Bagian 67 - Ilmu Sakti di Atas Dipan

Linghu Chong sadar dari pingsan.
 
Linghu Chong tidak tahu sudah berapa lama ia pingsan. Begitu membuka mata, kepalanya terasa sakit seperti pecah dan telinganya masih mendengung-dengung, bagaikan mendengar suara petir yang bergemuruh. Begitu melihat ke sekeliling ternyata keadaan gelap gulita. Entah berada di mana dirinya saat ini. Ia mencoba untuk bangkit, tapi sekujur tubuh terasa lemas lunglai tiada bertenaga sedikit pun.

Diam-diam ia pun berpikir, “Aku pasti sudah mati dan sekarang berada di dalam kuburan.” Seketika ia merasa sedih dan cemas, membuatnya kembali jatuh pingsan.

Ketika siuman untuk yang kedua kalinya terasa kepala masih sangat sakit, namun suara mendengung di telinga sudah jauh berkurang. Di bawah tubuhnya terasa ada benda dingin dan keras, bagaikan sedang berbaring di atas papan baja. Ia mencoba meraba-raba dengan tangan. Benar juga, ternyata di bawah tikar jerami tempatnya berada terdapat lempengan besi. Namun begitu tangannya sedikit bergerak langsung mengeluarkan suara gemerencing nyaring. Ia pun merasa tangannya seperti terbelenggu oleh suatu benda keras dan dingin seperti es. Ketika tangan yang lain hendak meraba, ternyata juga mengeluarkan suara nyaring dan terasa terikat pula.

Linghu Chong merasa gembira sekaligus terkejut, karena ternyata ia belum mati, namun dalam keadaan terikat rantai. Ketika menggerakkan kaki, ia merasa kedua kakinya juga terbelenggu oleh borgol berantai. Rupanya kini ia mengalami nasib yang serupa dengan orang bermarga Ren.

Dalam keadaan gelap gulita ia membuka mata lebar-lebar namun tidak dapat melihat apa-apa. Ia pun berpikir, “Sebelum pingsan aku sedang bertanding pedang melawan Tuan Ren. Entah bagaimana aku bisa masuk perangkap Empat Sekawan dari Jiangnan? Rupanya aku sekarang dikurung di dalam penjara bawah danau. Apakah aku dikurung bersama Tuan Ren?”

Segera ia berteriak-teriak memanggil, “Tuan Ren! Tuan Ren!”

Dua kali memanggil namun tidak terdengar suara jawaban sedikit pun, membuatnya bertambah takut dan kembali berteriak, “Tuan Ren! Tuan Ren!”

Namun dalam kegelapan hanya terdengar suara sendiri yang serak dan penuh kecemasan. Setelah tertegun sejenak, ia kembali berteriak-teriak, “Tuan Pertama! Tuan Keempat! Mengapa kalian mengurung aku di sini? Lekas bebaskan aku! Lekas bebaskan aku!”

Akan tetapi, biarpun ia berteriak sampai kerongkongan kering, tetap saja tidak memperoleh jawaban sama sekali. Rasa takut pun berubah menjadi amarah. Akhirnya, kali ini ia mencaci maki habis-habisan, “Bangsat keparat! Kalian manusia rendah tidak tahu malu! Kalian tidak mampu mengalahkan ilmu pedangku, lantas mengurungku di sini, hah?”

Membayangkan dirinya akan bernasib sama seperti orang bermarga Ren, membuat Linghu Chong merasa putus asa. Biasanya ia tidak pernah merasa takut, juga pada saat menghadapi bahaya tidak pernah memikirkan hidup atau mati. Tapi sekarang begitu membayangkan dirinya akan terkurung seumur hidup di penjara yang gelap gulita di bawah danau itu, mau tidak mau bulu kuduknya berdiri dan sekujur tubuh terasa merinding.

Semakin dipikir semakin bertambah besar rasa takut di hatinya. Kembali ia berteriak-teriak, tapi setelah beberapa saat suaranya berubah menjadi ratap tangis. Entah sejak kapan air matanya meleleh membasahi pipi. “Kalian empat … empat anjing kotor dari Wisma Mei Zhuang, bila kelak aku dapat lolos dari sini, aku akan … mencongkel biji mata kalian, akan kupotong kaki dan tangan kalian …. Kupotong sampai buntung! Jika aku keluar dari sini ….”

Mendadak ia terdiam karena suatu pikiran terlintas dalam benaknya, “Mungkinkah aku mampu keluar dari penjara ini? Tuan Ren yang memiliki kepandaian seperti itu saja tidak mampu lolos dari sini. Bagaimana … bagaimana caraku keluar dari sini?” Karena rasa cemasnya mencapai puncak, tahu-tahu darah segar pun tersembur keluar dari mulutnya. Kembali ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Setiap kali jatuh pingsan, badannya terasa semakin lemah. Di antara sadar dan tidak sadar itu tiba-tiba terdengar suara benda jatuh yang disusul dengan cahaya terang menyilaukan mata. Linghu Chong terbangun dan hendak melompat berdiri. Ia lupa bahwa kaki dan tangannya sedang terbelenggu, ditambah lagi badannya yang sangat lemas. Maka baru melompat sedikit saja, ia sudah terbanting ke bawah. Seluruh ruas tulang badannya seakan-akan rontok dibuatnya.

Karena sudah lama berada di tempat gelap, matanya terasa seperti ditusuk saat melihat cahaya tersebut. Namun karena khawatir sinar terang itu lenyap lagi dan ia kehilangan kesempatan emas untuk meloloskan diri, maka walaupun mata terasa pedas tetap saja dibukanya lebar-lebar untuk menatap ke arah datangnya sinar tersebut.

Ternyata cahaya itu menembus masuk melalui sebuah lubang persegi. Segera Linghu Chong teringat bahwa kamar penjara tempat si marga Ren juga memiliki sebuah lubang persegi pada daun pintunya. Ia mencoba melirik sekitar, ternyata dirinya memang berada di dalam sebuah kamar penjara semacam itu.

