Bagian 75 - Gugurnya Sang Biksuni Sepuh

Biksuni Dingjing menjelang ajal.

Sambil tangan kirinya memegangi golok yang masih lengket dengan sarung, Linghu Chong pura-pura menarik gagangnya, tapi tetap tidak tercabut keluar. Ia lalu menggumam sendiri, “Golok pusaka ini benar-benar sudah karatan. Kapan-kapan aku perlu mencari tukang asah untuk membersihkan karatnya.”

Biksuni Dingjing datang menyapanya sambil menguncupkan kedua tangan, “Jenderal Wu, bagaimana kalau kita pergi menolong beberapa murid-murid perempuan kami?”

Linghu Chong menduga dengan kepergian rombongan Zhong Zhen itu maka sudah tidak ada lagi orang yang mampu melawan kepandaian Biksuni Dingjing. Maka, ia pun menjawab, “Jenderal masih ingin minum arak di sini. Apakah Biksuni yang mulia juga mau minum beberapa cawan bersamaku?”

Mendengar “perwira” ini berulang kali bicara tentang arak, diam-diam Yilin berpikir, “Kalau dia bertemu Kakak Linghu, tentu mereka akan menjadi teman minum yang akrab.” Tanpa sengaja ia pun mencuri pandang, dan tak disangka Sang Jenderal juga sedang memandang ke arahnya. Seketika wajah Yilin menjadi merah dan dengan cepat ia pun menunduk.

Dingjjing menjawab sambil menguncupkan tangan, “Biksuni tua tidak minum arak. Jenderal, aku mohon pamit.” Ia kemudian memberi hormat dan mengundurkan diri.

Zheng E bertiga ikut keluar. Sampai di ambang pintu Yilin berpaling dan memandang lagi ke arah Linghu Chong. Terlihat “perwira” itu sedang bangkit mencari arak sambil mengomel, “Nenekmu, apakah semua orang di penginapan ini sudah mampus? Mengapa sampai sekarang tak ada seorang pun yang keluar?”

Yilin pun berpikir, “Suaranya mirip Kakak Linghu, tapi jenderal ini suka memaki dengan kata-kata kotor. Setiap berbicara selalu menyebut-nyebut nenek segala, sungguh berbeda dengan Kakak Linghu. Ilmu silatnya juga jauh lebih tinggi daripada Kakak Linghu. Aih, kenapa aku jadi berpikir yang tidak-tidak, ah, dasar ….”

Sementara itu Linghu Chong telah mendapatkan seguci arak dan langsung menghabiskan setengah isinya tanpa menggunakan cawan. Sambil minum benaknya tetap berpikir, “Para biksuni dan perempuan tua muda itu akan kembali lagi ke sini dengan mulut ceriwis dan bawel. Jika aku kurang hati-hati bisa dikenali mereka dan keadaan tentu menjadi runyam. Lebih baik aku menyelinap pergi saja. Tapi untuk menolong kawan-kawan mereka yang banyak itu tentu juga makan waktu lama. Mungkin bisa lebih dari satu jam. Sementara ini lebih baik aku mengisi perutku yang lapar dulu.”

Setelah menghabiskan isi guci arak tersebut ia lantas bergegas ke dapur untuk mencari makanan. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara Qin Juan berseru melengking dengan nada khawatir, “Guru, Guru, kau di mana?”

Linghu Chong segera menerjang keluar mencari sumber suara. Tak lama kemudian ia melihat Zheng E, Yilin, dan Qin Juan berdiri di jalan raya sambil berteriak-teriak memanggil-manggil Dingjing.

“Ada apa?” tanya Linghu Chong sesudah dekat.

Zheng E menjawab, “Kami bertiga mencari kakak-kakak yang tertawan musuh. Tapi kami kehilangan jejak Guru. Sekarang entah … entah ke mana Beliau pergi.”

Linghu Chong melihat usia Zheng E paling-paling baru dua puluh satuan, sementara Qin Juan paling tidak masih enam belas tahun. Ia pun berikir, “Gadis-gadis muda ini belum berpengalaman, mengapa Perguruan Henshan mengirim mereka ke dunia ramai?” Segera ia berkata dengan tertawa, “Jangan khawatir, aku tahu mereka di mana. Kalian ikutlah denganku.”

Segera ia mendahului berjalan menuju ke gedung besar di sebelah timur laut tadi. Sampai di sana, ia pun menendang pintu rumah hingga terpentang lebar. Khawatir kalau-kalau wanita anggota Sekte Iblis masih bersembunyi di dalam dan mungkin akan membiusnya dengan racun, maka ia pun berkata, “Tutup rapat-rapat mulut dan hidung kalian dengan saputangan. Hati-hati di dalam ada nyonya keparat suka menebarkan racun.”

Usai berkata ia pun memencet hidung sendiri dan mengatupkan mulut rapat-rapat kemudian menerjang masuk ke dalam rumah. Namun sesampainya di ruang aula, mau tidak mau ia menjadi tercengang. Di dalam ruangan yang tadinya penuh bergelimpangan murid-murid Perguruan Henshan dalam keadaan pingsan dan terikat, kini ternyata sudah kosong melompong, tanpa penghuni sama sekali.

“Hah!” serunya heran. Dilihatnya di atas meja terdapat sebuah tatakan lilin dengan api yang masih menyala, tapi ruangan itu benar-benar sudah kosong. Dengan cepat ia memeriksa sekeliling rumah itu, namun tiada menemukan suatu petunjuk apa pun. “Ada yang tidak beres di sini,” katanya.

