Bagian 65 - Penjara Bawah Danau

Xiang Wentian menitipkan benda penting kepada Linghu Chong.

Melihat wajah mereka berempat, Xiang Wentian segera paham kalau Linghu Chong telah memenangkan pertandingan pedang melawan majikan pertama. Jika Huang Zhonggong yang menang, tentu Heibaizi tidak akan terlihat setenang itu, juga Tubiweng dan Dan Qingsheng pasti akan bersemangat. Begitu bertemu muka, tentu keduanya segera menjulurkan tangan, meminta kaligrafi karya Zhang Xu dan lukisan karya Fan Kuan. Namun demikian, Xiang Wentian pura-pura bertanya, “Adik Feng, apakah Tuan Pertama telah memberikan petunjuk ilmu pedang kepadamu?”

“Kepandaian Tuan Pertama sangat tinggi sukar diukur,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, secara kebetulan Beliau bertemu denganku yang sama sekali sudah tidak mempunyai tenaga dalam, sehingga tidak terpengaruh pula oleh suara kecapi Tuan Pertama yang disertai dengan tenaga dalam. Sekali lagi, ini semua karena kebetulan belaka.”

Danqingsheng melotot kepada Xiang Wentian, kemudian berkata, “Adik Feng ini orang yang jujur. Segalanya telah dikatakan dengan terus terang. Kau bilang tenaga dalamnya jauh di atasmu sehingga kakak pertama kami tertipu mentah-mentah olehmu.”

“Dulu tenaga dalam Adik Feng memang jauh di atasku sebelum akhirnya musnah,” jawab Xiang Wentian dengan tertawa. “Yang kukatakan adalah masa lalu, bukan sekarang.”

“Huh, kau bukan manusia baik-baik,” ejek Tubiweng.

Xiang Wentian memberi hormat sambil berkata, “Karena di dalam Wisma Mei Zhuang ini ternyata tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng, maka sekarang juga kami mohon pamit.” Ia lalu berkata kepada Linghu Chong, “Adik Feng, mari kita pergi!”

Linghu Chong lantas memberi hormat pula kepada ketiga majikan itu, dan berkata, “Hari ini aku sangat beruntung bisa berjumpa dengan keempat majikan. Sungguh aku sangat bersyukur. Kelak di kemudian hari bila ada kesempatan, aku akan berkunjung lagi ke tempat yang mulia ini.”

Danqingsheng menanggapi, “Adik Feng, kapan pun kau boleh datang kemari untuk minum-minum denganku. Kau boleh merasakan semua arak simpananku. Tapi kalau Saudara Tong ini, hehe.”

“Ah, aku tidak biasa minum arak, sudah tentu tidak berani mencari penyakit ke sini,” ujar Xiang Wentian dengan tersenyum dan memberi hormat. Ia lantas menarik tangan Linghu Chong dan mengajaknya keluar. Heibaizi bertiga masih terus mengantar di belakang.

Xiang Wentian berkata, “Ketiga Majikan silakan sampai di sini saja, tidak perlu mengantar jauh-jauh.”

“Hah, apa kau pikir kami sedang mengantarmu?” ejek Tubiweng. “Yang kami antar adalah Saudara Feng, bukan dirimu. Jika hanya dirimu, satu langkah pun kami tidak sudi mengantar.”

“Oh, ternyata begitu,” sahut Xiang Wentian tertawa.

Setelah mengantar sampai di luar pintu gerbang barulah Heibaizi bertiga mengucapkan selamat jalan kepada Linghu Chong. Tubiweng dan Danqingsheng menatap dengan tajam. Andai saja bisa, rasanya ingin sekali mereka merebut bungkusan di punggung Xiang Wentian itu.

Xiang Wentian tidak ambil pusing. Digandengnya tangan Linghu Chong dan melangkah pergi. Sesudah agak jauh meninggalkan Wisma Mei Zhuang, mereka masuk ke dalam hutan pohon liu yang rimbun dan remang-remang. Ia kemudian bertanya dengan tertawa, “Adik, ilmu ‘Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ yang keluar dari kecapi majikan pertama itu sangat ampuh. Bagaimana kau bisa mengalahkannya?”

“Ternyata Kakak Xiang sudah mengetahui semuanya,” ujar Linghu Chong. “Untung saja tenaga dalamku sudah musnah. Kalau tidak, mungkin saat ini jiwaku sudah melayang. Kakak, apa kau ada permusuhan dengan keempat majikan itu?”

“Tidak, aku tidak ada permusuhan apa pun dengan mereka,” jawab Xiang Wentian. “Bahkan sebelumnya aku juga tidak pernah bertemu muka dengan mereka. Dari mana aku bisa bermusuhan dengan mereka?”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil, “Saudara Tong, Saudara Feng, harap kalian kembali dulu!”

Linghu Chong menoleh dan melihat sesosok bayangan berkelebat secepat kilat. Ternyata yang datang adalah Danqingsheng.

Sebelah tangan Danqingsheng membawa sebuah mangkuk arak terisi setengah lebih, tapi tidak tercecer setetes pun meski dibawa lari secepat itu. Ia kemudian berkata, “Adik Feng, aku masih menyimpan setengah botol Arak Bambu Hijau yang sudah berumur lebih dari satu abad. Sungguh sayang kalau kau tidak mencicipinya.” Usai berkata ia lantas menyodorkan mangkuk arak yang dibawanya itu.

