Bagian 20 - Menertawakan Dunia Persilatan


Linghu Chong dan Yilin menyaksikan kunang-kunang.
Sementara itu, suasana yang berbeda tengah dirasakan oleh Linghu Chong dan Yilin. Di tengah lembah pegunungan, di dekat derasnya air terjun, keduanya merasakan kedamaian luar biasa. Saat itu luka Linghu Chong bisa dikatakan sudah jauh lebih baik. Berkat obat mujarab Salep Penyambung Langit dan Pil Empedu Beruang Putih buatan Perguruan Henshan, ditambah dengan tenaga dalam Linghu Chong yang terhitung paling tinggi di antara murid-murid Huashan lainnya, serta suasana di sekitar air tejun yang sejuk dan menyenangkan membuat pemuda itu berangsur-angsur pulih kembali seperti sediakala.
Selama sehari dua malam itu Linghu Chong hanya memakan semangka untuk mengisi perutnya. Pernah ia meminta Yilin menangkap ikan atau kelinci sebagai lauk, namun biksuni muda itu menolaknya. Meskipun berkali-kali mencuri semangka, namun Yilin tidak berani melanggar pantangan lainnya yaitu membunuh sesama makhluk hidup. Lagipula Linghu Chong baru saja lolos dari kematian, sehingga tidak ada salahnya kalau berhenti memakan daging untuk beberapa hari sebagai ungkapan puji syukur terhadap Sang Buddha, demikian menurut pendapatnya.
Menanggapi itu Linghu Chong hanya tertawa dan menerima saran Yilin.
Malam itu, mereka berdua duduk termenung sambil menyandarkan diri pada tebing batu. Di udara terlihat banyak kunang-kunang terbang kian-kemari dengan memancarkan cahaya berkelap-kelip. Melihat itu Linghu Chong membuka suara, “Musim panas tahun lalu aku pernah menangkap ribuan kunang-kunang dan kumasukkan ke dalam puluhan kantong tipis. Kemudian kantong-kantong itu kugantung di dalam kamar. Indah sekali. Sinarnya berkelap-kelip sungguh menarik.”
Yilin menanggapi, “Pasti adik kecilmu yang menyuruhmu menangkap kunang-kunang itu.”
“Kau ini sungguh pintar. Sekali tebak langsung benar,” ujar Linghu Chong tertawa. “Dari mana kau tahu kalau Adik Kecil yang menyuruhku menangkap kunang-kunang itu?”
“Sifatmu tidak sabaran. Jadi, mana mungkin kau bisa sedemikian tekun menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam puluhan kantong?” sahut Yilin sambil tersenyum pula. Biksuni muda itu terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Kantong-kantong itu dipajang di dalam kamar untuk apa?”
“Adik Kecil menggantung kantong-kantong itu di dalam kelambu tempat tidurnya,” jawab Linghu Chong. “Menurutnya, sinar kunang-kunang itu bagaikan ribuan bintang di langit sewaktu pelita dalam kamar dipadamkan. Ia merasa seperti tidur di awang-awang. Setiap kali membuka mata, ia bagaikan melihat ribuan bintang mengelilingi dirinya.”
Yilin berkata, “Adik kecilmu memang pandai mencari kesenangan. Untungnya, dia memiliki kakak seperguruan yang sangat baik seperti dirimu. Begitu dia meminta bintang di langit, tentu kau akan segera mengambilkannya.”
“Ya, pada awalnya dia memang meminta demikian,” jawab Linghu Chong. “Malam itu kami berdua menikmati indahnya bintang-bintang di langit. Adik Kecil berkata, ‘Sayang sekali sebentar lagi aku harus tidur. Ingin rasanya aku tidur di luar rumah biar sewaktu-waktu aku bangun, aku bisa melihat bintang-bintang itu. Tapi, Ibu tidak akan pernah mengizinkanku.’ – Saat itu aku mendapat akal. Aku menawarkan diri untuk menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam kelambu tempat tidurnya sebagai pengganti bintang-bintang tersebut.”
“Oh, jadi itu hasil gagasanmu?” tanya Yilin dengan suara lirih.
“Benar. Tapi Adik Kecil berkata bahwa kunang-kunang itu akan terbang kian-kemari dan mengganggu tidurnya,” lanjut Linghu Chong. “Ia lantas mendapat akal untuk mengurung ribuan kunang-kunang itu dalam kantong-kantong tipis. Maka, aku pun menangkap kunang-kunang sementara dia membuat kantong-kantong dari kain saringan. Kami mulai bekerja keesokan paginya sampai malam. Malam harinya, Adik Kecil sangat gembira menikmati pemandangan di dalam kelambu tempat tidurnya. Namun pada malam berikutnya, kunang-kunang itu mati semua.”
“Hah? Mati semua?” sahut Yilin dengan badan gemetar. “Mengapa kalian bisa sedemikian... sedemikian....”
“Sedemikian kejam maksudmu?” tukas Linghu Chong dengan tertawa. “Kau ini sungguh bersifat welas asih. Meskipun tidak kutangkap, udara dingin akan membuat kunang-kunang itu mati dengan sendirinya dua atau tiga hari kemudian.”
“Sebenarnya hewan tidak berbeda dengan manusia,” sahut Yilin. Setelah terdiam agak lama, barulah ia menyambung, “Sebagian manusia mati muda, sebagian lagi mati tua. Namun pada dasarnya semua manusia akan mati. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak seorang pun bisa lolos dari kematian, baik itu akibat penyakit atau karena usia tua. Namun, hanya beberapa saja yang mampu mengetahui rahasia kebenaran sejati di balik lingkaran hidup dan mati.”
