Bagian 117 - Menyelidiki Persekongkolan

Tian Boguang dan Biksu Bujie digantung terbalik.

Hari berikutnya sampailah mereka di kaki Gunung Henshan. Keduanya berjanji akan bertemu kembali di sekitar Kuil Gantung tiga hari kemudian. Linghu Chong kemudian menuju ke Puncak Jianxing seorang diri, sementara Ren Yingying berpesiar menikmati keindahan pegunungan tersebut.

Hari sudah mulai petang ketika Linghu Chong tiba di Puncak Jianxing. Ia paham Yiqing dan Zhang E sangat cermat, sehingga bila ia langsung menuju ke biara utama tentu akan membuat mereka curiga. Menurutnya, lebih baik menyelidiki secara diam-diam saja terlebih dulu. Segera ia pun mencari sebuah gua sepi untuk beristirahat dan tidur. Ketika terbangun tampak sang rembulan sudah menghias di angkasa. Ia pun bangkit dan bergegas menuju ke Biara Wuse, yaitu biara induk di Puncak Jianxing.

Setibanya di pinggir pagar tembok biara itu, ia mendengar suara benturan senjata berulang-ulang. Linghu Chong terkesiap dan berpikir, “Apakah ada musuh yang datang menyerang? Musuh dari mana kira-kira?” Segera tangannya meraba pedang pendek milik Ren Yingying yang terselip di balik bajunya.

Sepertinya suara itu berasal dari sebuah rumah yang berada puluhan meter di luar Biara Wuse. Tampak cahaya lilin keluar dari balik jendela rumah tersebut. Linghu Chong segera merapat ke dinding dan mendengar suara pertarungan semakin keras dan nyaring. Perlahan-lahan ia mengintai ke dalam melalui jendela. Seketika hatinya langsung lega, karena yang terlihat adalah Yihe dan Yilin sedang berlatih pedang, sementara Yiqing dan Zheng E berdiri menyaksikan. Rupanya mereka sedang berlatih ilmu pedang hasil ajarannya tempo hari, yaitu ilmu pedang Henshan yang terukir pada dinding gua rahasia di puncak Huashan.

Dibanding sebelumnya, permainan pedang Yihe dan Yilin terlihat sudah jauh lebih matang. Pada jurus kesekian, pedang Yihe tampak berputar semakin cepat. Beberapa gerakan berikutnya Yilin agak lengah, sehingga ujung pedang Yihe tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, sehingga Yilin hanya bisa menjerit lesu.

“Adik, kau kalah lagi,” kata Yihe kemudian.

Yilin menunduk malu dan menjawab, “Aku sudah berlatih sekian lama, tapi masih tak ada kemajuan.”

“Sudah lebih maju daripada latihan sebelumnya,” kata Yihe. “Mari kita coba lagi.”

Akan tetapi, Yiqing menyela, “Adik Yilin mungkin sudah lelah, lebih baik tidur saja dulu bersama Adik Zheng. Besok kita bisa berlatih lagi.”

“Baik,” jawab Yilin sambil menyarungkan pedangnya. Setelah memberi hormat kepada Yiqing dan Yihe, ia lantas menggandeng tangan Zheng E keluar dari ruang latihan tersebut.

Sewaktu Yilin membalikkan badan, Linghu Chong dapat melihat wajah biksuni muda itu tampak pucat dan kurus. “Adik Yilin ini selalu saja berhati murung,” pikirnya.

Yihe menutup pintu ruangan kemudian memandang ke arah Yiqing sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah suara langkah Yilin dan Zheng E terdengar menjauh barulah ia berkata, “Hati Adik Yilin selalu saja tidak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda adalah pantangan besar bagi kaum biarawati seperti kita. Entah bagaimana cara kita harus menasihatinya?”

“Memang sukar untuk menasihatinya,” kata Yiqing. “Yang paling bagus adalah kalau dia sendiri yang punya kesadaran.”

Yihe berkata, “Aku tahu kenapa hati Adik Yilin tidak bisa tenang. Ia senantiasa terkenang kepada ….”

“Di tempat suci ini hendaknya Kakak Yihe jangan bicara hal-hal demikian,” sahut Yiqing menukas sambil menggoyang-goyangkan tangan. “Sebenarnya tiada salahnya kita membiarkan Adik Yilin sadar sendiri apabila kita tidak buru-buru ingin menuntut balas kematian Guru dan Bibi Guru.”

Yihe berkata, “Dulu Guru sering mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah suratan takdir, demi memenuhi hukum karma. Kita harus mengikuti dan menurut apa adanya, sedikit pun tidak boleh dipaksakan. Begitu pula dalam berlatih ilmu silat harus setahap demi setahap, karena jika dipaksakan bisa mengakibatkan kesesatan. Kulihat Adik Yilin adalah orang yang berperasaan dalam. Dari luar terlihat tenang, tapi dalam hati penuh gejolak. Sebenarnya dia tidak cocok memasuki dunia biara seperti kita.”

Yiqing menghela napas dan menjawab, “Aku juga pernah memikirkan hal ini. Hanya saja, Perguruan Henshan bagaimanapun juga harus dipimpin oleh seseorang dari kalangan agama kita sendiri. Kakak Linghu sudah sering menyatakan bahwa ia hanya sementara saja menjabat sebagai ketua kita. Namun, yang paling penting adalah kita harus lebih dulu membalas perbuatan Yue Buqun itu. Dia telah mencelakai Guru dan Bibi ….”

Linghu Chong terperanjat dan berpikir, “Mengapa mereka menuduh Guru telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi?”

