Bagian 66 - Jago Sakti dalam Tahanan

Jago dalam tahanan bermarga Ren.
 
Orang bermarga Ren itu lantas berkata, “Benar, sobat cilik. Feng Qingyang memang berwawasan luas. Kau telah mengalahkan semua manusia kerdil di Wisma Mei Zhuang ini, bukan?”

Linghu Chong menjawab, “Ilmu pedangku ini adalah hasil pengajaran Sesepuh Feng sendiri. Kecuali Tuan Ren atau ahli warismu, orang biasa sudah tentu bukan tandinganku.”

Ucapan ini jelas merendahkan Huang Zhonggong bersaudara, karena didorong perasaannya yang semakin gemas terhadap para majikan itu. Hanya berada sebentar saja di penjara bawah danau yang lembab dan gelap itu ia sudah merasa sangat tersiksa, apalagi seorang kesatria besar yang entah sudah dikurung berapa tahun lamanya oleh mereka. Rasa keadilannya terusik, sehingga ia bicara tanpa segan-segan lagi.

Sudah tentu Huang Zhonggong berempat merasa sangat tersinggung mendengar ucapan itu. Namun mereka tidak dapat berkata apa-apa karena pada kenyataannya memang Linghu Chong telah mengalahkan mereka. Hanya Dan Qingsheng yang membuka suara, “Adik Feng, kau ….” Namun Heibaizi segera menarik lengan bajunya sebagai isyarat supaya menutup mulut.

Orang bermarga Ren kembali berkata dengan senang, “Bagus sekali, bagus sekali. Sobat cilik, sedikitnya kau telah mewakiliku melampiaskan kemarahan terhadap anak-anak anjing itu. Eh, bagaimana caramu mengalahkan mereka?”

Linghu Chong menjawab, “Orang pertama di Wisma Mei Zhuang yang bertanding denganku adalah seorang sobat yang dijuluki ‘Si Pedang Kilat Datu Kata’ atau semacamnya. Dia bernama Ding Jian.”

Si marga Ren berkata, “Ilmu pedang orang bermarga Ding itu cuma pamer saja dan sebenarnya tidak ada isinya. Dia menakut-nakuti orang dengan kilatan sinar pedangnya, padahal tidak punya kepandaian sejati. Pada hakikatnya kau tidak perlu menyerang dia, cukup acungkan pedangmu saja tentu dia akan menyerahkan jari tangannya ke pedangmu dan terpotong sendiri.”

“Hah!” seru kelima hadirin yang sama-sama terkejut.

“Bagaimana? Apa aku salah bicara?” tanya orang bermarga Ren.

“Sungguh tepat ucapan Tuan seakan-akan ikut menyaksikan sendiri,” jawab Linghu Chong.

“Bagus, jadi kelima jarinya ataukah telapak tangannya yang terpotong?” tanya orang itu.

“Aku sedikit menggeser mata pedangku,” kata Linghu Chong.

“Ah, salah, salah! Terhadap musuh mana boleh bermurah hati? Hatimu terlalu baik, kelak kau akan rugi sendiri.” sahut si marga Ren. “Siapa orang kedua yang bertanding denganmu?”

“Tuan Keempat,” jawab Linghu Chong.

Si marga Ren menanggapi, “Hm, ilmu pedang si nomor empat sedikit lebih baik daripada Si Kentut Satu Kata atau apa pula itu. Setelah melihatmu mengalahkan Ding Jian, pasti dia menggunakan ilmu pedang andalan yang dibanggakannya. Apa ya namanya? Ah, aku ingat. Namanya ‘Ilmu Pedang Cipratan Warna Pengiris Rami’, yang mengandung jurus-jurus ‘Pelangi Putih Menembus Mentari’, ‘Naga Hujan Mengangkasa Burung Feng Terbang Tinggi’, ‘Angin Musim Semi Meniup Pohon Liu’, atau semacam itu.”

Danqingsheng bertambah heran mendengar jurus-jurus pedang kebanggaannya dengan tepat dapat disebutkan si marga Ren tanpa salah sama sekali.

“Ilmu pedang Tuan Keempat memang cemerlang,” kata Linghu Chong. “Hanya saja, saat menyerang banyak terdapat celah kelemahannya.”

Orang bermarga Ren tertawa dan menjawab, “Sebagai ahli waris si tua Feng, kau memang berpandangan luas. Kau telah menyebutkan titik kelemahan ‘Ilmu Pedang Cipratan Warna Pengiris Rami’ dengan benar. Dalam ilmu pedangnya itu, ada satu jurus yang sangat dahsyat, bernama ‘Jurus Naga Kumala Menggelantung’, yang membacok sekuat tenaga dari atas ke bawah. Namun jurus ini tidak ada gunanya kalau bertemu ahli waris Feng Qingyang, karena kau tinggal menebas ke samping melalui bilah pedangnya, tentu kelima jarinya akan terpotong sendiri. Ini namanya ‘Ilmu Pedang Cipratan Darah Pengiris Jari’ hahaha, hahaha!”