Amarahnya kembali memuncak dan ia pun berteriak-teriak, “Cepat bebaskan aku! Huang Zhonggong, Heibaizi, Setan Gundul, kalian anjing-anjing kotor! Kalau berani, lepaskan aku dari sini!”

Perlahan-lahan terlihat sebuah nampan kayu masuk melalui lubang persegi tadi. Di atas nampan itu tertaruh semangkuk nasi dengan disertai lauk pauk dan sayur mayur. Selain itu juga terdapat sebuah guci dari tanah liat, sepertinya berisi air minum.

Melihat itu Linghu Chong bertambah gusar. Ia berpikir, “Kalian mengirim makanan kepadaku? Jadi kalian bermaksud mengurung aku di sini untuk waktu yang lama?”

Tanpa pikir lagi ia pun mencaci maki kembali, “Empat anjing kotor, kalau mau bunuh, bunuh saja sekarang! Kalau mau cincang, cincang saja sekarang! Kenapa kalian main-main dengan tuanmu ini?”

Dilihatnya nampan makanan telah berhenti tanpa bergerak lagi. Sepertinya orang di luar bermaksud supaya Linghu Chong mengulurkan tangan dan menyambut nampan tersebut. Karena ruangan penjara agak sempit, asalkan Linghu Chong bangkit dan sedikit memiringkan tubuh tentu tangannya dapat mencapai nampan di lubang persegi. Mendadak ia menampar sekerasnya. Maka terdengarlah suara ramai jatuhnya mangkuk dan kendi itu sehingga hancur semua dan isinya berhamburan di lantai.

Orang di luar pintu perlahan menarik kembali nampan yang telah kosong itu. Linghu Chong semakin gusar dan menubruk ke depan. Melalui lubang persegi ia melihat seorang tua dengan tangan kiri membawa lampu pelita dan tangan kanan memegang nampan tadi sedang melangkah pergi dengan perlahan. Rambut orang tua itu penuh uban, kulit mukanya keriput, jelas sudah sangat tua renta. Sebelum ini Linghu Chong merasa belum pernah melihatnya.

“Hei, lekas panggil Huang Zhonggong, Danqingsheng, dan yang lain ke sini! Kalau berani, suruh keempat … keempat anjing itu bertanding mati-matian denganku,” teriak Linghu Chong.

Namun sama sekali orang tua itu tidak menghiraukannya. Dengan terbungkuk-bungkuk, selangkah demi selangkah ia berjalan menjauh.

“Hei, hei, kau dengar tidak?” lagi-lagi Linghu Chong berteriak. Tapi pelayan tua itu tetap saja tidak menoleh.

Ketika bayangan si pelayan tua telah menghilang di sudut lorong, cahaya pelita juga mulai suram, sampai akhirnya keadaan kembali gelap gulita. Selang sejenak, terdengar suara pintu kayu dan pintu besi ditutup secara berurutan. Suasana kembali suram dan sunyi, tiada cahaya ataupun suara sedikit pun.

Linghu Chong kembali merasa pusing. Setelah termangu-mangu sejenak, perlahan ia berbaring dan berpikir, “Orang tua pengantar makanan itu tentu mendapat larangan keras untuk berbicara denganku. Percuma saja aku berteriak-teriak kepadanya.” Lalu terpikir pula olehnya, “Ruangan ini sama persis dengan yang dihuni Tuan Ren. Tampaknya di ruang bawah tanah Wisma Mei Zhuang terdapat penjara gelap yang tidak sedikit jumlahnya. Entah berapa banyak kaum kesatria dan orang gagah yang ditahan di sini? Jika aku dapat berhubungan dengan Tuan Ren atau para tahanan lainnya, mungkin ada kesempatan bagiku untuk meloloskan diri dari sini.”

Setelah berpikir demikian, ia segera mengetuk dinding beberapa kali. Terdengar dinding itu mengeluarkan bunyi berdentang-dentang, jelas terbuat dari baja. Namun, suara yang terdengar terasa padat dan berat, sepertinya di sebelah tidak ada ruangan lain. Ia mencoba mengetuk dinding di belakangnya, ternyata menimbulkan suara yang sama pula. Tanpa putus asa, semua sisi dinding diketuknya, kecuali pintu besi, ternyata seluruhnya mengeluarkan suara yang sama. Sepertinya kamar penjara yang ia tempati adalah ruangan yang terkubur di dalam tanah gelap. Tentunya masih ada kamar penjara yang lain, atau paling tidak masih ada sebuah, yaitu tempat orang tua bermarga Ren dikurung. Hanya saja, ia tidak tahu di mana letak kamar tersebut dan berapa jauhnya dari tempatnya kini berada.

Linghu Chong kemudian bersandar di dinding dan mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dialaminya sebelum jatuh pingsan. Yang ia ingat hanyalah serangan pedang orang bermarga Ren itu semakin cepat dan gencar, dengan disertai teriakan-teriakan. Terakhir orang itu berteriak sangat keras seperti mengguncang langit dan bumi, membuat dirinya tidak tahan lagi dan jatuh pingsan. Mengenai bagaimana ia dapat ditawan Empat Sekawan dari Jiangnan dan bagaimana caranya diusung ke dalam kamar penjara ini, kemudian dibelenggu dengan borgol berantai sama sekali tidak diketahuinya.

