Bagian 125 - Panggilan ke Puncak Timur

LInghu Chong menyambut Biksu Bujie dan istrinya.

Rupanya si nenek agak gentar terhadap Enam Dewa Lembah Persik. Begitu mendengar seruan Linghu Chong, ia terkejut dan langsung menoleh. Maka, kesempatan ini pun dimaanfaatkan Linghu Chong untuk membuka tali pengikat jala dengan sangat cepat dan membiarkan Ren Yingying merangkak keluar. Ketika ia sendiri hendak merangkak, tiba-tiba si nenek membentak, “Kau tidak boleh keluar!”

“Tidak boleh juga tidak masalah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Di dalam jala ini ada duniaku tersendiri. Di sini aku merasa nyaman, bagaikan di kahyangan. Seorang laki-laki sejati sanggup mengkerut atau memuai sesuai kebutuhan. Saat mengkerut aku masuk jala, saat memuai aku keluar jala. Masalah seperti ini tidak ada artinya buatku. Aku Linghu ….” Seketika ia langsung terdiam begitu pandangannya bergeser ke arah mayat Yue Buqun yang tegeletak di situ. Meskipun mantan gurunya itu berkali-kali hendak mencelakainya, namun ia tidak sanggup melupakan kebaikan Yue Buqun yang sudah merawatnya sejak kecil. Ia menganggap rusaknya hubungan guru dan murid semata-mata hanya dikarenakan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Seketika hatinya menjadi pilu dan rongga dada terasa panas pula. Tanpa terasa air mata pun berlinang-linang dan mengucur di pipi pemuda itu.

Sepertinya si nenek tidak mengetahui perasaan Linghu Chong. Ia masih saja marah-marah dan memaki, “Setan cilik, kalau aku tidak menghajarmu, maka rasa benciku tidak akan terlampiaskan!” Usai berkata demikian ia segera mengangkat tangan hendak menampar muka Linghu Chong.

Yilin tampak sedih dan berteriak mencegah, “Ibu, jangan ….”

Sementara itu, Linghu Chong tersadar dari lamunannya dan entah bagaimana tangannya di dalam jala sudah memegang sebilah pedang di luar jala. Rupanya Ren Yingying sempat menyerahkan senjata itu pada saat sang kekasih sedang termangu-mangu.

Begitu senjata sudah di tangan, segera Linghu Chong mengacungkan pedangnya dan menusuk ke arah titik penting di pundak kanan si nenek. Terpaksa perempuan tua itu mundur selangkah.

Melihat Linghu Chong berani melawannya bahkan balas menyerang, si nenek bertambah marah. Tubuhnya bergerak secepat angin. Tangannya menghantam dan kaki menendang bersama-sama. Berkali-kali ia melancarkan tujuh-delapan serangan sekaligus. Namun, Linghu Chong selalu dapat melawannya dengan tidak kalah cepat pula. Pedangnya itu selalu mengancam tempat-tempat berbahaya di tubuh si nenek. Hanya saja, setiap kali ujung pedang hampir mengenai sasaran segera ditariknya kembali. Ilmu Sembilan Pedang Dugu boleh dikata tidak memiliki tandingan di dunia ini. Kalau saja Linghu Chong tidak memberi kelonggaran, mungkin si nenek sudah berlubang-lubang tubuhnya sejak tadi.

Setelah bergerak lagi beberapa jurus, akhirnya perempuan itu menghela napas panjang. Ia menyadari ilmu silat Linghu Chong sangat jauh di atasnya. Maka, ia pun berhenti menyerang dengan raut muka memendam kecewa.

“Istriku,” sahut Biksu Bujie menenangkannya, “kita semua adalah kawan sendiri. Untuk apa berselisih?”

“Siapa yang menyuruhmu ikut bicara?” bentak si nenek gusar. Segera ia bermaksud melampiaskan kemarahannya kepada Bujie.

Kesempatan itu segera digunakan Linghu Chong untuk meletakkan pedangnya dan menerobos keluar dari dalam jala. Sambil tertawa ia berkata, “Jika kau ingin melampiaskan kemarahanmu, silakan pukul aku saja!”

Tanpa permisi perempuan itu langsung menampar muka Linghu Chong dengan sangat keras. Pemuda itu berteriak tapi tidak menghindar sedikit pun.

“Kenapa kau tidak menghindar?” bentak si nenek gusar.

“Aku tidak mampu menghindarinya,” sahut Linghu Chong tertawa. “Aku bisa apa?”

Nenek itu mendengus. Kembali ia mengangkat tangan hendak memukul, namun diurungkannya. Ia tahu Linghu Chong sengaja mengalah kepadanya karena menghormati Yilin.

Sementara itu, Ren Yingying sedang menarik tangan Yilin dan berkata kepadanya, “Adik, syukur kau datang tepat waktu dan menolong kami. Tapi, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”

“Kami semua, murid-murid Perguruan Henshan telah ditangkap oleh anak buahnya,” jawab Yilin sambil menunjuk ke arah mayat Yue Buqun. “Kami dikurung di tempat yang terpisah-pisah. Aku dan ketiga kakak dikurung di suatu gua. Kemudian Ayah, Ibu, dan Bukebujie datang menolong kami. Selanjutnya kami berpencar untuk menolong saudara-saudara lainnya. Aku bersama Ayah dan Ibu, sementara ketiga kakak bersama Bukebujie. Ketika sampai di bawah tebing ini aku mendengar ada orang berbicara di atas. Karena suaranya seperti suara Kakak Linghu, maka aku pun berlari meninggalkan Ayah dan Ibu untuk mendahului naik ke atas sini.”

