Bagian 95 - Misteri Kitab Bunga Mentari

Perpecahan antara Cai Zifeng dan Yue Su.

Pendeta Chongxu melanjutkan, “Ding Mian datang untuk menyampaikan perintah Zuo Lengchan, yaitu pada tanggal lima belas bulan tiga nanti segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung harus berkumpul di Puncak Songshan untuk memilih Ketua Perguruan Lima Gunung. Sebenarnya hal ini sudah diperkirakan oleh Kepala Biara. Hanya saja, kami tidak menduga Zuo Lengchan akan melakukannya secepat itu. Dia mengumumkan hendak memilih Ketua Perguruan Lima Gunung, seakan-akan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu sudah dapat dipastikan. Dalam hal ini kami memperhitungkan, Tuan Besar Mo punya watak aneh dan angin-anginan, maka Perguruan Hengshan pasti tidak sudi mengekor kepada Zuo Lengchan. Watak Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan juga sangat keras dan lugas, tentu tidak sudi pula menjadi bawahan Zuo Lengchan. Gurumu, Tuan Yue, terlihat lembut dan sopan, tetapi hatinya keras, pasti juga tidak akan rela jika nama Perguruan Huashan terhapus begitu saja dari dunia persilatan. Sementara itu, Perguruan Henshan berturut-turut telah kehilangan tiga biksuni sepuh. Murid-muridnya tentu tidak mampu melawan Zuo Lengchan, sehingga bisa jadi Henshan akan dapat ditundukkan begitu saja. Tak disangka, Biksuni Dingxian sebelum meninggal berani melanggar tradisi, yaitu menyerahkan jabatan ketua kepada Adik Linghu. Kami berdua sudah membicarakan ini dan benar-benar mengagumi keluasan pandangan Biksuni Dingxian. Dalam keadaan terluka parah dan meregang nyawa, ia masih bisa mengambil keputusan di luar dugaan seperti itu, pertanda ia memang benar-benar biksuni sepuh yang luar biasa dan berpikiran jauh ke depan. Sekarang ini, apabila Perguruan Huashan, Hengshan, Taishan, dan Henshan bersatu padu tidak mau dilebur menjadi Perguruan Lima Gunung, maka rencana Zuo Lengchan sudah pasti akan gagal total.”

Linghu Chong berkata, “Tapi kalau melihat sikap Ding Mian saat menyampaikan perintah tadi, agaknya Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah berada di bawah pengaruh Zuo Lengchan.”

“Benar,” kata Chongxu sambil mengangguk. “Kami sendiri sempat bingung melihat sikap Tuan Yue, gurumu. Kabarnya ada seorang pemuda bermarga Lin dari Fuzhou yang menjadi murid gurumu, betul tidak?”

“Benar, adik seperguruanku itu bernama Lin Pingzhi,” tutur Linghu Chong.

Chongxu berkata, “Konon leluhurnya menurunkan sebuah kitab pusaka bernama Kitab Pedang Penakluk Iblis yang telah lama tersiar di dunia persilatan. Kami dengar dalam kitab pusaka itu terdapat sebuah ilmu pedang yang sangat sangat hebat. Tentunya Adik Linghu juga pernah mendengar hal ini?”

“Benar,” ujar Linghu Chong. Ia kemudian bercerita tentang pengalamannya di Kota Fuzhou waktu itu, saat ia berhasil memergoki dua orang tokoh Perguruan Songshan dari angkatan tua merebut selembar jubah biksu dari tangan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di kediaman lama Keluarga Lin. Dalam pertarungan itu ia jatuh pingsan setelah membunuh kedua tokoh Songshan tersebut, dan jubah biksu di tangannya hilang entah ke mana.

Pendeta Chongxu termenung sejenak, kemudian berkata, “Sepertinya masuk akal jika gurumu kemudian mengambil jubah itu dan mengembalikannya kepada Lin Pingzhi.”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Akan tetapi, beberapa hari kemudian Adik Kecil, putri guruku, ternyata meminta Kitab Pedang Penakluk Iblis itu kepadaku. Ternyata Guru tidak tahu menahu soal jubah biksu tersebut. Saya sudah sering dituduh melakukan pelanggaran, sehingga tuduhan menggelapkan jubah biksu itu tidak saya masukkan ke dalam hati. Namun sebenarnya saya merasa penasaran juga terhadap masalah ini, dan mungkin Ketua berdua bisa memberikan petunjuk.”

Chongxu memandang sekejap ke arah Mahabiksu Fangzheng, lalu berkata, “Seluk-beluk persoalan ini silakan Kepala Biara yang menjelaskannya kepada Adik Linghu.”

Fangzheng mengangguk lalu berkata, “Ketua Linghu, apakah kau pernah mendengar tentang Kitab Bunga Mentari?”

“Saya pernah mendengarnya dari Guru. Konon Kitab Bunga Mentari adalah kitab pusaka paling berharga di dunia persilatan,” jawab Linghu Chong. “Namun sayang, kitab itu sudah lama lenyap dan kini entah berada di mana. Kemudian saya mendengar dari Ketua Ren, bahwa Beliau menyerahkan Kitab Bunga Mentari itu kepada Dongfang Bubai. Jika benar demikian, maka kitab pusaka tersebut tentu saat ini berada di tangan Sekte Matahari dan Bulan.”

“Benar, tapi itu cuma setengah bagian saja dan tidak lengkap,” kata Fangzheng.

Linghu Chong mengangguk penasaran. Ia berpikir sebentar lagi Mahabiksu Fangzheng pasti akan menceritakan sebuah peristiwa besar di dunia persilatan.

Sang Kepala Biara Shaolin tampak memandang jauh ke depan, lalu berkata, “Perguruan Huashan pernah terbagi menjadi Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Apakah kau mengetahuinya?”