Linghu Chong berkata, “Tuan Ren sungguh jeli seperti bisa meramal. Aku memang mengalahkannya memakai cara itu. Hanya saja, di antara kami tidak terdapat permusuhan apa-apa. Selain itu, Tuan Keempat sangat murah hati dan menyuguhkan arak-arak enak kepadaku. Maka, aku juga tidak perlu mengiris kelima jarinya, hahaha.”

Si majikan keempat gusar bukan kepalang. Raut wajahnya sebentar merah, sebentar pucat kehijau-hijauan, sama seperti namanya, yaitu “Danqing” yang bermakna “merah dan hijau”. Untung saja ia memakai kerudung sarung bantal sehingga perubahan wajahnya tidak sampai kelihatan.

Orang marga Ren melanjutkan, “Si botak nomor tiga suka menggunakan pena. Tulisannya mirip cakar ayam, tapi dia berlagak seperti seorang sastrawan. Dengan bangga ia berkata bahwa di dalam ilmu silatnya terkandung seni kaligrafi segala. Padahal, hehehe, sobat cilik, tentunya kau tahu sewaktu bertempur menghadapi musuh, hidup atau mati hanya bergantung dalam hitungan detik saja. Walaupun berusaha sekuat tenaga juga belum tentu menang, mana bisa iseng menirukan kaligrafi atau memperhatikan salinan prasasti segala? Kecuali pihak lawan memang jauh lebih lemah daripadamu barulah kau dapat mempermainkan dia. Tapi kalau ilmu silatnya setara dan kau masih iseng menulis huruf indah dengan pena, maka itu sama halnya dengan mempersembahkan nyawa sendiri.”

Linghu Chong menjawab, “Ucapan Tuan Ren memang tepat. Cara bertempur Tuan Ketiga memang agak takabur dan memandang remeh orang lain.”

Mendengar uraian si marga Ren, pada awalnya Tubiweng merasa sangat gusar. Namun setelah dipikir-pikir ternyata penjelasan tersebut masuk akal juga. Ilmu silat yang diselingi dengan gaya menulis kaligrafi memang mengasyikkan, namun kekuatan daya serangnya menjadi lebih lemah. Kalau saja Linghu Chong tidak bermurah hati, mungkin sepuluh orang Tubiweng juga dapat dibinasakan semua. Ketika memikirkan hal itu, mau tidak mau keringat dingin pun membasahi dahinya.

Orang bermarga Ren berkata lagi, “Untuk mengalahkan si botak nomor tiga sangat mudah. Sebenarnya ia memiliki ilmu silat menggunakan pena yang cukup bagus. Hanya saja, ia menjadi takabur dengan bersikeras memasukkan seni kaligrafi ke dalam jurus-jurusnya segala. Huh, ketika para jago bertarung, kalah atau menang hanya ditentukan oleh hal-hal kecil, tapi dia justru bermain-main dengan nyawa sendiri. Kalau dia masih hidup sampai sekarang sesungguhnya ini suatu keanehan di dunia persilatan. Eh, botak nomor tiga, selama sepuluh tahun belakangan ini rupanya kau bersembunyi seperti kura-kura dalam tempurung dan tidak pernah berjalan-jalan lagi di dunia persilatan. Bukan begitu?”

Tubiweng hanya mendengus tanpa menjawab. Namun diam-diam ia terperanjat dan mengakui kebenaran ucapan orang bermarga Ren itu. Andai saja selama ini dirinya masih berkecimpung di dunia persilatan, mana mungkin ia dapat hidup sampai sekarang?

Sementara itu orang bermarga Ren melanjutkan pembicaraan, “Nah, kalau ilmu silat papan catur besi milik si nomor dua memang patut dipuji. Sekali dia menyerang, maka selanjutnya akan susul-menyusul seperti topan badai melanda. Kalau yang menghadapi orang biasa pasti tidak akan mampu menangkisnya. Sobat cilik, bagaimana caramu mengalahkannya? Coba ceritakan!”

Linghu Chong menjawab, “Saya tidak berani berkata ‘mengalahkan’ segala. Hanya saja, begitu kami berdua sama-sama menyerang, pada jurus pertama aku langsung membuatnya berada di pihak bertahan.”

“Hm, bagus,” ujar si marga Ren. “Dan bagaimana jurus kedua?”

“Pada jurus kedua aku tetap mendahului menyerang sehingga Tuan Kedua tetap di pihak bertahan,” sahut Linghu Chong.

“Bagus, dan jurus ketiga?” tanya orang itu lagi.

“Pada jurus ketiga aku tetap menyerang dan dia bertahan,” jawab Linghu Chong kembali.

“Sungguh hebat,” kata orang bermarga Ren itu. “Papan catur besi milik Heibaizi pernah menggetarkan dunia persilatan belasan tahun silam. Asalkan pihak lawan mampu menangkis tiga jurus serangannya saja, maka Heibaizi akan mengampuninya. Kemudian ia berganti senjata memakai papan catur dari besi sembrani, membuat namanya semakin masyhur di dunia persilatan. Tapi sobat cilik, kau justru mampu memaksanya bertahan tiga jurus berturut-turut, hal ini sungguh luar biasa. Hm, pada jurus keempat bagaimana cara dia melakukan serangan balasan?”

Linghu Chong menjawab, “Pada jurus keempat aku masih tetap menyerang, dan Tuan Kedua masih tetap bertahan.”

