Bagian 121 - Penculikan Besar-Besaran

Linghu Chong dan Ren Yingying mendapati Perguruan Henshan telah kosong.

Begitu totokan pada tubuhnya telah terbuka, Linghu Chong hanya perlu mengerahkan sedikit tenaga saja dan seketika tali tambang yang mengikat kedua tangannya pun putus berhamburan. Dengan cepat ia melolos pedang pendek dari balik baju sambil berkata, “Kitab pusaka ada di sini. Siapa yang ingin membaca?”

Sepasang Orang Aneh Tongbai adalah yang paling polos di antara kawanan penjahat itu. Mereka lambat berpikir dan tidak menyadari bahwa kedua tangan Linghu Chong telah terbebas dari ikatan. Maka, begitu mendengar ucapan Linghu Chong tersebut, tanpa pikir panjang mereka lantas mengulurkan tangan masing-masing untuk menerimanya dengan perasaan senang.

Tiba-tiba sinar perak berkelebat dua kali. Disusul kemudian pergelangan tangan kanan Sepasang Orang Aneh Tongbai masing-masing telah terpotong dan jatuh ke lantai. Serentak mereka berdua menjerit ngeri sambil melompat mundur.

Linghu Chong lantas mengerahkan tenaga memutuskan tali pengikat pada kakinya. Begitu tubuhnya benar-benar bebas, ia pun melompat ke depan Ren Yingying dan berkata kepada You Xun, “Begitu jurus pedang bekerja, segera bunuh semua habis-habisan! Nah, Saudara You, itulah kalimat kunci pada Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa kau masih ingin membaca kitab pusaka ini?”

Si licik You Xun menyadari hanya tinggal dirinya seorang yang masih tersisa. Dengan muka pucat pasi seperti mayat ia menjawab gugup, “Ter… terima kasih, aku ... aku tidak … tidak ingin membacanya!”

“Ah, jangan terlalu sungkan. Cukup baca sekilas saja juga boleh. Ini tidak akan menyakitkan,” ujar Linghu Chong dengan tersenyum. Sambil berkata demikian ia mengurut dan menepuk punggung serta pinggang Ren Yingying untuk melancarkan urat nadi gadis itu yang masih tertotok.

Dengan badan gemetar You Xun berkata, “Tuan Muda … Tuan Muda Linghu, Tuan ... Tuan Pendekar Linghu, kau … kau … kau ….” mendadak ia bertekuk lutut dan menyembah, “Hamba memang pantas mati. Asalkan Gadis … Gadis Suci dan Ketua Linghu memberi perintah, sekalipun menyeberangi lautan api atau terjun ke dalam air mendidih juga … juga hamba laksanakan.”

Linghu Chong berkata sambil mencibir, “Untuk mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka langkah pertama sangat menyenangkan. Mengapa kau tidak mencobanya?”

Berkali-kali You Xun menyembah dan berkata, “Gadis Suci dan Ketua Linghu sangat bijaksana, setiap kaum persilatan mengetahui hal ini. Hamba mohon ampun dan mohon izin untuk menebus dosa dengan mengabdi setulus hati. Hamba akan menyiarkan ke seluruh dunia persilatan, bahwa Gadis Suci dan Ketua Linghu adalah sepasang … sepasang ... eh, maksudku ... maksudku ....” Seketika You Xun merasa serbasalah. Ia ingat bahwa sifat Ren Yingying sangat pemalu dan suka menutup-nutupi hubungannya dengan Linghu Chong. Dengan mengucapkan istilah “sepasang” tadi, You Xun menjadi semakin ketakutan jangan-jangan Sang Gadis Suci justru semakin marah kepadanya,

Saat itu Ren Yingying telah bangkit dan melihat Sepasang Orang Aneh Tongbai masih berdiri berdampingan. Keduanya adalah sepasang laki-laki dan perempuan yang aneh. Masing-masing hanya memiliki satu mata dan satu kaki dengan dibantu tongkat tembaga sebagai penyangga sekaligus senjata. Kini Linghu Chong bahkan baru saja membuat mereka masing-masing kehilangan tangan kanan.

Meskipun darah masih mengucur dari luka keduanya, namun tidak sedikit pun rasa gentar terlihat pada wajah mereka. Sungguh sangat berbeda dengan You Xun yang sejak tadi suka berlagak, namun kini bertekuk lutut dengan wajah pucat pasi.

Ren Yingying lantas bertanya, “Apakah kalian pasangan suami-istri?”

Yang laki-laki dari Sepasang Orang Aneh Tongbai bernama Zhou Gutong, dan yang perempuan bernama Wu Baiying. Menanggapi pertanyaan itu, Zhou Gutong menjawab bengis, “Kami berdua telah jatuh ke tanganmu. Hendak membunuh atau menyiksa pelan-pelan juga terserah kalian. Untuk apa banyak bertanya segala?”

Ren Yingying sangat suka kepada sifat seperti ini. Dengan nada dingin ia pun kembali berkata, “Aku bertanya apakah kalian ini suami-istri atau bukan?”

Wu Baiying menjawab, “Kami sudah hidup bersama selama dua puluh tahun. Hubungan kami jauh lebih baik daripada orang lain yang menikah secara resmi.”

“Di antara kalian berdua hanya seorang saja yang akan kubiarkan hidup,” kata Ren Yingying. “Kalian ini masing-masing hanya memiliki satu kaki, satu tangan, dan satu .…” Teringat bahwa ayahnya juga bermata satu seketika Ren Yingying menghentikan ucapannya. Setelah diam sejenak barulah ia melanjutkan, “Kalian berdua silakan bertarung sampai mati salah satu. Yang menang boleh pergi dari sini dengan bebas.”