Terdengar Yiqing melanjutkan, “Kalau sakit hati ini tidak lekas kita balas, tentu kita sebagai murid selamanya tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan.”

“Tidak hanya kau saja yang gelisah, mungkin aku jauh lebih resah tentang sakit hati guru kita ini,” ujar Yihe. “Baiklah, mulai besok aku akan mempercepat dan mempergiat latihan Adik Yilin.”

“Tapi juga jangan terlalu dipaksakan,” sahut Yiqing. “Kulihat beberapa hari terakhir ini semangat Adik Yilin agak mundur.”

“Benar,” jawab Yihe. Lalu kedua murid tertua Henshan itu membereskan senjata-senjata dan memadamkan pelita. Mereka lantas kembali ke kamar masing-masing untuk tidur.

Linghu Chong masih diam berdiri di luar jendela dengan pikiran rumit. “Aneh, mengapa mereka menuduh Guru telah mencelakai kedua biksuni sepuh? Mengapa pula mereka ingin membalaskan kematian kedua biksuni sepuh sebelum aku menyerahkan jabatan ketua kepada orang lain? Mengapa pula mereka harus menyuruh Adik Yilin giat berlatih pedang siang dan malam?”

Ia tetap saja berdiri merenungkan hal itu sampai cukup lama, tapi tidak juga menemukan jawabannya. Perlahan-lahan ia pun melangkah sambil berpikir, “Sebaiknya besok aku bertanya langsung kepada Kakak Yihe dan Kakak Yiqing.”

Tiba-tiba Linghu Chong melihat bayangannya bergerak-gerak. Ketika memandang ke atas tampak sang rembulan bersinar terang dan seperti menggantung di pucuk pepohonan. Seketika itu pula seberkas pikiran terlintas dalam benaknya, hampir saja ia berteriak sendiri. Dalam hati ia berkata, “Seharusnya aku menyadari hal ini sejak dulu. Mengapa mereka sudah lama mengetahui hal ini, sebaliknya aku tidak?”

Ia pun menyelinap ke pinggir tembok di luar sebuah rumah kecil, lalu berdiri merapat agar bayangannya tidak terlihat para peronda. Di tempat itu barulah ia merenung dan berpikir dengan cermat. Ia mencoba mengenang kembali kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi di Biara Shaolin dulu. Waktu itu Biksuni Dingxian sempat mewariskan jabatan ketua Perguruan Henshan kepadanya namun tidak mengatakan sama sekali siapa orang yang telah mencelakai dirinya. Ketika Linghu Chong memeriksa jenazah kedua biksuni sepuh, pada tubuh mereka tidak terdapat suatu luka apapun, juga tidak menderita luka dalam atau mati keracunan. Untuk membuka pakaian mereka juga rasanya tidak pantas. Dengan demikian penyebab kematian mereka sungguh sangat misterius.

Kemudian setelah meninggalkan Biara Shaolin dan beristirahat dalam sebuah gua, Ren Yingying pernah bercerita bahwa dirinya sempat membuka baju kedua biksuni sepuh itu untuk memeriksa luka mereka. Ternyata pada ulu hati keduanya terdapat satu titik merah bekas tusukan jarum, jelas luka inilah yang mengakibatkan kematian mereka. Saat itu Ren Yingying melonjak terkejut dan berkata, “Jarum beracun. Di dunia persilatan ini siapa yang biasa menggunakan jarum beracun?”

Ren Woxing dan Xiang Wentian yang kaya pengalaman juga tidak tahu menahu ketika ditanyai tentang hal ini. Hanya saja, Ren Woxing menyebutkan bahwa itu bukan jarum beracun, melainkan sebuah jarum tajam biasa namun ditusukkan tepat ke titik maut mereka berdua. Namun, tusukan pada ulu hati Biksuni Dingxian agak melenceng sehingga nyawanya tidak langsung putus sampai kedatangan Linghu Chong.

Waktu itu Linghu Chong dan Ren Yingying bersama membahas siapa kira-kira pembunuh kedua biksuni sepuh. Karena jarum tersebut menusuk tepat di ulu hati, maka serangan tersebut jelas dilakukan secara berhadapan. Jadi, orang yang mencelakai kedua biksuni sudah pasti seorang tokoh silat papan atas. Meskipun tidak menemukan siapa sebenarnya pelaku pembunuhan itu, namun Linghu Chong dan Ren Yingying sepakat mengucapkan janji bahwa mereka tidak akan pernah mengampuni penjahat itu.

Teringat akan hal ini, tanpa terasa kedua tangan Linghu Chong mendorong dinding dengan badan agak gemetar. Ia merenung, “Tusukan jarum seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mempelajari Kitab Pedang Penakluk Iblis atau Kitab Bunga Mentari. Dongfang Bubai selalu berada di Tebing Kayu Hitam sehingga tidak mungkin ia menjadi pelakunya. Lagipula jika Dongfang Bubai menyusup ke dalam Biara Shaolin tidak mungkin tusukan jarumnya pada ulu hati Biksuni Dingxian bisa sampai melenceng. Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan adalah palsu, tidak sempurna, jadi tidak mungkin pula ia yang membunuh kedua biksuni sepuh. Lin Pingzhi sendiri mungkin baru saja mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, atau mungkin ia sama sekali belum mendapatkannya. Aku masih ingat bagaimana suara Lin Pingzhi saat itu. Benar, suaranya belum melengking seperti perempuan. Jelas kalau ia belum mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis”

