Bagian 58 - Bertemu Kawan Senasib

Linghu Chong berpamitan kepada Fangzheng dan Fangsheng.

Didorong perasaan sedih bercampur malu membuat Linghu Chong memiliki niat ingin membenturkan kepala pada dinding sampai mati. Dengan pandangan mata yang basah dan kabur, samar-samar ia melihat wajah Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng juga terlihat kasihan kepadanya. Seketika ia teringat bagaimana Liu Zhengfeng bermaksud mengundurkan diri dari dunia persilatan melalui upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Namun karena terbongkar persahabatannya dengan Qu Yang, seorang tetua dari Sekte Iblis, akhirnya ia pun kehilangan nyawa di tangan Perguruan Songshan. Jelas bahwa aliran lurus dan sesat tidak dapat hidup berdampingan. Seorang yang berkuasa dan memiliki ilmu silat tinggi semacam Liu Zhengfeng saja tidak dapat menghindari maut, apalagi dirinya yang sebatang kara tanpa sandaran, serta terluka parah dan sekarat? Ditambah lagi pertemuannya dengan para pendekar golongan hitam di Lembah Lima Tiran, jelas membuat masalah bertambah runyam.

Fangzheng berkata perlahan, “Lautan derita tiada bertepi, berpalinglah kembali maka akan kau lihat pesisir pantai. Sekalipun penjahat yang tak terhitung dosanya, asalkan mau sadar dan bertekat memperbaiki diri, maka pintu Sang Buddha akan selalu terbuka baginya. Usiamu masih muda, kau hanya khilaf dan salah bergaul dengan orang-orang sesat. Mana mungkin untuk selanjutnya tiada jalan bagimu membuka lembaran baru? Hubunganmu dengan Perguruan Huashan sudah putus sama sekali. Untuk selanjutnya, dengan bergabung bersama Biara Shaolin kami, kau bisa memperbaiki semua kesalahan masa lalu dan jadilah manusia baru yang terlahir kembali. Dengan demikian semua orang persilatan juga tidak akan menyusahkanmu lagi.” Ucapannya ini disampaikan dengan tenang namun berwibawa.

Linghu Chong pun merenung, “Saat ini aku tidak punya jalan lain. Jika aku berlindung di Biara Shaolin, tentu aku dapat mempelajari ilmu tenaga dalam mahatinggi dan bisa menyelamatkan jiwaku. Selain itu di dunia persilatan mana ada yang berani mencari masalah dengan murid Mahabiksu Fangzheng?”

Akan tetapi, pada saat itu juga mendadak wataknya yang angkuh muncul. Kembali ia merenung, “Seorang laki-laki sejati harus mampu hidup mandiri di muka bumi dan pantang merendahkan diri memohon perlindungan pihak lain. Sekalipun ribuan orang persilatan ingin membunuhku, biarkan mereka membunuh saja. Guru tidak peduli padaku lagi dan memecat aku dari Huashan. Lantas, apa masalahnya bagiku jika selanjutnya aku datang dan pergi seorang diri dengan bebas?”

Berpikir demikian membuat darah di dada kembali bergolak dan mulut pun terasa haus. Ingin rasanya ia minum arak sepuas-puasnya dan tidak menghiraukan hidup atau mati lagi, juga masalah Perguruan. Bahkan, sosok Yue Lingshan yang senantiasa membayanginya sekarang terasa seperti orang asing.

Ia kemudian bangkit dan bersujud beberapa kali di hadapan kedua biksu, Fangzheng dan Fangsheng. Kedua biksu mengira pemuda itu bersedia bergabung dengan Biara Shaolin sehingga mereka pun tersenyum senang.

Linghu Chong kemudian bangkit dan berkata lantang, “Guru sudah tidak menyukai saya lagi, sehingga saya tidak punya muka lagi untuk bergabung dengan perguruan lain. Kebaikan budi Mahabiksu berdua sungguh tak terhitung besarnya, membuat saya sangat berterima kasih. Sekarang izinkan saya mohon diri.”

Fangzheng tercengang melihat sikap angkuh pemuda yang tak gentar mati itu. Sementara Fangsheng buru-buru berkata, “Pendekar Muda, persoalan ini menyangkut hidup dan matimu. Hendaknya kau pikir masak-masak dahulu. Jangan hanya menuruti perasaan pribadi.”

Namun Linghu Chong hanya tertawa. Ia memberi hormat, kemudian memutar tubuh dan keluar dari gedung tersebut. Dadanya penuh rasa penasaran karena diperlakukan tidak adil, tapi langkahnya sangat cepat dan ringan. Dengan langkah lebar ia keluar dari Biara Shaolin. Murid-murid Shaolin heran melihatnya, tapi juga tidak menghalangi kepergiannya.

Begitu keluar dari Biara, Linghu Chong menengadah ke angkasa dan tertawa panjang. Suara tawanya penuh rasa duka dan putus asa. Ia berpikir, “Setiap orang aliran lurus sekarang menganggapku sebagai musuh. Orang-orang aliran sesat juga ingin membunuhku. Kemungkinan besar hidupku tidak akan melewati hari ini. Aku ingin tahu, entah siapa yang akan mencabut nyawaku nanti?”