“Hah, apa ilmu pedang si tua Feng benar-benar begitu hebat?” sahut si marga Ren menegas. “Meskipun mengalahkan Heibaizi tidak sulit, tapi bisa memaksanya bertahan sampai empat jurus berturut-turut adalah sesuatu yang sangat hebat. Ini bagus sekali! Pada jurus kelima tentu dia yang menyerang balik, bukan?”

“Tidak. Pada jurus kelima keadaan tetap tidak berubah,” jawab Linghu Chong.

“Oh!” seru orang itu sampai ternganga. Setelah terdiam agak lama, barulah ia berkata, “Sebenarnya pada jurus keberapa Heibaizi baru dapat menyerang balik?”

Linghu Chong menjawab, “Aku tidak ingat berapa jurus kami bertanding.”

Heibaizi menyahut dengan sikap penuh hormat, “Ilmu pedang Pendekar Muda Feng teramat sakti. Sejak awal sampai akhir aku tidak mampu balas menyerang sama sekali. Sesudah bertanding lebih dari empat puluh jurus, aku merasa bukan tandingannya. Maka, aku lantas menyimpan papan caturku dan mengaku kalah.”

“Hah, mana bisa begitu?” teriak si marga Ren. “Sungguh tidak masuk akal! Meskipun Feng Qingyang adalah jago pilihan dalam Perguruan Huashan, tapi ilmu silat Kelompok Pedang juga ada batasnya. Aku tidak percaya dalam Perguruan Huashan ada orang yang mampu menyerang Heibaizi sampai empat puluhan jurus, di mana Heibaizi sama sekali tidak sanggup menyerang balik.”

Heibaizi berkata, “Tuan Ren terlalu memuji diriku. Tapi ilmu pedang Saudara Feng ini memang sudah melebihi gurunya. Ilmu pedangnya sudah jauh melampaui ilmu Kelompok Pedang dalam Perguruan Huashan. Aku rasa pada masa ini hanya jago persilatan pilih tanding seperti Tuan Ren yang mampu memberikan petunjuk satu atau dua jurus kepadanya.”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Sikap dan perkataan Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng terhadap orang bermarga Ren ini agak kasar, tetapi Heibaizi ternyata sangat sopan. Meskipun begitu, aku tahu niat mereka sama, yaitu memanas-manasi atau menyanjung Tuan Ren supaya mau bertanding denganku.”

Sementara itu si marga Ren menanggapi Heibaizi dengan sinis, “Huh, kau menjilat kakiku! Sungguh menjijikkan!” Kemudian ia melanjutkan, “Mengenai ilmu silat Huang Zhonggong tidak jauh berbeda dengan Heibaizi. Tenaga dalamnya juga tidak jelek. Sobat cilik, apa tenaga dalammu lebih hebat darinya?”

Linghu Chong menjawab, “Sebelum ini aku pernah terluka dan kehilangan semua tenaga dalam. Itu sebabnya ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ milik Tuan Pertama tidak mempan terhadapku.”

Si marga Ren tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Lucu sekali! Hm, bagus, bagus. Aku jadi ingin berkenalan dengan ilmu pedangmu, sobat cilik.”

Linghu Chong menjawab, “Harap Tuan Ren jangan tertipu. Empat Sekawan dari Jiangnan ingin memancingmu bertanding pedang denganku karena mereka mempunyai tujuan lain.”

“Tujuan lain apa?” tanya orang itu.

“Mereka telah bertaruh dengan seorang temanku; jika di dalam Wisma Mei Zhuang ada seorang yang mampu mengalahkan ilmu pedangku, maka temanku akan menghadiahkan beberapa benda berharga kepada mereka,” ujar Linghu Chong.

“Barang apa?” tanya si marga Ren. “Pasti sebangsa kitab not kecapi, kitab catur langka, kaligrafi kuno, dan lukisan kuno, bukan?”

“Benar. Perkiraan Tuan memang selalu jitu,” sahut Linghu Chong.

“Tapi aku cuma ingin tahu ilmu pedangmu saja dan bukan sungguh-sungguh bertanding denganmu,” kata si marga Ren. “Lagipula aku pun belum tentu mampu mengalahkanmu.”

“Untuk mengalahkanku sudah tentu hal yang sangat mudah bagi Tuan,” sahut Linghu Chong. “Hanya saja, sebelumnya aku ingin meminta keempat majikan berjanji melakukan sesuatu.”

“Soal apa?” tanya orang bermarga Ren.

“Jika Tuan dapat mengalahkan aku sehingga mereka berhasil memperoleh beberapa benda berharga dari temanku itu, maka mereka berempat harus berjanji membuka pintu penjara dan mempersilakan Tuan meninggalkan penjara ini dengan penuh hormat,” jawab Linghu Chong.

“Mana bisa begitu?” seru Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan. Sementara Huang Zhonggong hanya mendengus.

Orang bermarga Ren pun tertawa dan berkata, “Sobat cilik, gagasanmu sungguh lucu. Apakah Feng Qingyang telah menyuruhmu berbuat demikian?”

“Sesepuh Feng sama sekali tidak tahu kalau Tuan Ren terkurung di sini. Aku sendiri juga tidak tahu sebelumnya,” sahut Linghu Chong.