Zheng E, Yilin, dan Qin Juan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Wajah mereka bertiga tampak memancarkan rasa bimbang.

Linghu Chong berkata, “Nenekmu, kakak-kakak seperguruan kalian jelas-jelas dibius oleh nyonya keparat, kemudian diikat dan digeletakkan di sini. Mereka semua jadi bacang di Fujian. Mana mungkin hanya sekejap saja mereka semua sudah lenyap?”

Zheng E menegas, “Jenderal Wu, apa kau benar-benar melihat kakak-kakak kami dibius dan diringkus di sini?”

Linghu Chong menjawab, “Tadi malam aku bermimpi melihat banyak kawanan biksuni dan para perempuan bergelimpangan tergeletak di ruangan ini. Mana mungkin aku salah?”

“Kau … kau ….” kata Zheng E hendak membantah bahwa mimpi mana bisa dijadikan acuan? Tapi lantas teringat olehnya bahwa perwira ini memang suka mengoceh tidak jelas. Ia bilang bermimpi, padahal sebenarnya menyaksikan sendiri kejadian yang sesungguhnya. Maka dengan cepat gadis itu pun mengganti kalimat, “Jenderal Wu, menurut dugaanmu mereka pergi ke mana?”

“Hm, bisa jadi mereka sudah lapar dan pergi mencari daging babi dan minum arak. Mungkin juga mereka pergi menonton pertunjukan sandiwara,” kata Linghu Chong seenaknya. Lalu ia melambaikan tangan dan melanjutkan, “Kalian bertiga anak dara sebaiknya ikut di belakangku, jangan sampai meninggalkan aku. Kalau mau makan daging dan minum arak atau menonton pertunjukan tidak perlu buru-buru.”

Meskipun umur Qin Juan masih belia, tapi ia menyadari keadaan sangat gawat dan para kakak seperguruan pun sudah jatuh ke dalam perangkap musuh. Ocehan jenderal sinting ini memang tidak bisa dianggap benar, tetapi karena puluhan murid Perguruan Henshan yang tersisa kini hanya tinggal mereka bertiga, maka selain menuruti segala perintah sang jenderal boleh dikata tiada jalan lain yang lebih baik. Terpaksa ia pun mengikuti Zheng E dan Yilin berjalan keluar di belakang Linghu Chong.

Terdengar Linghu Chong menggumam sendiri, “Aneh, apa impianku semalam tidak betul, ya? Apa mataku kabur dan yang kulihat hanya khayalan belaka? Ah, nanti malam aku harus mimpi lagi yang benar.” Sementara dalam hati ia berpikir, “Ke mana menghilangnya murid-murid Perguruan Henshan itu? Mengapa Biksuni Dingjing juga tiba-tiba menghilang? Apa barangkali biksuni tua itu juga masuk perangkap musuh? Jika demikian aku harus lekas-lekas mencarinya. Tapi ketiga gadis muda ini tentu kurang aman jika ditinggalkan di Nianbapu begitu saja. Terpaksa mereka harus kubawa serta untuk pergi mencari Biksuni Dingjing dan yang lain.”

Ia kemudian berkata, “Kalau kalian tidak ada kerjaan, marilah kita pergi mencari guru dan teman-teman kalian. Mungkin mereka sedang main-main di suatu tempat.”

“Baik,” seru Zheng E cepat. “Ilmu silat Jenderal sangat tinggi, pengalaman juga sangat luas. Jika Jenderal tidak memimpin kami pergi mencari mereka, tentu bisa-bisa kami tersesat di jalan.”

“Ilmu silat sangat tinggi dan pengalaman luas, ucapanmu ini memang tidak salah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Kelak kalau jenderalmu naik pangkat dan berkuasa lebih besar, tentu aku akan mengirim seratus tahil perak kepada kalian untuk membeli pakaian baru dan jajan sepuas-puasnya.”

Sambil terus membual, Linghu Chong dan ketiga perempuan muda itu pun sampai di pinggir kota. Ia melompat ke atap rumah dan memandang ke segala penjuru. Sementara itu matahari sudah mulai terbit, pepohonan masih diselimuti kabut tebal. Sejauh mata memandang tidak seorang pun terlihat berjalan di kedua sisi jalan raya.

Tiba-tiba Linghu Chong melihat di tepi selatan jalan terdapat suatu benda berwarna hijau. Benda itu tidak telihat dengan jelas karena jaraknya lumayan jauh, namun  cukup menarik perhatian karena di jalanan yang sepi tersebut tidak terdapat benda lain. Dengan cepat ia pun melompat turun dari atap kemudian berlari ke sana untuk memungutnya. Ternyata benda itu adalah sebuah sepatu wanita yang terbuat dari kain. Bentuknya pun sama persis dengan sepatu yang dipakai Yilin.

Ia menunggu sejenak sampai Zheng E bertiga datang menyusul. Diserahkannya sepatu wanita itu kepada Yilin lalu bertanya, “Apakah ini sepatumu? Mengapa jatuh di sini?”

Walaupun sadar dirinya masih bersepatu lengkap, tapi Yilin masih memandang sekejap ke arah kaki dan melihat sepasang sepatunya masih terpakai dengan baik.

Zheng E menjawab, “Ah, ini adalah … adalah sepatu yang dipakai kakak kami. Mengapa bisa jatuh di sini?”

