Bagian 62 - Pertaruhan Harta Karun

Xiang Wentian bertaruh menantang penghuni Wisma Mei Zhuang.

Xiang Wentian menanggapi, “Ternyata begitu. Kalau pendekar biasa yang minum arak panas dan pedas seperti ini tentu tidak menjadi masalah. Namun, Tuan Kedua dan Tuan Keempat hidup menyepi di tepi Danau Xihu yang indah permai ini tanpa memedulikan urusan duniawi lagi, tentunya tidak dapat disamakan dengan orang-orang kasar dunia persilatan. Kalau arak anggur ini didinginkan dan hilang hawa panasnya, barulah sesuai dengan Tuan berdua sebagai jago-jago berkedudukan tinggi. Sama seperti dalam bermain catur, hanya mengandalkan kekuatan saja adalah permainan kelas rendah. Sedangkan permainan catur kaum papan atas tentu melibatkan jiwa dan pikiran ….”

Belum selesai ia berkata tahu-tahu bahunya sudah dicengkeram Heibaizi dengan mata terbelalak, yang kemudian bertanya dengan cepat, “Kau juga mahir main catur?”

Xiang Wentian menjawab, “Seumur hidup aku paling gemar main catur. Sayang sekali, bakatku kurang dan kemampuanku rendah. Sebab itulah aku berkelana melewati utara dan selatan Sungai Yangtze, juga ke hulu dan hilir Sungai Kuning demi mencari kitab-kitab catur. Selama tiga puluhan tahun terakhir permainan catur yang terkenal dari zaman dahulu tidak sedikit yang telah kuketahui dengan baik.”

“Permainan catur apa saja yang telah kau pahami?” tanya Heibaizi bersemangat.

Xiang Wentian menjawab, “Cukup banyak. Misalnya, permainan yang disaksikan Wang Zhi ketika bertemu dewa di atas Gunung Tangkai Busuk; permainan antara Liu Zhongfu waktu bertanding melawan nenek dewi di Pegunungan Lishan; juga permainan antara mertua dan menantu siluman rubah yang didengar Wang Jixin ….”

“Ah, dongeng seperti itu mana bisa dipercaya?” tukas Heibaizi sambil menggeleng-geleng kecewa dan kemudian melepaskan cengkeramannya dari bahu Xiang Wentian. “Lagipula mana ada kitab catur yang ditulis berdasarkan pada dongeng-dongeng begitu?”

“Dahulu aku juga mengira kejadian-kejadian itu hanyalah dongeng belaka,” kata Xiang Wentian. “Tapi sekitar dua puluh lima tahun yang lalu aku melihat sendiri ada kitab catur bergambar yang menceritakan permainan Liu Zhongfu melawan si nenek dewi dari Gunung Lishan. Langkah-langkahnya sungguh hebat. Orang biasa mana bisa membuatnya? Mau tidak mau aku jadi percaya cerita itu bukan cuma dongeng. Apakah Tuan juga gemar main catur?”

“Hahahaha!” Danqingsheng terbahak-bahak sampai janggutnya yang panjang ikut melambai.

Xiang Wentian bertanya, “Mengapa Tuan Keempat tertawa?”

Danqingsheng menjawab, “Kau bertanya kakak keduaku apakah gemar main catur atau tidak? Hahaha, Kakak Kedua bergelar Heibaizi, Si Hitam Putih. Dari namanya saja sudah ketahuan dia gemar catur atau tidak. Ketahuilah, Kakak Kedua mencintai catur seperti aku mencintai arak.”

“Oh, aku telah sembarangan mengoceh di hadapan kaum ahli, laksana pamer kapak di hadapan Lu Ban. Mohon Tuan Kedua sudi memaafkan,” kata Xiang Wentian.

Heibaizi menyahut, “Apa benar kau pernah melihat sendiri kitab bergambar tentang permainan catur antara Liu Zhongfu melawan nenek dewi Gunung Lishan itu? Aku hanya mengetahui dari kitab kuno. Konon, pada zaman itu Liu Zhongfu menyombongkan diri sebagai juara catur yang tiada tandingannya. Tapi di Gunung Lishan ia dikalahkan habis-habisan oleh seorang nenek petani, sampai muntah darah karena sedih. Maka, kitab catur itu disebut sebagai ‘Kitab Muntah Darah’. Memangnya di dunia ini benar-benar ada Kitab Muntah Darah?” Jika tadi ia masuk ruangan dengan wajah acuh tak acuh, kini ia terlihat begitu bersemangat.

Xiang Wentian menjawab, “Ya, dua puluh lima tahun silam aku pernah melihat sendiri kitab bergambar itu di sebuah keluarga kuno milik keluarga bangsawan di Kota Chengdu, daerah Sichuan. Karena permainan yang dilukis dalam kitab itu sungguh mengesankan, sampai sekarang aku masih ingat seluruhnya. Sebanyak seratus dua belas langkah dapat kuingat semua satu per satu.”

“Seratus dua belas langkah?” Heibaizi menegas, “Tolonglah kau susun untukku supaya aku juga bisa melihatnya. Mari, mari ikut ke ruanganku untuk menyusun biji catur di sana.”

Danqingsheng segera merentangkan tangan untuk menghalangi mereka. Ia berkata, “Tunggu dulu! Kakak Kedua, kau tidak akan kubiarkan pergi sebelum membuatkanku es.” Usai berkata ia lantas mengambil sebuah baskom porselen putih yang dipenuhi air bersih.