“Setuju!” seru Sepasang Orang Aneh Tongbai bersama-sama. Segera tongkat penyangga mereka bergerak, namun masing-masing mengayun ke batok kepala sendiri.

“Tunggu dulu!” seru Ren Yingying berteriak. Dengan pedang panjang di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri ia melompat maju dan menangkis kedua tongkat tersebut. Rupanya kedua orang ini bertekad bulat hendak bunuh diri sehingga masing-masing memukul kepala sendiri dengan sangat keras. Tangan kanan Ren Yingying berhasil menangkis tongkat Zhou Gutong, namun karena tangan kirinya lebih lemah sehingga hanya sedikit memperlambat laju tongkat Wu Baiying. Akibatnya, kepala wanita itu tetap terserempet oleh tongkatnya sampai mengucurkan darah.

“Biar aku saja yang bunuh diri,” seru Zhou Gutong kepada pasangannya. “Gadis Suci sudah menyatakan akan membebaskan salah satu dari kita. Bukankah ini yang terbaik?”

“Aku saja yang mati, biar kau yang hidup. Kenapa juga harus berebut di antara kita?” sahut Wu Baiying.

Ren Yingying mengangguk dan berkata, “Bagus sekali. Cinta kalian berdua memang teguh. Benar-benar cinta  sejati. Aku sungguh-sungguh menghargai hubungan kalian. Nah, kalian berdua kubiarkan tetap hidup. Lekas kalian balut tangan kalian yang buntung itu.”

Sungguh senang rasa hati Sepasang Orang Aneh Tongbai. Segera mereka membuang tongkat masing-masing, kemudian si pria membalut luka yang wanita, dan si wanita membalut luka si pria.

“Tapi masih ada syaratnya. Kalian harus melaksanakan ini dengan baik,” kata Ren Yingying kemudian. “Setelah turun gunung, kalian harus segera menyembah langit dan bumi, mengadakan upacara pernikahan secara resmi. Kalian sudah lama hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, bukankah ini ….” Sebenarnya ia hendak mengatakan “bukankah ini tidak pantas?” namun segera teringat bahwa dirinya juga sudah lumayan lama berkelana bersama Linghu Chong tanpa ikatan resmi. Menyadari hal itu seketika kepalanya tertunduk dan wajahnya bersemu merah.

Sepasang Orang Aneh Tongbai saling pandang sejenak, lalu keduanya memberi hormat dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Gadis Suci.”

Ren Yingying lalu menyuruh Zhou Gutong untuk menanggalkan pakaian dan menukarnya dengan pakaian perempuan yang dipakai Linghu Chong. Sementara itu, You Xun terdengar ikut bicara, “Gadis Suci berbudi luhur, Beliau tidak hanya mengampuni jiwa kalian berdua, tapi juga memberikan saran demi kebaikan hidup kalian di masa yang akan datang. Sungguh peruntungan kalian tidaklah kecil. Aku sangat mengetahui kebaikan budi Gadis Suci sehingga bersyukur menjadi bawahan Beliau. Aku akan melayani Gadis Suci seumur hidup dengan sepenuh hati.”

Ren Yingying lantas bertanya, “Atas perintah siapa kalian datang ke Gunung Henshan kali ini, dan ada muslihat apa?”

“Hamba telah tertipu oleh si anjing busuk Yue Buqun,” jawab You Xun. “Ia mengaku telah mendapatkan Lencana Kayu Hitam dari Ketua Ren. Ia mengaku mendapat titah untuk menangkap semua murid Perguruan Henshan dan membawa mereka ke Tebing Kayu Hitam.”

“Yue Buqun memegang Lencana Kayu Hitam?” sahut Ren Yingying menegas.

“Benar sekali,” jawab You Xun. “Hamba melihat dengan mata kepala sendiri dia benar-benar memegang Lencana Kayu Hitam lambang kebesaran Sekte Matahari dan Bulan. Jika tidak, mana mungkin hamba sudi melaksanakan perintahnya? Bukankah hamba selamanya selalu tunduk dan patuh terhadap Ketua Ren dan Gadis Suci belaka?”

Ren Yingying tampak termenung dan berpikir, “Bagaimana caranya Yue Buqun bisa memegang Lencana Kayu Hitam? Ah, aku lupa kalau dia telah menelan Pil Pembusuk Otak sehingga mau tidak mau harus tunduk kepada sekte kami. Mungkinkah dia datang menemui Ayah dan mendapatkan lencana tersebut?”

Usai berpikir demikian ia lantas bertanya, “Apakah Yue Buqun menjanjikan kepada kalian bahwa ia akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis apabila kalian berhasil melaksanakan perintah?”

You Xun kembali menyembah dan menjawab, “Si anjing Yue Buqun benar-benar bermulut manis. Kami termakan tipuannya.”

Ren Yingying bertanya, “Kalian tadi berkata bahwa tugas ini telah dijalankan dengan baik. Bagaimana caranya bisa terjadi demikian?”

You Xun menjawab, “Ada beberapa orang yang menaburkan racun di sumber mata air di puncak gunung, sehingga semua murid Perguruan Henshan terbius tak sadarkan diri. Bahkan, para anggota lainnya yang tinggal di Lembah Tongyuan juga ikut pingsan pula. Saat ini mereka semua telah dibawa menuju ke Tebing Kayu Hitam.”

“Apakah ada orang-orang yang terbunuh?” sahut Linghu Chong.

