Bagian 96 - Perangkap Jembatan Gantung

Menghadapi kepungan Jia Bu.

Chongxu berkata, “Tanggal lima belas bulan depan Zuo Lengchan mengundang segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung untuk memilih ketua. Bagaimana pendapat Adik Linghu mengenai hal ini?”

Linghu Chong tertawa dan berkata, “Apa masih ada yang namanya pemilihan? Jabatan ketua sudah pasti menjadi milik Zuo Lengchan.”

Chongxu bertanya, “Apa Adik Linghu tidak ingin menentangnya?”

“Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah tunduk kepadanya,” jawab Linghu Chong. “Hanya tinggal Perguruan Henshan kami saja yang belum tunduk. Namun apabila kami menentang, bukankah ini perbuatan yang sia-sia belaka?”

Chongxu mengangguk dan menjawab, “Tidak juga. Perguruan Taishan, Huashan, dan Hengshan memang tunduk kepada kekuasaan Songshan. Namun itu hanya luarnya saja. Meskipun mulut mereka menyatakan tunduk, namun dalam hati mereka tentu menolak peleburan ini. Hanya saja, mereka belum menemukan alasan yang tepat untuk menentang.”

Fangzheng menambahkan, “Menurut pendapatku, Ketua Linghu tidak boleh berpangku tangan begitu saja. Nanti di sana, hendaknya kau menentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Saya rasa tidak semua orang menyetujui peleburan ini. Andai kata peleburan itu tetap terlaksana, maka kedudukan ketua harus ditentukan melalui pertandingan silat. Bila Ketua Linghu bersungguh-sungguh, tentu dapat mengalahkan Zuo Lengchan bertanding pedang.”

“Tapi aku … aku ….” seru Linghu Chong terperanjat bingung.

“Aku sependapat dengan Kepala Biara,” sela Pendeta Chongxu, “kami pernah bertukar pikiran mengenai sifatmu yang tidak tertarik dalam hal kedudukan ketua atau apa pun. Bila kau menjabat sebagai ketua – terus terang saja – tata tertib Perguruan Lima Gunung akan menjadi kendur, dan para anggota tentu merasa leluasa bertindak apa saja. Hal ini juga bukan sesuatu yang baik untuk dunia persilatan ….”

“Hahaha, ucapan Pendeta memang tepat,” seru Linghu Chong sambil tertawa gembira. “Bagaimana mungkin aku bisa mengemban tugas berat itu? Aku, Linghu Chong, hanya seorang pengelana yang kurang tertib hidupnya dan suka pada kebebasan.”

“Hidup kurang tertib tidak terlalu membahayakan orang lain, tapi ambisi yang besar justru banyak mencelakakan orang,” ujar Chongxu. “Bila Adik Linghu menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, pertama, tentu tidak akan menindas anggotamu sendiri. Kedua, kau pun tidak akan menggunakan kekerasan untuk menghadapi Sekte Iblis dan kaum sesat. Ketiga, kau juga tidak akan mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang kami, serta kemungkinan besar kau pun tak berminat untuk mencaplok perguruan-perguruan lain seperti Emei, Kunlun, dan Kongtong.”

Fangzheng tersenyum berkata, “Kami berdua sepakat menjalankan rencana ini. Meskipun kami mengatakan ini semua demi keselamatan dunia persilatan, namun setengahnya juga demi perguruan kami berdua.”

Chongxu menyahut, “Terus terang, kunjungan kami ke Gunung Henshan ini di samping menyampaikan selamat kepadamu juga demi menyelamatkan nyawa beribu-ribu kawan persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam.”

“Amitabha! Jika Zuo Lengchan benar-benar menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, siapa yang bisa menjamin kapan pembunuhan akan berakhir?” ujar Fangzheng.

Linghu Chong menghirup napas dalam-dalam, lalu berkata, “Jika demikian pesan Ketua berdua, sudah tentu Linghu Chong tidak berani menolaknya. Tapi Ketua berdua harap maklum bahwa saya masih terlalu hijau dalam segala hal. Menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan saja sudah keterlaluan, apalagi menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung? Mungkin saya akan banyak ditertawakan oleh para kesatria di seluruh jagad. Maka itu, saya sama sekali tidak menginginkan jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung. Namun tanggal lima belas nanti saya pasti akan hadir ke Gunung Songshan untuk mengobrak-abriknya. Bagaimanapun juga, niat Zuo Lengchan untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung harus digagalkan. Linghu Chong memang tidak mahir berbuat suatu kebaikan, tapi kalau disuruh berbuat onar dijamin beres.”

Chongxu berkata, “Kalau hanya berbuat onar saja juga kurang baik. Dalam keadaan terpaksa, kuharap kau jangan menolak untuk diangkat sebagai ketua.”

Namun Linghu Chong terus saja menggeleng-gelengkan kepala.

Chongxu melanjutkan, “Jika kau tidak berebut kedudukan ketua dengan Zuo Lengchan, akhirnya tentu dia yang akan terpilih. Jika Zuo Lengchan menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, maka hidup mati anggota akan berada di tangannya. Orang pertama yang akan dibereskan oleh Zuo Lengchan sudah pasti adalah kau sendiri.”

Linghu Chong terdiam dan menghela napas panjang, kemudian berkata, “Jika harus seperti itu, apa boleh buat?”