“Adik Keempat memang kurang waras, apa boleh buat?” ujar Heibaizi menghela napas. Segera ia mencelupkan ibu jari tangan kanan ke dalam air baskom itu. Dalam sekejap dari permukaan air muncul uap putih tipis. Tak lama kemudian, dinding baskom itu telah diliputi oleh selapis es, lalu di permukaan air juga muncul kepingan-kepingan es tipis yang makin lama makin tebal. Akhirnya, seluruh air di dalam baskom itu telah berubah menjadi es batu.

Xiang Wentian dan Linghu Chong bersorak memuji. Xiang Wentian berkata, “Jurus Jari Angin Hitam yang luar biasa ini konon sudah lama menghilang di dunia persilatan. Ternyata Tuan Kedua ….”

“Itu bukan jurus Jari Angin Hitam, tapi jurus Jari Langit Sakti. Lebih hebat lagi!” tukas Danqingsheng. Sambil berkata ia lantas menaruh empat cawan di atas es batu tersebut, lalu menuangkan arak anggur ke dalam cawan-cawan itu.

Tidak lama kemudian, dari cawan-cawan itu mulai mengepul uap dingin. Linghu Chong segera berseru, “Sudah cukup!”

Danqingsheng mengambil satu cawan dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Benar juga, arak itu terasa matang dan lezat, sama sekali tidak berbau dan sangat menyegarkan, membuat pikiran menjadi tenang. “Bagus sekali!” soraknya memuji. “Aku pandai membuat arak, Adik Feng pandai mencicipi, Kakak Kedua pandai membuat es, dan kau … kau ….” ia berpaling kepada Xiang Wentian kemudian tertawa, “kau pandai menanggapi ke sana dan kemari.”

Orang tua itu kemudian membalik keempat cawan itu, dan segera menaruh baskom porselen berisi es batu tadi di atasnya, sambil berkata, “Hawa dingin mengalir dari atas ke bawah. Dengan cara ini, hawa dingin akan mengalir ke bawah lebih cepat.”

Linghu Chong menjawab, “Memang hawa dingin akan mengalir ke bawah lebih cepat. Namun dengan cara ini, cawan akan dingin seluruhnya, sehingga mutu arak yang dihasilkan tidak memadai untuk disebut kelas satu. Kalau hawa es menembus dari bawah ke atas, maka dalam arak akan terdapat beberapa lapis suhu yang berlainan. Kita akan dapat merasakan kenikmatan arak anggur yang berbeda-beda dalam satu cawan.”

Danqingsheng kagum mendengar uraian Linghu Chong tentang seni minum arak yang begitu mendalam. Ia kemudian mencicipi arak yang sekarang, ternyata rasanya memang berbeda dengan yang dihasilkan dari cara pertama tadi.

Heibaizi juga ikut minum arak anggur namun tanpa peduli rasanya enak atau tidak. Ia kemudian menarik lengan Xiang Wentian dan berkata, “Ayo ke kamarku! Susunlah permainan dalam Kitab Tumpah Darah Liu Zhongfu itu supaya aku bisa melihatnya.”

Xiang Wentian juga lantas menarik lengan baju Linghu Chong. Linghu Chong paham maksudnya, dan segera berkata, “Aku ingin melihat juga!”

Danqingsheng berusaha mencegah, “Apa bagusnya? Lebih enak kita berdua minum arak di sini saja.”

“Kita bisa minum arak sambil melihat permainan catur,” ujar Linghu Chong sambil melangkah di belakang Heibaizi dan Xiang Wentian. Tiada pilihan lain, Danqingsheng terpaksa membawa gentong araknya dan ikut menyusul ke ruang catur.

Ruangan yang dimaksudkan itu sangat luas namun kosong melompong, kecuali di tengahnya terdapat sebuah meja batu dan dua buah kursi empuk. Di atas meja batu itu terukir sembilan belas garis yang membujur dan melintang membentuk semacam papan catur. Pada kedua sisi meja terdapat masing-masing satu kotak biji catur, yang satu berwarna putih dan yang satu lagi berwarna hitam. Ruangan tersebut sengaja tidak diisi barang-barang lain supaya tidak mengganggu konsentrasi orang yang bermain catur.

Tanpa bicara Xiang Wentian melangkah mendekati meja batu itu. Ia mengambil empat biji dan masing-masing ditaruh pada keempat titik sudut papan catur yang disebut ping, shang, qu, dan ru. Kemudian ia mengambil satu biji putih dan menaruhnya pada titik enam-tiga “pingbu”, lalu satu biji hitam pada titik sembilan-tiga. Setelah itu pada titik enam-lima ditaruhnya sebuah biji putih, dan pada titik sembilan-lima ditaruhnya sebuah biji hitam, begitu seterusnya tanpa berhenti sampai papan catur tersebut penuh.

Biji hitam dan biji putih yang dimainkan Xiang Wentian tampak bertarung dengan sengit. Kedua pihak sama sekali tidak pernah salah melangkah. Heibaizi menyaksikan permainan tersebut dengan seksama. Dahinya terlihat basah oleh keringat dingin yang bercucuran.