“Sebanyak delapan atau sembilan orang anggota yang tinggal di Lembah Tongyuan terpaksa dibunuh, karena mereka tidak mempan terhadap obat bius dan berusaha melawan,” jawab You Xun.

“Siapa mereka?” tanya Linghu Chong mendesak.

“Hamba tidak mengenal siapa mereka,” ujar You Xun. “Hanya saja ... mereka bukan sahabat baik Ketua Linghu.”

Linghu Chong manggut-manggut lega. Terdengar Ren Yingying berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini.”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil memungut pedang panjang peninggalan Biksu Xibao, sementara pedang pendek sudah sejak tadi dikembalikannya kepada Ren Yingying. “Bila kita bertemu lagi dengan perempuan galak itu, aku harus memberi pelajaran kepadanya dengan baik,” katanya sambil tertawa.

“Terima kasih banyak atas kebaikan hati Gadis Suci dan Pendekar Linghu yang mengampuni selembar nyawa hamba,” ujar You Xun senang.

“Ah, jangan terlalu sungkan,” sahut Ren Yingying. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri dan secepat kilat pedang pendeknya melesat dan menancap di dada You Xun. Manusia licik bermulut licin yang seumur hidup suka berlagak itu pun roboh dan tewas seketika.

Linghu Chong dan Ren Yingying lalu turun meninggalkan Loteng Kura-Kura Sakti tersebut. Suasana pegunungan begitu sunyi dan hanya suara kicauan burung saja yang terdengar. Ren Yingying menoleh ke arah Linghu Chong yang kini berkepala botak, membuatnya tertawa cekikikan.

Menanggapi hal itu Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Linghu Chong telah mencukur rambut dan menjadi biksu. Mulai hari ini aku sudah bertekad bulat hendak meninggalkan masyarakat ramai. Maka itu, sampai di sini saja kebersamaan kita, Nona. Marilah kita berpisah sekarang juga.”

Ren Yingying sadar pemuda itu hanya bergurau saja. Namun, karena cintanya begitu mendalam, mau tidak mau hatinya merasa khawatir. Ia pun berkata, “Kakak Chong, kau jangan bergurau seperti ini. Aku … aku ….” Padahal saat membunuh You Xun tadi sedikit pun ia tidak berkedip. Namun, mendengar ucapan Linghu Chong yang terkesan sungguh-sungguh itu tanpa terasa tubuhnya gemetar.

Linghu Chong terkesan melihatnya. Sambil menepuk dahi sendiri ia pun berkata, “Tapi karena didampingi seorang calon istri yang cantik jelita seperti ini, maka si biksu memilih kembali lagi ke dalam masyarakat ramai.”

“Huh, kukira setelah You Xun mati tidak ada lagi manusia yang bermulut licin di dunia ini,” ujar Ren Yingying sambil tertawa. “Kukira dunia persilatan akan tenang dan damai tanpa manusia bermulut licin seperti dia. Tak kusangka ... hehe.”

Linghu Chong tersenyum menjawab, “Aku bukan manusia bermulut licin. Cobalah kau sentuh kepalaku. Mulai sekarang aku pantas dijuluki si manusia berkepala licin.”

“Huh, kita bicara persoalan yang penting saja,” sahut Ren Yingying kemudian. “Murid-murid Perguruan Henshan sudah dibawa pergi ke Tebing Kayu Hitam. Kita harus segera membebaskan mereka. Ini benar-benar masalah yang rumit. Bahkan, ini bisa merusak hubungan baik antara aku dan Ayah ….”

“Benar,” ujar Linghu Chong. “Bahkan ini juga bisa merusak hubungan baik antara menantu dengan bapak mertua.”

Ren Yingying melirik pemuda itu dengan tatapan galak, namun dalam hati merasa senang sekali.

Linghu Chong melanjutkan, “Urusan ini jangan sampai terlambat. Kita harus lekas-lekas menyusul ke sana untuk menolong mereka. Kita harus menghadang di tengah jalan.”

“Benar. Kita harus membunuh semua orang suruhan Yue Buqun. Basmi mereka tanpa kecuali, agar jangan sampai Ayah tahu,” kata Ren Yingying. Sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas.

Linghu Chong dapat memahami perasaannya. Si nona bermaksud menyembunyikan urusan besar seperti ini dari telinga Ren Woxing, meskipun hal ini jelas tidak mudah. Sebaliknya, Linghu Chong sendiri menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan, maka begitu semua anggotanya ditawan orang, mana boleh ia tinggal diam tanpa menolong? Ren Yingying memang sudah bertekad hendak membela dan membantunya, meskipun harus rela melawan perintah ayah sendiri.

Mengingat urusan sudah seperti ini, maka segala sesuatu harus diputuskan dengan tegas. Linghu Chong lantas mengulurkan tangan kirinya untuk menggenggam erat-erat tangan kanan Ren Yingying. Semula gadis itu hendak meronta, tapi melihat keadaan begitu sepi tiada seorang pun yang tampak, maka ia pun diam saja membiarkan tangannya dipegang Linghu Chong.

“Yingying, aku paham perasaanmu,” kata Linghu Chong. “Urusan ini tentu akan membuat kalian, ayah dan anak berselisih paham. Sungguh aku merasa tidak enak hati.”

“Jika Ayah memikirkan diriku tentu takkan membuat susah Perguruan Henshan,” kata Ren Yingying sambil menggeleng perlahan. “Menurut dugaanku, Ayah tidak bermaksud buruk kepadamu.”

