Bagian 79 - Pertempuran di Lembah Berkobar

Yue Lingshan melabrak Linghu Chong.

Linghu Chong menjawab, “Aku sama sekali tidak mengatakan ibumu telah menggelapkan jubah biksu itu. Langit menjadi saksi, dalam hatiku sedikit pun tidak ada perasaan kurang hormat kepada ibumu. Yang kumaksudkan adalah … adalah ….”

“Adalah apa?” Yue Lingshan menegas.

“Yang kumaksudkan adalah sesudah ibumu melihat jubah biksu itu dan mengetahuinya bahwa itu adalah milik Keluarga Lin, dengan sendirinya barang itu langsung dikembalikan kepada Adik Lin,” ujar Linghu Chong.

Yue Lingshan tertawa dingin dan menukas, “Mana mungkin ibuku menggeledah barang bawaanmu? Seandainya hendak dikembalikan kepada Adik Lin juga Ibu akan menunggu setelah kau siuman supaya kau yang mengembalikannya sendiri kepada Adik Lin, mengingat barang itu kau dapatkan secara mati-matian. Mana mungkin Ibu tidak memikirkan hal demikian?”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Benar juga ucapannya. Apa barangkali jubah biksu itu telah dicuri orang lain?” Seketika keringat dingin merembes keluar di punggungnya. Ia kemudian berkata, “Jika begitu, dalam hal ini pasti ada kejadian lain.” Lalu ia mengibaskan bajunya sendiri dan berkata, “Seluruh barangku ada di sini. Jika kau tidak percaya boleh menggeledah badanku.”

Kembali Yue Lingshan tertawa dingin, “Kau ini licin dan licik. Barang yang sudah kau ambil mana mungkin kau simpan di badanmu sendiri? Lagipula di sekitarmu ada banyak biksu dan biksuni, serta perempuan-perempuan tidak jelas ini. Tentu mereka akan ikut menyembunyikannya untukmu.”

Melihat Yue Lingshan memperlakukan Linghu Chong seperti hakim menanyai terdakwa, membuat murid-murid Perguruan Henshan sejak tadi merasa kesal. Kini begitu mendengar gadis itu menyinggung mereka dengan kata-kata kasar, kontan mereka pun membentak-bentak, “Omong kosong!”

“Apa maksudmu dengan perempuan tidak jelas?”

“Di sini mana ada biksu?”

“Kau sendiri yang perempuan tidak jelas!”

Yue Lingshan juga tidak gentar. Sambil meraba gagang pedang ia menjawab, “Kalian adalah para pengikut Buddha, tapi siang malam bergaul mengelilingi seorang laki-laki. Apakah kelakuan demikian ini bukan perbuatan tidak jelas? Cis, dasar tidak tahu malu!”

Murid-murid Henshan menjadi gusar. Serentak tujuh atau delapan orang di antaranya melolos pedang.

Yue Lingshan juga lantas melolos pedangnya sambil berseru, “Kalian ingin mengandalkan jumlah banyak untuk main keroyok, hah? Kalau mau membunuhku, ayo silakan maju! Jika Nona Yue sampai gentar menghadapi kalian tentu bukan murid Perguruan Huashan!”

Linghu Chong segera melambaikan tangan kirinya untuk mencegah murid-murid Henshan bertindak lebih lanjut. Ia menghela napas, lalu berkata kepada Yue Lingshan, “Kalau kau telah mencurigai aku, apa lagi yang dapat kukatakan? Tapi bagaimana dengan Lao Denuo, mengapa tidak kau tanyakan padanya? Jika dia berani mencuri Kitab Awan Lembayung, bukankah bisa jadi jubah biksu itu juga dicuri olehnya?”

“Oh, jadi kau menyuruhku pergi bertanya kepada Lao Denuo?” sahut Yue Lingshan dengan nada keras.

“Tentu saja,” jawab Linghu Chong.

“Baik, silakan kau habisi nyawaku! Kau sudah mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis. Aku memang bukan tandinganmu lagi!” kata Yue Lingshan.

“Mana … mana bisa aku melukaimu?” sahut Linghu Chong tercengang.

“Habis, kau suruh aku pergi menanyai Lao Denuo. Jika kau tidak membunuhku, bagaimana caraku dapat menyusul Lao Denuo ke neraka?” balas Yue Lingshan.

Linghu Chong terkejut bercampur gembira mendengarnya. Ia bertanya, “Jadi Lao Denuo telah … telah dibinasakan oleh Gu… oleh ayahmu?” Ia paham sebelum masuk Perguruan Huashan, Lao Denuo sudah memiliki bekal ilmu silat yang lumayan tinggi. Maka selain Yue Buqun, rasanya tidak ada lagi yang bisa membunuhnya. Linghu Chong merasa gembira karena kematian Lu Dayou, adik seperguruan yang paling dekat dengannya, telah terbalaskan.

Namun lagi-lagi Yue Lingshan tertawa dingin, “Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Kau yang telah membunuh Lao Denuo, kenapa tidak berani mengaku?”

“Kau bilang aku yang membunuh Lao Denuo?” Linghu Chong menegas dengan heran. “Jika aku yang membunuhnya maka aku tidak perlu menyangkal. Lao Denuo telah membunuh Adik Keenam, dia pantas mati. Aku sungguh menyesal tidak dapat membunuhnya dengan tanganku sendiri.”

“Lalu kenapa kau membunuh Kakak Kedelapan pula? Apa salahnya padamu? Kau … kau benar-benar kejam!” teriak Yue Lingshan.