Diam-diam Linghu Chong terheran-heran. Tadi ia melihat sendiri bagaimana Heibaizi secara acuh tak acuh mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi saat mengubah air menjadi es dalam baskom. Sebaliknya, hanya melihat permainan catur saja, ternyata bisa membuatnya bercucur keringat. Sepertinya Xiang Wentian mengetahui kegemaran orang tua itu dan berhasil memanfaatkannya dengan baik.

“Apa sebenarnya hubungan antara tabib hebat itu dengan para majikan ini?” demikian Linghu Chong berpikir.

Setelah langkah keenam puluh enam, Xiang Wentian tidak lagi menaruh lagi biji caturnya untuk beberapa lama. Heibaizi menjadi tidak sabar dan segera bertanya, “Bagaimana langkah selanjutnya?”

“Di sinilah kunci permainannya,” sahut Xiang Wentian. “Bagaimana menurut pendapat Tuan Kedua?”

Heibaizi berpikir cukup lama kemudian menggumam sendiri, “Langkah ini … ya, memang agak repot. Biji catur yang mana, ya? Kalau Duan tidak tepat, Lian juga tidak benar, Chong tidak bisa dijalankan, Huo juga tidak dapat. Wah, ini … ini ….” Tangannya memegang satu biji putih dan hanya diketuk-ketukkan perlahan di atas meja batu, tapi sampai sekian lama tetap tidak tahu harus dijalankan ke mana.

Sementara itu, Danqingsheng dan Linghu Chong masing-masing sudah menghabiskan tujuh atau delapan belas cawan anggur sambil menonton.

Melihat wajah Heibaizi makin lama makin menghijau, Danqingsheng pun berkata, “Saudara Tong, apakah dengan Kitab Muntah Darah kau ingin membuat Kakak Kedua benar-benar muntah darah? Lekas kau katakan saja bagaimana langkah selanjutnya.”

“Baiklah,” jawab Xiang Wentian. “Langkah keenam puluh tujuh adalah seperti ini.” Ia kemudian menaruh sebuah biji pada titik tujuh-empat “sangbu”.

Heibaizi memukul keras-keras pahanya sambil berseru, “Bagus! Semua langkah tidak bagus, sedangkan yang paling bagus adalah langkah ‘tuo xian ta tou’ ini! Kalau biji catur ini ditaruh di sini, memang sangat bagus!”

“Langkah ini memang sangat bagus, dan inilah yang dilakukan Liu Zhongfu kala itu,” ujar Xiang Wentian sambil tersenyum. “Namun langkah ini hanyalah langkah seorang juara catur manusia biasa, tentu jauh bila dibandingkan dengan langkah ajaib nenek dewi Gunung Lishan itu.”

“Bagaimana langkah ajaib nenek dewi itu? Coba tunjukkan!” desak Heibaizi.

“Silakan Tuan Kedua memikirkannya,” kata Xiang Wentian.

Heibaizi kembali  memeras otak. Namun sampai sekian lama ia merasa posisi sudah tidak menguntungkan, bagaimanapun sukar untuk balas menyerang. Sambil menggeleng, ia kemudian berkata, “Langkah ini adalah langkah dewa, manusia biasa seperti kita mana bisa memikirkannya? Saudara Tong, tolong kau jangan membuatku semakin penasaran.”

“Langkah ajaib ini memang hanya dapat dipikirkan oleh kaum dewa,” kata Xiang Wentian dengan tertawa.

Sebagai seorang pemikir, sudah tentu Heibaizi mahir menjajaki pikiran lawan. Melihat sikap Xiang Wentian yang tidak suka berterus terang itu, diam-diam ia menduga pasti ada maksud tertentu di balik itu semua. Maka ia pun berkata, “Saudara Tong, tolong katakan kepadaku bagaimana langkah ajaib itu. Aku jamin tidak akan menerima dengan cuma-cuma.”

Linghu Chong tertegun dan berpikir, “Jangan-jangan Kakak Xiang sengaja berbelit-belit karena tahu ilmu Jari Langit Sakti milik Tuan Kedua bisa menyembuhkan penyakitku?”

Di luar dugaan Xiang Wentian justru mendongak dan bergelak tawa, kemudian berkata, “Aku dan Adik Feng sama sekali tidak ingin meminta imbalan apa-apa dari keempat majikan. Jika Tuan Kedua berkata seperti tadi, itu berarti memandang rendah terhadap kami berdua.”

“Mohon maaf, aku telah bicara sembarangan!” kata Heibaizi sambil menunduk dan memberi hormat.

Sambil membalas hormat, Xiang Wentian berkata, “Kedatangan kami berdua ke Wisma Mei Zhuang sebenarnya hendak bertaruh dengan keempat majikan.”

“Bertaruh sesuatu?” Heibaizi dan Danqingsheng bertanya serentak. “Bertaruh apa?”

“Begini,” kata Xiang Wentian. “Aku bertaruh bahwa di Wisma Mei Zhuang ini tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng ini.”

Heibaizi dan Danqingsheng serentak berpaling ke arah Linghu Chong. Wajah Heibaizi tampak acuh tak acuh, sedangkan Danqingsheng bergelak tawa kemudian bertanya, “Apa yang menjadi taruhanmu?”

“Jika kami kalah,” kata Xiang Wentian, “maka lukisan ini akan kami persembahkan kepada Tuan Keempat.”