Linghu Chong menerimanya. Dilihatnya arak itu berwarna hijau bagaikan zamrud, begitu gelap sampai dasar cawan tidak terlihat. Baunya juga sangat harum dan keras. Ia pun memuji, “Benar-benar arak bagus!”

Segera ia minum seteguk dan memuji kembali, “Bagus!” setelah meneguk empat kali, seluruh isi mangkuk tersebut telah berpindah ke dalam perutnya. Ia kemudian berkata pula, “Arak ini ringan tapi mengandung bermacam-macam rasa. Benar-benar arak termasyhur dari daerah Zhenjiang di Yangzhou.”

“Benar sekali. Ini memang harta karun dari Biara Jinshan di Lembah Zhenjiang. Jumlah seluruhnya ada enam botol. Para biksu itu pantang minum arak tetapi memberikan satu botol kepadaku. Aku meminumnya setengah, namun kemudian merasa sayang untuk menghabiskannya, ” kata Danqingsheng. “Adik Feng, di wisma masih kusimpan beberapa jenis arak bagus. Bagaimana kalau kau kembali ke sana untuk memberikan penilaian?”

Linghu Chong sudah merasa akrab dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, apalagi ada arak bagus, sudah tentu ia merasa sangat senang. Ia menoleh kepada Xiang Wentian, dengan maksud ingin tahu pendapatnya.

Xiang Wentian pun menjawab, “Adik Feng, jika Tuan Keempat mengundangmu minum arak, maka kau boleh pergi. Mengenai diriku, jika Tuan Ketiga dan Tuan Keempat melihatku pasti langsung merasa kesal. Maka itu, sebaiknya aku tidak ikut, hehe ….”

“Kapan aku merasa kesal jika melihatmu?” tukas Danqingsheng dengan tertawa. “Sudahlah, ayo kita pergi bersama! Kau adalah sahabat Adik Feng, berarti sahabatku juga. Ayo berangkat!”

Sebelum Xiang Wentian sempat menolak, Danqingsheng sudah menggandeng tangannya dan juga tangan Linghu Chong sambil berseru, “Ayo, ayo! Kita harus minum lagi beberapa cawan.”

Diam-diam Linghu Chong merasa heran dan berpikir, “Ketika berpamitan tadi sikap Tuan Keempat agak ketus terhadap Kakak Xiang, tapi mengapa sekarang tiba-tiba berubah simpatik begini? Jangan-jangan dia masih mengincar kaligrafi dan lukisan di dalam bungkusan Kakak Xiang sehingga sengaja mengatur tipu muslihat untuk merebutnya.”

Setibanya kembali di Wisma Mei Zhuang, tampak Tubiweng sudah menunggu di depan pintu. Dengan mulut tersenyum senang ia menyambut, “Bagus sekali! Saudara Feng sudah datang.”

Mereka kemudian masuk kembali ke ruang catur. Danqingsheng menyuguhkan bermacam-macam arak bagus kepada Linghu Chong, sedangkan Heibaizi sama sekali tidak terlihat. Saat itu hari sudah senja. Tubiweng dan Danqingsheng seperti menanti seseorang. Berulang kali mereka melirik ke luar pintu. Dua kali Xiang Wentian mohon pamit, tapi mereka selalu menahan dengan sungguh-sungguh. Linghu Chong tidak menghiraukan semua itu, karena baginya yang penting bisa minum arak sepuasnya.

Kemudian Xiang Wentian berkata dengan tertawa, “Bila kedua majikan tidak menjamu kami, tentu si tukang makan sepertiku akan mati kelaparan.”

“Benar sekali!” seru Tubiweng. Lalu ia berteriak, “Pelayan Ding, lekas siapkan hidangan!”

Terdengar Ding Jian mengiakan di luar ruangan. Pada saat itulah pintu terbuka. Ternyata yang datang Heibaizi. Ia berkata kepada Linghu Chong, “Saudara Feng, di wisma kami ini masih ada seorang lagi kawan lain yang ingin berkenalan dengan ilmu pedangmu.”

“Wah, ternyata Kakak Pertama sudah mengabulkan!” seru Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan sambil melonjak kegirangan.

Mau tidak mau Linghu Chong berpikir, “Untuk bisa bertanding pedang denganku, orang itu harus minta izin dulu kepada Tuan Pertama. Jadi mereka sengaja menahan kami di sini untuk makan minum, supaya memberi kesempatan kepada Tuan Kedua untuk berunding dengan Tuan Pertama, sampai akhirnya Tuan Pertama mengabulkan permintaan mereka. Siapa lagi yang akan kuhadapi? Mungkin orang itu adalah anak atau keponakan atau mungkin murid dari Tuan Pertama. Apa mungkin ilmu silatnya lebih tinggi dari Tuan Pertama?”

Tiba-tiba suatu pikiran terlintas dalam benaknya, “Wah, celaka! Mereka sekarang sudah tahu kalau tenaga dalamku musnah sama sekali. Untuk menjaga nama baik, mereka tidak turun tangan sendiri, tetapi mengajukan seorang yang lebih muda untuk bertanding denganku. Jika pertandingan ini sampai mengadu tenaga dalam, bukankah jiwaku bisa melayang?”

Namun kemudian terpikir pula olehnya, “Keempat majikan ini adalah kaum kesatria yang jujur dan mulia. Mana bisa mereka melakukan perbuatan serendah itu? Hanya saja, Tuan Ketiga dan Tuan Keempat sangat menginginkan kaligrafi dan lukisan yang diperlihatkan Kakak Xiang, sementara Tuan Kedua meskipun bersikap tenang, tapi sesungguhnya juga terpesona melihat kitab catur yang diuraikan Kakak Xiang. Untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan itu, bukan mustahil mereka akan melakukan hal-hal yang tidak terduga. Kalau lawanku nanti benar-benar hendak melukaiku dengan tenaga dalam, terpaksa aku harus menyerang titik-titik penting pada tubuhnya.”

