Bagian 18 - Persahabatan Terlarang


Liu Zhengfeng mematahkan pedang pusaka.
Para hadirin bertanya-tanya di dalam hati mengenai keputusan Liu Zhengfeng tersebut. Ada sebagian yang berpikir, “Jika dia ingin menjadi pejabat istana, apa hendak dikata? Setiap orang punya cita-cita sendiri. Biarlah dunia persilatan kehilangan manusia serakah seperti dia. Masa bodoh dengan urusannya.”
Ada pula yang berpikir, “Huh, Liu Zhengfeng benar-benar membuat malu perguruannya. Pantas saja Tuan Besar Mo selaku ketua Perguruan Hengshan tidak sudi menghadiri acara ini. Rasanya tidak hanya Perguruan Hengshan saja yang dirugikan, bahkan seluruh anggota Serikat Pedang Lima Gunung juga merasa direndahkan martabatnya.”
“Serikat Pedang Lima Gunung sangat menjaga kehormatan dan tata krama. Aku yakin, mereka tidak setuju dan merasa sangat diredahkan oleh perbuatan Liu Zhengfeng ini. Namun demi menjaga hubungan baik, mereka memilih diam tidak bersuara.”
Namun ada pula yang berpikir demikian, “Siapa bilang Serikat Pedang Lima Gunung selalu menjaga kehormatan? Liu Zhengfeng telah berlutut dan bersujud demi untuk menerima pangkat kerajaan. Apakah ini yang disebut dengan kehormatan?”
Begitulah, karena setiap orang tenggelam dalam pikiran masing-masing, maka suasana di ruangan tersebut menjadi sunyi senyap. Menanggapi pengangkatan Liu Zhengfeng tadi seharusnya mereka mengucapkan pujian dan selamat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya; sama sekali tidak ada yang terlihat membuka suara.
Liu Zhengfeng sendiri tidak begitu peduli terhadap sikap tamu-tamunya. Ia lalu menghadap keluar seolah-olah hendak berbicara kepada para leluhur yang telah tiada. Sesaat kemudian ia pun berseru lantang, “Saya, Liu Zhengfeng, berterima kasih terhadap semua budi baik Guru. Selama ini saya tidak pernah berjasa dalam mengembangkan nama besar Perguruan Hengshan. Syukurlah, saat ini perguruan berada di bawah pimpinan Kakak Mo yang bijaksana dan berilmu tinggi. Sehingga, Liu Zhengfeng ada atau tiada juga tidak akan berpengaruh apa-apa. Mulai saat ini Liu Zhengfeng menyatakan cuci tangan dan melepaskan diri dari pergaulan dunia persilatan. Selanjutnya, saya hanya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk jabatan yang baru saja saya terima. Apabila suatu hari nanti saya berani melanggar sumpah, biarlah nasib saya serupa dengan pedang ini.”
Berkata sampai di sini, Liu Zhengfeng melolos pedang pusakanya dan dengan sekali tekan, pedang itu patah menjadi dua. Kedua potongan tersebut dibuangnya dan langsung menancap di lantai.
Melihat pemandangan ini, para hadirin kembali terkejut. Untuk para tamu yang berilmu tinggi jelas menancapkan potongan pedang di lantai bukan pekerjaan sulit. Namun, mematahkan pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan jelas membutuhkan tenaga dalam yang sangat tinggi. Ini menunjukkan betapa Liu Zhengfeng telah mencapai tingkatan tinggi dalam pelajaran ilmu silatnya.
“Sungguh sayang!” ujar Tuan Wen sambil menghela napas panjang. Para hadirin lainnya memahami, bahwa Tuan Wen bukan menyayangkan pedang pusaka yang telah patah menjadi dua tersebut, namun menyayangkan betapa seorang tokoh terkemuka berilmu tinggi harus mengundurkan diri dan menjadi abdi kaisar.
Sambil tersenyum kepada para hadirin, Liu Zhengfeng menyingsingkan lengan bajunya dan bersiap mencelupkan kedua tangannya ke dalam air dalam baskom emas. Namun tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan keras, “Tunggu dulu!”
Liu Zhengfeng dan segenap hadirin terkejut seketika. Mereka menoleh ke arah pintu dan melihat empat orang berseragam kuning masuk dan langsung berdiri di samping kiri dan kanan ruangan. Menyusul kemudian masuk lagi seorang bertubuh tegap yang mengangkat tinggi-tinggi sebuah bendera kecil berwarna lima macam. Bendera itu tampak indah gemerlapan karena dihiasi mutiara dan untaian batu permata.
Sebagian para hadirin terperanjat kaget melihat bendera itu. Terdengar mereka berbisik-bisik satu sama lain, “Bendera kecil itu adalah Panji Pancawarna, lambang ketua Serikat Pedang Lima Gunung.”
Si pembawa panji berjalan angkuh ke tengah ruangan dan kemudian berhenti tepat di hadapan Liu Zhengfeng. Ia lantas mengangkat kembali panji itu tinggi-tinggi dan berkata dengan suara lantang, “Kami membawa perintah Ketua Zuo, pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung, supaya Paman Liu menunda pelaksanaan upacara Cuci Tangan Baskom Emas untuk sementara waktu.”
Liu Zhengfeng terkejut. Dengan berusaha tetap tenang ia membungkuk di hadapan Panji Pancawarna sambil menjawab, “Jika itu yang menjadi perintah Ketua Serikat, aku siap menuruti. Tapi kalau boleh tahu, ada maksud apa hingga Ketua Serikat menyampaikan perintah seperti ini?”
