Bagian 111 - Balas Dendam Habis-Habisan

Mu Gaofeng mengerahkan jurus bertahan melawan Lin Pingzhi.

Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang terasa kabur. Sepertinya mereka melihat Lin Pingzhi melesat dan menghadang di depan kuda Mu Gaofeng, namun kemudian mereka juga melihat pemuda itu sedang duduk santai di bangkunya sambil berkipas-kipas seperti tidak pernah pergi ke mana-mana. Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Mu Gaofeng menggertak kudanya agar segera berlari.

Namun, para pesilat papan atas seperti Linghu Chong, Ren Yingying, dan Yu Canghai dengan jelas dapat melihat Lin Pingzhi telah menjulurkan tangannya mencolok dua kali ke arah kuda Mu Gaofeng. Tentu ia telah melakukan sesuatu terhadap hewan kendaraan si bungkuk itu.

Benar juga, baru saja Mu Gaofeng melarikan kudanya beberapa langkah, tiba-tiba hewan tunggangannya itu menubruk tiang gubuk. Karena tumbukan tersebut cukup keras dan sangat mendadak, setengah gubuk pun menjadi ambruk. Dengan cepat Yu Canghai melompat keluar, sementara kepala Linghu Chong, Lin Pingzhi, dan beberapa orang lainnya teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Zheng E membersihkan kepala Linghu Chong, sementara Lin Pingzhi tidak peduli dan tetap memandang tajam ke arah Mu Gaofeng tanpa berkata sedikit pun.

Sejenak kemudian Mu Gaofeng tampak bimbang, lalu ia melompat turun dari kudanya dan melepaskan tali kendali. Kudanya itu lantas berlari sendiri ke depan, tapi segera menubruk sebatang pohon, kemudian meringkik panjang dan roboh di tanah dengan kepala berlumuran darah. Begitu aneh kelakuan hewan malang tersebut, ternyata kedua matanya sudah buta karena dicolok Lin Pingzhi dengan kecepatan luar biasa tadi.

Perlahan-lahan Lin Pingzhi melipat kipasnya dan membersihkan ilalang kering yang berserakan di bahunya, lalu berkata, “Orang buta menunggang kuda picak, sungguh berbahaya.”

Mu Gaofeng bergelak tawa dan berkata, “Sombong benar kau bocah! Ternyata kepandaianmu boleh juga. Yu Pendek bilang kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis, coba kau tunjukkan padaku.” Meskipun kudanya dibuat buta, tetapi ia tidak gusar, sebaliknya justru tertawa terbahak-bahak. Sungguh harus diakui kehebatan orang bungkuk ini dalam mengendalikan amarah.

“Ya, aku memang hendak memperlihatkannya kepadamu,” sahut Lin Pingzhi. “Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu tidak lebih rendah daripada Yu Canghai itu.”

Mu Gaofeng termangu-mangu. Sungguh tak terduga olehnya bahwa pemuda berpenampilan mewah ini ternyata putra Lin Zhennan. Diam-diam ia pun menimbang, “Bocah ini berani terang-terangan menantang diriku, tentu ada sesuatu yang ia andalkan. Serikat Pedang Lima Gunung sekarang telah digabung menjadi satu. Kawanan biksuni dari Perguruan Henshan ini sudah pasti menjadi bala bantuannya. Hm, Nona Yue adalah istri bocah ini. Selama perempuan itu ada di tanganku, dia bisa apa?”

Segera tangannya berbalik untuk mencengkeram ke arah Yue Lingshan. Tak disangka, cengkeramannya itu hanya mengenai udara kosong, bahkan kemudian ia merasa ada angin menderu menyambar dari belakang. Sepertinya ada pedang seseorang telah menebas ke arahnya. Dengan cekatan, Mu Gaofeng segera mengelak ke samping. Ternyata si penyerang itu tidak lain adalah Yue Lingshan sendiri.

Rupanya Ren Yingying diam-diam telah memotong tali pengikat Yue Lingshan dan membuka totokan pada tubuhnya, lalu memberikan sebilah pedang pula. Yue Lingshan pun menggunakan pedang itu untuk menyerang Mu Gaofeng. Akan tetapi, karena tubuhnya masih kesemutan akibat tertotok cukup lama, juga karena lukanya di pundak masih terasa sakit, maka ia tidak melancarkan serangan kedua meskipun dalam hati merasa sangat gemas.

Terdengar Lin Pingzhi mendengus, “Huh, sebagai tokoh persilatan yang ternama, perbuatanmu sungguh tidak tahu malu. Sekarang jika kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menyembah tiga kali padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali pula. Dengan demikian akan kuberi kau kesempatan hidup setahun lagi. Setahun kemudian aku akan mencarimu lagi untuk menagih nyawamu, bagaimana?”

Kembali Mu Gaofeng tertawa, “Hahaha, dasar bocah kurang ajar! Dulu di rumah Liu Zhengfeng di Kota Hengshan kau menyamar sebagai pemuda bungkuk dan menyembah tiga kali kepadaku, serta memanggilku ‘kakek’. Kau juga memohon untuk menjadi muridku. Namun, karena aku tidak berminat, maka kau mengabdi pada si tua Yue dan menjadi menantunya pula, bukan begitu?”

Lin Pingzhi diam tidak menjawab. Matanya berkilat-kilat penuh amarah, namun bibirnya tampak tersenyum. Ia kemudian melipat kembali kipasnya dan kemudian melangkah ke arah Mu Gaofeng. Sambil berjalan tangan kanannya mengibas membersihkan rumput kering yang mengotori bajunya. Begitu bergerak seketika bau harum semakin semerbak, menyengat tajam.