Ren Yingying berkata, “Ketua Linghu dan aku mencari kalian ke berbagai tempat dan tidak menemukan seorang pun. Ternyata kalian dikurung di dalam sebuah gua.”

Linghu Chong menyahut, “Si bangsat tua berbaju kuning tadi adalah manusia jahat. Sungguh hatiku tidak rela melihatnya sampai lolos.” Ia lantas memungut kembali pedangnya di tanah lalu menambahkan, “Mari kita lekas mengejarnya.”

Kelima orang itu bergegas turun dari Tebing Perenungan tersebut. Tidak lama kemudian mereka pun bertemu Bukebujie alias Tian Boguang bersama tujuh orang murid Henshan sedang mendaki ke atas. Salah seorang di antara ketujuh murid itu adalah Yiqing. Mereka semua begitu gembira dapat berkumpul kembali dengan selamat.

Dalam hati Linghu Chong merenung, “Boleh dikata di dunia ini aku adalah orang yang paling paham seluk beluk Gunung Huashan. Namun, aku sama sekali tidak tahu kalau di bawah lembah sana terdapat sebuah gua, sedangkan orang luar macam Saudara Tian kenapa bisa menemukannya? Ini sungguh aneh.”

Dengan penasaran Linghu Chong lantas menarik baju Tian Boguang dan mengajaknya berjalan pelan-pelan agar tertinggal di belakang rombongan. Perlahan ia bertanya, “Saudara Tian, ternyata di bawah lembah Pegunungan Huashan ini terdapat gua rahasia lain, padahal aku tidak mengetahuinya sama sekali. Sungguh aku merasa heran dan sangat kagum kepadamu.”

“Sebenarnya juga tidak perlu heran seperti itu,” sahut Tian Boguang dengan tersenyum.

“Ah, aku tahu,” ujar Linghu Chong kemudian. “Tentu kau menangkap salah seorang murid Huashan, lalu memaksanya menunjukkan di mana letak gua rahasia itu.”

“Juga bukan seperti itu,” sahut Tian Boguang.

“Lalu dari mana kau tahu ada gua di sana? Tolong kau jawab pertanyaanku ini,” pinta Linghu Chong.

Tiba-tiba sikap Tian Boguang terlihat kaku dan rikuh. Ia lantas menjawab dengan tersenyum, “Kurang pantas rasanya jika kuterangkan hal ini. Lebih baik tidak kukatakan saja.”

“Kita berdua sama-sama kaum berandalan di dunia persilatan, apanya yang tidak sopan?” ujar Linghu Chong. “Sudahlah, lekas kau terangkan saja.”

“Jika kukatakan, hendaknya Ketua Linghu jangan marah,” kata Tian Boguang.

“Kenapa aku harus marah?” sahut Linghu Chong tertawa. “Seharusnya aku malah berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkan orang-orang Perguruan Henshan.”

Maka, dengan suara tertahan Tian Boguang berkata, “Terus terang, sebagaimana diketahui oleh Ketua Linghu sendiri bahwa aku sudah lama malang melintang sebagai penjahat cabul di dunia ini. Tapi, sejak kepalaku digunduli oleh Kakek Guru dan menjadi biksu dengan nama Bukebujie, maka dengan sendirinya aku tidak bisa melakukan begituan lagi ….”

Teringat kepada nama aneh pemberian Biksu Bujie kepada Tian Boguang tersebut, tanpa terasa Linghu Chong tersenyum geli. Tian Boguang paham apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu. Seketika mukanya menjadi merah, dan ia pun berkata, “Namun, kepandaian yang telah kumiliki sejak dulu tidak hilang begitu saja. Entah bagaimana, di mana ada perempuan berkumpul, tentu aku dapat … dapat merasakannya.”

Linghu Chong terheran-heran dan bertanya, “Bagaimana kau bisa melakukannya? Bagaimana caranya?”

“Aku juga tidak tahu bagaimana caranya. Rasanya aku bisa membedakan dengan jelas bagaimana bau badan perempuan dan bagaimana bau badan laki-laki, meskipun jaraknya sangat jauh,” jawab Tian Boguang.

“Hahahaha! Saudara Tian benar-benar seorang mahacerdik!” puji Linghu Chong dengan bergelak tawa. “Pada umumnya para biksu memiliki telinga sakti atau mata sakti, namun Saudara Tian justru memiliki hidung sakti.”

“Ah, tidak benar, tidak benar!” sahut Tian Boguang.

“Kepandaian Saudara Tian terasah berkat latihan keras dan pengalaman panjang. Jika dulu ilmu saktimu itu kau gunakan untuk kejahatan, tidak disangka, kini dapat kau gunakan untuk menolong murid-murid Perguruan Henshan,” kata Linghu Chong dengan terus tertawa.

Mendengar gelak tawa itu, Ren Yingying menoleh ke belakang hendak bertanya. Namun, melihat sikap Tian Boguang yang rikuh dan wajahnya bersemu merah, si nona menduga tentu mereka sedang membicarakan hal-hal yang kurang sopan. Maka, ia pun batal bertanya.