“Ya, saya mendengarnya dari Guru,” jawab Linghu Chong.

Fangzheng manggut-manggut dan melanjutkan, “Tokoh-tokoh angkatan tua Perguruan Huashan pernah saling bunuh karena perpecahan ini. Apakah Ketua Linghu mengetahui sebab musabab mengapa Perguruan Huashan sampai terpecah menjadi dua?”

“Saya tidak tahu, Guru tidak pernah menceritakannya dengan jelas,” sahut Linghu Chong.

“Pertarungan di antara saudara bukanlah suatu peristiwa yang baik untuk diceritakan, itulah sebabnya mengapa Tuan Yue tidak suka menyinggung soal ini,” ujar Fangzheng. “Tentang pecahnya Perguruan Huashan menjadi dua kelompok, konon juga disebabkan oleh Kitab Bunga Mentari.”

Biksu tua ini berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Menurut cerita yang tersiar, Kitab Bunga Mentari itu ditulis oleh seorang pejabat pemerintahan dari dinasti sebelumnya.”

“Hah? Pejabat pemerintahan?” seru Linghu Chong penasaran.

“Lebih tepatnya seorang kasim,” tukas Chongxu.

“Oh!” seru Linghu Chong semakin heran.

Fangzheng melanjutkan, “Siapa nama sesepuh itu sudah tidak diketahui dengan pasti. Juga tidak diketahui pula mengapa seorang tokoh sakti persilatan seperti dia menjadi kasim di istana. Yang kita ketahui hanya satu hal, ilmu silat yang terkandung dalam Kitab Bunga Mentari itu sangat mendalam dan luar biasa hebat. Selama tiga ratus tahun lebih, kitab tersebut menjadi bahan rebutan namun tidak seorang pun yang berhasil memahami dan menguasai isinya. Sampai akhirnya, sekitar seratus tahun yang lalu, kitab pusaka tersebut jatuh ke tangan Biara Shaolin Cabang Fujian di Kota Quanzhou. Pemimpin biara tersebut bernama Tuan Biksu Hongxie, yang merupakan tokoh paling cerdas dan paling pintar di zamannya. Berdasarkan kepandaiannya itu, seharusnya tidak susah baginya untuk memahami isi kitab tersebut. Tapi menurut cerita murid Beliau, konon Tuan Biksu Hongxie tidak pernah mempelajari isi kitab tersebut. Bahkan ada pula murid yang mengatakan bahwa Beliau hanya membaca kitab tersebut tapi tidak pernah berlatih ilmu silat yang terkandung di dalamnya sampai meninggal.”

Linghu Chong menanggapi, “Mungkin ada kalimat rahasia dalam kitab itu sehingga seorang tokoh mahacerdas seperti Tuan Biksu Hongxie juga tidak mampu memahaminya secara keseluruhan, atau juga tidak bisa menyelami dasar-dasar ilmu silat dalam kitab pusaka tersebut.”

“Ya, bisa jadi seperti itu,” ujar Fangzheng mengangguk. “Saya dan Saudara Chongxu tidak punya cukup peruntungan sehingga tidak pernah melihat kitab pusaka tersebut. Alangkah bagusnya andai kami dapat melihat atau sekadar membaca isinya, meskipun tidak mampu memahami ajarannya.”

Chongxu melirik dan tersenyum, “Wah, sepertiya Kepala Biara tergoda urusan duniawi lagi. Orang yang pernah belajar silat seperti kita bila melihat kitab pusaka seperti itu pasti lupa makan dan lupa tidur. Yang ingin dilakukan hanya mempelajari dan menyelaminya sampai tuntas. Akibatnya bukan saja mengganggu ketenangan hidup kita, tapi juga akan mendatangkan kesukaran-kesukaran di kemudian hari. Maka, lebih baik kita tidak pernah membaca kitab pusaka itu selamanya.”

Fangzheng terbahak-bahak dan berkata, “Ucapan Saudara Pendeta memang benar. Sungguh memalukan.” Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong dan melanjutkan, “Konon pada suatu hari ada dua orang tokoh Perguruan Huashan berkunjung ke Biara Shaolin Cabang Fujian. Entah bagaimana caranya, mereka dapat membaca isi Kitab Bunga Mentari ….”

Dalam hati Linghu Chong berpikir mana mungkin kitab pusaka seperti itu diperlihatkan kepada tamu oleh pihak Shaolin? Tentu kedua tokoh Huashan tersebut telah mencuri baca. Hanya saja Mahabiksu Fangzheng sengaja menggunakan istilah yang lebih halus.

Terdengar Fangzheng melanjutkan, “Karena keadan sangat mendesak, maka kedua tokoh Huashan itu tidak mungkin membaca dan mendalami seluruh isi kitab sekaligus. Maka, mereka pun membagi tugas, masing-masing menghafal setengah bagian. Kemudian setelah pulang ke Huashan, mereka saling menguraikan hasil hafalan masing-masing dan menuliskannya kembali. Tidak disangka, apa yang mereka hafalkan ternyata tidak cocok ketika dipadukan. Semakin dipaparkan semakin jauh pula perbedaannya. Sebaliknya, kedua orang itu sama-sama yakin pada hafalan masing-masing, sementara pihak lain dianggap salah baca atau sengaja tidak mau mengemukakannya terus terang. Akhirnya kedua orang itu pun berlatih sendiri-sendiri. Inilah asal-usulnya, mengapa Perguruan Huashan terpecah menjadi dua bagian, yaitu Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Kedua bersaudara yang tadinya sangat akrab seperti saudara kandung itu akhirnya berubah menjadi musuh.”