“Saudara Feng,” sahut Heibaizi tiba-tiba, “apa kau tahu siapa nama asli Tuan Ren ini dan apa julukannya dalam dunia persilatan? Dia berasal dari aliran mana? Mengapa dia sampai terkurung di sini? Apakah Sesepuh Feng pernah menceritakan tentang dirinya kepadamu?”

Secara mendadak Heibaizi mengajukan empat pertanyaan, tapi tidak satu pun mampu dijawab oleh Linghu Chong. Sungguh berkebalikan dengan pertandingan mereka tadi, di mana Linghu Chong melancarkan lebih dari empat puluh serangan yang kesemuanya memaksa Heibaizi mengerahkan jurus bertahan. Keempat pertanyaan ini seperti serangan balasan dari Heibaizi yang tidak mampu ditangkis oleh Linghu Chong. Setelah tertegun agak lama barulah pemuda itu dapat berbicara dengan terbata-bata, “Tentang ini aku belum pernah mendengar dari … dari Sesepuh Feng. Aku sama sekali … sama sekali tidak tahu.”

“Aku yakin kau pasti tidak tahu. Sebab kalau tahu tentu kau tidak akan meminta kami membebaskan dia,” tukas Danqingsheng. “Bila orang ini sampai lolos, maka dunia persilatan tentu akan kacau-balau dan entah berapa banyak nyawa kaum kesatria yang akan tewas di tangannya. Untuk selanjutnya, dunia persilatan tidak akan pernah damai.”

“Hahahaha, memang benar seperti itu!” seru si marga Ren dengan bergelak tawa. “Seandainya Empat Sekawan dari Jiangnan mempunyai nyali setinggi langit juga tidak akan berani membiarkan aku si tua lolos dari kurungan ini. Lagipula mereka hanya menjalankan perintah saja, ibarat kata mereka itu hanya empat orang sipir penjara, mana mungkin berhak membebaskan aku? Sobat cilik, permintaanmu tadi sudah terlalu mengangkat tinggi derajat mereka.”

Diam-diam Linghu Chong merasa serbasalah. Pada hakikatnya ia memang tidak tahu seluk-beluk permasalahan ini sehingga bicara sedikit saja langsung terlihat kesalahannya.

Huang Zhonggong berkata, “Saudara Feng, begitu kau melihat penjara ini sangat gelap dan lembab segera timbul rasa simpatimu terhadap Tuan Ren, dan kau pun merasa kesal terhadap kami empat bersaudara. Hal ini karena jiwa kesatriamu yang luhur. Aku pun tidak menyalahkanmu. Tapi apa kau tahu apabila Tuan Ren sampai dilepaskan ke dunia persilatan lagi, maka di Perguruan Huashan saja pasti akan jatuh korban separuh lebih. Tuan Ren, kata-kataku ini betul atau tidak?”

“Betul, betul,” jawab si marga Ren dengan tertawa. “Ketua Perguruan Huashan apa masih dijabat Yue Buqun? Huh, orang itu pura-pura suci. Sayang sekali ketika dia baru menjabat ketua aku sudah jatuh ke dalam jebakan. Kalau tidak, sudah lama kubuka topeng kemunafikannya.”

Hati Linghu Chong terguncang mendengarnya. Meskipun Yue Buqun telah mengusirnya dari perguruan serta menyebarkan berita kepada kaum persilatan untuk menjadikannya sebagai musuh bersama, namun ia tidak pernah lupa bagaimana sejak kecil sang guru telah membesarkan dan memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Maka begitu mendengar ucapan orang bermarga Ren tersebut seketika ia menjadi gusar dan membentak, “Tutup mulutmu, gur….”

Tapi mendadak ia menelan kembali kata “guru” yang hampir saja diucapkannya itu. Teringat bahwa dirinya telah diperkenalkan oleh Xiang Wentian sebagai paman dari sang guru, sedangkan orang-orang di sini belum jelas baik atau jahat sehingga ia merasa perihal yang sebenarnya tidak boleh sembarangan untuk diungkapkan.

Sudah tentu orang bermarga Ren itu tidak mengetahui apa maksud bentakan Linghu Chong tadi. Ia tetap tertawa sambil melanjutkan, “Di antara orang-orang Perguruan Huashan sudah tentu masih ada beberapa yang dapat kuhargai. Salah satunya adalah si tua Feng itu. Kau pun juga begitu, sobat cilik. Selain itu masih ada seorang angkatan yang lebih muda darimu, yang dijuluki ‘Gadis Permata Huashan’ segala. Namanya Ning apa … ah, aku ingat, Ning Zhongze. Gadis cilik ini boleh dikata seorang nona baik hati dan luhur budi. Tapi sayang, dia menikah dengan Yue Buqun, bagaikan setangkai bunga yang tertancap di atas gundukan tahi kerbau.”

Mendengar ibu-gurunya disebut “gadis cilik’, Linghu Chong merasa kesal bercampur geli. Tapi paling tidak ibu-gurunya telah dinilai baik, sehingga ia tidak perlu menyampaikan bantahan.

Orang bermarga Ren itu lantas bertanya, “Kau sendiri bernama siapa, sobat cilik?”

Linghu Chong menjawab, “Namaku Feng Erzhong.”