Linghu Chong menanggapi dengan santai, “Maka itu kau jangan terlalu sibuk mematuhi peraturan dan larangan. Jika Sang Buddha selalu mengawasi dirimu saat berbuat apa saja, tentu dia akan sangat letih.”
Yilin terdiam, tidak tahu harus bicara apa lagi. Beberapa menit kemudian ia melihat sebuah bintang jatuh di angkasa. “Kakak seperguruanku – Yiqing – pernah berkata, jika ada orang melihat bintang jatuh dan segera membuat simpul pada tali bajunya sendiri sambil memikirkan suatu permintaan, maka permintaan itu pasti akan terkabul. Apa kau pernah mendengar hal itu? Apa benar demikian?”
“Entahlah, aku tidak tahu,” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Tapi tidak ada jeleknya kalau kita mencoba-coba. Lebih baik kita bersiap-siap, siapa tahu ada bintang jatuh lagi. Sedikit saja terlambat, kita tidak akan mendapat apa-apa.”
Yilin segera memegangi tali pinggangnya sambil memandang ke angkasa. Saat itu langit sedang cerah dan bintang jatuh cukup sering terlihat. Sesuai dugaan, sebuah bintang jatuh kembali terlihat. Yilin buru-buru membuat simpul namun tidak berhasil. Sesaat kemudian, kembali sebuah bintang jatuh terlihat di angkasa. Kali ini gerakan tangan Yilin lebih cepat sehingga ia berhasil menyelesaikan simpulnya.
“Bagus sekali! Sempurna!” seru Linghu Chong memuji. “Dewi Guanyin memberkatimu, dan permohonanmu pasti menjadi kenyataan.”
“Tapi aku tidak tahu harus meminta apa,” jawab Yilin. “Aku hanya sibuk memikirkan bagaimana membuat simpul dengan cepat sehingga lupa harus meminta apa.”
Linghu Chong tertawa dan berkata, “Sebaiknya kau pikirkan lebih dulu apa keinginanmu. Sebutkan berkali-kali dalam hatimu supaya tidak lupa.”
“Apa yang kuinginkan? Apa yang kuinginkan?” ujar Yilin bergumam sendiri. Begitu menoleh ke arah Linghu Chong seketika wajahnya bersemu merah dan ia pun tertunduk malu. Beberapa menit kemudian kembali terlihat sebuah bintang jatuh.
“Hei, itu ada lagi! Wah, kali ini panjang sekali! Lekas kau pikirkan keinginanmu! Kau punya banyak waktu untuk melakukannya,” seru Linghu Chong gembira.
Akan tetapi, Yilin sendiri sedang kebingungan. Di lubuk hatinya terdapat suatu keinginan namun ia sendiri takut mengungkapkan keinginan tersebut. Jangankan mengatakannya, bahkan berdoa kepada Sang Buddha untuk mewujudkan keinginan ini pun ia tidak berani. Melihat bintang jatuh tersebut jantungnya seketika berdebar kencang. Perasaan senang dan takut bercampur aduk menjadi satu di dalam hatinya.
“Apa yang kau inginkan?” terdengar suara Linghu Chong bertanya.
Yilin diam tidak menjawab. Dalam hati ia balik bertanya, “Apa yang kuinginkan? Apa yang kuinginkan?” Pada saat itu kembali terlihat sebuah bintang jatuh di langit, namun ia hanya termangu-mangu memandangnya.
“Hei, mengapa kau melamun?” tanya Linghu Chong. “Ah, kalau begitu biar aku yang mencoba menebaknya.”
“Tidak, tidak, jangan kau katakan!” cegah si biksuni dengan muka merah.
“Memangnya kenapa?” sahut Linghu Chong. “Biar kutebak tiga kali saja. Coba lihat, apa tebakanku benar atau salah?”
“Tidak, jangan kau katakan! Jika kau terus memaksa, maka aku akan segera pergi,” ujar Yilin sambil bangkit berdiri.
Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya. Jika dalam hatimu memang ada keinginan untuk menjadi ketua Perguruan Henshan, mengapa harus malu?”
Yilin terkejut dan berpikir, “Hah? Mengapa dia berpikiran kalau aku ingin menjadi ketua Henshan? Mana mungkin aku bisa memikul tanggung jawab sebesar itu? Selamanya juga aku tidak akan pernah punya keinginan seperti itu.”
Tiba-tiba terdengar alunan suara kecapi dari kejauhan. Linghu Chong dan Yilin saling pandang dan masing-masing berpikiran sama, “Mengapa di tengah hutan sunyi ini ada orang bermain kecapi?”
Suara kecapi tersebut sangat merdu, lembut, dan enak didengar. Tiba-tiba di tengah alunan kecapi itu terdengar pula suara seruling mengiringi. Perpaduan kedua jenis musik tersebut sangat serasi, bagaikan bercakap-cakap satu sama lain. Yang satu bertanya, yang lain menjawab. Tidak hanya itu, suara kedua alat musik tersebut juga terdengar semakin mendekat.
Linghu Chong sangat tertarik mendengarnya. Ia pun berbisik kepada Yilin, “Mereka bermain musik di tempat sunyi seperti ini, sungguh aneh. Siapapun mereka, entah kawan atau lawan, sebaiknya kita jangan bersuara sedikit pun.”
Yilin mengangguk. Keduanya pun merunduk dan berlindung di balik semak-semak.
Saat itu nada suara kecapi terdengar semakin keras dan tinggi. Sebaliknya, suara seruling justru semakin rendah. Meskipun demikian, suara seruling itu tidak putus, hanya terdengar lirih dan sayup-sayup tertiup angin. Bahkan, makin menyentuh jiwa bagi siapa yang mendengarnya.
