai membelai rambut Yang Lianting dan bertanya dengan suara lembut, “Adik Lian, apakah kau ingin aku membunuhnya?”

Yang Lianting marah dan membentak, “Lekas kerjakan! Jangan banyak tanya seperti nenek-nenek, membuat kesal saja!”

“Baik,” sahut Dongfang Bubai dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Tong Baixiong dan berkata, “Kakak Tong, mulai hari ini kita putus hubungan dan putus persaudaraan. Tolong jangan kau salahkan tindakanku ini!”

Ketika berangkat dari balairung tadi Tong Baixiong sempat merampas sebilah golok dari seorang penjaga. Kini mendengar ucapan Dongfang Bubai itu, tanpa terasa ia mundur dua langkah dan bersiap siaga sambil menghunus golok tersebut. Ia cukup kenal betapa lihai ilmu silat sang ketua. Meski sekarang penampilannya aneh, namun tetap tidak boleh dipandang ringan.

Dongfang Bubai menyeringai dan berkata, “Aih, ini sungguh sulit bagiku. Kakak Tong, aku masih ingat kejadian dahulu ketika kau menyelamatkan diriku dari keroyokan Tujuh Macan Ludong di Gunung Taising. Waktu itu aku sudah terluka parah. Bila kau tidak datang membantu tentu aku takkan hidup lagi sampai hari ini.”

“Hm, rupanya kau belum lupa akan peristiwa lama itu,” sahut Tong Baixiong.

“Mana bisa lupa? Bahkan hal-hal lain pun aku masih ingat dengan baik,” ujar Dongfang Bubai. “Misalnya, ketika pertama kali aku menjadi ketua, Tetua Luo menolak mematuhi perintahku. Tapi dengan sekali tebas, kau langsung membinasakan Tetua Luo, sehingga sejak saat itu para saudara yang lain menjadi segan kepadaku. Kau benar-benar saudaraku yang paling baik.”

Tong Baixiong melirik sekejap ke arah Ren Woxing, lalu menjawab, “Aku yang salah. Mungkin pada waktu itu aku sudah pikun.”

“Kau tidak salah, kau pun tidak pikun, tapi kau memang sangat baik padaku,” kata Dongfang Bubai. “Aku bertemu denganmu saat usiaku sebelas tahun. Waktu itu keluargaku sangat miskin, dan engkaulah yang selalu membantu kehidupan kami. Bahkan, kau pula yang membayar ongkos pemakaman ayah dan ibuku ketika mereka meninggal berturut-turut.”

“Urusan-urusan yang sudah berlalu untuk apa dibicarakan lagi?” ujar Tong Baixiong.

“Aih, Kakak Tong, bukannya aku ini tidak punya hati nurani dan melupakan kebaikanmu di masa lampau,” jawab Dongfang Bubai, “masalahnya kau telah bersalah kepada Adik Lian. Dia ingin membunuhmu, terpaksa aku tidak punya jalan lain.”

“Sudahlah, sudahlah!” seru Tong Baixiong.

Tiba-tiba sesosok bayangan merah muda berkelebat. Menyusul kemudian terdengar suara golok yang dipegang Tong Baixiong jatuh ke lantai. Tubuh orang tua itu lantas terhuyung-huyung, mulutnya terbuka lebar, tapi tidak mampu bersuara. Sekejap kemudian tubuhnya jatuh ke depan dan untuk selanjutnya tidak bergerak lagi.

Meskipun robohnya Tong Baixiong itu terjadi sangat cepat, namun Ren Woxing dan yang lain dapat melihat dengan jelas pada titik di tengah kedua alis, kedua pelipis, dan di bawah hidungnya terdapat suatu titik merah kecil yang mengalirkan sedikit darah. Ternyata keempat titik merah itu akibat tusukan jarum sulam yang dipegang Dongfang Bubai. Gerakan Dongfang Bubai sendiri sangat cepat dan sama sekali tidak terduga sebelumnya.

Menyaksikan kejadian luar biasa ini, mau tidak mau Ren Woxing dan yang lain tanpa terasa mundur dua-tiga langkah. Linghu Chong memegang tangan Ren Yingying dan menarik gadis itu di belakangnya. Seketika suasana menjadi sunyi senyap dan bernapas pun mereka tidak berani keras-keras. Semua orang tahu ilmu silat Dongfang Bubai teramat tinggi, tapi sama sekali mereka tidak menduga bisa sedemikian hebatnya. Hanya dengan sebatang jarum kecil saja dan dengan kecepatan luar biasa ia dapat sekaligus menusuk empat titik mematikan pada wajah Tong Baixiong. Padahal, baru saja ia menguraikan bermacam-macam kebaikan orang tua itu, namun dalam sekejap pula sahabatnya di masa lampau tersebut sudah binasa di tangannya. Betapa culas dan keji perbuatan Dongfang Bubai sungguh membuat orang merinding.

Perlahan-lahan Ren Woxing mencabut pedangnya dan berkata, “Dongfang Bubai, aku mengucapkan selamat karena kau telah berhasil menguasai ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari.”