Terdengar Heibaizi berkata, “Saudara Feng, mohon ikut denganku sekali lagi.”

Linghu Chong menjawab, “Ah, kalau bicara tentang kepandaian sejati, aku sama sekali bukan tandingan Tuan Ketiga dan Tuan Keempat, apalagi Tuan Pertama dan Tuan Kedua. Ilmu silat keempat majikan di Wisma Mei Zhuang sangat tinggi tak tertandingi. Hanya saja, keempat majikan telah akrab denganku dan minum arak bersama, sehingga sudi mengalah kepadaku. Padahal, sedikit permainanku yang kasar ini sebenarnya tidak perlu dipertunjukkan lagi.”

“Adik Feng, ilmu silat orang itu jauh lebih tinggi darimu,” kata Danqingsheng. “Tapi jangan takut, dia seorang ….”

“Dia seorang ahli pedang di wisma kami ini,” buru-buru Heibaizi menyela. “Ketika mendengar ilmu pedang Saudara Feng sedemikian hebat, dia langsung berkata ingin mencoba ilmu pedangmu. Maka itu, harap Saudara Feng sudi bertanding satu babak melawan dia.”

Linghu Chong merasa serbasalah. Ia berpikir jika harus bertanding lagi bukan mustahil terpaksa harus melukai lawan sehingga akan bermusuhan dengan Empat Sekawan dari Jiangnan. Maka, dengan rendah hati ia menjawab, “Keempat majikan teramat baik kepadaku. Jika harus bertanding lagi, entah bagaimana perangai sesepuh itu? Kalau sampai aku terluka olehnya, tentu bisa merusak persahabatan kita ini.”

Danqingsheng berkata dengan tertawa, “Jangan khawatir. Tidak mungkin ….”

“Tidak mungkin kami berempat menyalahkan Saudara Feng,” sahut Heibaizi kembali menukas.

Xiang Wentian menanggapi, “Baiklah, apa susahnya bertanding sekali lagi? Tapi sayang aku ada sedikit urusan dan tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Biarlah aku berangkat lebih dulu. Adik Feng, kita berjumpa lagi di Jiaxing.”

“Hei, mana boleh kau pergi begitu saja?” seru Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan.

“Kau boleh pergi, tapi tinggalkan kaligrafi Zhang Xu itu,” ujar Tubiweng menambahkan.

“Benar. Jika Adik Feng kalah nanti, ke mana kami harus mencarimu untuk meminta barang taruhan? Tidak boleh, tidak boleh! Kau harus tinggal dulu di sini,” kata Danqingsheng. “Ding Jian, lekas siapkan jamuan!”

Heibaizi lantas berkata pula, “Saudara Feng, marilah pergi bersamaku. Saudara Tong, silakan makan dulu di sini, sebentar lagi kami akan kembali untuk menemanimu.”

Xiang Wentian menggelengkan kepala dan menjawab, “Dalam pertandingan ini jelas kalian bertekad harus menang. Ilmu pedang Adik Feng memang hebat, namun pengalamannya bertarung masih terbatas. Lebih-lebih, kalian sudah tahu kalau tenaga dalam Adik Feng sudah musnah. Kalau aku tidak ikut mengawasi pertandingan ini, tentu kami akan merasa penasaran jika nanti Adik Feng kalah.”

“Apa maksud perkataan Saudara Tong ini?” tanya Heibaizi. “Memangnya kau menuduh kami akan berbuat curang?”

“Nama besar keempat majikan Wisma Mei Zhuang di Kushan sebagai kesatria gagah sejati sudah lama kudengar. Tentu saja aku mempercayai kalian sepenuh hati,” jawab Xiang Wentian. “Namun yang akan bertanding dengan Adik Feng adalah orang lain, dan aku sama sekali tidak pernah mendengar ada jago lain selain keempat majikan di Wisma Mei Zhuang. Kalau boleh tahu, siapakah jago tersebut? Kalau ternyata dia juga seorang gagah sejati yang jujur tanpa muslihat seperti keempat majikan, tentu aku akan merasa lega.”

Danqingsheng menanggapi, “Nama besar dan ilmu silat orang ini jauh lebih tinggi daripada kami berempat, sehingga tidak pantas kalau disejajarkan.”

Xiang Wentian mendesak, “Tokoh persilatan yang memiliki nama besar dan kepandaian di atas keempat majikan boleh dikata dapat dihitung dengan jari. Mungkin aku mengenal namanya.”

Tubiweng menyahut, “Kami tidak leluasa menyebutkan nama orang itu kepadamu.”

“Kalau begitu aku harus ikut menyaksikan pertandingan ini. Kalau tidak diizinkan, lebih baik pertandingan ini dibatalkan saja,” ucap Xiang Wentian.

“Kenapa kau begitu keras kepala?” tanya Danqingsheng. “Tidak ada manfaatnya bagi Saudara Tong untuk melihat pertandingan ini. Orang itu sudah lama hidup menyepi dan tidak suka kalau orang luar melihat wajahnya.”

“Jika demikian bagaimana Adik Feng bisa bertanding pedang dengannya?” balas Xiang Wentian.