“Penampilan keempat majikan itu seperti orang terpelajar yang sehari-hari sibuk bermain kecapi, catur, menulis, dan melukis. Namun siapa sangka perbuatan mereka ternyata begini jahat? Di dunia persilatan memang banyak orang jahat yang berpura-pura luhur budi, seharusnya aku tidak perlu heran. Hanya saja, keterampilan mereka dalam kecapi, catur, kaligrafi, dan lukisan, sepertinya bukan pura-pura. Aku melihat sendiri bagaimana Tubiweng menuliskan Syair Jenderal Pei di dinding dengan lincah, kuasnya bergerak dengan bebas dan merdeka. Ini sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang persilatan biasa. Aku ingat Guru pernah berkata bahwa orang yang paling jahat di muka bumi justru orang-orang yang paling pintar dan terpelajar. Ucapan Guru ternyata memang benar. Rencana jahat yang disusun Empat Sekawan dari Jiangnan benar-benar sulit dihindari.”

Tiba-tiba ia menjerit, “Aih!” Tanpa terasa ia pun melonjak bangun dengan jantung berdebar-debar. “Hei, bagaimana dengan Kakak Xiang? Apakah ia juga mengalami nasib buruk seperti aku?” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Kakak Xiang sangat pintar dan cerdik. Sepertinya sebelum ini ia sudah tahu orang macam apa Empat Sekawan dari Jiangnan itu. Kakak Xiang sudah lama malang melintang di dunia persilatan, juga pernah menjadi Pelindung Kanan Sekte Iblis yang kaya pengalaman, tentunya tidak mudah terjebak dan masuk ke dalam perangkap mereka. Asalkan tidak terkurung oleh mereka, tentu ia mampu mencari akal untuk menyelamatkanku. Meskipun aku terkurung sedalam ratusan meter di bawah tanah, Kakak Xiang tetap dapat menolongku keluar dari sini.”

Berpikir demikian membuat hatinya menjadi lega dan mulutnya pun tersenyum lebar. Ia lalu menggumam sendiri, “Linghu Chong, oh Linghu Chong, kau memang pengecut tak berguna. Baru saja kau menangis ketakutan. Kalau sampai diketahui orang, mau ditaruh ke mana lagi mukamu ini?”

Karena hatinya terasa lega, perlahan ia pun bangkit untuk duduk. Sesaat kemudian perutnya terasa lapar dan kerongkongan pun haus. “Sayang sekali barusan aku mengamuk dan membuang-buang makanan kiriman itu. Jika aku tidak makan sampai kenyang, nanti kalau Kakak Xiang datang menolongku keluar, lantas dari mana aku punya tenaga untuk melabrak Empat Anjing dari Jiangnan? Hahaha, memang sebaiknya kusebut mereka Empat Anjing Jiangnan saja. Orang jahat dan berbudi rendah seperti mereka mana pantas disebut empat sekawan segala? Di antara empat anjing itu Heibaizi paling pendiam, dengan wajah selalu tampak muram. Kemungkinan besar dialah yang merencanakan semua tipu muslihat keji ini. Setelah aku lolos dari sini, maka orang pertama yang akan kubunuh adalah dia. Di antara empat anjing itu hanya Danqingsheng yang paling jujur. Biarlah aku mengampuni jiwanya. Tapi sebagai ganti, semua arak simpanannya akan kuminum sampai habis.” Teringat kepada arak-arak enak itu, rasa dahaga Linghu Chong bertambah hebat.

“Wah, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri? Mengapa Kakak Xiang belum juga datang?” Mendadak terpikir olehnya, “Aih, celaka! Jika bertarung satu lawan satu, Kakak Xiang pasti sanggup mengalahkan Empat Anjing Jiangnan itu. Tapi kalau mereka berempat maju sekaligus tentu sukar bagi Kakak Xiang untuk menang. Sekalipun Kakak Xiang dapat membinasakan keempat anjing itu, tetap saja sulit mencari penjara di bawah tanah ini. Siapa yang menduga kalau lubang masuk menuju lorong penjara ini justru berada di bawah tempat tidur Huang Zhonggong?”

Begitulah, ia merasa letih dan kembali berbaring. Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benaknya, “Ilmu silat Tuan Ren sangat tinggi, jelas di atas Kakak Xiang dan tidak mungkin di bawahnya. Bahkan pengetahuannya yang luas serta kecerdasannya juga melebihi Kakak Xiang. Seorang tokoh sehebat itu saja bisa terkurung di penjara gelap ini, bagaimana Kakak Xiang bisa mengalahkan anjing-anjing itu? Seorang gagah berbudi luhur dan jujur memang seringkali terjebak dalam rencana jahat manusia-manusia rendah. Pepatah mengatakan, ‘Serangan musuh di siang hari mudah ditangkis, namun musuh yang menikam di balik selimut sukar dihindari.’ Sudah begitu lama Kakak Xiang tidak juga datang, jangan-jangan ia juga telah masuk ke dalam perangkap mereka.” Untuk sesaat dilupakannya nasib sendiri dan kini berganti memikirkan keselamatan Xiang Wentian.

Pikirannya melayang-layang dan tanpa terasa ia pun tertidur pulas. Ketika terjaga dan membuka mata, keadaan tetap gelap gulita. Apakah hari sudah malam atau siang sama sekali tidak dapat diketahuinya. Kembali ia termenung, “Kalau hanya mengandalkan kemampuanku jelas aku tidak akan bisa keluar dari sini. Jika Kakak Xiang juga mengalami bencana, lalu siapa lagi yang bisa menolongku keluar dari sini? Guru telah mengedarkan surat tentang pemecatanku dari Perguruan Huashan. Orang-orang aliran lurus jelas tidak sudi datang menolongku. Tinggal Yingying saja. Yingying, Yingying ….”