Si marga Ren berkata, “Orang bermarga Feng di Perguaun Huashan tentunya tidak busuk. Sobat cilik, kau boleh masuk kemari. Aku ingin mencoba ilmu pedang ajaran Sesepuh Feng.” Tadinya ia menyebut Feng Qingyang sebagai ‘si tua Feng’, lalu berganti menjadi ‘Sesepuh Feng’. Tentunya hal ini karena ia menyukai tutur bicara Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri sudah sejak tadi sangat tertarik dan penasaraan ingin tahu seperti apa wujud orang bermarga Ren itu dan seberapa tinggi ilmu silatnya. Maka ia pun menjawab, “Ilmu pedangku yang dangkal ini hanya bisa dipakai untuk menakut-nakuti orang lain, tetapi di hadapan Tuan tentu hanya menjadi bahan tertawaan belaka. Namun saya sudah telanjur berada di sini dan menganggap Tuan Ren bagaikan naga di antara manusia. Mana mungkin aku tidak ingin belajar dan mohon petunjuk dari Tuan?”

Perlahan-lahan Danqingsheng maju mendekat dan berbisik di telinganya, “Adik Feng, ilmu silat orang ini sangat aneh, permainannya juga ganas dan kejam. Kau harus sangat berhati-hati. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, segeralah keluar.”

Meskipun ucapannya sangat lirih, tapi terdengar sangat tulus. Perasaan Linghu Chong terguncang. Ia pun merenung, “Tuan Keempat ternyata sangat baik kepadaku dan setia kawan. Barusan aku telah mengolok-oloknya, tapi ia sama sekali tidak tersinggung. Sebaliknya, dengan tulus ia justru mengkhawatirkan keselamatanku. Sekarang aku benar-benar merasa malu.”

Sementara itu orang bermarga Ren telah berkata dengan lantang, “Mari, mari, masuk ke sini! Apa yang mereka katakan dengan kasak-kusuk di luar? Sobat cilik, Empat Badut dari Jiangnan bukan manusia baik-baik. Mereka hanya ingin menipumu. Perkataan mereka tidak ada yang baik, tak ada yang bisa dipercaya.”

Linghu Chong merasa serbasalah dan tidak tahu pihak mana yang benar-benar orang baik. Ia tidak tahu siapa di antara mereka yang patut dibela.

Huang Zhonggong telah mengeluarkan sebuah anak kunci dari balik bajunya, lalu memasukkannya pada lubang kunci pintu besi dan memutarnya beberapa kali. Linghu Chong mengira setelah memutar kunci itu tentu pintu akan didorong dan terbuka. Ternyata Huang Zhonggong hanya menyingkir ke samping, berganti Heibaizi yang maju. Ia juga mengeluarkan sebuah kunci dan memutarnya pada lubang yang lain. Setelah itu, Tubiweng dan Danqingsheng masing-masing juga mengeluarkan anak kunci dan melakukan hal yang sama.

Baru sekarang Linghu Chong sadar atas apa yang mereka lakukan. Ia pun berpikir, “Ternayata kedudukan sesepuh bermarga Ren ini begitu penting sehingga keempat majikan harus menyimpan anak kunci masing-masing. Untuk membuka pintu penjara ini, mereka harus menggunakan keempat anak kunci bersama-sama. Padahal, Empat Sekawan dari Jiangnan sudah seperti saudara kandung, mengapa mereka tidak memercayai satu sama lain?” Tapi ia lantas teringat olehnya, “Barusan sesepuh bermarga Ren itu mengatakan kalau keempat majikan hanyalah penjaga penjara yang menjalankan perintah dari seseorang. Mereka tidak berhak membebaskannya. Bisa jadi mereka harus menyimpan anak kunci masing-masing juga atas perintah dari orang yang berkuasa itu.”

Terdengar suara putaran anak kunci tersebut tidak lancar pertanda pada lubang kunci sudah penuh dengan karat. Entah sudah berapa lama pintu besi ini tidak pernah dibuka.

Setelah memutar kunci terakhir, Danqingsheng memegang pintu besi dan menggoyang-goyang beberapa kali, kemudian mendorongnya sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara berderit-derit. Pintu itu sedikit terbuka ke dalam. Begitu pintu bergeser, Danqingsheng segera melompat mundur. Ketiga saudaranya juga ikut melompat mundur agak jauh. Terpengaruh oleh perbuatan mereka, tanpa terasa Linghu Chong juga ikut melangkah mundur.

Orang bermarga Ren tertawa dan berkata, “Sobat cilik, mereka takut kepadaku dan kenapa kau juga ikut-ikutan takut?”

“Benar juga,” kata Linghu Chong. Pemuda itu lantas melangkah maju sambil mendorong pintu besi itu. Terasa engsel pintu sudah penuh karat sehingga dengan susah payah barulah pintu itu dapat dibuka sekitar setengah meter lebarnya. Seketika bau penguk pun menyeruak menusuk hidung.

Danqingsheng lantas melangkah maju dan menyodorkan kedua batang pedang kayu. Tanpa bicara Linghu Chong menerimanya dengan tangan kiri.