“Kedua pihak sama-sama memakai kedok, hanya kelihatan mata masing-masing sehingga tidak saling mengenal lagi,” kata Heibaizi.

“Apakah ketiga majikan juga memakai kedok?” Xiang Wentian menegas.

“Tentu saja,” jawab Heibaizi. “Watak orang itu sangat aneh. Kalau tidak begitu, dia tak mau bertanding.”

“Jika demikian, aku juga akan memakai kedok,” kata Xiang Wentian.

Sejenak Heibaizi terdiam ragu-ragu, dan akhirnya berkata, “Jika Saudara Tong bersikeras ingin ikut menyaksikan, kami terpaksa mengabulkannya. Namun Saudara Tong harus berjanji dari awal sampai akhir sedikit pun tidak boleh bersuara.”

“Pura-pura bisu dan tuli adalah soal mudah,” ujar Xiang Wentian tertawa.

Heibaizi lantas mendahului berjalan di depan disusul Xiang Wentian dan Linghu Chong, sedangkan Tubiweng dan Danqingsheng berjalan paling belakang.

Linghu Chong memperhatikan jalan yang dilewati kali ini adalah jalan menuju kediaman majikan pertama. Begitu sampai di luar ruangan kecapi, Heibaizi segera mengetuk perlahan, kemudian mendorong daun pintu hingga terbuka. Ternyata di dalam kamar sudah ada seseorang yang memakai kedok kain berwarna hitam, hanya sepasang matanya yang terlihat. Dari pakaiannya jelas ia adalah Huang Zhonggong.

Heibaizi membungkuk mendekati Huang Zhonggong dan berbisik di telinganya. Huang Zhonggong tampak menggeleng-geleng. Sepertinya ia tidak setuju kalau Xiang Wentian ikut serta. Heibaizi kembali berbisik, tapi Huang Zhonggong tetap menggeleng.

Akhirnya Heibaizi manggut-manggut dan berpaling kepada Xiang Wentian, lalu berkata, “Kakak Pertama berpendapat bahwa pertandingan ini hanya soal kecil, tapi kalau orang itu sampai marah, inilah yang tidak bagus. Karena itu lebih baik pertandingan ini dianggap batal saja.”

Kelima orang itu lantas memberi hormat kepada Huang Zhonggong dan mohon diri keluar kamar.

“Saudara Tong,” kata Danqingsheng dengan nada marah, “kau ini memang keras kepala. Apa kau khawatir kami akan mengerubut Adik Feng sehingga kau memaksa harus ikut menyaksikan pertandingan itu? Sekarang pertandingan yang seharusnya sangat menarik menjadi gagal sama sekali. Sungguh sangat mengecewakan.”

“Kakak Kedua telah berusaha dengan susah payah sehingga Kakak Pertama mengabulkan permintaan kami. Tapi kau telah mengacaukan semuanya,” omel Tubiweng.

Xiang Wentian menjawab, “Baiklah, baiklah. Biar aku mengalah saja. Aku tidak akan ikut menyaksikan pertandingan ini. Tapi kalian harus berlaku seadil-adilnya, tidak boleh mencurangi Adik Feng.”

Tubiweng dan Danqingsheng terlihat sangat senang. Serentak mereka menjawab, “Memangnya kau kira kami ini orang macam apa? Mana mungkin kami mencurangi Saudara Feng segala?”

“Baiklah, aku akan menunggu di ruang catur,” kata Xiang Wentian. “Adik Feng, entah mereka sudah menyiapkan permainan apa, hendaknya kau selalu berhati-hati dan selalu waspada.”

Linghu Chong menjawab dengan tertawa, “Setiap penghuni Wisma Mei Zhuang ini adalah kaum terpelajar. Mana mungkin mereka berbuat suatu hal licik?”

“Benar,” tukas Danqingsheng, “Kau menganggap sifat Adik Feng sama denganmu karena kau suka mengukur sifat orang lain seperti dirimu.”

Xiang Wentian berjalan menuju ke tempat semula, namun setelah beberapa langkah ia menoleh dan melambaikan tangan kepada Linghu Chong, “Adik Feng, coba kemari. Aku harus memberi petunjuk kepadamu supaya tidak masuk perangkap mereka.”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Kakak Xiang terlalu hati-hati. Aku bukan anak umur tiga tahun, apa begitu mudah ditipu orang?” Namun demikian ia tetap berjalan ke arah Xiang Wentian sambil tertawa.

Begitu Linghu Chong mendekat, Xiang Wentian segera menarik tangannya. Seketika Linghu Chong merasa ada sesuatu telah diselipkan ke dalam genggamannya, seperti bola kertas yang membungkus sebuah benda keras.

Xiang Wentian tertawa dan menarik tangan Linghu Chong lebih dekat, lalu berbisik di telinganya, “Sesudah kau bertemu orang itu, jabatlah tangannya sambil diam-diam menyelipkan bola kertas ini ke dalam genggamannya. Hal ini sangat penting, hendaknya kau jangan sampai lupa. Hahaha, hahaha!” Ketika mengucapkan bisikan tersebut, suaranya terdengar serius, namun raut wajahnya tetap menampilkan senyuman. Gelak tawa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan bisikan tadi.

Heibaizi dan kedua adiknya mengira Xiang Wentian sedang tertawa untuk mengolok-olok mereka. Danqingsheng segera berkata, “Apa yang kau tertawakan? Ilmu pedang Adik Feng sangat tinggi, tapi mengenai ilmu pedang Saudara Tong, kami belum pernah melihatnya.”