Tiba-tiba terdengar dua jeritan ngeri. Dua orang murid Qingcheng tampak pucat pasi. Mereka tidak lain adalah Yu Renhao dan Ji Rentong yang sekejap kemudian roboh dengan dada bersimbah darah. Keadaan begitu tegang. Orang-orang yang lain tanpa sadar ikut menjerit karena terkejut. Jelas-jelas mereka melihat Lin Pingzhi berjalan tenang ke arah Mu Gaofeng. Namun, entah bagaimana ia bisa mencabut pedang dan membunuh dua lawan sekaligus, kemudian menyarungkan kembali pedangnya itu dalam beberapa detik saja.

Boleh dikata hanya Linghu Chong, Yu Canghai, dan Ren Yingying saja yang bisa melihat berkelebatnya pedang Lin Pingzhi tadi, sementara yang lain hanya melihat seberkas cahaya saja. Jangankan melihatnya menyerang, bahkan melihat bagaimana ia mencabut pedang saja mereka tidak mampu. Kontan orang-orang itu semakin kagum sekaligus ngeri pula.

Menyaksikan itu Linghu Chong termenung, “Dahulu untuk menghadapi Tian Boguang saja aku sudah merasa kesulitan. Baru setelah mempelajari Sembilan Jurus Pedang Dugu, aku dapat mengimbangi kecepatan golok Tian Boguang dengan kecepatan mataku. Namun, untuk menghadapi kecepatan Lin Pingzhi ini, mungkin Tian Boguang hanya sanggup bertahan tiga jurus saja. Lantas, bagaimana denganku? Berapa jurus aku sanggup bertahan menghadapi kecepatan pedang Lin Pingzhi itu?” Berpikir demikian membuat keringat dingin membasahi tangannya.

Tampak Mu Gaofeng mencabut pedangnya yang berbentuk melengkung. Sungguh menarik, seorang bungkuk bersenjata pedang bengkok. Menghadapi Lin Pingzhi yang semakin mendekat itu, Mu Gaofeng pun menunduk rendah. Dasar tubuhnya bulat dan bungkuk, kini mukanya sampai-sampai hampir menyentuh tanah. Tiba-tiba ia meraung seperti serigala, lantas menyeruduk ke depan. Pedangnya yang bengkok itu kemudian menyambar ke pinggang Lin Pingzhi.

Cepat sekali Lin Pingzhi melolos pedangnya dan kemudian menusuk ke arah dada musuh. Serangannya lebih belakangan, tapi tiba lebih dulu pada sasaran. Kembali Mu Gaofeng meraung, tubuhnya lantas melompat ke arah lain. Ternyata bajunya sudah berlubang di bagian dada sehingga terlihat bulu dadanya yang lebat.

Serangan Lin Pingzhi itu kalau agak maju dua-tiga senti lagi, dada Mu Gaofeng pasti sudah berlubang. Semua orang sampai berseru kaget dan tercengang melihatnya.

Meskipun baru lolos dari maut, Mu Gaofeng tetap saja ganas dan sedikit pun tidak gentar. Berulang-ulang ia meraung seperti serigala dan kembali menubruk maju. Kembali Lin Pingzhi melancarkan tiga serangan kilat, disusul terdengar suara senjata beradu cukup nyaring. Rupanya serangan-serangan ini dapat ditangkis oleh si bungkuk.

Lin Pingzhi tertawa dingin. Pedangnya semakin cepat bergerak. Berkali-kali Mu Gaofeng terpaksa melompat ke atas dan mendekam ke bawah. Pedangnya yang bengkok itu diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud seperti jaringan sinar perak.

Setiap kali pedang Lin Pingzhi menusuk masuk ke dalam jaringan sinar pedang itu, dan terkadang membentur pedang lawan, seketika tangannya terasa kesemutan. Jelas tenaga dalam si bungkuk jauh lebih kuat dibanding dirinya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedangnya akan tergetar lepas. Karena itu Lin Pingzhi tidak berani gegabah lagi. Ia berusaha mengincar celah kelemahan musuh untuk kemudian melancarkan serangan maut.

Mu Gaofeng sendiri tidak peduli dengan serangan-serangan musuhnya. Ia hanya memusatkan perhatian untuk memutar pedang bengkok di tangan sekencang-kencangnya. Semua anggota tubuhnya terlindungi oleh jaringan sinar pedang yang rapat tersebut dan sedikit pun tidak memperlihatkan adanya lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Lin Pingzhi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya justru menempatkan Lin Pingzhi pada posisi yang menguntungkan. Sekalipun ia belum dapat menjatuhkan lawan, namun Mu Gaofeng sendiri jelas tidak mungkin melakukan serangan.

Linghu Chong dan yang lain dapat menilai, asalkan sedikit saja Mu Gaofeng bermaksud menyerang, tentu jaringan sinar pedangnya akan terbuka dan itu berarti peluang bagi Lin Pingzhi untuk melakukan serangan kilat. Jika hal itu terjadi, maka sukar bagi Mu Gaofeng untuk dapat menangkisnya.

Pertahanan rapat Mu Gaofeng dengan cara memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya sangat menguras banyak tenaga dalam. Karena hanya dengan kekuatan penuh jaringan sinar pedang dapat digunakan sebagai perlindungan tubuh bagai air terjun yang mengucur deras tanpa henti. Namun, sekuat apa pun tenaga dalam seorang pesilat, pasti akan habis juga jika terus-menerus dikerahkan seperti itu.

Di tengah jaringan sinar pedangnya yang rapat itu Mu Gaofeng masih juga meraung-raung tanpa berhenti, membuatnya terlihat semakin ganas. Pedangnya menebas berputar di atas dan di bawah tubuh. Beberapa kali Lin Pingzhi bermaksud membobol jaringan sinar pedang itu, tapi selalu saja tertangkis oleh pedang lawan yang bengkok tersebut.