Tiba-tiba Tian Boguang berhenti di situ dan berkata, “Hei, di sebelah kiri sana sepertinya ada beberapa anggota Perguruan Henshan.” Usai berkata ia lantas mengendus-endus dengan kuat beberapa kali, lalu melangkah ke arah semak-semak di bawah lereng sana sambil mengendap-endap mencari sesuatu. Perbuatannya itu tampak seperti anjing pemburu yang sedang mencari jejak hewan buruannya.

Tidak lama kemudian, mendadak ia bersorak gembira dan berseru, “Ini dia, di sebelah sini!”

Tempat yang ditunjuknya berupa tumpukan belasan bongkah batu besar. Setiap bongkahan batu itu sangat berat. Segera ia pun bekerja keras. Sebongkah batu besar itu lantas disingkirkan dari tempatnya.

Dengan cepat Biksu Bujie dan Linghu Chong ikut membantu. Sebentar saja belasan batu besar telah mereka singkirkan. Ternyata di bawahnya terdapat sepotong balok batu. Ketika mereka mengangkat balok batu itu, segera tampak sebuah lubang gua bawah tanah. Di dalam gua tersebut berbaring beberapa biksuni, jelas mereka adalah murid-murid Perguruan Henshan seluruhnya.

Lekas-lekas Yiqing dan dua orang lainnya melompat turun ke dalam gua dan mengangkat keluar saudara-saudara seperguruan mereka itu. Sudah lima-enam orang yang berhasil digotong keluar. Di dalam gua ternyata masih ada yang lain, semuanya dalam keadaan payah. Segera mereka menyeret keluar semua murid Perguruan Henshan yang terkurung itu. Yihe, Zheng E, dan Qin Juan tampak berada di antaranya. Gua sesempit itu ternyata berisi tiga puluhan orang. Andaikan terlambat semalam saja, tentu mereka semua mati lemas karena kehabisan udara.

Teringat betapa kejam sang guru, mau tidak mau Linghu Chong merasa ngeri juga. Segera ia pun memuji Tian Boguang, “Saudara Tian, kepandaianmu sungguh istimewa. Para kakak dan adik tersembunyi di dalam gua bawah tanah sedalam ini, tapi kau dapat mengendusnya. Sungguh aku sangat kagum padamu.”

“Sebenarnya tidak terlalu istimewa,” ujar Tian Boguang. “Untunglah di antara para bibi itu ada yang berasal dari kalangan awam ….”

“Para bibi apa?” tanya Linghu Chong heran. Namun, ia segera paham dan berkata, “Ah, benar juga! Kau adalah murid Adik Yilin.”

“Bila yang terkurung di dalam gua ini hanya para bibi dari kalangan biksuni, maka sukar bagiku untuk menemukan mereka,” jawab Tian Boguang.

“Oh, rupanya ada perbedaan besar antara kaum agama dengan kaum awam?” tanya Linghu Chong.

“Sudah tentu ada bedanya,” ujar Tian Boguang. “Perempuan dari kalangan awam pada tubuhnya terdapat bau bedak dan gincu yang wangi.”

Linghu Chong pun paham permasalahannya. Harumnya bedak dan gincu itu menambah kuat bau perempuan mereka sehingga membuat Tian Boguang lebih cepat dalam menemukan mereka.

Beramai-ramai Yiqing, Yilin, dan yang lain sibuk menyadarkan para saudara seperguruannya yang sudah payah itu. Setelah diberi minum air jernih, satu per satu dari mereka akhirnya sadar kembali, terutama Yihe yang memiliki tenaga dalam paling tinggi.

“Yang kita selamatkan ini belum ada sepertiga dari semua saudara-saudara kita,” kata Linghu Chong. “Maka itu, Saudara Tian, harap kau pertunjukkan kesaktianmu. Marilah kita mencari lagi saudara-saudara yang lain.”

Saat itu si nenek sedang melirik kepada Tian Boguang dengan penuh rasa curiga. Tiba-tiba ia bertanya kasar, “Bagaimana kau bisa mengetahui mereka terkurung di sini? Kemungkinan besar kau berada di sekitar sini ketika mereka disekap, benar tidak?”

“Tidak, tidak,” segera Tian Boguang membantah. “Aku senantiasa ikut Kakek Guru. Ke mana pun Beliau pergi aku tidak pernah berpisah selangkah pun.”

“Apa kau senantiasa ikut di sisinya?” sahut si nenek menegas dengan muka cemberut.

Diam-diam Tian Boguang merasa ucapannya keliru. Ia tahu Biksu Bujie dan istrinya baru saja berkumpul kembali setelah sekian lamanya berpisah. Segala perbuatan mereka di sepanjang jalan, baik itu menangis, tertawa, bertengkar, atau bermesraan, semua disaksikan oleh Tian Boguang. Kalau sekarang si nenek guru sampai marah karena malu, tentu ia bisa celaka. Maka, dengan cepat ia pun menjawab, “Bukan begitu maksudku. Selama setengah tahun ini aku selalu mendampingi Kakek Guru, tapi kira-kira sepuluh hari terakhir kami berpisah dan baru bertemu kembali di Gunung Huashan ini.”

Sudah tentu si nenek setengah percaya dan setengah ragu. Ia kembali bertanya, “Lalu bagaimana kau bisa mengetahui para biksuni terkurung di dalam gua ini?”

“Tentang ini … ini ….” seketika Tian Boguang menjadi sukar memberi jawaban.