“Ilmu pedangku biasa-biasa saja, tidak ada bagusnya untuk dilihat,” jawab Xiang Wentian sambil tetap tertawa. Ia kemudian melangkah kembali menuju ruangan catur dengan sikap penuh percaya diri.

Sepeninggalnya, Danqingsheng segera berkata dengan gembira, “Mari kita temui Kakak Pertama sekali lagi.” Mereka berempat lantas kembali menuju kamar Huang Zhonggong.

Rupanya Huang Zhonggong tidak mengira kalau mereka akan datang kembali sehingga kedok hitam yang menutupi kepalanya tadi sudah dilepaskan.

“Kakak Pertama,” kata Heibaizi, “kami sudah membujuk Saudara Tong supaya membatalkan keinginannya menonton pertandingan.”

“Baiklah kalau begitu,” jawab Huang Zhonggong. Segera ia mengambil kembali kedok kain hitam tadi dan mengenakannya.

Danqingsheng membuka lemari kayu dan mengambil tiga lembar kain kedok warna hitam kemudian membagi-bagikannya kepada Heibaizi, Tubiweng, dan Linghu Chong, sambil berkata, “Adik Feng, kau pakailah punyaku.” Kemudian ia berkata kepada Huang Zhonggong, “Kakak Pertama, aku pinjam sarung bantalmu.” Usai berkata demikian ia lantas masuk ke dalam, kemudian kembali dengan kepala sudah tertutup sarung bantal berwarna hijau, dengan dua buah lubang pada bagian mata.

Huang Zhonggong mengangguk-angguk lalu berkata kepada Linghu Chong, “Dalam pertandingan nanti, kalian berdua akan memakai pedang kayu, supaya Adik Feng tidak dirugikan kalau lawanmu memakai tenaga dalam.”

“Bagus sekali!” jawab Linghu Chong gembira.

“Adik Kedua, ambilkan dua bilah pedang kayu,” kata Huang Zhonggong kepada Heibaizi. Segera Heibaizi membuka lemari kayu dan mengeluarkan dua senjata yang dimaksud itu.

Huang Zhonggong kembali berkata, “Saudara Feng, dalam pertandingan nanti tidak peduli siapa yang menang atau kalah, mohon supaya kau sama sekali tidak menceritakannya kepada orang lain.”

Linghu Chong menjawab, “Tentu saja. Sebelumnya aku sudah berkata bahwa kedatanganku ke Wisma Mei Zhuang ini bukan untuk mencari nama, mana mungkin aku sembarangan bicara di luar? Lagipula, kemungkinan besar aku akan kalah, jadi untuk apa aku menyombongkan diri?”

Huang Zhonggong berkata, “Soal kalah atau menang belum dapat dipastikan. Namun aku percaya Saudara Feng tidak akan memberi tahu kepada orang lain. Setelah pertandingan hari ini, mohon supaya kau jangan mengungkit-ungkitnya lagi. Bahkan kepada Saudara Tong juga jangan sampai kau bercerita. Apa kau dapat melakukannya?”

Linghu Chong menjawab dengan bimbang, “Kepada Kakak Tong juga tidak boleh bercerita? Setelah pertandingan ini, pasti ia akan bertanya apa saja yang telah terjadi. Kalau aku tidak menjawab, bukankah ini akan mencederai persahabatan kami?”

Huang Zhonggong berkata, “Saudara Tong itu sudah banyak pengalaman di dunia persilatan. Kalau dia tahu dirimu sudah berjanji kepada aku si tua, tentu ia tidak akan memaksamu untuk melakukan perbuatan yang tidak kau kehendaki. Janji seorang laki-laki sejati setara dengan seribu keping emas. Kau tidak boleh melanggarnya.”

Linghu Chong akhirnya mengangguk, “Baiklah, aku berjanji.”

Huang Zhonggong memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Feng. Mari, silakan!”

Linghu Chong berbalik hendak melangkah keluar, tak disangka Danqingsheng justru menunjuk ke arah kamar tidur, “Sebelah sini!”

Linghu Chong tercengang dan berpikir, “Mengapa menuju kamar tidur?” Akhirnya ia pun menemukan jawaban di dalam benaknya, “Ah, aku tahu! Orang yang akan bertanding denganku mungkin seorang wanita. Bisa jadi dia adalah istri atau gundik Tuan Pertama, sehingga mereka bersikeras tidak mengizinkan Kakak Xiang ikut menonton. Kami juga diharuskan memakai kedok supaya tidak bisa saling melihat muka. Aku tidak bisa melihat wajahnya, dia juga tidak bisa melihat wajahku. Hal ini tentu saja untuk menjaga adat kebiasaan antara kaum pria dan wanita. Tuan Pertama juga berkali-kali berpesan supaya aku tidak bercerita kepada orang lain. Kalau bukan masalah wanita, mengapa begitu serius?”

Setelah menyimpulkan demikian, segala kecurigaannya lenyap sudah. Namun ketika teringat di tangannya ada benda kecil keras terbungkus gulungan kertas membuatnya kembali berpikir, “Sepertinya Kakak Xiang sudah mengetahui kalau aku akan bertanding dengan wanita itu, sehingga telah merencanakannya dengan teliti. Semua dilakukannya demi untuk bisa berjumpa wanita itu. Namun karena ia sendiri belum tentu bisa bertemu dengan wanita itu, terpaksa aku yang disuruh menyampaikan benda tanda cinta dan selembar surat ini. Kurasa dalam hal ini ada masalah asmara. Meskipun Kakak Xiang dan aku sudah mengangkat saudara, tapi keempat majikan juga sangat murah hati dan memperlakukanku dengan baik. Kalau aku memberikan benda ini tentu akan membuat kecewa keempat majikan. Lalu apa yang harus aku lakukan? Usia Kakak Xiang dan keempat majikan sudah lima puluh atau enam puluh tahun, tentunya wanita itu juga tidak muda lagi. Andaikan ada urusan asmara tentu sudah berlalu sekian lama. Andaikan aku menyampaikan surat ini rasanya juga tidak akan merusak nama baiknya.”