Qin Juan menyahut, “Pasti salah seorang kakak yang diculik musuh itu meronta-ronta di sini sehingga sepatunya terlepas.”

Zheng E berkata, “Mungkin juga sepatu ini sengaja dilepaskan agar kita dapat menemukan jejaknya.”

“Benar, pengetahuanmu memang luas, ilmu silatmu juga tinggi,” kata Linghu Chong. “Sekarang kita harus mengejar ke selatan atau ke utara?”

“Sudah tentu ke selatan saja,” sahut Zheng E.

Segera Linghu Chong mendahului berlari cepat ke selatan. Dalam sekejap ia sudah berlari ratusan meter. Semula Zheng E bertiga tidak terlalu jauh darinya, tapi lama-lama mereka semakin tertinggal di belakang.

Sambil berlari Linghu Chong mengamati keadaan sekeliling jalan yang dilaluinya. Sering pula ia menoleh ke belakang mengawasi Zheng E bertiga, khawatir jangan-jangan mereka tertinggal terlalu jauh dan mungkin tidak sempat ditolong lagi jika mendadak diculik musuh. Maka sesudah beberapa kilo ia lantas berhenti untuk menunggu ketiga murid Perguruan Henshan itu.

Sesudah mereka bertiga tiba, Linghu Chong lalu berlari ke depan lagi dan begitu seterusnya sampai beberapa kali, hingga akhirnya terlampaui jarak belasan kilo. Jalanan di depan terlihat mulai berliku dan tidak rata, juga terdapat banyak pepohonan di kedua tepi. Jika musuh bersembunyi di suatu tikungan dan menyergap secara mendadak, tentu tidak sempat lagi untuk menolong Yilin bertiga. Apalagi wajah Qin Juan sudah merah padam, dengan keringat memenuhi dahi dan terlihat sangat letih. Linghu Chong sadar bahwa gadis belia itu terlalu muda dan tidak kuat berlari jauh. Segera ia memperlambat langkahnya sambil sengaja berteriak, “Nenekmu, jenderalmu ini berlari terlalu cepat. Sayang sekali kalau sepatu kulitku ini nanti akan tergesek tipis. Kukira sepatuku ini perlu dihemat. Kalau begitu kita berjalan pelan-pelan saja.”

Setelah berjalan belasan kilo berikutnya, tiba-tiba Qin Juan berseru, “Hei!” Ia lalu berlari ke pinggir semak-semak dan memungut sebuah kopiah kain berwarna hijau, yang tidak lain adalah kopiah yang biasa dipakai para biksuni Perguruan Henshan.

Melihat itu, Zheng E pun berkata, “Jenderal, kakak-kakak kami benar-benar dibawa musuh melalui jalanan ini.”

Karena jalan yang mereka tempuh ternyata benar, mereka pun mempercepat langkah sehingga Linghu Chong ganti yang tertinggal di belakang.

Menjelang tengah hari mereka berempat singgah di sebuah kedai nasi untuk mengisi perut. Melihat seorang perwira membawa seorang biksuni cantik dan dua orang nona muda, si pemilik kedai nasi terheran-heran dan berulang kali memandangi mereka.

“Nenekmu!” Linghu Chong memaki sambil menggebrak meja. “Apa yang kau lihat? Memangnya tidak pernah melihat biksuni, hah?”

“Hamba, hamba tidak berani!” sahut pemilik kedai ketakutan.

Zheng E segera bertanya, “Paman, apakah kau melihat beberapa orang biksuni lewat sini?” Ia berkata sambil menunjuk ke arah Yilin.

Si pemilik kedai menjawab, “Kalau beberapa orang tidak. Tapi kalau cuma seorang saja memang ada. Tadi ada seorang buksuni tua, usianya jauh lebih tua daripada biksuni muda ini ….”

“Dasar ngawur,” damprat Linghu Chong. “Sudah tentu seorang biksuni tua usianya jauh lebih tua daripada biksuni muda! Memangnya kau anggap kami ini orang tolol semua?”

“Tidak, tidak,” sahut laki-laki itu ketakutan.

“Lalu bagaimana dengan biksuni tua itu?” Zheng E bertanya dengan cepat.

“Biksuni tua itu bertanya kepadaku dengan buru-buru, apakah aku melihat beberapa orang biarawati lewat di jalanan sini. Aku jawab tidak ada, lantas Beliau berlari ke sana. Wah, sudah begitu tua, tapi larinya sungguh cepat. Bahkan tangannya memegang pedang yang mengkilap, seperti sandiwara saja.”

“Orang itu pasti Guru. Mari kita segera menyusul ke sana,” seru Qin Juan sambil bertepuk tangan.

“Jangan terburu-buru. Kita makan dulu, urusan lain belakangan,” ujar Linghu Chong.

Mereka berempat pun makan dengan tergesa-gesa. Sebelum melanjutkan perjalanan, Qin Juan sempat membeli empat buah kue mangkuk yang katanya untuk diberikan kepada sang guru nanti. Dalam hati Linghu Chong merasa sedih. “Betapa ia berbakti kepada gurunya. Walaupun aku ingin berbakti kepada guruku tapi sudah tidak bisa lagi,” pikirnya.

Akan tetapi, sampai hari gelap lagi mereka tetap belum menemukan jejak Biksuni Dingjing. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya pepohonan dan alang-alang belaka. Jalanan pun makin lama makin sempit. Tidak lama kemudian, alang-alang dan rerumputan semakin tinggi sampai menutupi pandangan. Tiba-tiba dari arah barat laut sayup-sayup terdengar suara nyaring senjata beradu.