“Terima kasih, Ketua Ren. Kitab Bunga Mentari adalah pemberianmu. Senantiasa aku ingat kebaikanmu,” jawab Dongfang Bubai.

“Apa benar? Maka itu kau mengurung aku di bawah Danau Barat supaya tidak pernah melihat cahaya matahari lagi,” ujar Ren Woxing.

“Aku tidak membinasakan dirimu, bukan?” balas Dongfang Bubai. “Coba kalau aku menyuruh Empat Sekawan dari Jiangnan tidak mengantar air dan makanan untukmu, apa bisa kau bertahan hidup sepuluh hari atau setengah bulan, apalagi sampai sekarang?”

“O, jadi caramu memperlakukan diriku masih lumayan, begitu?” sahut Ren Woxing.

“Tentu saja,” jawab Dongfang Bubai. “Aku sengaja mengatur masa pensiunmu di Hangzhou. Bukankah menurut kata orang, di langit ada kahyangan, di bumi ada Hangzhou? Pemandangan Danau Barat dan Wisma Meizhuang adalah yang paling indah di Kota Hangzhou.”

“Hm, kau memberiku pensiun dalam penjara di dasar danau yang gelap gulita itu. Wah, aku malah harus berterima kasih padamu. Haha!!” kata Ren Woxing.

Dongfang Bubai menghela napas dan berkata, “Ketua Ren, aku tidak pernah melupakan semua kebaikanmu padaku. Tadinya aku hanya seorang pembantu Tetua Balai Angin Guntur, bawahan Kakak Tong. Kemudian kau menaruh perhatian padaku dan setiap tahun menaikkan pangkatku. Bahkan, kau juga memberikan pusaka berharga, Kitab Bunga Mentari kepadaku, serta menunjuk diriku sebagai penggantimu kelak. Semua budi baikmu ini takkan kulupakan seumur hidup.”

Linghu Chong melirik mayat Tong Baixiong dan berpikir, “Tadi kau terus-menerus memuji kebaikan Tetua Tong kepadamu, namun mendadak kau membinasakannya. Sekarang kau hendak mengulangi kelicikanmu itu pada Ketua Ren, mana mungkin Beliau bisa kau tipu dengan cara yang sama?”

Meskipun demikian, gerakan Dongfang Bubai sangat cepat luar biasa. Tadi ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang sehingga Tong Baixiong juga tidak sempat menjaga diri. Maka, Linghu Chong terpaksa mengangkat dan mengarahkan pedangnya ke dada orang itu. Asalkan sedikit saja Dongfang Bubai bergerak, ia akan segera mendahului menusuk. Jika tidak menyerang lebih dulu, tentu akan sulit mencegah orang itu menjatuhkan korban lagi di dalam kamar.

Menyadari keadaan yang gawat tersebut, Ren Woxing, Xiang Wentian, Shangguan Yun, dan Ren Yingying juga memusatkan seluruh perhatian terhadap setiap gerak-gerik Dongfang Bubai untuk menghadapi kemungkinan serangannya yang sangat mendadak.

Terdengar Dongfang Bubai berkata lagi, “Saat itu aku hanya ingin menjadi ketua, ingin berumur panjang, dan merajai dunia persilatan. Siang malam aku memeras otak untuk memikirkan cara merebut kedudukanmu dan menumpas begundalmu. Saudara Xiang, rencanaku ini ternyata tidak luput dari pandanganmu yang tajam. Di dalam Sekte Matahari dan Bulan, selain Ketua Ren dan aku, dirimu termasuk tokoh istimewa pula.”

Xiang Wentian menggenggam gagang cambuknya erat-erat. Ia menahan napas dengan tegang dan tidak berani menanggapi ucapan Dongfang Bubai itu karena takut perhatiannya terbagi.

Dongfang Bubai menghela napas, lalu melanjutkan, “Ketika awal menjadi ketua, aku pun merasa sangat bersemangat dan ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat. Tapi pujian bahwa aku ahli sastra dan berwatak kesatria sebenarnya keterlaluan. Kemudian aku mempelajari ilmu dalam Kitab Bunga Mentari. Lambat laun dapatlah ketemukan makna hidup yang sebenarnya. Aku pun sibuk berlatih tenaga dalam sehingga beberapa tahun kemudian akhirnya aku dapat memahami jalan untuk menempuh kehidupan abadi.”

Mendengarkan uraian Dongfang Bubai dengan suaranya yang melengking itu, apa yang dikatakannya cukup masuk di akal pula. Jelas hal ini menunjukkan otaknya dalam keadaan sehat. Namun demikian, dengan penampilannya yang aneh itu mau tidak mau membuat orang lain merasa ngeri dan merinding.

Perlahan-lahan sinar mata Dongfang Bubai beralih ke arah Ren Yingying, kemudian ia bertanya, “Nona Ren, selama ini bagaimana caraku memperlakukan dirimu?”

“Kau sangat baik padaku,” jawab Ren Yingying.

