Bagian 57 - Kitab Pengubah Urat

Yingying menangisi keadaan Linghu Chong yang semakin parah.

Segera ia memutar tubuh dan mendekati Yingying. Dipegangnya kedua tangan gadis itu yang terasa begitu dingin bagai es. Dengan suara lirih ia berbisik, “Untuk apa kau berbuat demikian?”

“Aku takut,” sahut Yingying.

“Takut apa?” tanya Linghu Chong.

“Aku takut kau yang tolol ini tidak mau menuruti perkataanku dan benar-benar pergi mengembara di dunia persilatan lagi. Mungkin tidak sampai besok kau sudah mati di tangan seorang manusia bau yang tidak berharga di antara mereka,” jawab Yingying.

“Mereka adalah orang-orang gagah yang berjiwa kesatria. Mereka pun sangat baik kepadamu. Mengapa kau begitu memandang rendah terhadap mereka?” Linghu Chong kembali bertanya.

“Di belakangku mereka menertawai aku. Mereka juga ingin membunuhmu. Bukankah mereka itu manusia-manusia busuk yang tidak berharga?” balas Yingying.

Linghu Chong tak kuasa menahan tawa. Ia berkata, “Kau sendiri yang menyuruh mereka mencari dan membunuhku, mengapa sekarang kau justru menyalahkan mereka? Lagipula mereka puin tidak menertawaimu. Bukankah kau mendengar pembicaraan Lao Touzi bertiga tadi tentang dirimu, yang begitu segan dan hormat kepadamu? Mana mungkin mereka bermaksud menertawai dirimu?”

“Mulut mereka tidak tertawa, tapi dalam hati mereka tertawa,” kata Yingying.

Diam-diam Linghu Chong merasa gadis ini bersifat ingin menang sendiri, maka ia pun tidak mau berdebat lagi dengannya. Terpaksa ia hanya berkata, “Baiklah, kau melarang aku pergi, biar aku mendampingimu di sini saja. Aih, jika benar-benar dicincang orang sehingga mayatku hancur menjadi delapan belas potong rasanya tentu tidak enak.”

Yingying merasa gembira mendengar Linghu Chong berjanji tidak akan pergi. Ia berkata, “Bukan lagi tidak enak, tapi benar-benar konyol.”

Sewaktu berbicara demikian, gadis itu agak memalingkan wajahnya. Di bawah cahaya bulan dan bintang yang remang-remang, raut wajahnya yang putih halus terlihat memancarkan sinar lembut. Perasaan Linghu Chong pun terguncang, membuatnya berpikir, “Sesungguhnya nona ini jauh lebih cantik daripada Adik Kecil. Akan tetapi … akan tetapi, entah mengapa hatiku masih selalu terkenang kepada Adik Kecil seorang.”

Sudah tentu Yingying tidak tahu isi hati Linghu Chong yang sedang memikirkan Yue Lingshan. Ia pun bertanya, “Di mana kecapi pemberianku tempo hari? Sudah hilang, ya?”

“Ya,” jawab Linghu Chong. “Aku kehabisan bekal di tengah jalan dan terpaksa kecapi itu kugadaikan.” Sambil berkata demikian ia lalu menanggalkan bungkusan yang tersandang di bahunya. Bungkusan itu lalu dibuka dan di dalamnya terdapat kecapi pemberian Yingying tersebut.

Melihat bungkusan kecapi itu sangat rapi – menandakan betapa cermat dan sayang Linghu Chong terhadap benda pemberiannya – diam-diam Yingying merasa sangat senang. Ia kemudian menggerutu, “Setiap hari kau harus berbohong berapa kali supaya hatimu merasa puas?” Lalu ia mengambil kecapi itu dan mulai memetiknya perlahan-lahan. Dimainkannya lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin sambil bertanya, “Lagu ini sudah kau pelajari dengan baik atau belum?”

“Wah, masih jauh dari baik,” jawab Linghu Chong sambil mendengarkan suara kecapi yang merdu dan anggun itu. Hatinya terasa sangat bahagia. Ia merasa suara kecapi yang sekarang ini agak berbeda daripada yang pernah ia dengar di Hutan Bambu Hijau di Kota Luoyang dahulu. Bunyi kecapi yang sekarang ini terasa lebih lincah, seperti burung berkicau di atas ranting, atau seperti gemerciknya suara mata air. Sungguh enak didengar. Baru sekarang ia tahu bahwa meskipun lagunya sama, tapi iramanya berbeda. “Ternyata lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin mempunyai perubahan sebanyak ini,” demikian pikirnya.

Tiba-tiba terdengar suara berdentang satu kali. Ternyata senar kecapi yang paling pendek telah putus. Yingying tampak mengernyitkan dahi, tapi masih tetap memetik kecapinya. Selang tidak lama kemudian, lagi-lagi seutas senar putus pula.

Linghu Chong dapat merasakan permainan kecapi Yingying mengandung kegelisahan sehingga sangat berlawanan dengan semangat lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin yang sebenarnya. Sejenak kemudian, mendadak seutas senar kembali putus.

Yingying tampak tercengang dan mendorong kecapinya ke depan. Gadis itu lalu berkata dengan kesal, “Kau duduk di situ hanya mengganggu saja. Aku jadi tidak bisa membunyikan kecapi ini dengan baik.”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Sejak tadi aku duduk diam mendengarkan di sini. Mungkinkah aku mengganggu permainanmu?” tapi segera ia paham, “Hm, dia sendiri yang sedang tidak tenang tetapi aku yang disalahkan.”

Namun demikian sedikit pun ia tidak membantah omelan Yingying. Ia lantas merebahkan diri di atas tanah berumput dan memejamkan mata untuk beristirahat. Rupanya karena terlalu letih, tanpa terasa ia langsung tertidur pulas.