Tubiweng juga maju sambil memungut pelita minyak yang tergantung di dinding, kemudian menyodorkannya kepada Linghu Chong. “Saudara Feng, bawalah pelita minyak ini,” katanya.

Linghu Chong menerima pelita itu dengan tangan kanan, kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya kamar penjara itu hanya seluas dua sampai tiga meter persegi saja. Seorang laki-laki tampak duduk di atas sebuah dipan yang terletak di pojok ruangan. Rambutnya kusut, janggutnya panjang sebatas dada, dan wajahnya tidak dapat terlihat dengan jelas karena tertutup berewok. Rambut, alis, kumis, dan janggutnya berwarna hitam legam, tiada beruban sedikit pun.

Linghu Chong membungkuk dengan hormat, kemudian berkata, “Sungguh beruntung hari ini aku dapat berjumpa dengan Tuan Ren. Mohon sudi memberi petunjuk.”

“Tidak perlu banyak adat,” kata orang itu. “Aku yang harus berterima kasih kepadamu karena kau datang kemari mengusir kesepianku.”

“Apakah boleh kutaruh pelita ini di atas dipan?” tanya Linghu Chong.

“Boleh,” kata orang itu. Namun ia tidak menjulurkan tangan untuk menerimanya.

Diam-diam Linghu Chong merasa sangsi. Kamar penjara ini sedemikian sempit, bagaimana caranya nanti bertanding pedang? Segera ia mendekati dipan dan menaruh pelita minyak di atasnya. Bersamaan itu, ia pun menyelipkan benda kecil terbungkus kertas titipan Xiang Wentian ke dalam tangan si marga Ren.

Orang bermarga Ren itu agak terkejut ketika menerima benda tersebut, tapi ia lantas berkata dengan lantang, “Hei, kalian empat badut mau masuk atau tidak untuk menonton pertandingan?”

“Tempatnya terlalu sempit, sudah tentu tak ada tempat buat kami,” sahut Huang Zhonggong.

“Baiklah,” kata orang itu. “Sobat cilik, kau tutup saja pintunya!”

“Baik!” jawab Linghu Chong yang kemudian mendorong pintu besi hingga tertutup kembali.

Orang bermarga Ren itu bangkit dari dipan. Sayup-sayup terdengar suara gemerencing beradunya seutas rantai besi berukuran kecil. Orang itu kemudian mengambil sebatang pedang kayu dari tangan Linghu Chong, dan berkata sambil menghela napas, “Sudah sepuluh tahun aku tidak menggunakan senjata. Entah aku masih ingat ilmu pedang yang pernah kupelajari dulu atau tidak?”

Kini Linghu Chong dapat melihat dengan jelas bahwa pergelangan tangan orang itu terbelenggu oleh sebuah borgol besi yang dililit dengan seutas rantai kecil dan panjang. Ujung rantai itu tertambat pada dinding belakang. Tangan yang satunya serta kedua kakinya juga dibelenggu dengan borgol berantai yang pada ujungnya tertambat pula di dinding pula. Dinding tersebut tampak hitam mengkilat, sepertinya terbuat dari baja murni. Linghu Chong menduga rantai dan borgol di tangan dan kaki orang itu tentu juga terbuat dari baja murni. Jika tidak, mana mungkin rantai sekecil itu mampu menahan seorang jago persilatan semacam dia.

Orang bermarga Ren lantas mengayun-ayunkan pedang kayunya di udara. Ia menebas dari atas ke bawah. Gerakannya begitu pendek, namun menimbulkan suara mendengung yang memenuhi ruangan.

“Hebat sekali tenaga dalam Tuan Ren,” puji Linghu Chong.

Orang itu kemudian membalikkan tubuh menghadap ke dinding. Sekilas Linghu Chong dapat melihatnya sedang membuka gulungan kertas yang membungkus benda bulat keras di tangannya. Orang itu tertegun sejenak mengetahui wujud benda tersebut, kemudian membaca tulisan yang tertera pada kertas.

Linghu Chong sengaja mundur selangkah agar kepalanya menutupi lubang persegi pada pintu sehingga keempat penonton tidak tahu apa yang sedang dilakukan orang itu di dalam kamar.

Sejenak tubuh si marga Ren tampak gemetar sehingga rantai besi ikut bergemerencing nyaring. Sepertinya ia telah membaca isi surat Xiang Wentian pada lembaran kertas tersebut. Ketika berpaling tampak sinar matanya berkilat-kilat penuh semangat. Ia berkata, “Sobat cilik, meski kedua tanganku tidak bebas, tapi belum tentu kau dapat mengalahkan aku.”

“Aku hanyalah angkatan muda yang masih hijau. Sudah tentu bukan tandingan Tuan,” sahut Linghu Chong rendah hati.

Si marga Ren berkata, “Kau telah menyerang Heibaizi sampai lebih dari empat puluh jurus tanpa mendapatkan serangan balik sama sekali. Sekarang kau boleh mencobanya kepadaku dengan cara yang sama.”

“Mohon maaf atas kelancanganku,” ucap Linghu Chong. Pedangnya kemudian menusuk ke depan, melancarkan jurus pertama yang pernah dipakai menyerang Heibaizi tadi.