Sekian lamanya Yu Canghai mengikuti pertarungan ini sampai akhirnya ia dapat melihat jaringan sinar pedang si bungkuk mulai menipis, pertanda Mu Gaofeng sudah mulai kehabisan tenaga dalam. Tanpa pikir lagi, ia pun bersuit nyaring dan menerjang maju. Tiga kali ia melancarkan serangan dengan cepat ke arah titik-titik mematikan pada punggung Lin Pingzhi. Segera Lin Pingzhi memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang. Pada saat itulah Mu Gaofeng mengayunkan pedangnya untuk menebas kaki lawan.

Kalau menurut tatakrama dunia persilatan, dua tokoh angkatan tua seperti Yu Canghai dan Mu Gaofeng mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau, sungguh ini suatu perbuatan yang sangat memalukan. Namun, orang-orang Perguruan Henshan telah menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu silat Lin Pingzhi dalam membunuh murid-murid Perguruan Qingcheng, sehingga melihat pertempuran dua lawan satu itu mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Justru kalau kedua tokoh tua itu tidak bergabung, bagaimana mungkin mereka dapat melayani ilmu pedang Lin Pingzhi yang sangat hebat itu?

Setelah Yu Canghai turun tangan, Mu Gaofeng pun mengubah gerak pedangnya untuk bertahan dan menyerang pula. Melihat itu, Lin Pingzhi justru menjadi senang. Setelah berlalu sekitar dua puluh jurus, tiba-tiba kipas di tangan kirinya ikut bergerak. Gagang kipas yang berwarna keemasan itu berbalik lantas menusuk ke depan dengan kecepatan luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas tersebut menonjol keluar sebatang jarum tajam dan kemudian tepat menusuk titik Huantiao di paha kanan Mu Gaofeng.

Mu Gaofeng terkejut. Segera pedangnya menebas, namun tetap kalah cepat dibanding gerakan Lin Pingzhi. Akibat tusukan jarum itu kakinya kini terasa kesemutan. Ia tidak berani lagi sembarangan bergerak, hanya pedangnya yang masih saja berputar kencang melindungi tubuh. Lambat laun kedua kaki si bungkuk terasa lemas. Tak kuasa lagi menahan diri, akhirnya ia pun jatuh bertekuk lutut.

“Hahaha. Akhirnya baru sekarang kau mau menyembah padaku,” sahut Lin Pingzhi bergelak tawa sambil menangkis serangan Yu Canghai, kemudian menyambung, “namun sudah terlambat!” Sambil berkata demikian ia kembali menangkis serangan musuh dan seketika balas menyerang satu kali.

Meski kedua kaki Mu Gaofeng tidak bisa digerakkan lagi, namun pedang bengkoknya masih tetap diayun-ayunkan tanpa henti. Rupanya ia sadar bahwa kekalahannya sudah dapat dipastikan. Maka, setiap jurus serangannya kini dilancarkan secara nekat dan ganas. Jika tadi ia hanya bertahan tanpa menyerang sedikit pun, sekarang ia ganti menyerang tanpa bertahan sedikit pun. Ia sudah tidak memikirkan keselamatan jiwanya lagi. Jika memungkinkan, ia siap gugur bersama musuh.

Yu Canghai sendiri juga menyadari keadaan gawat tersebut. Jika ia tidak bisa segera mengalahkan Lin Pingzhi, maka begitu Mu Gaofeng roboh, tentu dirinya akan tertinggal sendiri dan menjadi sasaran empuk kehebatan pedang lawan. Maka, pendeta pendek itu pun semakin gencar dalam melancarkan serangan. Namun, tiba-tiba terdengar Lin Pingzhi tertawa panjang. Sekejap kemudian Yu Canghai merasa pandangannya menjadi gelap, matanya tidak bisa melihat apa-apa lagi. Menyusul kemudian kedua bahunya juga terasa dingin. Ternyata kedua lengannya telah terpotong dan berpisah dari tubuhnya.

Terdengar Lin Pingzhi tertawa menyeramkan, “Hahahaha. Aku takkan membunuhmu. Kau cukup kubuat buta dan tidak punya lengan saja. Biar mulai sekarang kau mengembara di dunia sebatang kara. Murid-muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh semua, sehingga di dunia ini hanya tinggal musuh-musuhmu saja yang tersisa.”

Yu Canghai merasakan kedua bahunya yang buntung itu sungguh sakit luar biasa. Baginya, perlakuan Lin Pingzhi ini jauh lebih kejam daripada membuatnya mati dalam sekali tusuk. Dalam keadaan cacat seperti ini tiada artinya lagi hidup di dunia, dan tentu hanya akan menjadi bahan olok-olok kaum persilatan lainnya. Karena berpikir demikian, ia menjadi kalap. Dengan memperhatikan arah suara Lin Pingzhi, ia pun menyeruduk musuhnya itu.

Lin Pingzhi terbahak-bahak sambil menghindar ke samping. Tak disangka, karena terlalu senang ia menjadi lengah. Tanpa sadar gerakannya itu justru mendekati tempat Mu Gaofeng bertekuk lutut. Tentu saja Mu Gaofeng tidak membuang-buang kesempatan emas tersebut. Ia pun mengayunkan pedang sekuat tenaga, namun Lin Pingzhi masih dapat menangkis dan membuat pedang bengkoknya itu terlempar ke udara. Akan tetapi, Mu Gaofeng semakin nekat. Karena jaraknya yang cukup dekat, ia pun berhasil memeluk kedua kaki Lin Pingzhi sekencang-kencangnya.

Lin Pingzhi sangat terkejut dibuatnya. Tampak murid-murid Perguruan Qingcheng serentak memburu maju pula. Ia berusaha meronta sekuat tenaga untuk membebaskan diri dari pelukan Mu Gaofeng. Namun, kedua lengan si bungkuk itu terasa sangat kuat bagaikan jepitan baja. Tanpa pikir panjang, Lin Pingzhi pun menusuk tepat di punggung Mu Gaofeng.