Esok paginya sewaktu bangun dari tidur, dilihatnya Yingying sedang mencuci muka di tepi sungai. Kemudian gadis itu mulai menyisir rambutnya dengan seksama. Lengannya terlihat putih bersih, rambutnya panjang terurai. Melihat itu, Linghu Chong mau tidak mau merasa terkesima juga.

Sewaktu Yingying menoleh, dilihatnya Linghu Chong sedang memandanginya dengan termangu-mangu. Muka Yingying menjadi merah. Dengan tertawa ia memaki, “Dasar setan tidur. Baru bangun sekarang kau?”

Linghu Chong merasa rikuh mendengarnya. Ia pun mengalihkan pembicaraan, “Aku pergi menangkap kodok dulu. Entah tenagaku sudah kuat atau belum?”

Yingying menjawab, “Kau beristirahat saja, biar aku yang pergi menangkap kodok.”

Linghu Chong berusaha bangkit, namun tangan dan kakinya terasa sangat lemah dan linu. Sedikit saja ia mengerahkan tenaga, darah di rongga dadanya langsung bergolak. Sungguh tidak terbilang rasa kesalnya. “Kalau mati ya mati saja, kalau hidup ya hidup saja. Setengah mati setengah hidup seperti ini sungguh menyakitkan. Seperti orang cacat saja. Jangankan orang lain yang melihatku sebagai beban, sedangkan aku pun sudah muak melihat keadaanku sendiri.”

Melihat raut muka Linghu Chong tampak kesal, Yingying lantas menghiburnya, “Luka dalam yang kau derita belum tentu tidak bisa disembuhkan. Di sini adalah tempat yang sunyi, tidak ada pekerjaan apa-apa. Kau bisa merawat badanmu perlahan-lahan. Kenapa harus terburu-buru?”

Tepian sungai itu memang benar-benar terpencil dan sunyi sepi. Sejak kemunculan Ji Wushi, Lao Touzi, dan Zu Qianqiu tempo hari, tiada orang lain yang lewat di dekat sana. Luka Yingying sudah lama sembuh. Setiap hari ia menangkap kodok hijau dan memetik buah untuk dimakan berdua. Sebaliknya, badan Linghu Chong semakin hari semakin bertambah kurus. Tubuhnya seolah hanya tinggal kulit membungkus tulang saja. Permainan kecapi Yingying hanya berguna untuk menenangkan pikiran dan membuatnya bisa tidur nyenyak, tapi untuk memulihkan kesehatannya ternyata tidak berguna sama sekali. Yingying juga memaksanya meminum obat pemberian Biksu Fangsheng, namun luka pemuda itu juga tak kunjung sembuh.

Linghu Chong tahu ajalnya sudah dekat. Namun ia seorang pemuda yang berpikiran lapang, yang sama sekali tidak merisaukan nasibnya. Setiap hari ia masih tetap bersenda gurau dengan Yingying. Karena tidak mudah merasa risih, maka senda guraunya menjadi semakin bebas.

Watak Yingying sebenarnya sangat tinggi hati dan suka main perintah. Tapi begitu teringat bahwa setiap saat kemungkinan riwayat Linghu Chong bisa berakhir, maka ia berusaha selalu bersikap ramah dan lembut dalam melayani pemuda itu. Terkadang ia kehilangan kesabaran dan marah-marah, tapi segera menyesal dan minta maaf kepada Linghu Chong.

Pada suatu hari, setelah makan dua butir buah persik, Linghu Chong merasa sangat letih dan tertidur pulas. Di tengah mimpinya tiba-tiba ia mendengar suara orang menangis. Perlahan-lahan ia membuka mata dan melihat ternyata Yingying bersimpuh di samping kakinya. Bahu gadis itu terlihat bergerak naik turun, pertanda ia sedang menangis.

Linghu Chong terkejut melihatnya dan berniat untuk bertanya. Namun ia segera paham duduk perkaranya, “Hm, rupanya Yingying menangisi ajalku yang sudah hampir tiba.” Perlahan-lahan ia pun mengulurkan tangan untuk meraba dan membelai rambut si nona yang indah dan lembut itu.

Sadar bahwa Linghu Chong telah terbangun dari tidur, Yingying tidak mengangkat kepalanya lagi, sebaliknya malah menangis semakin sedih.

“Jangan menangis, jangan menangis!” kata Linghu Chong dengan senyum yang dipaksakan, “Umurku masih delapan puluh tahun lagi. Mana mungkin secepat ini aku harus bertemu Raja Akhirat?”

Sambil menangis, Yingying berkata, “Tapi semakin hari kau semakin bertambah kurus. Aku … aku pun tidak ingin hidup lagi ….”

Mendengar ucapan si nona yang tulus dan penuh rasa duka itu, hati Linghu Chong sangat terharu. Seketika dadanya terasa panas, langit dan bumi seperti berputar-putar pula. Disusul kemudian, darah pun menyembur keluar dari kerongkongannya. Pemuda itu lantas tak sadarkan diri.

Entah sudah lewat berapa lama waktu berlalu. Linghu Chong sadar dari pingsan, namun ia merasakan tubuhnya seperti melayang-layang di atas langit, setelah itu ia kembali kehilangan kesadaran. Begitulah, terkadang ia sadar sebentar, tapi tidak lama kemudian kembali pingsan lagi. Terkadang ia merasa ada orang yang menuangkan air ke dalam mulutnya, terkadang pula ia merasa ada orang yang membakar sekujur badannya dengan api. Samar-samar ia dapat merasakan apa yang dialami tubuhnya, namun mata sulit dibuka, tangan dan kaki pun sulit digerakkan.