“Di sana ada orang berkelahi. Bagaimana kalau kita menonton keramaian?” seru Linghu Chong.

“Aih, jangan-jangan itu guruku,” ujar Qin Juan.

Linghu Chong lantas berlari ke arah datangnya suara dengan menyusuri rumput alang-alang yang lebat. Setelah beberapa puluh meter kemudian mendadak matanya terbelalak karena melihat suasana terang benderang oleh sinar api puluhan obor. Suara benturan senjata juga terdengar bertambah nyaring.

Ia mempercepat langkahnya. Setelah dekat dengan sumber cahaya, terlihat puluhan orang membawa obor melingkari suatu kalangan pertempuran. Di tengah kalangan tampak seorang bersenjata pedang dengan jubah berkibar-kibar sedang bertempur melawan tujuh orang musuh. Orang itu bergerak lincah bagaikan menari dan suara pedangnya terdengar menderu-deru. Ia tidak lain adalah Biksuni Dingjing.

Di luar kalangan tampak pula menggeletak beberapa puluh orang. Dari pakaian mereka segera diketahui bahwa itu adalah murid-murid Perguruan Henshan.

Orang-orang yang mengelilingi itu semuanya memakai kedok. Perlahan-lahan Linghu Chong berjalan mendekat. Karena semua orang sedang mencurahkan perhatian kepada pertempuran sengit itu, maka tak seorang pun yang mengetahui kedatangannya.

Mendadak Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Hahahaha, tujuh melawan satu, sungguh hebat!”

Orang-orang berkedok yang berkerumun itu terkejut dan serentak berpaling ke arahnya, sedangkan tujuh orang yang sedang bertempur dalam kalangan seperti tak peduli. Mereka tetap mengeroyok Biksuni Dingjing dan menyerang dengan gencar menggunakan senjata masing-masing.

Linghu Chong melihat jubah Dingjing berlumuran darah. Tidak sedikit pula tetesan darah yang terciprat pada mukanya. Bahkan pedang pun dimainkannya menggunakan tangan kiri, pertanda tangan kanannya sudah terluka.

Sementara itu di antara kerumunan orang berkedok terdengar seseorang membentak, “Siapa kau?” Bersamaan kemudian dua orang bersenjata golok melompat maju ke depan Linghu Chong.

“Kawanan bangsat, jenderalmu ini pernah bertempur dari timur sampai barat. Kudaku melaju tanpa henti, tiap hari membasmi bandit-bandit kecil. Ayo, perkenalkan siapa diri kalian! Golok jenderalmu ini tidak pernah menyabet orang tanpa nama!” bentak Linghu Chong.

“Haha, ternyata seorang sinting!” kata seorang di antaranya sambil tertawa geli. Ia kemudian mengayunkan goloknya untuk menebas kaki Linghu Chong.

“Aih, kau sungguh-sungguh memakai senjata?” teriak Linghu Chong sambil menggeliat ke samping. Secepat kilat tubuhnya berkelebat masuk ke tengah kalangan. Goloknya yang masih bersarung itu bergerak memukul tujuh kali di mana pergelangan tangan ketujuh pengeroyok sebagai sasaran. Tujuh macam senjata mereka pun berjatuhan ke tanah diikuti suara berisik. Menyusul kemudian Biksuni Dingjing menusukkan pedangnya tepat menancap pada tenggorokan seorang musuh. Rupanya orang itu sedang terperanjat karena tahu-tahu senjatanya jatuh oleh pukulan Linghu Chong. Akibatnya, ia pun tidak sempat menghindari serangan kilat Biksuni Dingjing yang lihai itu dan terpaksa kehilangan nyawa.

Setelah menewaskan seorang musuhnya, Dingjing tampak terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk di tanah. Melihat itu Qin Juan pun berseru khawatir, “Guru! Guru!” Gadis belia itu kemudian berlari maju dan memeluk tubuh Sang Guru.

Seorang berkedok kemudian mengacungkan goloknya untuk mengancam tengkuk seorang murid Henshan sambil berteriak, “Mundur tiga langkah! Kalau tidak, akan kubunuh perempuan ini!”

“Baik, baik! Mundur ya mundur, kenapa begini galak? Jangankan cuma tiga langkah, tiga puluh langkah juga boleh,” ujar Linghu Chong dengan tertawa. Tapi mendadak ia menyodokkan golok bersarungnya ke depan, dan ujungnya tepat mengenai dada orang itu. Seketika orang itu menjerit dan terlempar ke belakang hingga beberapa meter jauhnya.

Linghu Chong tercengang keheranan mengetahui kekuatannya ternyata sedemikian hebat. Ia kemudian mengayunkan kembali goloknya tiga kali, dan berhasil merobohkan tiga orang laki-laki berkedok.

“Nah, kalian mau enyah atau tidak? Jika tidak, akan kubekuk batang leher kalian satu per satu dan kukirim ke penjara. Nenekmu, tiap orang akan mendapat tiga puluh cambukan di pantat!” bentak Linghu Chong.

Pemimpin orang-orang berkedok itu melihat kepandaian Linghu Chong begitu tinggi dan sukar diukur, maka ia pun memberi hormat dan berkata, “Kami telah bertemu dengan Ketua Ren yang mulia, biarlah kami mundur saja.” Lalu ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya sambil berseru, “Ketua Ren dari Sekte Iblis telah tiba di sini. Kita harus tahu diri dan lekas pergi segera!”