Linghu Chong terperanjat. Ia menegas dengan suara agak gemetar, “Jadi, Adik Kedelapan juga … juga terbunuh? Adik Kedelapan sangat baik kepadaku. Mana mungkin … mana mungkin aku membunuhnya?”

“Hm, sejak kau bergaul dengan para siluman Sekte Iblis, tingkah lakumu menjadi lain dari biasanya. Siapa yang tahu mengapa tiba-tiba kau membunuh Kakak Kedelapan? Kau … kau ….” sampai di sini air mata Yue Lingshan telah menetes.

Linghu Chong maju satu langkah, kemudian berkata tegas, “Adik Kecil, janganlah kau berpikir tanpa dasar. Usia Adik Kedelapan muda belia. Selama ini ia tidak punya musuh. Jangankan aku, orang lain pun tidak mungkin tega membunuhnya.”

Mendadak alis Yue Lingshan menegak. Ia lantas bertanya dengan bengis, “Dan mengapa pula kau tega mencelakai Adik Lin?”

“Hah? Adik Lin, apa dia … dia juga tewas?” sahut Linghu Chong terperanjat.

“Saat ini dia masih belum mati. Seranganmu belum membinasakan dia. Tetapi siapa … yang tahu dia akan sembuh atau tidak?” sampai di sini suara Yue Lingshan menjadi parau dan terbata-bata.

Linghu Chong menghela napas panjang, dan berkata, “Apa dia terluka sangat parah? Aku yakin dia pasti mengetahui siapa yang menyerangnya. Bagaimana menurut pengakuannya?”

“Di dunia ini tiada seorang pun yang licik melebihi dirimu. Kau telah menebasnya dari belakang. Memangnya punggung Adik Lin punya mata?” ujar Yue Lingshan.

Perasaan getir dan pedih bercampur aduk di hati Linghu Chong. Karena tidak tahan, ia pun melolos pedangnya dan mengerahkan tenaga pada lengannya. Pedang itu dilemparkannya ke samping, yang kemudian meluncur melintang dan menyambar sebatang pohon cemara. Batang pohon tersebut berukuran hampir satu meter lebarnya seketika terpotong menjadi dua, kemudian roboh di bagian tengah dan menimbulkan debu pasir berhamburan.

Melihat pemandangan itu, tanpa sadar Yue Lingshan menarik mundur kudanya dua langkah. Ia lalu berkata, “Kenapa? Kau sudah mahir ilmu aliran sesat, sekarang sengaja pamer kehebatan di depanku, ya?”

Linghu Chong menggeleng dan berkata, “Bila aku ingin membunuh Adik Lin, maka aku tidak perlu menyerangnya dari belakang. Juga tidak mungkin dalam sekali tebas aku tidak bisa membuatnya tewas.”

“Hm, siapa yang tahu kau punya maksud dan tujuan licik?” ejek Yue Lingshan. “Tentunya Kakak Kedelapan telah melihat perbuatanmu yang rendah itu, sehingga kau membunuhnya sekaligus untuk melenyapkan saksi mata. Bahkan, kau telah merusak mukanya, sama seperti apa yang kau lakukan terhadap … terhadap Lao Denuo.”

“Jadi muka Lao Denuo dirusak orang?” tanya Linghu Chong. Ia berusaha menahan perasaannya yang bergejolak, karena yakin di balik peristiwa ini ada suatu misteri besar yang belum dapat ia temukan jawabannya.

“Kau sendiri yang berbuat, mengapa malah bertanya padaku?” balas Yue Lingshan.

“Siapa lagi murid Huashan yang menjadi korban?” tanya Linghu Chong kemudian.

“Kau sudah membunuh dua orang dan melukai satu orang sampai parah. Memangnya masih belum cukup?” sahut Yue Lingshan.

Mendengar itu, Linghu Chong agak lega karena mengetahui tidak ada orang lain lagi yang menjadi korban. Ia merenung ini semua perbuatan siapa? Tiba-tiba timbul perasaan ngerinya, saat teringat apa yang dikatakan Ren Woxing di Wisma Meizhuang dahulu. Gembong Sekte Iblis itu mengancam apabila Linghu Chong tidak mau masuk menjadi anggota Sekte Matahari dan Bulan, maka ia akan menghabisi orang-orang Perguruan Huashan. Jangan-jangan Ren Woxing saat ini sudah berada di Fuzhou dan mulai turun tangan?

Dengan nada cemas ia pun berkata kepada Yue Lingshan, “Kau cepatlah pulang ke Fuzhou dan laporkan kepada ayah-ibumu bahwa kemungkinan besar gembong Sekte Iblis telah datang dan melakukan pembunuhan secara keji.”

Yue Lingshan mencibir dan tertawa sinis, lalu berkata, “Memang benar ada gembong Sekte Iblis telah datang dan turun tangan secara keji terhadap Perguruan Huashan kami. Tapi gembong Sekte Iblis ini dulunya juga orang Huashan sendiri. Ini namanya memelihara anak macan akan mendatangkan penyakit, air susu dibalas air tuba.”

Linghu Chong hanya tersenyum getir. Ia pun merenung, “Aku sudah menyanggupi untuk pergi ke Longquan menolong Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi, tapi sekarang Guru dan Ibu Guru sedang menghadapi bahaya pula. Ini benar-benar membuatku serbasalah. Jika yang mengganas itu benar-benar Ren Woxing, jelas aku tidak akan mampu menghadapinya. Meskipun aku lekas-lekas kembali ke Fuzhou juga sia-sia belaka. Namun paling tidak aku bisa gugur bersama Guru dan Ibu Guru yang kuhormati. Setiap masalah harus bisa dipilah mana yang mendesak, mana yang tidak. Bagaimanapun juga kesulitan Guru dan Ibu Guru harus diutamakan lebih dulu. Perguruan Henshan terpaksa untuk sementara harus menyelesaikan urusan mereka sendiri. Bila nanti masalah Ren Woxing sudah dapat diatasi, maka aku akan segera menyusul ke Longquan untuk membantu pihak Henshan.”