Tiba-tiba saja dari punggung si bungkuk muncul cairan hitam menyembur keluar. Baunya sungguh bacin memuakkan. Lin Pingzhi yang sangat terkejut menjejakkan kedua kakinya hendak melompat untuk menghindar. Akan tetapi, ia lupa bahwa kedua kakinya masih dipeluk sekuat tenaga oleh Mu Gaofeng. Maka, tanpa ampun lagi mukanya pun basah tersiram oleh cairan hitam tersebut. Sungguh perih rasanya tidak terbayangkan, sampai-sampai pemuda itu menjerit kesakitan.

Rupanya cairan hitam berbau bacin itu mengandung racun yang sangat menyakitkan. Sungguh tak disangka, Mu Gaofeng ternyata menyimpan kantong berisi air beracun pada punggungnya yang bungkuk sebagai senjata rahasia. Lin Pingzhi mengusap wajahnya yang kesakitan itu dengan tangan kiri. Kedua matanya pun sukar dibuka lagi. Hanya tangan kanannya yang berulang-ulang menusuk tubuh Mu Gaofeng. Tusukan-tusukan Lin Pingzhi ini sangat cepat luar biasa. Mu Gaofeng sama sekali tidak sempat untuk menghindar, karena pada dasarnya ia memang bertekad mati bersama musuh. Maka, ia pun semakin kencang memeluk kedua kaki Lin Pingzhi.

Pada saat itulah, Yu Canghai dapat menemukan di mana lawan berada. Dengan mengikuti arah suara Lin Pingzhi yang menjerit kesakitan, ia pun menubruk maju. Karena kedua lengannya sudah buntung, maka ia menggunakan mulut untuk menyerang, yaitu menggigit tepat pada pipi kanan Lin Pingzhi. Ketiga orang itu bergumul dalam keadaan kalap. Lambat laun ketiganya mulai kehilangan kesadaran. Serentak murid-murid Perguruan Qingcheng memburu maju untuk ikut menyerang Lin Pingzhi.

Pertempuran sengit ini dapat diikuti Linghu Chong dengan jelas dari dalam kereta. Ia merasa prihatin menyaksikan keadaan mereka bertiga yang mengenaskan itu. Namun, begitu melihat murid-murid Qingcheng telah memburu maju, tanpa pikir panjang ia pun berseru, “Yingying, tolong kau bantu Adik Lin!”

Tanpa menjawab Ren Yingying langsung menerjang secepat kilat. Dengan pedang pendek di tangan ia berhasil memukul mundur murid-murid Perguruan Qingcheng tersebut.

Terdengar suara raungan Mu Gaofeng sudah mulai reda, sementara pedang Lin Pingzhi masih terus menikam ke punggung si bungkuk lagi dan lagi. Sekujur badan Yu Canghai sendiri penuh berlumuran darah namun ia tetap menggigit pipi Lin Pingzhi dan tidak mau melepaskannya.

Tidak lama kemudian, Lin Pingzhi mengerahkan segenap tenaga di tangan kiri untuk mendorong tubuh Yu Canghai hingga terbanting jauh di tanah. Namun bersama itu pula, ia juga tampak menjerit kesakitan. Rupanya pipi kanannya telah berlubang dengan darah bercucuran. Jelas sepotong daging pipinya telah tergigit mentah-mentah oleh Yu Canghai.

Mu Gaofeng sudah mati sejak tadi, namun ia tetap memeluk erat kedua kaki Lin Pingzhi. Sambil meraba-raba, Lin Pingzhi lantas mengayunkan pedangnya untuk memotong kedua lengan si bungkuk. Dengan cara demikian barulah ia berhasil melepaskan diri.

Melihat keadaan Lin Pingzhi yang mengerikan itu, tanpa sadar Ren Yingying melangkah mundur. Sementara itu, murid-murid Perguruan Qingcheng beramai-ramai mendekati Yu Canghai untuk memberi pertolongan tanpa menghiraukan musuh lagi. Namun, kemudian terdengar suara mereka yang menangis sambil berteriak-teriak, “Guru, Guru, jangan tinggalkan kami!”

“Guru sudah meninggal! Guru sudah meninggal!”

Lin Pingzhi tertawa terbahak-bahak dan berteriak menyeramkan, “Hahaha. Sakit hatiku telah terbalas!”

Murid-murid Perguruan Henshan bergidik ngeri melihat keadaan pemuda itu. Wajah mereka pucat pasi dengan mulut terdiam tanpa suara sedikit pun. Sementara itu perlahan-lahan Yue Lingshan mendekati suaminya dan berkata, “Adik Ping, aku mengucapkan selamat atas keberhasilanmu membalas dendam.”

Namun, Lin Pingzhi masih saja berteriak-teriak seperti orang gila, “Sakit hatiku sudah terbalas, sakit hatiku sudah terbalas!”

Melihat sepasang mata suaminya masih terpejam, dengan suara lembut Yue Lingshan bertanya, “Bagaimana dengan kedua matamu? Air beracun ini harus dicuci.”

Lin Pingzhi langsung terdiam dan tampak tertegun. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti hendak jatuh. Segera Yue Lingshan memapah dan membawanya ke gubuk selangkah demi selangkah. Di sana ia mengambil sepanci air jernih untuk kemudian diguyurkannya ke atas kepala Lin Pingzhi. Merasa sakit dan perih luar biasa, Lin Pingzhi pun menjerit keras, sampai-sampai para murid Perguruan Qingcheng terkejut mendengar jeritan tersebut dan tanpa sadar mereka melangkah mundur.

Linghu Chong berkata, “Adik Kecil, kau ambillah obat ini untuk Adik Lin, dan bawa dia ke dalam kereta kami untuk beristirahat.”

“Terima ... terima kasih banyak,” jawab Yue Lingshan.

