Bagian 53 - Suara Kecapi di Lembah Sunyi

Linghu Chong berduka atas kematian Ping Yizhi.

Dewa Akar Persik berkata, “Bukankah aku sudah bilang kalau dia pasti bisa menyembuhkanmu? Dia bergelar ‘Si Tabib Sakti Pembunuh’, kalau menyembuhkan seseorang maka dia harus membunuh satu orang lainnya. Kalau dia tidak bisa menyembuhkan seseorang, lantas dia mau apa? Bukankah hal ini sangat merepotkan?”

“Omong kosong!” sahut Linghu Chong sambil tertawa. Ia kemudian berjalan beriringan dan bergandeng tangan dengan Dewa Akar Persik meninggalkan Ping Yizhi seorang diri.

Di luar gubuk para pendekar sudah berkumpul untuk minum arak. Ketika Linghu Chong berjalan di tengah kalangan, selalu saja ada yang menuangkan arak untuknya. Tanpa pilih-pilih, Linghu Chong pun menenggak habis setiap isi cawan yang disodorkan kepadanya.

Melihat bagaimana Linghu Chong bergaul dengan luwes, berbicara dan tertawa dengan riang, serta meminum habis setiap arak yang disuguhkan tanpa mengenal batas, membuat para pendekar itu sangat gembira. Mereka berkata, “Tuan Muda Linghu sungguh berjiwa pahlawan, namanya harum sampai langit kesembilan. Kami semua benar-benar kagum dan menaruh hormat kepada Tuan Muda Linghu.”

Setelah minum lebih dari belasan cawan, tiba-tiba Linghu Chong teringat kepada Ping Yizhi. Ia pun menuang secawan besar arak sambil bernyanyi keras-keras, “Minumlah sepuasnya hari ini selagi kau bisa ….” Kemudian ia masuk ke dalam gubuk sambil berkata, “Sesepuh Ping, ini aku bawakan secawan arak untukmu.”

Namun begitu melihat keadaan Ping Yizhi, seketika hatinya sangat terkejut. Rasa mabuknya pun banyak berkurang. Di bawah cahaya lilin terlihat raut muka Ping Yizhi berubah hebat. Rambut si tabib yang tadinya hitam kini berubah menjadi putih dalam waktu sekejap. Kerut-kerut wajahnya bertambah dalam, dan kini pria itu seperti bertambah tua dua puluh tahun padahal waktu yang berjalan baru dua jam. Ia tampak menaruh kepala di ujung meja sambil menggumam sendiri, “Sembuhkan satu orang, bunuh satu orang. Tidak bisa menyembuhkan orang, lantas harus bagaimana?”

Darah Linghu Chong terasa bergolak ketika melihat begitu besar perhatian si tabib kepadanya. Ia pun berseru lantang, “Hidup mati Linghu Chong tiada artinya. Mengapa Sesepuh Ping terlalu memasukkannya ke dalam hati?”

Ping Yizhi menjawab, “Kalau aku tidak bisa menyembuhkan seseorang, maka aku harus bunuh diri. Kalau tidak, mana pantas aku dijuluki ‘Si Tabib Pembunuh’?” Usai berkata demikian ia lantas berdiri. Tubuhnya agak bergoyang beberapa kali, kemudian mulutnya memuntahkan darah. Sejenak kemudian, tabib bertubuh gemuk itu jatuh tersungkur di lantai.

Linghu Chong sangat terkejut dan segera memapah Ping Yizhi untuk berdiri. Namun sepertinya napas si tabib sudah berhenti, pertanda ia sudah meninggal. Linghu Chong pun menggendong jasadnya, namun tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu suara ribut para pendekar yang sedang minum-minum di luar terdengar semakin berkurang. Hatinya pun terasa pilu dan sangat kesepian. Setelah terdiam beberapa saat, tak kuasa air matanya pun meleleh di pipi. Jasad Ping Yizhi terasa semakin berat dan Linghu Chong sediri sudah sangat letih dan kehabisan tenaga. Dengan hati-hati ia pun meletakkan jasad si tabib di lantai.

Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam gubuk dengan langkah pelan dan langsung berbisik, “Tuan Muda Linghu!”

Linghu Chong menoleh dan melihat Zu Qianqiu si sastrawan dekil sedang menuju ke arahnya. Ia pun berkata dengan sedih agak menggumam, “Sesepuh Zu, Tabib Ping sudah meninggal.”

Namun Zu Qianqiu seperti tidak peduli. Ia terus saja berbisik, “Tuan Muda Linghu, aku mohon satu hal kepadamu. Kalau ada orang bertanya tentang aku, mohon kau jawab bahwa kau tidak pernah bertemu Zu Qianqiu.”

Linghu Chong tertegun dan bertanya, “Memangnya kenapa?”

Zu Qianqiu menjawab, “Tidak apa-apa. Hanya saja … hanya saja … aih, sampai jumpa lagi!”

Begitu Zu Qianqiu keluar gubuk, langsung saja seseorang menyusul masuk. Ia adalah Sima Da, Majikan Pulau Paus Panjang. “Tuan Muda Linghu, Tuan Muda Linghu, aku ada satu permintaan yang sangat … sangat memalukan. Kalau ada orang yang bertanya siapa saja yang berkumpul di Lembah Lima Tiran, mohon supaya Tuan Muda jangan menyebut-nyebut namaku. Untuk itu aku sangat berterima kasih.”