Linghu Chong menyahut, “Kedua sesepuh kami itu, apakah bernama Yue Su dan Cai Zifeng?” Kedua nama yang disebut Linghu Chong itu merupakan tokoh-tokoh leluhur Perguruan Huashan dari angkatan-angkatan terdahulu. Yue Su adalah pendiri Kelompok Tenaga Dalam, dan Cai Zifeng adalah pendiri Kelompok Pedang. Peristiwa perpecahan ini terjadi beberapa puluh tahun silam.

Fangzheng menjawab, “Benar. Tidak lama setelah itu, Tuan Biksu Hongxie pun mengetahui akan bocornya Kitab Bunga Mentari tersebut. Beliau sadar isi kitab pusaka ini terlalu luas dan mendalam, juga sangat berbahaya. Konon kabarnya bagian yang paling berbahaya adalah langkah pertamanya. Kita tinggal melakukan langkah pertamanya saja, dan untuk selanjutnya tidak ada yang berbahaya lagi. Ini sungguh berkebalikan dengan ilmu silat lain pada umumnya, yaitu semakin ke belakang akan semakin sulit dan berbahaya, sedangkan ilmu dalam Kitab Bunga Mentari justru bagian depan yang paling berbahaya. Oleh karena itu, Tuan Biksu Hongxie lantas mengirim murid kesayangannya yang bernama Biksu Duyuan ke Gunung Huashan untuk menasihati Yue Su dan Cai Zifeng supaya tidak mempelajari ilmu silat dalam kitab pusaka tersebut.”

Linghu Chong menanggapi, “Ternyata ilmu silat dalam kitab ini memiliki langkah pertama yang paling sulit. Jika mempelajarinya hanya dengan membaca tanpa ada orang lain yang memberikan petunjuk sudah tentu hal ini sangat berbahaya. Tapi, sepertinya kedua sesepuh dari Perguruan Huashan kami itu tidak mau menurut, bukan begitu?”

“Dalam hal ini kita juga tidak bisa menyalahkan mereka berdua,” ujar Fangzheng. “Coba pikir, orang persilatan seperti kita sekali mengetahui rahasia suatu ilmu silat yang hebat tentu ingin sekali mempelajarinya. Meskipun aku telah memperdalam agama Buddha selama puluhan tahun, tetap saja akan tergoda untuk membaca bila kitab tersebut tiba-tiba jatuh ke tanganku, apalagi seorang awam? Bukankah tadi Saudara Chongxu menertawakanku yang masih tergoda keinginan duniawi? Begitulah, kepergian Biksu Duyuan ke Huashan itu justru menimbulkan peristiwa-peristiwa yang panjang.”

Linghu Chong bertanya, “Apakah kedua sesepuh itu berbuat tidak baik kepada Biksu Duyuan?”

“Bukan begitu, malah sebaliknya, mereka berdua sangat hormat dan menyambut kedatangan Biksu Duyuan dengan baik,” kata Fangzheng. “Mereka mengaku terus terang telah mencuri baca Kitab Bunga Mentari dan meminta maaf. Tapi di samping itu mereka juga meminta petunjuk kepada Biksu Duyuan tentang ilmu silat yang telah mereka hafalkan dari kitab pusaka tersebut. Mereka mengira Biksu Duyuan selaku murid kesayangan Tuan Biksu Hongxie, tentu pernah mendapat pelajaran dari sang guru mengenai isi kitab pusaka itu. Padahal, Tuan Biksu Hongxie sama sekali tidak pernah mengajarkannya kepada orang lain. Akan tetapi, Biksu Duyuan sendiri juga tidak mengatakan hal itu, dan ia tetap mendengarkan mereka berdua menguraikan hafalan masing-masing. Secara asal-asalan ia memberikan penjelasan, sambil diam-diam ia menghafal apa yang diuraikan kedua tokoh Perguruan Huashan tersebut. Pada dasarnya Biksu Duyuan memiliki pikiran yang cerdas dan ilmu silat bagus, sehingga setiap kalimat yang ia dengar dapat ia hafalkan dengan baik, dan penjelasan yang ia sampaikan pun terdengar runtut dan masuk akal.”

Linghu Chong menukas, “Jadi, Biksu Duyuan justru memperoleh isi kitab pusaka itu dari uraian kedua sesepuh kami?”

“Benar,” jawab Fangzheng sambil mengangguk. “Namun apa yang diingat oleh kedua bersaudara itu tidak banyak, kini harus menguraikannya pula, sehingga ada beberapa bagian yang hilang. Konon Biksu Duyuan tinggal di Gunung Huashan selama delapan hari dan setelah itu baru mohon pamit. Tapi sejak itu ia pun tidak pernah kembali ke Biara Shaolin lagi.”

Linghu Chong menjadi heran, “Tidak pulang ke Biara Shaolin, lalu pergi ke mana?”

“Saat itu tidak ada orang yang tahu,” jawab Fangzheng. “Tidak lama kemudian Tuan Biksu Hongxie menerima sepucuk surat dari Biksu Duyuan yang memberitahukan bahwa muridnya itu tidak mampu mengendalikan keinginan duniawi dan ingin menjalankan kehidupan seperti kaum awam saja. Ia mengaku tidak bisa kembali ke Biara Shaolin dan tidak punya muka lagi untuk bertemu sang guru.”

Linghu Chong sungguh heran tak terkatakan. Ia menganggap kejadian demikian sungguh di luar dugaan siapa pun juga.

Fangzheng melanjutkan, “Setelah peristiwa itu, terjadilah perselisihan antara Biara Shaolin Cabang Fujian dengan Perguruan Huashan. Perbuatan dua murid Huashan yang telah mencuri baca Kitab Bunga Mentari itu juga lantas tersiar di dunia persilatan. Akibatnya, tidak lama setelah itu sepuluh orang gembong Sekte Iblis pun datang menyerbu ke Gunung Huashan.”