Dari balik batuan gunung Linghu Chong dan Yilin menyaksikan kemunculan tiga sosok bayangan. Di bawah sinar rembulan samar-samar mereka dapat melihat dua sosok bertubuh tinggi dan seorang lainnya lebih pendek. Kedua sosok bertubuh tinggi itu adalah dua orang laki-laki dewasa yang berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak, kemudian duduk di atas batu. Rupanya alunan suara musik tersebut berasal dari mereka. Laki-laki yang satu memainkan seruling, sedangkan yang lainnya memainkan kecapi. Sementara itu, sosok ketiga yang bertubuh lebih pendek adalah seorang gadis kecil yang diam tanpa bersuara dan berdiri di dekat si pemetik kecapi.
Perlahan-lahan Linghu Chong membenamkan kepalanya, tidak berani mengintai lagi. Ia takut ketiga orang itu mengetahui keberadaannya. Meskipun demikian, telinganya tetap menikmati merdunya alunan kedua jenis alat musik tersebut. Perpaduan iramanya sangat serasi dan cocok, serta menentramkan jiwa.
Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Padahal di dekat sini terdapat air terjun yang suaranya bergemuruh. Tapi entah mengapa derasnya air tidak mampu meredam alunan suara kecapi dan seruling itu? Ah, ternyata mereka berdua memiliki tenaga dalam yang luar biasa. Sungguh hebat kekuatan mereka! Mungkin adanya air terjun ini justru menjadi alasan mengapa mereka memilih bermain musik di sini.”
Tiba-tiba suara kecapi berubah menjadi cepat dan keras seperti lagu peperangan, dan terkadang diselingi suara melengking tinggi membuat hati yang mendengar ikut berguncang. Sebaliknya, irama seruling tetap halus dan lembut penuh keanggunan.
Beberapa saat kemudian, irama kecapi berubah menjadi halus, sedangkan suara seruling berubah tinggi namun juga rendah secara bergantian. Tiba-tiba suara kedua alat musik itu berubah-ubah dalam waktu serentak; seolah ada beberapa orang sedang meniup seruling dan memetik kecapi bersama-sama. Meskipun demikian, irama lagu yang dimainkan tetap terdengar dengan jelas dan menyengangkan, tidak bercampur aduk menjadi satu.
Linghu Chong merasa penasaran dan memberanikan diri untuk kembali mengintai. Ternyata jumlah pemain musik tersebut tetap dua orang. Diam-diam ia semakin kagum terhadap kepandaian kedua orang itu yang bisa memainkan satu jenis alat musik namun seperti mengeluarkan nada yang berbeda-beda.
Suara kecapi dan seruling itu sungguh mempunyai daya pengaruh luar biasa. Linghu Chong merasa pikirannya sulit untuk dikendalikan. Darahnya terasa mendidih, jantungnya pun berdebar kencang. Hampir saja ia bangkit berdiri karena pikirannya tidak bisa diajak tenang.
Sejenak kemudian irama seruling dan kecapi itu kembali berubah. Kali ini bunyi seruling berperan sebagai nada dasar, sementara suara kecapi sebagai pengiringnya. Hanya saja irama kecapi makin lama semakin meninggi.
Entah mengapa, alunan irama seruling tersebut membuat siapa yang mendengar menjadi pilu. Linghu Chong merasa hatinya seperti disayat-sayat. Ketika menoleh ke arah Yilin, ternyata biksuni muda itu juga tampak meneteskan air mata.
Tiba-tiba terdengar suara denting keras mengejutkan, dan seketika bunyi kecapi dan seruling itu berhenti serentak. Suasana lembah pegunungan tersebut kembali sunyi senyap. Hanya sang rembulan tampak menghiasi angkasa raya nan biru kelam.
Sejenak kemudian terdengar salah seorang dari pemain musik itu berkata, “Adik Liu, mungkin sudah suratan takdir kalau hari ini kita harus tewas di sini. Andai saja tadi aku segera turun tangan, tentu keluarga dan murid-muridmu tidak menjadi korban. Sungguh, aku merasa sangat tidak enak kepadamu.”
“Kita ini sudah lama bersahabat, untuk apa harus membahas masalah ini?” sahut rekannya.
Mendengar suara yang kedua tersebut, seketika Yilin pun mengenalinya. Perlahan ia berbisik kepada Linghu Chong, “Yang membawa seruling itu Paman Liu Zhengfeng.”
Baik Yilin ataupun Linghu Chong sama-sama bingung mengapa Liu Zhengfeng yang seharusnya melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas justru berada di tempat seperti ini? Mereka juga heran mengapa kedua orang itu membicarakan suratan takdir serta jatuhnya korban yang terdiri dari keluarga dan murid-murid Liu Zhengfeng?
Terdengar Liu Zhengfeng berkata, “Tidak seorang pun di dunia ini yang bisa lolos dari kematian. Asalkan bisa bertemu sahabat sejati, seseorang dapat mati tanpa menyesal.”
Si pemetik kecapi berkata, “Adik Liu, dari suara serulingmu tadi aku bisa merasakan betapa besar rasa penyesalan di hatimu. Apakah kau sedang menyesali putramu si Liu Qin yang takut mati dan membuat malu dirimu di depan umum tadi?”
“Dugaan Kakak Qu tidak salah,” sahut Liu Zhengfeng kepada si pemetik kecapi yang tidak lain adalah Qu Yang. “Ini semua kesalahanku karena terlalu memanjakan anak itu. Sungguh tak kusangka, ternyata dia tidak punya nyali dan berjiwa pengecut. Benar-benar tidak bisa menjaga kehormatan.”