Dirabanya baju yang ia kenakan, ternyata sakunya kosong melompong. Pedang pun sudah tidak ada, bahkan kecapi hadiah Yingying juga hilang entah ke mana. Ia benar-benar dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa, namun juga tidak memiliki beban pikiran sedikit pun.

Sambil menuruni lereng Pegunungan Songshan, ia berpikir, “Di dunia ini begitu banyak orang, namun tidak semua anggota perguruan silat. Sejak saat ini aku adalah yatim piatu sebatang kara. Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil sudah tidak peduli lagi kepadaku. Adik Kecil menaruh curiga kepadaku telah menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Adik Lin, menggapku manusia tak tahu malu dan memandang rendah kepadaku, mana mungkin dia hanya menganggapku seperti orang asing?”

Setelah cukup jauh meninggalkan Biara Shaolin, ia merasa letih dan perut pun terasa sangat lapar. “Ke mana aku bisa menemukan makanan?” pikirnya.

Tiba-tiba terdengar suara ramai. Sebanyak tujuh atau delapan orang bersenjata tampak lari berdatangan dari arah barat. Orang-orang itu tampak berlari-lari dengan cepat dan tergesa-gesa.

“Apakah mereka hendak membunuhku? Jika begitu silakan saja supaya aku tidak perlu repot-repot mencari makanan segala. Untuk apa aku makan kenyang kalau kemudian mati? Bukankah itu pekerjaan sia-sia?” pikir Linghu Chong melihat kedatangan mereka.

Maka ia lantas berdiri bertolak pinggang di tengah jalan sambil berseru, “Ini aku, Linghu Chong, berada di sini! Yang ingin membunuhku katakan dulu siapa namamu!”

Tak disangka orang-orang itu hanya memandang sekejap kepadanya, kemudian lewat begitu saja di sebelahnya.

“Dasar orang gila!” demikian kata seorang di antaranya.

“Ya, jangan hiraukan dia! Jangan sampai kita melewatkan urusan penting kita,” kata seorang pula.

“Benar, jika keparat itu sampai kabur, bisa celaka,” sahut yang lain. Hanya sekejap saja orang-orang itu sudah menghilang di kejauhan.

Linghu Chong baru sadar kalau mereka sedang mengejar orang lain. Baru saja rombongan tadi menghilang, tiba-tiba terdengar pula dari arah barat berkumandang suara derap kaki kuda. Lima penunggang kuda tampak berpacu dan berlalu melewati Linghu Chong.

Kira-kira belasan meter jauhnya, tiba-tiba seorang penunggang kuda memutar balik. Penunggang itu ternyata seorang wanita setengah baya. Ia bertanya kepada Linghu Chong, “Numpang tanya, apakah Tuan melihat seorang kakek berjubah putih? Kakek itu bertubuh tinggi kurus dan membawa sebilah golok melengkung.”

“Tidak,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.

Wanita itu tidak bertanya lebih jauh. Ia segera berputar balik untuk menyusul kawan-kawannya.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Mungkinkah mereka sedang mengejar dan hendak menangkap kakek berjubah putih yang mereka tanyakan itu? Aku tidak ada urusan. Apa salahnya aku ikut ke sana untuk melihat keramaian.” Berpikir demikian ia pun memutar haluan dan menyusul ke arah orang-orang tadi.

Tidak seberapa lama kemudian, kembali dari belakang sebanyak belasan orang berkuda berdatangan. Orang-orang ini semuanya adalah laki-laki kekar berbaju hijau. Tiap-tiap orang bersenjatakan dua batang golok mengkilap. Rupanya orang-orang itu berasal dari satu perguruan. Ketika melihat Linghu Chong, salah seorang yang berumur setengah baya berpaling dan bertanya, “Sobat, apa kau melihat seorang kakek berjubah putih? Badannya tinggi kurus dan membawa golok melengkung?”

“Tidak, aku tidak melihat orang seperti itu,” jawab Linghu Chong.

Mendapat jawaban demikian, orang-orang itu pun memacu kuda mereka untuk melanjutkan perjalanan.

Tidak lama kemudian, Linghu Chong sampai di suatu pertigaan. Terdengar suara derap kaki kuda bergema dari arah barat daya. Tiga orang penunggang tampak datang dengan cepat. Mereka sepertinya baru berusia dua puluhan.

Sambil mengacungkan cambuknya, pemuda yang paling depan menegur Linghu Chong, “Hei, numpang tanya apakah kau lihat seorang ….”

“Seorang tua berjubah putih?” sahut Linghu Chong. “Dia berbadan tinggi kurus dan membawa senjata golok melengkung?”

Kontan saja ketiga pemuda itu tersenyum gembira. Bersama-sama mereka berkata, “Benar! Di manakah orang itu?”

Linghu Chong lantas mengangkat bahu sambil menghela napas dan menjawab, “Entah, aku tidak melihatnya.”

Pemuda pertama tadi menjadi gusar dan membentak, “Kurang ajar! Kau sengaja mempermainkan kami, hah? Jika tidak melihatnya dari mana kau tahu orang tua itu?”

“Apakah tidak melihatnya lantas tidak boleh tahu?” sahut Linghu Chong tersenyum.