Linghu Chong menjawab, “Baiklah. Tapi mengapa demikian?”

Sima Da terlihat gelisah dan malu-malu, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang berbuat nakal. Pria bertubuh tinggi besar itu menjawab dengan terbata-bata, “Ini … ini ….”

Linghu Chong pun berkata dengan nada dingin, “Baiklah, kalau memang Linghu Chong tidak pantas menjadi temanmu, maka mulai saat ini aku tidak akan berani lagi mengaku sebagai temanmu.”

Wajah Sima Da seketika berubah. Ia pun berlutut dan bersujud di tanah sambil berkata, “Kalau Tuan Muda Linghu sampai berkata seperti itu, maka aku pantas dihukum mati. Aku hanya memohon supaya kau tidak menyebut-nyebut kejadian di Lembah Lima Tiran ini supaya tidak mengundang kemarahan seseorang. Kalau Tuan Muda masih meragukan perkataanku, anggap saja Sima Da omong kosong.”

Linghu Chong cepat-cepat menjulurkan kedua tangannya untuk membantu Sima Da bangkit sambil berkata, “Majikan Pulau Sima, mengapa kau begitu banyak peradatan? Mohon beri tahu aku, mengapa kalau kau mengundangku ke Lembah Lima Tiran sini lantas menyebabkan kemarahan seseorang? Kalau orang itu membenci Linghu Chong, mengapa tidak langsung mengejarku saja?”

Sima Da menggelengkan kepala sambil tersenyum. Ia menjawab, “Apa maksud perkataanmu, Tuan Muda Linghu? Orang ini sangat menyayangi Tuan Muda, bagaimana bisa benci kepadamu? Aih, hamba ini orang kasar, tak pandai bicara, cukup sampai di sini dulu perjumpaan kita. Sima Da sudah menganggapmu sebagai sahabat. Kelak di kemudian hari jika Tuan Muda ingin aku melakukan sesuatu, cukup beri kabar saja. Meskipun harus terjun ke dasar samudera atau menyeberangi lautan api, sedikit pun aku tak akan mengerutkan dahi. Kalau aku enggan membantu kesulitanmu, biarlah keluargaku delapan belas turunan menjadi anak kura-kura.” Sambil berbicara demikian ia menepuk dadanya, kemudian berjalan keluar dari gubuk dengan langkah lebar.

Linghu Chong terheran-heran. Ia berpikir, “Tidak perlu diragukan lagi, orang bermarga Sima ini sangat tulus kepadaku. Tapi mengapa kalau ia menemuiku di Lembah Lima Tiran ini bisa menyebabkan seseorang akan marah? Tapi orang yang marah itu tidak membenciku, justru sangat baik kepadaku. Di muka bumi mana ada kejadian yang sangat aneh seperti ini? Kalau orang itu benar-benar baik kepadaku bukankah seharusnya senang melihatku mendapat banyak kawan?” Sampai di sini ia tiba-tiba teringat sesuatu. “Ah, benar juga! Orang ini tentu sesepuh aliran lurus bersih, sehingga ia sangat baik kepadaku tetapi tidak suka kalau aku bergaul dengan orang-orang aliran sesat. Apakah orang itu Kakek Guru Feng? Tapi orang-orang seperti Sima Da bersifat polos dan apa adanya, mengapa aku tidak boleh berteman dengan mereka?”

Terdengar suara batuk-batuk seseorang dari luar gubuk yang kemudian menyapa, “Tuan Muda Linghu!”

Linghu Chong mengenali suara itu dan segera menjawab, “Ketua Huang, silakan masuk!”

Huang Boliu melangkah masuk dan langsung berkata, “Tuan Muda, ada beberapa kawan yang menitipkan pesan untuk disampaikan kepadamu, bahwa mereka ada urusan mendadak sehingga harus segera pulang. Mereka tidak sempat berpamitan secara pribadi kepada Tuan Muda, untuk itu mohon dimaafkan.”

Linghu Chong menjawab, “Tidak masalah, tidak perlu segan.”

Benar juga, di luar suara ribut terdengar semakin sepi. Jumlah orang yang pergi sudah pasti tidak sedikit.

Huang Boliu mendadak berkata dengan terbata-bata, “Dalam hal ini kami benar-benar bertindak ceroboh … Pertama, kami semua terlalu ingin tahu; kedua, kami ingin menyenangkan hati … aih, tak disangka ia mudah tersinggung. Ia tidak ingin masalah ini diketahui banyak orang, sedangkan kami orang-orang kasar yang tidak mengerti apa-apa. Ketua Lan juga orang Miao … hal ini ….”

Ucapan Huang Boliu sama sekali tidak jelas ujung pangkalnya, membuat Linghu Chong merasa bingung dan tidak mengerti. Pemuda itu akhirnya bertanya, “Apa Ketua Huang ingin supaya aku tidak memberitahukan peristiwa di Lembah Lima Tiran ini kepada orang lain?”

Huang Boliu tertawa hambar dengan wajah bersemu merah, kemudian berkata, “Orang lain boleh menyangkal, tapi Huang Boliu mana boleh menghindar? Partai Sungai Langit telah menjamu Tuan Muda Linghu di Lembah Lima Tiran ini, bagaimanapun juga harus kuakui.”

“Huh, kau mengundang aku minum barang secawan arak, ini bukan dosa yang tak berampun. Laki-laki sejati untuk apa harus sembunyi-sembunyi?” sahut Linghu Chong.