“Menjaga kehormatan atau tidak, pada akhirnya masuk liang kubur semua – apa bedanya? Ratusan tahun kemudian jasad kita juga akan bercampur menjadi debu, tidak bisa dibedakan lagi,” ujar Qu Yang. “Sebenarnya sudah sejak awal aku mengawasi dari atas genting rumahmu. Aku memang tidak segera turun tangan karena mengira dirimu tidak akan membelaku, mengingat risiko bermusuhan dengan Serikat Pedang Lima Gunung sangat berbahaya. Aku juga teringat tentang sumpahku yang tidak akan menyerang pihak golongan putih terlebih dulu. Maka itu, aku hanya menunggu dan menunggu. Tidak kusangka, ternyata Perguruan Songshan yang merupakan pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung bisa berbuat sekejam itu.”

Perpaduan musik Qu Yang dan Liu Zhengfeng.
Liu Zhengfeng diam termenung tanpa menjawab. Selang agak lama barulah ia menghela napas panjang dan berkata, “Mana mungkin orang-orang kasar seperti mereka bisa memahami betapa mulia persahabatan musik kita. Mereka hanya memperhitungkan untung dan rugi saja. Jika persahabatan kita dihitung tidak menguntungkan Serikat Pedang Lima Gunung, mereka pun berusaha merusaknya. Aih, mereka hanya tidak paham sehingga kita tidak sepantasnya menyalahkan mereka. Kakak Qu, kalau boleh tahu apakah titik Dazhui di dadamu terkena pukulan mereka?”
“Benar,” jawab Qu Yang sambil menahan sakit. “Tenaga dalam kedua tokoh Songshan tadi benar-benar hebat. Sungguh tak kusangka, begitu pukulan mereka yang dahsyat itu mendarat di punggungku ternyata langsung menembus badanku dan melukai pembuluh darahmu pula. Sekarang kita sama-sama terluka. Andai saja aku tahu kalau dirimu juga tidak bisa lolos dari tangan mereka, tentu aku tadi tidak perlu menebarkan Jarum Darah Hitam. Untungnya, jarum-jarum tersebut tidak beracun.”
Mendengar itu Linghu Chong terperanjat. Dalam hati ia berkata, “Orang itu memiliki Jarum Darah Hitam? Apakah dia yang telah menyelamatkan nyawaku? Guru pernah bilang bahwa Jarum Darah Hitam adalah senjata rahasia aliran sesat yang terkenal. Mengapa Paman Liu bisa bersahabat dengannya?”
Terdengar Liu Zhengfeng menjawab sambil tertawa, “Memang tidak seharusnya orang-orang yang tidak berdosa ikut menjadi korban. Namun, jika tidak begitu kita berdua tidak akan sampai di sini untuk memainkan lagu indah kita bersama-sama. Untuk selanjutnya, di dunia ini tidak akan ada lagi paduan suara kecapi dan seruling seindah yang kita mainkan.”
Qu Yang menghela napas dan berkata, “Pada zaman dahulu, sebelum dihukum mati Ji Kang sempat memainkan lagu Guanglingsan menggunakan kecapinya. Ia menyesal bahwa setelah kematiannya, maka lagu tersebut akan ikut punah selamanya. Lagu Guanglingsan memang sangat indah, namun mana bisa menandingi keindahan lagu Menertawakan Dunia Persilatan yang baru saja kita mainkan ini? Tapi bagaimanapun juga, perasaan Ji Kang waktu itu mungkin sama persis dengan yang kita rasakan saat ini.”
Liu Zhengfeng tersenyum dan berkata, “Kakak Qu, tadi dirimu sangat bersemangat, tapi mengapa sekarang kembali bersedih? Lagu Menertawakan Dunia Persilatan baru saja kita mainkan dengan sempurna. Kita telah mengerahkan segenap kemampuan kita untuk memainkan lagu paling indah ini. Lagu kita akan tetap abadi sepanjang masa. Jadi, untuk apa lagi harus disesali?”
“Kau benar,” jawab Qu Yang. Ia lalu terdiam agak lama dan kemudian menghela napas panjang.
“Ada apa lagi?” tanya Liu Zhengfeng. “Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan Feifei?”
Yilin terperanjat. Dalam hati ia bertanya, “Feifei? Apakah Feifei si gadis kecil kemarin itu?”
Dugaan Yilin tidak salah. Ternyata gadis kecil yang mendampingi Qu Yang memetik kecapi tadi tidak lain adalah Feifei, alias Qu Feiyan. Terdengar gadis itu berkata, “Kakek, lebih baik kau bersama Kakek Liu merawat luka dengan tenang di sini. Kelak kita akan pergi menuntut balas. Setiap jahanam Perguruan Songshan akan kita bunuh habis-habisan, demi membalas sakit hati Nenek Liu dan para kakak yang terbunuh tadi.”
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu besar muncul seorang pria tertawa terbahak-bahak. Secepat kilat laki-laki itu sudah berdiri di hadapan Qu Yang, Liu Zhengfeng, dan Qu Feiyan sambil menghunus sebilah pedang. Ternyata ia tidak lain adalah Fei Bin si Tapak Songyang Besar dari Perguruan Songshan.
“Hei, anak ingusan bermulut besar!” bentak Fei Bin sambil menyeringai, “jago-jago Songshan akan kau bunuh habis-habisan, memangnya kau bisa?”
Liu Zhengfeng bangkit dan berteriak marah, “Fei Bin, kau dan saudara-saudaramu telah membantai segenap keluargaku. Kini, Kakak Qu dan aku juga sudah terkena pukulan kedua saudaramu. Ajalku sudah dekat, apa lagi yang kau inginkan, hah?”
Fei Bin tertawa dan kembali menoleh ke arah Qu Feiyan. Ia berkata, “Anak ini berkata hendak membunuh segenap anggota Perguruan Songshan kami habis-habisan. Maka itu, kedatanganku kemari adalah untuk mendahuluinya. Gadis kecil, bagaimana kalau kuambil nyawamu terlebih dulu?”