“Sangat baik kukira juga tidak. Hanya saja aku senantiasa sangat mengagumi dirimu,” ujar Dongfang Bubai dengan menghela napas. “Seseorang yang dilahirkan sebagai wanita seratus kali lebih beruntung daripada menjadi lelaki busuk. Apalagi kau begini cantik, begini molek, muda, dan lincah. Bila aku dapat bertukar tempat denganmu, hm, jangankan cuma jabatan Ketua Sekte Matahari dan Bulan, sekalipun menjadi kaisar juga aku lepaskan.”

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Bila kau bertukar tempat dengan Nona Ren, itu berarti aku harus menikah dengan siluman tua semacam dirimu. Wah, untuk hal ini aku harus pikir-pikir dua belas kali lebih dulu.”

Ren Woxing dan yang lain terkejut mendengar ucapan Linghu Chong itu. Dongfang Bubai sendiri memandanginya dengan mata melotot, alisnya semakin menegak. Dengan wajah sangat gusar ia bertanya, “Siapa kau? Berani kau bicara begitu padaku? Apa kau ingin isi perutmu aku keluarkan?”

Dasar sifat Linghu Chong memang pemberani, meski sudah tahu keadaan begitu berbahaya juga tidak membuatnya gentar. Dengan tertawa ia malah mengolok-olok lagi, “Apakah kau ini seorang laki-laki gagah atau seorang perempuan cantik, entahlah. Tapi yang paling membuatku jijik adalah seorang laki-laki yang memakai baju perempuan.”

“Aku bertanya padamu, siapa kau?” jerit Dongfang Bubai dengan suara melengking.

“Aku bernama Linghu Chong!”

Mendengar itu Dongfang Bubai menjadi lebih lunak dan sambil tersenyum ia berkata, “Ah, ternyata kau ini yang bernama Linghu Chong. Sudah lama aku ingin melihatmu. Kabarnya Nona Ren sangat kasmaran kepadamu. Untukmu dia rela mengorbankan jiwa dan raganya. Tadinya kukira betapa gagah dan tampan kekasih idamannya itu. Tapi, hm, ternyata cuma begini saja. Dibandingkan Adik Lian-ku, masih terlalu jauh.”

“Aku memang orang biasa saja. Bagiku yang penting adalah dapat mencintai dengan hati yang tulus dan murni,” jawab Linghu Chong tenang. “Mengenai bocah tampan bermarga Yang ini, meski gagah dan ganteng, tapi sayang, dia terlalu mata keranjang. Suka memetik bunga di sana dan mencabut rumput di sini. Di mana-mana suka bermain cinta dengan wanita cantik dan laki-laki tampan ….”

“Keparat, apa katamu? Omong kosong!” mendadak Dongfang Bubai menggeram dengan wajah merah padam. Tiba-tiba seberkas bayangan merah muda berkelebat secepat kilat. Rupanya Dongfang Bubai telah menerjang maju. Dengan jarum sulam di tangan ia menusuk ke arah wajah Linghu Chong.

Linghu Chong memang sengaja memanas-manasi Dongfang Bubai untuk memancing amarahnya. Setiap jago silat yang dibakar amarah tentu akan berkurang pula pemusatan perhatiannya. Linghu Chong sendiri sudah bersiaga dan segera menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan lawan. Tusukan pedang ini sangat cepat, arahnya tepat pula. Kalau Dongfang Bubai tidak menarik diri tentu lehernya akan tertembus pedang. Namun pada saat yang sama tahu-tahu Linghu Chong merasa pipi kirinya terasa sakit seperti digigit nyamuk. Sekejap kemudian pedangnya terasa agak bergetar pula.

Ternyata gerak serangan Dongfang Bubai benar-benar sukar dibayangkan kecepatannya. Pada detik secepat itu jarumnya telah menusuk satu kali di pipi Linghu Chong. Menyusul kemudian ia menarik kembali tangannya untuk menangkis tusukan pedang lawan menggunakan jarum tersebut. Untung tusukan pedang Linghu Chong juga teramat cepat dengan arah yang tepat pula sehingga lawan terpaksa harus menyelamatkan diri lebih dulu. Akibatnya, tusukan jarum Dongfang Bubai tadi agak melenceng. Seharusnya yang dituju adalah titik Renzhong di bawah hidung Linghu Chong, namun yang terkena justru pipi pemuda itu.

Meskipun demikian, hanya dengan menggunakan sebatang jarum kecil yang ringan Dongfang Bubai mampu menangkis pedang Linghu Chong sehingga tergetar ke samping, membuat semua orang menjerit kagum. Betapa tinggi ilmu silat Dongfang Bubai sungguh sukar dibayangkan.

Linghu Chong juga terkesiap. Ia pun sadar hari ini telah berjumpa seorang lawan tangguh yang belum pernah ditemuinya selama hidup. Bila lawan diberi kesempatan menyerang lagi bisa-bisa keselamatan jiwanya akan terancam. Maka tanpa pikir panjang, ia pun mendahului menyerang sebanyak empat kali, yang kesemuanya menusuk ke tempat mematikan di tubuh musuh.

“Hei, hebat juga ilmu pedangmu!” seru Dongfang Bubai heran sambil memuji pula. Bersamaan jarumnya juga bekerja empat kali. Semua serangan Linghu Chong itu dapat ditangkis olehnya.