Pada saat itulah tiba-tiba dari arah lereng gunung bergema suara trompet disusul suara genderang bergemuruh yang sangat ramai. Sepertinya ada beribu-ribu prajurit menyerbu Gunung Huashan. Seketika semua orang menjadi tercengang.

Ren Yingying lantas berbisik kepada Linghu Chong, “Ayahku datang.”

“Oh ….” ujar Linghu Chong terputus. Sebenarnya ia hendak berkata, “Oh, ternyata ayah mertuaku yang datang!” namun tiba-tiba merasa tidak enak untuk melanjutkannya.

Si nenek tampak heran dan bertanya, “Apakah ada pasukan yang datang?”

Tiba-tiba suara genderang dan terompet itu berhenti serentak. Sebanyak tujuh atau delapan orang lantas berteriak bersama-sama, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, penguasa dunia persilatan, pelindung rakyat jelata, Paduka Yang Mulia Baginda Ketua Ren telah tiba!”

Tenaga dalam orang-orang itu sangat dahsyat. Suara teriakan mereka seketika menggelegar di angkasa lembah pegunungan itu sampai menimbulkan suara yang bergemuruh. Maka, terdengarlah gema suara mereka berkali-kali, “Ketua Ren telah tiba! Ketua Ren telah tiba!”

Raut muka Biksu Bujie dan para murid Henshan seketika pucat mendengar gema suara itu. Belum lenyap suara gema yang pertama berkumandang, kembali terdengar pula banyak orang berteriak, “Hidup Ketua Ren! Semoga Ketua Ren panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan!”

Dari suara gemuruh yang menggetarkan bumi itu, jumlah mereka yang berteriak-teriak sedikitnya ada dua sampai tiga ribu orang. Sejenak kemudian, gema suara itu terdengar mulai reda. Setelah suasana hening, kembali terdengar seseorang berseru dengan lantang, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, Ketua Ren yang mahabijaksana, sang juruselamat memberikan perintah: Hendaknya para ketua dari Serikat Pedang Lima Gunung beserta semua muridnya mematuhi perintah untuk berangkat dan berkumpul di Puncak Menyongsong Mentari!”

Orang itu mengulangi titah sang ketua sampai tiga kali. Selang sejenak ia lantas menyambung kembali, “Para ketua cabang dan semua wakilnya harap segera memimpin anak buah masing-masing mengadakan pemeriksaan di segenap puncak gunung. Jaga semua jalur keluar-masuk dengan ketat. Orang yang tidak berkepentingan dilarang melewati pegunungan ini. Yang melanggar perintah bisa dibunuh saja tanpa perkara.”

Segera terdengar dua-tiga puluh orang mengiakan perintah itu.

Linghu Chong saling pandang sekejap dengan Ren Yingying. Mereka paham apa artinya perintah tersebut, yaitu setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung harus pergi ke Puncak Menyongsong Mentari untuk menghadap kepada Ren Woxing. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Ketua Ren adalah ayah dari Yingying. Bagaimanapun juga ia adalah calon mertuaku. Tiada salahnya kalau aku ke sana sekarang.”

Karena itu, ia lantas berkata kepada Yihe dan yang lain, “Masih ada sebagian saudara kita yang terkurung. Hendaknya Saudara Tian menjadi penunjuk jalan untuk menolong mereka keluar. Ketua Ren adalah ayah Nona Ren, rasanya Beliau tidak akan menyusahkan kita. Aku dan Nona Ren akan mendahului pergi ke puncak timur sana. Setelah saudara-saudara kita berkumpul seluruhnya, hendaknya semua beramai-ramai bergabung ke sana pula.”

Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang lain serentak mengiakan. Mereka lantas mengikuti Tian Boguang pergi mencari teman-teman lain yang masih terkurung di berbagai tempat.

Tiba-tiba si nenek mengomel, “Huh, untuk apa aku harus mematuhi perintah si Ketua Ren itu? Baiklah, aku ingin melihat bagaimana orang bermarga Ren itu membunuhku tanpa perkara.”

Linghu Chong paham watak si nenek ini memang sukar diajak bicara. Seandainya ia bersedia pergi menemui Ren Woxing, bukan tidak mungkin malah menimbulkan gara-gara. Maka, ia pun melangkah pergi dengan Ren Yingying saja setelah memberi hormat kepada Biksu Bujie dan istrinya itu.

Sambil berjalan Linghu Chong bercerita, “Gunung Huashan memiliki tiga puncak tertinggi, yaitu puncak barat, puncak timur, dan puncak selatan. Puncak barat dan timur adalah yang terutama. Puncak timur memiliki sebutan Puncak Menyongsong Mentari. Ayahmu sengaja memilih Puncak Menyongsong Mentari sebagai tempat pertemuan dengan para kesatria Serikat Pedang Lima Gunung sudah tentu mempunyai maksud yang mendalam. Sepertinya kami semua diminta untuk menyongsong kedatangan ayahmu sebagai penguasa tertinggi. Sudah pasti ayahmu mendengar berita bahwa semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung sedang berkumpul di Gunung Huashan sini, lantas ia pun datang untuk memerintahkan kami semua untuk menghadap.”

Ren Yingying berkata, “Di antara para pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung itu, dalam sehari saja telah terbunuh tiga orang, yaitu Tuan Yue, Zuo Lengchan, dan Tuan Besar Mo. Perguruan Taishan sendiri belum jelas siapa yang menjadi ketua baru. Dengan demikian, di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal kau seorang saja yang menjabat ketua.”