Pada suatu hari, Linghu Chong kembali sadar dari pingsannya. Tanpa bisa membuka mata, ia merasa kedua pergelangan tangannya dicengkeram orang. Dua aliran tenaga dalam yang panas bagaikan api pun masuk melalui urat nadi dan langsung bertumbukan dengan ketujuh jenis hawa murni yang ada di dalam tubuhnya.

Linghu Chong merasakan penderitaan pada sekujur tubuhnya yang tak terlukiskan. Ia ingin berteriak, tapi sedikit pun tidak bisa mengeluarkan suara. Saat itu rasanya benar-benar menderita seperti menghadapi berbagai macam alat penyiksa yang paling menyakitkan.

Dalam keadaan bingung, ia hanya bisa bertanya-tanya entah sudah berapa hari waktu berlalu. Ia hanya merasakan setiap kali ada hawa murni mengalir masuk ke dalam badannya, maka tubuhnya terasa menderita namun lantas agak berkurang rasa sakitnya. Lambat laun ia menduga pasti ada orang yang mempunyai tenaga dalam sangat tinggi sedang menolong untuk menyembuhkan penyakitnya. Dengan ragu-ragu ia berpikir, “Apakah Guru atau Ibu Guru telah mengundang tokoh sakti untuk menolong jiwaku? Lalu ke mana Yingying pergi? Guru dan Ibu Guru sekarang ada di mana? Adik Kecil juga ada di mana, mengapa tidak menemuiku?” Begitu teringat kepada Yue Lingshan, seketika darah di rongga dadanya langsung bergolak, dan ia pun kembali tak sadarkan diri.

Begitulah, setiap hari ada seseorang yang datang dan menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya. Pada suatu ketika, setelah orang itu menyalurkan tenaganya, Linghu Chong merasa pikirannya agak terang. Ia pun berkata, “Terima kasih … terima kasih banyak atas pertolongan Sesepuh. Aku … aku berada di mana?”

Perlahan-lahan ia membuka mata. Tampak dilihatnya sesosok wajah penuh keriput dengan bibir tersenyum ramah. Linghu Chong merasa sudah mengenal dengan baik wajah orang tua itu, dan yang pasti bukan gurunya. Dalam keadaan samar-samar ia melihat pada kepala orang tua yang botak itu terdapat sembilan titik bekas sulutan api dupa, jelas itu kepala seorang biksu. Setelah teringat dengan jelas, ia pun menyapa, “Kau … kau … adalah … adalah Biksu Fangsheng.”

Biksu tua itu tersenyum dan menjawab, “Bagus sekali, bagus sekali! Kau masih kenal padaku. Benar, aku memang Fangsheng.”

“Ya, ya, Sesepuh memang Biksu Fangsheng,” kata Linghu Chong. Kini ia dapat merasakan dirinya ternyata berada di dalam sebuah kamar sempit, yang hanya diterangi sebuah pelita berbentuk piala bercahaya suram. Ternyata tubuhnya sedang terbaring di atas dipan panjang dengan ditutupi selimut berisi kapuk.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Fangsheng.

“Sudah jauh lebih baik,” kata Linghu Chong. “Di … di manakah aku berada kini?”

“Kau berada di dalam Biara Shaolin,” jawab Fangsheng.

Tentu saja Linghu Chong terkejut dan langsung berseru, “Haaah? Aku … aku berada di Biara Shaolin? Di mana … di manakah Yingying? Mengapa aku bisa … bisa sampai ke sini?”

“Kau baru saja sadar. Lebih baik kau jangan banyak berpikir supaya penyakitmu tidak kambuh,” ujar Fangsheng dengan tersenyum. “Jika ada urusan biarlah dibicarakan nanti saja.”

Setelah itu, setiap hari Biksu Fangsheng selalu datang ke kamar pada waktu pagi dan malam untuk menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Linghu Chong. Melewati belasan hari keadaan Linghu Chong semakin bertambah baik. Ia sudah bisa duduk dan makan minum sendiri. Namun setiap kali ia bertanya tentang Yingying dan ke mana perginya gadis itu, juga tentang bagaimana dirinya bisa berada di dalam Biara Shaolin, Biksu Fangsheng hanya tersenyum tanpa penjelasan.

Suatu hari, Fangsheng kembali datang mengalirkan hawa murni kepada Linghu Chong sambil berkata, “Pendekar Muda Linghu, sekarang jiwamu boleh dikata sudah dapat diselamatkan. Hanya saja kekuatan diriku sangat terbatas. Selama ini aku masih tidak sanggup memusnahkan berbagai macam hawa murni aneh yang ada di dalam tubuhmu. Boleh dikata usahaku ini hanya sekadar mengulur waktu saja. Aku khawatir tidak sampai setahun penyakitmu akan kambuh lagi. Jika itu terjadi bahkan malaikat atau dewa sekalipun juga sukar untuk menolong jiwamu.”

“Benar, tempo hari Tabib Ping Yishi juga berkata demikian kepadaku,” sahut Linghu Chong mengangguk. “Biksu sudah berusaha sekuat tenaga untuk menolong jiwaku. Aku sungguh berterima kasih yang tak terhingga. Tentang usia seseorang memang sudah suratan Langit. Betapa pun besarnya keinginan orang juga tidak dapat berbuat apa-apa melawan takdir.”

Fangsheng menggeleng dan berkata, “Kami pengikut Buddha hanya percaya kepada karma, bukan takdir. Dahulu pernah kukatakan kepadamu bahwa kepala biara kami, Mahabiksu Fangzheng, memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Jika Beliau ada jodoh denganmu dan suka hati mengajarkan ilmu Kitab Pengubah Urat yang hebat itu kepadamu, maka semuanya menjadi beres. Ilmu itu dapat memperbarui otot dan tulang, apalagi cuma untuk memusnahkan hawa murni aneh di dalam tubuhmu. Marilah sekarang juga akan kubawa kau pergi menemui Kepala Biara, semoga kau dapat menjawab pertanyaannya dengan baik.”