Si pembawa panji menyahut, “Kami hanya menyampaikan perintah Ketua Serikat. Kedudukan kami rendah sehingga tidak berhak mengetahui maksud dan tujuan Ketua Serikat. Mohon Paman Liu sudi memaafkan.”
“Ah, kau terlalu merendahkan diri,” ujar Liu Zhengfeng. “Kalau tidak salah, kau ini Keponakan Shi alias Si Pohon Cemara Seribu Depa, bukan?”
Meskipun bibirnya tetap tersenyum, namun suara Liu Zhengfeng terdengar agak gemetar. Bagaimanapun juga ia sangat terkejut karena perubahan keadaan yang sangat tiba-tiba ini.
Si pembawa panji diam-diam merasa bangga karena sang tuan rumah ternyata mengenali julukannya. Ia pun menjawab, “Paman Liu benar. Saya Shi Dengda, murid Perguruan Songshan, menyampaikan sembah hormat kepada Paman Liu.”
Setelah itu, Shi Dengda lantas memberi salam kepada Pendeta Tianmen, Yue Buqun, Biksuni Dingyi, serta tokoh-tokoh papan atas lainnya. Serentak keempat rekannya yang berdiri di kanan-kiri pintu juga melakukan hal yang sama.
Biksuni Dingyi membalas salam kemudian berkata, “Kalian dikirim oleh Ketua Zuo untuk merintangi upacara Cuci Tangan Adik Liu, kurasa hal itu memang sangat tepat.” Ia merasa telah datang kesempatan untuk mengutarakan isi hatinya. “Aku berpendapat kaum persilatan seperti kita lebih suka hidup bebas dengan mengutamakan persaudaraan dan kesetiakawanan, bukannya tunduk di hadapan pembesar kerajaan. Namun Adik Liu tentu tidak sudi mendengarkan saran dari biksuni tua seperti diriku, sehingga sejak tadi aku memilih diam tidak bersuara.”

Shi Dengda mengangkat Panji Pancawarna.
Liu Zhengfeng menanggapi dengan wajah serius, “Sejak dulu kelima perguruan telah mengikat persaudaraan di dalam Serikat Pedang Lima Gunung. Kita bersama-sama telah sepakat untuk saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan keadilan. Bila terjadi sesuatu yang menyangkut kelima perguruan, kita semua wajib tunduk kepada perintah Ketua Serikat. Panji Pancawarna adalah lambang kelima perguruan kita. Melihat panji pusaka ini sama seperti melihat Ketua Serikat.”
Setelah diam sejenak, ia melanjutkan, “Upacara Cuci Tangan Baskom Emas hari ini adalah urusan pribadiku, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perserikatan kita. Para sahabat yang hadir di sini bisa menjadi saksi. Oleh karena itu, Panji Pancawarna tidak berlaku untuk membatasi kehendakku. Harap Keponakan Shi menyampaikan permintaan maafku kepada gurumu yang terhormat. Semoga Ketua Zuo dapat memakluminya.”
Usai berkata demikian Liu Zhengfeng melangkah maju mendekati baskom emas di atas meja dan berniat mencelupkan kedua tangannya. Namun, Shi Dengda segera melompat untuk merintangi.
“Paman Liu, guruku telah memberi perintah supaya Paman menunda upacara Cuci Tangan Baskom Emas ini,” ujar Shi Dengda. “Guru berkata bahwa Serikat Pedang Lima Gunung senapas seirama. Maksud Guru mengirimkan Panji Pancawarna semata-mata untuk menjaga persatuan serikat kita, serta menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia persilatan. Ini semua juga demi kebaikan Paman Liu sendiri.” Usai berkata demikian ia kembali mengangkat tinggi-tinggi Panji Pancawarna di udara.
Liu Zhengfeng terlihat heran. Ia pun berkata, “Aku benar-benar tidak mengerti. Rencana pengunduran diriku sudah kusampaikan jauh-jauh sebelumnya. Kalau Kakak Zuo memang bermaksud baik, mengapa tidak dari kemarin-kemarin dia menasihati aku? Mengapa baru sekarang ia mengirim Panji Pancawarna pada saat aku menjamu para tamuku? Bukankah ini sama saja dengan membuatku malu di depan banyak pendekar dan kesatria? Jika hari ini aku harus menarik ucapanku, tentu aku akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan.”
Shi Dengda menjawab, “Guru kami sering memuji Paman Liu sebagai seorang tokoh persilatan yang sangat dihormati banyak orang. Nama besar Paman Liu terkenal di mana-mana, sehingga kami dipesan untuk selalu bersikap sopan kepada Paman. Jika sampai melanggar hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman setimpal dari Guru. Mengingat nama besar Paman Liu di dunia persilatan, kami yakin tidak seorang pun berani memandang rendah terhadap Paman jika menuruti perintah ini.”
“Ah, itu hanya pujian Kakak Zuo belaka,” ujar Liu Zhengfeng sambil tertawa. “Mana mungkin aku memiliki kehormatan sebesar itu?”
Melihat perdebatan yang bertele-tele itu Biksuni Dingyi tidak sabar dan ikut bicara, “Adik Liu, mengenai upacaramu ini bagaimana kalau ditunda dulu untuk sementara waktu? Semua yang hadir di sini adalah kawan-kawan kita sendiri. Jadi, siapa orangnya yang berani menertawakanmu? Andaikan ada satu-dua orang yang berani mengolok-olok dirimu, biar aku yang akan membereskannya.” Dengan tatapan galak ia lantas menyapu para hadirin dari ujung kiri sampai ke ujung kanan ruangan.
“Baiklah kalau Kakak Dingyi berpendapat demikian,” jawab Liu Zhengfeng. “Upacara ini aku tunda sampai esok hari. Saudara-saudara sekalian bisa menginap di sini. Biar kami berunding dahulu dengan para keponakan dari Perguruan Songshan ini.”