Berpikir sampai di sini tanpa terasa dahi Linghu Chong mengalirkan keringat dingin. Ia tahu saat itu yang mampu menggunakan sebatang jarum kecil untuk membinasakan kedua biksuni sepuh dari depan hanyalah Yue Buqun seorang. Teringat pula olehnya bagaimana Yue Buqun menyusun rencana sangat matang agar dapat menjadi ketua Perguruan Lima Gunung. Ia sengaja membiarkan Lao Denuo menyusup ke dalam Perguruan Huashan selama belasan tahun tanpa membuka penyamarannya. Ia juga sengaja membiarkan Lao Denuo membawa lari Kitab Pedang Penakluk Iblis palsu untuk menjebak Zuo Lengchan, sehingga dengan mudah kedua mata Zuo Lengchan dapat dibutakan olehnya di atas Panggung Fengshan. Mengingat Biksuni Dingxian dan kawan-kawannya bersikeras menentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, maka Yue Buqun telah mencari kesempatan untuk membunuhnya demi mengurangi pihak yang menentang cita-citanya. Pantas saja Biksuni Dingxian tidak mau menyebutkan siapa pembunuhnya di depan Linghu Chong. Andai saja si pembunuh adalah Zuo Lengchan atau Dongfang Bubai, tentu biksuni sepuh itu tidak akan menutup-nutupinya.

Linghu Chong merenungkan kembali percakapannya dengan Ren Yingying di gua saat hujan salju waktu itu. Ren Yingying bercerita setelah kalah bertanding di Biara Shaolin, Yue Buqun menendang dada Linghu Chong sampai pemuda itu jatuh pingsan, namun kakinya sendiri juga ikut tergetar patah. Hal ini sangat mengherankan Ren Yingying, bahkan Ren Woxing juga tidak habis pikir atas kejadian ini. Sebagaimana yang ia ketahui, di dalam tubuh Linghu Chong memang sudah banyak berkumpul berbagai tenaga dalam yang dihisapnya dari beberapa tokoh silat papan atas. Namun demikian, untuk bisa menggunakan campuran tenaga dalam itu supaya bisa menyerang balik jika lawan melakukan serangan diperlukan latihan yang cukup keras. Jika Ren Woxing memang sudah bisa melakukannya, tetapi Linghu Chong waktu itu jelas belum mencapai tingkat demikian. Maka, apa yang terjadi saat itu adalah Yue Buqun sengaja mengerahkan tenaga dalam untuk mematahkan kakinya sendiri sambil menendang dada Linghu Chong. Ia sengaja memperlihatkan kelemahan dirinya di hadapan Zuo Lengchan agar saingan beratnya itu memandang rendah terhadap dirinya.

Begitulah, dalam pertarungan di Panggung Fengshan, Zuo Lengchan terlalu meremehkan Yue Buqun sehingga usahanya yang dirintis dengan susah payah sekian lama yaitu menggabungkan Serikat Pedang Lima Gunung di bawah kekuasaannya harus berakhir dengan sia-sia, sementara orang lain yang menikmati keuntungan.

Sebenarnya hal ini cukup mudah untuk dipahami. Akan tetapi, selama ini Linghu Chong tidak pernah menaruh curiga kepada Sang Guru. Mungkin juga, rasa curiga kepada Yue Buqun sebenarnya ada namun segera dikuburnya dalam-dalam. Setiap kali ia memikirkan peristiwa pembunuhan kedua biksuni sepuh selalu saja bayangan sang guru tidak muncul dalam benaknya. Entah karena ia memang tidak ingin memunculkannya, atau mungkin karena takut. Namun, kali ini begitu mendengar percakapan Yihe dan Yiqing seketika rasa curiganya kepada Yue Buqun langsung bangkit begitu saja.

Seumur hidup Linghu Chong selalu menghormati dan menyayangi Yue Buqun. Tak disangka Sang Guru ternyata begitu keji dan munafik. Ia merasa hidupnya kini seolah tak berarti lagi. Seluruh tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kakinya terasa berat untuk melangkah menuju bangunan-bangunan lain di lingkungan biara Henshan tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari tempat sepi di salah satu lembah dan tidur di situ.

Keesokan harinya Linghu Chong pergi ke Lembah Tongyuan, yaitu tempat tinggal para jago silat golongan hitam yang dulu ikut bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Saat itu hari sudah mulai terang. Linghu Chong berjalan menyusuri tepian sungai kecil. Di atas aliran air yang jernih ia pun bercermin kalau-kalau ada penyamarannya yang rusak. Begitu sampai di bangunan tempat tinggal para jagoan itu, ia langsung masuk melalui pintu utama. Namun, baru saja beberapa langkah mendadak terdengar suara ramai berkumandang dari dalam.

Di dalam pekarangan tersebut terdapat banyak orang. Beberapa di antara mereka berteriak-teriak,  “Sungguh aneh! Keparat mana yang melakukan ini semua?”

“Ya, benar-benar bangsat! Kapan hal ini dilakukan? Mengapa tiada seorang pun yang tahu?”

“Hei, mereka ini bukan jago-jago lemah. Mengapa mereka bisa dikerjai orang lain tanpa bersuara sedikit pun?”

Dari suara ribut-ribut itu Linghu Chong dapat menduga bahwa di dalam tentu terjadi suatu hal yang luar biasa. Segera ia menyelinap masuk. Dilihatnya di pekarangan dalam dan serambi samping sudah penuh berdiri banyak orang. Semuanya menengadah, memandang ke pucuk pohon gongsun yang berdiri di tengah halaman pekarangan bangunan tersebut.