Sementara ia menimbang-nimbang, tahu-tahu mereka sudah melangkah masuk ke dalam kamar tidur. Di ruangan itu terdapat sebuah meja dan sebuah ranjang, keduanya sangat sederhana. Kelambu yang tergantung di atas ranjang pun tampak sudah kekuning-kuningan, terbuat dari kain kasa yang modelnya kuno. Di atas meja terdapat sebuah kecapi pendek, berwarna hitam mulus, seakan terbuat dari besi.

Linghu Chong kembali berpikir, “Segala sesuatunya sudah diperhitungkan Kakak Xiang dengan sangat cermat. Aih, cintanya begitu besar, apa salahnya kalau aku membantunya menyampaikan isi hati?”

Pada dasarnya Linghu Chong berwatak bebas dan merdeka, tidak pernah memperhatikan adat istiadat dan sopan santun sesuai ajaran Kong Fuzi. Samar-samar ia merasa wanita itu bagaikan Yue Lingshan, yang telah menikah dengan Lin Pingzhi, sedangkan dirinya bagaikan Xiang Wentian yang telah terpisah bertahun-tahun. Dengan berbagai cara ia berusaha bertemu dengan sang adik kecil. Namun karena tidak juga dapat bertemu muka, cukuplah dengan menitipkan sebuah benda kenangan masa lalu. Benda itu sekadar untuk mengungkapkan perasaan dan menjadi pengobat derita cinta yang tak terbalas selama puluhan tahun. “Kakak Xiang keluar dari Sekte Iblis, bahkan tidak segan-segan bermusuhan dengan Sang Ketua dan kawan-kawan seagamanya, mungkin juga karena masalah asmara ini,” demikian ia berpikir.

Ketika ia tenggelam dalam lamunan, Huang Zhonggong telah menyingkap kelambu dan mengangkat kasur tempat tidurnya. Ternyata di bawah ranjang terdapat lempengan papan besi dan gelang tembaga. Begitu gelang tembaga ditarik ke atas, papan besi selebar satu meter persegi itu lantas terangkat dan terlihatlah sebuah lubang di bawahnya.

Papan besi tersebut tebalnya sekitar enam senti, jelas sangat berat. Setelah menaruhnya di lantai, Huang Zhonggong berkata, “Tempat tinggal orang itu agak aneh. Silakan Saudara Feng ikut di belakangku.” Usai berkata ia lantas melompat ke dalam lubang tersebut.

Heibaizi menyambung, “Saudara Feng, silakan turun duluan.”

Linghu Chong tertegun sejenak, kemudian ikut melompat turun. Keadaan di bawah lubang tersebut remang-remang, dengan diterangi sinar kekuningan dari sebuah pelita minyak yang tergantung di dinding. Ternyata mereka berada di dalam sebuah lorong bawah tanah. Segera Linghu Chong mengikuti Huang Zhonggong melangkah ke depan. Sementara itu, Heibaizi bertiga berturut-turut juga sudah melompat turun ke dalam lubang.

Setelah berjalan belasan meter jauhnya, lorong di depan tampaknya sudah buntu. Huang Zhonggong lantas mengeluarkan serenceng kunci, dan memasukkan salah satunya ke dalam lubang kunci. Setelah memutar beberapa kali, ia lalu mendorong ke depan. Maka terdengarlah suara berderit-derit, pertanda sebuah pintu batu terbuka perlahan-lahan.

Linghu Chong terheran-heran menyadari apa yang telah terjadi. Ia pun semakin menaruh simpati kepada Xiang Wentian. “Mereka mengurung seorang wanita di dalam ruang bawah tanah. Keempat majikan ini terlihat seperti manusia-manusia gagah berbudi, tapi mengapa melakukan perbuatan rendah seperti ini?” demikian pikirnya.

Sambil berpikir ia terus mengikuti langkah kaki Huang Zhonggong. Jalan lorong di balik pintu batu itu agak menurun ke bawah. Kira-kira belasan meter jauhnya mereka kembali berhadapan dengan sebuah pintu. Huang Zhonggong mengeluarkan kunci kedua dan pintu itu lantas terbuka. Pintu tersebut dibuka dengan cara digeser, dan ternyata terbuat dari besi yang sangat tebal.

Lorong di balik pintu kedua tampaknya terus menurun ke bawah, mungkin saat itu mereka sudah berada beberapa puluh meter di bawah tanah. Setelah membelok beberapa kali kembali tampak sebuah pintu lagi.

Diam-diam Linghu Chong merasa geram dan kembali berpikir, “Tadinya aku mengira keempat majikan ini adalah ahli kecapi, catur, kaligrafi, dan lukis yang anggun dan berbudi luhur. Ternyata mereka adalah orang-orang yang tidak berperikemanusiaan, menyekap seorang wanita di tempat gelap gulita seperti ini.”