Chongxu terus mendesak, “Mungkin kau dapat meloloskan diri, tapi apakah semua anak buahmu akan kau tinggalkan begitu saja? Bagaimana kalau Zuo Lengchan membantai murid-murid tinggalan Biksuni Dingxian yang kau pimpin sekarang ini? Apakah kau juga akan tinggal diam?”

“Tidak bisa!” seru Linghu Chong sambil menggebrak tali jembatan di sampingnya.

Fangzheng menambahkan, “Selain itu, gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu dari Huashan rasanya juga tidak akan lolos dari akal licik Zuo Lengchan dalam waktu yang tidak lama lagi. Satu per satu dari mereka pasti akan menjadi korban keganasan Zuo Lengchan. Apakah kau juga tetap berpangku tangan?”

Hati Linghu Chong tergetar mendengarnya. Bulu tengkuknya terasa ikut merinding. Sejenak kemudian ia lantas menjawab dengan hormat kepada kedua tokoh itu, “Terima kasih atas petunjuk Ketua berdua. Saya pasti akan berusaha sekuat tenaga.”

Fangzheng berkata, “Tanggal lima belas bulan tiga nanti Saudara Chongxu dan saya tentu akan berkunjung pula ke Gunung Songshan untuk ikut mendukung Ketua Linghu.”

“Bila Ketua berdua juga hadir, sudah tentu Zuo Lengchan takkan berani berbuat sewenang-wenang,” kata Linghu Chong gembira.

Ketiganya mengakhiri perundingan dengan hati lega. Meskipun masalah yang dihadapi cukup berat, namun karena rencana sudah disusun membuat beban mereka terasa ringan. Chongxu tertawa berkata, “Marilah kita kembali saja. Seorang ketua baru dilantik langsung menghilang, tentu anak buahmu sedang kebingungan menantikan dirimu.”

Ketiganya lantas berputar balik. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Siapa di sana?”

Ternyata saat itu ia mendengar suara napas banyak orang dari arah ujung jembatan gantung. Sepertinya di dalam Loteng Kura-Kura Sakti pada Kuil Gantung sebelah kiri ada pihak lain yang bersembunyi dan mengintai mereka.

Baru saja ia selesai membentak, serentak terdengar suara berisik. Beberapa daun jendela loteng tersebut tampak didobrak orang. Sekejap kemudian terlihat belasan batang busur panah mencuat keluar terarah kepada mereka bertiga. Pada saat yang hampir sama di Loteng Ular Dewa pada Kuil Gantung sebelah kanan juga terjadi hal yang serupa. Daun jendela juga didobrak dan belasan busur panah muncul mengincar ke arah mereka.

Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong adalah tiga tokoh papan atas dunia persilatan zaman ini. Dalam keadaan biasa, meskipun puluhan anak panah diarahkan ke tubuh mereka, belum tentu mampu melukai ketiganya. Akan tetapi saat ini keadaannya berbeda. Ketiganya sedang berada di tengah jembatan gantung yang lebarnya hanya sekitar satu meter saja. Di bawah mereka adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya. Ditambah lagi, mereka bertiga tidak membawa senjata sama sekali. Menghadapi keadaan yang luar biasa secara tiba-tiba ini, mau tidak mau mereka merasa terkejut di dalam hati.

Selaku tuan rumah, Linghu Chong segera melangkah ke depan dan membentak, “Kaum celurut dari mana kalian? Mengapa tidak menampakkan diri?”

Namun pertanyaannya itu dijawab dengan suara bentakan seseorang, “Serang!”

Sebanyak tujuh atau delapan belas anak panah melesat ke arah Linghu Chong. Akan tetapi, yang melesat itu ternyata bukan panah-panah biasa, melainkan semacam semburan zat cair dari ujung busur masing-masing. Air yang menyembur itu berwarna kehitam-hitaman, serta berbau busuk dan sangat aneh, seperti bau bangkai dan juga menyerupai bau udang atau ikan busuk pula. Benar-benar memuakkan dan membuat Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu ingin muntah meskipun tenaga dalam mereka sangat tinggi.

Semburan air itu mengarah ke udara dan sejenak kemudian turun ke bawah menjadi titik-titik hujan. Saat beberapa tetes air hitam itu jatuh di atas papan kayu jembatan, dalam sekejap saja langsung membekas dan menimbulkan lubang-lubang kecil. Jelas air hitam tersebut adalah sebangsa racun yang bisa melelehkan sasaran.

Meski Fangzheng dan Chongxu berpengalaman luas, tapi air beracun sehebat itu tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Kalau menghadapi anak panah atau senjata rahasia biasa mereka mampu menghindari atau menangkisnya meski tanpa senjata, cukup dengan mengibaskan jubah saja. Namun menghadapi air beracun yang bisa menghancurkan benda-benda yang tertetes ini boleh dikata membuat mereka gentar juga. Sedikit saja kulit terciprat bisa membuat daging mereka membusuk sampai ke tulang.

Kedua tokoh sepuh itu saling pandang sejenak. Wajah masing-masing tampak berubah hebat, dengan sorot mata memancarkan rasa ngeri. Padahal biasanya kedua orang ini bisa dikatakan tidak punya rasa takut sama sekali.

Setelah air beracun itu disemburkan, dari balik jendela terdengar suara seseorang berseru lantang, “Air beracun ini hanya disemburkan ke udara. Kalau sekiranya disemprotkan ke tubuh kalian, tentu bisa dibayangkan bagaimana akibatnya?” Lalu belasan ujung senapan air tadi terlihat mulai menggeser ke bawah dan kembali diarahkan kepada Linghu Chong bertiga.