“Tidak perlu, tidak perlu!” sahut Lin Pingzhi tiba-tiba. “Orang bermarga Lin mau mati atau hidup ada urusan apa dengan dia?”

Linghu Chong tercengang. Ia berpikir, “Apa salahku padamu? Mengapa kau begitu benci padaku?”

Dengan suara lembut Yue Lingshan berusaha membujuk sang suami, “Obat luka Perguruan Henshan terkenal sangat mujarab. Kalau .…”

“Kalau apa?” bentak Lin Pingzhi gusar.

Yue Lingshan menghela napas. Kembali ia mengguyur perlahan muka Lin Pingzhi. Kali ini Lin Pingzhi hanya menyeringai untuk menahan sakit. Ia tidak menjerit lagi, tapi segera berkata, “Huh, kau selalu menyebut-nyebut kebaikannya. Dia memang sangat memperhatikanmu. Lantas, kenapa kau tidak ikut saja dengannya? Untuk apa kau masih mengurusi aku?”

Kata-kata Lin Pingzhi ini benar-benar mengejutkan murid-murid Perguruan Henshan sehingga mereka saling pandang dengan mulut ternganga. Yihe yang paling berangasan segera memaki dengan suara keras, “Kau ... kau benar-benar tidak tahu malu!”

Lekas-lekas Yiqing menarik lengan baju Yihe, “Kakak, jangan melayaninya. Dia hanya sedang kesakitan. Perasaannya sedang terganggu.”

“Cih!” seru Yihe. “Aku tidak terima ....”

Sementara itu, Yue Lingshan mengeluarkan saputangan untuk mengusap luka di pipi Lin Pingzhi. Di luar dugaan, tangan kanan Lin Pingzhi malah mendorong dengan kuat, sehingga Yue Lingshan yang tidak berjaga-jaga itu pun jatuh tersungkur.

Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, “Kenapa kau ….” tapi segera teringat olehnya bahwa Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sudah menikah. Tidak pantas orang luar ikut campur pertengkaran dua orang suami-istri, apalagi kata-kata Lin Pingzhi tadi jelas terkesan cemburu kepadanya. Perihal dirinya yang memendam cinta kepada sang adik kecil tentu diketahui dengan jelas oleh Lin Pingzhi. Maka, ia pun langsung terdiam tanpa suara, sementara tubuhnya gemetar menahan amarah.

Lin Pingzhi kemudian tertawa dan menanggapi perkataan Yihe tadi, “Hm, kau bilang aku tidak tahu malu? Sesungguhnya siapa yang tidak tahu malu?” Kemudian ia menunjuk keluar dan melanjutkan, “Si pendek Yu dan si bungkuk Mu itu yang tidak tahu malu. Lantaran ingin menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami, dengan segala cara mereka berusaha mendesak dan mencelakai ayah-ibuku. Meski cara mereka cukup keji namun mereka masih terhitung bersikap jantan. Tidak seperti ... tidak seperti ....” ia kemudian menunjuk ke arah Yue Lingshan, dan melanjutkan, “Tidak seperti ayahmu yang bernama Yue Buqun alias Si Pedang Budiman Munafik itu. Dia telah menggunakan siasat yang rendah dan licik untuk merebut kitab pusaka Keluarga Lin kami.”

Saat itu Yue Lingshan sedang merangkak bangun. Begitu mendengar ucapan Lin Pingzhi tadi, badannya langsung gemetar dan kembali jatuh terduduk. Dengan terputus-putus ia menjawab, “Mana … mana mungkin begitu?”

“Huh, dasar perempuan hina!” ejek Lin Pingzhi. “Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing diriku. Nona Yue putri ketua Perguruan Huashan sudi menikah dengan anak sebatang kara yang tidak punya tempat tinggal lagi. Untuk apa tujuannya kalau bukan demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami? Dan sekarang setelah kitab pusaka itu didapatkan, untuk apalagi kau masih mengurusi aku?”

Yue Lingshan menangis keras dengan perasaan pilu. Ia meratap, “Kau … kau jangan memfitnah orang yang tak bersalah. Jika benar seperti itu tujuanku sebagaimana yang kau tuduhkan, biarlah aku di… dikutuk dan mati tak terkubur.”

“Huh, dengan licik kalian memasang perangkap. Semula aku masih tidak menyadarinya,” lanjut Lin Pingzhi. “Tapi sekarang setelah kedua mataku buta, tiba-tiba saja hatiku dapat melihat dengan jelas. Coba katakan, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud dan tujuan tertentu, kenapa … kenapa ....”

Yue Lingshan bangkit dan berjalan perlahan-lahan sambil berkata, “Sudahlah, jangan menuruti pikiran liarmu. Sedikit pun perasaanku kepadamu tidak berubah dari dulu hingga sekarang.”

“Huh!” sahut Lin Pingzhi hanya mendengus.

Yue Lingshan kembali berkata, “Marilah kita pulang ke Gunung Huashan untuk merawat lukamu. Entah matamu akan sembuh atau tidak, sikapku kepadamu tak akan pernah berubah. Bila aku, Yue Lingshan, menyimpan maksud buruk, biarlah kematianku lebih mengenaskan daripada Yu Canghai ini.”

Lin Pingzhi menjawab, “Aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan atas diriku. Kau tidak perlu bicara manis lagi di depanku.”

Yue Lingshan tidak menjawab. Ia lantas berkata kepada Ren Yingying, “Kakak, bolehkah aku meminjam salah satu kereta kalian?”

“Tentu saja boleh,” jawab Ren Yingying. “Apakah perlu satu-dua kakak dari Perguruan Henshan ikut mengawal perjalanan kalian?”

“Tidak … tidak usah,” jawab Yue Lingshan dengan tersedu-sedu. “Terima kasih banyak.”

Ren Yingying lantas menarik sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Yue Lingshan.