Mendengar itu Yilin pun berbisik di telinga Linghu Chong, “Feifei dan kakeknya telah menyelamatkan nyawamu. Kita harus mencari cara untuk bisa menolong mereka.”
Linghu Chong hanya terdiam tanpa menjawab. Saat itu hatinya sedang bimbang. Sejak tadi ia memang berpikir bagaimana bisa menyelamatkan Qu Yang dan Qu Feiyan untuk membalas budi. Namun, dengan demikian ia harus berhadapan dengan Perguruan Songshan yang merupakan sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Di samping itu, Qu Yang adalah anggota aliran sesat yang merupakan musuh bebuyutan Perguruan Huashan. Jika ia sampai turun tangan menolong kakek dan cucu tersebut, ini berarti melanggar peraturan perguruan sendiri. Alasan-alasan inilah yang membuatnya tidak tahu harus bagaimana mengambil keputusan.
Kembali terdengar suara Liu Zhengfeng membuyarkan pikiran Linghu Chong, “Fei Bin, kau ini seorang tokoh terhormat dari golongan putih. Sekarang ini Qu Yang dan Liu Zhengfeng sedang menanti ajal dan jatuh pula ke tanganmu. Kami tidak takut harus mati di tanganmu atau kau siksa pelan-pelan terlebih dulu. Tapi, kalau kau sampai menganiaya seorang anak kecil, apakah ini termasuk perbuatan kesatria? Feifei, pergilah dari sini! Lekas!”
“Tidak mau!” jawab Qu Feiyan. “Aku lebih baik tetap di sini dan mati bersama Kakek berdua.”
“Lekas pergi dari sini! Urusan orang tua tidak ada sangkut pautnya dengan anak kecil seperti dirimu,” desak Liu Zhengfeng.
“Tidak mau! Aku tidak mau pergi!” sahut Qu Feiyan tegas. Ia kemudian mengeluarkan kedua pedang pendek yang tergantung di pinggangnya. Kepada Fei Bin ia berkata, “Fei Bin, Kakek Liu telah mengampuni nyawamu di pertemuan tadi, tapi sekarang kau tetap mengejarnya dengan penuh kebencian. Apa kau tidak tahu malu, hah?”
Fei Bin tertawa dan berkata dengan wajah menghina, “Kau hendak menumpas habis Perguruan Songshan? Memangnya si marga Fei ini rela disembelih begitu saja oleh seorang anak kecil?”
Liu Zhengfeng buru-buru menarik lengan Qu Feiyan sambil berkata, “Lekas pergi dari sini dan jangan hiraukan dia!” Namun, keadaannya sudah sangat payah dan ia sama sekali tidak punya tenaga untuk menarik gadis kecil itu pergi. Bagaimanapun juga, Liu Zhengfeng dan Qu Yang sama-sama terluka parah akibat pukulan Ding Mian dan Lu Bai siang tadi. Di samping itu, mereka baru saja mengerahkan tenaga dalam masing-masing untuk memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan di dekat air terjun deras.
Maka, Qu Feiyan dapat dengan mudah melepaskan dirinya dari tangan Liu Zhengfeng dan maju selangkah. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan pedang Fei Bin sudah berkelebat mengancam muka gadis kecil itu.
Dengan cepat Qu Feiyan menangkis menggunakan pedang di tangan kiri, sementara pedang di tangan kanan digunakannya untuk membalas tusukan. Fei Bin tertawa mengejek. Ia hanya memutar pedangnya ke bawah, untuk selanjutnya memukul pedang Qu Feiyan hingga jatuh ke tanah. Gadis kecil itu merasa tangannya sampai tergetar kesakitan.
Fei Bin lantas memutar kembali pedangnya dari atas ke bawah untuk menghantam pedang Qu Feiyan yang satunya lagi hingga terlempar ke udara. Menyusul kemudian ia pun menodong tenggorokan si gadis kecil itu dengan pedangnya.
“Tetua Qu,” kata Fei Bin kepada Qu Yang sambil tertawa. “Aku lebih dulu akan mencongkel kedua mata cucu perempuanmu ini, baru kemudian memotong hidungnya, mengiris telinganya....”
Mendadak Qu Feiyan menerjang maju untuk menyodorkan lehernya sendiri ke ujung pedang Fei Bin. Gadis kecil ini benar-benar nekad lebih baik mati daripada disiksa oleh jagoan Songshan tersebut. Namun Fei Bin dengan cepat menarik mundur pedangnya dan berkelit ke samping. Disusul kemudian tangan kirinya menotok titik nadi pada bahu kanan Qu Feiyan sehingga gadis kecil itu jatuh tersungkur tak bisa bergerak lagi.
“Kejahatan aliran sesat sudah melebihi batas. Kalau ingin mati tidak boleh semudah itu,” ujar Fei Bin sambil bergelak tawa. “Pertama-tama biar kucongkel dulu mata kirimu, anak kecil!”
Usai berkata demikian, Fei Bin mengacungkan pedangnya siap menusuk mata kiri Qu Feiyan. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara berseru, “Tunggu dulu!”
Fei Bin terkejut dan segera berpaling ke arah suara dengan posisi siap bertempur. Dalam hati ia berkata, “Celaka! Kenapa aku tidak menyadari ada orang bersembunyi di belakangku?”
Pandangan Fei Bin memang hanya tertuju kepada ketiga lawannya. Ia sama sekali tidak menyadari kalau Linghu Chong dan Yilin sejak awal sudah bersembunyi menyaksikan segalanya.

Fei Bin dengan mudah melumpuhkan Qu Feiyan.
Di bawah temaram sinar rembulan, Fei Bin dapat melihat seorang pemuda berdiri sambil berkacak pinggang, tapi wajahnya pucat pasi seperti mayat.