Sambil berbicara ia lantas membuka bungkusan yang sejak tadi terikat di punggungnya. Ternyata bungkusan itu berisi dua buah gulungan. Gulungan pertama dibuka, berisi sebuah lukisan kuno yang ditandatangani pelukisnya menggunakan kalimat “Para Musafir di antara Gunung dan Sungai oleh Fan Zhongli dari Dinasti Song Utara”. Lukisan itu adalah lukisan pemandangan sebuah gunung yang menjulang tinggi menembus awan. Goresannya tajam, warnanya indah, dan gambar gunung terlihat megah. Meskipun tidak paham seni lukis, Linghu Chong langsung mengetahui kalau lukisan itu adalah mahakarya yang hebat. Ia dapat melihat pemandangan gunung yang diselimuti pepohonan tersebut seperti hidup. Meskipun hanya lukisan di atas kertas, namun ia bagaikan melihat secara langsung sebuah gunung yang benar-benar tinggi menjulang.

Danqingsheng berteriak, “Aiiih!” Pandangannya sama sekali tidak bergeser dari lukisan itu. Sampai agak lama barulah ia berkata, “Ini benar-benar lukisan asli Fan Kuan dari zaman Dinasti Song Utara. Dari … dari mana kau mendapatkannya?”

Xiang Wentian hanya tersenyum tanpa menjawab. Perlahan-lahan ia menggulung kembali lukisan itu.

“Nanti dulu!” seru Danqingsheng sambil menjulurkan tangan dengan maksud untuk mencegah supaya lukisan itu jangan digulung. Tak disangka, baru saja tangannya menyentuh lengan Xiang Wentian, seketika terasa suatu arus tenaga dalam yang kuat mengalir keluar dan menolak tangannya dengan halus. Meskipun demikian, Xiang Wentian terlihat tenang-tenang saja dan masih tetap menggulung lukisan.

Saat menjulurkan tangan tadi, Danqingsheng sama sekali tidak menggunakan tenaga dalam karena takut merobek lukisan kuno tersebut. Begitu mendapat penolakan halus dari Xiang Wentiang, ia baru sadar kalau tamunya itu ternyata begitu kuat, jelas-jelas tenaga dalam papan atas. Diam-diam ia sangat kagum karena yakin Xiang Wentian belum mengeluarkan semua kemampuannya. Maka, pria berjanggut panjang itu kemudian berkata, “Saudara Tong, ternyata ilmu silatmu sedemikian hebat. Jangan-jangan tidak kalah dariku.”

“Ah, Tuan Keempat suka bercanda,” ujar Xiang Wentian. “Kecuali ilmu pedang, keempat majikan di sini memiliki ilmu silat yang tiada tandingannya. Aku, Tong Huajin hanyalah seorang keroco biasa, mana berani dibandingkan dengan Tuan Keempat?”

Raut muka Danqingsheng berubah masam. Ia berkata, “Mengapa kau mengatakan ‘selain ilmu pedang’? Memangnya ilmu pedangku tidak masuk hitungan?”

Xiang Wentian hanya tersenyum, lalu berkata, “Bagaimana jika Tuan Kedua melihat kaligrafi ini?”

Kali ini ia membuka gulungan yang lain, ternyata sebuah kaligrafi yang ditulis dengan huruf seperti rumput, atau corat-coret belaka, namun dengan goresan yang terlihat hidup seperti naga dan ular.

“Hei, hei, hei!” Danqingsheng berulang-ulang mengeluarkan suara heran. Mendadak ia berteriak, “Kakak Ketiga! Kakak Ketiga! Ini dia harta karun terbesar seumur hidupmu ada di sini!”

Suara teriakannya ini sungguh keras sampai-sampai daun pintu dan jendela ikut tergetar, debu pasir juga berhamburan dari atap. Karena jeritan yang tiba-tiba itu, Xiang Wentian dan Linghu Chong ikut terkejut dibuatnya.

Maka terdengarlah dari seseorang berseru dari kejauhan, “Ada apa teriak-teriak?”

“Kakak Ketiga,” seru Danqingsheng, “jika kau tidak segera datang, sebentar lagi orang ini akan menyimpan kembali barangnya dan kau pasti akan menyesal seumur hidup.”

“Ah, kau pasti menemukan kaligrafi palsu lagi, bukan?” kata orang di luar kamar itu. Tahu-tahu suaranya kini sudah berada di dekat pintu.

Begitu tirai pintu disingkap, masuklah seorang bertubuh pendek gemuk, dengan kepala botak licin tanpa sehelai rambut pun. Tangan kanannya tampak memegang sebuah pena besar, sedangkan bajunya berlumuran bercak-bercak tinta hitam.

Begitu ia mendekat, tiba-tiba matanya melotot dan napas pun terengah-engah. Dengan suara gemetar orang itu berkata, “Haah, ini asli! Ini … benar … benar-benar tulisan Zhang Xu dari zaman Dinasti Tang. Ini benar-benar Kitab Sesuka Hati! Tidak mungkin … tidak mungkin palsu!”

Kaligrafi tersebut bergaya caoshu, yaitu dibuat dengan corat-coret cepat yang terlihat sangat bebas dan berani, bagaikan seorang pendekar sedang menerahkan ilmu ringan tubuh, melompat tinggi dan merunduk rendah, dengan gerak-gerik yang gesit dan lincah, namun tetap anggun. Linghu Chong sendiri paling banyak hanya mengenali satu di antara kesepuluh huruf dalam kaligrafi tersebut, namun pada bagian akhir tulisan terdapat banyak stempel, maka dapat diduga tulisan itu pasti bukan sembarang kaligrafi.