“Mari kita naik ke atas kereta ini!” ujar Yue Lingshan sambil perlahan-lahan memapah bahu Lin Pingzhi.

Lin Pingzhi terlihat malas. Namun, kedua matanya tidak bisa melihat lagi, setiap langkah perjalanannya akan menjadi susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia pun naik juga ke atas kereta itu.

Segera Yue Lingshan melompat dan hinggap di tempat duduk kusir. Setelah mengangguk kepada Ren Yingying, ia pun melecutkan cambuk dan menjalankan kereta itu ke arah barat. Sedikit pun ia tidak melirik ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri terus memandang tanpa berkedip mengikuti kepergian kereta itu yang semakin lama semakin jauh. Ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata pun berlinang-linang di kelopak matanya. Dalam hati ia berpikir, “Kedua mata Adik Lin sudah buta, Adik Kecil juga sedang terluka. Dalam keadaan begitu bagaimana kalau mereka sampai mendapat gangguan di tengah jalan? Jika murid-murid Perguruan Qingcheng mengejar mereka untuk balas dendam, apakah mereka mampu melawan?”

Dilihatnya murid-murid Qingcheng telah membungkus jenazah Yu Canghai dan mengangkutnya di atas punggung kuda. Mereka lantas berangkat menuju arah barat daya. Meskipun arah yang dituju berlainan dengan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, namun siapa yang menjamin kalau mereka tidak akan berputar haluan di tengah jalan dan kemudian mengejar pasangan itu?

Linghu Chong mencoba menyelami pertengkaran Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tadi. Ia merasa dalam hubungan suami-istri itu tentu terdapat berbagai rahasia yang sulit diketahui orang luar. Yang jelas, sejak menikah hubungan mereka tidak lagi mesra seperti dulu. Sang adik kecil masih muda belia dan disayang oleh kedua orang tuanya bagaikan mutiara, juga para saudara seperguruan sangat hormat dan mengasihinya. Namun, kini ia harus mendapat penghinaan lahir batin dari suami sendiri, membuat perasaan Linghu Chong menjadi pilu dan air matanya pun bercucuran.

Kini hanya tinggal rombongan Perguruan Henshan saja di tempat itu. Mereka lalu melanjutkan perjalanan pulang. Setelah belasan li mereka pun menginap di sebuah kuil tua. Linghu Chong sendiri tidak bisa tidur nyenyak karena beberapa kali terbangun oleh mimpi buruk. Lewat tengah malam, dalam keadaan setengah sadar tiba-tiba ia mendengar suara lembut berbisik di telinganya, “Kakak Chong! Kakak Chong!”

Linghu Chong pun terbangun. Ternyata itu adalah suara Ren Yingying yang memanggilnya dari jauh. “Mari keluar, ada yang ingin kubicarakan.” Yang digunakan Ren Yingying adalah ilmu menyalurkan suara seperti yang pernah ia lakukan terhadap Enam Dewa Lembah Persik di Puncak Songshan tempo hari. Meskipun ia berada jauh di sana, namun suaranya terdengar jelas masuk menyusup ke dalam telinga Linghu Chong.

Segera Linghu Chong bangkit dan keluar kuil. Dilihatnya Ren Yingying sedang duduk di undak-undakan batu sambil bertopang dagu termenung-menung. Linghu Chong mendekati dan duduk di sebelahnya. Suasana malam itu begitu sunyi. Di sekitar mereka tiada terdengar suara sedikit pun.

Selang agak lama barulah Ren Yingying berkata, “Kau pasti mengkhawatirkan adik kecilmu, bukan?”

“Ya,” jawab Linghu Chong. “Banyak persoalan yang membuatku sukar mengerti.”

“Kau khawatir dia akan diperlakukan kurang baik oleh suaminya?” sambung Ren Yingying.

Linghu Chong menghela napas, lalu menjawab, “Itu urusan suami-istri, orang luar mana boleh ikut campur?”

“Bukankah kau juga khawatir kalau murid-murid Qingcheng akan mengejar mereka untuk balas dendam?” tanya Ren Yingying.

“Orang-orang Qingcheng tentu sakit hati atas kematian guru mereka. Apalagi melihat Adik Lin dan Adik Kecil sedang terluka, tentu wajar kalau mereka mengambil kesempatan untuk balas dendam. Rasanya bukan sesuatu yang aneh,” jawab Linghu Chong lirih.

“Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?” desak Ren Yingying.

Kembali Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Dari nada bicara Adik Lin tadi, sepertinya ia agak cemburu kepadaku. Meski aku datang membantu mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membuat retak hubungan rumah tangga mereka.”

“Itu hanya salah satu alasanmu,” ujar Ren Yingying. “Tapi sebenarnya kau khawatir akan membuatku merasa tidak senang, bukan?”

Linghu Chong mengangguk, kemudian memegang tangan kiri Ren Yingying dengan erat. Telapak tangan gadis itu terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, “Yingying, di dunia ini hanya kau seorang satu-satunya yang kumiliki. Jika di antara kita masih timbul rasa curiga, lalu apa artinya semua ini?”

Perlahan-lahan Ren Yingying meletakkan kepalanya pada bahu Linghu Chong, kemudian berkata, “Jika demikian perasaanmu, sungguh tidak baik kalau kita masih saling curiga. Jangan sampai terlambat. Kita harus menyusul mereka secepatnya. Jangan sampai kau menyesal seumur hidup hanya karena ingin menghindari rasa curiga di antara kita.”

Mendengar perkataan “menyesal seumur hidup”, seketika Linghu Chong terkesiap dan seakan-akan terbayang dalam benaknya Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sedang dikepung oleh murid-murid Perguruan Qingcheng dengan senjata terhunus. Tanpa terasa badannya pun gemetar memikirkan hal ini.