Tadi sewaktu pertama kali masuk ke dalam lubang di bawah ranjang, Linghu Chong sama sekali tidak menaruh curiga, namun sekarang mau tidak mau timbul perasaan was-was di hatinya. Diam-diam ia menduga-duga, “Mereka kalah bertanding pedang denganku. Jangan-jangan mereka sengaja memancing diriku ke lorong bawah tanah ini untuk mengurungku. Di dalam lorong ini terdapat pintu yang berlapis-lapis. Meskipun aku bisa terbang tetap saja tidak mampu melarikan diri.”

Ia merasa bersikap waspada pun tak ada gunanya lagi. Di depan ada Huang Zhonggong, di belakang ada Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng. Tanpa senjata di tangan, tak ada yang bisa ia perbuat.

Pintu ketiga terdiri dari empat lapis, yaitu pintu besi yang dilapisi pintu kayu penuh paku yang diberi kapuk, kemudian pintu besi lagi, dan dilapisi pintu kayu penuh paku yang diberi kapuk pula. Linghu Chong menjadi heran dan berpikir, “Mengapa dua lapis pintu besi harus diselingi dengan dua pintu kayu penuh paku yang berlapis kapuk? Ah, mungkin tenaga dalam orang yang dikurung di sini sangat tinggi. Lapisan kapuk ini digunakan untuk menyerap tenaga pukulannya agar tidak mampu membobol pintu dan melarikan diri.”

Puluhan meter selanjutnya tidak terlihat lagi adanya pintu, namun lorong itu masih terasa sangat panjang. Jarak antara tiap pelita yang tergantung pada dinding semakin jauh sehingga keadaan semakin gelap gulita. Pelita yang mereka bawa pun sudah padam, sehingga mereka terpaksa harus berjalan meraba-raba. Belasan meter kemudian barulah tampak sinar pelita lagi.

Linghu Chong merasa suasana di lorong itu sangat menyesakkan dada, serta basah-basah lembab pula. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, “Aih, Wisma Mei Zhuang berada di tepi Danau Xihu. Kami telah menyusuri lorong bawah tanah sekian jauhnya. Mungkin sekali … mungkin sekali kami sekarang sudah berada di dasar danau. Seseorang dikurung di bawah danau jelas sulit untuk meloloskan diri. Andaikan ada orang luar hendak menolongnya juga tidak mungkin bisa. Bila harus membobol atau menggali dinding penjara tentu dia akan mati terbenam air danau yang membanjir.”

Setelah beberapa meter ke depan, mendadak lorong itu menyempit, sehingga mereka berlima harus membungkukkan badan. Semakin ke depan semakin membungkuk. Tidak lama kemudian, Huang Zhonggong berhenti untuk memantik api dan menyalakan pelita yang tergantung di dinding. Dalam suasana remang-remang terlihatlah sebuah pintu besi yang tertutup, dengan lubang persegi pada bagian atas. Agaknya lubang ini merupakan jalan untuk mengirimkan makanan atau keperluan lain.

“Tuan Ren,” seru Huang Zhonggong melalui lubang persegi itu, “kami empat bersaudara datang menjengukmu.”

Linghu Chong tertegun dan berpikir, “Mengapa ‘Tuan Ren’? Apakah orang yang dikurung di sini bukan perempuan?”

Huang Zhonggong melanjutkan ucapannya, “Tuan Ren, sudah lama kami tidak berkunjung menjenguk dirimu, harap dimaafkan. Hari ini kami sengaja datang untuk memberitahukan suatu urusan penting kepadamu.”

Dari dalam terdengar suara serak-serak berat memaki, “Persetan dengan urusan pentingmu segala! Mau kentut lekas kentut, kalau tidak kentut lekas enyah sana!”

Linghu Chong terkejut bercampur heran mendengarnya. Bermacam-macam dugaan dalam benaknya seketika buyar bagaikan asap tertiup angin. Suara itu bukan hanya suara seorang laki-laki tua, tapi juga kasar dan tidak terpelajar seperti bajingan pasar.

Kembali Huang Zhonggong berkata, “Sejak dulu kami menyangka Tuan Ren adalah jago pedang nomor satu di dunia persilatan. Siapa sangka dugaan ini ternyata tidak benar? Hari ini kami kedatangan seorang tamu hebat, dan kami berempat kalah telak oleh ilmu pedangnya. Kalau tamu kami itu bertanding pedang dengan Tuan Ren, maka ilmu Tuan Ren pun akan seperti cebol bertemu raksasa di hadapannya.”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Rupanya Majikan Pertama memanas-manasi orang tua itu supaya mau bertanding pedang denganku.”

Terdengar suara dari dalam penjara tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata, “Kalian berempat anak anjing, sudah kalah bertanding lantas mengundang dia untuk melawan aku. Kalian ingin aku membereskan musuh kalian, benar tidak? Hahahaha, jangan mimpi di siang bolong! Sayang sekali sudah sepuluh tahun aku tidak memegang pedang, sehingga semua ilmu pedangku sudah terlupakan semua. Nah, anak anjing sialan, lekas kalian enyah dari sini sambil memegang ekor kalian!”

Linghu Chong terperanjat mendengar makian itu. Ia berpikir, “Sungguh cerdik luar biasa orang ini dan tebakannya sangat jitu. Begitu mendengar ucapan Tuan Pertama, dia langsung mengetahui maksud dan tujuannya.”

Tiba-tiba Tubiweng menyahut, “Kakak Pertama, sepertinya Tuan Ren sama sekali bukan tandingan tamu kita ini. Dengan tegas tamu kita menyatakan bahwa di Wisma Mei Zhuang ini tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedangnya, dan ucapannya terbukti benar. Sudahlah, kita tidak perlu banyak bicara lagi dengan Tuan Ren.”