Setelah mengambil keputusan demikian, ia segera berkata, “Sejak berangkat dari Fuzhou, aku senantiasa berada bersama para kakak dan adik dari Perguruan Henshan ini. Bagaimana mungkin aku bisa pergi membunuh Adik Kedelapan dan Lao Denuo, serta melukai Adik Lin? Bila perlu, kau bisa bertanya langsung kepada mereka.”

“Hm, kau suruh aku bertanya pada mereka?” sahut Yue Lingshan. “Mereka telah berkubang lumpur bersamamu. Sudah tentu mereka siap berdusta untukmu.”

Mendengar itu, sebagian murid Henshan berteriak-teriak marah. Memang para biksuni masih menggunakan kata-kata sopan. Tetapi para murid golongan awam banyak yang memaki dengan kata-kata pedas.

Yue Lingshan menarik mundur kudanya dan berkata, “Linghu Chong, luka Lin Kecil sangat parah. Namun dalam keadaan setengah sadar ia masih terus menyebut-nyebut kitab pusaka keluarganya. Jika kau masih punya hati nurani sebagai manusia, seharusnya kau mengembalikan kitab itu kepadanya. Kalau tidak … kalau tidak ….”

“Apa kau yakin aku benar-benar manusia hina seperti itu?” tukas Linghu Chong.

“Jika kau bukan manusia hina, maka di dunia ini tidak ada manusia hina lagi,” seru Yue Lingshan dengan nada murka.

Sejak tadi perasaan Yilin terguncang mengikuti percakapan mereka. Sekarang ia tidak dapat menahan diri lagi, sehingga akhirnya ikut bicara, “Nona Yue, Kakak Linghu teramat baik kepadamu. Perasaannya benar-benar tulus kepadamu. Tapi mengapa kau memakinya dengan begitu galak?”

Yue Lingshan menjawab dengan tertawa dingin, “Kau ini seorang biarawati. Dia baik atau tidak kepadaku, dari mana kau tahu?”

Seketika perasaan angkuh Yilin tergugah. Ia merasa harus membela Linghu Chong yang difitnah sedemikian keji apa pun akibatnya. Soal pantangan sebagai umat Buddha, juga bagaimana kelak ia akan dimarahi oleh guru, semua itu sudah tidak dipikirkannya lagi. Dengan suara lantang ia pun berkata, “Kakak Linghu sendiri yang mengatakannya padaku.”

“Hm, sampai hal-hal seperti itu pun ia katakan padamu?” sahut Yue Lingshan. “Justru … justru karena ingin memperbaiki hubungan denganku, maka ia mencelakai Lin Kecil.”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Adik Yilin, kau tidak perlu bicara panjang lebar lagi. Aku mohon kepadamu agar sudi memberikan sedikit Salep Penyambung Kahyangan dan Pil Empedu Beruang Putih yang mujarab milik perguruanmu yang mulia kepada Adik … kepada Nona Yue untuk mengobati yang terluka.”

Namun Yue Lingshan lantas memutar kudanya ke arah semula sambil berkata, “Kau tidak mampu membunuhnya dalam sekali serang, kini kau hendak memakai racun, bukan? Mana bisa kau tipu aku? Linghu Chong, bila Lin Kecil tidak sembuh, maka aku … aku ….” Sampai di sini suaranya kembali serak. Gadis itu lalu melecutkan cambuk, kemudian melarikan kudanyanya kembali ke selatan.

Mengikuti suara derap kaki kuda yang makin lama makin menjauh, hati Linghu Chong menjadi bimbang seakan-akan kehilangan sesuatu.

Terdengar Qin Juan berkata gemas, “Benar-benar perempuan bawel, kasar keterlaluan. Biarkan mati saja Lin Kecil-nya itu.”

Yizhen menyahut, “Amitabha, Adik Qin, kita adalah umat Buddha, harus mengutamakan sikap welas asih. Meskipun sikap nona tadi tidak benar, kita tidak boleh menyumpahi orang supaya mati.”

Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benak Linghu Chong. Ia lalu berkata, “Adik Yizhen, aku ingin memohon sesuatu padamu. Sudilah kau membantuku pergi ke suatu tempat, dan mungkin akan sedikit melelahkanmu.”

“Apa pun yang Kakak Linghu perintahkan, pasti akan kulaksanakan,” sahut Yizhen.

“Mana berani aku memerintah,” ujar Linghu Chong. “Orang bermarga Lin yang disebut tadi adalah adik seperguruanku. Menurut Nona Yue, katanya dia terluka parah. Aku tahu obat luka milik Perguruan Henshan kalian sangat manjur ….”

“Apa kau memintaku mengantarkan obat luka untuk dia?” Yizhen menukas. “Baiklah, aku akan segera kembali ke Fuzhou. Adik Yiling, tolong kau temani aku ke sana.”

Linghu Chong memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak atas kesediaan Adik berdua. Mohon maaf telah merepotkan.”

Yizhen menjawab, “Selama ini Kakak Linghu selalu bersama kami, mana bisa dituduh membunuh orang? Fitnah yang tidak berdasar ini harus kujelaskan kepada Paman Guru Yue.”