Jembatan gantung itu panjangnya belasan meter yang menghubungkan Loteng Kura-Kura Sakti di sebelah kiri dan Loteng Ular Dewa di sebelah kanan. Namun kini di dalam kedua loteng itu sama-sama terpasang senapan yang bisa menyemburkan air beracun. Bila senapan-senapan itu ditembakkan serentak, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga sulit untuk menyelamatkan diri.

Mendengar suara itu, Linghu Chong langsung mengenali siapa dia. Segera ia pun berseru, “Hm, kabarnya Ketua Dongfang mengirim hadiah kepadaku. Benar-benar hadiah yang luar biasa!”

Ternyata orang yang berbicara di Loteng Kura-Kura Sakti itu memang Jia Bu, utusan Dongfang Bubai yang berwajah kekuning-kuningan. Ia lantas bergelak tawa dan berkata, “Pintar sekali Tuan Muda Linghu ini. Dalam sekejap kau langsung dapat mengenali suaraku. Orang pintar tentu tidak mau menelan pil pahit. Sekarang aku jelas berada di atas angin dengan sedikit muslihat licik. Maka itu, bagaimana kalau Tuan Muda Linghu menyerah saja?” Ia sengaja mengakui dirinya memakai tipu muslihat licik, sehingga tidak perlu takut dikecam Linghu Chong mengenai akal busuknya itu.

Dengan mengerahkan tenaga dalam, Linghu Chong bergelak tawa pula. Suaranya menggetarkan angkasa pegunungan. Ia berkata, “Aku dan kedua sesepuh dari Perguruan Shaolin dan Wudang sedang mengobrol iseng di sini. Kukira yang hadir adalah teman baik semua sehingga tidak perlu mengadakan penjagaan segala. Tak disangka, Saudara Jia berhasil memperdaya kami. Apa hendak dikata, tidak mengaku kalah jelas tidak mungkin.”

“Baik sekali kalau begitu,” kata Jia Bu. “Ketua Dongfang sangat menghormati para sesepuh dunia persilatan, juga menghargai angkatan muda yang menonjol. Apalagi Nona Besar Ren sejak kecil tinggal bersama Ketua Dongfang dan dibesarkan bagai keponakan sendiri. Maka dengan memandang nama Nona Besar Ren, mana berani kami berlaku kasar kepada Tuan Muda Linghu?”

Linghu Chong mendengus tidak menjawab. Sementara itu Fangzheng dan Chongxu memeriksa keadaan sekitarnya untuk mencari celah meloloskan diri. Namun melihat belasan senapan air yang diacungkan ke arah mereka itu, seandainya turun tangan bersamaan juga tetap sulit membereskan semua musuh yang tidak jelas jumlahnya. Andaikan ada satu saja senapan yang sempat menyemburkan air beracunnya, jiwa ketiga orang itu tentu melayang seketika. Karena itu, mereka hanya bisa saling pandang dengan sorot mata seolah mengucapkan kalimat yang sama: “Kita tidak boleh bertindak gegabah.”

Terdengar Jia Bu berkata lagi, “Jika Tuan Muda Linghu sudah bersedia mengaku kalah, maka segala persoalan menjadi beres. Ketua Dongfang berpesan kepada kami agar mengundang Tuan Muda Linghu beserta Kepala Biara dari Shaolin dan Pendeta Ketua dari Wudang untuk berkunjung ke Tebing Kayu Hitam dan tinggal di sana barang beberapa hari. Sekarang kalian bertiga kebetulan berada di sini, bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat bersama?”

Kembali Linghu Chong mendengus dan berpikir di dunia ini mana ada urusan semudah itu? Asalkan dirinya bertiga telah melewati jembatan gantung, maka untuk membereskan Jia Bu dan Shangguan Yun boleh dikata bukan pekerjaan yang sulit.

Ternyata dugaannya benar. Segera terdengar Jia Bu menyambung, “Namun ilmu silat kalian bertiga teramat tinggi. Bila di tengah jalan kalian berubah pikiran dan tidak mau menuju ke Tebing Kayu Hitam, maka sukar bagi kami untuk menunaikan tugas. Demi tanggung jawab yang berat ini terpaksa aku harus meminjam tiga belah lengan kanan kalian.”

“Meminjam tiga belah lengan kanan?” Linghu Chong menegas.

“Benar,” jawab Jia Bu. “Silakan kalian bertiga memotong lengan kanan sendiri-sendiri. Dengan demikian kami baru merasa lega.”

“Hahahahaha! Ternyata itu keinginanmu,” seru Linghu Chong tertawa. “Dongfang Bubai rupanya takut kepada ilmu silat kami bertiga, sehingga memasang perangkap ini dan memaksa kami memotong lengan sendiri. Jika kami kehilangan lengan kanan, maka dengan sendirinya kami tidak mampu lagi bermain pedang dan dia bisa tidur nyenyak tanpa khawatir lagi.”

“Tidur nyenyak tanpa khawatir mungkin juga tidak,” kata Jia Bu. “Yang jelas Ren Woxing akan kehilangan sekutu hebat semacam Tuan Muda Linghu ini. Maka kekuatannya tentu akan menjadi jauh lebih lemah.”

“Hm, kau memang orang yang suka berterus terang,” ujar Linghu Chong.