“Huh, apa gunanya kau memanas-manasi aku?” dengus orang bermarga Ren itu. “Memangnya kau kira aku sudi bekerja untuk anak-anak anjing seperti kalian?”

Tubiweng melanjutkan, “Kakak Pertama, tamu kita ini adalah ahli waris ilmu pedang Feng Qingyang yang luar biasa. Dulu sewaktu masih malang melintang di dunia persilatan, Tuan Ren tidak kenal takut pada siapa pun, kecuali satu orang. Kabarnya Tuan Ren mempunyai julukan ‘Melihat Angin Langsung Kabur’. Dan ‘angin’ yang dimaksud itu tidak lain tidak bukan adalah Tuan Feng, bukan begitu?”

‘Feng’ pada nama Feng Qingyang memang bermakna ‘angin’.

Mendengar itu, orang bermarga Ren berteriak marah, kemudian mencaci maki, “Kentut ibumu busuk!”

Danqingsheng lantas menyambung, “Ah, ucapan Kakak Ketiga tadi agak salah.”

“Di mana letak kesalahannya?” tanya Tubiweng.

“Ada satu kata yang keliru,” kata Danqingsheng. “Julukan Tuan Ren bukan ‘Melihat Angin Langsung Kabur’, tetapi ‘Mendengar Angin Langsung Kabur’. Coba pikir, kalau Tuan Ren melihat Tuan Feng, tentu tidak akan punya kesempatan untuk kabur. Lagipula, Tuan Feng tidak mungkin mau membiarkan dia kabur begitu saja. Mungkin kalau mendengar nama Tuan Feng dan segera lari barulah Tuan Ren masih ada harapan lolos seperti anjing geladak ….”

“Atau seperti ikan lolos dari jaring!” sambung Tubiweng.

“Tidak heran kalau sampai sekarang Tuan Ren masih punya kepala,” lanjut Danqingsheng.

Namun orang bermarga Ren itu ternyata tidak marah, sebaliknya justru tertawa, “Hahaha, kalian anak-anak anjing sudah terdesak dan dalam keadaan tidak berdaya baru teringat padaku. Huh, kalau aku begitu gampang tertipu akal-akalan kalian, maka margaku bukan Ren lagi.”

Huang Zhonggong menghela napas, lalu berkata, “Saudara Feng, rupanya begitu mendengar namamu, Tuan Ren sudah ketakutan setengah mati. Pertandingan pedang ini tidak perlu dilanjutkan lagi. Biarlah kami mengakui ilmu pedangmu memang nomor satu di dunia.”

Meskipun sekarang Linghu Chong telah mengetahui kalau orang dalam penjara itu bukan wanita seperti dugaan semula, tapi melihat penjara yang begitu ketat, jelas orang bermarga Ren sudah sangat lama mendekam di situ; sehingga tanpa terasa timbul rasa simpati di hatinya. Dari suara teriakannya, orang itu tentu seorang sesepuh berilmu tinggi. Maka, begitu mendengar perkataan Huang Zhonggong tersebut, buru-buru ia menjawab, “Ucapan Tuan Pertama kurang tepat. Dahulu bila Sesepuh Feng membicarakan ilmu pedang kepadaku, Beliau selalu memuji … memuji Tuan Ren ini. Beliau berkata, bahwa di zaman sekarang hanya Tuan Ren saja yang ilmu pedangnya patut dikagumi. Jika aku ada kesempatan bertemu muka dengan Tuan Ren, maka aku akan bersujud dan memohon petunjuk kepadanya dengan segala ketulusan hati dan segala penghormatan.”

Kata-kata Linghu Chong ini membuat Huang Zhonggong bersaudara tercengang. Sebaliknya orang bermarga Ren itu terdengar sangat senang. Ia bergelak tawa dan berkata, “Sobat cilik, ucapanmu sangat tepat. Feng Qingyang memang luar biasa. Hanya dia seorang yang kenal betapa bagusnya ilmu pedangku.”

Huang Zhonggong berkata dengan gemetar, “Apakah Tuan Feng … Tuan Feng mengetahui kalau dia berada … berada di sini?” Nada suaranya terdengar sangat ragu-ragu dan takut setengah mati.

Sudah telanjur membual, Linghu Chong segera melanjutkan, “Sesepuh Feng mengira Tuan Ren telah mengundurkan diri ke pegunungan sunyi atau tempat indah lainnya. Beliau sering menyebut nama Tuan Ren ketika mengajarkan ilmu pedang kepadaku. Beliau berkata bahwa aku harus berlatih jurus-jurus pedang yang Beliau ajarkan semata-mata hanya untuk menghadapi ahli waris Tuan Ren. Kalau di dunia ini tidak ada Tuan Ren, pada hakikatnya tidak perlu mempelajari ilmu pedang yang begitu rumit dan merepotkan.”

Saat ini dalam hati Linghu Chong sudah berkurang rasa senangnya terhadap keempat majikan Wisma Mei Zhuang. Ia menduga sesepuh bermarga Ren itu pasti seorang gagah kesatria, tapi disekap di penjara bawah tanah yang gelap dan lembab, tentu tertangkap dengan cara-cara licik. Tanpa bertanya, ia langsung menyimpulkan kalau keempat majikan telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji.

Huang Zhonggong membuka pintu lorong bawah tanah.

Tiba di depan pintu penjara bawah danau.

(Bersambung)