Seketika Linghu Chong dapat menangkap maksud ucapan tersebut. Ia pun berkata, “Benar juga. Sepertinya ayahmu sengaja menangkap murid-murid Henshan sebagai sandera agar aku bergabung dengan Sekte Matahari dan Bulan.”

“Tepat,” ujar Ren Yingying. “Sesungguhnya Ayah sangat suka kepadamu. Apalagi kau adalah satu-satunya ahli waris ilmu sakti Ayah.”

“Aku sendiri juga sangat menghormati ayahmu. Apalagi Beliau adalah ayah dari nenekku, sehingga terhitung kakek buyutku. Tapi aku sudah pasti tidak sudi masuk menjadi anggota sekte kalian,” jawab Linghu Chong. “Aku merasa muak dan ngeri bila mendengar sanjung puji para anggota terhadap ayahmu, semacam: ‘Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.’”

“Ya, aku tahu. Maka itu, aku pun tidak pernah membujukmu agar masuk menjadi anggota sekte kami,” kata Ren Yingying. “Bila kau masuk sekte, kelak kau pun akan diangkat menjadi ahli waris kedudukan Ayah. Setelah resmi menjadi ketua, siang-malam kau akan selalu mendengar sanjung puji para anggota yang membuatmu risih dan jijik. Namun, lama-lama kau akan terbiasa dan sifatmu pasti juga akan berubah tidak seperti ini lagi. Contohnya, sejak Ayah pulang kembali ke Tebing Kayu Hitam, pribadinya sudah berubah dengan cepat.”

“Tapi kita juga tidak boleh membuat ayahmu marah,” ujar Linghu Chong sambil menggenggam tangan Ren Yingying yang satu lagi. Ia lantas menyambung, “Yingying, setelah kita bebaskan murid-murid Perguruan Henshan, segera kita langsungkan upacara pernikahan saja. Tidak perlu kita terlalu banyak adat, misalnya memakai perantara makcomblang dan bertunangan segala. Kita berdua lantas meletakkan senjata dan mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kita hidup mengasingkan diri tanpa mencampuri urusan luar. Yang kita pikirkan hanyalah bagaimana membuat banyak anak saja.”

Semula Ren Yingying mendengarkan semua ucapan Linghu Chong dengan termangu saja. Raut mukanya tampak bersemu merah, dan hati senang tak terlukiskan. Namun, begitu mendengar kalimat terakhir, seketika ia pun terkejut dan melotot. Sekuatnya ia meronta dan melepaskan kedua tangannya dari genggaman Linghu Chong.

“Hei, setelah menjadi suami istri bukankah harus punya anak?” ujar Linghu Chong dengan tertawa.

“Jika kau sembarangan bicara lagi, maka selama tiga hari aku tidak akan bicara denganmu,” ancam Ren Yingying.

Linghu Chong hafal watak gadis itu yang selalu menepati ucapannya. Maka, ia pun menjawab sambil menjulurkan lidah, “Baiklah, urusan yang lebih penting harus kita selesaikan dulu. Mari kita pergi ke Puncak Jianxing lebih dulu untuk melihat keadaan.”

Dengan ilmu meringankan tubuh masing-masing keduanya dapat mencapai puncak utama Gunung Henshan tersebut dengan cepat. Setibanya di Biara Wuse ternyata tidak seorang pun terdapat di sana. Tempat tinggal para murid juga kosong melompong. Berbagai perabotan berserakan di sana-sini, pedang dan golok juga tercecer di mana-mana. Untungnya di tempat itu tidak terdapat noda darah sedikit pun, sepertinya tidak sampai ada jatuh korban.

Mereka berdua kemudian pergi ke Lembah Tongyuan. Di tempat itu juga tidak terdapat seorang pun. Hanya di atas meja masih tersisa bermacam-macam makanan dan arak. Seketika Linghu Chong ketagihan minum, namun sama sekali tidak berani minum sisa arak tersebut. Jelas ia teringat cerita You Xun tentang obat bius yang disebarkan para pengikut Yue Buqun.

“Perutku sudah lapar. Marilah kita turun gunung saja untuk mencari makan,” ajaknya kemudian.

Ren Yingying lantas merobek baju luar Linghu Chong dan memakaikannya sebagai pembungkus kepala kekasihnya itu. Linghu Chong tertawa dan berkata, “Memang harus begini. Jika tidak, bisa-bisa aku dituduh sebagai biksu yang menculik anak gadis orang.”

Keduanya lantas turun gunung dan menemukan kedai makan pada saat lewat tengah hari. Setelah mengisi perut sampai kenyang mereka lantas melanjutkan perjalanan dan menemukan jalur menuju Tebing Kayu Hitam. Sambil menghela napas dalam-dalam pasangan tersebut pun bergegas menyusuri jalan tersebut dengan cepat.

Beberapa jam kemudian, tiba-tiba dari balik gunung sayup-sayup terdengar suara orang membentak dan memaki. Sewaktu mereka berhenti dan mendengarkan dengan seksama, sepertinya itu adalah suara Enam Dewa Lembah Persik. Dengan cepat mereka pun melaju ke arah datangnya suara. Lambat laun suara-suara itu terdengar semakin jelas, dan memang benar suara Enam Dewa Lembah Persik.

“Keenam bayi ini sedang bertengkar dengan siapa?” kata Ren Yingying dengan suara tertahan.

Setelah berbelok di suatu tanjakan, mereka lantas bersembunyi di balik pohon. Terdengar Enam Dewa Lembah Persik masih saja membentak-bentak sambil mengepung satu orang. Rupanya mereka sedang bertempur sengit. Orang yang sedang dikeroyok itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, hanya terlihat sosok bayangannya menyelinap kian-kemari di antara keenam lawannya itu. Ketika diperhatikan dengan seksama, ternyata orang itu adalah ibu Yilin, yaitu si nenek penjaga Kuil Gantung.