“Hah?” seru Linghu Chong terkejut. Seketika ia teringat pada ukiran di dinding gua belakang serta tulang belulang yang ia temukan di Puncak Huashan beberapa waktu yang lalu. Konon tulang-tulang tersebut adalah kerangka sepuluh orang Tetua Sekte Iblis yang terkurung di dalam gua.

“Ada apa?” Fangzheng bertanya.

“Tidak ada apa-apa,” jawab Linghu Chong. “Mohon maaf telah memotong pembicaraan. Silakan Kepala Biara melanjutkan cerita.”

Fangzheng berkata, “Saat kejadian itu bahkan gurumu sendiri belum lahir. Sepuluh orang Tetua Sekte Iblis datang menyerbu Huashan, tujuannya adalah untuk merebut Kitab Bunga Mentari. Saat itu Perguruan Huashan telah berserikat dengan Perguruan Taishan, Hengshan, Songshan, dan Henshan membentuk Serikat Pedang Lima Gunung. Terjadilah pertempuran sengit di kaki Gunung Huashan. Kesepuluh gembong Sekte Iblis itu mengalami luka parah, namun mereka berhasil membawa kabur salinan Kitab Bunga Mentari yang ditulis Yue Su dan Cai Zifeng. Di lain pihak, Yue Su dan Cai Zifeng tewas dalam pertempuran tersebut. Dengan demikian, tidak dapat ditentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam pertempuran di Gunung Huashan itu.”

Fangzheng diam sejenak lalu melanjutkan, “Lima tahun kemudian, kesepuluh gembong Sekte Iblis itu kembali menyerbu ke Gunung Huashan. Kali ini persiapan mereka benar-benar matang di mana mereka telah mengetahui cara-cara mematahkan jurus-jurus Serikat Pedang Lima Gunung. Saudara Chongxu dan saya pernah membicarakan hal ini dan kami yakin meskipun kesepuluh Gembong Sekte Iblis itu berilmu tinggi rasanya mustahil dalam waktu lima tahun kepandaian mereka bisa maju sedemikian pesat. Kami menduga mereka telah mendapatkan banyak wawasan setelah mempelajari Kitab Bunga Mentari. Dalam pertempuran kali ini, pihak Serikat Pedang Lima Gunung mengalami kekalahan besar. Pertempuran dahsyat itu banyak menewaskan tokoh-tokoh penting mereka, sehingga banyak pula jurus-jurus rumit dan hebat yang punah begitu saja. Akan tetapi, kesepuluh gembong Sekte Iblis itu juga tidak pernah kembali lagi. Saya membayangkan, peristiwa tersebut tentu sangat ganas dan berdarah-darah.”

Linghu Chong menanggapi, “Saya pernah menemukan sepuluh kerangka tulang belulang manusia di dalam sebuah gua di Puncak Huashan, serta beberapa tulisan terukir di dinding.”

“Benarkah demikian? Bagaimana bunyi tulisan itu?” Chongxu bertanya.

“Tulisan itu berbunyi: ‘Serikat Pedang lima Gunung tidak tahu malu! Kalian tidak bisa memenangkan pertempuran, lantas menggunakan cara-cara licik mengurung kami,’” Jawab Linghu Chong. “Di samping tulisan tersebut, masih terdapat tulisan-tulisan lain yang lebih kecil, yang kesemuanya mengutuk serta memaki Serikat Pedang Lima Gunung kami.”

Fangzheng bertanya, “Bagaimana bisa Perguruan Huashan membiarkan tulisan-tulisan seperti itu tanpa menghapusnya?”

Linghu Chong menjawab, “Gua di Puncak Huashan itu saya temukan secara tidak sengaja. Orang lain juga tak ada yang tahu.” Ia kemudian menceritakan pengalamannya tersebut. Gua rahasia yang ia temukan itu bermula dari sebuah lorong sempit hasil penggalian seseorang bersenjatakan kapak sampai sepanjang beberapa ratus meter. Orang itu akhirnya mati kehabisan tenaga meski tinggal beberapa meter lagi ia berhasil menembus keluar. Ia memiliki semangat besar yang pantas dikagumi, namun sayang sekali, nasibnya kurang beruntung.

“Menggunakan kapak? Mungkinkah dia Fan Song, gembong Sekte Iblis yang berjuluk Si Iblis Sakti Bertenaga Raksasa,” kata Fangzheng.

“Benar, benar!” kata Linghu Chong. “Memang di antara tulisan-tulisan yang terukir di dinding itu disebut-sebut juga nama Fan Song dan Zhao He. Konon mereka yang berhasil mematahkan jurus pedang Perguruan Henshan di situ.”

“Zhao He? Dia memiliki julukan sebagai Si Iblis Terbang Sakti,” seru Fangzheng lagi. “Apakah dia memakai senjata palu godam?”

“Hal ini kurang jelas,” jawab Linghu Chong. “Di lantai gua itu memang ada sebuah palu godam. Saya masih ingat tulisan yang terukir di dinding gua, katanya yang mematahkan jurus pedang Perguruan Huashan adalah dua orang bernama Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun, atau entah siapa.”

“Memang benar,” kata Fangzheng. “Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun adalah dua bersaudara. Masing-masing berjuluk Si Iblis Sakti Kera Emas dan Si Iblis Sakti Monyet Putih. Konon senjata mereka adalah toya tembaga.”

“Benar,” kata Linghu Chong. “Menurut ukiran di dinding gua, di situ dilukiskan jurus pedang Perguruan Huashan dikalahkan oleh toya mereka. Sungguh cara mereka sangat mengagumkan dan tidak terduga.”

Fangzheng berkata, “Dari ceritamu ini, sepertinya tempat yang kau lihat itu telah dipersiapkan oleh Serikat Pedang Lima Gunung untuk menjebak kesepuluh gembong Sekte Iblis. Sekali mereka terpancing masuk ke dalam gua itu, mereka langsung terkurung dan tidak bisa lolos lagi.”