Teringat kepada Yingying membuat semangatnya bangkit. Segera ia duduk dan berpikir lagi, “Yingying telah menyuruh Lao Touzi dan kawan-kawannya menyiarkan berita di dunia persilatan bahwa aku harus dibunuh. Dengan sendirinya orang-orang aliran sesat juga tidak mungkin datang menolongku. Tapi bagaimana dengan Yingying sendiri? Jika dia tahu aku terkurung di sini pasti dia akan datang menyelamatkanku. Banyak sekali orang-orang aliran sesat yang tunduk kepada perintahnya. Asalkan dia mengucapkan satu kata saja, hahaha ….” Tanpa terasa ia tertawa senang. “Tapi kulit wajah nona ini begitu tipis. Dia paling takut orang lain mengatakan bahwa dia suka kepadaku. Kalau dia ingin menolongku, tentu dia akan datang sendirian tanpa membawa bala bantuan. Justru kalau ada orang lain yang tahu dia datang menolongku, kemungkinan besar jiwa orang itu akan melayang. Aih, isi hati seorang gadis memang sukar ditebak. Seperti Adik Kecil ….”

Begitu teringat kepada Yue Lingshan, seketika hatinya terasa sakit. Kesedihan dan rasa putus asa yang mendalam telah menambah beban penderitaannya menjadi lebih berat lagi. “Bagaimana mungkin aku berharap ada orang yang akan menolongku? Saat ini mungkin Adik Kecil dan Adik Lin telah menikah. Andaikan aku dapat keluar dari sini juga apalah gunanya? Bukankah lebih baik aku terkurung seumur hidup di sini dan tidak tahu di luar sana ada apa?” Begitu menemukan manfaat terkurung dalam penjara – yaitu tidak dapat mengetahui perkembangan hubungan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan – seketika rasa cemasnya langsung berkurang, bahkan berubah menjadi syukur dan gembira.

Akan tetapi perasaan lega itu tidak bertahan lama. Ketika perutnya terasa lapar dan tenggorokan terasa kering, terbayang olehnya bagaimana nikmatnya minum arak dan makan daging lezat. Akhirnya, ia merasa lebih baik lolos keluar daripada kebebasannya terkekang. Dalam hati ia berkata, “Biar saja Adik Lin menikahi Adik Kecil. Aku sendiri sudah kenyang dianiaya orang, tenagaku dalamku juga sudah musnah dan mirip orang cacat. Tabib Ping menyatakan ajalku sudah tidak lama lagi. Sekalipun Adik Kecil mau menjadi istriku tetap saja aku tidak boleh menikahi dia. Mana boleh aku membuat dia menjadi janda muda yang merana?”

Namun dalam lubuk hatinya ia merasa meskipun tidak dapat menikahi Yue Lingshan, namun nona itu telah mencintai Lin Pingzhi. Bagaimanapun juga hal ini membuat perasaannya sangat tertusuk. “Bagaimana baiknya ini? Bagaimana baiknya ini? Paling baik, paling baik Adik Kecil masih tetap seperti yang dulu. Paling baik ini semua tidak pernah terjadi. Paling baik aku tetap di Gunung Huashan, berlatih pedang bersama Adik Kecil di bawah air terjun. Paling baik Adik Lin tidak pernah menjadi murid Huashan, dan aku dapat hidup bahagia berdampingan dengan Adik Kecil untuk selamanya.”

“Aih, tapi sekarang semua itu sudah terjadi,” pikirnya pula. “Entah bagaimana pula kabar Tian Boguang, Enam Dewa Lembah Persik, juga Adik Yilin ….”

Teringat kepada Yilin si biksuni cilik dari Perguruan Henshan, seketika senyum hangat terkembang di wajahnya. “Entah bagaimana kabar Adik Yilin sekarang? Jika dia tahu aku terkurung di sini, tentu dia akan sangat cemas dan khawatir. Sudah pasti gurunya juga telah menerima surat edaran dari Guru sehingga melarangnya datang menolongku. Tapi dia … dia pasti akan memohon kepada ayahnya, yaitu Biksu Bujie untuk berdaya upaya, mencari akal demi menolongku. Bisa jadi Biksu Bujie akan mengajak serta Enam Dewa Lembah Persik ke sini. Aih, ketujuh orang itu suka berbuat ngawur dan membuat keadan bertambah kacau. Tetapi … tetapi bila ada yang datang menolongku rasanya lebih baik daripada tidak ada orang yang peduli sama sekali.”

Teringat pada kelakuan Enam Dewa Lembah Persik yang ngawur dan sinting itu, tanpa terasa Linghu Chong tertawa terkekeh-kekeh. Dulu ia sering memandang rendah tingkah laku enam orang tua aneh itu. Namun sekarang, ia berharap mereka dapat menjadi teman mengobrol di dalam penjara yang sunyi ini. Omong kosong yang mereka ucapkan itu jika saat ini bisa didengar tentu akan seperti nyanyian malaikat kahyangan.

Setelah berbagai macam pikiran berkecamuk dalam benaknya, Linghu Chong pun kembali tertidur lelap.

Entah sudah berapa lama ia tertidur di dalam penjara yang gelap itu, tiba-tiba terlihat sinar remang-remang menembus masuk melalui lubang persegi di pintu besi. Dalam keadaan masih mengantuk, Linghu Chong buru-buru bangkit untuk duduk. Hatinya berdebar-debar dan bertanya, “Siapakah yang datang menolongku?”

Namun rasa senang itu tidak bertahan lama. Segera ia mendengar suara langkah yang berat dan perlahan, jelas itu adalah langkah kaki si pelayan tua pengantar makanan. Dengan tubuh lemas ia pun kembali merebahkan diri sambil berteriak, “Panggil keempat anjing bangsat itu kemari! Coba lihat, mereka berani bertemu muka denganku atau tidak?”

Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, cahaya lampu juga semakin terang. Menyusul sebuah nampan kayu disodorkan masuk melalui lubang persegi. Di atas nampan tetap tertaruh semangkuk nasi dan sebuah kendi. Pelayan tua itu sama sekali tidak bicara, hanya menyodorkan nampan ke dalam dan menunggu diterima oleh Linghu Chong.

Linghu Chong memang sudah sangat kelaparan, lebih-lebih kerongkongannya juga sudah kering. Sejenak ia ragu-ragu namun kemudian disambutnya nampan kayu tersebut. Sesudah melepaskan nampan, si pelayan tua lantas memutar tubuh dan melangkah pergi.