Pemuda itu mengangkat cambuknya hendak melecut kepala Linghu Chong. Namun seorang kawannya mencegah, “Adik Kedua, jangan membuat onar! Mari kita lekas menyusul ke sana!”

Pemuda pertama tadi mendengus sambil melecutkan cambuknya di udara. Ia kemudian memacu kudanya ke arah tujuan semula.

Diam-diam Linghu Chong merenung, “Tampaknya orang-orang itu adalah jago-jago silat semua. Beramai-ramai mereka mengejar seorang kakek, entah apa sebabnya? Hal ini sungguh menarik. Sebaiknya aku ikut ke sana untuk melihat keramaian itu. Tapi jika mereka tahu bahwa aku ini Linghu Chong, tentu aku akan dibunuh pula.” Tapi lantas terpikir olehnya, “Saat ini baik golongan hitam maupun golongan putih sama-sama ingin membunuhku. Walaupun aku dapat bersembunyi untuk menunda ajal, tapi pada akhirnya tetap saja tak terhindar dari kematian. Apa artinya kematian tertunda sehari-dua hari? Lebih baik terserah keadaan saja. Aku ingin tahu umurku nanti akan berakhir di tangan siapa?”

Begitulah, ia segera menyusul ke arah kepulan debu yang ditimbulkan ketiga penunggang kuda tersebut. Di sepanjang jalan selalu saja muncul rombongan yang bertanya dengan hati-hati tentang orang tua berjubah putih dan membawa golok melengkung. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Mereka berdatangan untuk mengejar orang yang sama. Mereka tidak mengetahui di mana orang itu berada, namun entah mengapa mereka semua menuju ke arah yang sama? Benar-benar aneh!”

Setelah berjalan sekitar dua kilometer, ia melewati sebuah hutan cemara, dan menemukan sebuah dataran yang lapang terbentang di depan. Di situlah berkerumun banyak orang, sedikitnya ada enam atau tujuh ratus orang. Namun tanah lapang tersebut sungguh luas sehingga ratusan orang itu hanya memenuhi sebagian kecil saja di dalamnya. Sebuah jalan lurus terbentuk dan menembus ke tengah-tengah kerumunan orang-orang itu. Segera Linghu Chong melangkah memasuki jalan tersebut.

Sesudah dekat, terlihat di tengah-tengah kerumunan ratusan orang itu ada sebuah gardu kecil. Orang-orang itu hanya mengepung di sekitar gardu itu pada jarak beberapa meter dan tidak berani mendekat.

Gardu itu sebenarnya digunakan sebagai tempat istirahat kaum pelancong yang lewat di situ. Bangunannya sederhana dan agak buruk. Ketika Linghu Chong melangkah lebih dekat lagi, dilihatnya di dalam gardu itu terdapat kakek berjubah putih, seorang diri duduk menyanding sebuah meja yang terdapat poci arak di atasnya. Apakah di pinggangnya terdapat golok melengkung masih belum dapat dipastikan. Biarpun duduk tapi tingginya hampir menyamai berdirinya orang biasa. Hal itu menunjukkan perawakan si kakek pasti sangat tinggi.

Walaupun dikepung ratusan orang, tapi kakek berjubah putih itu tampak tenang-tenang saja dan tetap minum arak seenaknya. Melihat itu tumbuh rasa kagum di hati Linghu Chong. Ia banyak menjumpai kesatria-kesatria gagah namun tiada seorang pun yang segagah dan seberani kakek berjubah putih itu.

Didorong perasaan kagum, perlahan-lahan ia melangkah maju dan menyusup ke tengah kerumunan. Orang-orang itu semuanya sedang memandang si kakek jubah putih dengan mata tak berkedip sehingga kedatangan Linghu Chong tidak menjadi perhatian mereka.

Linghu Chong melihat kakek itu mempunyai jenggot abu-abu yang panjang dan terjulai di depan dada. Tangannya memegang cawan arak, matanya memandang jauh ke cakrawala, di mana bumi yang menguning bertemu kaki langit. Sedikit pun ia tidak ambil pusing terhadap ratusan orang yang sedang mengepung di sekitarnya. Di pinggangnya ternyata tergantung sebuah bungkusan, bukan sebilah golok panjang melengkung. Jelas kakek itu tidak bersenjata apa-apa.

Sudah tentu Linghu Chong tidak mengetahui siapa nama dan asal usul si kakek, juga tidak tahu mengapa dia bermusuhan dengan orang persilatan sebanyak itu. Lebih-lebih ia juga tidak tahu apakah si kakek berasal dari golongan lurus atau sesat. Seketika timbul perasaan senasib sepenanggungan yang membuatnya melangkah maju ke depan. Ia kemudian menyapa dengan rasa simpati, “Sesepuh, kau sendirian tanpa teman, tentu merasa kesepian. Biar aku menemanimu minum arak.”

Tanpa menunggu jawaban ia lantas masuk ke dalam gardu tersebut. Setelah memberi hormat ia lalu duduk di sebelah meja dekat si kakek berjubah putih itu.

Kakek itu menoleh. Sorot matanya yang tajam mengawasi Linghu Chong dari kepala sampai kaki dengan penuh curiga. Dilihatnya seorang pemuda kurus berwajah cekung yang tidak membawa senjata sama sekali. Raut mukanya pun terlihat agak pucat seperti orang sakit-sakitan. Orang tua itu merasa heran, namun hanya mendengus saja.