“Aku ini seorang pengecut sejati,” jawab Jia Bu. Ia lalu melantangkan suaranya, “Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, kalian lebih suka mengorbankan sebelah lengan atau jiwa kalian melayang di sini?”

“Baiklah,” jawab Chongxu. “Dongfang Bubai ingin meminjam lengan, maka akan kami pinjamkan. Hanya saja, kami tidak membawa senjata apa-apa. Untuk memotong lengan sendiri tentu sangat sulit.” Baru saja ucapannya berakhir, tiba-tiba muncul sinar putih melesat berkilauan. Ternyata sebuah gelang baja dilemparkan dari salah satu jendela Loteng Kura-Kura Sakti. Garis tengah gelang baja itu sekitar tiga puluh senti, dengan pinggiran yang sangat tajam. Di tengah gelang terdapat satu palangan yang digunakan sebagai pegangan. Senjata semacam ini jarang dijumpai di dunia persilatan. Biasanya ada satu atau dua perguruan yang memakai gelang baja semacam ini untuk pertarungan jarak dekat, namun berjumlah sepasang, dengan istilah Gelang Qiankun.

Karena Linghu Chong berdiri paling depan, maka dengan cepat ia menangkap gelang baja tersebut. Melihat senjata itu ia meringis mengakui kelicikan Jia Bu. Pinggiran gelang baja itu sangat tajam, sekali digerakkan tentu membuat sebelah lengan tertebas buntung. Tapi kalau diputar, lantaran bentuknya bundar kecil, bagaimanapun juga tetap sukar untuk menangkis air beracun yang disemprotkan.

“Jika kalian sudah setuju, lekas kerjakan!” bentak Jia Bu dengan suara bengis, “Kalian tidak perlu mengulur-ulur waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan. Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kalian tidak lekas memotong lengan sendiri, serentak air beracun akan kami semburkan. Satu ….”

Linghu Chong berbisik kepada kedua kawannya, “Aku akan menerjang ke depan, harap Ketua berdua ikut di belakangku!”

“Jangan!” kata Chongxu.

Terdengar Jia Bu telah berseru lagi, “Dua!”

Linghu Chong mengangkat gelang baja di tangannya. Dalam hati ia berpikir, “Bagaimanapun juga Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu adalah tamuku, aku tidak boleh membuat susah mereka berdua. Pada hitungan ketiga nanti, akan segera kulemparkan kembali gelang baja ini, lalu kuterjang sambil mengibaskan lengan baju. Biar aku menghadang semua semburan air beracun itu dengan badanku, supaya kedua sesepuh bisa meloloskan diri.”

Sementara itu Jia Bu telah berseru lagi, “Semuanya bersiap, hitungan terakhir ‘tiga’!”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang perempuan dari dalam Loteng Kura-Kura Sakti, “Nanti dulu!” Menyusul kemudian sesosok bayangan hijau melayang tiba dan mendarat di jembatan gantung, tepat di depan Linghu Chong. Perempuan itu tidak lain adalah Ren Yingying.

Linghu Chong langsung berseru, “Yingying, mundurlah!”

Ren Yingying meletakkan tangan kiri di belakang tubuh dan menggoyang-goyangkannya, lalu ia berseru, “Paman Jia, nama besar Orang Agung Muka Kuning begitu cemerlang di dunia persilatan. Tapi mengapa sekarang kau melakukan perbuatan rendah seperti ini?”

“Urusan ini … Nona Besar, harap kau menyingkir dulu, jangan ikut campur!” jawab Jia Bu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ren Yingying. “Paman Dongfang menyuruhmu bersama Paman Shangguan mengantar hadiah untukku, tapi mengapa kau dapat disuap oleh Zuo Lengchan dan berbalik memusuhi Ketua Perguruan Henshan?”

“Siapa bilang aku menerima suap dari Zuo Lengchan?” Jia Bu menyangkal. “Aku mendapat perintah rahasia dari Ketua Dongfang agar menangkap Linghu Chong dan membawanya ke Tebing Kayu Hitam.”

“Omong kosong!” bentak Ren Yingying. “Lencana milik Ketua ada padaku. Ketua memerintahkan: Jia Bu telah mengadakan persekongkolan jahat dan melanggar peraturan. Hendaknya setiap anggota Sekte segera menangkap dan membunuhnya. Untuk ini ada hadiah besar yang disediakan.”

Usai berkata ia lantas mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Tampak sepotong kayu hitam yang dikenal sebagai Lencana Kayu Hitam ada dalam genggamannya.

Jia Bu menjadi gusar dan segera memberi aba-aba, “Tembak!”

“Apa kau berani?” Ren Yingying balas membentak. “Apakah Ketua Dongfang menyuruhmu membunuh aku?”

“Kau membangkang perintah Ketua ….” gerutu Jia Bu.

“Paman Shangguan, tangkap pengkhianat ini,” seru Ren Yingying menyela, “Kau akan segera naik pangkat menjadi Tetua Balai Naga Hijau.”