“He, hei, nanti dulu, aku ingin bertanya kepadamu!” teriak Linghu Chong.

Namun pelayan tua itu sama sekali tidak menggubris. Terdengar suara kakinya melangkah dengan berat dan agak diseret. Lambat laun suaranya semakin menjauh dan cahaya lampu tidak terlihat lagi.

Linghu Chong memaki-maki beberapa kali lalu mengangkat kendi dan menuang isinya ke dalam mulut. Kendi tersebut berisi air minum yang bersih. Dalam sekali tarikan napas, ia menghabiskan setengah isi kendi, kemudian mulai memakan nasi. Di tengah kegelapan ia dapat merasakan lauk pauk dan sayur maur yang bercampur nasi, antara lain lobak dan sejenis tahu.

Begitulah, selama tujuh atau delapan hari ia meringkuk dalam penjara, dan si pelayan tua selalu datang sehari sekali untuk mengantar makanan. Ketika pergi, pelayan tua itu sekalian membawa mangkuk, sumpit, dan kendi bekas yang diantar sehari sebelumnya. Selain itu dibawanya pula tempurung wadah kotoran. Linghu Chong dengan segala cara berusaha mengajaknya bicara, namun tetap saja wajah pelayan tua itu tampak kaku tanpa menunjukkan suatu perasaan apa pun.

Beberapa hari kemudian, begitu melihat cahaya lampu, Linghu Chong segera menubruk ke depan lubang persegi dan memegangi nampan kayu yang disodorkan si pelayan tua sambil berteriak, “Kenapa kau tidak bicara? Kau dengar kata-kataku atau tidak?”

Pelayan tua itu menunjuk-nunjuk telinganya sendiri sambil menggeleng-geleng seolah memberi isyarat bahwa ia seorang tuli. Menyusul ia lantas membuka mulut lebar-lebar. Linghu Chong sangat terkejut, karena melihat lidah orang tua itu ternyata hanya tinggal sebagian kecil saja. Sungguh pemandangan yang mengerikan.

“Hah, lidahmu dipotong orang? Apakah ini perbuatan keji keempat anjing itu?” seru Linghu Chong.

Pelayan tua itu tidak menjawab. Ia hanya mendorong nampan kayu masuk melalui lubang persegi sedikit demi sedikit. Jelas ia tidak mendengar apa yang diucapkan Linghu Chong tadi. Andaikan mendengar juga tidak dapat menjawab karena mulutnya bisu.

Linghu Chong merasa terkejut bercampur ngeri. Ia masih terbayang-bayang pangkal lidah si pelayan tua yang hampir habis itu, meskipun orangnya sudah pergi. Hal ini membuatnya tidak berselera makan. “Empat anjing Jiangnan itu sungguh memuakkan. Kalau saja aku bisa lolos dari tempat terkutuk ini, maka akan kupotong lidah mereka, kutusuk telinga mereka sampai tuli ….” Demikian ia menggumam sendiri dengan sangat geram.

Tiba-tiba sebuah ingatan terlintas dalam benaknya. “Ah, jangan-jangan mereka … jangan-jangan mereka ….”

Ia teringat pada peristiwa dahulu ketika membutakan mata lima belas orang laki-laki bercadar di halaman Kuil Dewa Obat. Asal usul orang-orang itu selama ini masih belum ia ketahui. “Jangan-jangan aku dikurung di sini adalah untuk membalaskan dendam kelima belas orang itu.” Teringat kejadian tersebut membuatnya menghela napas. Rasa kesalnya yang tak terlampiaskan selama beberapa hari sebagian besar lenyap sudah. “Aku telah membutakan mata kelima belas orang itu. Kalau mereka ingin membalas dendam dengan cara seperti ini, aku rasa memang sudah sepantasnya.”

Karena rasa gusarnya sudah banyak berkurang, maka hari-hari selanjutnya menjadi lebih mudah untuk dilalui. Di penjara yang gelap gulita itu siang dan malam tidak dapat dibedakan sehingga sudah berapa lama waktu berlalu juga tidak dapat diketahui dengan jelas. Yang terasa olehnya hanyalah hawa di dalam kamar penjara tersebut semakin hari semakin gerah. Ia menduga sepertinya musim panas telah tiba.

Kamar penjara yang sempit itu sama sekali tidak memiliki lubang angin, sehingga hawa panas dan lembab terasa semakin mengerikan. Merasa tidak tahan lagi, Linghu Chong pun membuka baju. Karena tangan dan kaki terbelenggu rantai, tidak mungkin pakaiannya ditanggalkan seluruhnya. Maka bajunya hanya ditarik ke atas dan celana digulung ke bawah. Tikar usang yang menutupi dipan besi itu digulungnya pula. Maka badannya yang telanjang itu terasa segar ketika rebah di atas dipan besi. Keringatnya yang bercucuran sedikit demi sedikit mengering dan tanpa terasa ia pun tertidur.

Setelah beberapa jam berlalu, dipan itu menjadi panas juga karena tertindih oleh badannya. Dalam keadaan setengah sadar, ia lantas bergeser ke sisi lain yang masih nyaman. Ketika salah satu tangan menahan tubuh, pada permukaan dipan besi itu terasa adanya ukiran. Hanya saja waktu itu ia sangat mengantuk, sehingga hal ini tidak terlalu diperhatikannya.

Nyenyak sekali ia tertidur, sehingga ketika bangun terasa begitu bersemangat. Tidak lama kemudian si pelayan tua datang lagi mengantar makanan. Kini Linghu Chong merasa sangat simpati kepada orang tua itu. Setiap kali si pelayan tua menyodorkan nampan makanan melalui lubang persegi, tentu ia akan meremas-remas tangannya atau menepuk-nepuk punggung tangannya sebagai tanda terima kasih. Maka kali ini pun demikian.