Sejenak kemudian, terdengar suara Dewa Akar Persik dan Dewa Buah Persik berteriak-teriak. Rupanya pipi mereka masing-masing telah terkena tamparan si nenek.

Linghu Chong senang melihat hal ini. Ia pun berbisik kepada Ren Yingying, “Ini namanya hutang besar bayar kontan! Biar aku yang ganti mencukur gundul kepalanya.” Segera ia pun bersiap-siap. Tangannya menggenggam gagang pedang, menunggu Enam Dewa Lembah Persik kewalahan dan ia pun melompat keluar untuk membantu.

Sementara itu kembali terdengar suara tamparan berulang-ulang. Enam Dewa Lembah Persik berturut-turut terkena pukulan tangan si nenek. Keenam bersaudara itu sangat murka. Sungguh mereka bermaksud hendak memegang kaki dan tangan perempuan itu agar dapat merobek tubuhnya menjadi empat potong. Akan tetapi, gerakan si nenek memang sangat cepat laksana bayangan setan. Beberapa kali Enam Dewa Lembah Persik nyaris berhasil memegang kaki atau tangannya, namun selalu luput terpaut satu-dua senti saja. Setelah itu kembali mereka terkena tamparan lagi.

Sebaliknya, si nenek juga sadar bahwa keenam lawannya sangat kuat dan gesit pula. Ia sendiri khawatir kehabisan tenaga dan akhirnya bisa tertangkap oleh keenam bersaudara itu. Maka tidak lama kemudian, perempuan itu kembali membuka serangan. Berturut-turut ia menampar muka empat orang lawannya, kemudian melompat ke belakang dan melesat hendak melarikan diri. Langkah si nenek ini benar-benar secepat kilat. Hanya dalam sekejap saja sudah puluhan meter jauhnya. Meskipun Enam Dewa Lembah Persik membentak-bentak dan sesumbar, tetap saja sukar untuk menyusulnya.

Namun sialnya, si nenek justru berlari ke arah persembunyian Linghu Chong dan Ren Yingying. Segera saja Linghu Chong melompat keluar sambil melintangkan pedang dan membentak, “Mau lari ke mana?” Begitu sinar putih berkelebat, seketika ujung pedangnya mengacung ke leher perempuan itu.

Karena serangan ini mengarah ke tempat yang mematikan, si nenek terkejut. Ia pun menoleh untuk menghindar. Namun, Linghu Chong lantas memiringkan pedangnya ke samping mengincar bahu kanan si nenek. Dalam keadaan tidak bisa berkelit lagi, terpaksa si nenek melompat mundur.

Linghu Chong lantas maju dan kembali menusuk sehingga perempuan itu terpaksa mundur lagi selangkah. Dengan pedang di tangan, jelas si nenek bukan tandingannya. Dalam tiga kali serangan Linghu Chong kembali mendesak mundur perempuan itu beberapa langkah. Kalau dia mau, tentu dengan mudah riwayat si nenek sudah berakhir di tangannya.

Melihat itu, Enam Dewa Lembah Persik bersorak gembira. Begitu ujung pedang Linghu Chong sudah menodong di depan dada si nenek dan membuatnya tidak berani bergerak lagi, pada saat itulah Enam Dewa Lembah Persik memburu maju. Empat orang di antaranya serentak memegang kedua kaki dan kedua tangan perempuan itu dan mengangkatnya ke atas.

“Jangan membunuhnya!” teriak Linghu Chong.

Namun Dewa Bunga Persik masih penasaran. Dengan gemas ia menampar muka si nenek satu kali.

“Gantung saja dia!” seru Linghu Chong.

“Ya, benar. Tapi di mana ada tali?” seru Dewa Akar Persik.

Enam Dewa Lembah Persik tidak satu pun yang membawa tali. Di tengah hutan seperti itu juga sulit untuk mencari tali. Dewa Bunga Persik dan Dewa Dahan Persik berusaha mencari di sekitar situ. Ketika sedikit saja pegangan keempat Dewa Persik yang lainnya agak kendur, segera si nenek meronta dan melepaskan diri. Secepat kilat ia menggelinding di tanah untuk kemudian melesat pergi.

Namun, baru saja perempuan itu bermaksud lari sekuat tenaga, tiba-tiba di punggungnya terasa sudah menempel suatu benda tajam. Sekejap kemudian terdengar Linghu Chong berkata dengan tersenyum, “Berhenti! Tetap di sini!” Ternyata ujung pedangnya telah mengancam punggung si nenek.

Sama sekali si nenek tidak menyangka ilmu pedang Linghu Chong sedemikian hebatnya. Wajahnya tampak pucat dan hatinya menjadi gentar. Terpaksa ia hanya berdiri mematung, tidak berani bergerak lagi.

Segera Enam Dewa Lembah Persik memburu maju. Enam jari pun bekerja serentak, masing-masing menotok titk-titik nadi di tubuh si nenek. Sambil meraba pipi yang panas dan perih akibat tamparan tadi segera Dewa Dahan Persik bermaksud membalas.

Linghu Chong merasa tidak enak hati bila ibu Yilin sampai terluka. Segera ia pun berseru, “Jangan dulu! Biarlah kita kerek saja tubuhnya di atas pohon.”

Enam Dewa Lembah Persik sangat senang mendengarnya. Tanpa disuruh lagi mereka lantas menguliti batang pohon untuk dipintal menjadi tali. Linghu Chong lalu bertanya kepada mereka apa sebab musababnya sampai berkelahi melawan perempuan itu.