Beramai-ramai mereka lantas mengusung mayat seorang kawan dan empat kawan lainnya yang roboh tadi. Obor-obor pun dilemparkan, lalu mereka bergegas menuju ke arah barat daya. Dalam sekejap saja gerombolan orang berkedok itu sudah menghilang di balik semak-semak rumput ilalang yang lebat.

Qin Juan telah mengambil obat luka untuk diberikan kepada gurunya, sementara Yilin dan Zheng E membebaskan kakak-kakak mereka. Empat murid perempuan yang sudah bebas dari ikatan lantas memungut obor dan mengelilingi Dingjing. Melihat luka Dingjing cukup parah, semuanya diam tak berkata apa-apa dengan wajah tampak cemas dan khawatir.

Dada Dingjing terlihat naik turun, napasnya terengah-engah. Perlahan-lahan ia membuka mata dan bertanya kepada Linghu Chong, “Jadi kau … kau ini mantan Ketua Sekte Iblis Ren … Ren Woxing itu?”

“Bukan,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.

Pandangan mata Dingjing tampak nanar, napasnya bertambah lemah. Udara yang ia keluarkan lebih banyak daripada yang dihirup. Keadaannya semakin payah. Beberapa kali ia tersengal-sengal, lalu mendadak berkata dengan nada bengis, “Jika kau adalah Ren Woxing, maka biarpun Perguruan Henshan kami … kalah ha… habis-habisan dan bi… binasa semua juga … juga tidak sudi … tidak sudi ….” sampai di sini napasnya kembali tersengal-sengal.

Melihat ajal biksuni tua itu sudah di depan mata, Linghu Chong tidak berani sembarangan bicara lagi. Ia pun menyahut, “Usiaku masih muda, mana mungkin aku ini Ren Woxing?”

Dingjing memandang sejenak, lalu kembali berkata, “Jika demikian mengapa kau … kau mahir menggunakan Jurus … Jurus Penyedot Bintang? Apakah kau murid … Ren Woxing?”

Linghu Chong teringat cerita guru dan ibu-gurunya mengenai bermacam-macam perbuatan jahat kaum Sekte Iblis. Juga dalam dua hari terakhir ini ia menyaksikan langsung cara-cara licik Sekte Iblis menyergap murid-murid Perguruan Henshan. Maka dengan tegas ia menjawab, “Sekte Iblis berbuat banyak kejahatan dan tak terampuni, mana mungkin aku sudi berkomplot dengan mereka? Ren Woxing itu bukan guruku, harap Biksuni jangan khawatir. Guruku seorang kesatria sejati penegak keadilan, seorang tokoh persilatan dari kalangan suci yang berwatak mulia dan dihormati budi pekertinya. Biksuni juga sering berjumpa dengan Beliau.”

Samar-samar Dingjing tampak tersenyum lega. Dengan suara terputus-putus ia berkata, “Keadaanku sudah … sudah lemah dan tak tertolong lagi. Mohon … mohon bantuanmu agar sudi mem… membawa murid-murid ini ke …” sampai di sini ia kembali tersengal-sengal. Selang agak lama barulah ia menyambung, “Mohon bawa mereka ke Biara Wuxiang di … di Fuzhou. Adik Ketua-ku be… beberapa hari lagi akan menyusul ….”

Linghu Chong berkata, “Harap Biksuni jangan khawatir. Rawatlah diri baik-baik. Setelah istirahat beberapa hari, tentu Biksuni akan sembuh kembali seperti sediakala.”

“Apakah kau menyanggupi per… permintaanku?” tanya Dingjing.

Melihat biksuni tua itu menatapnya dengan penuh harap dan khawatir kalau-kalau dirinya menolak, Linghu Chong lantas menjawab, “Jika demikian kehendak Biksuni sudah tentu akan kulaksanakan dengan baik.”

Dingjing tersenyum tipis, lalu berkata, “Amitabha, tugas ini sebenarnya … terlalu berat bagiku. Pendekar Muda, siapa … siapakah kau ini sesungguhnya?”

Melihat sinar mata biksuni tua itu sudah suram, suaranya lemah dan napasnya sangat pendek, jelas jiwanya sukar dipertahankan lagi. Linghu Chong tidak tega untuk merahasiakan jati diri kepadanya. Perlahan ia berbisik di telinga biksuni tua itu, “Bibi Dingjing, saya adalah murid Perguruan Huashan yang telah dipecat, Linghu Chong.”

“Aaah, kau … kau ….” kata Dingjing terbata-bata. “Terima … terima kasih banyak, Pendekar Muda.” Dengan tubuh gemetar ia mencengkeram tangan Linghu Chong. Sorot matanya penuh rasa syukur. Setelah itu, ia tidak mampu menarik napas lagi untuk selamanya.

Linghu Chong pun berseru, “Biksuni! Biksuni!” Tangannya memeriksa pernapasan Dingjing dan mengetahui kalau biksuni tua itu sudah meninggal dunia. Seketika hatinya merasa berduka dan kehilangan.

Serentak meledaklah jerit tangis murid-murid Perguruan Henshan. Hutan belukar yang sunyi itu kini diliputi suasana sedih, obor-obor pun terbuang di atas tanah. Berturut-turut api obor itu padam, keadaan menjadi gelap gulita menambah suramnya suasana.