“Saya juga berpikir demikian,” jawab Linghu Chong. “Itulah sebabnya mengapa kesepuluh gembong Sekte Iblis itu merasa sangat kesal, lalu mengukir tulisan untuk mencaci maki Serikat Pedang Lima Gunung. Mereka juga melukiskan jurus-jurus ilmu silat mereka yang telah mengalahkan ilmu pedang lawan supaya angkatan selanjutnya mengetahui, bahwa kematian mereka bukan karena kalah bertanding, tetapi karena terjebak oleh tipu muslihat Serikat Pedang Lima Gunung. Mengenai ukiran jurus-jurus Perguruan Huashan yang telah mereka patahkan dengan cara yang menakjubkan itu, sepertinya tidak dikenal oleh Guru dan Ibu Guru. Setelah mendengarkan cerita Kepala Biara, sekarang saya baru paham bahwa pertempuran besar di Gunung Huashan kala itu telah menewaskan banyak sesepuh kami, sehingga banyak pula ilmu-ilmu pedang Huashan yang ikut punah. Nasib yang sama tentu juga menimpa Perguruan Henshan, Taishan, Songshan, dan Hengshan.”

“Benar sekali,” sahut Chongxu.

“Selain itu terdapat pula beberapa pedang yang jelas-jelas milik Serikat Pedang Lima Gunung berserakan di dekat sepuluh kerangka gembong Sekte Iblis itu,” lanjut linghu Chong.

Fangzheng merenung sejenak, kemudian berkata, “Mengenai hal ini sulit untuk dijelaskan. Bisa jadi gembong-gembong Sekte Iblis itu merampasnya dari orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung. Apakah pemandangan yang kau temukan di gua itu sampai kini belum pernah kau ceritakan kepada orang lain?”

“Tidak pernah,” jawab Linghu Chong. “Setelah menemukan gua rahasia itu, saya dihadapkan pada berbagai masalah sehingga tidak sempat menceritakannya, bahkan kepada Guru dan Ibu Guru. Namun Kakek Guru Feng ternyata sudah mengetahuinya lebih dulu.”

Fangzheng manggut-manggut dan berkata, “Adik seperguruanku, yaitu Biksu Fangsheng pernah beberapa kali bertemu dengan Sesepuh Feng Qingyang dan menerima budi baik Beliau. Adik Fangsheng menceritakan kepadaku bahwa ilmu pedangmu merupakan hasil didikan Sesepuh Feng. Tadinya kami mengira setelah terjadi perang saudara antara Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang, Beliau mengasingkan diri dan meninggal dunia. Namun ternyata Beliau dalam keadaan sehat dan selamat, ini sungguh berita yang menggembirakan.”

Chongxu menyahut, “Konon ketika peristiwa itu terjadi, Sesepuh Feng sedang berada di Jiangnan untuk menikah. Begitu mendengar adanya pertempuran sesama saudara di Gunung Huashan, ia buru-buru kembali untuk mendukung Kelompok Pedang. Namun Kelompok Pedang saat itu telah mengalami kekalahan telak dengan jumlah korban yang tidak sedikit. Andai saja Sesepuh Feng dengan ilmu pedangnya yang sempurna ikut serta dalam pertempuran itu, mustahil Kelompok Tenaga Dalam mampu mengalahkan Kelompok Pedang. Akhirnya Beliau sadar bahwa pernikahannya di Jiangnan adalah hasil rekayasa belaka. Kelompok Tenaga Dalam telah membayar ayah mertuanya untuk membeli pelacur dan pura-pura dijadikan putrinya. Pelacur itu telah memikat Sesepuh Feng sehingga Beliau tertahan di Jiangnan. Setelah mengetahui kenyataan itu, Sesepuh Feng pun kembali ke Jiangnan. Namun keluarga mertua palsunya telah melarikan diri entah ke mana. Beliau merasa tertipu mentah-mentah, dan setelah itu tersiar kabar di dunia persilatan, bahwa Sesepuh Feng sangat terguncang dan akhirnya bunuh diri dengan menggorok leher sendiri.”

Fangzheng berkedip kepada Chongxu supaya pendeta itu menghentikan cerita. Namun Chongxu pura-pura tidak melihat dan terus saja berkata, “Ketua Linghu, aku sangat menghormati Sesepuh Feng dan tidak berani membicarakan kehidupan pribadinya. Aku menceritakan peristiwa aib seperti ini hanya sebagai pelajaran untukmu, bahwa seorang pendekar besar bisa saja terjerumus akibat rayuan seorang wanita. Seorang laki-laki sejati boleh dibunuh, tapi jangan sampai jatuh ke dalam tipu muslihat.”

Linghu Chong sadar kalau Chongxu sedang menyindir hubungannya dengan Ren Yingying. Namun karena Chongxu bermaksud baik, ia hanya menghela napas tanpa menjawab, sambil merenung, “Kakek Guru Feng selama ini hidup menyendiri di Puncak Huashan, ternyata Beliau sangat menyesali kesalahannya di masa lalu dan tidak punya muka untuk kembali ke dunia persilatan. Ini sebabnya mengapa Kakek Guru Feng melarangku membocorkan keberadaannya kepada orang luar, serta Beliau juga tidak ingin bertemu orang-orang Perguruan Huashan lagi. Duka dan kesedihan yang menimpa dirinya dirasakan selama berpuluh-puluh tahun. Selama itu pula Beliau hidup seorang diri. Kini aku sudah mengetahui duduk permasalahannya. Suatu hari nanti jika semua urusanku telah selesai, aku akan mendaki Puncak Huashan dan menemani Beliau bicara. Aku bukan lagi anggota Perguruan Huashan sehingga menemui Beliau tidak akan dianggap sebagai suatu pelanggaran.”