Linghu Chong ikut mendongak ke atas. Seketika ia pun terheran-heran. Dilihatnya pada pucuk pohon yang tingginya belasan meter itu tergantung delapan orang. Mereka adalah tujuh orang yang dulu pernah mengeroyok Yu Canghai karena mengira ketua Perguruan Qingcheng itu menyimpan Kitab Pedang Penakluk Iblis, sedangkan seorang lagi adalah pria berpakaian saudagar. Ketujuh orang itu adalah Nyonya Zhang, Yan Sanxing, Qiu Songnian, Biksu Xibao, Pendeta Yuling, Wu Baiying, dan Zhou Gutong. Sementara yang berpakaian saudagar adalah You Xun si Manusia Licin Susah Dipegang. Sepertinya kedelapan orang itu semua dalam keadaan tertotok. Kaki dan tangan mereka diikat dan tubuh mereka digantung di atas ketinggaian tiga meter dari tanah. Tampak tubuh mereka terayun-ayun pula akibat hembusan angin.

Mulut kedelapan orang itu tidak bisa bersuara, sementara wajah mereka bersemu merah menahan malu. Yang lebih parah lagi, kedua ekor ular hitam piaraan Yan Sanxing berkeliaran merayap di tubuh mereka. Kalau yang dirambati adalah tubuh Yan Sanxing tentu tidak menjadi soal, karena ia bergelar si Pengemis Jahat Berular Dua. Namun, jika kedua ular itu merayap pada ketujuh orang lainnya tentu masing-masing merasa khawatir dan ngeri.

Tiba-tiba seseorang meloncat ke atas. Ia tidak lain adalah Ji Wushi si Kucing Malam. Dengan sebilah belati dipotongnya tali yang menggantung Wu Baiying dan Zhou Gutong. Seketika tubuh kedua orang yang dijuluki Sepasang Orang Aneh Tongbai itu pun jatuh ke bawah. Segera seorang pendek bulat menangkap tubuh mereka. Si cebol ini tidak lain adalah Lao Touzi. Dalam sekejap saja Ji Wushi sudah berhasil menjatuhkan kedelapan orang itu ke bawah dan masing-masing ditangkap oleh orang-orang lainnya. Satu persatu totokan pada tubuh mereka pun dibuka pula.

Begitu bebas, Qiu Songnian langsung mencaci maki dengan kata-kata yang paling kotor. Namun, tiba-tiba kedelapan orang itu saling pandang dengan sikap yang lucu. Ada yang terkejut, ada pula yang tertawa geli.

Sewaktu Zu Qianqiu memeriksa, ternyata pada dahi mereka masing-masing telah tertulis satu kata. Ada yang tertulis “awas” ada pula yang tertulis “ketahuan” dan sebagainya. Jika tulisan pada dahi kedelapan orang itu dibaca berurutan, maka akan tersusun kalimat yang berbunyi: “Persekongkolan licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian.”

Orang-orang yang lainnya satu per satu mengulangi ucapan Zu Qianqiu. “Persekongkolan licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian.”

Biksu Xibao yang berhati kasar langsung mencaci maki, “Persekongkolan licik ketahuan apanya? Memangnya siapa yang berjiwa anjing?”

Pendeta Yuling segera mencegah rekannya itu memaki lebih lanjut. Ia lantas menghapus huruf di dahinya menggunakan air ludah.

Zu Qianqiu pun bertanya, “Saudara You, entah bagaimana kalian berdelapan bisa dikerjai orang, dapatkah kau menceritakannya?”

You Xun tersenyum-senyum dan menjawab, “Sungguh memalukan bila kuceritakan. Semalam aku tidur dengan sangat nyenyak. Entah mengapa tahu-tahu titik nadiku sudah tertotok dan tubuhku tergantung tinggi di atas pohon ini. Mengenai diriku yang tidak becus ini boleh dikata wajar diperlakukan demikian. Tapi, tokoh-tokoh yang serbacerdas seperti Pendeta Yuling, Nyonya Zhang, dan yang lain ternyata juga ikut dikerjai. Maka, bajingan yang mengerjai kami itu kemungkinan besar memakai semacam obat bius.”

Nyonya Zhang menyahut, “Huh, mungkin seperti itu!” Ia tidak ingin banyak bicara dan segera pergi ke dalam untuk mencuci muka disusul Pendeta Yuling yang lain.

Orang-orang di tempat itu tidak ikut pergi melainkan bercakap-cakap ramai membicarakan kejadian aneh tersebut. Kebanyakan mereka berkata, “Ucapan You Xun tidak lengkap. Pasti ada suatu rencana yang disembunyikannya. Jika tidak, mengapa di antara kita semua yang berjumlah ratusan ini hanya mereka berdelapan saja yang dibius dan digantung?” Orang-orang itu juga bingung memikirkan maksud dari kalimat “Persekongkolan licik sudah ketahuan”, entah persekongkolan licik apa yang dimaksud?

“Orang sakti dari mana pula yang bisa meringkus dan menggantung mereka berdelapan?” tanya mereka bingung.

Terdengar seseorang di antara mereka tertawa dan berkata, “Untung sekali hari ini Enam Setan Lembah Persik tidak berada di sini. Kalau mereka di sini tentu urusan ini akan bertambah runyam.”

“Dari mana kau tahu mereka tidak berada di sini? Keenam orang itu suka berbuat gila-gilaan. Bukan mustahil apa yang terjadi ini adalah hasil perbuatan mereka,” kata seorang lagi.