Setelah menerima nampan itu, tiba-tiba di bawah cahaya pelita yang remang-remang ia melihat pada punggung tangannya tercetak sebuah kalimat yang berbunyi “Woxing terkurung”.

Linghu Chong terheran-heran tidak mengerti dari mana datangnya tulisan di tangannya itu. Setelah merenung sejenak, dengan cepat ia menaruh nampan tersebut dan segera meraba-raba dipan besi. Baru sekarang ia sadar bahwa pada permukaan dipan tersebut ternyata penuh dengan ukiran tulisan yang tak terhitung banyaknya. Selama ini dipan besi itu selalu tertutup selembar tikar usang. Baru setelah udara semakin panas, dan tikar usang dilepaskan, Linghu Chong dapat menemukan tulisan tersebut tercetak di punggung tangannya. Ketika meraba punggung dan pantatnya, ia tak kuasa menahan tawa karena ternyata bagian tubuh yang diraba juga tercetak tulisan serupa. Setiap huruf berukuran sebesar uang logam, guratannya dalam, namun agak sulit dibaca seperti cakar ayam.

Saat itu si pelayan tua saudah pergi menjauh, dan keadaan kamar penjara kembali gelap gulita. Karena penasaran, ia hanya minum beberapa teguk air tanpa menyentuh nasi, kemudian melanjutkan meraba tulisan pada dipan. Setelah menemukan permulaan tulisan, ia pun membaca huruf demi huruf dengan suara lirih, “Aku si tua selama hidup tak peduli budi dan dendam, membunuh sesuka hati. Sekarang aku dikurung di bawah danau, hal ini adalah pembalasan yang setimpal. Hanya saja, aku si tua Ren Woxing terkurung ….”

Membaca sampai di situ ia pun berpikir, “Ternyata tulisan di tanganku berasal dari bagian ini.” Kembali ia meraba-raba dan melanjutkan membaca, “… di sini, mau tidak mau ilmu saktiku yang luar biasa tingginya akan musnah bersama tulang belulangku. Para pemuda dari angkatan selanjutnya tidak akan mengenal kepandaianku si tua ini, sungguh sayang.”

Linghu Chong mendongak ke atas sambil berpikir, “Si tua Ren Woxing! Si tua Ren Woxing! Orang yang mengukir tulisan ini tentu yang bernama Ren Woxing itu. Ternyata dia juga bermarga Ren. Entah apa hubungannya dengan Tuan Ren yang kuhadapi tempo hari? Penjara bawah danau ini entah sudah berapa lama berdiri? Mungkin orang bernama Ren Woxing itu sudah mati puluhan tahun silam.”

Kembali ia meraba tulisan yang selanjutnya berbunyi, “Sekarang aku si tua akan menuliskan semua intisari ilmu kesaktianku di sini, supaya angkatan selanjutnya dapat mempelajarinya dan dapat malang melintang di dunia persilatan. Walaupun aku mati, tapi kematianku tidak percuma dan namaku tetap dikenang selamanya. Pertama, bersamadi ….” Tulisan selanjutnya adalah berbagai cara untuk mengatur pernapasan dan tenaga dalam.

Sejak berlatih “Sembilan Pedang Dugu”, ilmu silat yang paling disukai Linghu Chong adalah ilmu pedang. Apalagi karena tenaga dalamnya sudah musnah, maka perkataan “bersamadi” membuatnya agak kecewa. Tadinya ia berharap tulisan selanjutnya adalah menguraikan semacam ilmu pedang yang ampuh, yang dapat ia latih sekadar untuk pelipur lara. Karena harapan untuk meloloskan diri semakin tipis, maka ia ingin sekali mencari-cari kesibukan demi mengusir rasa bosan supaya hari-hari selanjutnya bisa dilalui dengan baik.

Akan tetapi, huruf-huruf yang terukir itu selanjutnya berisi istilah-istilah tentang bagaimana berlatih tenaga dalam, misalnya “bernapas”, “pusatkan chi di dantian”, “salurkan qi ke jinjing”, “pembuluh ren” dan sebagainya. Sampai tulisan itu habis, tidak juga ditemukan sebuah huruf pun yang berbunyi “pedang”.

Linghu Chong merasa putus asa dan berkata, “Ilmu sakti hebat macam apa pula? Ini sama saja dengan mengolok-olok aku! Segala ilmu silat dapat kuterima, kecuali ilmu tenaga dalam yang tak dapat kupelajari. Begitu aku mengumpulkan tenaga, seketika darah dalam rongga dada dan perut langsung bergolak. Kalau aku teruskan berlatih rasanya akan sangat tersiksa dan seperti mengundang bencana.”

Ia menghela napas panjang, kemudian mengambil mangkuk nasi dan mulai makan sambil berpikir, “Ren Woxing ini entah tokoh macam apa? Perkataannya sangat sombong. Dia membual dengan ilmu saktinya bisa malang melintang di dunia persilatan segala.”

Ketika pertama kali menemukan tulisan tadi, Linghu Chong merasa sangat bersemangat. Namun kini, mau tidak mau semangatnya pupus dimakan kekecewaan. “Langit benar-benaar ingin mempermainkanku. Rasanya lebih baik kalau aku tidak menemukan tulisan ini.” Setelah termenung sejenak, ia melanjutkan berpikir, “Ternyata kamar penjara ini memang khusus digunakan untuk mengurung jago-jago silat kelas tinggi. Dilihat dari guratan tulisan yang dalam ini, dapat diduga ilmu silat Ren Woxing pasti sangat lihai. Tapi mengapa dia dapat dikurung di sini dan tidak berdaya? Jelas kamar penjara ini memang dibangun dengan sangat kuat dan aman. Meskipun punya kepandaian setinggi langit juga sukar untuk kabur. Begitu terperangkap, terpaksa harus menunggu ajal saja di dalam sini.” Setelah itu ia tidak lagi peduli dengan tulisan pada permukaan dipan besi tersebut.