Tiba-tiba dari arah belakang rumah terdengar suara seorang gadis kecil berseru, “Hei, jangan mengganggu! Terserah diriku ingin bermain dengan siapa. Kenapa kau harus ikut campur?”
Para hadirin sangat terkejut karena mereka sama sekali belum lupa bahwa itu adalah suara Qu Feiyan, gadis kecil yang kemarin telah mempermainkan Yu Canghai di depan umum.
Sejenak kemudian terdengar suara seorang laki-laki berseru, “Kau duduk di sini saja dulu! Tidak boleh sembarangan bergerak atau berteriak! Setelah semuanya beres, baru kau kubiarkan pergi.”
“Aneh sekali! Memangnya ini rumahmu?” sahut Qu Feiyan. “Aku mau pergi mencari kupu-kupu bersama Kakak Liu, mengapa kau berani menghalangi?”
Laki-laki itu menjawab, “Kalau kau mau pergi silakan pergi sendiri! Tapi Nona Liu harus tetap menunggu di sini, tidak boleh ke mana-mana!”
Qu Feiyan menyahut, “Huh, kau sudah membuat Kakak Liu muak. Lebih baik kalian saja yang pergi dari sini!”
Rupanya yang dimaksud dengan “Kakak Liu” atau “Nona Liu” adalah anak perempuan Liu Zhengfeng. Terdengar suara gadis itu berkata, “Adik Qu, kau jangan pedulikan dia. Lebih baik kita pergi sekarang saja.”
Tapi mendadak terdengar si laki-laki membentak, “Nona Liu, kau lebih baik menunggu di sini saja! Jangan sembarangan bergerak!”
Liu Zhengfeng menjadi gusar mendengar percakapan tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Siapa bangsat itu? Kenapa dia berani kurang ajar di rumahku sendiri? Berani sekali dia mengancam Jing’er.”
Murid nomor dua Liu Zhengfeng, yaitu Mi Weiyi bergegas menuju ke ruang belakang. Di sana ia melihat Liu Jing, putri gurunya, bergandengan tangan dengan Qu Feiyan. Di hadapan kedua gadis kecil itu berdiri seorang laki-laki berbaju kuning sedang merentangkan kedua lengannya seolah mencegah mereka pergi menuju pintu keluar.
Melihat seragam yang dipakai orang itu, Mi Weiyi segera berdehem dan menyapa, “Saudara tentu berasal dari Perguruan Songshan, bukan? Mengapa tidak duduk di ruang utama saja bersama para tamu lainnya?”
Orang itu menoleh dan menjawab, “Terima kasih atas undanganmu. Tapi Ketua Serikat telah memberi perintah supaya kami mengawasi semua anggota Keluarga Liu jangan sampai ada seorang pun yang lolos.”
Suara murid Songshan tersebut tidak terlalu keras namun terdengar dengan jelas sampai ke ruang utama. Seketika para hadirin terkejut dibuatnya.
Liu Zhengfeng menjadi gusar dan bertanya, “Keponakan Shi, ada apa ini sebenarnya?”
Shi Dengda segera berseru kepada saudaranya yang berada di ruang belakang itu, “Adik Wan, kau boleh kemari. Paman Liu sudah sepakat menunda upacara.”
“Ya, memang seharusnya begitu,” sahut si marga Wan sambil kemudian berjalan menuju ruang utama. Sesampainya di hadapan Liu Zhengfeng, ia segera membungkuk memberi hormat, “Wan Daping dari Perguruan Songshan menyampaikan salam hormat kepada Paman Liu.”
Liu Zhengfeng gemetar menahan gusar. Ia pun berteriak keras, “Ada berapa banyak murid Perguruan Songshan yang datang kemari? Lebih baik kalian keluar semua!”
Menanggapi seruan sang tuan rumah, puluhan orang pun muncul dari berbagai penjuru. Ada yang muncul di atap rumah, ada yang muncul di pintu masuk, ada yang muncul di pintu belakang, ada pula yang muncul dari samping rumah. Dari tempat masing-masing mereka serentak mengucapkan salam kepada Liu Zhengfeng, “Murid-murid Songshan menyampaikan salam kepada Paman Liu!”
Suara salam yang mereka ucapkan membuat rumah Liu Zhengfeng yang megah terasa bergetar. Puluhan murid Songshan itu ada yang memakai seragam kuning, ada pula yang sejak tadi menyamar dan menyusup di antara para tamu.
Biksuni Dingyi ikut merasa gusar. Dengan suara keras ia pun berseru, “Apa-apaan ini semua? Ini keterlaluan! Sungguh penghinaan... sungguh penghinaan!”
“Maafkan kami, Bibi Biksuni!” ujar Shi Dengda. “Tapi bagaimanapun juga guru kami telah memerintahkan supaya kami mencegah Paman Liu melangsungkan upacara Cuci Tangan ini. Kami khawatir Paman Liu tidak mau menuruti perintah guru kami. Oleh sebab itu, kami terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang kurang pantas.”
Pada saat itu pula dari ruang belakang muncul sejumlah orang yang tidak lain adalah istri, anak-anak, dan tujuh orang murid Liu Zhengfeng. Disusul kemudian terlihat murid-murid Perguruan Songshan menodongkan pedang di punggung mereka.
Liu Zhengfeng terperanjat melihat perbuatan murid-murid Songshan tersebut. Namun ia tetap berusaha tegar dan berteriak dengan suara lantang, “Para hadirin sekalian, bukannya aku ini keras kepala dan menentang Ketua Serikat. Namun Kakak Zuo telah mengirim murid-muridnya untuk mengancam diriku sedemikian rupa. Jika Liu Zhengfeng tunduk di bawah kekerasan, akan ditaruh ke mana lagi mukaku ini? Kakak Zuo melarangku melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, huh, kepalaku boleh dipenggal, tapi cita-citaku tidak boleh dipatahkan!”