Linghu Chong hanya menggeleng sambil tersenyum getir. Sang Guru telah menuduhnya bergabung dengan Sekte Iblis dan berbuat banyak kejahatan, mana mungkin bisa percaya begitu saja kepada penjelasan mereka?

Dilihatnya Yizhen dan Yiling telah memacu kuda masing-masing ke arah Fuzhou. Ia kembali berpikir, “Mereka begitu tulus dan peduli kepada masalahku. Jika aku benar-benar meninggalkan mereka untuk kembali ke Biro Fuwei, rasanya tidak pantas. Apalagi Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi benar-benar terkurung musuh, sementara Ren Woxing apa benar berada di Fuzhou juga belum diketahui dengan pasti ….”

Saat itu Qin Juan telah memungut pedang yang tadi dilemparkan untuk memotong pohon. Ketika menerima pedang tersebut, tiba-tiba Linghu Chong teringat sesuatu, “Aku tadi berkata jika ingin membunuh Lin Pingzhi, untuk apa aku menyerangnya dari belakang dan mana mungkin dalam sekali tebas tidak dapat membinasakannya? Tapi kalau yang menyerang itu adalah Ren Woxing, jelas tidak mungkin dalam sekali tebas ia tidak mampu membuatnya tewas? Aku yakin pelakunya pasti orang lain. Ya, karena bukan Ren Woxing yang menyerang, tentu aku tidak perlu khawatir Guru takut kepadanya.”

Berpikir demikian membuat hatinya lega. Sejenak kemudian terdengar sayup-sayup suara derap kaki kuda dari kejauhan. Dari suaranya yang riuh itu ia menduga pasti rombongan Yihe dan Yu Sao telah kembali membawa sedekah. Benar juga, tidak lama kemudian tampak lima belas penunggang kuda sudah mendekat.

Begitu tiba, Yu Sao langsung melapor, “Pendekar Linghu, kami berhasil … berhasil meminta sedekah emas dan perak banyak sekali. Kita tidak mungkin … tidak mungkin menghabiskan semuanya. Di tengah malam gelap begini juga tidak mungkin membagikannya kepada fakir miskin.”

Yihe menyahut, “Sekarang yang paling penting adalah segera pergi ke Longquan. Soal menolong fakir miskin dapat kita lakukan sambil jalan.” Ia kemudian berpaling ke arah Yiqing dan berkata, “Tadi di tengah jalan kami bertemu seorang perempuan muda. Kalian tadi melihat dia atau tidak? Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja dia mengajak kami berkelahi.”

“Mengajak kalian berkelahi?” seru Linghu Chong menegas dengan nada khawatir.

“Benar,” jawab Yihe. “Dalam kegelapan perempuan itu memacu kudanya dengan cepat. Begitu melihat kami, ia langsung memaki-maki. Katanya kami ini biksuni tidak jelas dan tidak tahu malu segala.”

Linghu Chong mengeluh dalam hati, kemudian bertanya, “Apakah dia terluka parah?”

“Eh, dari mana kau tahu kalau dia terluka?” sahut Yihe heran.

Linghu Chong menjawab dalam hati, “Watakmu berangasan, mana mungkin tahan dimaki dengan pedas seperti itu? Lagipula dia sendirian menghadapi kalian berlima belas, tentu saja bisa terluka.” Ia kemudian bertanya, “Ia terluka di bagian mana?”

Yihe menjawab, “Mula-mula aku bertanya padanya mengapa datang-datang langsung memaki-maki, padahal belum saling kenal. Dia menjawab, ‘Aku mengenal kalian. Kalian adalah para biksuni Perguruan Henshan yang tidak menaati peraturan agama.’ Aku bertanya, ‘Apa maksudmu dengan tidak menaati peraturan agama? Mulutmu itu perlu dicuci bersih!’ Ia marah dan melecutkan cambuknya sambil membentak agar kami minggir. Aku menangkap cambuknya dan kami mulai berkelahi.”

Yu Sao menyambung, “Begitu dia menghunus pedang, kami segera tahu kalau dia adalah orang Perguruan Huashan. Karena keadaan gelap, kami tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sampai akhirnya ketika aku dapat mengenali kalau dia adalah putri Paman Guru Yue, maka aku pun segera berteriak supaya adik-adik yang lain tidak melanjutkan serangan. Namun demikian, Nona Yue sudah terlanjur luka di dua tempat pada lengannya. Hanya saja kedua luka itu tidak begitu parah.”

“Sebenarnya aku sudah mengenalinya,” kata Yihe dengan tertawa. “Tapi pihak Perguruan Huashan sudah berlaku kasar terhadap Kakak Linghu di Kota Fuzhou kemarin. Mereka juga berpangku tangan saat Perguruan Henshan kita dilanda kesulitan. Sama sekali tidak punya rasa setia kawan. Maka itu, aku sengaja menyusahkan nona galak itu biar tahu rasa.”

Zheng E menambahkan, “Sesungguhnya Kakak Yihe telah bermurah hati terhadap Nona Yue itu. Dengan menggunakan jurus Jarum Emas Menangkal Bahaya, pedang Kakak Yihe telah melukai lengan nona itu. Tapi Kakak Yihe segera menariknya kembali sehingga lengan Nona Yue hanya tergores sedikit. Andai saja Kakak Yihe bersungguh-sungguh, tentu lengan itu sudah putus.”