“Bagus!” puji orang itu. Pedangnya juga lantas menusuk miring ke dada kiri Linghu Chong, ternyata gerakan ini selain menangkis juga sekaligus menyerang. Sungguh suatu jurus serbaguna yang amat lihai.

Menyaksikan itu melalui lubang persegi, Heibaizi tak kuasa menahan diri sehingga berteriak memuji, “Jurus pedang bagus!”

Orang bermarga Ren tertawa dan berkata, “Anggaplah hari ini kalian empat badut sedang beruntung, dapat menyaksikan ilmu pedang bagus!” Pada saat itulah jurus kedua Linghu Chong telah tiba pula.

Dengan cepat orang bermarga Ren memutar pedang kayunya menusuk ke bahu kanan Linghu Chong. Ia tetap menggunakan jurus menangkis sambil menyerang. Suatu jurus serangan dan bertahan sekaligus. Linghu Chong terperanjat. Ia merasa gerak pedang orang itu sedikit pun tidak memiliki titik kelemahan. Terpaksa ia melintangkan pedang untuk menangkis sambil ujung pedangnya mengacung miring ke depan tetapi tetap mengandung daya serang yang mengarah ke perut lawan.

“Jurus ini bagus sekali!” seru si marga Ren tertawa sambil menarik pedang untuk menangkis ke samping.

Begitulah, serang-menyerang terus berlangsung. Mereka saling menikam, saling menebas, dan hanya sekejap saja sudah terlewati lebih dari dua puluh jurus. Namun demikian, pedang kayu di tangan mereka selama itu belum pernah saling bersentuhan. Linghu Chong merasa ilmu pedang lawan tiada pernah ada habisnya dengan bermacam-macam perubahan. Sejak mempelajari “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”, belum pernah ia berjumpa lawan yang setangguh ini.

Sebenarnya ilmu pedang orang bermarga Ren bukan sama sekali tidak memiliki celah kelemahan, namun jurusnya selalu berubah-ubah tanpa bisa ditebak. Karena kesulitan menyerang titik kelemahan jurus pedang lawan, maka Linghu Chong pun melayani pertandingan ini dengan perubahan yang sama rumitnya menurut ajaran dasar Feng Qingyang, yaitu “Ilmu Pedang Tanpa Jurus”.

Meskipun “Jurus Cara Mematahkan Pedang” hanyalah satu dari “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”, namun di dalamnya terkandung berbagai macam ilmu pedang dari setiap perguruan dan aliran di muka bumi. Sementara itu, meskipun disebut “Ilmu Pedang Tanpa Jurus”, namun pada hakikatnya ilmu ini berdasarkan pada intisari jurus-jurus yang terdapat dalam semua ilmu pedang di dunia. Orang bermarga Ren menyaksikan ilmu pedang Linghu Chong terus menerus mengalir, dengan setiap perubahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Berkat pengalamannya yang luas dan ilmu silatnya yang sangat tinggi, orang itu bisa memecahkan satu per satu jurus pedang si pemuda. Namun setelah melewati empat puluh jurus, gerakan pedang orang itu mulai melambat. Sedikit demi sedikit, ia lantas menyalurkan tenaga ke dalam pedangnya sehingga setiap kali pedangnya bergerak, sayup-sayup terdengar suara angin bergemuruh.

Akan tetapi, di sinilah letak keajaiban “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”. Tidak peduli seberapa tinggi tenaga dalam lawan akan menjadi tiada berarti jika berhadapan dengan ilmu pedang mahahebat ini. Hanya saja, si marga Ren memang jago yang sangat istimewa. Tenaga dalamnya yang hebat dan ilmu pedangnya yang tinggi bagaikan bersatu padu menjadi satu kesatuan. Beberapa kali Linghu Chong dibuat terdesak kewalahan dan kemungkinan pasti akan menyerah dan membuang senjata. Namun Linghu Chong selalu saja menemukan kesempatan dalam kesempitan, sehingga tidak hanya lolos dari keadaan terdesak, namun juga berhasil melancarkan serangan balasan, dengan menggunakan jurus-jurus yang terkesan aneh pula.

Huang Zhonggong dan ketiga adiknya harus berdesak-desakan di luar pintu besi dan mengintip ke dalam melalui lubang persegi. Lubang itu tidak terlalu lebar, sehingga hanya cukup digunakan oleh dua orang saja, itu pun masing-masing hanya dengan sebelah mata; orang pertama menggunakan mata kanan, orang kedua menggunakan mata kiri. Setelah dua orang mengintip untuk beberapa saat, mereka harus mundur supaya dua orang yang lain bisa menonton.

Pada awalnya, mereka berempat dibuat terkagum-kagum melihat jurus-jurus pedang yang dilancarkan si marga Ren dan Linghu Chong. Namun setelah itu, mereka tidak mampu lagi memperhatikan kehebatan ilmu pedang keduanya. Huang Zhonggong sendiri setelah melihat suatu jurus dilancarkan, kadang-kadang ia memeras otak untuk menyelami di mana letak intisari jurus tersebut. Setelah berpikir agak lama, barulah ia dapat memahaminya. Akan tetapi, kedua orang yang bertanding itu sudah bergebrak lagi belasan jurus dan bagaimana bentuk belasan jurus yang berlalu itu menjadi tidak diketahuinya sama sekali.