Saat itu Kota Hangzhou sedang panas-panasnya. Di daratan saja rasanya sudah panas seperti kukusan, apalagi di penjara bawah danau? Memang penjara tersebut terletak di bawah danau yang tidak terkena sinar matahari, sehingga seharusnya terasa sejuk dan segar. Namun karena tidak ada angin yang masuk, juga keadaannya sangat lembab, membuat orang yang terkurung di dalamnya merasa sangat menderita. Setiap hari Linghu Chong menggulung baju dan celananya, serta tidur di atas dipan besi tanpa tikar untuk mencari rasa nyaman. Setiap kali merentangkan tangannya, ia meraba tulisan di permukaan dipan itu sehingga tanpa terasa banyak sekali kalimat-kalimat yang dihafalnya luar kepala.

Pada suatu hari ia sedang tiduran sambil merenung, “Sekarang Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil ada di mana? Apakah mungkin mereka sudah pulang ke Gunung Huashan?” Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara langkah kaki seseorang datang mendekat. Suara langkah itu sangat ringan tapi cepat, berbeda sekali dengan langkah si pelayan tua pengantar makanan biasanya.

Setelah sekian lama mendekam di dalam penjara sebenarnya Linghu Chong sudah tidak begitu mengharapkan datangnya seorang penolong. Namun kini mendadak terdengar suara langkah kaki orang baru, mau tidak mau ia menjadi terkejut bercampur senang. Ia bermaksud melompat bangun, tapi karena perasaan terlalu gembira justru membuat badan terasa gemetar dan lemas, sehingga terpaksa ia tetap berbaring tanpa bergerak-gerak.

Terdengar suara langkah orang itu cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu besi. Orang itu kemudian berkata, “Tuan Ren, beberapa hari ini cuaca sangat panas. Apakah kau baik-baik saja?”

Begitu mendengar suaranya, Linghu Chong segera dapat mengenali orang yang baru datang itu adalah Heibaizi. Andai saja Heibaizi datang sebulan sebelumnya, tentu Linghu Chong akan mencaci-maki kepadanya dengan segala macam kata-kata kotor dan keji. Tapi kini setelah cukup lama dikurung, amarahnya sudah banyak berkurang dan ia menjadi lebih tenang dan sabar.

Diam-diam Linghu Chong merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa dia memanggilku sebagai ‘Tuan Ren’? Apakah dia mendatangi kamar penjara yang salah?” Berpikir demikian membuatnya memilih diam tanpa menjawab.

Terdengar Heibaizi berkata lagi, “Hanya satu pertanyaan yang selalu kutanyakan kepada Tuan Ren setiap dua bulan sekali. Hari ini adalah tanggal satu bulan tujuh. Pertanyaanku tetap sama, apakah Tuan Ren setuju atau tidak?” Nada bicaranya terdengar sangat sopan.

Diam-diam Linghu Chong merasa geli dan berpikir, “Orang ini pasti mendatangi kamar penjara yang salah, dan keliru menyangka aku sebagai Tuan Ren. Aneh benar, mengapa sekarang dia jadi pikun begini?” Tapi segera ia tercengang, “Ah, tidak mungkin! Di antara keempat majikan di Wisma Mei Zhunag, Heibaizi adalah yang paling teliti. Kalau Tubiweng dan Danqingsheng masih mungkin mendatangi penjara yang salah. Tapi kalau Heibaizi mana mungkin salah alamat? Pasti di balik ini ada suatu sebab lainnya.”

Karena tidak juga mendapat jawaban, Heibaizi lantas berseru, “Tuan Ren, selama hidup kau terkenal sebagai kesatria yang lihai, untuk apa harus meringkuk di penjara ini sampai menjadi mayat? Asalkan kau berjanji menyanggupi permintaanku, maka aku pun akan pegang janji untuk meloloskanmu dari sini.”

Jantung Linghu Chong berdebar-debar. Timbul bermacam-macam pikiran dalam benaknya, tapi sukar untuk ia pecahkan. Ia sama sekali tidak mengerti apa maksud Heibaizi mengemukakan kata-kata itu kepadanya.

Terdengar Heibaizi kembali menegas, “Apakah Tuan Ren setuju atau tidak?”

Linghu Chong sadar saat ini telah terbuka sebuah kesempatan untuk meloloskan diri. Ia tidak peduli apakah lawan bicaranya memiliki maksud baik ataukah buruk, yang penting ada peluang di depan mata daripada nasib yang tidak jelas seperti ini. Namun ia masih penasaran ingin mengetahui apa maksud perkataan Heibaizi tadi. Ia khawatir kalau salah menjawab justru membuat urusan menjadi runyam dan kesempatan emas melayang sia-sia. Maka itu, ia terpaksa memilih tetap diam menunggu keadaan selanjutnya.

Terdengar Heibaizi menghela napas, lalu berkata, “Tuan Ren, mengapa kau tidak bersuara? Tempo hari kami membawa bocah bermarga Feng datang kemari untuk bertanding pedang denganmu. Di depan ketiga saudaraku sama sekali kau tidak menyinggung tentang pertanyaanku kepadamu. Untuk itu aku sungguh sangat berterima kasih. Kupikir setelah mengalami pertandingan itu tentu jiwa pendekarmu kembali berkobar. Betapa luasnya jagad raya di luar sana, asalkan Tuan Ren bisa keluar dari penjara gelap ini, maka kau bebas membunuh siapa saja, di mana saja kau suka. Bukankah hal ini sangat menyenangkan? Jika kau menyanggupi permintaanku, maka hal ini sedikit pun tidak merugikanmu. Tapi mengapa selama dua belas tahun ini kau selalu menolak?”