Shangguan Yun yang saat itu berada di Loteng Ular Dewa tercengang memikirkan perintah Ren Yingying. Ilmu silat dan pengalamannya memang lebih tinggi daripada Jia Bu, namun kedudukan Jia Bu sebagai Tetua Balai Naga Hijau jelas lebih tinggi daripada kedudukannya sebagai Tetua Balai Macan Putih. Hal ini sempat membuatnya cemburu dalam hati. Kini begitu mendengar seruan Ren Yingying, mau tidak mau hatinya tergerak namun masih diliputi keraguan. Sudah tentu ia mengetahui kalau Ren Yingying adalah putri Ren Woxing, ketua terdahulu. Meskipun biasanya Ketua Dongfang sangat menghargai gadis ini, namun akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa Ren Woxing mucul kembali di dunia persilatan dan bermaksud merebut kembali kedudukannya sebagai Ketua Sekte. Ia menduga di antara Ketua Dongfang dan Nona Ren tentu juga akan terjadi perselisihan. Tapi kalau disuruh memerintahkan anak buahnya menyemprotkan air beracun kepada Ren Yingying, hal ini pun tidak bisa dilakukan olehnya.

Terdengar Jia Bu berteriak lagi, “Lepaskan tembakan!”

Namun para prajuritnya selama ini memandang Ren Yingying bagaikan dewi kahyangan yang dipuja-puja. Apalagi gadis itu terlihat memegang Lencana Kayu Hitam, tentu saja mereka tidak berani sembarangan bertindak kepadanya.

Tiba-tiba di tengah suasana yang tegang itu, di bawah Loteng Kura-Kura Sakti terdengar suara orang berseru, “Api! Api! Kebakaran! Kebakaran” Menyusul kemudian terlihatlah sinar api menyala-nyala disertai mengepulnya asap dari bawah.

“Jia Bu, kau benar-benar kejam!” seru Ren Yingying. “Mengapa kau ingin membakar anak buahmu sendiri?”

Jia Bu membantah, “Omong kosong ….”

Ren Yingying menyela, “Hidup Ketua Dongfang, pemersatu dunia persilatan! Wahai, orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, Ketua memberikan perintah: Lekas padamkan api!” Bersamaan itu ia lantas menerjang ke depan.

Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu segera memanfaatkan kekacauan itu untuk berlari ke depan pula. Tadi sewaktu Ren Yingying mengangkat Lencana Kayu Hitam dan menyampaikan perintah memadamkan api, seketika terjadi kebingungan dan kekacauan dalam lingkungan para prajurit penembak. Dalam keadaan itu Linghu Chong bertiga melesat di atas jembatan gantung dan membobol jendela loteng lalu menerjang ke dalam.

Begitu mereka menyerbu ke dalam loteng, Linghu Chong menyambar sebuah tatakan lilin yang berujung tajam di dekat altar. Sekali ia menghentakkannya, sepotong lilin yang masih menancap di situ langsung melesat dan merobohkan seorang anak buah Jia Bu. Menyusul tatakan lilin lantas bekerja pula. Hanya sekejap saja enam sampai tujuh orang telah dibinasakan olehnya. Di sisi lain, Fangzheng dan Chongxu juga sedang melabrak musuh dengan tangan kosong. Dengan cepat mereka pun telah membereskan tujuh sampai delapan orang.

Kedatangan Jia Bu dan Shangguan Yun kali ini membawa empat puluh buah peti besar, yang masing-masing digotong oleh dua orang, sehingga jumlah semua prajuritnya ada delapan puluh orang. Kedelapan puluh orang itu semuanya adalah jago pilihan dalam Sekte Matahari dan Bulan. Meskipun bukan jago kelas satu, namun ilmu silat masing-masing dapat dikatakan cukup tangguh. Empat puluh orang di antaranya tersebar menjaga di sekeliling Loteng Kura-Kura Sakti, dan yang empat puluh lagi bertugas menembakkan senapan air yang terbagi di Loteng Kura-Kura Sakti dan Loteng Ular Dewa. Dalam sekejap saja Linghu Chong bertiga sudah membereskan kedua puluh anak buah Jia Bu. Senapan penyemprot air beracun itu tampak berantakan tersebar memenuhi lantai. Sementara itu Jia Bu bersenjatakan sepasang pena baja sedang bertempur melawan Ren Yingying yang bersenjatakan sepasang pedang, satu panjang dan satu pendek.

Ketika pertama kali bertemu dulu, Linghu Chong hanya mendengar suara Ren Yingying tanpa pernah melihat wajahnya. Ia hanya tahu betapa kaum persilatan dari golongan hitam sangat segan kepada gadis itu sehingga ia pun membayangkan Ren Yingying sebagai seorang wanita agung yang sangat kuat dan berkuasa. Begitu pula sewaktu gadis itu membunuh beberapa murid Shaolin serta bertarung melawan Biksu Fangsheng, saat itu Linghu Chong hanya menyaksikan bayangannya saja. Dengan demikian, ini adalah pertama kalinya ia menyaksikan secara langsung bagaimana Ren Yingying bertarung melawan musuh.

Terlihat olehnya bagaimana Ren Yingying bergerak dengan ringan dan sangat cepat. Tempat yang diserangnya selalu titik-titik berbahaya pada tubuh lawan. Linghu Chong sendiri sampai terbawa perasaan. Melihat gerakan gesit gadis itu ia merasa dirinya ikut mengapung bagaikan kabut.

Sebaliknya, sepasang pena yang digunakan Jia Bu juga terlihat sangat ganas. Bobot kedua pena tersebut kiranya tidak ringan, terbukti dari sambaran angin yang menderu ketika senjata itu bergerak. Ren Yingying selalu berusaha menghindarkan senjatanya beradu dengan senjata lawan dan menyerang pada saat yang tepat di titik yang mematikan pula.

Terdengar Fangzheng berteriak kepada Jia Bu, “Makhluk pendosa, kenapa kau tidak meletakkan senjata dan menyerah saja?”