Linghu Chong merasa serbasalah. Apa yang baru saja terjadi bagaikan gelombang ombak yang baru saja datang tiba-tiba disusul gelombang baru. Suatu masalah belum terselesaikan, sudah muncul masalah lain lagi. Ia kenal baik bagaimana perangai Yue Lingshan yang tinggi hati dan tidak mau kalah itu. Kejadian malam ini pasti akan dianggapnya sebagai penghinaan besar dan kemungkinan akan diperhitungkan sebagai kesalahan Linghu Chong. Namun semuanya sudah terjadi, terpaksa ia tidak bisa berbuat banyak. Untung saja luka adik kecil tidak terlalu parah.

Zheng E yang cerdik mengetahui sejak kemarin kalau Linghu Chong sangat memperhatikan Nona Yue itu. Maka ia pun berkata, “Andai saja sejak awal kami mengetahui kalau dia adalah adik seperguruan Kakak Linghu, tentu kami akan mengalah meskipun ia memaki kami macam-macam. Sayang sekali keadaan cukup gelap, sehingga kami tidak bisa melihatnya dengan jelas. Biarlah kelak di lain hari kalau bertemu lagi kami akan minta maaf kepadanya.”

“Minta maaf apa?” sahut Yihe kesal. “Kita tidak menyinggungnya, tapi dia justru yang langsung memaki kita. Di seluruh dunia mana ada orang macam dia?”

Linghu Chong merasa pedih. Ia pun berusaha mengalihkan pembicaraan, “Kalian sudah mendapatkan sedekah, marilah sekarang kita berangkat. Bagaimana dengan Bai si Tukang Menguliti yang kalian kunjungi itu?”

Begitu ditanya soal sedekah, Yihe dan kawan-kawan menjadi bersemangat. Kata-kata mereka membanjir keluar seperti air bah. Yihe berkata, “Biasanya kalau kami meminta derma satu dua tahil perak kepada orang kaya seperti dia rasanya sulit minta ampun. Tapi malam ini sekali meminta sedekah kami bisa mendapatkan beberapa ribu tahil perak.”

Zheng E menyambung sambil tertawa, “Sungguh lucu, Si Tukang Menguliti itu menangis sambil merangkak-rangkak. Ia bilang jerih payahnya selama berpuluh-puluh tahun telah musnah dalam waktu semalam saja, seperti hanyut ditelan banjir.”

Qin Juan menanggapi, “Suruh siapa dia bermarga Bai? Dia dijuluki Si Tukang Menguliti, suka memeras harta benda rakyat kecil. Sekarang semua usahanya menjadi sia-sia.” Maksudnya, marga “Bai” berarti “putih”, dan juga bisa bermakna “sia-sia”.

Murid-murid Perguruan Henshan itu bergelak tawa. Namun begitu teringat pada kesulitan yang dialami kedua guru, perasaan mereka kembali tertekan. Linghu Chong segera berkata, “Kita sudah mempunyai bekal. Mari kita lanjutkan perjalanan!”

Mereka pun meneruskan perjalanan menuju Longquan dengan memacu kuda secepat-cepatnya. Setiap hari mereka hanya tidur tiga sampai empat jam saja. Akhirnya setelah beberapa hari memacu kuda tanpa kenal lelah, rombongan itu sampai juga di Longquan yang terletak di Zhejiang Selatan.

Luka yang diderita Linghu Chong akibat sabetan golok Bo Chen dan Sha Tianjang walaupun banyak mengeluarkan darah, tapi sebenarnya hanya luka luar yang tidak terlalu berbahaya. Dengan tenaga dalamnya yang melimpah, ditambah obat Perguruan Henshan yang mujarab, ketika sampai di Longquan luka itu sudah bisa dikatakan sembuh lebih dari lima puluh persen.

Murid-murid Perguruan Henshan itu tampak gelisah. Baru saja memasuki wilayah Zhejiang mereka langsung mencari tahu di mana letak Lembah Tempa Pedang. Namun para penduduk di sepanjang jalan yang ditanya tidak ada yang mengetahui tempatnya. Sesampainya di Kota Longquan, mereka merlihat banyak sekali toko-toko senjata. Namun ketika ditanya di mana itu Lembah Tempa Pedang, ternyata para pemilik toko dan pandai besi di situ juga tidak mengetahui jawabannya.

Hal ini membuat semua orang bertambah cemas. Mereka lalu bertanya apakah ada dua biksuni sepuh pernah lewat, atau apakah pernah terjadi pertempuran di sekitar kota itu. Lagi-lagi para pandai besi dan pemilik toko tidak dapat memberikan keterangan. Mereka mengaku tidak pernah mendengar ada pertempuran di sekitar situ, sedangkan mengenai biksuni silakan bertanya saja ke Biara Shuiyue di sebelah barat kota. Di sana memang ada sejumlah biksuni tinggal di biara, namun sepertinya belum terlalu tua.

Setelah bertanya di mana letak Biara Shuiyue, rombongan itu lantas bergerak. Namun sesampainya di sana, ternyata pintu biara dalam keadaan tertutup rapat. Zheng E maju mengetuk pintu, tapi sampai lama sekali tidak terdengar suara dari dalam.

Yihe tidak sabar menunggu lagi. Ia menghunus pedang kemudian melompati pagar tembok dan masuk ke dalam biara. Khawatir sang kakak mengalami apa-apa, Yiqing segera ikut melompat masuk.

“Coba lihat apa ini?” kata Yihe sambil menunjuk tanah di depannya.

Ternyata di pelataran biara itu terdapat tujuh atau delapan potong ujung pedang yang masih mengkilap berserakan, jelas baru saja terpotong oleh senjata yang sangat tajam.

“Adakah orang di dalam?” teriak Yihe sambil mencari ke ruangan belakang.