Huang Boliu segera memasang senyum manis dan menjawab, “Tuan Muda hendaknya jangan berpikir yang tidak-tidak. Aih, si tua Huang ini sudah bodoh sejak lahir. Kalau sebelumnya aku bertanya kepada menantu perempuanku, atau cucu perempuanku, tentu aku tidak akan membuat ia tersinggung. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Aih, aku ini orang kasar, menikahi istriku ketika aku berusia tujuh belas tahun. Jika bukan karena istriku yang mati muda, tentu aku bisa mengerti jalan pikiran kaum wanita.”

Linghu Chong berpikir, “Tidak heran kalau Guru menyebut mereka sebagai kaum aliran sesat. Orang ini bicara tanpa ujung pangkal. Dia mengajak aku minum arak, lalu tiba-tiba ingin bertanya kepada menantu dan cucu perempuannya, kemudian menyalahkan istrinya yang mati muda.”

Huang Boliu melanjutkan, “Karena semua sudah terjadi, maka hanya ada satu jalan keluar: Mohon Tuan Muda Linghu mengatakan bahwa kau sudah lama kenal dengan si tua Huang ini, sudah puluhan tahun bersahabat denganku, bagaimana? Ah, salah! Katakan saja bahwa kau sudah bersahabat dengan Huang Boliu selama delapan atau sembilan tahun, dan sejak umur lima belas atau enam belas kau sudah berjudi dan minum-minum bersama si tua Huang ini.”

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Waktu itu aku baru berusia empat tahun sudah ikut main dadu dan minum arak bagus bersamamu, memangnya kau lupa? Sampai hari ini kita sudah bersahabat selama dua puluh tahun.”

Huang Boliu tertegun, tapi segera sadar kalau Linghu Chong sedang menyindirnya. Ia tertawa hambar dan berkata, “Kalau Tuan Muda berkata demikian, tentu baik adanya. Tapi … tapi dua puluh tahun silam si tua Huang ini hanyalah perampok yang suka melakukan perbuatan-perbuatan keji yang tidak pantas dibicarakan, mana bisa Tuan Muda berteman denganku? Eh … ini … ini ….”

Linghu Chong menyahut, “Ketua Huang berkata terus terang mengenai hal ini, itu berarti kau orang yang jujur dan apa adanya. Tentu aku senang berteman denganmu sejak dua puluh tahun yang lalu.”

Huang Boliu terlihat sangat gembira. Dengan suara lantang ia berkata, “Baiklah! Baiklah! Kita adalah sahabat lama yang sudah berteman dua puluh tahun.” Ia kemudian menoleh ke belakang sejenak, kemudian berbisik, “Tuan Muda hendaknya menjaga diri. Tuan Muda berhati baik. Walaupun sekarang kau sedang sakit, tentu kelak akan menemukan obatnya. Lagipula, gadis … gadis … punya banyak akal, aih ….” Usai berkata demikian ia lantas bergegas pergi meninggalkan gubuk.

Linghu Chong bertanya-tanya dalam hati, “Gadis? Gadis yang punya banyak akal? Perkataannya benar-benar tidak ada ujung pangkalnya.”

Sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda yang semakin lama semakin mejauh, sampai akhirnya hilang sama sekali. Dipandanginya jasad Ping Yizhi dengan tatapan nanar selama beberapa waktu, kemudian ia melangkah keluar. Betapa terkejut perasaannya sewaktu melihat di luar gubuk ternyata suasana sunyi senyap tanpa ada seorang pun manusia. Ia benar-benar heran karena berpikir jika mereka memang berhenti minum-minum paling tidak masih ada satu dua orang yang tersisa. Namun yang terjadi kali ini sungguh tidak masuk akal. Dalam sekejap ribuan pendekar yang tadi berkumpul di Lembah Lima Tiran ini sekarang sudah menghilang semua tanpa bekas.

“Guru! Ibu Guru!” demikian Linghu Chong berteriak-teriak namun tidak terdengar jawaban sama sekali. “Adik Kedua! Adik Keempat! Adik Kecil!” Namun lagi-lagi tetap tidak ada jawaban.

Saat itu yang terlihat hanyalah bulan sabit di angkasa. Angin pun seolah berhenti bertiup. Linghu Chong merasa di seluruh penjuru Lembah Lima Tiran yang begitu luas hanya tinggal dirinya seorang. Tampak pula poci arak, cawan, piring, topi, mantel, baju luar, ikat pinggang, dan sebagainya berserakan di atas tanah. Sepertinya orang-orang itu pergi tergesa-gesa tanpa sempat membereskan barang-barang mereka.

“Mengapa mereka pergi dengan terburu-buru? Apakah akan ada bencana besar sehingga mereka harus melarikan diri semua? Tadinya orang-orang itu terlihat gagah seperti tidak takut pada langit, tidak gentar pada bumi, tapi mengapa secara mendadak mereka menjadi penakut? Sungguh aneh! Aih, Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil juga pergi ke mana? Kalau keadaan di sini berbahaya, mengapa mereka tidak memperingatkan aku?” demikian ia bertanya-tanya sendiri.

Tiba-tiba Linghu Chong merasa sangat sedih dan kesepian. Ia merasa meskipun langit dan bumi begitu luas, namun tak seorang pun yang peduli kepadanya. Padahal baru saja ribuan orang berlomba-lomba untuk menyenangkan hatinya, namun kini mereka semua telah pergi entah ke mana. Bahkan, guru dan ibu-guru yang selama ini mengasuhnya sejak kecil juga ikut menghilang dan meninggalkannya.