Danqingsheng berkata, “Ini adalah Kakak Ketiga Tubiweng alias Si Kakek Pena Gundul. Ia mendapat julukan demikian karena sangat mencintai seni kaligrafi, sehingga beribu-ribu pena telah dipakainya sampai gundul. Jadi, bukan karena kepalanya yang botak. Hal ini perlu diterangkan supaya tidak ada salah paham.”

“Ya, ya,” jawab Linghu Chong sambil tertawa.

Tubiweng menggerakkan pena di tangan kanan seolah menggores di udara naik-turun mengikuti contoh tulisan pada Kitab Sesuka Hati itu. Tingkah lakunya seperti orang linglung, sama sekali ia tidak peduli pada Xiang Wentian dan Linghu Chong yang berada di situ. Bahkan ucapan Danqingsheng tadi juga tidak dihiraukan olehnya.

Linghu Chong sendiri sedang memikirkan sesuatu, “Siasat Kakak Xiang ini apakah sudah direncanakan sejak lama? Saat pertama kali bertemu dengannya di gardu waktu itu, memang di punggungnya terdapat bungkusan. Tapi, apakah mungkin kedua gulungan lukisan dan kaligrafi ini berada di dalam bungkusan itu?” Sejenak kemudian ia menemukan jawaban, “Mungkin Kakak Xiang mendapatkan kedua gulungan tersebut sewaktu aku beristirahat di penginapan. Demi memohon supaya keempat majikan di Wisma Mei Zhuang ini supaya menyebuhkan penyakitku, dia sengaja membeli atau mungkin mencuri kedua benda tersebut. Ah, kemungkinan besar Kakak Xiang telah mencurinya. Harta karun yang tak ternilai harganya seperti itu mana mungkin ada toko yang menjualnya?”

Gerakan pena Tubiweng terdengar bersuara mendesir-desir lirih. Tenaga dalamnya jelas tidak kalah dibanding Heibaizi. Linghu Chong kembali berpikir, “Penyakitku ini akibat perbuatan Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie. Namun tenaga dalam ketiga majikan ini agaknya lebih tinggi daripada mereka semua. Bisa jadi kakak pertama mereka juga jauh lebih hebat. Kalau ditambah dengan Kakak Xiang, tentu mereka dapat bergabung menyembuhkan penyakitku. Semoga mereka tidak banyak membuang tenaga dalam saat mengobatiku.”

Sebelum Tubiweng selesai mencorat-coret di udara meniru kaligrafi Kitab Sesuka Hati tersebut, mendadak Xiang Wentian menggulung dan menyimpannya kembali ke dalam bungkusan.

Tubiweng memandang bingung kepada Xiang Wentian. Sampai agak lama barulah ia bertanya, “Hendak kau tukar dengan apa?”

Xiang Wentian menggeleng, dan menjawab, “Tidak akan kutukar dengan apa pun.”

“Bagaimana dengan dua puluh delapan jurus ilmu menotok dengan pena Genderang Batu?” demikian Tubiweng memberi penawaran.

“Tidak boleh!” serentak Heibaizi dan Danqingsheng berseru.

“Boleh saja, mengapa tidak?” sahut Tubiweng. “Jika aku bisa memperoleh tulisan asli Zhang Xu ini, maka kitab dua puluh delapan jurus totokan Genderang Batu boleh dikata tidak ada artinya lagi.”

Tapi Xiang Wentian tetap menggeleng dan berkata, “Tidak bisa!”

“Jika begitu mengapa kau perlihatkan tulisan itu kepadaku?” tanya Tubiweng agak heran.

“Ya, anggaplah aku yang salah. Anggap saja Tuan Ketiga tidak pernah melihatnya,” ujar Xiang Wentian.

“Sudah dilihat, mana boleh dianggap tidak pernah melihat?” balas Tubiweng.

“Apakah Tuan Ketiga benar-benar ingin memiliki kaligrafi asli Zhang Xu ini?” tanya Xiang Wentian, “Sebenarnya tidak susah. Tuan Ketiga cukup bertaruh dengan kami saja.”

“Bertaruh apa?” tanya Tubiweng cepat.

“Kakak Ketiga,” sahut Danqingsheng menanggapi, “orang ini sepertinya agak sinting. Dia bertaruh bahwa di dalam Wisma Mei Zhuang ini tidak ada yang mampu menandingi ilmu pedang Adik Feng dari Perguruan Huashan itu.”

“Kalau ada orang yang mampu mengalahkannya, bagaimana?” tanya Tubiweng.

“Tidak peduli siapa pun dia, kalau di dalam Wisma Mei Zhuang ini ada yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng, maka aku akan mempersembahkan kaligrafi Kitab Sesuka Hati ini kepada Tuan Ketiga, dan menghadiahkan lukisan asli Fan Kuan berjudul Para Musafir di Antara Gunung dan Sungai tadi kepada Tuan Keempat, juga akan kutuliskan satu per satu kedua puluh permainan catur para dewa kepada Tuan Kedua.”

“Bagaimana dengan kakak pertama kami? Apa yang akan kau berikan kepadanya?” tanya Tubiweng.