Memang sudah lama Linghu Chong mendengar nama besar Kepala Biara Shaolin yang bernama Mahabiksu Fangzheng. Mendengar ajakan itu sudah tentu ia merasa sangat gembira. Dengan cepat ia menjawab, “Terima kasih banyak atas kesediaan Bisku mempertemukan diriku kepada Kepala Biara. Meskipun tidak mendapat restu dan pertolongan dari Beliau, dapat berjumpa dengan biksu agung yang terkemuka pada zaman ini saja sudah cukup membuat hatiku sangat bahagia.”

Usai berkata demikian ia lantas turun dari pembaringan dan berganti pakaian, kemudian mengikuti Biksu Fangsheng melangkah keluar kamar. Setiba di luar, seketika matanya menjadi silau oleh cahaya sang surya yang gemilang. Sudah sekian lama ia tidak melihat matahari. Kini mendadak pandangannya menjadi silau, rasanya seperti memasuki suatu dunia lain. Semangatnya lantas bangkit dan tubuh terasa segar.

Sewaktu berjalan itu sesungguhnya kedua kaki Linghu Chong masih terasa sangat lemas. Itu sebabnya ia berjalan dengan langkah perlahan-lahan. Dilihatnya Biara Shaolin terdiri dari suatu lingkungan gedung-gedung yang sangat megah. Di sepanjang jalan ia banyak bertemu dengan kawanan biksu. Namun sewaktu melihat Fangsheng, mereka semua lantas menyingkir ke tepi jalan sambil menguncupkan tangan dan menunduk dengan sikap yang sangat hormat.

Setelah menyusuri tiga jalanan serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di depan sebuah gedung batu. Fangsheng lantas berkata kepada seorang bisku muda yang berjaga di luar gedung itu, “Fangsheng ada sedikit urusan dan mohon bertemu dengan Kepala Biara.”

Biksu muda itu segera melapor ke dalam. Tidak lama kemudian ia kembali dan memberi hormat, sambil berkata, “Kepala Biara mempersilakan Biksu Fangsheng masuk.”

Biksu Fangsheng pun berjalan diikuti Linghu Chong memasuki gedung batu tersebut. Di tengah ruangan tampak seorang biksu tua bertubuh kecil sedang duduk di kasur semadi.

“Fangsheng menyampaikan sembah hormat kepada Kepala Biara,” ujar Fangsheng sambil memberi hormat kepada biksu tua itu. “Bersama ini Fangsheng memperkenalkan murid pertama Perguruan Huashan, Pendekar Muda Linghu Chong.”

Dengan cepat Linghu Chong lantas berlutut dan memberi sembah.

Biksu bertubuh kecil tersebut ternyata Kepala Biara Shaolin yang bergelar Mahabiksu Fangzheng. Ia sedikit mengangkat kepala memandang Linghu Chong sambil mengangkat tangan kanan dan berkata, “Pendekar Muda jangan terlalu banyak adat. Silakan duduk!”

Selesai memberi hormat, Linghu Chong mengambil tempat duduk di atas kasur yang terletak di sebelah kanan Biksu Fangsheng. Dilihatnya perawakan Kepala Biara Shaolin itu kurus kering, dengan raut muka terlihat ramah dan sabar. Berapa usianya juga sulit untuk ditaksir. Diam-diam Linghu Chong merasa heran dan berkata dalam hati, “Sungguh tak kusangka ternyata biksu agung yang namanya mengguncangkan dunia persilatan ternyata hanya begini saja penampilannya. Jika bertemu di luar Biara mungkin tidak seorang pun yang akan menduga kalau dia merupakan ketua perguruan terbesar di zaman ini.”

Biksu Fangsheng kemudian berkata, “Kakak, setelah mendapat perawatan selama lebih dari dua bulan, kini kesehatan Pendekar Muda Linghu sudah jauh lebih baik.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya. Ia pun berpikir, “Ternyata sudah dua bulan lebih aku tidak sadarkan diri. Tadinya aku mengira hanya belasan hari saja.”

Mahabiksu Fangzheng berkata, “Bagus sekali,” lalu ia menoleh ke arah Linghu Chong dan melanjutkan, “Pendekar Muda, gurumu adalah yang terhormat Ketua Perguruan Huashan, Yue Buqun. Kepribadiannya lurus, tegas, dan jujur. Nama besarnya yang bersih berkumandang di seluruh penjuru dunia persilatan. Aku sendiri sangat kagum kepadanya.”

“Kepala Biara terlalu memuji,” sahut Linghu Chong rendah hati. “Saya menderita penyakit parah hingga kehilangan kesadaran. Sungguh beruntung bisa mendapatkan pertolongan dari Biksu Fangsheng sehingga jiwa saya dapat diselamatkan. Ternyata sudah lebih dari dua bulan saya tak sadarkan diri. Apakah selama itu kabar Guru dan Ibu Guru dalam keadaan baik-baik saja?”

Pertanyaan Linghu Chong tersebut sebenarnya tidak pantas ditanyakan kepada orang luar. Namun karena didorong oleh perasaan rindu dan khawatir kepada Yue Buqun dan Ning Zhongze, ia tak kuasa menahan diri untuk bertanya.

Fangzheng menjawab, “Kabarnya Tuan dan Nyonya Yue, serta para murid Perguruan Huashan saat ini sedang berada di Fujian.”

Linghu Chong merasa lega dan berkata, “Terima kasih banyak atas pemberitahuan Mahabiksu.” Usai berkata demikian hatinya terasa pedih. Ia berpikir, “Akhirnya Guru dan Ibu Guru mengajak Adik Kecil ke kampung halaman Adik Lin.”