Dewa Ranting Persik menjawab, “Tadinya kami sedang berak bersama di sini. Selagi kami asyik menguras isi perut, tiba-tiba saja perempuan ini berlari ke sini dan langsung bertanya, ‘Hei, apakah kalian melihat seorang biksuni cilik?’ – Cara bicaranya kasar, juga mengganggu kami yang sedang berak ….”

Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu, Ren Yingying mengerutkan kening dan berjalan menyingkir agak jauh.

Dengan tertawa Linghu Chong lantas berkata, “Benar. Perempuan ini memang tidak kenal tatakrama pergaulan.”

“Sudah tentu kami tidak mengubrisnya dan menyuruh dia lekas pergi,” lanjut Dewa Ranting Persik. “Tapi perempuan ini lantas main pukul dan begitulah, kami pun berhantam dengannya. Sebenarnya kami bisa menang dengan mudah. Tapi, pantat kami masih kotor dan bau, membuat kami kurang leluasa dalam bertarung. Untung saja Saudara Linghu datang tepat waktu. Jika tidak, tentu dia sudah lolos.”

“Belum tentu,” bantah Dewa Bunga Persik. “Kita tadi sengaja membiarkan dia lari beberapa langkah, lalu mengejar dan menangkapnya, supaya dia gembira sia-sia.”

“Benar. Di bawah tangan Enam Dewa Lembah Persik tidak pernah ada cerita musuh bisa sampai lolos. Kami selalu dapat menangkap dan membekuk dia kembali,” sambung Dewa Buah Persik.

“Cara kami ini seperti kucing mempermainkan tikus. Kami biasa membiarkan lawan lolos untuk kemudian menangkapnya kembali,” sahut Dewa Akar Persik.

Linghu Chong hafal watak mereka yang tidak mau kalah dan selalu menjaga gengsi. Maka, ia pun sengaja memuji, “Satu kucing saja bisa menangkap enam tikus. Apalagi enam kucing tentu sangat mudah menangkap satu tikus.”

Keenam bersaudara itu senang mendengar pujian tersebut dan semakin bersemangat memintal tali. Begitu selesai, segera kaki dan tangan si nenek pun ditelikung dan diikat kencang, lalu tubuhnya dikerek di atas pohon.

Dengan pedangnya yang tajam Linghu Chong menebang dari atas batang pohon sehingga teriris sepanjang dua-tiga meter. Setelah itu ia lantas menggoreskan sebuah kalimat menggunakan ujung pedang yang berbunyi: “Gentong cuka nomor satu di dunia.”

Dewa Akar Persik bertanya, “Saudara Linghu, mengapa perempuan ini disebut gentong cuka nomor satu di dunia? Apakah kepandaiannya minum cuka sangat hebat? Ah, aku tidak percaya. Bagaimana kalau kita lepaskan dia dulu? Aku ingin berlomba minum cuka dengannya.”

“Minum cuka adalah kata ejekan,” jawab Linghu Chong menjelaskan. “Kalian Enam Dewa Lembah Persik adalah pahlawan yang tiada bandingannya. Nama besar kalian berkumandang di angkasa, harum di seluruh penjuru dunia, pandai ilmu sastra dan mahir ilmu silat, membuat Mahabiksu Fangzheng segan terhadap kalian, Zuo Lengchan pun merasa gentar. Nenek bangsat ini jelas bukan tandingan kalian, sehingga tidak ada gunanya harus berlomba segala.”

Enam Dewa Lembah Persik tertawa gembira dan menjawab serentak, “Benar sekali, benar sekali.”

“Nah, sekarang ganti aku yang bertanya kepada keenam Saudara Persik,” ujar Linghu Chong kemudian. “Apakah kalian melihat Adik Yilin atau tidak?”

“Apakah yang kau maksudkan biksuni cilik cantik jelita dari Perguruan Henshan itu?” sahut Dewa Ranting Persik. “Kalau biksuni cilik itu kami tidak tahu. Tapi kalau dua biksu bertubuh besar kami melihatnya.”

“Mereka masing-masing adalah ayah dan murid biksuni cilik itu,” sambung Enam Dewa Lembah Persik.

Linghu Chong bertanya, “Di mana mereka sekarang?”

“Mereka sudah lewat kira-kira dua jam yang lalu,” tutur Dewa Daun Persik. “Mereka mengajak kami minum arak di kota depan sana. Kami jawab, habis berak akan segera menyusul. Tak disangka, perempuan sial ini keburu datang dan mengganggu kami.”

Linghu Chong termenung sejenak memikirkan hal ini. Ia lantas berkata, “Baiklah, kalian boleh menyusul nanti, biar aku pergi ke sana dulu. Kalian berenam adalah pahlawan besar, tidak mungkin mengganggu musuh yang sudah tertangkap. Kalau sampai kalian memukul perempuan ini, itu bisa merusak nama besar kalian.”

“Benar sekali,” sahut Enam Dewa Lembah Persik serentak.

Ren Yingying tertawa berkata, “Kau tidak jadi mencukur rambut perempuan itu, tentunya karena kau mengingat Adik Yilin-mu. Itu artinya dendammu hanya terbalas sebagian kecil saja.”

Setelah berjalan beberapa kilo jauhnya, mereka berdua pun tiba di suatu kota yang cukup ramai. Pada rumah makan kedua mereka baru bisa bertemu Biksu Bujie dan Tian Boguang sedang duduk menghadap makanan dan minuman di atas meja. Melihat Linghu Chong dan Ren Yingying datang, kedua orang itu berseru senang. Segera Bujie menyuruh pelayan menambahkan makanan dan arak.