Linghu Chong sama sekali tidak menemukan celah kelemahan pada jurus-jurus Dongfang Bubai. Tiba-tiba ia menggertak nyaring, disusul pedangnya menebas dari atas ke arah kepala lawan. Namun Dongfang Bubai segera mengacungkan jarumnya ke atas pula. Tebasan pedang itu pun lagi-lagi tertangkis oleh jarum sulam, tidak sanggup melaju ke bawah.

Linghu Chong merasa tangannya linu dan pegal oleh getaran tenaga lawan. Tiba-tiba bayangan merah muda kembali berkelebat. Kali ini Dongfang Bubai menusukkan jarumnya ke arah mata kiri Linghu Chong. Dalam keadaan demikian Linghu Chong tidak sempat menghindar maupun menangkis. Maka, ia pun menusukkan pedangnya ke mata kiri Dongfang Bubai dengan tidak kalah cepat pula. Serangan semacam ini adalah serangan gugur bersama musuh.

Serangan yang dipakai Linghu Chong tersebut biasanya dipakai kaum rendahan dan tidak lazim digunakan oleh jago silat mana pun juga. Namun Linghu Chong tidak pernah menganggap dirinya seorang jago silat, sertal Ilmu Sembilan Pedang Dugu sendiri juga tidak memiliki jurus serangan yang tetap. Semuanya tergantung keadaan dan menurut kemauan pemakainya. Lantaran sudah terdesak itulah, maka tanpa pikir lagi Linghu Chong pun melancarkan serangan yang sama dengan musuhnya. Begitulah, ia segera merasa alis kirinya terasa sakit, sedangkan Dongfang Bubai juga melompat ke samping untuk menghindari tusukan pedangnya.

Ternyata alis kiri Linghu Chong telah terkena tusukan jarum sulam. Tadinya Dongfang Bubai mengincar mata kirinya namun karena mata sendiri juga terancam, maka ia pun sedikit mengelak sehingga serangannya pun meleset hanya mengenai alis lawan. Karena kaget dan khawatir, Linghu Chong segera melancarkan serangan-serangan gencar pula. Meski tidak diberi kesempatan untuk melancarkan balasan, Dongfang Bubai mampu menghindar kian kemari dengan sangat gesit dan lincah. “Ilmu pedang bagus! Pendekar pedang hebat!” serunya.

Melihat keadaan bertambah gawat, Ren Woxing dan Xiang Wentian segera ikut menerjang maju. Tiga tokoh sakti telah bertempur bersama-sama. Andai kata beribu-ribu prajurit menghadang juga tidak akan mampu menandingi ketiga orang itu. Namun yang mereka hadapi kali ini adalah jago silat nomor satu di dunia. Dengan bersenjata sebatang jarum saja Dongfang Bubai dapat menyelinap ke sana kemari dengan gerakan secepat kilat. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda dirinya akan terdesak kalah.

Shangguan Yun segera ikut mencabut goloknya dan maju membantu. Keadaan kini menjadi empat lawan satu. Pada saat paling sengit, tiba-tiba Shangguan Yun menjerit. Goloknya terpental jatuh, disusul tubuhnya terjungkal sambil tangannya menutup mata kanan. Rupanya sebelah matanya itu telah tertusuk oleh jarum Dongfang Bubai.

Ren Woxing dan Xiang Wentian tidak memberi kesempatan Dongfang Bubai untuk melakukan serangan balasan. Hal ini dimanfaatkan Linghu Chong untuk menghidupkan permainan pedangnya. Ia pun mengincar tempat-tempat mematikan di tubuh musuh. Akan tetapi, Dongfang Bubai benar-benar gesit luar biasa. Ia bergerak ke sana dan melayang ke sini dengan enteng bagaikan hantu. Meskipun tusukan Linghu Chong selalu mengarah ke titik kelemahannya, tapi gerak tubuh Dongfang Bubai terlalu cepat, sehingga pada detik-detik terakhir selalu saja ia dapat menghindarkan diri.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Xiang Wentian menjerit perlahan, menyusul kemudian Linghu Chong juga berteriak tertahan. Rupanya tubuh kedua orang itu sama-sama terkena tusukan jarum Dongfang Bubai.

Sementara itu meskipun Jurus Penyedot Bintang milik Ren Woxing sangat ampuh, namun gerak tubuh Dongfang Bubai terlalu cepat sehingga sukar sekali untuk memegangnya. Menghisap tenaga lawan melalui senjata juga tidak mungkin dilakukan, karena yang dipegang Dongfang Bubai adalah sebatang jarum sulam, sehingga akan sangat sulit pula untuk dapat menyentuhnya.

Tidak lama kemudian, justru Ren Woxing yang berteriak perlahan. Dada dan tenggorokannya terkena tusukan jarum pula. Untung saat itu Linghu Chong sedang menyerang dengan gencar sehingga Dongfang Bubai terpaksa harus membela diri, maka tusukan jarumnya pun kurang dalam dan kurang bertenaga.