Mahabiksu Fangzheng melanjutkan, “Menurut keterangan dari Adik Fangsheng, kabarnya Pendekar Muda Linghu memiliki ilmu pedang mahasakti berkat ajaran Tuan Feng Qingyang. Hal ini sungguh sangat menggembirakan dan pantas kuucapkan selamat kepada Pendekar Muda.”

“Saya tidak berani menerima pujian ini,” jawab Linghu Chong.

Fangzheng melanjutkan, “Sudah lama sekali Tuan Feng mengasingkan diri. Selama ini aku mengira Beliau sudah wafat. Siapa sangka Beliau masih berada di dunia fana ini? Sungguh hal ini membuatku sangat gembira dan ikut bersyukur.”

“Benar,” jawab Linghu Chong singkat.

Fangzheng memejamkan kedua matanya sebentar, kemudian berkata dengan perlahan, “Pendekar Muda Linghu pernah terluka, tapi mendapat penyembuhan yang keliru dari orang yang tidak mahir sehingga di dalam tubuhmu terhimpun berbagai macam hawa murni yang aneh dan sukar dimusnahkan. Mengenai hal ini aku sudah diberi tahu oleh Adik Fangsheng. Setelah aku menimbang-nimbang persoalan ini, rasanya hanya ada satu jalan keluar untuk menyembuhkan penyakitmu, yaitu dengan melatih ilmu dalam Kitab Pengubah Urat, yaitu ilmu tenaga dalam paling tinggi dalam Perguruan Shaolin kami. Nah, dengan cara demikian barulah Pendekar Muda bisa memusnahkan bermacam-macam hawa murni jahat itu dengan kekuatan yang timbul dari tubuhmu sendiri. Sebaliknya, kalau memusnahkannya dengan bantuan kekuatan dari luar, walaupun ajalmu dapat diulur dan ditunda untuk sementara waktu, namun sebenarnya tiada gunanya sama sekali, bahkan hanya membuat rugi diri sendiri. Ini seperti minum racun untuk melepas dahaga. Selama dua bulan lebih Adik Fangsheng telah menyelamatkan jiwamu dengan menyalurkan tenaga dalamnya. Akan tetapi, hal itu berakibat mulai sekarang dalam tubuhmu bertambah lagi satu jenis hawa murni baru. Untuk ini Pendekar Muda bisa membuktikannya dengan mengerahkan tenagamu, Silakan!”

Linghu Chong menurut. Ia mencoba mengerahkan tenaga sedikit saja, seketika hawa di titik Dantian langsung bergolak, sakitnya bukan kepalang. Tubuh pemuda itu terlihat bergoyang-goyang, butir-butir keringat pun menetes dari dahinya.

“Biksu tua ini tidak becus sehingga hanya menambah penderitaan Pendekar Muda,” ujar Fangsheng sambil menguncupkan kedua tangannya.

Linghu Chong menjawab, “Mengapa Biksu berkata demikian? Biksu telah menolong jiwa saya dengan sepenuh hati sehingga mengorbankan banyak tenaga dalam. Saya bisa hidup lagi seperti sekarang ini adalah berkat budi baik Biksu Fangsheng.”

“Aku tidak berani menerima pujian,” sahut Fangsheng. “Dahulu Tuan Feng pernah menolong jiwa saya. Maka sedikit perbuatanku ini tidak lebih hanya sebagian kecil saja untuk membalas budi baik Tuan Feng itu.”

Mahabiksu Fangzheng mengangkat kepalanya dan berkata, “Bicara tentang budi baik atau dendam kesumat untuk apa? Budi baik adalah karma, dendam kesumat juga karma. Jika dendam tidak boleh mengikat hati, budi baik juga tidak boleh melekat di jiwa. Segala kejadian di dunia fana ini laksana asap saja yang akan buyar dalam sekejap mata. Setelah mencapai kesempurnaan takkan ada lagi soal budi baik dan dendam kesumat.”

“Benar sekali, terima kasih atas petuah Kakak Kepala,” sahut Fangsheng.

Fangzheng kembali berbicara dengan perlahan-lahan, “Sebagai pengikut Sang Buddha, kami sangat mengutamakan rasa welas asih. Pendekar Muda sudah menderita penyakit separah ini, sudah seharusnya kami menolong dengan sepenuh hati, bukan karena balas budi. Tentang ilmu Kitab Pengubah Urat adalah ciptaan cikal bakal Biara Shaolin kami, yaitu Leluhur Pertama Ajaran Dhyana Timur yang bernama Mahabiksu Bodhidharma. Beliau kemudian mewariskannya kepada penggantinya, yaitu Leluhur Kedua Ajaran Dhyana Timur, yang bernama Mahabiksu Huike. Semula Mahabiksu Huike bernama Mahabiksu Shenguang, dan berasal dari Kota Luoyang. Sewaktu muda Beliau pernah mempelajari ajaran Kong Fuzi secara luas dan mendalam. Sewaktu Mahabiksu Bodhidharma tinggal di Biara Xiben, Mahabiksu Shenguang berkunjung dan mohon diterima sebagai murid. Namun Mahabiksu Bodhidharma merasa apa yang pernah dipelajari Mahabiksu Shenguang terlalu rumit dan bermacam-macam, serta memendam banyak prasangka, cerdas namun terlalu percaya diri, sehingga sukar baginya untuk mendapatkan pencerahan. Maka itu, permohonan Beliau pun ditolak. Mahabiksu Shenguang masih terus memohon dengan sangat untuk waktu yang sangat lama, namun tetap tidak diterima. Akhirnya Beliau lantas mengangkat pedang dan memotong lengan kiri sendiri sampai putus.”

“Ah!” seru Linghu Chong terkejut. “Mahabiksu Shenguang ternyata sedemikian kuat tekadnya dalam mempelajari agama.”