Karena hatinya terasa pedih membuat berbagai hawa murni dalam tubuhnya kembali bergolak. Tubuhnya pun bergoyang-goyang kemudian terjatuh di tanah. Pemuda itu berusaha bangkit dengan mengerang beberapa kali, namun sama sekali tak berdaya. Dipejamkannya mata untuk menenangkan diri. Setelah beristirahat beberapa saat, ia mencoba sekali lagi untuk bangkit namun kali ini tenaga yang ia kerahkan terlalu besar membuat pandangannya gelap, telinga berdengung, dan akhirnya kehilangan kesadaran.

Entah berapa lama waktu terlewati, dalam keadaan setengah sadar ia mendengar suara alunan kecapi yang begitu lembut. Berangsur-angsur pikirannya bertambah terang dan suara kecapi yang anggun terdengar semakin jelas, membuat perasaannya yang bergolak menjadi tenang. Ternyata lagu yang ia dengar adalah Lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin yang pernah dimainkan si nenek di tepi Kota Luoyang. Linghu Chong seperti seseorang yang hanyut di tengah lautan luas tak bertepi dan tiba-tiba melihat sebuah pulau. Semangatnya timbul dan ia berusaha bangkit.

Suara kecapi tersebut sepertinya berasal dari dalam gubuk. Maka, ia pun melangkah setapak demi setapak menghampirinya. Namun pintu gubuk tampak tertutup. Setelah berjalan enam atau tujuh langkah, ia pun berhenti dan berpikir, “Suara lagu ini sebagai pertanda bahwa Nenek dari Hutan Bambu Hijau di Kota Luoyang telah tiba. Di Luoyang sana ia enggan memperlihatkan wajahnya kepadaku. Untuk itu, aku tidak boleh sembarangan masuk ke dalam gubuk tanpa izin darinya.” Maka, ia pun memberi hormat sambil berkata, “Linghu Chong menghadap Sesepuh.”

Suara kecapi berdenting beberapa kali seolah menjawab perkataan Linghu Chong, kemudian mengalun kembali. Linghu Chong merasa bahwa alunan suara kecapi tersebut membawa ketentraman dan membuat perasaannya begitu nyaman, sukar dilukiskan. Begitu menyadari kalau di dunia ini masih ada seorang yang memperhatikan dan menyayangi dirinya, rasa syukur pun langsung memenuhi lubuk hatinya.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar terdengar suara seseorang berkata, “Ada suara kecapi! Ada penjahat aliran sesat yang masih tinggal di sini!”

Terdengar pula suara seseorang lainnya yang sangat nyaring sedang berkata, “Tak disangka kaum iblis aliran sesat itu berani datang ke Henan sini untuk membuat onar. Apa mereka tidak memandang kepada kita?” Sampai di sini ia segera memperkeras suaranya dan membentak, “Kalian kawanan bangsat keparat dari mana yang berani main gila di atas Lembah Lima Tiran ini? Hayo, sebutkan nama kalian!” Dari suaranya yang menggetarkan segenap penjuru lembah jelas menunjukkan kalau tenaga dalam orang ini sangat hebat.

Mendengar itu diam-diam Linghu Chong membuat kesimpulan, “Pantas saja Sima Da, Huang Boliu, Zu Qianqiu, dan yang lain cepat-cepat kabur. Ternyata ada tokoh aliran lurus papan atas yang telah datang menantang mereka.” Sampai di sini ia merasa sikap para pendekar yang melarikan diri itu terlalu penakut dan bertentangan dengan sifat kesatria. Namun bila orang yang datang ini bisa membuat ribuan pendekar aliran sesat melarikan diri, tentu dia bukan jago sembarangan dan pasti memiliki kesaktian luar biasa.

“Kalau mereka bertanya macam-macam kepadaku, pasti aku kesulitan menjawab. Lebih baik aku menghindar saja.” Setelah berpikir demikian, Linghu Chong pun bergegas menuju belakang gubuk. “Sepertinya mereka tidak akan menyakiti Nenek.”

Saat itu suara kecapi dari dalam gubuk sudah berhenti sama sekali. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki tiga orang sedang mendaki lembah. Setelah sampai di atas, ketiga orang itu sama-sama berseru kaget. Sepertinya mereka merasa heran karena suasana di atas lembah ternyata sunyi senyap tidak terlihat adanya seorang pun.
Orang yang bersuara lantang tadi berkata, “Ke mana perginya kawanan bangsat itu?”

Terdengar suara seseorang yang lemah lembut menanggapi, “Tentu karena mereka mendengar kedua jago Biara Shaolin hendak datang ke sini, sehingga mereka memilih lari tunggang langgang.”

“Aha, kurasa tidak demikian,” ujar seorang lagi sambil tertawa. “Besar kemungkinan kaburnya mereka adalah karena gentar mendengar nama Saudara Tan dari Perguruan Kunlun.”

Mendengar itu kedua rekannya segera ikut tertawa tebahak-bahak.