Xiang Wentian menjawab, “Untuk Tuan Pertama, aku punya sebuah naskah kecapi kuno berjudul Guangling San.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya. Ia berpikir, “Naskah Guangling San digali Tetua Qu Yang dari makam kuno, dan iramanya dimasukkan ke dalam lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Mengapa sekarang ada di tangan Kakak Xiang?” Tiba-tiba ia sadar dan mendapat jawaban, “Ah, aku tahu! Kakak Xiang dan Tetua Qu sama-sama pemuka Sekte Iblis. Kemungkinan mereka berteman baik. Sepertinya Tetua Qu sangat gembira setelah menemukan naskah Guangling San dan menceritakannya kepada Kakak Xiang. Bisa jadi Kakak Xiang telah meminjam dan menyalin naskah tersebut, sementara Tetua Qu tidak merasa keberatan.” Ketika teringat naskah tersebut masih ada, sedangkan orang yang telah menemukannya kini tiada, membuat Linghu Chong menghela napas panjang.

Tubiweng menanggapi, “Sejak kematian Ji Kang, lagu Guangling San sudah tidak ada lagi di dunia ini. Perkataan Saudara Tong sepertinya mengandung kebohongan.”

Xiang Wentian menjawab dengan tersenyum, “Aku mempunyai seorang sahabat yang tergila-gila pada musik kecapi. Ia pernah bercerita bahawa setelah kematian Ji Kang, memang lagu Guangling San ikut punah dari muka bumi. Ji Kang sendiri meninggal pada zaman Dinasti Jin Barat, dan sejak saat itu lagu ini dilupakan orang. Namun, bagaimana dengan zaman sebelum Dinasti Jin Barat?”

Tubiweng dan kedua saudaranya saling pandang. Untuk sesaat mereka tidak mengerti maksud perkataan tersebut.

Xiang Wentian melanjutkan, “Sahabatku itu sangat cerdas, juga pemberani. Demi menemukan naskah Guangling San, ia menggali puluhan makam ahli kecapi kuno sebelum zaman Dinasti Jin. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Akhirnya ia menemukan naskah ini pada makam Cai Yong dari Dinasti Han Timur.”

Tubiweng dan Danqingsheng berseru kaget, sedangkan Heibaizi mengangguk-angguk perlahan sambil memuji, “Benar-benar cerdas dan berani!”

Xiang Wentian membuka bungkusannya dan mengeluarkan sebuah kitab tipis yang pada sampulnya bertuliskan “Naskah Kecapi Guangling San”. Dengan santai ia membolak-balik halaman pada naskah tersebut, dan isinya memang benar-benar naskah not kecapi. Ia kemudian memberikan kitab itu kepada Linghu Chong, sambil berkata, “Adik Feng, kalau di Wisma Mei Zhuang ini ada orang yang bisa mengalahkan ilmu pedangmu, tolong kau serahkan naskah kuno ini kepada Tuan Pertama.”

Linghu Chong menerima kitab itu dan memasukkannya ke balik baju, sambil terus-menerus berpikir, “Mungkin kitab ini bukan salinan, tetapi kitab asli yang ditinggalkan Tetua Qu. Karena Tetua Qu sudah meninggal, maka tidak sulit bagi Kakak Xiang untuk mengambil kitab ini.”

Danqingsheng lantas menyela dengan tertawa, “Adik Feng ini mahir seni minum arak, tentu ilmu pedangnya juga sangat lihai. Hanya saja, ia masih sangat muda. Apa benar di dalam Wisma Mei Zhuang kami ini …. Hehe, sungguh menggelikan.”

Sebelumnya Linghu Chong telah berjanji kepada Xiang Wentian akan menuruti segala apa yang diatur oleh kakak angkatnya itu. Namun sampai di sini suasana berubah menjadi tegang. Ia merasa ucapan Xiang Wentian tadi sudah keterlaluan. Kunjungan ke Wisma Mei Zhuang adalah dalam rangka mencari kesembuhan, mengapa justru menantang dan merendahkan pihak tuan rumah? Lagipula dengan tenaga dalam yang sudah musnah, bagaimana bisa menghadapi kehebatan empat sesepuh itu? Berpikir demikian membuat pemuda itu berkata, “Ah, Kakak Tong memang suka bercanda. Aku masih hijau dan kurang pengalaman, mana bisa dibandingkan dengan keempat majikan yang berilmu tinggi?”

Xiang Wentian tertawa dan menyambung, “Kata-kata yang rendah hati memang perlu diucapkan. Kalau tidak, tentu orang akan menganggap kau terlalu angkuh dan sombong.”

Tubiweng sepertinya tidak ambil pusing terhadap ucapan mereka berdua. Ia menggumam sendiri, “Dengan tiga cawan arak, Zhang Xu menjadi Dewa Caoshu, membuka topi di hadapan para bangsawan, mengayunkan kuas di atas kertas, bagai mega dan kabut. Kakak Kedua, kutipan tadi adalah pujian untuk Zhang Xu yang ditulis oleh Du Yu dalam puisinya yang berjudul ‘Lagu Delapan Dewa Mabuk’ dari zaman Dinasti Tang. Zhang Xu memang salah satu dari Delapan Dewa Mabuk. Kau sudah melihat Kitab Sesuka Hati tadi, tentunya kau bisa membayangkan bagaimana keadaannya saat mengayukan kuasnya dalam keadaan mabuk berat. Aih, benar-benar seperti kuda sembrani yang terbang di angkasa tanpa bisa dikekang. Sungguh tulisan yang indah! Tulisan yang indah!”