Yiqing sendiri lantas membuka palang pintu agar yang lain bisa masuk ke dalam. Ia memungut sepotong ujung pedang di atas tanah itu dan memberikannya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Kakak Linghu, di sini agaknya pernah terjadi pertempuran.”

Linghu Chong menerima potongan pedang tersebut. Dilihatnya bagian yang terpotong itu sangat licin dan mengkilap. Ia kemudian bertanya, “Apakah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi menggunakan pedang?”

“Beliau berdua tidak memakai pedang,” jawab Yiqing. “Bibi Ketua mengatakan, asalkan dapat menguasai ilmu pedang dengan sempurna, sekalipun yang dipakai adalah pedang kayu atau pedang bambu juga cukup untuk mengalahkan musuh. Beliau menyatakan pula bahwa pedang atau golok terlalu berbahaya. Apabila sedikit kurang hati-hati, dapat menghilangkan nyawa orang atau membuat cacat badan lawan ….”

“Jadi ujung pedang ini bukan dipotong oleh Beliau berdua?” sela Linghu Chong menukas.

Yiqing mengangguk. Tiba-tiba terdengar seruan Yihe dari ruangan belakang, “Hei, di sini juga ada potongan ujung pedang.”

Beramai-ramai mereka lantas menyusul ke belakang. Terlihat lantai maupun meja pada tiap-tiap ruangan biara itu penuh tertutup debu. Pada umumnya lingkungan biara pasti terawat dengan bersih. Melihat adanya debu yang memenuhi biara dapat diperkirakan sudah sekian lama ditinggalkan oleh penghuninya.

Setibanya di pekarangan belakang, Linghu Chong dan yang lain dapat menyaksikan beberapa pohon juga telah tumbang oleh tebasan senjata tajam. Dengan melihat bagian yang putus itu dapat diperkirakan kejadiannya sudah beberapa hari yang lalu. Gerbang belakang juga tampak terpentang lebar, dengan papan pintu terlempar beberapa meter jauhnya. Sepertinya ada orang mendobrak gerbang tersebut secara paksa.

Di luar gerbang belakang terlihat ada sebuah jalan kecil yang menuju ke lereng-lereng bukit. Setelah menyusuri belasan meter, ternyata jalan itu bercabang ke dua arah.

Yiqing segera berseru, “Kita berpencar ke dalam dua kelompok. Coba periksa apakah ada sesuatu yang mencurigakan di sekitar sini.”

Murid-murid Henshan itu lantas berpencar ke dalam dua kelompok yang masing-masing menelusuri kedua cabang jalan tersebut. Tidak lama kemudian terdengar suara Qin Juan dari cabang jalan sebelah kanan berseru keras, “Di sini adalah sebuah panah kecil!”

“Ya, di sini juga ada sebuah bor terbang!” seru yang lain menambahkan.

Kelompok yang memeriksa cabang jalan kiri segera ikut bergabung. Tampak jalanan sebelah kanan itu naik turun menuju ke arah lereng-lereng bukit. Segera mereka berlari cepat ke depan. Semakin berjalan semakin banyak ditemukan senjata rahasia serta potongan pedang dan golok. Juga terlihat beberapa bercak darah tersebar di semak belukar.

Tiba-tiba Yiqing berseru kaget. Dari semak-semak rumput dipungutnya sebilah pedang sambil berkata pada Linghu Chong, “Ini senjata perguruan kami!”

Linghu Chong menanggapi, “Tampaknya rombongan Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terlibat pertempuran sengit dan melalui jalanan ini.”

Walaupun ia tidak menyatakan Perguruan Henshan berada di pihak yang kalah, tapi Yihe dan yang lain paham bahwa kedua biksuni sepuh tidak mampu melawan musuh dan memilih lari melalui jalanan ini. Dari senjata yang berserakan di sepanjang jalan itu dapat diketahui kalau pertempuran tersebut pasti sangat dahsyat dan sudah berlalu beberapa hari. Dalam hati mereka bertanya-tanya apakah masih sempat menolong atau tidak. Semua orang pun diliputi perasaan khawatir, dan langkah kaki mereka menjadi bertambah cepat.

Jalan pegunungan itu makin lama makin menanjak dan melingkar-lingkar ke belakang gunung. Beberapa kilo kemudian, jalanan dipenuhi batu-batu berserakan dan semakin sulit dilalui. Murid-murid yang berilmu rendah seperti Yilin, Qin Juan, dan beberapa lainnya tertinggal jauh di belakang.

Semakin jauh dan menanjak, jalanan semakin tak berbentuk dan akhirnya tidak dapat dilewati lagi, juga tidak terdapat adanya senjata berserakan seperti tadi. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba mereka melihat di sebelah kiri gunung tampak asap tebal membumbung tinggi ke angkasa.

“Lekas kita periksa ke sana!” seru Linghu Chong sambil mendahului berlari ke depan.

Asap tebal itu semakin membumbung tinggi. Sesudah mengitari lereng gunung, mereka melihat sebuah lembah luas di depan. Api tampak berkobar-kobar dengan hebatnya disertai suara peletak-peletok terbakarnya rumput dan kayu bakar.

Linghu Chong bersembunyi di balik batu besar dan melambaikan tangan sebagai isyarat agar Yihe dan yang lain jangan bersuara. Pada saat itulah terdengar suara teriakan laki-laki tua, “Dingxian, Dingyi, hari ini kami antar kalian menuju ke nirwana untuk mendapatkan kesempurnaan. Kalian tidak perlu berterima kasih kepada kami.”

Linghu Chong gembira karena kedua biksuni sepuh itu masih hidup. Ia merasa beruntung kedatangannya belum terlambat.