Usai berkata demikian, Liu Zhengfeng bersiap mencelupkan kedua tangannya ke dalam baskom emas di atas meja. Melihat itu Shi Dengda berseru, “Tunggu dulu!”
Murid Songshan tersebut mengibaskan Panji Pancawarna untuk menghalangi Liu Zhengfeng. Namun Liu Zhengfeng dengan sigap mencolokkan kedua jarinya ke arah mata Shi Dengda. Buru-buru Shi Dengda menangkis serangan tersebut. Namun secepat kilat tangan Liu Zhengfeng yang lain ikut menyerang, sehingga lawannya itu terpaksa melangkah mundur.
Kesempatan tersebut segera dimanfaatkan Liu Zhengfeng untuk melanjutkan niatnya. Namun belum sampai kedua tangannya mencapai air di dalam baskom, tiba-tiba dua orang murid Songshan lainnya menerjang maju. Tanpa menoleh, Liu Zhengfeng berhasil mendepak dada salah seorang dengan kaki kiri dan menangkap lengan seorang lainnya dengan tangan kanan. Dengan cepat ia mengangkat tubuh murid Songshan tersebut dan melemparkannya ke arah Shi Dengda. Gerakan Liu Zhengfeng tersebut berlangsung sangat cepat dan juga mengenai sasaran dengan tepat. Seorang ahli silat yang biasanya bersikap lembut dan berdandan mewah itu kini telah memperlihatkan kepandaiannya di depan umum.
Melihat ketangkasan Liu Zhengfeng, murid-murid Songshan yang berjumlah puluhan tersebut mau tidak mau merasa gentar juga. Salah seorang yang menodong putra Liu Zhengfeng berteriak, “Paman Liu, jika kau tidak mengurungkan niatmu, maka aku terpaksa membunuh putramu ini.”
Liu Zhengfeng menoleh. Tampak pedang murid Songshan tersebut sudah menempel di leher putra sulungnya. Ia pun berseru, “Para hadirin yang terhormat, kalian semua menjadi saksi. Jika ada yang berani menyentuh seujung rambut putraku, maka semua murid Perguruan Songshan yang ada di sini akan aku cincang habis mayat-mayatnya.”
Murid-murid Songshan semakin gentar karena para hadirin mulai memandang mereka dengan tatapan curiga. Jika mereka benar-benar membunuh putra Liu Zhengfeng, tentu para hadirin dan murid-murid Hengshan akan langsung bertindak menyerbu.
Tanpa banyak bicara lagi, Liu Zhengfeng pun melangkah maju mendekati baskom emas untuk melanjutkan niatnya. Akan tetapi di luar dugaan, tiba-tiba melesat sebuah senjata rahasia yang memancarkan sinar perak menyilaukan. Liu Zhengfeng dengan gesit melompat mundur. Senjata rahasia tersebut menghantam tepi baskom emas hingga menimbulkan suara nyaring.
Si pelempar senjata rahasia jelas memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Baskom emas tersebut sampai jatuh ke bawah. Air bersih di dalamnya tumpah menggenangi lantai. Menyusul kemudian orang itu muncul dan langsung menginjak baskom tersebut sampai tergencet pipih.
Si pelempar senjata rahasia ternyata seorang pria berseragam kuning dan berusia empat puluhan. Tubuhnya kurus dengan kumis tipis menghiasi kedua ujung bibirnya, kiri dan kanan. Dengan merangkap kedua tangan ia mengucapkan salam kepada Liu Zhengfeng, “Kakak Liu, atas perintah Kakak Zuo, kau dilarang melanjutkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas ini.”
Liu Zhengfeng mengenal laki-laki kurus itu bernama Fei Bin. Ia merupakan adik seperguruan nomor empat dari Zuo Lengchan yang dijuluki Si Tapak Songyang Besar. Adapun Zuo Lengchan merupakan ketua Perguruan Songshan sekaligus pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung.
Liu Zhengfeng mengeluh dalam hati. Rupanya Zuo Lengchan benar-benar ingin menggagalkan upacara Cuci Tangan yang hendak dilangsungkannya. Bahkan, yang dikirim kali ini bukan hanya murid-muridnya, tapi juga adik seperguruannya yang memiliki kepandaian tinggi. Melihat baskom emas sudah rusak, maka pilihan pun tinggal dua; bertempur habis-habisan atau menyerah kalah dan menerima segala penghinaan.
Diam-diam Liu Zhengfeng berpikir, “Perguruan Songshan telah terpilih menjadi pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung, namun cara mereka menekan orang sungguh keterlaluan. Para hadirin yang ada di sini apakah tidak ada yang berani untuk maju menentang ketidakadilan ini?”
Dengan menahan gusar, Liu Zhengfeng membalas hormat dan berkata, “Jauh-jauh Adik Fei datang kemari bukannya ikut minum bersama kami barang secawan, tapi malah berdiri di luar merasakan teriknya matahari. Mungkin selain Adik Fei juga ada tokoh-tokoh hebat Perguruan Songshan lainnya yang juga berada di sini. Kalau hanya menghadapi si marga Liu ini, rasanya Adik Fei saja sudah cukup. Tapi untuk menghadapi semua hadirin di tempat ini, mungkin kawan-kawan dari Perguruan Songshan yang datang masih kurang jumlahnya.”