Linghu Chong lantas mengangkat poci arak. Lebih dulu ia mengisi cawan di depan si kakek, lalu menuang pula pada sebuah cawan yang lain.

“Mari minum!” ajaknya sambil kemudian meneguk habis isi cawan di tangannya itu sekaligus. Arak itu ternyata sangat keras. Di mulut terasa disayat-sayat dan di perut terasa terbakar seperti menelan bara api. “Hmm, arak bagus!” puji Linghu Chong senang.

“Hei, bocah bodoh!” mendadak seorang laki-laki di luar gardu membentak dengan nada kasar. “Lekas keluar dari situ. Kami hendak mengadu jiwa dengan Xiang Wentian. Jangan kau mengacau dan menghalang-halangi di situ.”

“Aku sedang minum arak bersama Sesepuh Xiang. Peduli apa dengan urusanmu?” sahut Linghu Chong sambil tertawa. Segera ia mengisi secawan lagi dan diteguknya habis. Sambil mengacungkan ibu jari ia kembali memuji, “Arak bagus!”

Tiba-tiba dari arah sebelah kiri terdengar seseorang berseru, “Hei, Bocah! Lekas enyah dari situ! Jangan kau buat nyawamu melayang sia-sia di sini! Atas perintah Ketua Dongfang kami hendak menangkap si pemberontak Xiang Wentian itu. Jika orang luar berani ikut campur tentu kami akan membuatnya mati tak terkubur.”

Sewaktu Linghu Chong memandang ke arah datangnya suara, ternyata yang berbicara adalah seorang laki-laki kurus kecil bermuka kuning keemasan dengan memakai baju hitam dan ikat pinggang warna kuning. Di sebelah laki-laki itu berdiri dua sampai tiga ratus orang, ada laki-laki dan ada perempuan. Baju mereka juga serba hitam, namun ikat pinggang mereka berbeda-beda warna. Hanya ikat pinggang si laki-laki kurus saja yang berwarna kuning.

Linghu Chong samar-samar teringat kepada Qu Yang, gembong Sekte Iblis yang dilihatnya di luar Kota Hengshan dulu. Baju yang dipakai Qu Yang juga berwarna hitam, kalau tidak salah ikat pinggangnya juga berwarna kuning. Sekarang laki-laki kurus itu menyatakan hendak menangkap pemberontak atas perintah Ketua Dongfang. Jika demikian orang itu mungkin Tetua Sekte Iblis setingkat dengan Qu Yang.

Kembali Linghu Chong menuang secawan arak dan meneguknya sampai habis dan lagi-lagi memuji, “Arak bagus!” Kemudian ia berkata kepada si kakek berjubah putih yang bernama Xiang Wentian itu, “Sesepuh Xiang, aku telah minum tiga cawan arakmu. Terima kasih banyak! Terima kasih banyak!”

Pada saat itulah mendadak dari kerumunan sebelah timur terdengar suara orang berteriak, “Bocah itu adalah murid buangan dari Perguruan Huashan. Ia bernama Linghu Chong!”

Linghu Chong mencoba memerhatikan siapa yang sedang berbicara itu, ternyata murid Perguruan Qingcheng yang bernama Hou Renxiong. Dengan jelas ia dapat melihat bahwa di sekitar Hou Renxiong ternyata terdapat pula jago-jago Serikat Pedang Lima Gunung yang tidak sedikit jumlahnya.

Seorang pendeta agama Tao membentak dengan suara lantang, “Linghu Chong, gurumu mengatakan kalau kau berkomplot dengan kaum iblis, ternyata memang benar. Kedua tangan Xiang Wentian itu berlumuran darah kaum kesatria. Untuk apa kau bersama dengannya? Jika kau tidak lekas menyingkir, maka sebentar lagi kami akan mencincangmu sampai hancur lebur.”

“Yang berbicara itu paman dari Perguruan Taishan, bukan?” tanya Linghu Chong. “Selama ini aku tidak kenal dengan Sesepuh Xiang ini. Tapi kalian berjumlah ratusan orang bersenjata lengkap mengepung satu orang. Apakah ini yang dissebut perbuatan kesatria? Sejak kapan jago-jago Serikat Pedang Lima Gunung bahu-membahu dengan orang-orang Sekte Iblis? Aliran lurus dan aliran sesat sekarang bekerja sama mengepung Sesepuh Xiang seorang, bukankah hal ini akan menjadi bahan tertawaan setiap kesatria di dunia persilatan?”

Pendeta itu menjadi gusar. Ia menjawab, “Kami tidak bersatu dengan kaum iblis untuk menangkap anggota murtad mereka. Kami hanya ingin menuntut balas untuk kawan-kawan yang terbunuh oleh bangsat keparat ini. Masing-masing mengerjakan urusannya sendiri. Satu dan yang lain tidak ada sangkut pautnya.”

“Bagus, bagus, bagus! Jika begitu, silakan bertempur satu lawan satu, dan aku akan menyaksikan keramaian ini sambil duduk dan minum arak di sini,” ujar Linghu Chong tertawa.