Ketiga orang itu berbicara selama setengah hari dan tanpa terasa matahari sudah hampir tenggelam di balik gunung. Fangzheng berkata, “Tidak lama setelah Yue Su dan Cai Zifeng menulis ulang Kitab Bunga Mentari berdasarkan hasil hafalan mereka, kedua tokoh Huashan itu lantas terbunuh menjadi korban serangan para gembong Sekte Iblis. Kitab pusaka tersebut telah jatuh ke tangan Sekte Iblis, sementara orang-orang Huashan belum sempat mempelajarinya. Meskipun demikian, Yue Su dan Cai Zifeng telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri terhadap isi Kitab Bunga Mentari. Yang satu berpendapat bahwa yang paling penting adalah belajar tenaga dalam lebih dulu, sedangkan yang satunya berpendapat lebih penting belajar jurus pedang lebih dulu. Masing-masing memiliki pendukung sehingga Perguruan Huashan pun terpecah menjadi dua. Perpecahan ini telah berkembang menjadi pertempuran besar yang sangat merugikan kedua belah pihak. Hm, boleh dikata Kitab Bunga Mentari adalah benda pembawa sial untuk Perguruan Huashan.”

Chongxu mengangguk, “Warna-warna membutakan mata, hirup-pikuk memekakkan telinga. Mungkin inilah peribahasa yang tepat.”

Fangzheng melanjutkan, “Meskipun kesepuluh gembong Sekte Iblis berhasil merebut Kitab Bunga Mentari, namun mereka semua juga terbunuh pada serangan berikutnya. Kematian mereka adalah karena menuai hasil perbuatan mereka sendiri, hal ini sudah sewajarnya. Ketua Linghu tadi menyampaikan bahwa Ketua Ren telah memberikan kitab pusaka itu kepada Dongfang Bubai, tentu yang dimaksud adalah kitab hasil tulisan kedua tokoh Perguruan Huashan tersebut. Mungkin permusuhan di antara mereka juga dikarenakan Kitab Bunga Mentari. Padahal sebenarnya, isi kitab di tangan Dongfang Bubai itu masih kalah lengkap jika dibandingkan dengan apa yang dipahami oleh Lin Yuantu.”

“Lin Yuantu? Siapa itu Lin Yuantu?” sahut Linghu Chong menegas.

“Dia adalah kakek buyut Adik Lin-mu, pendiri Biro Pengawalan Fuwei. Dengan berbekal tujuh puluh dua jurus Pedang Penakluk Iblis hasil ciptaannya itu, ia telah menundukkan banyak penjahat di dunia persilatan,” jawab Fangzheng.

“Apakah Tuan Lin ini juga pernah membaca Kitab Bunga Mentari sebelumnya?” tanya Linghu Chong.

“Dia … dia adalah Biksu Duyuan, murid kesayangan Biksu Hongxie,” ujar Fangzheng menjelaskan.

Hati Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia berkata, “Oh, ternyata demikian. Ini benar-benar … agak ….”

Fangzheng menjelaskan, “Sebelum menjadi biksu ia memang bermarga Lin. Setelah meninggalkan biara, ia lantas memakai marganya kembali.”

Linghu Chong berbicara sendiri, “Ternyata Tuan Lin yang terkenal dan disegani karena memiliki tujuh puluh dua jurus Pedang Penakluk Iblis itu adalah Biksu Duyuan. Ini sungguh tidak … tidak terduga sama sekali.” Seketika ia pun terkenang kejadian saat Lin Zhennan meninggal dunia di kuil tua di luar Kota Hengshan dulu.

Fangzheng melanjutkan, “Duyuan adalah Yuantu. Setelah meninggalkan biara, ia lantas menggunakan kembali marga Lin, namun dipadukan dengan nama kebuddhaannya, yaitu membalik ‘Duyuan’ menjadi ‘Yuantu’. Ia juga menikah dan punya anak serta mendirikan sebuah perusahaan ekspedisi bernama Fuwei. Kehebatannya menggemparkan dunia persilatan. Tuan Lin itu seorang yang berbudi luhur. Meski menjadi seorang pengusaha, namun ia tetap membela kebenaran dan menolong yang kesusahan. Hatinya lembut tidak ubahnya seperti saat masih menjadi biksu. Sekali di hati seseorang bersemayam Sang Buddha, seumur hidup ia akan tetap berlaku welas asih, baik itu menjadi biksu maupun menjadi kaum awam. Sudah tentu tidak lama kemudian Biksu Hongxie mengetahui bahwa Tuan Lin adalah bekas muridnya. Namun kabarnya di antara guru dan murid itu untuk selanjutnya tetap pernah berhubungan lagi.”

Linghu Chong bertanya, “Tuan Lin memperoleh intisari Kitab Bunga Mentari dari hasil uraian kedua sesepuh Perguruan Huashan kami, yaitu Yue Su dan Cai Zifeng. Lalu bagaimana jurus Pedang Penakluk Iblis itu bisa sangat terkenal di tangannya, padahal yang diwarisi Tuan Lin Zhennan sangat tidak bagus?”

Fangzheng menjawab, “Jurus Pedang Penakluk Iblis memang berasal dari Kitab Bunga Mentari yang tidak lengkap itu, yaitu ketika Biksu Duyuan mendengar penuturan Yue Su dan Cai Zifeng di Gunung Huashan.” Tiba-tiba ia berpaling kepada Chongxu, “Saudara Chongxu, kau adalah ahli pedang dan jauh lebih paham daripada aku. Mengenai seluk-beluk masalah ini sebaiknya kau saja yang bercerita.”

Chongxu tertawa menjawab, “Andai saja kita bukan teman lama yang sudah saling kenal bertahun-tahun, tentu ucapanmu ini bisa membuatku naik darah. Ucapanmu bisa kuanggap sebagai olok-olok, karena pada zaman ini ilmu pedang siapa yang bisa melebihi Pendekar Linghu, selain Sesepuh Feng?”