Namun Jia Bu sudah tidak peduli lagi. Ia merasa hari ini adalah hari kematiannya. Maka ia pun bertarung sekuat tenaga dan secara nekat menusukkan penanya ke leher Ren Yingying. Kontan saja Linghu Chong terkejut. Khawatir Ren Yingying tidak sanggup menghindari serangan maut itu, tanpa pikir panjang ia pun menusukkan tatakan lilin di tangannya ke depan, tepat mengenai pergelangan tangan Jia Bu.

Jia Bu kesakitan. Kedua pena pun terlepas dari pegangan. Namun orang ini memang sangat tangkas. Dengan sangat cepat ia menubruk ke arah Linghu Chong sambil menghantamkan kedua telapak tangan. Namun Fangzheng lebih dulu menyela dari samping. Sekali pegang kedua tangan Jia Bu tertangkap oleh sang biksu.

Sekuat tenaga Jia Bu meronta. Namun bagaimanapun juga sukar melepaskan diri dari cengkeraman Fangzheng itu. Tanpa pikir panjang ia mengangkat sebelah kakinya, lantas menendang selangkangan Fangzheng. Serangan ini benar-benar perbuatan rendah. Fangzheng menghela napas dan terpaksa mendorongkan kedua tangannya ke depan. Jia Bu tidak mampu berdiri tegak lagi, dan tubuhnya pun terlempar ke luar menerobos pintu kemudian terjerumus ke bawah. Terdengar suara jeritan ngeri yang terus berkumandang, makin lama makin lirih sampai akhirnya lenyap di dasar jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.

“Untung kau datang menolong tepat pada waktunya,” kata Linghu Chong kepada Ren Yingying.

“Ya, untung aku tidak terlambat,” jawab Ren Yingying dengan tersenyum. Lalu ia berseru pula, “Padamkan api!”

Terdengar beberapa orang mengiakan di bawah loteng. Ternyata api yang berkobar di bawah itu sengaja dinyalakan untuk mengacaukan perhatian Jia Bu. Api tersebut bukanlah kebakaran sesungguhnya, namun hanya rumput kering yang dinyalakan dan dicampur dengan sendawa.

Ren Yingying mendekati jendela dan berseru ke arah Loteng Ular Dewa, “Paman Shangguan, Jia Bu membangkang perintah sehingga mendapatkan ganjaran yang setimpal. Kau sendiri boleh kemari bersama anak buahmu. Aku tidak akan membuatmu susah.”

“Nona Besar, ucapanmu harus dapat dipercaya,” jawab Shangguan Yun.

“Asalkan Paman Shangguan mau tunduk kepada perintahku, aku berjanji takkan membuatmu susah. Kalau sampai melanggar sumpah ini biarlah otakku membusuk dimakan ulat.” Ucapan Ren Yingying ini merupakan sumpah paling berat menurut adat Sekte Matahari dan Bulan. Shangguan Yun lega mendengarnya dan segera ia memimpin kedua puluh anak buahnya keluar dari loteng di ujung satunya.

Ketika Linghu Chong berempat turun ke bawah Loteng Kura-Kura Sakti, tampak Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan beberapa lainnya sudah menanti di situ.

“Dari mana kau tahu Jia Bu akan menyergap kami?” tanya Linghu Chong kepada Ren Yingying.

“Aku merasa heran mengapa Dongfang Bubai begitu baik hati mau mengirimkan hadiah kepadamu,” jawab Ren Yingying. “Aku berpikir di dalam peti-peti kirimannya itu mungkin tersembunyi suatu muslihat keji. Kemudian kulihat pula tingkah laku Jia Bu yang agak mencurigakan, bahkan membawa pengikutnya naik ke sini. Aku bertambah curiga dan mencoba mengikutinya bersama Tuan Lao dan yang lain. Ternyata beberapa anak buahnya yang berjaga di bawah sana melarang kami naik ke sini. Dengan demikian rahasia mereka lantas kami ketahui.”

Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan yang lain bergelak tawa, sementara Shangguan Yun tertunduk malu. Linghu Chong sendiri juga merenungi nasibnya itu. “Ini baru hari pertamaku dilantik sebagai Ketua Perguruan Henshan, namun kebodohanku sudah terbuka dengan jelas. Orang-orang dari Sekte Iblis datang dengan maksud tidak baik, tapi aku tidak menaruh curiga sama sekali. Dengan licik mereka bisa mengepung kami. Kalau aku yang mati tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu yang celaka di tangan para penjahat itu? Aih, aku tidak bisa membayangkannya,” ujarnya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Terdengar Ren Yingying berkata, “Paman Shangguan, selanjutnya kau ikut denganku atau kembali pada Dongfang Bubai?”

Raut muka Shangguan Yun berubah hebat. Tentu saja ia merasa sulit kalau disuruh mengkhianati Dongfang Bubai.

Dengan suara lantang Ren Yingying melanjutkan, “Di antara Sepuluh Tetua Sekte Matahari dan Bulan kita, sudah ada enam di antaranya yang menelan Tiga Pil Penghancur Otak dari ayahku. Apa kau mau menelan pil ini atau tidak?” Usai berkata ia lantas menjulurkan tangannya. Tampak sebiji pil berwarna merah berputar-putar di tengah telapak tangan gadis itu.

“Apakah benar, enam di antara ke… kesepuluh tetua kita sudah … sudah ….”