Linghu Chong menjawab, “Selain Perguruan Henshan kami, hampir semua tulang punggung Serikat Pedang Lima Gunung sudah tewas di gua belakang Tebing Perenungan itu. Sementara itu, murid-murid Henshan sendiri juga baru saja terkurung dalam keadaan payah. Karena itu, aku khawatir ….”

“Kau khawatir ayahku akan menumpas habis Serikat Pedang Lima Gunung kalian pada kesempatan seperti sekarang ini?” sahut Ren Yingying menegas.

Linghu Chong mengangguk sambil menghela napas, lalu berkata, “Sebenarnya Beliau tidak perlu turun tangan juga orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung sudah tidak berarti lagi.”

“Perhitungan ayahku kali ini benar-benar sangat jitu,” kata Ren Yingying. “Tuan Yue telah memancing berbagai tokoh inti dari Serikat Pedang Lima Gunung untuk masuk ke dalam gua rahasia di Gunung Huashan sini untuk melihat ilmu pedang para leluhur yang terukir di dinding. Diam-diam tentu dia bermaksud menumpas mereka semua agar dapat menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung dengan leluasa. Tak disangka, kesempatan itu justru digunakan oleh Zuo Lengchan dengan mengajak segerombolan orang buta untuk membinasakan Tuan Yue di dalam gua gelap tersebut.” Mengingat Linghu Chong sedang berduka, ia tidak berani sembarangan menyebut nama Yue Buqun.

“Kau bilang Zuo Lengchan bermaksud membunuh guruku?” sahut Linghu Chong menegas. “Jadi bukan aku yang diincar Zuo Lengchan?”

“Dia tidak menyangka kau juga datang ke sini,” sahut Ren Yingying. “Ilmu pedangmu sudah mahasakti, sudah lama pula kau mengetahui jurus-jurus ilmu pedang leluhur yang terukir di dinding gua itu. Maka, ia menduga kau tidak akan tertarik oleh umpan yang dipasang Tuan Yue itu. Bukankah kita masuk ke dalam gua itu hanya karena kebetulan saja?”

“Benar juga,” ujar Linghu Chong. “Sebenarnya antara aku dan Zuo Lengchan tidak terdapat permusuhan yang mendalam. Kedua matanya telah dibutakan oleh Guru. Selain itu, Guru juga telah merebut kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung dan menghancurkan rencana jangka panjangnya. Hal inilah yang menjadi dendam kesumat baginya.”

“Zuo Lengchan pasti sudah mengatur tipu muslihat untuk memancing Tuan Yue masuk ke dalam gua itu,” lanjut Ren Yingying. “Dia bermaksud membunuh Tuan Yue di dalam gua yang gelap gulita. Tapi entah bagaimana Tuan Yue berhasil mengetahui tipu muslihat itu sehingga berbalik menanti di mulut gua. Ia bermaksud menangkap Zuo Lengchan dan gerombolannya menggunakan jala pusaka tadi. Kini Zuo Lengchan dan gurumu sudah meninggal semua. Kita hanya bisa menduga-duga, sementara seluk-beluk masalah ini secara terperinci mungkin tiada seorang pun yang tahu.”

Linghu Chong mengangguk dengan perasaan pilu.

Ren Yingying kembali berkata, “Sepertinya sudah sejak lama Tuan Yue merencanakan tipu muslihatnya untuk memancing kedatangan tokoh-tokoh inti Serikat Pedang Lima Gunung ke dalam gua itu. Sewaktu pertandingan di puncak Songshan tempo hari, adik kecilmu telah memainkan jurus-jurus leluhur Perguruan Taishan, Hengshan, Songshan, dan Henshan untuk menghadapi para ketua dari golongan masing-masing. Sudah tentu kepandaiannya yang luar biasa itu sangat menarik perhatian banyak orang. Hanya murid-murid Perguruan Henshan saja yang tidak tertarik oleh kepandaian Nona Yue karena kau sudah mengajarkan ilmu pedang leluhur yang kau peroleh dari ukiran di dinding gua tersebut kepada mereka. Sementara itu, orang-orang Perguruan Hengshan, Songshan, dan Taishan tentu merasa penasaran dan berusaha mencari tahu dari mana Nona Yue dapat mempelajari ilmu pedang mereka yang lihai itu. Nah, di situlah Tuan Yue sengaja membocorkan sedikit rahasianya, lalu menentukan hari serta membuka pintu lebar-lebar gua keramat tersebut. Tentu saja para pemuka dari ketiga perguruan lantas membanjir ke sana dan berebut mendahului masuk ke dalam gua itu.”

“Benar sekali. Kaum persilatan seperti kita ini memang mudah tertarik kepada ilmu silat,” sahut Linghu Chong. “Begitu mendengar di mana ada ilmu silat yang istimewa, biarpun menghadapi bahaya besar juga tetap berangkat untuk melihatnya. Apalagi kalau menyangkut ilmu silat tertinggi dari perguruan sendiri, tentu saja harus dicari sampai bertemu. Bahkan, tokoh semacam Paman Guru Mo yang biasanya acuh tak acuh akhirnya juga menjadi korban tipu muslihat guruku.”

Ren Yingying berkata, “Sepertinya Tuan Yue sudah menduga Perguruan Henshan kalian tidak akan datang kemari. Maka itu, dia lantas mengatur siasat lain. Dengan menaburkan obat bius, para murid Henshan dapat ditawan dan dibawa ke Huashan sini.”