Fangzheng berkata, “Meskipun ilmu pedang Pendekar Linghu sangat hebat, tapi pengetahuan dan pengalamannya masih jauh untuk bisa menyamai dirimu. Kita bertiga adalah teman, untuk apa pakai segan-segan segala?”

“Ah, padahal pengetahuanku tentang ilmu pedang masih jauh untuk disebut mahir. Kelak jika ada kesempatan bertemu Sesepuh Feng Qingyang, aku akan minta petunjuk kepadanya,” ujar Chongxu. Ia lantas berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, “Ilmu Pedang Penakluk Iblis di tangan Lin Zhennan memang rendah, padahal Lin Yuantu pernah menggemparkan dunia persilatan. Perbedaan antara mereka berdua bagaikan langit dan bumi. Ketua Perguruan Qingcheng terdahulu yang bernama Zhang Qingzi mendapat julukan ‘Pendekar Pedang Nomor Satu di Daerah Barat’ ternyata kalah telak di tangan Lin Yuantu. Anehnya, ilmu pedang Perguruan Qingcheng yang sekarang justru jauh lebih bagus daripada ilmu pedang Keluarga Lin. Di balik hal ini tentu ada sebab-sebab yang belum terpecahkan. Masalah ini sudah lama kurenungkan dan tentunya juga menjadi bahan pemikiran setiap peminat ilmu pedang di dunia persilatan.”

Linghu Chong berkata, “Mengenai keluarga Adik Lin yang hancur berantakan itu, serta ayah dan ibunya yang tewas mengenaskan, apakah semua ini ada kaitannya dengan misteri Ilmu Pedang Penakluk Iblis?”

“Benar,” jawab Chongxu. “Nama besar Pedang Penakluk Iblis terlalu hebat, namun kepandaian Lin Zhennan ternyata sangat rendah. Perbedaan mencolok ini mau tidak mau menimbulkan dugaan bahwa Lin Zhennan pasti terlalu dungu dan tidak mampu mempelajari ilmu silat leluhurnya yang mengagumkan itu. Lebih jauh lagi orang-orang tentu berpikir andai saja Kitab Pedang Penakluk Iblis jatuh ke tangan mereka tentu mereka dapat menyelami kajaiban ilmu pedang Lin Yuantu yang gilang-gemilang di masa lampau. Adik Linghu, selama ratusan tahun ini Lin Yuantu memang bukan satu-satunya ahli pedang. Di samping dirinya masih ada Perguruan Shaolin, Wudang, Emei, Kunlun, Diancang, Qingcheng, dan tentu saja Serikat Pedang Lima Gunung. Masing-masing memiliki ahli waris sendiri-sendiri sehingga tidak saling mengincar ilmu pedang pihak lain. Namun, melihat kepandaian Lin Zhennan begitu rendah sementara di dalam keluarganya tersimpan ilmu pedang hebat warisan leluhur, tentu keadaannya bagaikan seorang anak kecil membawa emas yang berkeliaran sendiri di tengah pasar. Mau tidak mau tentu saja hal ini menarik perhatian setiap orang untuk berusaha merebut emasnya itu.”

Linghu Chong berkata, “Tuan Lin Yuantu adalah murid kesayangan Biksu Hongxie dan ia pernah belajar di Perguruan Shaolin Cabang Fujian. Pasti ia sudah menguasai ilmu silat Perguruan Shaolin yang hebat sehingga mengenai jurus Pedang Penakluk Iblis atau apa, bukan mustahil cuma namanya saja yang sengaja ia berikan, tapi sesungguhnya itu adalah ilmu silat Perguruan Shaolin yang ia ubah sedikit di sana-sini.”

“Memang banyak juga orang yang berpikir demikian,” kata Chongxu. “Tapi jurus Pedang Penakluk Iblis dan ilmu Perguruan Shaolin jelas-jelas berbeda. Setiap orang yang memahami ilmu pedang akan segera tahu bila melihatnya. Hm, orang yang mengincar kitab pusaka Keluarga Lin sebenarnya sangat banyak, tapi akhirnya si pendek dari Perguruan Qingcheng yang turun tangan lebih dulu. Meskipun si pendek bermarga Yu ini cukup cekatan, namun otaknya agak bebal. Mana bisa ia dibandingkan dengan gurumu, Tuan Yue yang duduk-duduk santai, tapi tinggal menarik keuntungan?”

Seketika wajah Linghu Chong berubah. Ia berseru, “Pendeta… apa yang kau katakan?”

Chongxu tersenyum menjawab, “Setelah Lin Pingzhi putra Lin Zhennan masuk Perguruan Huashan, dengan sendirinya Kitab Pedang Penakluk Iblis ikut dibawanya serta. Kabarnya Tuan Yue punya seorang putri tunggal yang akan dijodohkan kepada Adik Lin-mu itu, betul tidak? Hm, dia benar-benar menyusun rencana jangka panjang yang sempurna.”

Semula Linghu Chong kurang senang ketika Pendeta Chongxu menyinggung nama baik Yue Buqun, gurunya. Namun setelah mendengar Chongxu mengatakan gurunya itu menyusun rencana jangka panjang, tiba-tiba ia teringat pada kejadian dahulu, waktu Sang Guru mengutus Lao Denuo dan adik kecilnya menyamar di sebuah kedai arak di luar Kota Fuzhou. Waktu itu ia tidak tahu apa maksud tujuan Sang Guru, tapi sekarang ia paham tujuannya adalah untuk mengawasi Biro Ekspedisi Fuwei. Padahal kepandaian Lin Zhennan sudah jelas sangat rendah, lalu untuk apa gurunya itu mengirim orang kalau bukan untuk mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis? Hanya saja, cara yang digunakan gurunya ini memakai akal, tidak memakai kekerasan seperti si pendek Yu Canghai dan si bungkuk Mu Gaofeng.