Terdengar Ren Yingying berkata, “Akan kubangunkan Kakak Yihe dan Kakak Yiqing supaya memimpin rombongan pulang ke Henshan lebih dulu. Kita berdua akan mengawal perjalanan adik kecilmu secara diam-diam, baru kemudian menyusul ke Biara Awan Putih.”

Setelah bangun, Yihe dan Yiqing segera mendatangi Linghu Chong. Mereka merasa khawatir melihat keadaan sang ketua yang belum benar-benar sembuh tapi ingin pergi menolong orang. Namun, karena Linghu Chong sudah bertekad bulat, terpaksa mereka tidak berani banyak membantah. Keduanya pun menyediakan obat-obat luka dalam sebuah bungkusan besar dan menaruhnya di dalam kereta. Ren Yingying sendiri hanya diam mematung dan sama sekali tidak berani memandang ketika Linghu Chong berpamitan kepada dua murid tertua itu. Ia membayangkan Yihe dan Yiqing pasti menertawakan kepergiannya bersama Linghu Chong malam-malam begini dalam satu kereta. Setelah cukup jauh meninggalkan kuil tua tersebut, barulah gadis itu menghembuskan napas panjang dengan wajah masih bersemu merah.

Ren Yingying ternyata mampu membedakan arah dengan baik. Begitu menemukan sebuah jalan raya menuju ke arah barat laut, ia langsung memacu kereta sekencang-kencangnya menyusuri jalur itu. Ia paham bahwa jalan raya ini adalah satu-satunya jalur menuju Gunung Huashan dan tidak mungkin salah arah. Kereta yang mereka tumpangi ditarik oleh seekor keledai yang kuat, sehingga ada kemungkinan besar bisa menyusul kereta Lin Pingzhi dan Yue Lingshan. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai dan keriat-keriut roda kereta saja.

Linghu Chong termangu-mangu menyaksikan Ren Yingying mengemudikan kereta. Ia merenung, “Demi diriku, ia rela melakukan segalanya. Jelas-jelas ia sadar bahwa aku sedang mengkhawatirkan Adik Kecil, tetapi ia sama sekali tidak tersinggung, malah mengajakku berangkat menyusul. Ia dapat memahami perasaanku dengan baik. Entah dalam kehidupan sebelumnya ada hubungan apa di antara kami berdua? Wahai Linghu Chong, betapa beruntung dan bahagianya dirimu mendapatkan istri secantik ini dan juga berbudi luhur seperti ini.”

Ren Yingying melarikan kereta keledai itu dengan sangat cepat. Beberapa li kemudian tiba-tiba ia melambat dan berkata, “Kita berusaha melindungi adik kecilmu secara diam-diam. Jika kita terpaksa turun tangan, maka sebaiknya mereka jangan sampai mengenal kita. Maka, yang paling baik adalah kita menyamar saja.”

“Benar, kau bisa menyamar sebagai si gemuk berewok lagi,” sahut Linghu Chong.

“Tidak. Waktu di Puncak Songshan tempo hari semua orang melihatku memapahmu. Penyamaranku yang itu tentu sudah diketahui oleh adik kecilmu,” jawab Ren Yingying.

“Lantas, bagaimana kita harus menyamar?” tanya Linghu Chong.

“Kau tunggu sebentar di sini,” ujar Ren Yingying. Kemudian cambuknya menunjuk sebuah rumah petani di depan sana dan ia pun berkata, “Aku akan mencuri pakaian di rumah itu, kemudian kita menyamar sebagai pasangan ... eh, dua orang petani kakak beradik.” Sebenarnya ia hendak mengatakan “pasangan petani suami-istri” namun hatinya merasa kurang pantas sehingga segera mencari kata-kata yang lain.

Linghu Chong yang cerdik tentu saja mengetahui hal itu. Sebenarnya ia hendak bercanda untuk meledek Ren Yingying namun mengingat gadis itu sangat pemalu, maka ia hanya tersenyum saja. Meski demikian, kebetulan Ren Yingying sedang menoleh dan melihat senyuman itu sehingga wajahnya pun bersemu merah.

“Apanya yang lucu?” sahutnya kemudian.

“Tidak ... tidak ....” jawab Linghu Chong. “Aku hanya berpikir seandainya di rumah itu tidak ada anak perempuan, dan ternyata yang menghuni di sana seorang pemuda dan neneknya, tentu aku harus memanggilmu ‘nenek’ lagi.”

Ren Yingying hanya mencibir kemudian tertawa kecil membayangkan masa-masa awal pertemuan mereka dulu. Tanpa bicara lagi ia pun melompat turun dari kereta dan berlari menuju rumah yang menjadi sasarannya. Dengan mudah ia melompati pagar rumah itu, menyusul kemudian terdengar suara anjing menggonggong sekali namun kemudian tidak terdengar lagi. Sepertinya binatang itu telah dilumpuhkan oleh si nona.

Tidak lama kemudian Ren Yingying telah kembali dengan membawa setumpuk pakaian. Wajahnya terlihat aneh. Seperti tersenyum tapi tidak tersenyum. Gadis itu lalu melompat ke dalam kereta dan tertawa terpingkal-pingkal setelah menaruh bungkusan itu di sampingnya. Linghu Chong penasaran dan memeriksa isi bungkusan itu, yang ternyata berisi pakaian petani suami-istri. Di bawah sinar rembulan dapat terlihat kalau keduanya adalah pakaian petani tua yang sudah ketinggalan zaman. Apalagi pakaian si wanita tampak sangat longgar dan bermotif bunga-bunga. Selain mencuri pakaian, Ren Yingying juga sempat mengambil topi petani dan ikat kepala perempuan, serta sebatang pipa cangklong.

Ren Yingying masih saja tertawa sambil berkata, “Hahaha. Kau benar-benar manusia setengah dewa. Tebakanmu memang benar. Di sana tidak ada pakaian anak gadis, yang ada hanya pakaian nenek tua. Tapi ... tapi di sana juga tidak ada pakaian pemuda ....” Entah mengapa ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya.