Fangzheng melanjutkan cerita, “Melihat keteguhan itulah, maka kemudian Leluhur Pertama Bodhidharma bersedia menerima Beliau sebagai murid dan memberinya gelar Huike. Di kemudian hari Mahabiksu Huike menjadi ahli waris jubah Leluhur Pertama Bodhidharma dan menyampaikan prinsip-prinsip ajaran Dhyana Timur. Yang Beliau perlajari dari Leluhur Pertama Bodhidharma adalah Jalan Besar Dharma Sang Buddha sesuai dengan Sutra Lankavatara untuk menerangi hati dan memahami diri sendiri. Meskipun ilmu silat biara kami terkenal di kolong langit, namun sebenarnya itu hanyalah pelajaran sampingan yang kurang penting, tidak patut untuk disebut-sebut. Leluhur Pertama Bodhidharma hanyalah mengajarkan bagaimana cara supaya memiliki tubuh yang kuat dan sehat. Karena dengan tubuh yang sehat, maka pirkiran menjadi tenang, dan jika pikiran sudah tenang, maka pencerahan dapat dicapai. Akan tetapi, para murid dari angkatan-angkatan selanjutnya banyak yang salah paham sehingga mereka tergila-gila pada ilmu silat, dan melupakan tujuan sebenarnya dari Leluhur Pertama Bodhidharma dalam mengajarkan ilmus silat tersebut. Sungguh sayang, sungguh sayang.”

Sambil berbicara demikian, Fangzheng menggeleng-gelengkan kepala. Selang agak lama, barulah ia melanjutkan, “Setelah Leluhur Pertama Bodhidharma meninggal dunia, Leluhur Kedua Huike menemukan sebuah kitab di samping bantalan semadi Beliau, yaitu Kitab Pengubah Urat tersebut. Ulasan dalam kitab ini sangat mendalam. Meskipun Leluhur Kedua membacanya dengan seksama, namun tidak berhasil memahaminya. Beliau mengetahui bahwa kitab ini merupakan peninggalan Leluhur Pertama setelah bersemadi menghadap dinding selama sembilan tahun. Meskipun kitab ini sangat tipis, namun tidak dapat dipandang remeh. Berpikir demikian, Leluhur Kedua Huike pun pergi ke gunung-gunung untuk meminta pendapat para biksu ternama. Padahal, saat itu Leluhur Kedua merupakan biksu yang sangat terkemuka dan sulit untuk menemukan orang lain yang lebih bijak daripada Beliau. Itulah sebabnya, selama dua puluh tahun lebih Leluhur Kedua hanya berkelana membawa kitab itu dan berdiskusi dengan orang-orang bijak namun tanpa memperoleh hasil yang memusakan.”

Setelah diam sejenak, Fangzheng melanjutkan, “Karena karma baik Leluhur Kedua, pada suatu hari Beliau berjumpa dengan biksu dari India yang bernama Mahabiksu Paramiti. Beliau berdua berdiskusi mengenai ajaran Sang Buddha di Gunung Emei, di daerah Sichuan dan menjadi sangat akrab. Leluhur Kedua juga mengeluarkan Kitab Pengubah Urat dan mempelajarinya bersama Mahabiksu Paramiti. Setelah tujuh pekan berlalu, Beliau berdua saling mencerahkan dan dapat memahami isi kitab tersebut dengan jelas.”

“Amitabha, shanzai, shanzai!” seru Fangsheng memuji sambil menguncupkan kedua tangan.

Fangzheng melanjutkan, “Namun apa yang dapat dipecahkan oleh Mahabiksu Paramiti sebagian besar hanyalah intisari ajaran Dhyana. Baru dua belas tahun kemudian, ketika Leluhur Kedua Huike bertemu dengan seorang pemuda yang mahir ilmu silat di jalanan Kota Chang’an, mereka pun saling bertukar pikiran selama tiga hari tiga malam. Akhirnya segala misteri ilmu silat yang terkandung di dalam Kitab Pengubah Urat itu dapat dipecahkan seluruhnya.”

Setelah diam sejenak, Fangzheng kembali bercerita, “Pemuda itu tidak lain adalah pahlawan yang sangat berjasa dalam berdirinya Dinasti Tang. Ia tidak lain bernama Li Jing yang membantu Kaisar Taizong memadamkan pemberontakan Suku Turki. Kaisar kemudian mengangkat Li Jing menjadi Adipati Wei. Keberhasilannya itu tidak lain juga berkat manfaat yang diperolehnya dari isi Kitab Pengubah Urat tersebut.”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Oh, ternyata sedemikian hebat asal usul Kitab Pengubah Urat.”

Fangzheng melanjutkan, “Ilmu dalam Kitab Pengubah Urat melingkupi segenap pembuluh darah dan mengikat daya semangat kelima organ penting dalam tubuh. Bersifat menyeluruh namun tidak menyebar, mengalir terus tanpa henti. Kekuatan timbul dari dalam tubuh, sedangkan darah akan mengalir dengan lancar. Setelah menguasai isi kitab ini, maka kekuatan dapat dikerahkan dengan sekehendak hati. Pengumpulan dan penyaluran tenaga dapat terjadi secara alami dan terjadi dengan sendirinya tanpa diperintahkan, bagaikan lautan pasang dan guntur menggelegar. Pendekar Muda Linghu, orang yang mempelajari Kitab Pengubah Urat laksana sebuah perahu kecil yang terombang-ambing di tengah gelombang besar ombak samudera. Perahu kecil itu akan naik-turun mengikuti tinggi rendahnya gelombang sehingga sukar untuk dikekang. Tapi kalau ingin mengekangnya, dari mana tenaga untuk mengekang? Juga di mana tenaga itu akan dipakai untuk mengekang?”