“Tidak, tidak mungkin perbuatan mereka,” ujar Zu Qianqiu.

“Bagaimana Saudara Zu dapat mengetahuinya?” tanya orang pertama tadi.

“Meski ilmu silat Enam Dewa Lembah Persik sangat bagus, namun isi kepala mereka sangat terbatas,” kata Zu Qianqiu. “Jangankan kalimat-kalimat itu, untuk menulis kata ‘persekongkolan’ saja aku jamin mereka tidak bisa.”

Semua orang pun bergelak tawa membenarkan ucapan Zu Qianqiu. Mereka terus saja bercakap-cakap tentang kejadian lucu dan aneh itu sehingga tidak seorang pun memerhatikan babu tua samaran Linghu Chong yang sedang memasang wajah dungu.

Linghu Chong sengaja mengambil sepotong kain lap untuk membersihkan ruangan itu dengan kepala menunduk, tapi diam-diam ia mengawasi gerak-gerik mereka. “Apa yang sebenarnya direncanakan oleh kedelapan orang tadi? Apakah mereka berniat mengganggu ketentraman Perguruan Henshan? Siapa pula yang telah menangkap dan menggantung mereka?”

Lewat tengah hari, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak di luar, “Aneh, sungguh aneh! Semuanya lekaslah kemari, coba lihat itu!”

Serentak orang-orang pun berlari keluar. Linghu Chong juga ikut serta namun dengan langkah perlahan-lahan. Tampak di samping kanan pekarangan puluhan orang sedang mengerumuni sesuatu. Ketika Linghu Chong sampai di sana, orang-orang itu sedang ramai memperbincangkan sesuatu. Rupanya ada belasan orang duduk tidak bergerak dengan wajah menghadap tebing, jelas titik nadi mereka telah tertotok semua. Pada dinding batuan cadas tampak beberapa huruf berwarna kuning, yang juga berbunyi: “Persekongkolan licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian”. Tulisan itu dibuat dengan menggunakan air tanah liat, tampaknya belum kering benar, pertanda baru saja ditulis.

Para jagoan silat itu segera memutar tubuh belasan orang itu sehingga tampak wajah mereka masing-masing. Ternyata di antara mereka terdapat Sepasang Beruang dari Gurun Utara. Ji Wushi kembali tampil ke muka untuk membuka totokan pada tubuh Si Beruang Hitam dan Si Beruang Putih tersebut. Namun, yang dibukanya hanyalah totokan pada titik bisu saja, sehingga mereka hanya bisa berbicara tapi tetap tidak bisa bergerak.

Ji Wushi lantas bertanya, “Ada sesuatu yang tidak kumengerti, maka itu aku ingin meminta keterangan kepada kalian. Coba jelaskan, sesungguhnya kalian berdua terlibat suatu persekongkolan rahasia apa? Semua orang di sini penasaran ingin mengetahuinya.”

“Benar, benar! Persekongkolan apa yang kalian kerjakan, katakan pada kami!” seru orang banyak serentak.

“Persekongkolan kakek moyangmu tujuh belas turunan! Persekongkolan apa lagi? Persekongkolan anak bulus, hah?” sahut Si Beruang Hitam mencaci maki.

“Kalau begitu, kalian ditotok oleh siapa? Tentu kau bisa menceritakan pada kami, bukan?” tanya Zu Qianqiu pula.

Beruang Putih menjawab, “Tentu bagus kalau aku bisa tahu. Aku tadi sedang berjalan-jalan di sini. Entah bagaimana, tahu-tahu tubuhku rasanya kesemutan. Ternyata punggungku sudah ditotok orang. Keparat, kalau benar laki-laki sejati seharusnya berkelahi dari depan. Silakan pakai senjata macam apa juga akan kulayani. Tapi ini malah main sergap, huh, kesatria macam apa? Dasar bangsat!”

“Boleh juga kalau kalian berdua tidak mau berterus terang,” ujar Zu Qianqiu. “Entah ada rahasia apa, tapi yang jelas urusan ini sudah ada yang tahu. Jika muslihat ini dilanjutkan, kukira tidak akan ada hasilnya. Pesanku pada kalian semua supaya lebih berhati-hati.”

“Saudara Zu,” sahut seseorang, “mereka tidak mau berterus terang. Kita tinggalkan saja mereka di sini selama tiga hari tiga malam biar kelaparan.”

“Benar,” sahut yang lain menanggapi. “Jika kita membebaskan mereka, jangan-jangan orang sakti itu akan marah kepada kita dan bisa-bisa malah kita sendiri yang akan digantung di atas pohon. Kalau begitu bisa runyam jadinya.”

“Yang kalian katakan tidak salah,” kata Ji Wushi. Ia kemudian berkata kepada Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain, “Maaf, Saudara-Saudara. Bukannya aku tidak mau menolong kalian, tapi masalahnya aku sendiri juga merasa takut.”

Beruang Hitam dan Beruang Putih saling pandang, lalu sama-sama memaki dengan kata-kata kotor. Hanya saja mereka tidak berani terang-terangan memaki Ji Wushi dan yang lain secara langsung. Selama totokan mereka belum terbuka sungguh berbahaya jika sampai membuat orang-orang itu marah.

Ji Wushi hanya tertawa dan berkata, “Semuanya, mari kita pergi dari sini!”

Mengikuti ajakan Si Kucing Malam, orang-orang yang berkerumun itu lantas membubarkan diri. Linghu Chong juga ikut melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat tersebut. Ketika ia keluar meninggalkan pekarangan bangunan itu, tiba-tiba kembali terdengar suara ribut-ribut dari dalam.