Linghu Chong tersenyum menanggapi, “Jadi, penghuni rumah itu benar-benar pasangan petani tua kakak beradik. Yang laki-laki tidak mau menikah, begitu pula dengan yang wanita. Keduanya tetap melajang sampai usia tujuh puluhan, dan tetap hidup bersama.”

Ren Yingying tersenyum simpul menjawab, “Tidak seperti itu.”

“Jadi mereka bukan kakak beradik? Aneh sekali,” ujar Linghu Chong pura-pura bingung.

Ren Yingying masih saja tertawa dan segera mengambil pakaian perempuan dan mengenakannya di belakang kereta. Kemudian dengan kedua tangan ia mengusapkan debu pada mukanya sendiri. Setelah itu barulah ia kembali ke dalam kereta untuk membantu Linghu Chong mengenakan pakaian penyamarannya.

Jarak mereka berdua kini hanya beberapa senti saja. Napas Ren Yingying terasa berhembus perlahan, membuat hati Linghu Chong berdebar-debar. Sungguh, ia ingin sekali memeluk gadis itu dan menciumnya, namun begitu teringat sifat Ren Yingying yang pemalu dan sangat keras, sedikit pun ia tidak berani memenuhi hasratnya. Kalau sampai membuat si nona marah, tentu akibatnya sangat sukar dibayangkan. Karena itu, ia pun berusaha menahan diri sebisa mungkin.

Ternyata kilatan sinar mata Linghu Chong yang aneh itu dapat diketahui oleh Ren Yingying. Dengan tersenyum ia mengusap muka pemuda itu dengan debu sambil berkata, “Anak baik, kalau seperti ini barulah Nenek sayang padamu.”

Linghu Chong memejamkan mata menikmati usapan tangan Ren Yingying yang halus itu. Dadanya terasa hangat dan perasannya begitu nyaman. Sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap wajahnya tanpa berhenti.

Sejenak kemudian Ren Yingying pun berkata, “Selesai sudah. Adik kecilmu tidak akan mengenalimu lagi di tengah malam seperti ini. Tapi awas, kau tidak boleh berbicara.”

“Usapkan debu di leherku juga,” ujar Linghu Chong kemudian.

“Untuk apa? Memangnya siapa yang akan mengenali lehermu?” jawab Ren Yingying. Begitu memahami maksud nakal Linghu Chong, ia pun mengetuk perlahan dahi pemuda itu dan kembali duduk di tempat kusir. Dengan bersuit ia kembali menjalankan kereta. Sepanjang jalan gadis itu tiada henti-hentinya tertawa terpingkal-pingkal, membuat Linghu Chong merasa penasaran.

“Memangnya ada kejadian lucu apa di rumah petani tadi?” tanya Linghu Chong kemudian.

“Aku tidak melihat sesuatu yang lucu,” jawab Ren Yingying. “Hanya saja kedua petani yang tinggal di sana itu adalah suami istri yang sudah tua.”

“O, jadi mereka bukan kakak beradik?” sahut Linghu Chong tersenyum.

“Kau menggodaku. Aku tidak mau bicara lagi,” ujar Ren Yingying.

“Baiklah, baiklah, mereka bukan suami-istri, tapi kakak beradik,” sahut Linghu Chong.

“Berhentilah menggoda,” kata Ren Yingying. “Tadi setelah aku melompati pagar, segera seekor anjing menggonggong kepadaku. Terpaksa aku memukul binatang itu sampai pingsan. Namun, suara gonggongannya terlanjur membuat petani kakek-nenek itu terbangun. Terdengar si nenek berkata, ‘Bapaknya A Mao, coba kau lihat, jangan-jangan ada maling ayam.’ Lalu si kakek menjawab, ‘Ah, Si Hitam sudah diam, mana mungkin ada maling?’ Tiba-tiba si nenek tertawa dan berkata, ‘Mungkin maling itu meniru caramu dulu. Saat tengah malam kau mengendap-endap ke rumahku sambil membawa sepotong daging untuk menyuap anjingku.’”

“Huh, nenek itu memang brengsek. Secara tidak langsung dia berani menyebutmu sebagai maling ayam,” ujar Linghu Chong dengan tertawa. Karena sifat Ren Yingying sangat pemalu, maka ia sengaja pura-pura tidak tahu bahwa kedua suami-istri petani itu sedang mengisahkan urusan asmara mereka di masa lalu. Dengan demikian Ren Yingying akan terus bercerita. Kalau sedikit saja Linghu Chong menyinggung soal percintaan, tentu gadis itu tidak mau bicara lagi.

Ternyata Ren Yingying justru menjelaskan sambil tertawa, “Maksud nenek itu adalah kejadian sebelum mereka menikah ….” sampai di sini tiba-tiba ia menegakkan tubuhnya dan mencambuk keledai agar kereta berjalan lebih cepat.

“Kejadian sebelum mereka menikah?” sahut Linghu Chong menegas. “Pasti kelakuan mereka berdua sangat baik. Sekalipun mereka berduaan di dalam kereta malam-malam, tentu mereka juga tidak berani saling peluk dan berciuman.”

“Huh!” sahut Ren Yingying mendengus, kemudian tidak berbicara lagi.

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Wahai adik manis, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan? Tolong kau kembali bercerita!”

Namun, Ren Yingying tetap saja diam. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai dan keriut roda melaju kencang dengan menimbulkan irama yang enak didengar.

Yu Canghai dan Mu Gaofeng mengeroyok Lin Pingzhi.
Lin Pingzhi disergap keda lawannya.
Lin Pingzhi memaki istrinya.
Ren Yingying mengajak Linghu Chong menyusul Yue Lingshan.

(Bersambung)