Linghu Chong berpikir, “Ternyata dua orang di antara mereka berasal dari Biara Shaolin dan yang satu lagi dari Perguruan Kunlun. Sejak zaman Dinasti Tang, Biara Shaolin selalu menjagoi dunia persilatan. Nama besar Shaolin lebih tinggi daripada Serikat Pedang Lima Gunung kami, dan ilmu silat mereka sudah pasti lebih tinggi. Apalagi Ketua Biara Shaolin yang bernama Mahabiksu Fangzheng sangat dihormati di dunia persilatan. Guru juga sering mengatakan kalau Perguruan Kunlun memiliki ilmu pedang unik yang kuat sekaligus lincah. Kalau sekarang tokoh-tokoh Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun bergabung bergandeng tangan, sudah tentu bertambah menakutkan. Bisa jadi ketiga orang ini hanyalah pasukan garis depan yang membuka jalan dan di belakang mereka masih banyak bala bantuan yang lebih kuat. Akan tetapi, mengapa Guru dan Ibu Guru juga ikut menyingkir pergi?” Setelah berpikir sejenak akhirnya ia menemukan jawaban, “Ah, aku tahu! Guru adalah ketua sebuah perguruan aliran lurus. Kalau sampai para jago Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun melihat Beliau bergaul dengan Huang Boliu dan yang lain, tentu Beliau merasa sangat malu.”

Orang bermarga Tan dari Perguruan Kunlun terdengar berkata, “Baru saja kita mendengar alunan suara kecapi di atas lembah ini. Sekarang si pemetik kecapi itu bersembunyi di mana? Saudara Xin dan Saudara Yi, aku rasa ada yang tidak beres di sini.”

Orang yang bersuara nyaring menjawab, “Benar, Saudara Tan memang sangat teliti. Mari kita coba mencari di sekitar sini dan menyeretnya keluar.”

“Kakak Xin, aku akan memeriksa di dalam gubuk itu,” kata yang satu lagi.

Ketika mendengar percakapan tersebut, Linghu Chong dapat menebak bahwa dua orang dari Biara Shaolin yang pertama bersuara lantang adalah si marga Xin dan yang lebih muda adalah si marga Yi.

Baru saja si marga Yi berjalan beberapa langkah ke arah gubuk, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang nyaring dan merdu sedang berkata, “Aku tinggal sendirian di sini. Di tengah malam tidak pantas laki-laki dan perempuan mengadakan pertemuan.”

“Eh, ternyata seorang perempuan,” kata orang bermarga Xin.

Si marga Yi lantas bertanya, “Apakah tadi kau yang memetik kecapi?”

“Benar,” jawab si nenek.

“Coba kau petik lagi beberapa kali supaya kami bisa mendengar,” kata si marga Yi.

“Kita belum pernah bertemu, mana boleh sembarangan memetik kecapi untuk kalian?” balas nenek itu.

“Hm, apa kau kira kami suka dengan permainanmu? Kau ini banyak alasan,” sahut si marga Xin. “Di dalam gubuk itu pasti ada sesuatu yang aneh. Coba kita masuk untuk memeriksanya.”

Si marga Yi berkata, “Kau bilang kau ini seorang perempuan tanpa kawan, tapi mengapa di tengah malam begini kau berada di atas Lembah Lima Tiran? Kemungkinan besar kau adalah begundal kawanan iblis sesat itu. Mari kita menggeledah ke dalam!” Usai berkata demikian ia lalu berjalan menuju ke pintu gubuk dengan langkah lebar.

Mendengar itu Linghu Chong segera keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung menghadang di depan pintu gubuk sambil membentak, “Berhenti!”

Ketiga orang itu sama sekali tidak mengira kalau dari belakang gubuk itu tiba-tiba muncul seseorang menerjang keluar. Namun karena yang menghadang mereka hanyalah seorang pemuda sendirian, maka mereka pun memandang sebelah mata.

“Anak muda, siapa kau? Mengapa kau main sembunyi-sembunyi di kegelapan?” bentak orang bermarga Xin.

“Aku bernama Linghu Chong dari Perguruan Huashan, menyampaikan salam hormat kepada para pendekar dari Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun,” sahut Linghu Chong sambil kemudian membungkuk memberi hormat kepada mereka bertiga.

“Kau dari Perguruan Huashan?” tanya si marga Xin sambil mendengus. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Linghu Chong memandang orang bermarga Xin itu yang bertubuh sedang tetapi berdada bidang seperti genderang, sehingga pantas kalau ia memiliki suara nyaring dan menggelegar. Orang itu memakai jubah berwarna merah hati, sama persis seperti yang dipakai laki-laki setengah baya di dekatnya. Tentu orang kedua adalah si marga Yi yang sama-sama berasal dari Biara Shaolin. Orang bermarga Tan dari Perguruan Kunlun pasti orang yang menyandang sebilah pedang di punggungnya, memakai jubah longgar, dengan lengan baju lebar. Dari raut mukanya terlihat kalau orang ini suka berbuat sesuka hati.

“Perguruan Huashan termasuk golongan aliran lurus. Mengapa kau berada di Lembah Lima Tiran sini?” sahut orang bermarga Yi ikut bertanya.

Linghu Chong sudah naik pitam sejak mendengar caci maki mereka bertiga terhadap Si Nenek tadi, ditambah lagi dengan logat bicara mereka yang kasar, membuat jawabannya terkesan sindiran, “Sesepuh bertiga juga berasal dari aliran lurus, tapi mengapa sekarang berada di Lembah Lima Tiran sini?”

Orang bermarga Tan dari Perguruan Kunlun tertawa dan berkata, “Jawaban yang bagus. Tapi apakah kau tahu siapa wanita yang memetik kecapi di dalam gubuk itu?”