“Benar,” sahut Ren Yingying. “Sejak masuk Sekte kau langsung mengabdi pada Dongfang Bubai, dan tidak pernah bekerja kepada ayahku, maka ayahku pun tidak akan menganggapmu sebagai pengkhianat. Tapi asalkan kau mau meninggalkan yang salah dan memilih yang benar, sudah tentu aku akan menghargai dirimu dan ayahku juga pasti akan memperlakukanmu dengan baik.”

Shangguan Yun berpikir kalau tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang. Keadaannya sangat terdesak, mau tidak mau ia mengambil pil merah itu dari tangan Ren Yingying dan langsung menelannya. “Shangguan Yun berterima kasih atas budi baik Nona Besar yang mengampuni selembar nyawa hamba ini. Untuk selanjutnya Shangguan Yun akan berada di bawah perintah Nona Besar,” ujarnya sambil memberi hormat.

“Untuk selanjutnya kita adalah kalangan sendiri, tidak perlu banyak adat,” kata Ren Yingying. “Para pengikutmu ini dengan sendirinya mengikuti jejakmu, bukan?”

Shangguan Yun menoleh ke arah para pengikutnya yang berjumlah dua puluh orang itu. Melihat sang pemimpin sudah menyerah, tanpa diperintah lagi mereka lantas menyembah kepada Ren Yingying dan berseru, “Kami semua tunduk di bawah perintah Gadis Suci!”

Sementara itu, Lao Touzi dan kawan-kawan yang lain sudah memadamkan api. Melihat Ren Yingying telah menaklukkan Shangguan Yun mereka ikut bersyukur dan menyampaikan selamat. Maklum saja, ilmu silat Shangguan Yun termasuk tinggi dalam Sekte Matahari dan Bulan, serta kedudukannya juga sangat penting. Dengan demikian, peluang keberhasilan Ren Woxing untuk merebut kembali kedudukan ketua tentu akan semakin besar.

Melihat urusan sudah beres, Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu lantas mohon pamit. Linghu Chong mengantar keberangkatan kedua tokoh itu hingga jauh barulah ia mengucapkan selamat jalan.

Linghu Chong kemudian berjalan berdampingan dengan Ren Yingying kembali ke Puncak Jianxing. Terdengar Ren Yingying berkata, “Kakak Chong, kau sendiri sudah menyaksikan betapa keji dan licik Dongfang Bubai itu. Saat ini Ayah dan Paman Xiang sedang menemui dan membujuk kenalan-kenalan lama yang punya kedudukan penting di dalam sekte kami agar mau mendukung Ayah menjadi pemimpin lagi. Bila mereka mau menerima dengan baik ajakan Ayah tentu tidak menjadi soal. Tapi kalau ada yang menentang, maka satu per satu lantas dibereskan sekalian untuk mengurangi kekuatan Dongfang Bubai. Sementara ini Dongfang Bubai juga telah mengadakan serangan balasan, seperti kejadian ini. Dia mengirim Jia Bu dan Shangguan Yun untuk menjebakmu. Ini benar-benar suatu langkah yang sangat lihai. Masalahnya, Ayah dan Paman Xiang sukar dicari jejaknya sehingga Dongfang Bubai tidak mampu menemukan mereka. Sebaliknya, kalau kau sampai celaka, aku … aku ….” sampai di sini wajahnya menjadi merah, dan segera ia berpaling.

Angin malam berhembus sepoi-sepoi, meniup rambut Ren Yingying yang halus itu ke atas sehingga tampak lehernya yang jenjang dan putih bersih. Hati Linghu Chong tergetar melihatnya. Ia berpikir, “Bagaimana cintanya padaku, sudah diketahui banyak orang. Bahkan, Dongfang Bubai sampai ingin menangkapku sebagai sandera untuk memaksa ia menyerah, dan juga untuk memaksa ayahnya. Ketika di jembatan gantung tadi, sudah jelas ia mengetahui betapa berbahaya air beracun musuh, namun ia rela menghadang di depanku. Punya istri begini setia, apa lagi yang kuinginkan?” Tanpa terasa lengannya menjulur dan bermaksud memeluk pinggang si nona.

Ren Yingying tertawa kecil, lalu sedikit berkelit, sehingga lengan Linghu Chong hanya memeluk udara kosong. Kalau bertarung dengan pedang memang Linghu Chong seorang pendekar tanpa tanding. Namun kalau menggunakan tangan kosong seperti gerakan memeluk tadi, kemampuannya sangat kurang.

“Apa seperti ini kelakuan seorang ketua perguruan yang terhormat?” kata Ren Yingying dengan tertawa.

Linghu Chong menjawab sambil meringis, “Biar saja. Di seluruh dunia persilatan ini memang hanya Ketua Perguruan Henshan saja yang paling istimewa, maksudku, paling banyak menjadi bahan tertawaan orang.”

“Mengapa kau berkata demikian?” ujar Ren Yingying sungguh-sungguh. “Bahkan para ketua dari Perguruan Shaolin dan Wudang juga sangat menghargai dirimu. Siapa lagi yang berani memandangmu rendah? Biarpun gurumu telah mengusirmu dari Huashan, tapi kau jangan selalu memikirkan soal ini dan merasa rendah diri.”

Kata-kata ini benar-benar menyentuh perasaan Linghu Chong. Memang selama ini hatinya dirundung duka karena pemecatannya dari Perguruan Huashan. Tanpa menjawab, ia hanya menghela napas dan menunduk.