Begitu menengok ke arah datangnya suara, Linghu Chong melihat orang-orang sedang memandang ke atas sambil bergelak tawa. Ia pun ikut mengangkat kepalanya dan melihat di atas pohon gongsun kembali terdapat dua orang sedang tergantung-gantung dengan kedua kaki di atas. Setelah  diperhatikan dengan seksama, ternyata kedua orang itu adalah Tian Boguang dan Biksu Bujie.

Kontan saja Linghu Chong terheran-heran. Ia berpikir, “Biksu Bujie dan Tian Boguang masing-masing adalah ayah dan murid Adik Yilin. Bagaimanapun juga mereka tidak mungkin punya niat buruk terhadap Perguruan Henshan. Justru sebaliknya, kalau Perguruan Henshan mengalami kesulitan tentu mereka berdua akan tampil membantu. Tapi, mengapa mereka pun digantung di atas pohon? Siapa sebenarnya yang melakukan ini semua?”

Linghu Chong benar-benar tak habis pikir. Tadinya ia menduga ada orang sakti telah meringkus kelompok Nyonya Zhang bertujuh, You Xun, Sepasang Beruang Gurun Utara, dan belasan lainnya karena kemungkinan besar mereka hendak mengacau di Gunung Henshan. Namun, dugaan itu langsung buyar begitu melihat Biksu Bujie dan Tian Boguang juga mengalami nasib yang sama. Sekilas terbayang suatu pikiran dalam benaknya, “Biksu Bujie bersifat polos dan lugu seperti anak kecil. Biasanya ia jarang memiliki musuh. Tapi mengapa ia pun digantung orang di atas pohon? Ah, tentu ada orang yang sengaja bercanda dengannya. Untuk menangkap Biksu Bujie rasanya tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Kemungkinan besar pelakunya adalah Enam Dewa Lembah Persik.”

Akan tetapi, lantas terpikir pula olehnya tentang perkataan Zu Qianqiu tadi, bahwa Enam Dewa Lembah Persik tidak mungkin mampu menulis kata-kata sebagus itu. Maka, dengan penuh tanda tanya Linghu Chong melangkah ke dalam pekarangan. Di tengah suara riuh gelak tawa orang banyak, ia melihat pada leher Biksu Bujie dan Tian Boguang masing-masing terpasang seutas pita kertas berwarna kuning yang mengandung tulisan. Pita yang berada pada tubuh Bujie bertuliskan: “Manusia tidak berperasaan nomor satu di dunia, paling doyan perempuan.” Sementara itu pita kertas pada leher Tian Boguang bertuliskan: “Manusia tidak berguna nomor satu di dunia, sangat tidak becus bekerja.”

Begitu membaca kedua tulisan tersebut seketika timbul suatu pikiran dalam benak Linghu Chong, “Kedua pita kertas ini sepertinya salah pasang. Bagaimana mungkin Biksu Bujie dikatakan ‘manusia yang paling doyan perempuan’? Manusia yang paling doyan perempuan bukankah seharusnya dialamatkan kepada Tian Boguang? Sebaliknya, sebutan ‘manusia tidak berguna’ seharusnya diberikan kepada Biksu Bujie. Dia ini hidup tanpa aturan, tidak punya pantangan sama sekali. Tidak pantang membunuh, tidak pantang makan dan minum, segalanya ia lahap. Sesudah menjadi biksu pun ia berani menikahi biksuni. Hanya saja sebutan ‘tidak becus bekerja’ entah apa maksudnya?”

Akan tetapi, kedua pita kertas itu masing-masing terpasang dengan rapi di leher mereka berdua. Sepertinya orang sakti yang telah menggantung Bujie dan Tian Boguang tidak dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga tidak mungkin salah memasang.

Sementara itu, para jagoan lainnya menjadi gempar melihat pemandangan ini. Mereka tertawa sambil menunjuk-nunjuk kedua pita kertas tersebut dan berkata, “Manusia tidak berperasaan nomor satu di dunia seharusnya Tian Boguang. Tapi, kenapa biksu besar ini disebut paling doyan perempuan?”

Ji Wushi dan Zu Qianqiu berunding sejenak dengan suara perlahan. Mereka pun merasa kejadian ini agak mengundang tanda tanya. Mereka juga sadar bahwa Biksu Bujie berteman baik dengan Linghu Chong. Maka itu, biksu besar tersebut dan Tian Boguang harus segera ditolong turun lebih dahulu.

Segera Ji Wushi melompat ke atas pohon. Dengan cekatan ia memotong tali pengikat kedua orang itu. Berbeda dengan kelompok Nyonya Zhang dan Sepasang Beruang Gurun Utara yang langsung mencaci maki begitu bebas dari totokan, Biksu Bujie dan Tian Boguang ternyata hanya diam saja dengan wajah murung.

Perlahan Ji Wushi bertanya, “Biksu besar, kenapa kau juga ikut tergantung di atas?”

Bujie hanya menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan ia melepas pita yang terpasang di lehernya kemudian membaca tulisan tersebut. Setelah termangu-mangu cukup lama sambil memandangi pita tersebut, tiba-tiba ia menangis keras sambil membanting-banting kaki.

Kejadian ini benar-benar di luar dugaan. Seketika suara gelak tawa orang banyak itu menjadi lenyap dan masing-masing memandangi Bujie dengan terheran-heran. Bujie masih terus saja menangis sambil memukul-mukul dada sendiri. Semakin menangis ia terlihat semakin berduka.