“Memangnya kau ini siapa?” bentak Hou Renxiong. “Teman-teman, mari kita binasakan dulu bocah ini, baru kemudian kita buat perhitungan dengan bangsat bermarga Xiang itu.”

Linghu Chong tertawa dan berkata, “Untuk membinasakan Linghu Chong seorang kenapa harus maju beramai-ramai segala? Saudara Hou, silakan kau maju sendiri, bagaimana?”

Hou Renxiong pernah mendapat tendangan dari Linghu Chong di sebuah loteng kedai arak, sehingga tantangan tersebut membuatnya gentar juga. Ia juga tidak tahu kalau tenaga dalam Linghu Chong sudah musnah, sehingga lawannya yang sekarang sebenarnya bukanlah orang yang pernah mengalahkannya dulu. Selain itu, orang-orang di sekitar Hou Renxiong juga tidak ada yang berani maju karena gentar melihat Xiang Wentian.

Laki-laki kurus dari Sekte Iblis berteriak, “Marga Xiang, urusan sudah seperti ini. Sebaiknya kau ikut saja dengan kami menghadap Ketua Dongfang dan mohon ampunan Beliau. Kau adalah salah satu pahlawan agama kita. Apa perlunya kita bertempur mati-matian sehingga ditertawai orang luar?”

Xiang Wentian tidak menjawab. Ia hanya mendengus sambil mengangkat cawan arak dan minum seteguk. Bersama dengan itu terdengarlah suara gemerencing logam berbenturan.

Linghu Chong tertegun melihat ternyata pada kedua pergelangan tangan orang tua itu masing-masing terbelenggu borgol dengan rantai besi. Kontan saja ia sangat heran dan berpikir, “Ternyata orang ini baru saja melarikan diri dari kurungan, sampai-sampai rantai di tangannya belum sempat dihilangkan.” Seketika itu rasa simpatinya menjadi lebih dalam. Ia pun berpikir, “Orang tua ini sudah tidak mampu melawan, biarlah aku membantu dia menahan musuh-musuhnya dan masa bodoh jiwaku harus melayang di sini.”

Dengan kebulatan tekat seperti itu ia segera bangkit berdiri. Sambil bertolak pinggang ia pun berseru lantang, “Kedua lengan Sesepuh Xiang ini masih terbelenggu, mana bisa dia bertempur melawan kalian? Aku sudah minum tiga cawan araknya yang enak. Apa boleh buat, aku harus membantu dia melawan musuh-musuhnya. Nah, siapa saja yang ingin mengganggu Sesepuh Xiang harus melangkahi mayat Linghu Chong terlebih dulu!”

Melihat kelakuan Linghu Chong yang angin-anginan seperti orang sinting itu membuat Xiang Wentian merasa sangat heran sekaligus tertarik. Dengan suara perlahan ia bertanya, “Bocah, kenapa kau ingin membantuku?”

“Melihat ketidakadilan di depan mata, maka kita harus mengangkat golok untuk membantu yang lemah,” jawab Linghu Chong singkat.

“Mana golokmu?” tanya Xiang Wentian.

“Aku biasa memakai pedang,” jawab Linghu Chong. “Tapi sayang, tidak ada pedang.”

“Bagaimana ilmu pedangmu?” tanya Xiang Wentian. “Kau adalah murid Perguruan Huashan. Jangan-jangan ilmu pedangmu cuma begitu-begitu saja.”

“Memang cuma begitu-begitu saja. Apalagi sekarang aku sedang luka dalam, tenaga sudah punah, makin tidak jelas lagi,” kata Linghu Chong dengan tertawa.

“Kau ini benar-benar aneh,” ujar Xiang Wentian. “Tapi baiklah, akan kucarikan sebilah pedang untukmu.”

Mendadak sesosok bayangan putih berkelebat. Ternyata Xiang Wentian sudah melesat dan tahu-tahu kini berada di tengah-tengah kerumunan para pengepungnya. Dalam sekejap bermacam-macam senjata serentak menjemput kedatangannya. Namun Xiang Wentian lebih dulu berkelit ke samping dan menubruk ke arah pendeta dari Perguruan Taishan tadi.

Si pendeta pun menusukkan pedangnya, tapi Xiang Wentian menghindar ke belakang punggungnya. Kemudian siku kiri Xiang Wentian menghantam tepat di punggung pendeta itu. Waktu tangan Xiang Wentian terangkat, pedang si pendeta sudah terbelit oleh rantainya bersamaan dengan kakinya lantas menapak di tanah. Seperti anak panah terlepas dari busurnya, orang tua itu pun melayang kembali menuju ke dalam gardu.

Gerakan Xiang Wentian sungguh ringan dan cepat luar biasa. Para jago aliran lurus berniat mengejar, namun sudah terlambat. Seorang laki-laki yang berada paling depan sempat menyusul sampai jarak sekitar tiga meter di luar gardu. Goloknya sudah siap untuk ditebaskan. Namun punggung Xiang Wentian seolah memiliki mata. Tanpa menoleh, sebelah kakinya pun mendepak ke belakang tepat mendarat di dada si penyerang. Orang itu menjerit dan terlempar ke belakang. Begitu kuat ayunan goloknya tadi sudah tidak dapat dihentikan lagi, sehingga mengenai kaki kanannya sendiri sampai putus.