Fei Bin tersenyum dan berkata, “Kakak Liu, kau tidak perlu mencoba mengadu domba kami dengan para kesatria yang hadir di sini. Untuk menghadapi Kakak Liu seorang diri, ilmuku masih terlalu rendah. Tidak mungkin aku sanggup bertahan menghadapi Jurus Pedang Menjatuhkan Belibis yang sangat ampuh darimu. Perguruan Songshan sama sekali tidak berani membuat masalah dengan Perguruan Hengshan, apalagi melawan para hadirin sekalian. Kedatangan kami kemari semata-mata untuk membatalkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas yang hendak kau langsungkan, karena itu menyangkut keselamatan ribuan nyawa orang-orang dunia persilatan.”
Para hadirin terkejut mendengar ucapan Fei Bin. Mereka heran mengapa upacara tersebut jika diteruskan bisa membahayakan keselamatan banyak orang.
“Benar sekali,” sahut Biksuni Dingyi ikut berbicara. “Soal Adik Liu ingin menjadi pembesar kerajaan itu urusan pribadinya. Sebenarnya aku malu ikut bicara. Tapi, perlu kukatakan kalau setiap orang punya cita-cita. Adik Liu ingin menjadi pejabat dan menumpuk kekayaan, ya silakan saja. Yang penting, dia tidak merugikan rakyat kecil dan merusak kesetiakawanan kaum persilatan. Aku rasa keputusannya ini tidak terlalu membahayakan keselamatan banyak orang.”
“Biksuni Dingyi,” ujar Fei Bin menukas, “kau ini seorang pemuka agama, sudah tentu kurang memahami tipu muslihat seperti ini. Asal kau tahu, jika intrik besar seperti ini sampai berkelanjutan, bukan hanya kawan-kawan persilatan saja yang menjadi korban, tapi juga rakyat jelata yang tidak berdosa akan ikut mengalami bencana besar. Coba pikir, seorang tokoh ternama dari Perguruan Hengshan sudi merendahkan diri di hadapan para pembesar kerajaan yang serakah dan korup. Hm, Kakak Liu sudah kaya raya, tapi mengapa masih menginginkan jabatan di kerajaan? Apalagi pangkat yang diperolehnya sangat rendah, tentu hal ini membuat kami curiga. Jangan-jangan ada rencana lain di balik itu semua.”
Para hadirin terkesiap mendengar penuturan Fei Bin. Sejak awal masing-masing juga merasa curiga mengapa seorang terpandang dan kaya raya seperti Liu Zhengfeng bersedia menerima pangkat rendah di pemerintahan? Namun demikian, tidak seorang pun sejak tadi yang berani membuka suara.
“Adik Fei, kalau kau ingin memfitnahku, tolong cari alasan yang lebih masuk akal,” ujar Liu Zhengfeng sambil tertawa. Ia benar-benar seorang yang pandai mengendalikan amarah. “Nah, saudara-saudara dari Songshan lainnya silakan keluar untuk ikut bergabung di sini.”
“Baik!” sahut dua orang bersamaan, masing-masing dari arah atap rumah sebelah barat dan timur. Sekejap kemudian kedua orang itu sudah melompat turun dan berdiri di samping Fei Bin. Ilmu meringankan tubuh mereka sama persis dengan yang diperlihatkan Fei Bin beberapa saat sebelumnya. Jelas keduanya merupakan tokoh-tokoh terkemuka dari Perguruan Songshan pula.
Sebagian dari para hadirin rupanya mengenali kedua orang yang baru muncul tersebut. Yang berdiri di sebelah timur Fei Bin seorang laki-laki berbadan gemuk dan tinggi besar. Ia adalah adik seperguruan nomor dua Zuo Lengchan yang bernama Ding Mian, alias Si Tapak Penahan Menara. Sementara itu, yang berdiri di sebelah barat adalah laki-laki bertubuh kurus kering. Ia merupakan adik seperguruan nomor tiga yang bernama Lu Bai, alias Si Tapak Bangau. Keduanya langsung merangkap tangan dan memberi hormat kepada Liu Zhengfeng.
Melihat kembali muncul dua tokoh papan atas Perguruan Songshan, para hadirin serentak berdiri untuk memberi hormat. Sebaliknya, Liu Zhengfeng merasa semakin terdesak.
“Adik Liu, kau jangan khawatir,” sahut Biksuni Dingyi. “Semua urusan di dunia ini tidak dapat mengalahkan yang namanya ‘Kebenaran’. Janganlah kau takut pada ketidakadilan dan penindasan. Meskipun mereka mengepungmu dengan jumlah besar, namun kami dari Perguruan Taishan, Huashan, dan Henshan tentu tidak akan tinggal diam begitu saja. Apa kau pikir kami datang kemari hanya untuk makan tanpa peduli atas kesulitanmu?”
Liu Zhengfeng tersenyum getir dan berkata, “Terima kasih, Kakak Biksuni. Sungguh sangat memalukan kalau urusan ini sampai kuceritakan pada banyak orang. Sebenarnya ini hanyalah urusan rumah tangga perguruan kami sendiri. Para hadirin terpaksa ikut mendengarkan cerita yang seharusnya kami sembunyikan rapat-rapat.” Setelah terdiam sejenak dan memandangi para tamunya, ia pun melanjutkan, “Sebenarnya hubunganku dengan Kakak Mo kurang baik. Jangan-jangan, Kakak Mo telah mengadu kepada Ketua Zuo tentang keburukan-keburukanku, sehingga saudara-saudara dari Perguruan Songshan terpaksa datang kemari untuk menggagalkan upacara Cuci Tangan ini. Ini memang kesalahanku yang kurang menghargai kakak seperguruan. Baiklah, aku mengaku salah dan bersedia meminta maaf kepada Kakak Mo.”