“Beliau seorang nenek yang berusia lanjut dan berbudi luhur, tidak lagi memikirkan urusan duniawi,” jawab Linghu Chong.

“Omong kosong!” bentak si marga Yi. “Coba dengar suara perempuan itu, usianya tentu masih sangat muda. Mengapa kau bilang dia nenek tua segala?”

“Suara nenek ini memang merdu dan enak didengar, kenapa kalian heran?” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Apa kalian tahu kalau dia memiliki keponakan yang usianya lebih tua dua atau tiga puluh tahun di atas kalian?”

“Minggir, biar kami masuk untuk melihatnya sendiri!” bentak si marga Yi.

Tapi Linghu Chong merentangkan kedua tangannya untuk menghadang, dan berkata, “Nenek tadi sudah mengatakan bahwa di malam hari tidaklah pantas kaum lelaki dan wanita mengadakan pertemuan. Apalagi Beliau juga tidak kenal dengan kalian. Ada alasan apa kalian ingin melihatnya?”

Si marga Yi mengibaskan lengan bajunya menimbulkan angin yang menyapu ke arah Linghu Chong. Linghu Chong sendiri yang tidak memiliki tenaga dalam merasa tak berdaya menahannya sehingga tubuhnya tersungkur jatuh dan terguling di tanah.

Si marga Yi sama sekali tidak menyangka kalau Linghu Chong ternyata begitu lemah. Ia sempat tertegun sejenak, kemudian berkata sambil tersenyum sinis, “Apa kau benar-benar murid Huashan? Huh, sepertinya hanya omong kosong saja!” Usai berkata ia mencoba kembali melangkah menuju pintu gubuk.

Linghu Chong buru-buru merangkak bangun. Ternyata di pipinya sudah terdapat luka lecet akibat tergores batu. Ia pun berseru, “Nenek tidak ingin bertemu dengan kalian. Mengapa kalian tidak tahu aturan? Aku sendiri pernah bicara cukup lama dengan Nenek di Kota Luoyang, tapi sampai saat ini juga belum pernah melihat wajahnya.”

“Bocah ini bicara ngawur,” gerutu si marga Yi. “Lekas minggir! Apa kau ingin tersungkur lagi?”

Linghu Chong menjawab, “Biara Shaolin adalah perguruan besar dan paling dihormati di dunia persilatan. Tuan berdua tentu jago-jago dari golongan awam. Sedangkan Tuan yang itu tentu jago terkemuka dari Perguruan Kunlun. Tapi sekarang di tengah malam buta begini mengapa kalian bertiga hendak mengganggu seorang nenek yang tak bersenjata? Apakah kalian tidak takut menjadi bahan tertawaan dunia persilatan?”

“Dari mana kau dapatkan banyak omongan ngawur?” bentak orang bermarga Yi. Mendadak tangan kirinya menampar dengan telak pipi kiri Linghu Chong.

Meskipun sudah tidak mempunyai tenaga dalam, namun Linghu Chong mengetahui kalau pihak lawan akan melancarkan pukulan sehingga ia pun berusaha menghindar. Celakanya pinggang dan kaki tidak dapat digerakkan sehingga pukulan si marga Yi pun sukar dihindari. Karena mendapat tamparan keras-keras, mata Linghu Chong sampai berkunang-kunang dan kepala terasa pusing. Akhirnya ia pun jatuh terduduk di tanah.

“Adik Yi, bocah ini tidak becus ilmu silat, tak perlu buang-buang waktu dengannya,” kata si marga Xin. “Rupanya kawanan setan iblis tadi sudah kabur semua. Mari kita pergi saja!”

Tetapi si marga Yi menjawab, “Kawanan setan iblis aliran sesat dari Shandong dan Henan tiba-tiba berkumpul di Lembah Lima Tiran sini, kemudian dalam sekejap mereka sudah menghilang begitu cepat. Berkumpulnya aneh, bubarnya juga mencurigakan. Urusan ini harus kita selidiki sejelas-jelasnya. Dalam gubuk ini bisa jadi kita akan menemukan sesuatu.” Sambil berkata demikian tangannya menjulur untuk mendorong gubuk tersebut.

Saat itu Linghu Chong sudah bangkit kembali dengan tangan menghunus pedang. Ia berseru, “Tuan Yi, aku pernah berhutang budi kepada nenek di dalam gubuk ini. Kau harus menghadapi aku terlebih dulu sebelum mengganggu Beliau. Asalkan hidungku masih bernapas jangan harap kau bisa berbuat sesukamu terhadap Beliau.”

Si marga Yi bergelak tawa. Ia berkata, “Dengan apa kau berani merintangi aku? Apakah mengandalkan pedang yang kau pegang itu?”

“Ilmu silatku terlalu rendah, mana bisa menandingi jago terkemuka dari Biara Shaolin?” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, keadilan harus ditegakkan. Untuk bisa memasuki gubuk ini kau harus melangkahi mayatku terlebih dulu.”

“Adik Yi, bocah ini ternyata gagah berani dan punya sifat kesatria. Biarkan saja dia, dan mari kita pergi!” kata si marga Xin.

Tapi si marga Yi hanya tertawa dan berkata pada Linghu Chong, “Kabarnya ilmu pedang Perguruan Huashan memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan, kabarnya telah terbagi menjadi Kelompok Pedang dan Kelompok Tenaga Dalam segala. Kau sendiri dari kelompok mana? Atau mungkin dari Kelompok Kentut? Hahahaha!”