Linghu Chong mendengar Heibaizi berbicara dengan sungguh-sungguh karena benar-benar mengira kalau dirinya adalah Tuan Ren. Hal ini membuatnya semakin heran dan curiga. Terdengar Heibaizi mengulangi pertanyaannya berkali-kali membuat Linghu Chong penasaran ada masalah apa sebenarya di balik permintaannya itu. Namun demikian, pemuda itu tidak berani membuka suara karena takut urusan menjadi runyam. Terpaksa ia terus saja menahan diri dan tetap diam membisu.

Heibaizi berkata, “Karena pendirian Tuan Ren sedemikian kukuh terpaksa kita bertemu lagi dua bulan yang akan datang.” Tiba-tiba ia tertawa lirih dan menyambung, “Kali ini Tuan Ren tidak lagi mencaci maki kepadaku. Tampaknya pikiranmu sudah agak berubah. Dalam dua bulan ini silakan Tuan Ren berpikir masak-masak.” Sambil berkata demikian, ia pun memutar tubuh hendak melangkah pergi.

Linghu Chong menjadi kelabakan. Begitu Heibaizi pergi, maka ia harus menunggu dua bulan lagi. Sementara suasana di penjara ini satu hari saja sudah terasa setahun baginya, mana bisa ia harus menunggu dua bulan lagi? Maka, ia pun menunggu Heibaizi berjalan beberapa langkah, baru kemudian membalas pembicaraan dengan suara berat dan serak yang dibuat-buat, “Kau … kau minta aku menyetujui apa?”

Mendengar itu, secepat kilat Heibaizi melompat balik. Gerakannya sangat gesit, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan lubang persegi. Dengan suara gemetar ia berkata, “Apa kau … kau setuju?”

Linghu Chong berbalik menghadap dinding. Dengan tangan menutup mulut ia berkata samar-samar, “Menyetujui soal apa?”

Heibaizi menyahut, “Selama dua belas tahun ini aku selalu datang ke sini enam kali setiap tahun, menempuh bahaya hanya untuk memohon persetujuan Tuan Ren. Mengapa sekarang Tuan Ren malah balik bertanya?” ujar Heibaizi.

“Huh, aku sudah lupa,” sahut Linghu Chong sambil mendengus.

“Aku mohon Tuan Ren sudi mengajarkan ilmu sakti itu kepadaku. Bila sudah kupelajari tentu Tuan Ren akan kubebaskan dari sini,” kata Heibaizi.

Diam-diam Linghu Chong menjadi ragu apakah Heibaizi benar-benar menyangka dirinya sebagai tokoh bermarga Ren itu, ataukah ada tipu muslihat yang lain? Terpaksa ia menggumam lagi secara samar-samar, bahkan dirinya sendiri tidak tahu apa yang dikatakannya, apalagi Heibaizi.

Maka berulang-ulang Heibaizi menegas, “Bagaimana? Apakah Tuan Ren sudah setuju?”

“Kata-katamu tidak dapat dipercaya. Mana bisa kau menipu aku?” kata Linghu Chong.

“Kalau begitu, jaminan apa yang Tuan Ren kehendaki agar percaya kepadaku?” tanya Heibaizi.

“Terserah kau saja,” sahut Linghu Chong.

“Sepertinya Tuan Ren masih sangsi aku tidak menepati janji bila sudah berhasil mempelajari ilmu saktimu itu bukan?” kata Heibaizi. “Tentang ini Tuan Ren tidak perlu khawatir. Aku sendiri akan mengatur sedemikian rupa sehingga Tuan Ren tidak perlu ragu lagi.”

“Mengatur bagaimana?” sahut Linghu Chong.

“Maaf, tapi Tuan setuju atau tidak?” tanya Heibaizi dengan nada gembira.

Bermacam-macam pikiran terlintas dalam benak Linghu Chong, “Dia memohon belajar ilmu sakti kepadaku, tapi dari mana aku punya ilmu sakti yang ia maksudkan itu? Namun tiada salahnya aku mengetahui apa yang ia rencanakan. Jika ia benar-benar bisa membebaskan aku dari sini, biarlah aku menguraikan rumus rahasia yang terukir di atas lempengan dipan besi itu kepadanya. Tidak peduli ilmu itu bermanfaat atau tidak, yang penting aku tipu dia dulu; urusan yang lain belakangan.”

Karena tidak mendapat jawaban, maka Heibaizi pun berkata, “Apabila Tuan Ren sudah mengajarkan ilmu itu kepadaku maka aku sudah terhitung muridmu. Murid agama kita pantang menipu guru dan mengkhianati leluhur. Barangsiapa melanggar tentu akan dijatuhi hukuman berat, dikuliti hidup-hidup dampai mati perlahan-lahan. Mana berani aku melanggar peraturan agama kita dan tidak membebaskan guruku sendiri?”

“Hm, ternyata begitu,” sahut Linghu Chong.

“Jadi, apakah Tuan Ren sudah setuju?” tanya Heibaizi dengan nada gembira.

“Tiga hari lagi kau boleh datang kemari menerima jawabanku,” kata Linghu Chong.

“Sekarang saja Tuan Ren menyanggupi, kenapa harus menunggu tiga hari lagi di kamar yang gelap ini?” ujar Heibaizi.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Dia lebih gelisah daripada aku. Sebaiknya memang aku main tarik ulur selama tiga hari untuk melihat tipu muslihat apa yang ia persiapkan.”

Karena berpikir demikian, ia pun tidak menjawab, hanya mendengus keras sebagai tanda muak dan terdengar gusar.

Ternyata hal ini membuat Heibaizi ketakutan. Dengan cepat ia pun berkata, “Baiklah! Baiklah! Tiga hari lagi aku akan datang meminta petunjuk kepada Tuan.”

Pelayan tua mengantar makanan.

Menemukan tulisan rahasia di atas dipan besi.

Heibaizi mengunjungi penjara.

(Bersambung)