Fei Bin memandang tajam kepada para hadirin. Sorot matanya yang berkilat-kilat menunjukkan betapa pria bertubuh kurus ini memiliki tenaga dalam yang begitu hebat. Sejenak kemudian, pandangannya kembali kepada sang tuan rumah dan ia pun berkata, “Kau bilang urusan ini ada sangkut-pautnya dengan Tuan Besar Mo? Jika benar demikian, silakan Tuan Besar Mo menunjukkan diri supaya kita bisa bicara baik-baik.”
Suasana di ruang utama itu mendadak sunyi senyap. Para hadirin berdebar-debar menunggu kemunculan Tuan Besar Mo alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang. Akan tetapi, ketua Perguruan Hengshan itu tidak juga terlihat datang.
Dengan tersenyum getir Liu Zhengfeng berkata, “Pertengkaran kami ini sebenarnya sudah diketahui banyak orang di dunia persilatan. Maka itu, rasanya tidak perlu kurahasiakan lagi. Para hadirin tentu mengetahui kalau aku cukup beruntung karena terlahir di keluarga yang kaya raya. Warisan yang kudapatkan dari leluhurku juga melimpah ruah. Sebaliknya, Kakak Mo berasal dari keluarga miskin. Sebagai seorang saudara, sudah tentu aku siap membantu keuangan Kakak Mo kapan saja. Namun Kakak Mo sudah terlanjur iri kepadaku. Kami tidak pernah bertemu dan berbicara dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, sudah beberapa tahun ini Kakak Mo tidak sudi menginjakkan kaki di rumahku. Jadi, jangan diharapkan kalau dia juga hadir dalam upacara Cuci Tangan Baskom Emas kali ini. Namun yang membuatku sangat heran mengapa Ketua Zuo hanya percaya pada pengaduan sepihak saja, sampai-sampai mengirimkan saudara-saudara dari Perguruan Songshan untuk menawan anak dan istriku di hadapan para tamu? Bukankah... bukankah ini sudah keterlaluan?”
Fei Bin menoleh ke arah Shi Dengda dan berseru, “Angkat panjimu!”
“Baik!” jawab si keponakan sambil mengangkat Panji Pancawarna di samping Fei Bin.
“Kakak Liu,” sahut Fei Bin dengan penuh wibawa, “urusan ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Tuan Besar Mo. Jadi, kau tidak perlu mencemarkan nama baiknya. Kami hanya diperintah Ketua Zuo untuk menyelidiki persekongkolanmu dengan Dongfang Bubai, pemimpin aliran sesat. Sebenarnya ada intrik apa di antara kalian berdua? Apakah kalian merencanakan kehancuran Serikat Pedang Lima Gunung atau saudara-saudara aliran lurus lainnya?”
Ucapan Fei Bin ini sangat mengejutkan semua hadirin yang mendengarnya. Bahkan, ada beberapa di antara mereka yang berseru kaget. Maklum saja, aliran sesat yang konon menyebarkan agama pemuja iblis itu adalah musuh besar para kesatria dan pendekar dari golongan lurus. Permusuhan tersebut sudah berlangsung selama ratusan tahun. Banyak sekali jatuh korban di antara kedua pihak. Tidak sedikit dari para tamu yang datang di rumah Liu Zhengfeng tersebut yang telah kehilangan orang tua, saudara, guru, atau sahabat mereka akibat keganasan kaum aliran sesat. Setiap kali istilah aliran sesat diucapkan, selalu saja mengundang kebencian dan kutukan dari siapa saja yang mendengarnya.
Sebenarnya tujuan Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, Huashan, dan Henshan membentuk Serikat Pedang Lima Gunung semata-mata adalah untuk menghadapi kekuatan aliran sesat tersebut. Meskipun demikian, jumlah pengikut aliran sesat terlalu banyak dan ilmu silat mereka juga sangat tinggi serta beraneka ragam. Lebih-lebih sang pemimpin yang bernama Dongfang Bubai bahkan dijuluki sebagai orang nomor satu di dunia persilatan abad ini. Sejak menjadi ketua aliran sesat, orang ini belum pernah kalah bertanding melawan siapa pun juga, dan ini sesuai dengan namanya, yaitu ‘Bubai’ yang berarti ‘tak terkalahkan’.
Maka, begitu Fei Bin menyebut adanya persekongkolan antara Liu Zhengfeng dengan Dongfang Bubai, para hadirin menjadi ikut curiga. Meskipun tuduhan itu belum tentu benar, namun rasa simpati mereka terhadap Liu Zhengfeng langsung berkurang seketika.
Menanggapi tuduhan tersebut Liu Zhengfeng menjawab, “Seumur hidup aku belum pernah bertemu Dongfang Bubai, apalagi mengenal dirinya. Atas dasar apa Adik Fei melemparkan tuduhan keji seperti itu?”
Fei Bin tidak menjawab. Ia hanya melirik kepada Lu Bai. Kakak seperguruannya itu pun maju dan berkata, “Saudara Liu, apa yang kau katakan itu sungguh jauh dari kenyataan. Di dalam aliran sesat ada seorang Tetua Pelindung Agama yang bernama Qu Yang. Aku yakin Saudara Liu pasti mengenalnya, benar demikian?”
Sejak tadi Liu Zhengfeng selalu bersikap tenang. Tapi begitu mendengar nama ‘Qu Yang’ disebut, seketika wajahnya langsung berubah menampilkan perasaan heran dan terkejut. Mulutnya tampak tertutup rapat dan diam seribu bahasa.