Tiga orang sakti mengerubut Dongfang Bubai sendirian, namun tidak ada yang mampu menyentuh baju orang itu sedikit pun. Justru ketiganya malah terkena tusukan jarum lawan. Menyaksikan itu, Ren Yingying menjadi khawatir. Bila jarum itu berbisa, tentu akibatnya sangat mengerikan. Ia berpikir, “Tampaknya dalam pertempuran satu lawan tiga ini Dongfang Bubai tetap lebih unggul. Kalau aku ikut maju mungkin malah mengganggu dan mempercepat kekalahan.”

Pertempuran semakin seru. Ren Woxing, Linghu Chong, dan Xiang Wentian semakin gusar. Ketiganya mengerahkan tenaga dalam pada senjata masing-masing. Akan tetapi, Dongfang Bubai sama sekali tetap tidak tersentuh sedikit pun oleh serangan mereka.

Sekilas Ren Yingying melirik Yang Lianting yang telah bangun dan duduk di tepi ranjang sedang mengikuti pertarungan sengit itu. Tiba-tiba Ren Yingying mendapat akal. Perlahan-lahan ia mendekat, dan secara mendadak ia mengangkat pedang pendeknya untuk kemudian ditusukkan tepat di bahu kanan Yang Lianting.

“Aaah!” seru Yang Lianting kesakitan karena serangan tak terduga itu. Ren Yingying kembali menusukkan pedang pendeknya pada paha laki-laki itu. Rupanya Yang Lianting dapat meraba maksud dan tujuan Ren Yingying yaitu ingin ia menjerit untuk memecah perhatian Dongfang Bubai. Menyadari hal itu, ia pun tidak menjerit lagi dan menahan sakit sebisa-bisanya.

“Kau mau menjerit atau tidak? Akan kupotong jari tanganmu satu per satu!” ancam Ren Yingying sambil mengayunkan pedangnya. Dalam sekejap sepotong jari Yang Lianting putus seketika. Di luar dugaan, Yang Lianting sungguh keras kepala. Meskipun terluka di bahu dan paha, serta jarinya putus pula, namun sedikit pun ia tidak bersuara.

Namun demikian, jeritan yang pertama tadi sudah terlanjur didengar oleh Dongfang Bubai. Ia sempat melirik dan melihat Ren Yingying mendekati dan sedang menyiksa Yang Lianting. Dengan perasaan khawatir dan hati gelisah, tanpa pikir panjang ia pun menerjang Ren Yingying sambil memaki, “Siluman betina!”

Ren Yingying segera mengelak ke samping. Ia tidak tahu apakah gerakan demikian dapat menghindarkan diri dari tusukan jarum Dongfang Bubai. Sementara itu dengan kecepatan luar biasa pula pedang Linghu Chong dan Ren Woxing menusuk ke punggung Dongfang Bubai secara bersamaan.

Xiang Wentian menyabetkan cambuknya ke atas kepala Yang Lianting. Ternyata Dongfang Bubai sama sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Ia tidak peduli pada tusukan pedang Linghu Chong dan Ren Woxing, sebaliknya malah menusukkan jarumnya ke dada Xiang Wentian demi untuk menyelamatkan nyawa Yang Lianting.

Kontan sekujur tubuh Xiang Wentian terasa kesemutan. Cambuk pun jatuh ke lantai. Pada saat itu pula pedang Linghu Chong dan Ren Woxing telah menusuk punggung Dongfang Bubai tembus ke dada. Dengan tubuh gemetar Dongfang Bubai jatuh menubruk badan Yang Lianting.

Ren Woxing sangat gembira. Ia menarik pedangnya, lalu menodong tengkuk Dongfang Bubai sambil membentak, “Dongfang Bubai, akhirnya sekarang kau jatuh di tanganku!”

Sementara itu Ren Yingying belum pulih dari rasa takut. Kedua kakinya terasa lemas, tubuh pun sempoyongan hendak roboh. Segera Linghu Chong memapah gadis itu. Dilihatnya satu titik di pipi kiri si nona meneteskan sedikit darah segar. Namun Ren Yingying justru berkata, “Kau terluka di sana-sini.” Usai berkata ia mengusap muka Linghu Chong dengan lengan bajunya. Terlihat bintik-bintik darah memenuhi lengan baju gadis itu. Meskipun tidak bercermin Linghu Chong sadar wajahnya penuh titik luka akibat tusukan jarum lawan.

Ia kemudian menoleh ke arah Xiang Wentian dan berkata, “Kakak, kau baik-baik saja?”

Dengan meringis menahan sakit Xiang Wentian menjawab, “Aku tidak akan … tidak akan mati semudah ini.”

Kemudian dilihatnya kedua luka di punggung Dongfang Bubai mengucurkan darah dengan derasnya. Jelas luka lawannya itu sangat parah. Namun demikian Dongfang Bubai tidak peduli dan berkata, “Adik Lian, Adik Lian, kawanan manusia jahat ini telah menyiksamu. Kejam sekali mereka!”

Yang Lianting justru menjawab dengan marah-marah, “Biasanya kau suka sombong. Katanya ilmu silatmu tiada tandingannya di seluruh dunia. Tapi mengapa sekarang kau tidak mampu membunuh keparat-keparat ini?”

“Aku … aku .…” sahut Dongfang Bubai lirih.

“Aku apa?” bentak Yang Lianting.