Mendengar ucapan itu, si marga Xin dan si marga Tan ikut tertawa geli.

“Huh, mentang-mentang tenagamu lebih kuat, kau suka menganiaya yang lebih lemah. Apakah sikap seperti ini yang disebut sikap kaum aliran lurus?” jawab Linghu Chong dengan suara lantang. “Apakah kau benar-benar murid Biara Shaolin? Kukira omong kosong belaka!”

Kontan saja si marga Yi menjadi sangat gusar. Tangan kanannya diangkat hendak menghantam ke arah dada Linghu Chong. Jika pukulan ini mendarat telak, tentu Linghu Chong akan mati seketika.

“Tunggu dulu!” seru si marga Xin mencegah. “Linghu Chong, apa menurutmu, orang dari aliran lurus tidak boleh bertarung dengan musuh?”

“Semua orang dari aliran lurus, setiap kali turun tangan harus dapat memberikan alasannya,” jawab Linghu Chong tegas.

“Baiklah kalau begitu,” kata si marga Yi sambil perlahan-lahan menjulurkan telapak tangannya. “Aku akan menghitung sampai tiga. Kalau kau masih tetap tidak mau menyingkir, maka tiga batang tulang rusukmu akan kupatahkan .... Satu!”

“Hanya tiga batang tulang rusuk apa artinya?” jawab Linghu Chong sambil tersenyum.

Si marga Yi pun mulai menghitung, “Dua!”

“Sobat kecil,” tukas si marga Xin. “Adik Yi selalu melaksanakan apa yang ia ucapkan. Lebih baik kau menyingkir saja.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Mulutku ini juga selalu menepati apa yang aku ucapkan. Selama Linghu Chong masih hidup takkan membiarkan kalian berlaku kurang ajar terhadap Nenek.” Usai berkata demikian ia lantas menarik napas dalam-dalam untuk menghimpun tenaga di lengan kanan. Namun dadanya langsung terasa sakit, dan mata pun berkunang-kunang.

“Tiga!” bentak orang bermarga Yi sambil kemudian melangkah maju. Dilihatnya Linghu Chong tersenyum dingin dengan punggung berandar pada pintu gubuk, sedikit pun tidak bermaksud menyingkir. Maka tanpa pikir lagi ia pun melayangkan pukulan ke arah dada pemuda itu.

Ketika angin yang ditimbulkan oleh gerakan tangan si marga Yi mengenai tubuhnya, Linghu Chong merasa tercekik. Didorong perasaan tidak nyaman, pemuda itu sekuat tenaga mengangkat pedang dengan ujung menunjuk ke arah musuh. Kejadian selanjutnya begitu cepat. Si marga Yi tidak sempat lagi menarik telapak tangannya yang terlanjur meluncur ke arah pedang Linghu Chong. Maka terdengarlah suara benturan ringan diikuti suara jeritan keras dari mulut si marga Yi, “Auuh!”

Ujung pedang Linghu Chong telah menusuk telapak tangan si marga Yi sampai tembus. Lekas-lekas jagoan dari Shaolin itu menarik kembali tangannya sehingga terlepas dari tusukan pedang si pemuda, dengan disertai suara benturan pula. Lukanya ini benar-benar sangat parah. Dengan cepat ia melompat mundur, dan mencabut pedangnya sambil berteriak, “Bocah keparat! Ternyata kau hanya berlagak bodoh. Tak tahunya ilmu silatmu sangat hebat. Aku … aku akan bertarung habis-habisan denganmu.”

Si marga Yi dan kedua rekannya sama-sama mahir dalam ilmu pedang. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Linghu Chong mengacungkan pedangnya ke depan tanpa memakai jurus apa pun, dan hanya mengandalkan posisi dan ketepatan waktu. Namun demikian, gerakan yang sederhana itu mampu menembus telapak tangan lawan dengan sendirinya, jelas ini merupakan pencapaian yang sangat tinggi dalam ilmu pedang. Meski hatinya sangat gusar, tapi sekarang si marga Yi tidak berani lagi memandang rendah terhadap Linghu Chong. Dengan pedang di tangan kiri, secepat kilat ia melancarkan tiga kali serangan, tapi semua itu hanya serangan palsu untuk menguji pihak lawan. Sampai di tengah jalan ketiga serangan itu segera ditarik kembali.

Pada malam ketika Linghu Chong membutakan mata kelima belas musuh di halaman Kuil Dewa Obat, waktu itu keadaannya masih jauh lebih baik daripada sekarang. Saat ini untuk mengangkat pedang saja hampir tidak mampu. Ia melihat si marga Yi melancarkan tiga serangan kosong, dengan ujung pedang bergetar tiada henti, jelas ini merupakan ilmu pedang kelas satu dari Biara Shaolin. Merasa tidak ingin bermusuhan dengan orang itu, Linghu Chong pun berkata, “Sungguh aku sama sekali tidak bermaksud menyinggung Sesepuh bertiga. Asalkan kalian bertiga sudi meninggalkan tempat ini, aku pun bersedia meminta maaf dengan setulus hati.”

Si marga Yi mendengus dan berkata, “Sekarang hendak minta ampun rasanya sudah terlambat.” Dengan cepat pedangnya pun menusuk ke arah tenggorokan Linghu Chong.