Linghu Chong kemudian berpikir pula, “Adik Kecil seorang gadis muda belia, mengapa Guru membiarkannya menonjolkan diri di tempat umum, di sebuah kedai arak dalam waktu cukup lama?” Berpikir sampai di sini tiba-tiba hatinya bergetar, perasaannya merinding. Seketika ia pun paham duduk perkaranya, “Ternyata Guru sengaja mengatur dan menghendaki supaya Adik Kecil berjodoh dengan Adik Lin sejak jauh-jauh hari.”

Melihat raut muka Linghu Chong berubah masam, Fangzheng dan Chongxu sadar pemuda ini sangat menghormati sang guru, tentu perkataan tadi membuatnya tersinggung. Maka Fangzheng pun berkata, “Apa yang kami sampaikan tadi hanyalah obrolanku dengan Saudara Chongxu saja. Kami berdua sudah terbiasa menduga-duga secara asal-asalan. Padahal gurumu di dunia persilatan terkenal sebagai kesatria budiman yang santun dan alim. Mungkin kami berdua telah melakukan kebodohan karena sembarangan menuduh gurumu yang mulia.”

Di sisi lain, Pendeta Chongxu hanya tersenyum simpul.

Linghu Chong merasa bingung. Ia berharap perkataan Chongxu tadi salah, namun dalam lubuk hatinya tetap ada perasaan bahwa ucapan pendeta sakti tersebut benar adanya. Ia pun merenung, “Tuan Lin Yuantu tadinya seorang biksu. Itu sebabnya di rumah lama Keluarga Lin di Gang Xiangyang terdapat ruangan sembahyang Buddha, dan juga jubah biksu berisi rumus Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Dugaanku, ia menghafalkan penuturan kedua sesepuh, Yue Su dan Cai Zifeng di Huashan tentang Kitab Bunga Mentari, kata demi kata. Setelah itu ia pun menuliskannya kembali pada jubah biksu yang ia kenakan waktu itu.”

Terdengar Chongxu berkata, “Sampai sekarang, Kitab Bunga Mentari tetap menyimpan rahasia ilmu silat yang sangat besar. Sekte Iblis menyimpan sebagian, yaitu hasil rampasan kesepuluh gembong terdahulu. Gurumu, Tuan Yue, juga menyimpan sebagian. Mengingat Lin Pingzhi sudah bergabung ke dalam Perguruan Huashan, maka Zuo Lengchan juga tidak akan tinggal diam. Dapat dipastikan saat ini ia menyimpan dua tujuan. Pertama, membunuh Tuan Yue dan melebur Perguruan Huashan ke dalam Perguruan Songshan, lalu yang kedua merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dari tangan gurumu itu.”

Linghu Chong manggut-manggut, lantas berkata, “Dugaan Pendeta ada benarnya. Tapi bukankah Kitab Bunga Mentari yang lengkap ada di Biara Shaolin Cabang Fujian? Apakah Zuo Lengchan tidak mengetahui hal ini? Jika ia tahu saya khawatir ia akan menyerbu biara tersebut.”

Fangzheng tersenyum menanggapi, “Kitab Bunga Mentari yang lengkap di Biara Shaolin Cabang Fujian sudah dimusnahkan sejak lama. Jadi, kau tidak perlu khawatir mengenai hal ini.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya, “Apa? Dimusnahkan?”

Fangzheng menjawab, “Sesaat sebelum Biksu Hongxie meninggal, ia mengumpulkan semua muridnya. Ia menyampaikan hasil penafsirannya dan kemudian melemparkan kitab itu ke dalam api. Kepada murid-muridnya ia berkata: ‘Ilmu silat yang terkandung dalam kitab ini sangat luar biasa dan menakjubkan. Banyak sekali pokok bahasan yang belum dipahami dengan benar oleh penciptanya. Masalah-masalah lain yang terkandung juga masih banyak. Selain itu, langkah pertama untuk mempelajari ilmu dalam kitab ini tidak hanya sulit dilakukan, namun juga tidak mungkin dilakukan. Maka itu, jika kitab ini sampai jatuh ke tangan orang lain bisa sangat berbahaya dan menimbulkan bencana di dunia persilatan. Ia kemudian menulis sepucuk surat kepada Kepala Biara Shaolin di Gunung Shaoshi tentang hal ini.”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Biksu Hongxie benar-benar bijak. Jika Kitab Bunga Mentari lenyap dari muka bumi, maka kekacauan di dunia persilatan dapat dihindari.” Ia kemudian terdiam dan merenung, “Jika Kitab Bunga Mentari tidak ada, maka Jurus Pedang Penakluk Iblis juga tidak ada. Guru juga tidak akan mendekatkan Adik Kecil dengan Adik Lin. Atau, Adik Lin tidak akan pernah bergabung dengan Perguruan Huashan, sehingga ia tidak akan pernah bertemu Adik Kecil.” Namun kemudian hatinya berkata, “Tapi, aku sendiri seorang pengelana liar yang sudah terlanjur bergaul dengan golongan hitam. Meskipun Kitab Bunga Mentari tidak ada, tetap saja aku dikeluarkan dari Perguruan. Hm, seorang laki-laki sejati mengikuti suara hatinya dan menuai apa yang ia tabur sendiri. Tidak seharusnya aku menyalahkan pihak lain.”

Percakapan di jembatan Kuil Gantung.
Biksu Duyuan mendatangai Perguruan Huashan.
Biksu Hongxie memberikan pesan terakhir.
Gunung Huashan diserang Sekte Iblis.
Para gembong Sekte Iblis terkurung di gua.

(Bersambung)