Si gemuk Ding Mian ikut berseru, “Apa kau mengenal Qu Yang?” Sejak tadi ia hanya diam menyaksikan tanya jawab antara Fei Bin dan Liu Zhengfeng. Namun begitu berbicara langsung membentak dengan kasar dan suaranya terdengar menggelegar laksana halilintar. Beberapa di antara para hadirin tidak bisa menyembunyikan perasaan gentar mereka. Dengan membentak seperti itu, tubuh Ding Mian terlihat semakin besar seperti raksasa.

Ding Mian, Fei Bin, dan Lu Bai mendesak Liu Zhengfeng.
Liu Zhengfeng sendiri tetap diam tanpa bersuara sepatah kata pun. Pandangan para hadirin serentak tertuju kepadanya. Sikapnya yang bungkam itu membuat para tamu merasa curiga, jangan-jangan apa yang dituduhkan pihak Perguruan Songshan adalah benar.
Selang agak lama akhirnya Liu Zhengfeng mengangguk-angguk dan berkata, “Benar sekali, Kakak Qu Yang memang kenalanku. Bahkan, kami bukan hanya sekadar kenal, tetapi sudah menjadi sahabat baik. Kakak Qu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki di dunia ini.”
Seketika suasana menjadi gempar. Tadinya Para hadirin menduga Liu Zhengfeng berusaha memikirkan cara untuk membantah tuduhan tersebut. Mereka juga mengira kalau dirinya dan Qu Yang hanya sekadar kenal atau pernah bertemu sekali-dua kali. Tidak disangka, dengan penuh keberanian Liu Zhengfeng mengakui gembong aliran sesat itu sebagai sahabat karibnya.
Fei Bin tersenyum dan berkata, “Bagus sekali, bagus sekali! Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Nah, Liu Zhengfeng, Ketua Zuo telah memberimu dua pilihan. Terserah dirimu untuk memilih jalan yang mana.”
Liu Zhengfeng sendiri tetap terlihat tenang. Perlahan-lahan ia duduk di kursi seolah tidak peduli dengan tawaran Fei Bin sedikit pun. Tangannya kemudian bergerak menuang secawan arak dan pelan-pelan meminumnya dalam sekali teguk. Para hadirn mengamati tangan dan lengan baju Liu Zhengfeng yang sama sekali tidak bergetar, pertanda ia memang seorang yang sangat ahli dalam menahan amarah. Menyaksikan itu semua diam-diam para hadirin merasa kagum dan memuji ketenangan tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut dalam mengendalikan diri.
Fei Bin kembali berseru lantang, “Ketua Zuo berkata bahwa Liu Zhengfeng seorang tokoh istimewa yang memiliki kepandaian luar biasa di dalam Perguruan Hengshan. Hanya karena sedikit khilaf ia bergaul dengan orang jahat. Sebagai sesama anggota golongan putih dalam dunia persilatan, sudah tentu Ketua Zuo memberi Liu Zhengfeng kesempatan untuk memperbaiki diri. Jika Liu Zhengfeng setuju dengan jalan ini, maka dalam waktu sebulan yang akan datang ia harus bisa membawakan kepala gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Dengan demikian, semua kesalahan Liu Zhengfeng tidak akan diungkit-ungkit lagi, dan kita masih tetap bersaudara dalam Serikat Pedang Lima Gunung.”
Para hadirin merasa persyaratan tersebut tidak terlalu berlebihan. Aliran lurus dan aliran sesat adalah musuh bebuyutan. Sangat wajar apabila Zuo Lengchan selaku ketua Serikat Pedang Lima Gunung menghendaki kematian seorang gembong aliran sesat.
Sebaliknya, Liu Zhengfeng justru terlihat sedih. Dengan tersenyum hambar ia menjawab, “Antara Kakak Qu dan diriku sudah merasa cocok satu sama lain sejak pertama kali berkenalan. Kami pun menjalin persahabatan yang sangat akrab. Sampai saat ini, kami sudah belasan kali bertemu. Kami sering tidur di atas ranjang yang sama, atau bercakap-cakap semalaman. Terkadang kami juga menyinggung perselisihan di dunia persilatan. Kakak Qu sangat prihatin atas pertengkaran di antara kedua golongan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Persahabatan kami hanya mengutamakan seputar kegemaran kami dalam bermain musik. Kakak Qu pandai memetik kecapi, sedangkan aku suka meniup seruling. Pada saat bertemu, sebagian besar waktu kami habis untuk bermain musik bersama-sama. Mengenai ilmu silat, kami sama sekali tidak pernah membicarakannya.” Setelah berhenti sejenak dan tersenyum gembira, ia melanjutkan, “Para hadirin boleh tidak percaya, bahwa aku berani menjamin dalam abad ini tidak ada seorang pun yang bisa bermain kecapi melebihi Kakak Qu. Meskipun Kakak Qu seorang anggota aliran sesat, namun dari alunan musiknya aku bisa merasakan kalau ia berhati baik dan berbudi luhur. Perasaannya sangat halus. Oleh sebab itu aku, Liu Zhengfeng, sangat mengagumi laki-laki sejati seperti dirinya. Bagaimanapun juga aku tidak bersedia mencelakai seorang hebat bernama Qu Yang.”
Para hadirin sama sekali tidak menduga kalau persahabatan di antara Liu Zhengfeng dan Qu Yang berawal dari musik. Namun mereka segera memaklumi karena tokoh-tokoh Perguruan Hengshan pada umumnya memang suka bermain musik. Misalnya, sang ketua yaitu Tuan Besar Mo terkenal pandai memainkan rebab, dan ke mana-mana tidak pernah berpisah dengan alat musik gesek tersebut. Bahkan ia sampai mendapat julukan “dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab”.