Linghu Chong merenung sendiri, “Biksuni Dingjing seorang tokoh terkemuka di zaman ini, tapi ia telah terkena tipu muslihat licik dan harus tewas di belantara sunyi ini. Sebenarnya ia seorang biksuni sepuh yang tidak punya ambisi apa-apa, tidak pula suka mencari perkaara dengan pihak lain, tapi mengapa Sekte Iblis tidak memberi ampun kepadanya?” Mendadak hatinya terkesiap, “Hei, sebelum pergi tadi pemimpin orang-orang berkedok itu menyebut ‘Ketua Ren dari Sekte Iblis telah datang di sini’. Padahal orang-orang Sekte Iblis menyebut kelompok mereka sebagai Sekte Matahari dan Bulan. Istilah Sekte Iblis dianggap sebagai suatu penghinaan dan membuat mereka tidak segan-segan menumpahkan darah orang. Tapi mengapa orang itu justru menyebut ‘Sekte Iblis’, bukankah itu menghina diri sendiri? Jika dia berani mengucapkan kata-kata ‘Sekte Iblis’, maka jelas dia pasti bukan anggota Sekte Iblis. Lagipula mengapa dia mengira diriku ini Ketua Ren? Mengapa seorang pemuka Sekte Iblis tidak mengenali Ketua Ren yang sebenarnya? Lalu, dari manakah asal usul rombongan orang-orang berkedok itu?”

Dilihatnya murid-murid Perguruan Henshan masih terus menangis dengan sedihnya. Ia pun tidak mau mengganggu mereka dan memilih duduk bersandar pada batang pohon. Sebentar kemudian matanya sudah terlelap dan ia pun tertidur pulas.

Esok paginya waktu terbangun, dilihatnya beberapa murid berjaga di samping jenazah Biksuni Dingjing. Beberapa murid lainnya yang lebih muda kebanyakan masih tidur di sekeliling biksuni tua yang sudah tak bernyawa itu. Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Jika seorang perwira seperti aku diharuskan membawa rombongan perempuan seperti ini ke Fuzhou, maka akan terlihat sangat lucu dan aneh. Untungnya aku memang hendak pergi ke Fuzhou, sehingga tidak perlu memimpin mereka secara langsung. Yang penting aku tetap bisa melindungi mereka sepanjang jalan sudah cukup.”

Ia kemudian berdehem lalu mendekati murid-murid Henshan yang sedang berjaga itu. Yu Sao, Yihe, Yiqing, Yizhen, Yizhi, dan beberapa murid lainnya menguncupkan tangan memberi hormat kepadanya dan menyapa, “Kami telah mendapat pertolongan Pendekar Besar. Budi baik ini sukar kami balas. Sungguh malang guru kami mengalami bencana. Sebelum wafat Beliau telah meminta pertolongan kepada Pendekar Besar, maka untuk selanjutnya segala perintah Pendekar Besar tentu akan kami patuhi.” Mereka tidak lagi memanggil “jenderal” karena mengetahui kalau ia hanyalah perwira gadungan.

Linghu Chong menjawab, “Ah, kalian menyebut ‘pendekar besar’ segala, aku jadi risih. Jika kalian menganggap aku baik, maka tetap panggil ‘jenderal’ saja kepadaku.”

Yihe dan yang lain saling pandang kemudian manggut-manggut tanda setuju.

Linghu Chong melanjutkan, “Kemarin malam aku bermimpi kalian telah dirobohkan dengan obat bius oleh seorang perempuan keparat dan dikumpulkan di suatu rumah besar. Mengapa sekarang kalian bisa berada di sini?”

“Kami juga tidak tahu apa yang telah terjadi sesudah dibius oleh musuh,” jawab Yihe. “Kawanan bangsat itu kemudian membangunkan kami dengan guyuran air dingin dan mengendurkan tali pengikat kami. Kami digiring melalui jalan kecil di belakang kota. Kami diseret supaya berjalan secepat mungkin. Jika kami berjalan lamban sedikit saja, mereka langsung mencambuk kami. Sampai hari gelap pun kami masih terus digiring seperti hewan. Akhirnya Bibi Guru tiba. Mereka lantas mengepung Bibi Guru dan memaksa Beliau menyerah ….” bicara sampai di sini tenggorokannya seakan-akan tersumbat, lalu menangis kembali.

Linghu Chong menanggapi, “Ternyata ada jalan kecil menuju luar kota. Pantas saja kalian menghilang begitu saja.”

Yiqing berkata, “Jenderal, kami rasa yang terpenting saat ini adalah memperabukan jenazah guru kami. Setelah itu, kami mohon petunjuk Jenderal.”

Linghu Chong menggeleng dan berkata, “Urusan kaum biksu dan biksuni sedikit pun jenderalmu ini tidak paham. Jadi, aku hanya bisa garuk-garuk kepala jika dimintai petunjuk segala. Yang paling penting bagi jenderalmu ini adalah lekas naik pangkat dan cepat kaya, yang lain tidak perlu. Maka, biarlah sekarang juga aku pergi saja.” Habis berkata demikian, ia lantas pergi menuju ke selatan dengan langkah lebar.

“Jenderal! Jenderal!” para murid Henshan itu berteriak-teriak.

Linghu Chong terus berjalan sampai melewati bukit, barulah ia berhenti dan bersembunyi di atas pohon. Setelah menunggu dua jam lamanya, terlihat murid-murid Henshan berjalan dengan wajah sedih. Sesudah rombongan itu lewat, Linghu Chong pun membuntuti mereka untuk memberikan perlindungan.