Sungguh heran perasaan Huang Zhonggong tak terkatakan. Diam-diam ia merenung, “Ternyata sedemikian hebat ilmu pedang Saudara Feng ini. Tadi sewaktu ia bertanding denganku, jangan-jangan hanya menggunakan tiga atau empat puluh persen saja dari kepandaiannya. Ia dapat mengalahkan ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ adalah karena tidak memiliki tenaga dalam. Akan tetapi, seandainya ia mempunyai tenaga dalam yang melimpah tetap saja aku tidak sanggup mengalahkannya menggunakan jurusku itu. Bila ia mau, ia bisa melancarkan tiga serangan berturut-turut tentu sudah membuatku membuang kecapi dan menyerah kalah. Bahkan kalau bertempur sungguh-sungguh, satu jurus saja dia sudah mampu membutakan kedua mataku menggunakan seruling kumala.”

Huang Zhonggong tidak tahu sebenarnya letak keistimewaan “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” adalah tergantung kehebatan musuh. Jika yang dihadapi hanyalah pendekar rendahan, maka intisari Ilmu Sembilan Pedang Dugu justru sukar dipancarkan seluruhnya. Kali ini orang yang bertarung dengan Linghu Chong adalah seorang tokoh yang pernah mengguncangkan dunia persilatan. Betapa tinggi ilmu silatnya telah mencapai tingkat yang sukar dibayangkan. Begitu ia menyerang, seketika segala macam kehebatan yang terkandung dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu pun terpancar seluruhnya. Andai saja Dugu Qiubai hidup kembali, atau Feng Qingyang hadir secara langsung, tentu mereka akan sangat bergembira menemukan lawan sekuat ini.

Dalam memainkan Ilmu Sembilan Pedang Dugu, selain harus mahir dalam teori dan seni ilmu pedang, kecerdasan si pengguna juga sangat berpengaruh. Kalau si pengguna sudah mencapai tingkat di mana ia dapat melancarkan jurus pedang secara bebas dan merdeka tanpa harus mengikuti pedoman tertentu, maka tinggi rendahnya ilmu pedang ini juga bergantung kepada cerdas atau tidaknya si pengguna. Seorang pengguna yang cerdas akan selalu membuat terobosan baru, seperti seorang sastrawan besar yang selalu berhasil mendapatkan inspirasi untuk menciptakan puisi baru yang indah.

Setelah melewati lebih dari empat puluh jurus, Linghu Chong semakin mahir dan serangannya bertambah lancar. Banyak gerakan bagus yang bahkan belum pernah diajarkan Feng Qingyang sendiri. Hal ini disebabkan karena ilmu pedang pihak lawan sangat cemerlang, sehingga secara alami ilmu Sembilan Pedang Dugu memunculkan jurus-jurus penangkal untuk menghadapinya. Saat itu rasa takut Linghu Chong sudah lenyap, sehingga segenap pikirannya dapat tercurah ke dalam ilmu pedangnya itu. Kini ia tidak sempat lagi memikirkan takut atau senang, kecuali hanya bertarung dan bertarung saja.

Orang bermarga Ren telah melancarkan delapan jenis ilmu pedang yang paling lihai. Ada yang berupa serangan ganas dan cepat, ada yang jurusnya susul-menyusul tanpa henti, ada yang lincah dan ringan, serta ada pula yang tenang tapi bertenaga. Namun demikian, Linghu Chong tetap saja dapat melayani itu semua dengan lancar, seolah-olah keseluruhan ilmu pedang tersebut sudah dihafal olehnya sejak kecil.

Mendadak orang bermarga Ren melintangkan pedangnya sambil membentak, “Sobat cilik, sesungguhnya ilmu pedangmu ini hasil ajaran siapa? Sepertinya Sesepuh Feng tidak memiliki kepandaian seperti ini.”

Linghu Chong agak terkejut dan menjawab, “Ilmu pedang ini kalau bukan hasil ajaran Sesepuh Feng, lantas siapa lagi orang sakti di dunia ini yang mampu mengajarkannya kepadaku?”

“Benar juga,” seru orang itu. “Ini, sambut pedangku!” Mendadak ia menebaskan pedang kayunya sambil meraung panjang.

Dengan cepat Linghu Chong memiringkan pedang dan menusuk ke depan. Si marga Ren terpaksa menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Berulang-ulang orang itu meraung seperti orang gila. Semakin keras suaranya, semakin cepat pula serangan pedangnya.

Linghu Chong merasa ilmu pedang orang bermarga Ren tidak mengandung sesuatu yang luar biasa, tetapi suara teriakan dan raungannya yang membuat pikiran kacau balau. Ia berusaha tetap tenang menghadapi semua serangan musuh. Tiba-tiba orang bermarga Ren itu berteriak keras sekali, seakan-akan bisa mengguncang langit dan bumi. Telinga Linghu Chong terasa mendengung, seolah gendang telinganya pecah dan bergetar. Pikirannya menjadi gelap, kepala pun terasa pusing. Seketika ia pun jatuh tak sadarkan diri dan roboh terkapar di lantai.

Linghu Chong mendatangi si marga Ren.

Pertandingan yang seimbang.

Empat bersaudara menonton melalui lubang persegi.

(Bersambung)