Linghu Chong terlihat heran dan bertanya, “Aku tidak mengerti, mengapa Guru harus bersusah payah mengangkut orang-orang Henshan kemari? Padahal perjalanan cukup jauh, dan di tengah jalan bisa saja terjadi perlawanan. Kalau dia langsung membunuh orang-orang kami di Gunung Henshan bukankah jauh lebih mudah?” Setelah diam sejenak, ia kembali berkata, “Ah, aku paham sekarang. Kalau murid-murid Henshan dibunuh habis, ini berarti Perguruan Lima Gunung akan menjadi pincang. Padahal, Guru ingin menjadi ketua Perguruan Lima Gunung secara sempurna. Tanpa Perguruan Henshan berarti jabatannya itu tidak sesuai lagi dengan namanya.”

“Sudah tentu demikian,” ujar Ren Yingying. “Tapi yang kau katakan itu hanyalah satu alasan saja. Aku rasa masih ada satu alasan lain yang lebih besar.”

“Apa itu?” Linghu Chong bertanya.

“Yang paling baik baginya adalah bisa menangkapmu hidup-hidup,” tutur Ren Yingying. “Dengan mengangkut semua murid Perguruan Henshan kemari, ia bermaksud memaksamu untuk datang pula dan menyerahkan sesuatu yang ia butuhkan. Nah, sesuatu itu sebenarnya ada di tanganku.”

“Oh ya, aku tahu!” seru Linghu Chong sambil menepuk paha. “Yang diinginkan guruku adalah obat penawar Pil Pembusuk Otak.”

“Setelah Tuan Yue menelan pil itu, dengan sendirinya dia menjadi tidak tenteram siang dan malam,” ujar Ren Yingying. “Bagaimanapun juga dia berusaha hendak memusnahkan racun yang mengeram di dalam tubuhnya itu. Dia tahu, hanya melalui dirimu barulah obat penawar itu dapat diperoleh.”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Itu karena dia tahu kalau aku ini jantung hatimu. Hanya diriku saja yang dapat membuatmu rela menyerahkan obat penawar itu kepadanya.”

Ren Yingying menukas, “Huh, dasar tidak tahu malu, memuji diri sendiri! Kalau dia sampai menangkapmu dan memaksaku menyerahkan obat penawar itu kepadanya, maka aku tidak sudi untuk melakukannya. Obat penawar tersebut bagaikan harta karun tak ternilai bagi agama kami.”

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Pepatah mengatakan: memang sulit menemukan harta karun tak ternilai, tapi jauh lebih sulit menemukan kekasih sejati.”

Ren Yingying menunduk dengan wajah bersemu merah. Dalam hati ia mengakui kebenaran pepatah tersebut.

Akhirnya, mereka berdua sampai di sebuah jalan setapak yang menanjak terjal. Jalan ini sangat kecil sehingga tidak bisa dilalui secara berdampingan.

“Kau berjalan di depan,” kata Ren Yingying.

“Lebih baik kau saja yang berjalan di depan. Bila kau jatuh terperosok tentu akan segera kupeluk,” ujar Linghu Chong.

“Tidak, kau saja yang berjalan di depan, juga tidak boleh menoleh ke belakang. Apa yang diperintahkan Nenek harus selalu kau patuhi!” kata Ren Yingying dengan tertawa.

“Baiklah, aku akan berjalan lebih dulu,” jawab Linghu Chong. “Tapi kalau aku sampai jatuh terperosok, maka kau harus memeluk diriku.”

“Tidak, tidak!” sahut Ren Yingying dengan cepat. Rupanya ia khawatir Linghu Chong pura-pura jatuh dan sengaja main gila padanya. Maka itu, ia segera mendahului berjalan di depan.

Meskipun banyak bercanda, namun sorot mata Linghu Chong tetap memancarkan kesedihan. Ren Yingying paham kalau pemuda itu masih berduka atas kematian Yue Buqun. Maka, sepanjang perjalanan ia pun memancing Linghu Chong untuk selalu bicara dan bercanda. Setiap kali Linghu Chong memang tertawa namun tidak pernah sampai sepenuhnya.

Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya mereka sampai di atas Puncak Gadis Kumala. Linghu Chong lantas menunjuk tempat-tempat yang indah di puncak tersebut. Ren Yingying sadar tempat-tempat indah ini dulunya tentu sering menjadi tempat bermain antara Linghu Chong dan Yue Lingshan. Maka, ia hanya memandang sekali terhadap tempat-tempat indah tersebut tanpa banyak bertanya, karena takut Linghu Chong kembali berduka.

Turun dari Puncak Gadis Kumala, setelah berbelok melalui sebuah tikungan lagi, dan melewati jalan menanjak ke atas akhirnya sampailah mereka di Puncak Menyongsong Mentari. Tampak di lereng puncak tersebut penuh berdiri pos-pos penjagaan. Para anggota Sekte Matahari dan Bulan terlihat memakai seragam yang terdiri dari tujuh warna dan berdiri di bawah panji-panji sesuai warna masing-masing. Linghu Chong melihat keadaan mereka jauh lebih teratur dan tertib dibandingkan saat datang ke Tebing Kayu Hitam tempo hari.