“Aku … aku sudah berbuat sekuat tenaga, namun ilmu silat me… mereka rata-rata sangat … sangat tinggi,” jawab Dongfang Bubai dengan suara lemah. Mendadak ia sempoyongan lalu terguling di lantai.

Khawatir lawan akan melompat bangun dan menyerang lagi, segera Ren Woxing mengayunkan pedangnya sehingga paha kiri Dongfang Bubai tertusuk.

“Ketua Ren,” kata Dongfang Bubai dengan menyeringai, “akhirnya kau yang menang. Aku sudah kalah.”

“Dan namamu yang hebat itu tentunya harus diganti, bukan?” sahut Ren Woxing dengan terbahak-bahak. Maksudnya ialah, nama “Bubai” bermakna “tak terkalahkan”.

“Aku tidak akan mengganti namaku,” ujar Dongfang Bubai sambil menggeleng. “Aku sudah kalah dan takkan hidup lagi di dunia ini. Coba … coba kalau bertempur satu lawan satu, pasti kau takkan bisa mengalahkan aku.”

Ren Woxing tertegun, kemudian menjawab, “Benar, ilmu silatmu memang lebih tinggi daripada aku. Aku kagum padamu.”

“Linghu Chong,” ujar Dongfang Bubai kemudian, “ilmu pedangmu memang sangat tinggi. Tapi kalau satu lawan satu kau pun bukan tandinganku.”

“Betul,” jawab Linghu Chong. “Kami berempat mengeroyokmu sekaligus juga tidak dapat menang. Hanya karena rasa khawatirmu pada orang bermarga Yang itu sehingga perhatianmu terpecah. Akhirnya kami pun bisa merobohkanmu. Ilmu silatmu sungguh luar biasa dan kau pantas disebut sebagai ‘jago silat nomor satu di dunia’. Aku benar-benar sangat kagum padamu.”

“Kalian berdua bicara demikian, menunjukkan kalau kalian benar-benar kesatria sejati,” ujar Dongfang Bubai tersenyum. “Aih, sungguh menyebalkan. Aku telah menguasai ilmu dalam Kitab Bunga Mentari itu, aku juga telah meramu dan minum obat berdasarkan resep dalam kitab itu supaya awet muda dan berumur panjang. Sedikit demi sedikit kumis dan janggutku menjadi rontok. Suaraku berubah, watakku pun berubah pula. Aku tidak suka lagi pada perempuan. Ketujuh gundikku telah kubunuh semua. Kemudian aku … aku mencurahkan perhatian kepada Yang Lianting si laki-laki ini. Bukankah ini sangat aneh? Menguasai ilmu Kitab Bunga Mentari entah mendatangkan kebahagiaan ataukah kesialan? Andai aku terlahir sebagai wanita tentu akan sangat baik. Ketua Ren, aku … aku akan segera mati. Aku ingin memohon se… sesuatu padamu, harap kau sudi … sudi mengabulkannya.”

“Permintaan apa?” tanya Ren Woxing.

“Tolong kau ampuni jiwa Yang Lianting. Usir saja dia pergi dari Tebing Kayu Hitam ini,” jawab Dongfang Bubai.

“Mana bisa begitu?” jawab Ren Woxing. “Aku justru akan mencincang dagingnya, akan kubinasakan dia dalam waktu seratus hari. Hari ini kupotong jari tangannya, esok pagi kutebas jari kakinya dan ….”

“Kau … kau sangat kejam!” tiba-tiba Dongfang Bubai berteriak sambil melompat bangun dan menubruk ke arah Ren Woxing.

Walaupun dalam keadaan terluka parah, namun tubrukan ini tetap sangat dahsyat. Ren Woxing sempat menyongsong serangan itu dengan tusukan pedang sehingga menembus dada Dongfang Bubai sampai ke punggung. Namun pada saat yang sama Dongfang Bubai sempat menyentilkan jarinya. Jarum yang dipegangnya pun melesat ke depan dan menancap di bola mata sebelah kanan Ren Woxing.

Ren Woxing melepaskan pedangnya dan mundur sambil berteriak kaget. Punggungnya menubruk dinding sampai roboh. Ren Yingying buru-buru menghampiri. Dilihatnya jarum itu tampak dari luar hanya sebagian kecil saja karena hampir seluruhnya telah menancap ke dalam bola mata sang ayah. Untung kekuatan Dongfang Bubai tadi sudah sangat lemah. Kalau tidak, bukan mustahil jarum itu akan terus menembus ke otak dan jiwa Ren Woxing pun ikut melayang sia-sia. Namun demikian, mata kanan Ren Woxing ini jelas sudah rusak, sehingga ia pun menjadi seorang buta sebelah.

Ren Yingying berusaha mencabut jarum tersebut namun jarinya kesulitan untuk memegang pangkalnya. Ia pun bergegas mencari bingkai sulam yang dibuang Dongfang Bubai tadi. Dari situ ia melolos seutas benang, kemudian dengan hati-hati benang itu disusupkannya ke dalam lubang jarum. Maka, dengan memegang kedua ujung benang itu, jarum tersebut dapat dicabut keluar. Ren Woxing menjerit. Jarum itu telah tercabut sepenuhnya dan tergantung di bawah benang dengan membawa beberapa tetes darah.