“Kakek Guru, janganlah kau bersedih,” ujar Tian Boguang membujuk. “Kebetulan saja kita disergap lawan. Kita harus menemukan keparat itu dan mencincang tubuhnya ….” Belum selesai ia berkata tiba-tiba tangan Bujie menampar wajahnya. Seketika tubuh Tian Boguang pun terdorong sampai beberapa meter jauhnya dan hampir saja roboh terjungkal. Sebelah pipinya langsung berwarna merah membekas tangan.

“Bajingan!” seru Bujie memaki. “Kita digantung di sini adalah sebagai buah perbuatan atas dosa-dosa kita. Beraninya kau ... beraninya kau ... beraninya kau hendak membunuh orang?”

Tian Boguang kebingungan mendengarnya.  Seseorang yang telah menangkap dan menggantung dirinya beserta sang kakek guru tentu sangat luar biasa. Jika tidak, mengapa Biksu Bujie begitu segan kepada orang itu? Karena tidak tahu seluk-beluk masalah ini, Tian Boguang terpaksa hanya menunduk dan menjawab, “Baik, baik!”

Sejenak Bujie hanya termenung di tempatnya. Tiba-tiba ia kembali menangis sambil memukul-mukul dada sendiri. Kemudian tangannya menghantam lagi ke belakang dengan sangat cepat. Untungnya Tian Boguang bergerak lebih cepat, sehingga sempat menghindari pukulan itu sambil berteriak, “Kakek Guru!”

Sekali pukulannya meleset, Bujie tidak mengulanginya lagi. Namun tangannya lantas berputar balik dan menghantam sebuah meja batu di tengah halaman itu dengan sangat keras. Seketika kerikil-kerikil kecil pun melesat berhamburan. Kedua telapak tangan Bujie terus saja menghantam secara bergantian disertai jerit tangis keluar dari mulutnya. Makin menghantam pukulannya makin keras. Ia tidak peduli meski kedua tangannya berlumuran darah terkena potongan meja tersebut. Akhirnya, setelah memukul sepuluh kali, meja batu itu pun hancur menjadi empat potongan kecil yang terlempar ke empat penjuru.

Semua orang terkejut menyaksikan kekuatan pukulan Bujie. Kini tidak seorang pun berani membuka suara apalagi bergelak tawa. Masing-masing khawatir jangan-jangan Bujie lantas melampiaskan kemarahan kepada mereka. Lagipula siapa yang mau kepalanya dihancurkan oleh pukulan biksu besar tersebut? Tidak seorang pun dari mereka yang merasa kepala masing-masing lebih keras daripada meja batu yang telah hancur itu.

Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji Wushi hanya saling pandang dengan perasaan bingung. Masing-masing bertanya-tanya apa sebenarnya yang telah menimpa diri Biksu Bujie.

Sementara itu, Tian Boguang yang menyadari adanya gelagat kurang baik segera berkata, “Tolong kalian jaga Kakek Guru. Aku akan pergi memberi tahu Guru.”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Meski aku sudah menyamar tapi Adik Yilin berpandangan cermat. Jangan-jangan penyamaranku ini bisa diketahui olehnya. Aku pernah menyamar sebagai perwira tentara, pernah menyamar sebagai petani, tapi semuanya adalah kaum laki-laki. Sekarang aku menyamar sebagai perempuan bisu, rasanya sangat rikuh dan canggung. Gawat kalau sampai Adik Yilin mencurigaiku.”

Segera ia pun bersembunyi di dalam rumah penyimpanan kayu bakar di belakang pekarangan dan berpikir, “Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain masih mematung di sana. Tentu Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji Wushi berniat pergi untuk menguping percakapan mereka nanti malam. Sebaiknya aku tidur dulu dan bangun nanti malam untuk ikut mendengarkan pembicaraan mereka pula.”

Linghu Chong memang sudah sangat mengantuk karena ia hanya tidur sebentar sore kemarin di dalam gua. Akhirnya ia pun terlelap sambil sayup-sayup mendengar suara tangisan Biksu Bujie yang aneh dan lucu itu.

Sewaktu terbangun ternyata hari sudah gelap. Ia pun melangkah ke dapur mencari nasi atau makanan lain di sana. Tidak seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. Beberapa lama kemudian, ketika suasana sudah sunyi, ia lantas berjalan memutar ke belakang gunung dan perlahan-lahan mendekati tempat Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain dilumpuhkan. Sesudah agak dekat, ia pun berjongkok di seberang sebuah sungai kecil dan di situlah ia memasang telinga untuk mendengarkan.

Tidak lama kemudian terdengar suara napas banyak orang di depan tempatnya bersembunyi. Paling tidak ada belasan orang yang tersebar di sekitar situ. Diam-diam Linghu Chong merasa geli dan berpikir, “Mereka pasti hendak menguping pembicaraan seperti aku. Di antara orang-orang itu, Ji Wushi memang yang paling cerdik. Ia sengaja membuka totokan pada titik bisu Sepasang Beruang Gurun Utara, namun tidak membuka titik bisu korban lainnya. Kedua beruang itu agak ceroboh dan suka berbicara sembarangan. Jika totokan yang lain ikut dibuka, tentu salah seorang yang cerdik di antara mereka akan segera melarang keduanya banyak bicara.”

Benar juga, sesaat kemudian terdengar Beruang Putih sedang marah-marah dan memaki, “Bangsat, nyamuknya banyak sekali. Bisa-bisa darahku akan terhisap habis. Nyamuk busuk, nyamuk bangsat, terkutuklah delapan belas keturunan nenek moyangmu!”