“Siapa kau?” bentak Fei Bin.
“Linghu Chong dari Perguruan Huashan menyampaikan salam hormat kepada Paman Fei,” jawab si pemuda sambil membungkukkan badan. Tapi karena tubuhnya masih lemah, ia terlihat agak sempoyongan.
“Ternyata kau,” sahut Fei Bin senang. “Kau ini murid pertama Kakak Yue, bukan? Apa yang sedang kau kerjakan di sini?”
“Saya telah dilukai murid Perguruan Qingcheng dan terpaksa merawat luka di sini, sehingga terlambat memberi hormat kepada Paman Fei. Mohon dimaafkan,” jawab Linghu Chong.
“Bagus sekali, kedatanganmu sungguh tepat waktu,” ujar Fei Bin. “Anak perempuan ini adalah iblis kecil dari aliran sesat Jika aku yang turun tangan rasanya kurang pantas seorang angkatan tua melawan anak kecil. Lebih baik kau saja yang membunuhnya,” lanjutnya sambil menunjuk hidung Qu Feiyan.
Namun Linghu Chong menggelengkan kepala dan berkata, “Kakek gadis kecil ini adalah saudara angkat Paman Liu. Kalau dihitung-hitung, maka saya ini juga satu angkatan di atasnya. Jika saya membunuhnya, orang persilatan akan menuduh hal yang sama kepada saya; yaitu angkatan tua menganiaya yang lebih muda. Lagipula, Paman Liu dan Sesepuh Qu sudah terluka parah. Membunuh seorang anak kecil di hadapan mereka yang tidak mungkin bisa melawan jelas bukan perbuatan kaum kesatria. Kami dari Perguruan Huashan pantang berbuat seperti itu. Mohon Paman Fei sudi memberi maaf.”
Ucapan Linghu Chong dengan sendirinya telah menyindir Perguruan Songshan. Seolah-olah ia mengatakan bahwa Perguruaan Huashan lebih mulia daripada Perguruan Songshan apabila Fei Bin melanjutkan niatnya.
Seketika Fei Bin memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam. Ia lalu berkata, “Ah, rupanya diam-diam kau juga bersekongkol dengan aliran sesat. Aku ingat sekarang, Liu Zhengfeng pernah bercerita bahwa dirimu pernah ditolong oleh iblis bermarga Qu ini. Sungguh tak disangka, Perguruan Huashan yang terhormat memiliki murid pengkhianat seperti dirimu.”
Usai berkata demikian, Fei Bin mengibaskan pedangnya siap menyerang Linghu Chong. Melihat itu, Liu Zhengfeng berteriak, “Keponakan Linghu, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu. Pergilah sekarang juga. Jangan membuat sulit gurumu.”
Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Paman Liu, sebagai kaum golongan putih, kita pantang hidup berdampingan dengan golongan hitam. Akan tetapi, kalau seorang pendekar golongan putih hanya berani menggertak lawan yang sudah payah, apakah perbuatannya itu tidak sama dengan golongan hitam? Apa membunuh seorang anak kecil pantas disebut sebagai perbuatan kesatria?”
“Golongan kami yang kalian sebut sesat juga pantang melakukan perbuatan rendah seperti itu,” sahut Qu Yang. “Saudara Linghu, silakan kau pergi saja dari sini. Kalau Perguruan Songshan suka melakukan perbuatan hina, itu urusan mereka. Biarlah mereka mengumbar kesenangan itu di sini.”
“Aku tidak akan pergi,” jawab Linghu Chong sambil menggigit bibir menahan sakit. “Paman Fei Bin alias Si Tapak Songyang Besar sudah pasti bukan termasuk kaum seperti itu. Beliau adalah salah satu kesatria hebat dalam Perguruan Songshan. Aku yakin Beliau tidak akan melakukan perbuatan memalukan.” Usai berkata demikian ia lantas melipat tangan di depan dada sambil bersandar pada sebatang pohon kelapa.
Ucapan tersebut justru membuat Fei Bin semakin murka. Ia berkata, “Huh, kau kira ucapanmu itu bisa membuatku mengampuni ketiga iblis jahanam ini? Jangan mimpi, Linghu Chong. Jika kau melibatkan diri dalam urusan ini, maka jangan salahkan aku kalau kau sampai mati di sini. Bagiku, tidak ada bedanya membunuh empat orang sekaligus atau satu per satu.” Usai berkata demikian, ia lantas melangkah maju.
Linghu Chong sendiri tetap berusaha tenang meskipun hatinya sangat gelisah. Ia berkata, “Paman Fei, apakah kau berniat membunuhku untuk melenyapkan saksi mata atas perbuatanmu yang kotor ini?”
“Pintar sekali! Tebakanmu benar,” sahut Fei Bin sambil terus melangkah maju.
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik sebongkah batu besar muncul seorang biksuni muda yang berkata, “Paman Fei, lautan derita tiada ujungnya, berpaling kembali adalah jalan menuju ke tepi. Paman Fei berniat melakukan perbuatan dosa, namun belum menjadi kenyataan. Hendaknya kau mengekang diri sebelum jatuh ke dalam jurang kenistaan.”
Biksuni tersebut tidak lain adalah Yilin. Sebenarnya ia diminta Linghu Chong untuk tetap bersembunyi di balik batu. Namun, begitu melihat pemuda itu terancam bahaya, ia pun memberanikan diri keluar demi untuk mencegah Fei Bin berbuat lebih lanjut.
Melihat kemunculannya itu, Fei Bin pun terkejut dan bertanya, “Hei, apa kau ini biksuni dari Perguruan Henshan? Mengapa kau bermain sembunyi-sembunyi di situ, hah?”
Yilin sangat gugup dan hanya bisa menjawab, “Aku... aku....”