Setelah sampai di kota selanjutnya, Linghu Chong beristirahat di sebuah penginapan. Ia berpikir, “Aku telah bertempur melawan orang-orang Sekte Iblis dan Perguruan Songshan. Wajah berewok komandan Quanzhou Wu Tiande ini tentu sudah lumayan terkenal di dunia persilatan. Nenekmu, aku sudah tidak bisa menyamar sebagai jenderal lagi.”

Ia kemudian memanggil pelayan penginapan dan memberinya dua tahil perak untuk ditukar dengan pakaian yang dikenakan orang itu. Linghu Chong mengaku sebagai jenderal yang sedang memburu penjahat dan terpaksa harus menyamar menjadi orang biasa. Ia berpesan supaya si pelayan tidak membocorkan hal ini, karena penjahat yang dikejar itu sangat berbahaya. Jika si penjahat sampai lolos, maka Linghu Chong mengancam akan datang kembali ke penginapan untuk membereskan si pelayan. Tentu saja pelayan itu ketakutan dan menuruti semua perkataan Linghu Chong.

Keesokan harinya Linghu Chong pergi ke tempat sepi untuk menukar pakaiannya. Ia mengenakan pakaian pelayan, mencabut kumis dan cambang yang menempel di wajahnya, kemudian mengubur semua pakaian dan berkas-berkas milik Wu Tiande di dalam tanah. Berpikir bahwa sejak hari itu ia tidak lagi menyamar sebagai “jenderal” ternyata muncul perasaan kehilangan di dalam hatinya.

Dua hari kemudian ia membeli sebilah pedang di daerah Jianning, lalu menyimpannya di dalam bungkusan perbekalan.

Selama perjalanan ini ternyata keadaan baik-baik saja membuat Linghu Chong merasa gembira. Sampai akhirnya ia melihat murid-murid Perguruan Henshan memasuki sebuah biara di timur Kota Fuzhou. Biara itu memiliki papan nama bertuliskan “Biara Wuxiang” membuatnya menghembuskan napas lega. Ia pun berpikir, “Sekarang beban berat ini sudah lepas dari bahuku. Aku telah berjanji kepada Biksuni Dingjing untuk mengantar mereka sampai ke Biara Wuxiang. Meskipun aku tidak mengantar mereka secara langsung, tapi aku selalu mengawasi dari jauh dan mereka pun memasuki Biara Wuxiang dengan selamat.”

Ia kemudian berputar haluan menuju ke jalan raya, lalu bertanya kepada seorang pejalan kaki di mana letak Biro Ekspedisi Fuwei berada. Setelah mendapat jawaban, ternyata keinginan untuk pergi ke sana mendadak lenyap dan ia hanya berjalan-jalan tak tentu arah di jalanan kecil sekitar situ. Dalam hati ia tidak berani menemui Sang Guru dan Ibu Guru, juga tidak berani menyaksikan secara langsung hubungan antara Adik Kecil dan Lin Pingzhi. Sambil berjalan ia terus-menerus mencari alasan untuk menunda keberangkatannya. Namun tiba-tiba terdengar suara seseorang yang sudah sangat dikenalnya berkumandang di dalam telinga, “Lin Kecil, sebenarnya kau ini mau menemaniku pergi minum atau tidak?”

Begitu mendengar suara itu, seketika dada Linghu Chong terasa panas, pikirannya menjadi kacau dan kepala terasa pusing. Jauh-jauh ia datang ke Fujian menempuh jarak ratusan kilo tujuannya justru ingin mendengar suara ini, dan ingin melihat wajah si pemilik suara pula. Namun sekarang ketika telah benar-benar mendengar suara itu, ia justru tidak berani menoleh untuk memandangnya. Seketika ia pun tertegun dan berdiri bagai patung, air mata pun berlinangan sehingga pandangannya menjadi kabur.

Dari nada panggilan itu serta bagaimana kalimat yang diucapkan, jelas menunjukkan kalau hubungan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi semakin akrab.

Terdengar Lin Pingzhi menjawab, “Aku tidak punya waktu. Guru memberiku pelajaran tambahan, sampai sekarang belum bisa kulatih dengan baik.”

“Tiga jurus ilmu pedang itu sebenarnya sangat mudah,” ujar Yue Lingshan. “Temanilah aku minum, nanti akan kuajarkan kepadamu di mana letak rahasia ketiga jurus ilmu pedang itu. Bagaimana?”

Lin Pingzhi menjawab, “Tapi Guru dan Ibu Guru sudah berpesan agar dalam beberapa hari ini kita jangan sembarangan berkeliaran di jalanan kota supaya tidak menimbulkan masalah. Maka menurut pendapatku, lebih baik kita pulang saja. Bagaimana?”

Yue Lingzhan menanggapi, “Kenapa jalan-jalan saja tidak boleh? Kita sudah sekian lama tidak melihat ada seorang pun tokoh persilatan di sini. Seandainya ada jago-jago persilatan yang berdatangan ke kota ini, asalkan kita tidak saling mengganggu, peduli apa?”

Begitulah, sambil bercakap-cakap kedua orang itu lambat laun berjalan menjauh.