“Aneh,” sahut Beruang Hitam menanggapi dengan tertawa. “Nyamuk-nyamuk ini kenapa hanya menggigitmu saja dan tidak menggigit diriku?”

“Itu karena darahmu bau. Nyamuk tidak doyan makan darahmu,” sahut Beruang Putih jengkel.

“Justru lebih baik aku memiliki darah yang bau daripada digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus,” ujar Beruang Hitam.

Kembali Beruang Putih mencaci maki dengan kata-kata kotor. Diam-diam Linghu Chong membayangkan bagaimana rasanya digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus, sedangkan badan tidak bisa bergerak sama sekali. Sungguh rasanya memang sangat menjengkelkan.

Beruang Putih kembali berkata, “Bila totokan ini sudah terbuka, maka orang pertama yang akan kucari untuk membuat perhitungan adalah Ji Wushi si kucing bangsat itu. Akan kutotok titik nadinya, lalu kumakan daging pahanya sedikit demi sedikit.”

“Kalau aku lebih suka makan daging para biksuni muda itu,” sahut Beruang Hitam sambil tertawa. “Kulit mereka halus, dagingnya putih, tentu jauh lebih lezat dan gurih.”

Beruang Putih menukas, “Tapi Tuan Yue memerintahkan kita untuk menangkap para biksuni dan membawanya ke Huashan, bukan untuk memakan mereka.”

“Jumlah biksuni cilik itu ada beratus-ratus orang,” jawab Beruang Hitam, “kalau kita makan dua atau tiga mana mungkin Tuan Yue bisa tahu?”

Linghu Chong terperanjat mendengarnya. Ia merenung, “Hah, Guru telah menyuruh mereka? Kenapa Guru memerintahkan mereka menangkap murid-murid Henshan untuk dibawa ke Huashan? Apakah ini yang dimaksud dengan ‘persekongkolan licik’ itu? Lantas, bagaimana mereka bisa menerima perintah dari Guru?”

Tiba-tiba kembali terdengar Beruang Putih memaki dengan suara keras, “Bangsat! Bajingan!”

Beruang Hitam berkata gusar, “Terserah kalau kau tidak mau memakan daging biksuni. Tapi kenapa pula harus mencaci-maki seperti itu?”

“Aku tidak memaki dirimu. Aku memaki nyamuk,” sahut Beruang Putih.

Bermacam-macam pikiran memenuhi benak Linghu Chong. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki berjalan mendekat ke arahnya. Orang itu berhenti tepat di belakangnya dan kemudian ikut berjongkok sambil menarik lengan bajunya secara perlahan.

Linghu Chong sangat terkejut tak terkatakan. Ia berpikir, “Siapakah yang datang ini? Jangan-jangan penyamaranku telah diketahuinya.” Perlahan ia menoleh. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang dilihatnya seraut wajah bulat cantik. Ternyata yang datang itu tidak lain adalah Yilin.

Perasaan Linghu Chong terkejut bercampur senang. “Rupanya Adik Yilin telah mengetahui penyamaranku. Ah, aku sendiri memang kurang percaya diri dengan samaranku ini,” pikirnya.

Yilin tampak memiringkan wajahnya ke samping, serta sedikit memoncongkan bibirnya yang mungil itu seolah mengajak Linghu Chong pergi ke suatu tempat. Ia lalu berdiri dan tangannya terus saja menarik-narik lengan baju pemuda itu seperti ingin mengajak bicara di tempat yang agak jauh. Linghu Chong pun menurut dan mengikuti biksuni muda itu melangkah ke arah barat.

Keduanya berjalan tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka menyusuri jalan sempit meninggalkan Lembah Tongyuan. Setelah agak jauh berjalan tiba-tiba Yilin berkata, “Kau tidak dapat mendengar pembicaraan mereka, untuk apa pula berada di sana? Kenapa kau datang lagi ke tempat berbahaya itu?” Ucapan ini agaknya tidak ditujukan kepada Linghu Chong, melainkan hanya bergumam sendiri saja.

Linghu Chong tercengang mendengarnya. Ia hanya berpikir, “Apa maksud perkataannya ini? Kenapa ia berkata aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka? Sebenarnya ia hanya memancing atau benar-benar tidak mengenali penyamaranku?” Namun mengingat Yilin biasanya tidak pernah bergurau, kemungkinan besar gadis itu memang belum mengetahui penyamarannya.

Yilin kemudian membelok ke utara, menuju ke arah Celah Tungku Porselen. Setelah melintasi suatu tanjakan, akhirnya mereka pun sampai di tepi sebuah sungai kecil. Dengan suara perlahan Yilin berkata, “Biasanya kita suka berbicara di sini. Apakah kau sudah bosan denganku?” Sejenak kemudian ia lantas tertawa dan menyambung, “Kau tidak bisa mendengar semua ucapanku. Nenek Bisu, justru jika kau bisa mendengar semua ucapanku, aku takkan bicara lagi denganmu.”

Melihat nada Yilin yang sungguh-sungguh, Linghu Chong yakin bahwa gadis itu mengira dirinya benar-benar si babu bisu penunggu Kuil Gantung. Tiba-tiba timbul pikiran nakal dalam benaknya, “Rupanya ia belum tahu penyamaranku. Aku jadi penasaran ingin tahu apa yang hendak dibicarakannya.”

Linghu Chong menyamar bertemu Yilin.

(Bersambung)