Sementara itu si pendeta Tao dari Perguruan Taishan yang direbut pedangnya tadi sudah terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terkapar. Darah segar tiada henti menyembur keluar dari mulutnya.

Pada saat itulah terdengar para anggota Sekte Iblis bersorak-sorai, “Hebat sekali kepandaian Pelindung Kanan Xiang.”

Xiang Wentian tampak tersenyum. Ia merangkap kedua tangannya sebagai tanda terima kasih atas pujian anggota-anggota seagamanya itu. Suara gemerincing rantai kembali terdengar. Kemudian ia mengayun tangan, membuat pedang yang terbelit di rantainya terlempar dan menancap di atas meja.

“Ambil itu dan pakailah?” katanya kepada Linghu Chong.

Sungguh kagum perasaan Linghu Chong tak terkatakan. Dalam hati ia berkata, “Orang tua ini menerjang musuh bagaikan memasuki daerah tak berpenduduk. Ternyata dia memiliki kepandaian yang luar biasa.”

Ia tidak segera mencabut pedang yang menancap di atas meja itu, tapi berkata, “Ilmu silat Sesepuh Xiang sedemikian hebat. Sepertinya saya tidak perlu ikut campur lagi.” Ia kemudian memberi salam hormat dan berkata, “Sebaiknya aku mohon diri saja.”

Namun sebelum Xiang Wentian menjawab, tiba-tiba tiga tusukan pedang sudah menyambar ke dalam gardu. Ternyata Hou Renxiong dan kedua saudara seperguruannya menyerang bersamaan ke arah Linghu Chong. Ketiga pedang itu masing-masing mengarah ke punggung dan pinggang kiri-kanan Linghu Chong.

“Berlututlah, Linghu Chong!” bentak Hou Renxiong. Bersama itu ujung pedangnya terus mendesak maju sehingga menyentuh kulit pemuda itu.

Linghu Chong berpikir, “Meskipun hari ini aku harus bernasib buruk, tapi aku tidak sudi mati di tangan murid-murid Perguruan Qingcheng pengecut seperti kalian.” Ia sadar dirinya sudah terkepung di bawah ancaman ujung pedang lawan. Asal memutar tubuh sedikit saja maka ujung pedang yang satu akan menancap di dada dan kedua ujung pedang yang lain menusuk ke dalam perutnya. Maka itu, ia pun tertawa dan berkata, “Baiklah, berlutut juga boleh.”

Linghu Chong lantas sedikit berlutut, tapi tangan kanannya bergerak menyambar pedang yang menancap di atas meja tadi, lalu memutar tubuh dan mengayunkannya ke belakang.

Tanpa ampun ketiga murid Qingcheng itu tahu-tahu sudah terpotong masing-masing pergelangan tangan kanan mereka. Ketiga pedang mereka pun jatuh di lantai gardu dalam keadaan masih tercengkeram potongan tangan.

Wajah Hou Renxiong bertiga pucat pasi seperti mayat. Mereka tidak pernah membayangkan bisa terjadi demikian. Setelah tertegun sejenak barulah mereka melompat mundur. Seorang di antara mereka adalah murid Qingcheng yang masih sangat muda. Usianya kira-kira baru sekitar enam belas atau tujuh belas tahun. Karena begitu kesakitan dan terkejut, sampai-sampai ia menangis dan menjerit-jerit.

Linghu Chong merasa menyesal dan berkata, “Maaf, Adik Cilik! Kau yang lebih dulu bermaksud membunuhku.”

“Ilmu pedang yang bagus!” seru Xiang Wentian memuji. “Namun sayang, pedangnya kurang kuat. Tenaganya terlalu lemah!”

“Bukan hanya terlalu lemah, tapi pada hakikatnya aku memang tidak punya tenaga dalam sama sekali,” ujar Linghu Chong tertawa.

Pada saat itulah tiba-tiba Xiang Wentian membentak-bentak, menyusul terdengar suara gemerencing rantai. Ternyata dua orang laki-laki berbaju hitam telah menerjang ke dalam gardu menyerang dirinya. Kedua orang itu menggunakan senjata yang cukup berat. Yang satu bersenjatakan sepasang gada besi, sedangkan yang satu lagi bersenjatakan sepasang piringan besi. Begitu berbenturan dengar rantai terdengar suara nyaring disertai percikan kembang api.

Beberapa kali Xiang Wentian berusaha menyelinap ke belakang untuk menjerat orang yang bersenjata gada besi. Namun si gada besi mampu melindungi semua titik penting di tubuhnya dengan sangat rapat. Di lain pihak, kedua tangan Xiang Wentian sendiri masih terbelenggu oleh borgol rantai sehingga gerakannya menjadi kurang leluasa.

Mendadak terdengar pula suara bentakan ramai. Kembali dua anggota Sekte Iblis menerjang maju ke dalam gardu. Kedua orang ini sama-sama bersenjata godam segi delapan. Begitu maju mereka lantas memukul dan menghantam sembarangan ke segala arah. Dengan bertambahnya bala bantuan, si gada besi mengubah gerakan bertahan menjadi menyerang.