Perlahan-lahan Linghu Chong membalikkan badan. Dilihatnya sosok Yue Lingshan yang ramping itu berada di sebelah kiri, sedangkan Lin Pingzhi yang jangkung berada di sebelah kanan. Kedua muda-mudi itu berjalan berdampingan. Si nona memakai baju hijau tua dengan kain rok berwarna hijau pupus, sedangkan si pemuda memakai jubah panjang warna kuning muda. Pakaian mereka terlihat bersih dan rapi. Jika dipandang dari belakang, mereka benar-benar merupakan pasangan yang serasi.

Seketika dada Linghu Chong bagai tersumbat sesuatu sehingga bernapas pun sukar. Ia sudah berpisah beberapa bulan dengan Yue Lingshan. Walaupun selama ini senantiasa terkenang, namun baru sekarang ia merasakan cintanya kepada sang adik kecil begitu mendalam. Tanpa terasa tangannya menggenggam gagang pedang, dan ingin sekali ia menggorok leher sendiri untuk menghabisi hidupnya yang merana ini. Tiba-tiba matanya menjadi gelap, langit seperti berputar dan bumi terbalik. Seketika ia pun jatuh terduduk.

Setelah agak lama ia bisa menenangkan diri, kemudian bangkit kembali. Dengan kepala agak pusing ia berpikir, “Selamanya aku tidak sanggup bertemu mereka lagi, untuk apa menyusahkan diri sendiri? Malam ini aku akan meninggalkan sepucuk surat untuk memperingatkan Guru dan Ibu Guru, bahwa Ren Woxing telah kembali ke dunia persilatan dan hendak mencari perkara dengan Perguruan Huashan. Ilmu silat orang ini luar biasa tingginya, dan Beliau berdua harus berhati-hati. Aku juga tidak boleh meninggalkan namaku pada surat, kemudian aku akan pergi ke negeri asing yang jauh. Untuk selamanya aku tidak akan menginjakkan kaki kembali ke Daratan Tengah lagi.”

Usai berpikir demikian ia lantas kembali ke penginapan dan memesan arak untuk kemudian minum sepuas-puasnya. Kekuatan minumnya hebat, tapi karena pikiran sedang sedih membuatnya lekas mabuk. Baru minum tiga kati saja ia sudah tertidur pulas tanpa mengganti pakaian.

Tepat tengah malam ia terbangun, kemudian menulis surat dan keluar melompati pagar tembok penginapan menuju gedung Biro Ekspedisi Fuwei.

Gedung perusahaan ekspedisi itu sangat megah, sehingga mudah untuk dikenali, juga tidak jauh dari penginapan. Hanya berlari sebentar saja Linghu Chong sudah melihat dua tiang bendera menjulang tinggi di depan gedung. Pada tiang bendera itu sudah tidak terpasang panji apa-apa lagi. Semua lampu di dalam gedung tersebut juga sudah dipadamkan, sama sekali tidak terdengar suara sedikit pun.

Linghu Chong memutar ke belakang gedung dan berpikir, “Guru dan Ibu Guru entah tinggal di mana? Mungkin saat ini Beliau berdua sudah tidur.”

Tepat pada saat itulah tiba-tiba di pojok kiri gedung berkelebat sesosok bayangan manusia yang melayang keluar dengan melompati pagar tembok. Dari perawakannya dapat diketahui kalau itu sosok seorang perempuan.

Linghu Chong segera berlari mengejar bayangan tersebut. Terlihat perempuan itu berlari ke arah barat daya. Ilmu meringankan tubuh yang digunakannya jelas berasal dari Perguruan Huashan. Linghu Chong pun mengerahkan tenaga dalam untuk mengejar lebih kencang. Ternyata perempuan itu tidak lain adalah Yue Lingshan sendiri. Ia menjadi heran, hendak ke mana adik kecilnya itu berlari di tengah malam buta begini?

Dilihatnya Yue Lingshan berlari dengan merapat pada dinding rumah. Linghu Chong semakin heran dan membuntuti di belakang pada jarak belasan meter. Langkahnya enteng dan gesit, sedikit pun tidak terdengar oleh Yue Lingshan.

Jalanan Kota Fuzhou berbelit-belit cukup rumit dengan rumah penduduk yang tak terhitung banyaknya. Namun Yue Lingshan terlihat terus berlari dengan yakin, kadang membelok ke kanan, kemudian ke kiri, jelas ia sudah terbiasa melewatinya. Ketika melalui perempatan pun ia terlihat mengambil jalur tanpa ragu sedikit pun. Setelah berlari lebih dari tiga kilo, akhirnya ia membelok ke suatu gang kecil di samping sebuah jembatan batu.

Linghu Chong melompat ke atap sebuah rumah dan mengawasinya melangkah menyusuri gang tersebut. Sesampainya di ujung gang, Yue Lingshan lantas melompat masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar.

Rumah itu memiliki pintu gerbang berwarna hitam dengan dinding tembok bercat putih. Pada bagian atas tembok tampak ditumbuhi tanaman merambat pertanda rumah tersebut sudah tua sekali. Cahaya lampu memancar dari balik jendela di beberapa sudut rumah.

Dengan hati-hati dan berjingkat-jingkat Yue Lingshan melangkah menuju ke bawah jendela di kamar sebelah timur, lalu mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela tersebut. Tiba-tiba gadis itu menjerit melengking seperti bunyi setan menyeramkan.

Biksuni Dingjing dikeroyok musuh.
 
Linghu Chong membuntuti Yue Lingshan.

Yue Lingshan menyusuri gang kecil.

(Bersambung)