Diam-diam Linghu Chong memuji dalam hati, “Ketua Ren benar-benar manusia luar biasa. Aku pernah memimpin ribuan pendekar menyerbu Biara Shaolin, tapi keadaan mereka kacau balau dan sama sekali tidak tertib, mana bisa dibandingkan dengan Sekte Matahari dan Bulan ini? Beribu-ribu anak-buahnya ternyata dapat melaksanakan tugas dengan sangat teratur, seperti badan menggerakkan lengan, lengan menggerakkan tangan, tangan menggerakkan jari, semuanya bagaikan satu kesatuan yang serasi. Dongfang Bubai juga manusia hebat. Tapi sayang, pikirannya menjadi kacau dan terlalu percaya kepada Yang Lianting. Akibatnya, ia pun kehilangan segalanya.”

Begitu melihat kedatangan Ren Yingying, segenap anggota Sekte Matahari dan Bulan serentak membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Terhadap Linghu Chong mereka juga memberikan penghormatan yang sama. Panji komando setingkat demi setingkat dikibarkan dari bawah hingga ke atas puncak untuk menyampaikan laporan kepada Ren Woxing tentang kedatangan mereka berdua.

Melihat setiap tempat penting di sekitar Puncak Menyongsong Mentari itu terjaga oleh anggota Sekte Matahari dan Bulan yang beribu-ribu jumlahnya, jelas Ren Woxing telah mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghadapi lawan. Linghu Chong pun berpikir, “Andaikan para ketua Serikat Pedang Lima Gunung masih hidup dan berkumpul di Huashan sini, belum tentu mereka sanggup menghadapi lawan yang begini kuat. Jangankan melawan, untuk bertahan saja rasanya tidak mampu. Apalagi sekarang keadaan sudah berantakan, kekuatan kelima perguruan sudah mendekati nol. Semuanya kini terserah kepada takdir dan tinggal menerima nasib. Apabila Ren Woxing hendak membunuh habis orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung, tidak mungkin aku berdiam diri. Biarlah aku mati bersama murid-murid Henshan di Puncak Huashan ini.”

Meskipun Linghu Chong cukup pintar dan cerdik, namun ia tidak biasa bermain siasat, juga tidak berbakat memimpin pekerjaan besar dan menghadapi kejadian luar biasa. Kini menghadapi kehancuran Perguruan Henshan secara total, ia merasa tidak punya akal untuk menyelamatkannya. Biarlah segala sesuatu terserah keadaan, menyerah kepada nasib saja. Terpikir pula olehnya bahwa Ren Yingying mempunyai hubungan darah dengan Ren Woxing. Tentu si nona akan bingung dan akhirnya memilih tidak membela pihak mana pun. Sudah pasti ia tidak akan membantu pihak Henshan dan memusuhi ayahnya sendiri. Maka itu, ia lantas menenangkan pikiran. Segenap anggota Sekte Matahari dan Bulan yang bersiaga menghunus senjata di sepanjang jalan itu dianggapnya sepi. Ia tetap bercanda dengan Ren Yingying atau membicarakan keindahan alam pegunungan Huashan yang mereka lalui itu.

Sebaliknya, pikiran Ren Yingying menjadi kusut dan sedih. Ia tidak dapat bersikap acuh tak acuh seperti Linghu Chong. Di sepanjang jalan ia justru memeras otak mencari akal bagaimana membantu sang kekasih. “Kakak Chong benar-benar tidak kenal takut. Sekalipun langit runtuh juga ia masih bisa bercanda. Keadaan sudah sedemikian gawat. Ayah datang kemari dengan segenap kekuatan, tentu bukan dengan tujuan yang baik. Aku tidak tahu harus bagaimana. Terpaksa yang paling baik adalah menunggu dan melihat serta berbuat menurut keadaan nanti. Mungkin saja ada jalan tengah yang baik bagi kedua pihak,” demikian pikirnya.

Keduanya terus mendaki puncak tersebut. Setibanya di atas, mendadak terompet berbunyi disertai suara petasan, menyusul kemudian bergema pula suara genderang dan tetabuhan lainnya, bagaikan sebuah upacara menyambut kedatangan tamu agung.

“Hehe, bapak mertua menyambut kedatangan menantu tersayang,” kata Linghu Chong dengan suara perlahan sambil tertawa.

Ren Yingying melotot kepadanya. Dalam hati ia merasa sedih bercampur kesal terhadap sikap Linghu Chong yang acuh tak acuh itu. “Pada saat genting seperti ini masih sempat bercanda segala,” pikirnya.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa seseorang, lalu ia berseru dengan lantang, “Nona Besar, Adik Linghu, kalian sudah ditunggu sekian lama oleh Ketua Ren.” Rupanya yang menyapa itu seorang tua jangkung berjubah ungu dengan wajah berseri-seri. Ia tidak lain adalah Xiang Wentian.

Linghu Chong menjawab dengan gembira, “Hei, Kakak Xiang, apa kau baik-baik saja? Sungguh aku sangat rindu padamu.”

“Di Tebing Kayu Hitam aku sering mendengar keharuman namamu di dunia persilatan. Sungguh aku ikut gembira dan mengangkat cawan sebagai pujianku untukmu. Selama ini entah sudah berapa banyak guci arak yang kuhabiskan demi merayakan kejayaanmu,” kata Xiang Wentian dengan tertawa. “Mari, mari, kita harus lekas-lekas menghadap Ketua!” Usai berkata ia langsung menggandeng tangan Linghu Chong dan mengajak pemuda itu menuju ke suatu panggung batu yang menjulang tinggi di atas puncak tersebut.