Linghu Chong hanya manggut-manggut mendengarkan uraian Kepala Biara Shaolin yang didasari pengetahuan luas dan mendalam itu. Ia merasa teori perahu di tengah gelombang samudera tersebut cocok dengan teori ilmu pedang yang pernah diajarkan Feng Qingyang kepadanya.

Fangzheng melanjutkan, “Lantaran ilmu dalam Kitab Pengubah Urat mengandung daya kekuatan sedemikian hebat, maka selama ratusan tahun tidak diajarkan kepada siapa pun juga kecuali kepada seseorang yang berjodoh. Sekalipun murid pilihan dari Biara Shaolin sendiri jika memang tidak ada jodoh, maka kepadanya juga tidak diajarkan ilmu dalam Kitab Pengubah Urat ini. Misalnya Adik Fangsheng, ilmu silatnya sudah amat tinggi, pribadinya juga sangat baik. Dia juga tokoh terkemuka dalam biara kami. Namun dia tidak ada jodoh sehingga tidak mendapat pelajaran Kitab Pengubah Urat dari guru kami.”

Linghu Chong menanggapi, “Benar sekali. Saya sendiri merasa tidak punya keberuntungan seperti itu, juga tidak memiliki karma baik. Maka itu, saya juga tidak berani mengajukan permohonan apa pun.”

“Bukan begitu, bukan begitu,” sergah Fangzheng. “Pendekar Muda justru orang yang memiliki karma baik.”

Jantung Linghu Chong berdebar kencang mendengar keterangan itu. Perasaan terkejut bercampur gembira memenuhi rongga dadanya. Sungguh tidak disangka bahwa ilmu rahasia Biara Shaolin, yang tidak diajarkan kepada tokoh agung seperti Biksu Fangsheng, ternyata dikatakan berjodoh dengan dirinya.

Mahabiksu Fangzheng berkata perlahan-lahan, “Agama Buddha terbuka lebar bagi siapa saja, namun hanya yang memiliki karma baik saja yang bisa mencapai pencerahan. Pendekar Muda Linghu menjadi ahli waris ilmu Sembilan Pedang Dugu ajaran Tuan Feng, ini berkat karma. Pendekar Muda bisa datang ke Biara Shaolin ini, juga berkat karma. Apabila Pendekar Muda tidak mempelajari Kitab Pengubah Urat, tentu hidupmu akan berakhir. Sebaliknya, jika Adik Fangsheng yang mempelajari Kitab Pengubah Urat memang akan mendapat manfaat. Namun kalau dia tidak mempelajari juga tidak akan mendatangkan kerugian baginya. Perbedaanmu dengan Adik Fangsheng pun disebabkan oleh karma pula.”

Mendengar itu Biksu Fangsheng menanggapi sambil menguncupkan tangan, “Keberuntungan dan karma Pendekar Muda Linghu ternyata amat besar. Sungguh, aku merasa sangat bersyukur.”

Fangzheng berkata kepada Fangsheng, “Adik, sifat dasarmu cenderung terikat. Kau selalu melekat kepada segala seuatu. Sampai sekarang kau belum bisa memahami ketiga prinsip tertinggi untuk mencapai keterlepasan, yaitu kekosongan, tanpa bentuk, dan tanpa berbuat. Itu sebabnya kau tidak bisa memahami arti kehidupan dan kematian yang sesungguhnya. Bukannya aku tidak mau mengajarkan Kitab Pengubah Urat kepadamu, namun aku khawatir setelah mempelajari ilmu tingkat tinggi ini, kau akan tergila-gila kepadanya dan bisa-bisa kau melalaikan kewajibanmu untuk bersemadi.”

Raut muka Fangsheng berubah pucat. Ia pun bangkit dan berkata dengan penuh hormat, “Petunjuk Kakak Kepala sungguh benar adanya.”

Fangzheng sedikit mengangguk untuk membesarkan hati adik seperguruannya. Sejenak kemudian bibir Fangsheng terlihat tersenyum tipis. Fangzheng pun gembira dan balas menganggukkan kepala. Ia kemudian berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, “Sebenarnya ada satu rintangan besar, namun jalan keluar selalu ada. Sejak zaman Leluhur Pertama Bodhidharma, ilmu dalam Kitab Pengubah Urat hanya diajarkan kepada murid Biara Shaolin, dan tidak pernah diajarkan kepada orang luar. Peraturan ini sungguh tidak dapat kulanggar. Maka itu, Pendekar Muda harus masuk sebagai murid golongan awam Biara Shaolin di Pegunungan Songshan ini.” Setelah terdiam sejenak, Fangzheng melanjutkan, “Kalau Pendekar Muda tidak keberatan, kau akan masuk sebagai murid angkatan ‘Guo’ dan belajar langsung kepadaku. Kau boleh memakai nama Linghu Guochong.”

Biksu Fangsheng sangat gembira dan segera berkata, “Terimalah ucapan selamat dariku, Pendekar Muda Linghu. Seumur hidup Kakak Kepala hanya pernah menerima dua orang murid saja, dan ini pun sudah terjadi tiga puluh tahun silam. Kini Pendekar Muda adalah murid penutup dari Kakak Kepala, bukan saja dapat menyelami ilmu silat mahatinggi Kitab Pengubah Urat, bahkan kedua belas macam ilmu silat Biara Shaolin juga akan diajarkan sesuai dengan kemampuanmu. Kelak Pendekar Muda pasti dapat lebih mengembangkan perguruan kami dan membawa nama Biara Shaolin lebih berjaya di dunia persilatan.”

Linghu Chong buru-buru bangkit dan berkata, “Terima kasih banyak atas segala maksud baik Biksu Kepala. Hanya saja, saya adalah murid Perguruan Huashan, sehingga tidak berani pindah perguruan dan berganti guru.”