Linghu Chong tidak bisa menggerakkan kakinya. Menyadari serangan lawan tidak dapat dihindari, ia pun menusukkan pedangnya ke depan. Meskipun menyerang belakangan namun mengenai sasaran lebih dulu. Serangan itu tepat menusuk titik nadi penting di pergelangan tangan si marga Yi. Tak kuasa menahan sakit, si marga Yi pun membuka genggaman tangan sehingga pedangnya jatuh ke tanah.

Kala itu sang surya telah muncul di ufuk timur. Si marga Yi dapat melihat dengan jelas darah segar menetes keluar dari pergelangan tangannya sendiri. Rumput yang berwarna hijau di bawah kakinya telah berubah merah karena tersiram oleh darah. Untuk sejenak ia termangu-mangu, merasa tidak percaya bahwa di dunia ini ada ilmu pedang sehebat itu. Selang agak lama barulah ia menghela napas panjang, kemudian tanpa bicara lagi memutar tubuh dan melangkah pergi.

“Adik Yi!” teriak si marga Xin. Pada dasarnya ia memang tidak ingin bermusuhan dengan Perguruan Huashan. Melihat tusukan pedang Linghu Chong yang luar biasa itu, ia merasa ilmu pedang si pemuda sama sekali bukan tandingannya. Karena mengkhawatirkan luka sang adik seperguruan, ia pun menyusul pergi dengan langkah cepat.

Si marga Tan memandang ke arah Linghu Chong tanpa berkedip. Ia kemudian bertanya, “Apakah Saudara ini benar-benar murid Perguruan Huashan?”

Linghu Chong sendiri merasa sangat lemas dan terhuyung-huyung hendak roboh. Sekuat tenaga ia menjawab, “Ya, benar.”

Si marga Tan dapat melihat dengan jelas keadaan Linghu Chong yang parah itu. Ia pun berpikir, “Bocah ini sedang terluka parah. Walaupun ilmu pedangnya hebat, tapi kekuatannya sudah tidak lama lagi. Asalkan aku bisa bersabar sebentar saja, ia tentu akan roboh sendiri tanpa diserang. Tadi kedua sobat dari Shaolin telah dikalahkan oleh bocah ini. Jika sekarang aku dapat mengalahkan dan menangkapnya, kemudian membawanya ke Biara Shaolin untuk diserahkan kepada Kepala Biara, maka bukan saja Shaolin berhutang budi kepadaku, tapi aku juga dapat mengangkat nama Perguruan Kunlun di Daratan Tengah ini.”

Sesudah mengambil keputusan licik itu, segera ia melangkah maju dan berkata sambil tersenyum, “Anak muda, ilmu pedangmu sungguh hebat. Bagaimana kalau kita bertukar jurus memakai tangan kosong saja?”

Melihat raut muka si marga Tan, Linghu Chong dapat menebak apa maksud dan tujuannya. Diam-diam ia menyadari kelicikan tokoh dari Perguruan Kunlun ini. Perbuatannya itu bahkan lebih jahat daripada si marga Yi yang berangasan tadi. Tanpa pikir panjang ia pun mengangkat pedang untuk menusuk bahu orang itu. Namun tak disangka-sangka, baru saja pedangnya bergerak setengah jalan, lengan sudah terasa lemas, sedikit pun tidak bertenaga. Sejenak kemudian, pedang pemuda itu pun jatuh ke tanah.

Si marga Tan sangat gembira melihatnya. Segera ia memukul dada Linghu Chong sekeras-kerasnya.

“Huekk!”, seru Linghu Chong saat memuntahkan darah segar akibat serangan itu.

Jarak kedua orang itu sangat dekat. Darah segar yang disemburkan Linghu Chong tepat mengenai wajah si marga Tan, bahkan ada beberapa tetes yang masuk ke dalam mulutnya. Namun ia tidak peduli meskipun mulutnya merasakan bau anyir darah. Ia hanya khawatir Linghu Chong memungut pedang di tanah dan melancarkan serangan balasan. Maka, dengan cepat telapak tangannya pun diangkat hendak menghantam kembali. Namun mendadak kepalanya terasa pening dan mata pun berkunang-kunang. Seketika orang bermarga Tan itu roboh terguling dan jatuh pingsan.

Linghu Chong terheran-heran melihatnya. Ia tidak mengerti mengapa musuh yang sudah unggul itu tiba-tiba roboh dengan sendirinya, sedangkan ia sendiri sudah kehabisan tenaga. Sejenak kemudian pemuda itu merasa sangat beruntung. Wajah si marga Tan tampak jelas berubah menjadi hitam kebiru-biruan. Tubuhnya tiada henti-henti kejang-kejang dan menggelepar di atas tanah.

Melihat keadaan lawan yang sangat aneh dan menyeramkan itu, Linghu Chong pun berkata, “Kau salah menggunakan tenaga dalam, itu salahmu sendiri.”

Ia pun memandang sekeliling, ternyata di atas Lembah Lima Tiran itu tidak terlihat bayangan seorang pun. Yang ada hanya suara kicauan burung dari arah pepohonan, serta di tanah banyak berserakan bermacam-macam senjata dan cawan arak serta perabot lainnya.

Linghu Chong tertinggal sendiri di lembah.
Suara kecapi dari dalam gubuk.
Si marga Xin berteriak-teriak menantang.
Si marga Yi menyerang dengan gencar.


(Bersambung)