Qu Feiyan yang tergeletak di tanah karena tertotok titik nadinya ikut berkata, “Kakak Yilin, aku sudah menduga kalau kau pasti sedang bersama Kakak Linghu. Ternyata kau sudah menyembuhkan lukanya. Tapi sayang, kita semua akan mati di sini.”
“Tidak mungkin,” ujar Yilin menggelengkan kepala. “Paman Fei seorang kesatria ternama di dunia persilatan. Mana mungkin Beliau menyakiti gadis kecil seperti dirimu dan orang-orang terluka seperti Paman Liu dan kakekmu?”
“Apa benar begitu? Apa benar dia itu seorang kesatria?” sahut Qu Feiyan sambil mencibir.
“Perguruan Songshan adalah pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung, juga pemimpin para pendekar golongan putih,” jawab Yilin. “Apa saja yang mereka lakukan pasti berdasar atas kebenaran dan keadilan.”
Perkataan Yilin ini benar-benar muncul dari lubuk hatinya yang polos dan lugu. Sama sekali tidak ada maksud menyindir seperti yang dilakukan Linghu Chong tadi. Hal ini dapat dimaklumi, karena sejak kecil ia hidup di dalam biara sehingga semua orang di luar dianggapnya baik dan taat agama.
Sebaliknya, Fei Bin menganggap ucapan Yilin sebagai sindiran belaka. Dalam hati ia berpikir, “Aku tidak boleh membiarkan seorang pun dari mereka yang tetap hidup. Jika sampai ada yang lolos dan bercerita kepada banyak orang, tentu nama baikku di dunia persilatan akan hancur. Orang lain akan mengolok-olok perbuatanku yang membunuh mereka dengan cara tidak kesatria ini.”
Setelah memutuskan demikian, Fei Bin segera mengacungkan pedangnya ke arah Yilin sambil berkata, “Kau ini satu-satunya yang tidak terluka. Bagaimana kalau aku membunuhmu terlebih dulu?”
Bukan main terkejutnya Yilin sehingga ia pun berseru, “Hah? Aku... aku? Mengapa Paman Fei hendak membunuh... membunuhku?”
“Kau juga terlibat persekongkolan dengan aliran sesat!” bentak Fei Bin. “Buktinya, kau dipanggil ‘kakak’ oleh iblis kecil ini. Dengan demikian kau pun tidak boleh lolos dari sini.” Sambil berkata demikian pria itu maju dan menusukkan pedangnya ke arah Yilin.
Dengan cepat Linghu Chong melompat dan berdiri membelakangi Yilin untuk melindungi biksuni muda itu. “Adik, pergilah dari sini! Cari gurumu supaya lekas datang kemari menolong kita!” ujarnya kemudian. Tentu saja itu hanya alasan Linghu Chong supaya Yilin segera pergi menyelamatkan diri. Lagipula, mana mungkin Yilin bisa mencari dan mengajak Biksuni Dingyi ke tempat itu dalam waktu sekejap?
Namun Fei Bin tampaknya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun. Ia mengayunkan pedangnya ke arah bahu kanan Linghu Chong namun pemuda itu sempat menghindar. Berkali-kali ia lantas menusukkan pedangnya membuat Linghu Chong terdesak kewalahan.
Melihat itu Yilin segera mencabut pedang patahnya untuk menghadapi serangan Fei Bin sambil berseru, “Kakak Linghu, kau belum sembuh benar. Lekas mundur saja, biar aku yang menghadapinya!”
“Hahahaha! Rupanya biksuni ini sudah jatuh cinta kepada si pemuda ganteng sehingga tidak lagi memedulikan keselamatan diri sendiri,” seru Fei Bin sambil tertawa menggoda. Dengan cepat pedangnya menebas ke depan. Yilin pun menangkis. Namun begitu pedang mereka beradu, pedang patah Yilin langsung terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Tanpa berhenti di situ, Fei Bin terus memburu ke depan dan mengancam dada Yilin dengan pedangnya. Bagaimanapun juga ia bertekad untuk melenyapkan kelima orang di tempat itu.
Yilin menjerit kaget dan mencoba untuk menghindar. Namun ujung pedang Fei Bin sudah menempel di ulu hatinya. Untungnya pada saat yang gawat itu Linghu Chong melompat maju dengan maksud mencolok mata Fei Bin menggunakan kedua jarinya. Mau tidak mau Fei Bin terpaksa melompat mundur daripada kehilangan mata. Meskipun pedangnya tidak sampai menewaskan Yilin, namun sempat menggores lengan Linghu Chong cukup panjang.
Yilin melihat Linghu Chong berdiri sempoyongan setelah berhasil menyelamatkan jiwanya. Dengan cepat ia pun memapah pemuda itu dan berkata dengan nada cemas, “Kakak Linghu, biarlah kita mati bersama di ujung pedangnya.”
“Kau... kau cepatlah pergi dari sini!” seru Linghu Chong dengan napas terengah-engah.
“Dasar bodoh!” sahut Qu Feiyan tiba-tiba. “Sampai sekarang kau belum tahu isi hatinya? Dia ingin... dia ingin mati bersamamu....”
Belum habis ucapan gadis kecil itu tiba-tiba pedang Fei Bin sudah bergerak menusuk dadanya. Qu Feiyan pun tewas seketika.
Qu Yang, Liu Zhengfeng, Linghu Chong, dan Yilin menjerit bersamaan. Namun Fei Bin tidak peduli. Dengan mulut menyeringai, ia menghampiri Linghu Chong dan Yilin selangkah demi selangkah. Butir-butir darah tampak menetes dari ujung pedangnya.