Dengan sangat murka Ren Woxing mengayunkan sebelah kakinya. Tubuh Dongfang Bubai ditendangnya keras-keras hingga terlempar dan tepat menghantam kepala Yang Lianting. Tendangan yang disertai kemarahan itu sungguh luar biasa. Kepala Dongfang Bubai dan kepala Yang Lianting beradu sampai pecah dan otak masing-masing hancur berhamburan.

Ren Woxing akhirnya dapat membalaskan dendamnya yang telah terpendam sekian lama dan merebut kembali kedudukannya sebagai Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Akan tetapi, karena kehilangan sebelah mata, rasa senang dan marah pun bercampur menjadi satu. Ia menengadah dan bergelak tawa sekeras-kerasnya hingga atap rumah ikut bergetar. Suaranya menggelegar bernada marah.

Shangguan Yun yang juga kehilangan sebelah mata segera menyembah, “Selamat untuk Ketua yang telah berhasil membalas dendam. Sejak kini agama kita kembali di bawah pimpinan Ketua, tentu akan semakin berjaya di delapan penjuru. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, dan merajai dunia persilatan.”

“Hahaha, omong kosong! Apanya yang hidup abadi?” ujar Ren Woxing mengejek. Tiba-tiba hatinya tergetar. Ia membayangkan jika dirinya benar-benar bisa hidup abadi dan merajai dunia persilatan, tentu akan sangat menyenangkan. Ini sungguh suatu kebahagiaan dalam hidup. Membayangkan hal itu membuatnya kembali bergelak tawa. Kali ini ia tertawa dengan puas dan senang.

Xiang Wentian yang dadanya terkena tusukan jarum Dongfang Bubai mengalami kesemutan beberapa saat, baru kemudian bisa pulih kembali. Setelah tangan dan kakinya bisa bergerak, ia pun ikut berseru, “Selamat, Ketua! Selamat, Ketua!”

“Kau berjasa besar dalam membinasakan pengkhianat ini, Adik Xiang,” kata Ren Woxing dengan tertawa. Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong, “Jasa dan bantuan Chong’er juga tidak sedikit jumlahnya.”

Linghu Chong memandang sejenak ke arah Ren Yingying. Dilihatnya gadis itu pucat pasi karena masih terbayang betapa mengerikan pertempuran hidup mati yang baru saja mereka alami tadi. “Kalau bukan karena Yingying telah mengerjai Yang Lianting, mungkin tidak mudah bagi kita untuk bisa mengalahkan Dongfang Bubai,” ujar Linghu Chong kemudian. “Untungnya dia tidak menggunakan jarum berbisa.”

Ren Yingying tergetar mendengarnya. Dengan suara lirih ia berkata, “Sudahlah, tidak perlu dibicarakan lagi. Dia ini bukan manusia, tapi siluman. Sewaktu kecil aku sering digendongnya dan diajak pergi berjalan-jalan ke gunung, memetik buah dan sebagainya. Siapa sangka ia akhirnya bernasib seperti ini?”

Ren Woxing lantas merogoh sejilid kitab tipis yang sudah usang dari balik baju Dongfang Bubai. Dipegangnya kitab itu sambil berkata dalam hati, “Ini yang disebut ‘Kitab Bunga Mentari’. Di sini tertulis bahwa untuk mempelajari ilmu sakti ini harus mengangkat pisau dan mengebiri diri sendiri, serta meracik obat untuk panjang umur dan hidup abadi. Huh, aku si tua boleh disebut bodoh, tapi tidak mungkin percaya pada omong kosong ini.” Ia kemudian tertawa dalam hati tapi kemudian berpikir, “Ah, ilmu silat yang tertulis dalam kitab ini memang sangat ampuh. Setiap orang persilatan tentu akan tertarik bila membacanya. Untung waktu itu aku telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang. Jika tidak, bukan mustahil aku pun akan tertarik untuk mempelajari ilmu dalam kitab ini.”

Kembali ia menendang mayat Dongfang Bubai, lalu berkata, “Hahaha, meskipun kau licin seperti setan tapi ternyata kau tidak tahu apa maksud dan tujuanku memberikan kitab ini kepadamu. Ambisimu besar, semangatmu menyala-nyala, dan berhasrat naik ke atas. Apa kau kira aku tidak tahu watakmu itu? Hahahahaha!”

Hati Linghu Chong terguncang. Baru sekarang ia tahu ternyata tujuan Ren Woxing memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai bukanlah timbul dari niat yang baik. Keduanya sama-sama menyimpan rencana dan maksud tertentu. Dilihatnya mata kanan Ren Woxing yang terluka itu masih meneteskan darah, ditambah lagi ia terbahak-bahak dengan mulut lebar, membuat wajahnya menjadi semakin beringas dan menyeramkan.