“Kakak Chong,” kata Ren Yingying sambil memegang tangan Linghu Chong, “sebagai Ketua Perguruan Henshan, kau telah menonjol di antara para kesatria sejagad. Henshan dan Huashan berada pada tingkatan yang sama. Apakah sebagai Ketua Perguruan Henshan kau merasa tidak lebih terhormat daripada seorang murid Huashan?”

“Terima kasih banyak atas dukunganmu,” jawab Linghu Chong. “Aku hanya merasa kedudukanku sebagai pemimpin kawanan biksuni ini agak lucu dan serbarumit.”

Ren Yingying berkata, “Tapi hari ini sudah ada ribuan kesatria yang bersedia menjadi anggota Perguruan Henshan. Di dalam Serikat Pedang lima Gunung boleh dikata hanya Perguruan Songshan saja yang bisa menandingimu. Selain itu mana mungkin Perguruan Huashan, Taishan, dan Hengshan dapat menyamai kedudukanmu?”

“Dalam urusan ini aku juga harus berterima kasih kepadamu,” kata Linghu Chong.

“Terima kasih apa?” kata Ren Yingying tertawa.

“Kau khawatir namaku akan jatuh karena seorang laki-laki menjadi pemimpin kaum biksuni. Maka, kau sengaja mengirim anak buahmu sebanyak itu untuk bergabung dengan Perguruan Henshan. Kalau bukan perintah seorang Gadis Suci mana mungkin kawanan berandal sebanyak itu sudi datang kepadaku untuk menerima perintah begitu saja?” ujar Linghu Chong.

“Juga belum tentu benar seluruhnya,” sahut Ren Yingying sambil mencibir. “Tatkala kau menyerbu Biara Shaolin bukankah mereka pun tunduk semua di bawah perintahmu?”

Sambil berbicara, tanpa terasa mereka hampir sampai di biara induk. Sayup-sayup terdengar suara berisik banyak orang. Ren Yingying lantas berhenti dan berkata, “Kakak Chong, sementara ini kita berpisah dulu. Bila urusan penting Ayah sudah beres tentu aku akan datang lagi menjengukmu.”

Terdorong oleh perasaan hangat di dadanya, Linghu Chong berkata, “Apakah kalian akan berangkat ke Tebing Kayu Hitam?”

“Benar,” jawab Ren Yingying.

“Aku ikut!” seru Linghu Chong.

Seketika bola mata Ren Yingying memancarkan sorot penuh rasa gembira. Namun perlahan-lahan ia menggeleng.

“Kau tidak ingin aku ikut ke sana?” sahut Linghu Chong menegas.

“Baru saja kau menjadi Ketua Perguruan Henshan, rasanya kurang pantas jika sekarang ikut campur urusan rumah tangga Sekte Matahari dan Bulan kami,” kata Ren Yingying.

“Tapi menghadapi Dongfang Bubai adalah pekerjaan yang sangat berbahaya. Mana mungkin aku harus tinggal diam membiarkanmu menghadapi bahaya?” ujar Linghu Chong.

“Tapi di sini tinggal kawanan berandalan sebanyak itu. Siapa yang berani mengatasi mereka jika ada yang mengganggu nona-nona jelita Perguruan Henshan kalian?” balas Ren Yingying.

“Asalkan kau memberi perintah tegas, bagaimanapun juga mereka pasti tak akan berani main gila,” kata Linghu Chong

“Baiklah, karena kesediaanmu ikut menyerang Tebing Kayu Hitam, atas nama Ayah kusampaikan terima kasih,” ujar Ren Yingying.

“Untuk apa saling berterima kasih? Seperti orang lain saja?” balas Linghu Chong.

“Baiklah, kalau lain kali aku tidak tahu terima kasih janganlah kau salahkan aku,” sahut Ren Yingying dengan tertawa. Setelah beberapa langkah ia kembali berkata, “Tapi jika kau tidak masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan, Ayah tidak sudi menerima bantuanmu. Tapi … tapi .…”

“Meskipun aku tidak masuk menjadi anggota Sekte, tapi aku ingin sehidup semati denganmu,” jawab Linghu Chong. “Jika ayahmu menyuruhku pergi, aku akan bersikeras dan menolak.’

Ren Yingying tersenyum menjawab, “Ayah pasti sangat senang mendapat bantuanmu.”

Setelah kedua orang itu kembali di Puncak Jianxing, mereka lantas memberi perintah kepada anak buah masing-masing. Linghu Chong menyuruh murid-murid Perguruan Henshan agar giat berlatih, sementara Ren Yingying memberi perintah kepada Lao Touzi dan kawan-kawan agar menjaga tingkah laku masing-masing. Mereka dilarang keras naik ke Puncak Jianxing tanpa dipanggil. Barangsiapa yang melanggar akan dihukum potong kaki. Jika kaki kiri yang melangkah duluan, maka kaki kiri itu yang dipotong. Jika kaki kanan yang melangkah dulu, maka kaki kanan pula yang akan dipotong.

Esok paginya Linghu Chong, Ren Yingying, serta Shangguan Yun dan kedua puluh anak buahnya yang tersisa berangkat menuju Tebing Kayu Hitam, tempat di mana markas besar Sekte Matahari dan Bulan berada.

Ren Yingying memperlihatkan Lencana Kayu Hitam.
Ren Yingying menghadapi Jia Bu.
Menumpas anak buah Jia Bu.
Shangguan Yun menyerah kalah.

(Bersambung)