Danqingsheng menyahut, “Benar. Orang itu suka minum, tentu dia seorang yang hebat. Kaligrafinya tentu tidak jelek.”

Tubiweng melanjutkan, “Penyair Han Yu juga menulis tentang Zhang Xu, ‘Rasa girang, murka, malu, gelisah, khawatir, sedih, gembira, nyaman, benci, kagum, mabuk berat, dan bosan. Apa pun yang menggerakkan hatinya, akan diungkapkannya melalui kaligrafi caoshu, bagai mengayunkan pedang.’ Betapa menyenangkan!” Ia kembali menggerakkan tangan untuk menulis di udara. Setelah menulis beberapa huruf, pria berkepala botak itu berkata kepada Xiang Wentian, “Hei, coba kau buka lagi supaya aku bisa melihatnya!”

Xiang Wentian menggeleng sambil tersenyum, “Asalkan Tuan Ketiga bisa menang, tentu kaligrafi ini menjadi milik Tuan. Sekarang hendaknya jangan terburu-buru.”

Sebagai ahli catur, Heibaizi selalu berpikir dengan hati-hati. Sebelum memikirkan kemenangan, lebih dulu ia memperhitungkan kekalahan. Maka ia pun bertanya, “Jika di dalam Wisma Mei Zhuang kami ini benar-benar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Saudara Feng, lantas apa yang harus kami serahkan?”

“Kami datang ke Wisma Mei Zhuang ini bukan untuk meminta suatu benda atau mohon bantuan atas suatu urusan,” jawab Xiang Wentian. “Adik Feng hanya ingin menambah kehebatan ilmu pedangnya dengan saling belajar bersama para jago sakti saat ini. Jika kami beruntung bisa menang, maka kami akan mohon diri tanpa meminta barang taruhan apa pun.”

“Oh, jadi Saudara Feng ini hanya ingin mencari nama saja?” tanya Heibaizi. “Kalau dia bisa mengalahkan Empat Sekawan dari Jiangnan, tentu namanya akan tersohor di dunia persilatan.”

“Tuan Kedua jangan salah sangka,” kata Xiang Wentian sambil menggeleng. “Dalam pertandingan di Wisma Mei Zhuang kali ini, tak peduli pihak mana yang menang dan kalah, jika ada satu kata saja dibocorkan ke luar, biarlah kami berdua mati tak terkubur, menjadi manusia yang terkutuk dan rendah melebihi kotoran anjing.”

“Bagus, bagus!” seru Danqingsheng. “Ucapanmu patut dipuji. Kamar ini cukup luas, biarlah di sini saja aku bertanding sejurus-dua jurus dengan Adik Feng. Mana pedangmu, Adik Feng?”

Xiang Wentian menanggapi sambil tersenyum, “Kami menghormati Tuan berempat. Datang ke Wisma Mei Zhuang mana kami berani membawa senjata?”

Segera Danqingsheng berteriak keras, “Ambilkan dua pedang!”

Terdengar suara orang mengiakan di luar. Tak lama kemudian datanglah Ding Jian dan Shi Lingwei yang masing-masing membawa sebilah pedang untuk diserahkan kepada Danqingsheng.

Danqingsheng mengambil pedang di tangan Ding Jian, kemudian berkata kepada Shi Lingwei, “Yang itu berikan kepadanya!”

“Baik!” jawab Shi Lingwei yang kemudian berjalan ke arah Linghu Chong sambil memegang pedang itu dengan kedua tangan.

Linghu Chong merasa rikuh. Ia kemudian berpaling ke arah Xiang Wentian. Xiang Wentian berkata kepadanya, “Adik Feng, ilmu pedang Tuan Keempat sangat lihai. Asalkan dapat belajar sejurus-dua jurus saja sudah sangat bermanfaat besar bagimu.”

Meski dalam hati tidak ingin bertanding, Linghu Chong merasa tidak punya pilihan lain. Terpaksa ia pun mengulurkan tangan menyambut pedang yang diberikan Shi Lingwei.

Tiba-tiba Heibaizi berkata, “Tunggu dulu, Adik Keempat! Saudara Tong ini bertaruh bahwa di Wisma Mei Zhuang ini tidak ada yang mampu mengalahkan ilmu pedang Saudara Feng. Ding Jian adalah anggota wisma ini dan juga pintar bermain pedang. Rasanya Adik Keempat tidak perlu turun tangan.”

Sebagai pemikir hebat, Heibaizi bisa membaca gelagat Xiang Wentian yang terlihat penuh percaya diri. Untuk itu, Ding Jian dipersilakan bertanding lebih dulu melawan Linghu Chong. Meskipun Ding Jian memiliki ilmu pedang yang hebat, namun ia hanya seorang pelayan. Jika nanti ia kalah juga tidak akan merugikan nama baik Wisma Mei Zhuang. Selain itu, Ding Jian juga bisa digunakan untuk menguji sehebat apa ilmu pedang laki-laki yang mengaku bernama Feng Erzhong tersebut.