Fangzheng tersenyum dan menjawab, “Rintangan besar yang kukatakan tadi justru menyangkut masalah ini. Pendekar Muda, sesungguhnya sekarang kau sudah bukan lagi murid Perguruan Huashan. Mungkin hal ini belum kau ketahui.”

Linghu Chong terperanjat. Ia bertanya dengan tubuh gemetar, “Kenapa … kenapa aku bukan … bukan murid Huashan lagi?”

“Silakan Pendekar Muda membacanya sendiri,” kata Fangzheng sambil mengeluarkan sepucuk surat. Begitu tangannya mengayun perlahan, surat itu lantas melayang lurus ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong segera menangkap surat itu dengan menggunakan kedua tangannya. Badannya terasa bergetar. Dengan hati terkejut ia berpikir, “Tenaga dalam Kepala Biara benar-benar susah diukur. Sepucuk surat yang begitu ringan ini ternyata bisa dilemparkannya secara lurus dan mantap, dengan membawa tenaga yang kuat pula. Sungguh luar biasa!”

Ketika ia mengamat-amati sampul surat itu, ternyata di atasnya terdapat segel berwarna merah bertuliskan “Stempel Ketua Perguruan Huashan”. Pada sampul surat terdapat pula tulisan: “Ditujukan Kepada Yang Terhormat Mahabiksu Kepala Biara Shaolin”. Dari tulisan yang indah penuh wibawa dan goresan yang kuat itu jelas merupakan tulisan tangan Yue Buqun, gurunya sendiri.

Samar-samar Linghu Chong merasakan firasat yang kurang baik. Dengan tangan gemetar ia membuka sampul surat itu dan membaca isinya. Ia benar-benar tidak percaya pada apa yang tertulis di surat itu. Ia mencoba mengulangi sekali lagi. Seketika ia merasa seakan-akan langit berputar putar dan bumi terbalik. Tiba-tiba pemuda itu pun jatuh tak sadarkan diri.

Ketika siuman Linghu Chong mendapati dirinya sudah bersandar di bahu Biksu Fangsheng. Ia berusaha untuk bangkit namun tangisnya kemudian pecah karena tak kuasa lagi menahan sedih.

“Mengapa Pendekar Muda berduka? Apakah gurumu mengalami sesuatu?” tanya Fangsheng.

“Silakan Biksu membacanya,” kata Linghu Chong sambil menyodorkan surat itu.

Ketika Fangsheng membaca surat itu, isinya tertulis:

“Ketua Perguruan Huashan Yue Buqun menghaturkan sembah sujud ke hadapan Yang Terhormat Mahabiksu Kepala Biara Shaolin. Selama menjabat sebagai Ketua Perguruan Huashan, teramat jarang saya menyampaikan salam hormat. Untuk itu mohon dimaafkan. Perihal murid murtad perguruan kami, Linghu Chong, perangainya jelek, kelakuannya buruk, berkali-kali melanggar peraturan Perguruan. Paling akhir bahkan bergaul dengan kaum sesat dan berkawan dengan para penjahat. Buqun tidak berguna, walaupun sudah menjatuhkan hukuman berat, tapi tetap tidak ada hasilya. Untuk menegakkan ketenteraman di dunia persilatan dan menjaga nama baik aliran lurus, bersama ini kami umumkan bahwa murid murtad Linghu Chong sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan kami. Jika terjadi lagi perkomplotannya dengan kaum cabul dan sesat, serta perbuatannya membawa bencana di dunia persilatan, maka kami harapkan kawan-kawan sesama aliran lurus supaya turun tangan untuk membinasakannya tanpa ampun. Dalam hal ini Buqun sangat berterima kasih. Surat ini kutulis dengan penuh rasa malu dan khawatir. Sebenarnya Buqun ingin menulis lebih lanjut, namun rasanya harus diakhiri sampai di sini. Untuk itu Mahabiksu diharap maklum.”

Isi surat tersebut sungguh di luar dugaan Biksu Fangsheng. Ia menjadi bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghibur Linghu Chong. Setelah mengembalikan surat itu kepada Fangzheng, ia berkata kepada Linghu Chong yang masih menangis sedih, “Pendekar Muda, pergaulanmu dengan orang-orang Tebing Kayu Hitam itu memang tidak sepatutnya dilakukan.”

Fangzheng juga berkata, “Saat ini para ketua dari berbagai aliran lurus tentu sudah menerima surat yang serupa dari gurumu dan telah memberi petunjuk kepada anggota masing-masing. Sekalipun kau tidak terluka, begitu keluar dari sini, setiap langkahmu akan selalu dihadang bahaya. Para murid golongan lurus akan menganggap dirimu sebagai musuh yang perlu dilenyapkan.”

Linghu Chong terperanjat. Ia teringat kata-kata Yingying di tepi sungai kecil tempo hari. Memang benar, saat ini bukan saja setiap orang dari aliran sesat yang ingin membunuhnya, bahkan orang-orang dari aliran lurus juga menganggapnya sebagai musuh. Dunia ini begitu luas, namun rasanya tidak ada lagi tempat baginya untuk berpijak dan berlindung.

Teringat pula budi baik guru dan ibu-gurunya yang telah mendidiknya sejak kecil bagaikan orang tua kandung sendiri. Tidak hanya mengajarkan ilmu silat, namun juga membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi, ia justru banyak melanggar aturan dan berbuat onar sehingga harus dipecat dari Perguruan. Ia juga dapat membayangkan sewaktu Sang Guru menuliskan surat tersebut tentu disertai perasaan duka dan kecewa yang teramat dalam. 

Biksu Fangsheng menyalurkan tenaga dalam kepada Linghu Chong.
Mahabiksu Fangzheng menyambut Linghu Chong.
Membaca isi surat dari Sang Guru.
Biksu Fangsheng berusaha menghibur hati Linghu Chong.

(Bersambung)