Lalu terdengar seruan seorang laki-laki lain, “Ketua Dongfang meminta kalian agar menyerah. Tapi kalian justru berkepala batu dan membangkang. Jangan salahkan kami kalau mulai sekarang di dunia persilatan tidak ada lagi Perguruan Henshan.”

Orang tua yang pertama tadi kembali berteriak, “Benar, kalian jangan menyalahkan Sekte Matahari dan Bulan karena berlaku kejam. Salahkan diri kalian sendiri yang keras kepala sehingga mengakibatkan banyak murid-muridmu yang masih muda ikut mati konyol, mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Sungguh sayang, sungguh sayang. Hahahahaha!”

Api di tengah lembah itu tampak berkobar semakin tinggi, jelas Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terkurung di tengah-tengah.

Linghu Chong segera menghunus pedang, kemudian menarik napas dalam-dalam dan berteriak nyaring, “Kawanan siluman Sekte Iblis, berani-beraninya kalian membuat susah para biksuni Perguruan Henshan? Sekarang tokoh-tokoh Serikat Pedang Lima Gunung telah datang membantu dari empat penjuru. Kalian kawanan siluman lekaslah menyerahkan diri!” Sambil berseru demikian, ia lantas menerjang masuk ke dalam lembah.

Sampai di sana ia terhalang oleh tumpukan kayu bakar dan rumput kering yang meninggi sampai beberapa meter. Tanpa pikir lagi Linghu Chong lantas meloncat ke tengah gundukan api. Untungnya rumput dan kayu bakar di tengah lingkaran api itu belum terbakar. Ia pun memburu maju beberapa langkah. Terlihat kemudian dua buah gua pembakaran gamping di depannya, tapi tidak tampak seorang pun di sana.

“Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, bala bantuan Perguruan Henshan sudah tiba!” serunya kemudian.

Yihe, Yiqing, Yu Sao, dan yang lain juga berteriak-teriak dari luar lingkaran api, “Guru, Bibi, murid-murid sudah datang!”

Menyusul kemudian terdengarlah suara teriakan dari pihak musuh, “Mereka hanyalah kaum biksuni!”

“Bunuh mereka semua!”

“Mana ada jago-jago Serikat Pedang Lima Gunung segala?”

Bentakan-bentakan itu kemudian diikuti dengan suara benturan senjata yang ramai.

Dari mulut gua pembakaran tiba-tiba muncul sesosok tinggi besar dengan sekujur tubuh berlumuran darah. Dia adalah Biksuni Dingyi. Tangannya tampak menghunus pedang. Meski pakaiannya sudah compang-camping dan wajahnya berdarah, tapi cara berdirinya masih terlihat gagah berwibawa.

Begitu melihat Linghu Chong, Biksuni Dingyi tercengang dan berkata, “Kau … kau ….”

“Saya Linghu Chong,” jawab Linghu Chong.

“Aku sudah tahu kau Linghu Chong!” seru Dingyi yang teringat kejadian di Wisma Kumala Kota Hengshan dulu.

Linghu Chong berkata, “Saya akan membuka jalan, silakan Biksuni berdua ikut menerjang keluar.” Ia lantas memungut sebatang kayu dan digunakannya untuk mengorak-arik gundukan rumput yang terbakar.

Dingyi berkata, “Kau bukannya sudah masuk Sekte .…”

Pada saat itulah seorang musuh berteriak, “Siapa yang berani mengacau di sini?” Sinar golok kemudian berkelebat di tengah cahaya api.

Melihat keadaan bertambah genting dan api berkobar makin hebat, sedangkan Biksuni Dingyi menaruh curiga kepadanya dan seperti tidak sudi ikut menerjang keluar, maka Linghu Chong berpikir harus mengambil tindakan kilat dengan terpaksa mengambil nyawa musuh demi untuk menyelamatkan tokoh-tokoh Perguruan Henshan itu. Secepat kilat ia mundur dua langkah menghindari serangan golok tadi. Disusul kemudian golok musuh kembali ditebaskan ke arahnya. Namun sekali pedang Linghu Chong bergerak, seketika golok lawan terlempar beserta lengan yang memegang ikut terpotong. Pada saat yang sama terdengar jeritan ngeri seorang perempuan di luar lingkaran api, sepertinya seorang murid Henshan telah dicelakai musuh.

Linghu Chong terkejut dan khawatir. Segera ia melompat keluar lingkaran api. Dilihatnya di lereng gunung secara berkelompok-kelompok sudah terjadi pertempuran sengit. Setiap tujuh murid Henshan membentuk formasi pedang bertempur melawan musuh. Namun ada juga beberapa orang yang tetap sendiri karena tidak sempat bergabung dalam formasi sehingga terpaksa bertempur melawan musuh secara nekat.

Beberapa formasi pedang yang terbentuk itu meskipun belum bisa mengalahkan musuh, tapi paling tidak membuat mereka tetap bertahan. Sementara para murid yang bertempur sendiri-sendiri itulah yang tampak terdesak. Dalam waktu singkat sudah ada dua orang murid perempuan yang tergeletak binasa.

Linghu Chong mengawasi sekeliling medan pertempuran. Dilihatnya Yilin dan Qin Juan saling merapatkan punggung untuk menghadapi tiga laki-laki yang menyerbu mereka. Segera ia pun menerjang ke sana. Mendadak sebilah pedang berkelebat menusuk ke arah dadanya. Namun sedikit pun langkah Linghu Chong tidak menjadi kendur. Pedangnya lantas menusuk ke depan, tepat menembus leher orang itu.