Xiang Wentian menanggapi, “Benar, benar. Asalkan ada orang di dalam Wisma Mei Zhuang ini yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng, maka kami akan mengaku kalah. Memang tidak perlu keempat majikan harus maju sendiri. Saudara Ding ini terkenal memiliki ilmu pedang yang gencar dan ganas, jarang ada bandingannya di dunia. Nah, Adik Feng, tiada jeleknya jika kau berkenalan dulu dengan Si Pedang Kilat Satu Kata.”

Danqingsheng tertawa dan melemparkan pedangnya kepada Ding Jian, kemudian berkata, “Awas, jika kau kalah akan kuhukum mengambilkan Arak Anggur dari Turfan.”

Ding Jian membungkuk memberi hormat sambil menangkap pedang itu. Ia kemudian berkata kepada Linghu Chong, “Si marga Ding mohon petunjuk dari Tuan Feng!” Segera ia mendahului melolos pedangnya.

Linghu Chong juga lantas menghunus pedangnya, sedangkan sarung pedang ditaruhnya di atas meja batu.

Xiang Wentian berkata, “Tuan-tuan sekalian, juga Saudara Ding, kita harus tentukan peraturan. Pertandingan ini hanya mengadu keterampilan jurus pedang saja. Tidak perlu mengerahkan tenaga dalam sama sekali.”

“Ya, tentu saja. Kedua pihak tahu kapan harus berhenti,” sahut Heibaizi.

Xiang Wentian melanjutkan, “Adik Feng, kau tidak boleh mengeluarkan tenaga dalam sedikit pun. Pertandingan ini hanya melulu ilmu pedang. Siapa yang melancarkan jurus-jurus bagus yang dianggap menang, yang teledor dinyatakan kalah. Ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan terkenal di dunia persilatan. Jika kau menang karena menggunakan tenaga dalam, kita bisa dianggap kalah.”

Dalam hati Linghu Chong tertawa geli memuji kepandaian Xiang Wentian bersandiwara. Ia pun menjawab, “Kalau aku sampai mengeluarkan tenaga dalam, maka hanya akan menjadi bahan tertawaan ketiga majikan dan Saudara Ding, juga Saudara Shi. Sudah tentu aku sama sekali tidak berani menggunakannya.”

“Adik Feng, kita datang ke Wisma Mei Zhuang ini dengan tulus. Kalau kau merendah seperti itu justru akan menyinggung perasaan keempat majikan,” kata Xiang Wentian. “Ilmu tenaga dalam Awan Lembayung dari Perguruan Huashan lebih dahsyat dibanding ilmu tenaga dalam Perguruan Songshan kami. Hal ini sudah banyak diketahui kawan-kawan persilatan. Nah, Adik Feng, bagaimana kalau kau berdiri di bekas kedua tapak kakiku ini dan jangan sampai bergeser keluar? Setelah itu kau bisa bertukar jurus dengan Saudara Ding.”

Usai berkata demikian, Xiang Wentian lantas bergeser ke samping. Tampak di atas ubin lantai telah tercetak dua bekas tapak kaki yang dalamnya sekitar empat atau lima senti. Rupanya sewaktu berbicara tadi diam-diam ia telah mengerahkan tenaga dalam sehingga berhasil meninggalkan jejak pada ubin hijau yang keras tersebut.

“Tenaga dalam yang bagus!” seru Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng memuji bersamaan. Mereka melihat bagaimana Xiang Wentian berbicara dengan tenang, kemudian meninggalkan jejak kaki yang tercetak pada ubin keras. Kedua jejak itu sama rata dan sama dalamnya, seperti diukir menggunakan pisau tajam tanpa membuat ubin hancur berkeping-keping. Sungguh tenaga dalam yang hebat, bahkan mungkin lebih hebat daripada ketiga majikan itu. Mereka bertiga mengira Xiang Wentian sengaja pamer kepandaian, yang mau tidak mau dinilai sebagai perbuatan yang dangkal, bukan sikap seorang kesatria sejati. Tenaga dalam Xiang Wentian memang hebat dan mengagumkan, namun mereka bertiga tidak mengerti apa maksud dan tujuan yang sebenarnya.

Linghu Chong tentu saja mengerti tujuan dari acara pamer tenaga dalam itu. Sejak tadi Xiang Wentian memuji-muji tenaga dalam Perguruan Huashan lebih hebat daripada Perguruan Songshan. Kemudian ia pamer tenaga dalam agar orang-orang di situ percaya bahwa tenaga dalam Linghu Chong pasti jauh lebih hebat lagi. Dengan demikian, dalam pertandingan nanti pihak lawan tentu tidak berani sembarangan mengerahkan tenaga dalam karena sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Apalagi Xiang Wentian juga sadar bahwa kepandaian Linghu Chong hanya sebatas ilmu pedang saja. Ilmu ringan tubuh dan melompat juga bukan keahliannya. Maka, dengan tetap berdiri menginjak bekas tapak kaki Xiang Wentian itu, ia dapat menyembunyikan kelemahan-kelemahannya yang lain. Dengan demikian ini adalah penangkal siasat Heibaizi yang ingin menguji kehebatan Linghu Chong dengan mengajukan Ding Jian sebelum Danqingsheng.

Begitulah, Linghu Chong lantas melangkah maju dan berdiri menginjak bekas tapak kaki Xiang Wentian. Sambil tersenyum ia berkata, “Silakan, Saudara Ding!”

Harta karun yang menjadi barang tarunan.

Xiang Wentian menolak tangan Danqingsheng.

(Bersambung)