Fei Bin kembali berkata, “Ketua Zuo sudah menyelidiki tentang persahabatanmu dengan si iblis Qu Yang memang berawal dari musik. Beliau berpesan kepada kita supaya berhati-hati terhadap tipu muslihat aliran sesat yang licik. Mereka suka melakukan berbagai macam cara untuk memecah belah kekuatan kita. Misalnya, kaum muda dipancing dengan harta kekayaan atau wanita-wanita cantik; sedangkan golongan tua yang berkecukupan seperti Saudara Liu ini dipancing menggunakan kegemarannya, yaitu bermain musik. Kami harap Saudara Liu sudi berpikir jernih. Coba diingat, berapa banyak saudara-saudara kita yang menjadi korban keganasan aliran sesat? Sungguh sayang, mengapa kau bisa sampai jatuh ke dalam tipu daya mereka?”
Biksuni Dingyi yang semula tidak suka kepada sikap orang-orang Songshan kini ikut bicara, “Apa yang dikatakan Adik Fei sangat benar. Kita semua tidak takut terhadap ilmu silat aliran sesat. Yang harus kita khawatirkan justru tipu muslihat mereka. Mengenai Adik Liu yang sudah terlanjur jatuh ke dalam perangkap aliran sesat rasanya tidak menjadi persoalan. Yang penting marilah kita bersama-sama membunuh penjahat bernama Qu Yang tersebut. Serikat Pedang Lima Gunung sudah sejak lama senapas seirama. Sungguh tidak baik kalau kita harus bertengkar sendiri karena adu domba pihak lawan.”
“Benar, Adik Liu,” sahut Pendeta Tianmen ikut bicara. “Seorang laki-laki sejati apabila menyadari kesalahannya maka ia akan segera memperbaiki diri. Hal seperti ini tidak perlu diributkan. Asalkan dalam sekali tebas kau bisa membinasakan gembong aliran sesat bermarga Qu itu, maka kawan-kawan golongan putih di dunia persilatan akan tetap menghormatimu sebagai seorang yang tegas dan bijaksana. Sudah pasti kami ikut merasa bangga.”
Liu Zhengfeng tidak menjawab. Ia lantas berpaling ke arah Yue Buqun dan bertanya, “Kakak Yue, kau seorang laki-laki budiman yang bijaksana. Para hadirin yang terhormat di sini banyak yang mendesak diriku supaya menjual kawan untuk menyelamatkan diri sendiri. Kalau menurut Kakak Yue, bagaimana aku harus bertindak?”
“Adik Liu,” sahut Yue Buqun, “dalam dunia persilatan mati membela sahabat adalah suatu hal yang biasa. Namun gembong aliran sesat bermarga Qu itu sangat licik. Mulutnya palsu dan hatinya berbisa. Di balik senyumnya yang manis, dia menyembunyikan tangan jahat untuk menghancurkan keluargamu. Dia sengaja mendekati Adik Liu dengan memanfaatkan kegemaranmu dalam bermain musik. Setelah itu, barulah dia melancarkan tipu muslihatnya yang keji. Bila manusia licik seperti itu kau anggap sebagai sahabat, maka istilah ‘sahabat’ dengan sendirinya akan tercemar. Manusia iblis seperti dia sungguh tidak pantas kau sebut sebagai sahabat karib. Adik Liu, di dunia ini sudah sering kita dengar bagaimana para kesatria rela mengorbankan keluarganya demi menegakkan kebenaran. Jika keluarga sendiri saja bisa dikorbankan, mangapa kau tidak dapat mengorbankan seorang penjahat yang berpura-pura baik seperti dia?”
“Benar! Benar!” sahut beberapa hadirin. “Apa yang dikatakan Tuan Yue sangat benar. Kita harus bisa membedakan mana kawan, mana lawan. Terhadap kawan kita harus setia, tapi terhadap lawan kita tidak boleh mengenal ampun.”
Liu Zhengfeng menghela napas panjang. Setelah para hadirin agak tenang, ia pun kembali bicara, “Sejak awal aku sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Aku yakin cepat atau lambat antara Serikat Pedang Lima Gunung dan aliran sesat akan terjadi pertempuran habis-habisan. Jika itu sampai terjadi, maka aku akan berada di posisi serbasulit. Di satu pihak terdapat para saudara seperguruan, sementara di pihak lain terdapat seorang sahabat karib. Tidak mungkin bagiku untuk berada di kedua pihak. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Aku sengaja mengundang para hadirin sekalian sebagai saksi bahwa mulai hari ini Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan dan segala perselisihan di dalamnya. Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia, tidak lagi tersangkut permusuhan atau bunuh-membunuh.” Ia lalu menoleh ke arah Fei Bin dan melanjutkan, “Tujuanku membeli pangkat sersan hanya sebagai alasan palsu untuk menutupi ini semua. Tak disangka, Ketua Zuo sungguh cerdik, berhasil membongkar semuanya.”
Para hadirin akhirnya mengetahui alasan sebenarnya mengapa Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sejak tadi sebagian dari mereka mencemooh tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut sebagai seorang yang serakah dan gila jabatan. Sebagian lagi bertanya-tanya dan merasa curiga, mengapa seorang kaya raya seperti Liu Zhengfeng mengundurkan diri hanya demi sebuah pangkat rendahan saja. Tentu ada maksud tersembunyi di balik hal ini.
Fei Bin, Ding Mian, dan Lu Bai saling pandang. Masing-masing berpikiran sama bahwa terbongkarnya maksud pengunduran diri Liu Zhengfeng semata-mata karena kecerdikan Zuo Lengchan, kakak seperguruan mereka.

Sepasang sahabat : Qu Yang dan Liu Zhengfeng.
(Bersambung)

bagian 17 ; halaman muka ; bagian 19