Ketika Linghu Chong bertanya ada kejadian apa, Tian Boguang lantas bercerita, “Karena kejadian yang memalukan di Henshan itu, kami tidak punya muka lagi untuk berada di sana. Aku mengajak Kakek Guru lekas-lekas turun gunung saja. Untuk selanjutnya, kami berdua tidak punya muka lagi untuk menginjakkan kaki di Lembah Tongyuan.”

Mendengar cerita Tian Boguang itu, jelas mereka belum mengetahui kalau di Perguruan Henshan telah terjadi penculikan besar-besaran. Linghu Chong dan Ren Yingying sendiri berniat membebaskan murid-murid Perguruan Henshan itu secara diam-diam sehingga tidak memberi tahu mereka berdua tentang peristiwa tersebut. Maka, Linghu Chong lantas berkata kepada Bujie, “Biksu besar, aku ingin meminta bantuanmu untuk menyelesaikan suatu urusan, apakah kau mau?”

“Tentu saja mau. Urusan apa?” sahut Bujie.

“Tapi urusan ini perlu dirahasiakan. Cucu-muridmu ini sama sekali tidak boleh ikut campur,” ujar Linghu Chong.

“Apa susahnya? Akan kusuruh dia menyingkir sejauh mungkin dan tidak boleh mengganggu urusanku. Beres sudah,” jawab Bujie.

Linghu Chong berkata, “Baiklah. Di timur sana kira-kira belasan li jauhnya, pada sebatang pohon yang tinggi ada seseorang terikat dan digantung tinggi di atas pohon ….”

“Oh,” sahut Bujie dengan wajah serbasalah dan tubuh gemetar.

Linghu Chong berkata, “Orang yang sedang dikerek itu adalah temanku. Aku meminta bantuanmu agar pergi ke sana untuk menolongnya.”

“Mudah saja,” ujar Bujie. “Tapi mengapa tidak kau sendiri yang menolongnya?”

“Terus terang, temanku itu seorang perempuan,” kata Linghu Chong dengan sengaja menahan suara sambil memoncongkan bibirnya ke arah Ren Yingying. “Aku merasa tidak enak karena selalu bersama Nona Ren.”

“Hahahaha!” Bujie bergelak tawa. “Ya, ya, aku tahu! Tentu kau takut kalau-kalau Nona Ren minum cuka.” Istilah ini maksudnya adalah cemburu.

Ren Yingying melotot sekejap kepada mereka berdua. Linghu Chong lantas berkata sambil tertawa kepada Bujie, “Justru perempuan itu yang suka cemburu. Dulu suaminya hanya memandang sekejap dan memuji sekali saja kepada wanita lain, tapi perempuan itu langsung kabur tanpa pamit. Akibatnya malah membuat susah suaminya yang mencari ke seluruh pelosok dunia selama belasan tahun.”

Mendengar uraian itu, bola mata Bujie melotot dan napasnya memburu pula. Dengan suara terputus-putus ia bertanya, “Apakah dia … dia … dia ….” Namun pertanyaan ini tidak sanggup untuk dilanjutkannya.

“Kabarnya sampai sekarang suaminya masih terus mencari tapi belum juga bertemu,” sambung Linghu Chong.

Sampai di sini lalu terdengar suara Enam Dewa Lembah Persik datang ke rumah makan itu dengan bersenda gurau. Namun, Biksu Bujie seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka. Kedua tangannya memegang erat-erat lengan Linghu Chong dan menegas, “Apakah ben… benar katamu ini?”

“Dia sendiri yang berkata padaku,” sahut Linghu Chong. “Katanya, biarpun suaminya berhasil menemukan dia, biarpun berlutut dan menyembah kepadanya juga dia tetap tidak mau berkumpul kembali dengan suaminya itu. Sebab itulah bila kau melepaskannya, dia pasti akan segera kabur. Gerak tubuh perempuan itu teramat cepat. Hanya dalam satu kedipan mata saja dia sudah lenyap.”

“Aku tidak akan berkedip, aku tidak akan berkedip,” ujar Bujie.

 Linghu Chong melanjutkan, “Aku juga bertanya mengapa dia tidak mau bertemu dengan suaminya, dia menjawab suaminya adalah manusia paling tidak berperasaan di dunia, orang yang paling doyan perempuan. Biarpun bertemu kembali juga tak ada gunanya.”

Tiba-tiba Bujie berteriak satu kali, kemudian memutar tubuh hendak berangkat. Namun Linghu Chong sempat menarik dan membisikinya, “Akan kuajarkan satu akal bagus padamu, dijamin dia tidak akan dapat melarikan diri.”

Bujie terkejut bercampur senang. Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia berlutut dan menyembah beberapa kali kepada Linghu Chong sambil berkata, “Saudara Linghu, eh, maksudku ... Ketua Linghu, Guru Linghu, Sesepuh Linghu, aku mohon kepadamu lekas mengajarkan akal bagus itu kepadaku. Biarlah aku meng… mengangkatmu sebagai guru.”

“Ah, mana aku berani, lekas bangun!” sahut Linghu Chong menahan geli. Lalu ia menarik Bujie untuk bangun sambil berbisik di telinga biksu besar itu, “Nanti bila sudah kau turunkan dia dari atas pohon, jangan sekali-kali kau buka tali ringkusannya, lebih-lebih jangan membuka totokannya. Cukup kau gendong saja dia ke dalam penginapan. Sewa satu kamar di situ. Nah, sekarang coba kau pikirkan, bagaimana caranya supaya seorang perempuan tidak berani lari keluar kamar?”