Linghu Chong termangu-mangu melihat perbuatan Fei Bin yang tidak kenal ampun itu. Dalam hati ia berpikir, “Dia... dia tega membunuh seorang anak kecil. Betapa kejam! Sebentar lagi giliranku yang akan mati. Tapi, mengapa Adik Yilin ingin mati bersamaku? Memang aku pernah menyelamatkan kehormatannya. Tapi, dia sendiri telah mengobati lukaku sampai sembuh. Antara kami sudah tidak ada hutang budi lagi. Sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung memang terjalin hubungan saudara, namun baru kali ini aku dan dia saling kenal. Memang sesama kaum persilatan biasa menjunjung tinggi sikap setiakawan, tapi rasanya tidak perlu sampai seperti ini. Aku tidak menyangka murid-murid Henshan sedemikian gigih dalam membela persaudaraan. Aih, Bibi Dingyi sungguh berhasil dalam mendidik murid-muridnya. Dalam keadaan gawat seperti sekarang, Adik Yilin akan mati bersama denganku, kenapa bukan... kenapa bukan Adik Kecil yang berada di sini? Hm, sedang apa pula dia sekarang?”
Sambil menghela napas panjang, Linghu Chong tersenyum getir. Perlahan ia menutup mata menunggu Fei Bin yang mendekatinya selangkah demi selangkah dengan wajah menyeramkan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara alunan rebab mendayu-dayu menuju ke arah mereka. Didorong rasa terkejut, Linghu Chong pun membuka mata.
Mendengar suara rebab yang bernada sedih itu, Fei Bin langsung menoleh dan berpikir, “Tuan Besar Mo si Malam Hujan di Xiaoxiang ada di sini.”
Suara rebab itu terdengar semakin memilukan dan menyayat hati. Namun Tuan Besar Mo tidak juga terlihat datang. Fei Bin pun berseru, “Tuan Besar Mo, mengapa kau tidak ikut bergabung di sini?”
Seketika suara rebab pun berhenti. Dari balik sebatang pohon cemara muncul seorang laki-laki kurus memegang sebuah rebab di tangan kiri.
Sudah lama Linghu Chong mendengar nama besar Tuan Besar Mo si Malam Hujan di Xiaoxiang, namun sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Di bawah sinar rembulan ia melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering berdiri di hadapan Fei Bin. Memang Fei Bin sendiri sudah cukup kurus, namun Tuan Besar Mo jauh lebih kurus lagi, seolah tinggal tulang terbungkus kulit. Diam-diam Linghu Chong merasa heran mengapa seorang tokoh sakti dalam dunia persilatan memiliki potongan tubuh yang sangat buruk seperti penderita penyakit paru-paru? Andai saja Fei Bin tidak menyapa, mungkin ia tidak akan percaya kalau orang itu adalah ketua Perguruan Hengshan yang terkenal.
Sambil tetap memegang rebab, Tuan Besar Mo merangkap tangan memberi hormat kepada Fei Bin. “Adik Fei, apakah Ketua Zuo sehat-sehat saja?”
Fei Bin teringat bahwa hubungan antara Tuan Besar Mo dengan Liu Zhengfeng kurang akrab. Maka, ia pun menjawab pertanyaan tersebut dengan ramah, “Terima kasih atas perhatian Tuan Besar Mo. Kakak Ketua baik-baik saja. Tapi, Liu Zhengfeng dari perguruan kalian ini bergaul dengan aliran sesat untuk menghancurkan Serikat Pedang Lima Gunung. Bagaimana sebaiknya menurut Tuan Besar Mo?”
Tuan Besar Mo maju dua langkah mendekati Liu Zhengfeng sambil tersenyum dingin. Ia lantas berkata, “Orang seperti ini harus dibunuh.”
Usai berkata demikian ia langsung mencabut pedang tipisnya yang tersimpan di dalam rebab. Namun demikian, pedang itu bukan dipakai untuk menusuk Liu Zhengfeng, tetapi diayunkannya ke arah dada Fei Bin. Serangan Tuan Besar Mo ini sangat cepat dan tidak terduga. Yang ia gunakan adalah salah satu dari Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan.
Fei Bin sangat terkejut. Sebelumnya ia telah dipecundangi Liu Zhengfeng menggunakan jurus ini, dan sekarang harus jatuh lagi untuk yang kedua kalinya di tangan Tuan Besar Mo. Dengan perasaan tidak percaya, jagoan Songshan ini melompat mundur namun ujung pedang lawan sempat menggores dadanya. Meskipun luka tersebut tidak terlalu dalam, namun cukup membuat Fei Bin marah sehingga kurang waspada.
Fei Bin berusaha menyerang balik, namun pihak lawan sudah terlanjur menguasai keadaan. Setelah serangan pertamanya berhasil, Tuan Besar Mo melancarkan serangan-serangan selanjutnya susul-menyusul dengan sangat cepat. Pedangnya yang tipis dan lentur berkelebat dan meliuk-liuk seperti seekor ular menyergap mangsa. Dalam waktu singkat, Fei Bin pun terdesak sambil sesekali menjerit ngeri.
Sementara itu, Qu Yang, Liu Zhengfeng, dan Linghu Chong terperanjat kagum menyaksikan kecepatan tangan Tuan Besar Mo yang menyerang musuhnya tanpa ampun. Liu Zhengfeng sendiri puluhan tahun belajar bersama dengan Tuan Besar Mo di dalam perguruan yang sama, namun baru kali ini menyaksikan secara langsung kepandaian tersembunyi dari kakak seperguruannya itu. Ia merasa Jurus Hantu Kabut Hengshan yang dimainkan sang kakak jauh lebih hebat daripada yang bisa ia lakukan.

Suasana tegang sebelum munculnya Tuan Besar Mo.
(Bersambung)

bagian 19 ; halaman muka ; bagian 21