Xiang Wentian sendiri dengan gesit berusaha menyelinap ke sana kemari di antara kepungan empat orang lawan. Meskipun gerakannya sangat cepat, namun untuk merobohkan salah seorang musuh ternyata sangat sukar. Setiap kali rantainya diayunkan ke arah salah seorang lawan, segera tiga orang lainnya menubruk maju dengan ganas tanpa peduli hidup atau mati.

Setelah belasan jurus terlewati, laki-laki kurus kecil yang menjadi pemimpin pasukan Sekte Iblis memberi perintah, “Delapan tombak maju semua!”

Segera delapan orang laki-laki berbaju hitam bersenjata tombak menerjang maju ke arah gardu dari empat jurusan. Dengan cepat mereka melancarkan tusukan ke arah Xiang Wentian.

“Sobat cilik, lekas pergi saja!” seru Xiang Wentian kepada Linghu Chong.

Belum lenyap suaranya, mendadak kedelapan tombak itu telah menyambar sekaligus ke tubuhnya dari segala arah. Lebih celaka lagi pada saat yang sama kedua orang yang bersenjata godam segi delapan tadi juga menghantam ke arah kepalanya. Tidak hanya itu, si pemegang gada besi juga ikut menghantam bagian kaki, sedangkan si piringan besi tahu-tahu juga memukul ke arah wajahnya. Benar-benar dari segala penjuru Xiang Wentian terancam oleh senjata musuh.

Ilmu silat Xiang Wentian memang sangat tinggi, sehingga kedua belas lawannya maju sekaligus dengan mengerahkan segenap kemampuan tanpa memperlihatkan belas kasihan. Rupanya mereka sadar bahwa bertempur melawan Xiang Wentian adalah perbuatan paling berbahaya di dunia. Setiap detik mereka sadar nyawa mereka bisa melayang jika lengah sedikit saja.

Melihat pengeroyokan yang ganas dan tidak pantas itu Linghu Chong pun berteriak, “Sungguh tidak tahu malu!”

Pada saat itulah Xiang Wentian mendapat kesempatan untuk memutar tubuh dengan sangat cepat. Rantai di tangannya diayunkan seperti baling-baling sehingga senjata musuh yang terbentur langsung menerbitkan suara gemerincing nyaring.

Begitu cepat Xiang Wentian berputar laksana gasing sampai pandangan mata lawan serasa kabur. Dalam sekejap saja si pemegang piringan besi sudah terpisah dari senjatanya. Piringan besi tersebut terlempar menembus atap gardu dan melayang di udara. Selanjutnya, delapan tombak musuh pun terguncang ke pula samping karena berbenturan dengan rantai borgol Xiang Wentian.

“Perlambat serangan! Tunggu sampai dia kehabisan tenaga!” seru Tetua Sekte Iblis bertubuh kurus.

Kedelapan pemegang tombak mengiakan sambil kemudian mundur dua langkah. Mereka berdiri tegak dengan tombak siap di tangan, menunggu putaran tubuh Xiang Wentian semakin melemah. Begitu menemukan kesempatan, mereka pasti akan menyerang lagi.

Di antara para hadirin yang banyak pengalaman pasti mengetahui, walaupun ilmu silat Xiang Wentian sangat tinggi, namun bertempur dengan cara berputar cepat tanpa henti seperti itu pasti akan menghabiskan tenaga. Jika hal itu sampai terjadi, tentu pihak lawan akan dengan mudah meringkusnya.

Namun mendadak terdengar Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya merendah ke bawah dan tangan pun mengayunkan rantai dengan kencang, tepat mengenai pinggang lawan yang bersenjata godam segi delapan. Orang itu menjerit, tanpa ampun godamnya berbalik menghantam batok kepala sendiri. Seketika itu juga kepalanya pun pecah dan otak berhamburan.

Kedelapan orang bersenjata tombak tersebut ternyata sudah sangat terlatih. Tidak peduli rekan mereka yang tewas, langsung saja kedelapan orang itu menusuk ke arah Xiang Wentian dari berbagai penjuru.

Xiang Wentian sempat menangkis dua tusukan tombak dengan ayunan rantainya, namun enam lainnya laksana ular secara bersama-sama mengancam iga kirinya. Dalam keadaan seperti itu andaikan bisa menghindari tombak pertama, tetap sulit menghindari tombak kedua. Andaikan bisa menghindari tombak kedua, tetap sulit menghindari tombak ketiga, apalagi enam tombak yang ditusukkan sekaligus.

“Mati aku!” diam-diam Xiang Wentian mengeluh dalam hati.

Linghu Chong menyadari Xiang Wentian sedang menghadapi jalan buntu. Tiba-tiba di benaknya terkilas jurus keempat dari ilmu Sembilan Pedang Dugu yang disebut Cara Mengalahkan Tombak. Maka tanpa pikir panjang ia segera turun tangan. Pedang pun menyambar ke depan. Sejenak kemudian terdengar suara mendering nyaring panjang. Delapan batang tombak jatuh semua ke lantai dan menimbulkan suara gemerontang satu kali. Maka dapatlah diketahui bahwa kedelapan batang tombak itu jatuh dalam waktu yang bersamaan.