Tiba-tiba Ren Woxing meraba selangkangan Dongfang Bubai dan ia tidak menemukan sepasang bola kemaluan pada mayat musuhnya itu. Dengan tertawa semakin menggila ia berkata, “Kitab Bunga Mentari ini sangat tepat bila dipelajari kaum kasim, hahahaha.” Usai berkata demikian ia meremas-remas kitab tersebut dan menggosok-gosoknya dengan kedua tangan. Ketika kedua telapaknya terbuka, kertas-kertas kecil pun berhamburan. Kitab Bunga Mentari yang sudah tua dan lapuk itu pun hancur di tangannya.

Ren Yingying menghela napas lega melihat kitab tersebut musnah. Meskipun ia tidak mengetahui isi pikiran ayahnya dan juga tidak mengetahui pokok-pokok ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari, namun melihat wujud Dongfang Bubai yang berubah menjadi wanita jadi-jadian, membuatnya dapat menduga pasti ilmu dalam kitab tersebut adalah ilmu sesat, Maka gadis itu lantas berkata, “Benda celaka seperti itu memang sebaiknya dihancurkan saja.”

Linghu Chong tersenyum berkata, “Apa kau takut aku mempelajarinya?”

“Huh, omong kosong!” sahut Ren Yingying dengan muka merah. Ia lantas mengeluarkan obat dan menaburkannya pada mata Ren Woxing dan Shangguan Yun yang telah buta sebelah.

Wajah semua orang rata-rata dihiasi bintik-bintik luka akibat tusukan jarum. Ren Yingying bercermin dan melihat satu goresan kecil di pipinya. Meskipun diobati dan bisa sembuh, namun tusukan Dongfang Bubai itu akan tetap membekas seumur hidup. Membayangkan hal itu membuatnya menjadi murung.

Linghu Chong berkata, “Kau memiliki segala keberuntungan yang membuat semua manusia dan siluman merasa iri. Goresan sekecil ini tidak akan mengurangi keberuntunganmu. Sudahlah, jangan bersedih.”

“Keberuntungan apa?” sahut Ren Yingying.

“Kau ini cantik sekaligus sangat pintar. Ilmu silatmu juga tinggi,” jawab Linghu Chong. “Selain itu, ayahmu seorang ketua aliran persilatan besar. Kau juga dihormati banyak orang di dunia persilatan. Dan yang paling penting, kau terlahir sebagai wanita asli sampai-sampai membuat seorang Dongfang Bubai iri kepadamu.”

Ren Yingying tersenyum mendengarnya. Seketika ia pun lupa kepada goresan kecil di pipinya itu.

Begitulah, kelima orang yang selamat tersebut lantas meninggalkan kamar Dongfang Bubai dan kembali ke balairung. Ren Woxing memberikan perintah agar semua tokoh Sekte Matahari dan Bulan datang menghadap. Begitu duduk di atas singgasana, ia tertawa dan berkata, “Dongfang Bubai memang pintar, bisa menikmati hidupnya sebagai seorang ketua yang dipuja. Dengan duduk tinggi di atas panggung seperti ini, juga jaraknya yang cukup jauh dari bawahan yang datang menghadap, dengan sendirinya akan timbul rasa takut dan segan dalam hati mereka. Hm, apa nama ruangan ini?”

Shangguan Yun menjawab, “Lapor kepada Ketua yang bijaksana, ruangan ini bernama Balairung Budi Luhur. Ini diambil dari pujian kami kepadanya, yaitu ‘seorang ahli sastra yang berbudi luhur, ahli silat yang rendah hati’.”

Ren Woxing tertawa mendengarnya, “Hahaha, menjadi ahli sastra dan ahli silat sekaligus, sungguh muluk-muluk.” Sejenak kemudian ia pun berkata kepada Linghu Chong, “Chong’er, kemarilah!”

Linghu Chong lantas berjalan mendekatinya.

“Chong’er,” kata Ren Woxing, “ketika di Hangzhou dulu aku pernah mengajakmu supaya masuk ke dalam agama kami. Waktu itu aku masih lemah dan baru lepas dari kesulitan. Apa pun yang kukatakan tentu tidak bisa membuatmu percaya begitu saja. Tapi sekarang aku benar-benar telah duduk kembali di atas singgasana. Maka, urusan pertama yang akan kubahas tidak lain tetap persoalan yang dulu .…” sampai di sini ia lantas menepuk-nepuk tempat duduknya dan melanjutkan, “tempat ini cepat atau lambat tentu akan kau duduki pula. Hahahahaha!”

“Ketua,” jawab Linghu Chong, “Kebaikan Yingying padaku tak terhitung banyaknya. Apa yang kau kehendaki atas diriku tidak pantas jika kutolak. Hanya saja aku sudah terlanjur berjanji kepada orang lain akan menyelesaikan suatu urusan penting. Oleh karena itu tentang persoalan masuk ke dalam aliranmu terpaksa tidak dapat kupenuhi.”

Kedua alis Ren Woxing menegak. Dengan suara dingin ia berkata, “Kau tentu cukup tahu apa akibatnya bagi orang yang tidak tunduk pada keinginanku, bukan?”

Kematian Tong Baixiong.

Dongfang Bubai menyerang Linghu Chong.
Ren Yingying mencari akal.
Membenturkan dua kepala.
Menghancurkan Kitab Bunga Mentari.

(Bersambung)