Linghu Chong kemudian melompat beberapa kali sehingga sampai di hadapan Yilin. Sekali pedangnya bergerak, langsung menembus punggung seorang musuh. Gerakan pedang berikutnya merobek iga musuh yang lain. Laki-laki yang ketiga tampak mengangkat ruyung baja hendak menghantam ke ubun-ubun Qin Juan. Dengan cepat pedang Linghu Chong menjemput ke atas. Kontan sebelah lengan laki-laki itu tertebas putus sebatas bahu.

Wajah Yilin tampak pucat pasi. Senyumnya kemudian mengembang saat ia berkata, “Amitabha, Kakak Linghu!”

Linghu Chong kemudian melihat Yu Sao juga sedang terdesak menghadapi serangan dua lawan tangguh. Segera ia melompat maju ke sana. Dua kali pedangnya berkelebat, yang satu mengenai perut musuh, dan satunya memutus pergelangan tangan lawan. Kembali dua jago musuh dibereskan; satu tewas dan satu terluka. Tubuhnya kemudian berputar, dan pedangnya terus menyambar ke mana-mana. Tanpa ampun, tiga orang musuh yang sedang menggempur Yihe dan Yiqing roboh di tanah disertai jeritan ngeri.

Terdengar suara seorang tua berseru, “Keroyok dia! Bereskan keparat ini!”

Menyusul kemudian tiga sosok bayangan menerjang sekaligus ke arah Linghu Chong. Tiga pedang menyambar secara bersamaan, masing-masing mengarah ke leher, dada, dan perutnya. Gerakan ketiga musuh ini sangat aneh, benar-benar gencar dan ganas. Sungguh permainan tokoh silat papan atas. Kontan Linghu Chong terkejut. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Bukankah ini ilmu pedang Perguruan Songshan? Apakah mereka orang-orang Songshan?

Karena sedikit lengah, ujung pedang ketiga lawan pun tak terasa sudah semakin dekat mengancam tempat-tempat berbahaya pada tubuhnya. Segera Linghu Chong menggunakan Jurus Mematahkan Pedang pada Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Pedangnya lantas berputar, dan dalam sekaligus serangan ketiga musuh telah digagalkannya. Meskipun ia belum mengerahkan segenap kemampuan, namun pihak lawan tampak terdesak mundur dua-tiga langkah.

Sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas, lawan yang di sebelah kiri adalah laki-laki gemuk, usianya sekitar empat puluhan dan berjenggot pendek. Yang tengah seorang kakek kurus berkulit hitam, kedua matanya berkilat-kilat tajam.

Linghu Chong tidak sempat memandang orang ketiga, karena harus melompat ke samping. Pedangnya berputar dan menebas dua kali. Seketika dua musuh yang sedang mengerubut Zheng E berhasil dirobohkannya.

Sementara itu ketiga orang tadi berteriak-teriak dan mengejar di belakangnya. Namun Linghu Chong tidak menghiraukan mereka karena merasa kepandaian ketiga orang itu sangat tinggi. Untuk membereskan mereka tentu memakan waktu cukup lama, sehingga orang-orang Henshan akan banyak yang jatuh berguguran. Karena itu ia lantas mengerahkan tenaga dalam untuk terus berlari dan menerjang tanpa henti. Di mana-mana ia menusuk atau mengayunkan pedang. Setiap pedangnya menyambar tentu diikuti jatuhnya seorang musuh, entah karena terluka atau langsung binasa.

Ketiga orang tadi masih terus mengejar sambil membentak-bentak, tapi jarak mereka dengan Linghu Chong selalu terpaut beberapa meter dan sukar untuk menyusul. Hanya dalam waktu singkat sudah lebih dari tiga puluh orang musuh menjadi korban kehebatan Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Tiada seorang pun yang mampu menangkis atau menghindar.

Karena dalam sekejap pihak musuh sudah kehilangan lebih dari tiga puluh orang, perbedaan kekuatan antara kedua pihak langsung berubah. Setiap kali ada musuh yang roboh, segera murid Henshan yang kehilangan lawan langsung pergi membantu yang lain. Tadinya jumlah musuh lebih banyak, tapi lambat laun keadaan menjadi berbalik, makin lama pihak Henshan berada di atas angin.

Linghu Chong sudah mengambil keputusan bahwa dalam pertempuran hari ini sama sekali tidak boleh menaruh belas kasihan. Jika dalam waktu singkat musuh tidak dihancurkan, tentu Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi yang terkurung di dalam gua pembakaran itu akan sukar diselamatkan.

Begitulah, Linghu Chong terus berlari ke sana kemari bagaikan terbang. Mendadak ia menerjang ke depan, mendadak ia melompat ke samping. Jejak kakinya ada di mana-mana. Musuh yang berada dalam jarak tiga meter darinya pasti tak dapat meloloskan diri. Tidak lama kemudian sebanyak lebih dari dua puluh orang kembali dibuatnya roboh tak berdaya.

Biksuni Dingyi yang berdiri di atap gua pembakaran menyaksikan bagaimana Linghu Chong bergerak bagaikan bayangan untuk melukai atau membunuh musuh yang jumlahnya sebanyak itu. Ilmu pedang yang dimainkannya sungguh aneh dan mengerikan. Seumur hidup baru kali ini Dingyi menyaksikan pemandangan seperti itu, membuatnya gembira sekaligus tercengang, hingga tak kuasa bicara apa-apa.


Linghu Chong melempar pedang, membabat pohon.

Berpacu menuju Longquan.

Pihak muduh mengepung dengan kobaran api.

Linghu Vhong membabat musuh tanpa ampun.

(Bersambung)