Padahal, pedang Linghu Chong hanya sekali menusuk ke pergelangan tangan delapan orang itu. Ada yang terkena duluan, ada yang terkena belakangan. Namun karena gerakannya sangat cepat dan terjadi berturut-turut, maka seolah-olah mereka terkena sabetan secara bersamaan. Dengan sendirinya kedelapan tombak di tangan mereka pun jatuh bersama-sama.

Begitu Linghu Chong mengerahkan ilmu Sembilan Pedang Dugu maka gerakannya sukar dihentikan lagi. Segera jurus kelima yang disebut Cara Mengalahkan Gada pun dilancarkannya pula. Jurus ini juga berguna untuk mematahkan senjata lain yang sejenis. Maka tanpa ampun lagi, di tengah berkelebatnya sinar pedang pemuda itu tahu-tahu sepasang gada besi dan sepasang godam segi delapan jatuh pula. Dari kedua belas jago Sekte Iblis yang menyerbu ke dalam gardu itu, seorang telah dibunuh oleh Xiang Wentian dan seorang lagi kehilangan senjata piring besinya. Sisanya yang sepuluh orang telah tertusuk semua oleh pedang Linghu Chong pada masing-masing pergelangan tangan mereka. Sambil menjerit-jerit mereka lantas berlari kembali ke barisan semula.

Serentak para pendekar dari aliran lurus lantas memuji, “Ilmu pedang bagus! Cepat sekali gerakannya! Hari ini mata kita terbuka oleh kehebatan ilmu pedang Perguruan Huashan!”

Tetua Sekte Iblis yang bertubuh kurus kembali memberikan perintah. Segera lima orang menyerbu ke dalam gardu. Mereka terdiri atas seorang wanita setengah baya bersenjata sepasang golok yang menerjang maju ke arah Linghu Chong, dan sisanya empat orang laki-laki mengeroyok Xiang Wentian.

Serangan golok wanita setengah baya itu sangat cepat sehingga Linghu Chong tidak sempat melihat keempat laki-laki yang mengeroyok Xiang Wentian dan senjata macam apa yang mereka gunakan. Yang jelas kedua golok wanita itu menyerang dengan cepat secara bergantian. Bila golok sebelah kanan dipakai untuk menyerang, maka golok sebelah kiri dipakai untuk bertahan. Jika golok sebelah kiri dipakai untuk menyerang, maka golok sebelah kanan dipakai untuk bertahan.

Ilmu golok wanita ini benar-benar jarang dijumpai di dunia persilatan. Dia dapat menjaga diri dengan rapat, serangannya juga sangat cepat dan ganas. Sebanyak empat kali serangannya yang tidak jelas berhasil membuat Linghu Chong terpaksa mundur empat langkah berturut-turut.

Pada saat itulah terdengar suara menderu seperti ada angin kencang. Di tengah kesibukannya menghadapi musuh, Linghu Chong sempat melirik ke arah Xiang Wentian. Ternyata orang tua itu sedang bertempur melawan dua orang bersenjata rantai berbandul besi dan dua orang bersenjata ruyung lemas.

Rantai berbandul besi itu jauh lebih panjang daripada rantai borgol di tangan Xiang Wentian. Beberapa kali bandul tersebut melayang di atas kepala Linghu Chong. Baru beberapa jurus saja sudah terdengar Xiang Wentian memaki, “Nenekmu!”

Seorang lawannya pun berkata, “Maaf, Pelindung Kanan Xiang!”

Ternyata saat itu satu rantai berbandul telah berbelitan dengan rantai borgol di tangan Xiang Wentian. Serentak ketiga rekannya tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Tiga macam senjata pun bersama-sama menyambar ke tubuh Xiang Wentian.

“Hei!” seru Xiang Wentian sambil mengerahkan segenap tenaga untuk menarik rantai borgolnya yang berbelitan dengan rantai bandul lawan. Betapa kuat tenaga Xiang Wentian membuat tubuh lawannya itu ikut tertarik dan melayang ke arahnya. Akibatnya, kedua ruyung lemas dan sebuah bandul rantai yang menyambar tadi justru menghantam punggung orang itu.

Pada saat itu pedang Linghu Chong juga menusuk dengan tepat pada pergelangan tangan si wanita setengah baya lawannya. Tapi yang terdengar justru suara denting yang nyaring. Linghu Chong terperanjat, tapi segera paham penyebabnya. Sepertinya wanita itu memakai pelindung pergelangan tangan yang terbuat dari baja sehingga pedang tidak mempan melukainya. Sambil berkelit secepat kilat pedang Linghu Chong menusuk ke atas tepat mengenai titik jianzhen di bahu kiri wanita itu.

Wanita itu terkejut, namun tetap mengayunkan golok di tangan kanannya dengan ganas. Ketika pedang Linghu Chong berkelebat, ganti bahu kanan wanita itu yang tertusuk. Kedua bahunya terluka tepat pada titik penting yang sama. Ia tidak sanggup lagi memegang senjata. Sekuat tenaga ia melemparkan kedua goloknya ke arah Linghu Chong. Namun sayang, kedua tangannya sudah lemas sehingga sepasang golok itu hanya terlempar dalam jarak dekat dan kemudian jatuh ke tanah.

Ramai-ramai memburu kakek berbaju putih.
Mengepung Xiang Wentian di dalam gardu.
Kaum Sekte Iblis mengeroyok Xiang Wentian.

(Bersambung)