Bujie menjadi bingung. Sambil menggaruk-garuk kepala botaknya ia berkata, “Aku … aku tidak tahu.”

“Mudah sekali,” kata Linghu Chong. “Lucuti semua pakaiannya, lalu simpan agak jauh. Setelah itu, barulah kau buka totokannya. Dalam keadaan telanjang bulat mana mungkin dia berani lari keluar kamar?”

Bujie senang sekali. Ia bertepuk tangan dan berseru, “Bagus sekali! Akal bagus! Guru, budi baikmu ….” tidak sampai ucapannya selesai, ia langsung melompat keluar melalui jendela dan lenyap dalam sekejap.

“Hei, sungguh aneh kelakuan biksu besar itu? Kenapa dia begitu terburu-buru? Memangnya mau ke mana?” kata Dewa Akar Persik.

“Pasti dia kebelet berak, makanya terburu-buru,” kata Dewa Ranting Persik.

“Tapi kenapa dia menyembah kepada Saudara Linghu dan memanggil guru kepadanya?” ujar Dewa Bunga Persik. “Sudah tua begitu kenapa berak saja perlu diajari orang lain?”

“Memangnya berak ada sangkut pautnya dengan usia?” bantah Dewa Daun Persik. “Apakah anak umur tiga tahun bisa berak sendiri tanpa diajari orang tuanya?”

Ren Yingying tahu pembicaraan keenam orang dungu ini semakin lama tentu semakin melantur. Maka ia pun memberi isyarat kepada Linghu Chong dan pergi meninggalkan rumah makan tersebut.

Linghu Chong pun berkata, “Keenam Saudara Persik, kalian terkenal sebagai ahli minum arak tanpa tanding. Maka itu, silakan kalian minum sepuas-puasnya di sini. Aku sendiri tidak sanggup minum banyak-banyak, terpaksa harus berangkat lebih dulu.”

Karena dipuji demikian, Enam Dewa Lembah Persik menjadi senang. Dalam anggapan mereka jika tidak minum habis beberapa guci rasanya akan kehilangan nama besar tersebut. Maka beramai-ramai mereka pun berteriak, “Pelayan, lekas bawakan enam guci arak yang paling enak!”

Seorang lagi berkata, “Saudara Linghu, kemampuanmu minum arak selisih jauh dengan kami. Baiklah, kau boleh berangkat lebih dulu. Setelah puas barulah kami segera menyusul.”

Seorang yang lain menyahut, “Kalau kau menunggu sampai kami puas, bisa-bisa esok hari baru bisa berangkat.”

Begitulah, hanya dengan satu kalimat pujian saja Linghu Chong sudah dapat menghindarkan diri dari gangguan keenam bersaudara yang dungu tersebut. Setibanya di luar rumah makan, dengan menahan tawa Ren Yingying berkata, “Kau telah memulihkan hubungan suami istri Biksu Bujie. Jasamu sungguh tiada tara. Hanya saja, cara yang kau ajarkan kepaadanya agak … agak ….” sampai di sini kepalanya pun menunduk dengan wajah bersemu merah.

Linghu Chong hanya memandangi gadis itu sambil tertawa tanpa berkata apa-apa.

Setelah cukup jauh meninggalkan kota, Linghu Chong masih saja tersenyum-senyum sambil memandangi Ren Yingying.

“Kau lihat apa? Apa kau tidak kenal lagi padaku?” omel si nona.

“Aku sedang berpikir, perempuan itu pernah menggantung aku di atas loteng, kubalas dengan menggantungnya di atas pohon,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Dia mencukur bersih rambutku, kubalas dengan menyuruh suaminya melucuti pakaiannya sampai telanjang bulat. Ini namanya satu dibalas satu.”

“Satu dibalas satu katamu?” sahut Ren Yingying menegas sambil melirik dan tersenyum.

“Semoga Biksu Bujie tidak main kasar. Semoga mereka berdua, suami-istri dapat berkumpul kembali dengan bahagia,” ujar Linghu Chong tertawa.

Ren Yingying ikut tertawa dan berkata, “Tapi hati-hati, lain kali bila bertemu lagi dengan perempuan itu tentu kau akan merasakan pembalasannya.”

“Aku membantu mereka bersatu kembali, dia justru harus berterima kasih kepadaku,” sahut Linghu Chong. Lalu ia memandang beberapa saat ke arah Ren Yingying sambil cengar-cengir. Sikapnya terlihat sangat aneh.

“Apa yang sedang kau tertawakan?” tanya gadis itu.

“Biksu Bujie dan istrinya bersatu kembali. Aku sedang membayangkan entah apa yang akan mereka bicarakan di dalam kamar penginapan nanti,” sahut Linghu Chong.

“Tapi mengapa kau memandangi aku seperti itu?” gerutu Ren Yingying.

Tiba-tiba ia dapat menangkap maksud Linghu Chong. Rupanya pemuda bandel ini sedang membayangkan Biksu Bujie melucuti pakaian istrinya hingga telanjang bulat. Pikirannya sedang membayangkan ke sana, tapi matanya memandangi Ren Yingying sambil tersenyum-senyum. Seketika wajah Ren Yingying menjadi merah. Segera ia pun mengangkat tangan memukul Linghu Chong.

Dengan cepat Linghu Chong mengelak, lalu berkata dengan tertawa, “Hei, hei, istri yang memukul suami adalah perempuan jahat.”

(Bersambung)