Di sebelah timur panggung batu terdapat lima tiang batu yang berjajar bagaikan telapak tangan raksasa. Orang-orang menyebut tiang batu itu dengan nama Telapak Dewa. Kelima tiang batu tersebut menjulang tinggi ke angkasa, dan yang paling tengah adalah yang paling tinggi. Di atas tiang batu paling tinggi itu terdapat sebuah kursi megah, di mana seseorang tampak sedang duduk di atasnya. Orang itu tidak lain adalah Ren Woxing.

Ren Yingying melangkah mendekati telapak tangan batu raksasa itu. Sambil menengadah ia menyapa, “Ayah!”

Linghu Chong juga memberi hormat dan menyapa, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua!”

Ren Woxing bergelak tawa dan berkata, “Adik Kecil, kau datang pada saat yang tepat. Kita adalah keluarga sendiri, tidak perlu banyak adat. Hari ini aku hendak menemui para kesatria di seluruh jagat. Pertama kita bicara urusan resmi, baru kemudian kita bicara urusan keluarga. Nah, silakan duduk wahai ... wahai adikku sayang.”

Mula-mula Linghu Chong mengira Ren Woxing hendak memanggil “wahai menantu sayang” kepadanya. Namun, karena belum resmi, maka panggilannya langsung diganti menjadi “wahai adikku sayang”. Meskipun demikian, Linghu Chong melihat gelagat baik bahwa Ren Woxing jelas sangat merestui perjodohan dirinya dengan Ren Yingying. Apalagi ucapannya yang pertama tadi menyebutkan “kita adalah keluarga sendiri” serta “pertama kita bicara urusan resmi, baru kemudian kita bicara urusan keluarga”, jelas dirinya tidak lagi dianggap sebagai orang lain.

Tentu saja hati Linghu Chong merasa sangat senang. Ia lantas berdiri tegak kembali. Namun, tiba-tiba pada titik dantian di sekitar perutnya bergolak suatu hawa dingin yang langsung menerjang ke atas. Seketika seluruh tubuhnya pun menggigil bagaikan tercebur ke dalam sungai es.

Ren Yingying terkejut melihatnya. Segera ia melangkah maju dan bertanya, “Ada apa denganmu?”

“Aku … aku ….” ternyata sukar bagi Linghu Chong untuk membuka suara.

Meskipun duduk di atas tempat yang begitu tinggi, namun pandangan Ren Woxing sungguh sangat tajam. Segera ia bertanya, “Apakah kau baru saja bertarung melawan Zuo Lengchan?”

Linghu Chong hanya bisa mengangguk.

“Tidak masalah,” ujar Ren Woxing. “Kau telah menyedot hawa dingin beracun darinya. Sebentar lagi kalau hawa dingin itu sudah buyar, tentu kau akan sehat kembali. Tapi, mengapa Zuo Lengchan belum juga tiba?”

“Zuo Lengchan memasang perangkap keji hendak mencelakai Kakak Linghu dan aku,” jawab Ren Yingying. “Dia akhirnya dapat dibinasakan oleh Kakak Linghu.”

“Oh!” sahut Ren Woxing. Karena ia duduk di tempat yang tinggi maka raut mukanya tidak terlihat jelas. Namun demikian, nada suaranya terdengar penuh rasa kecewa yang tak terhingga.

Ren Yingying memahami perasaan sang ayah. Hari ini secara besar-besaran ayahnya telah mengerahkan segenap kekuatan menuju Gunung Huashan dengan maksud untuk menaklukkan Serikat Pedang Lima Gunung secara keseluruhan. Zuo Lengchan merupakan musuh bebuyutan ayahnya selama ini, dan kini telah mati di tangan orang lain. Padahal, Ren Woxing ingin sekali melihatnya bertekuk lutut dan mengaku kalah disaksikan banyak orang.

Segera Ren Yingying menggenggam tangan kanan Linghu Chong dan menyalurkan tenaga dalam untuk membantu pemuda itu menolak hawa dingin beracun milik Zuo Lengchan. Sementara itu, tangan Linghu Chong yang kiri dipegang oleh Xiang Wentian. Kedua orang itu mengerahkan tenaga bersama-sama sehingga Linghu Chong merasa hawa dingin dalam tubuhnya pun musnah sedikit demi sedikit.

Ketika bertempur di Biara Shaolin dahulu, Zuo Lengchan sengaja membiarkan tenaga dalamnya yang mahadingin dihisap sekian banyak oleh Ren Woxing. Akibatnya, setelah meninggalkan biara tersebut Ren Woxing hampir mati kedinginan di tanah bersalju. Waktu itu Linghu Chong, Xiang Wentian, dan Ren Yingying berusaha menyalurkan tenaga dalam kepadanya dan ikut membeku menjadi manusia salju. Akan tetapi, saat ini Linghu Chong hanya sedikit menghisap hawa dingin Zuo Lengchan melalui persentuhan pedang dalam waktu yang singkat pula. Maka, dalam sebentar saja ia sudah tidak menggigil lagi.

“Sudah, sudah, terima kasih untuk kalian berdua,” katanya kemudian.

Tian Boguang mencari murid-murid Henshan yang disekap.

Pasukan Sekte Iblis mendatangi Gunung Huashan.

Linghu Chong mendatangi Ren Woxing.

(Bersambung)